TEKNIK PENGANGKUTAN BETUTU (Oxyeleotris marmorata) DALAM RANGKA DOMESTIKASI IKAN ASLI SUNGAI CITARUM Titin Herawati*1, Ayi Yustiati*1, Atikah Nurhayati*1 Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, UBR 40600 *email : [email protected] 1 Disampaikan Pada Seminar Nasional Ikan Ke XII UGM Yogyakarta, 8 Agustus 2015 TB - 02 TEKNIK PENGANGKUTAN BETUTU (Oxyeleotris marmorata) DALAM RANGKA DOMESTIKASI IKAN ASLI SUNGAI CITARUM *1 *1 *1 Titin Herawati , Ayi Yustiati , Atikah Nurhayati 1 Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, UBR 40600 *email : [email protected] Abstrak Penelitian mengenai Teknik Pengangkutan Betutu (Oxyoleotris marmorata) Dalam Rangka Domestikasi Ikan Asli Sungai Citarum telah dilakukan pada bulan Maret - April 2015, tujuannya adalah untuk mengetahui teknik pengangkutan ikan betutu yang efektif yang menghasilkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi dan jumlah ikan yang terangkut optimum. Metode pengangkutan dilakukan dengan sistem kering dengan kemasan semi terbuka menggunakan wadah sterofoam, dari Waduk Cirata ke Kolam Percobaan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad di Ciparanje. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengangkutan betutu dengan menggunakan sistem kering pada wadah sterofoam berukuran 75 cm x 40 cm x 35 cm dapat mengangkut betutu ukuran 80-250 gram sebanyak 17 kg atau sebanyak 98 ekor dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar 95% waktu pengangkutan selama 3 jam 30 menit. Pada wadah sterofoam berukuran 40 cm x 30 cm x 20 cm dapat mengangkut betutu ukuran 120-260 gram sebanyak 3 kg, atau sebanyak 17 ekor dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar 94% waktu pengangkutan selama 4 jam, tidak terjadi kerusakan pada sisik, ikan langsung berenang saat dimasukkan ke dalam bak. Kata Kunci : Betutu Pengangkutan Sterofoam Sungai Citarum Waduk Cirata. PENDAHULUAN Betutu yang hidup dan berkembang di Waduk Cirata merupakan ikan asli sungai Citarum, termasuk komoditas ekonomis penting dan mudah dipasarkan, akan tetapi keberadaannya sudah jarang, oleh sebab itu diperlukan upaya domestikasi. Didalam upaya domestikasi secara Eksitu masih mempunyai kendala dalam pengangkutan induk dan benih karena ikan ini bersifat kanibal, dapat memangsa ikan lain apabila dalam pengangkutan menggunakan sistem basah, terutama pada ikan yang berukuran relatif kecil, oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian tentang teknik pengangkutannya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui teknik pengangkutan ikan betutu yang efektif yang menghasilkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi dan jumlah ikan yang terangkut optimum. Ikan ini tubuhnya memanjang berwarna abu-abu muda, pada kondisi stres ikan jantan akan berwarna abu-abu tua, dibandingkan ikan betina, tubuh bagian depan silindris dan bagian belakang pipih, panjang total 4 - 5 kali tinggi badan (Gambar 1). Sistem pernapasan terdiri dari 4 pasang insang, dibantu dengan gelembung udara yang letaknya 3/4 bagian arah posterior (Gambar 3). Kordi (2013), menyatakan bahwa betutu adalah salah satu ikan rawa yang hidup pada perairan relatif o o panas >24 C. Ikan yang hidup di rawa tumbuh dengan baik pada suhu antara 25 - 32 C, Betutu dapat hidup pada kadar oksigen 2 mg/l, pada kadar oksigen lebih besar dari 3 mg/l pertumbuhan optimum, pada pH 5,5 - 6,5 betutu dapat hidup, sedangkan untuk pertumbuhan optimum pada pH 7,0 – 7,5. 2 Gambar 1. Ikan Betutu Jantan dan Betina (Sumber : Dokumentasi Pribadi) Kepala gepeng, panjang kepala 1/4 - 1/3 dari panjang total, mulut superrior, moncong meruncing, rahang bawah lebih ke depan daripada rahang atas, gigi terdiri dari dua deret, pada deret terluar ukurannya lebih besar, beberapa gigi menyerupai taring digunakan untuk merobek mangsa. Gigi ini mengindikasikan bahwa betutu bersifat kanibal (Gambar 2). Gambar 2. Gigi Taring (Sumber : Dokumentasi Pribadi) Menurut Amri dan Sihombing (2008) kanibalisme merupakan sifat memangsa sesama jenis dan umumnya dilakukan oleh ikan yang berukuran lebih besar terhadap ikan yang berukuran lebih kecil, yang dipicu oleh padat tebar terlalu tinggi, yang mengakibatkan ruang gerak ikan terbatas sehingga mengakibatkan terjadinya stress lingkungan, karena lingkungan pemeliharaan yang tidak kondusif memberikan ketenangan bagi ikan, tingkat persaingan makanan dan oksigen menjadi tinggi,. Kanibalisme merupakan aktivitas melumpuhkan dan memakan sebagian atau seluruh bagian tubuh sesama individu antara individu yang satu dengan individu lain (Dixon 2000 dalam Marhamah 2010). Kanibalisme akan meningkat apabila kondisi ikan dalam keadaan lapar meskipun dengan ukuran ikan yang relatif sama maupun ukuran yang bervariasi (Giles et al., 1986 dan Dou et al., 2000). Kanibalisme ditandai dengan perilaku melukai ikan yang dimangsa berkali-kali meskipun tidak sampai mati, namun biasanya ikan tersebut mati. 3 Pengangkutan ikan pada dasarnya merupakan usaha menempatkan ikan pada lingkungan baru yang berbeda dengan lingkungan asalnya disertai dengan perubahan-perubahan sifat lingkungan yang relatif berfluktuasi tinggi yang dapat menyebabkan terancamnya kehidupan ikan. Keberhasilan dalam mengurangi pengaruh perubahan lingkungan yang mendadak tersebut akan memberikan kemungkinan untuk mengurangi tingkat kematian yang berarti juga tercapainya tujuan pengangkutan (Huet 1971). Prinsip pengangkutan ikan hidup adalah bagaimana ikan yang diangkut sampai di tempat tujuan dalam keadaan hidup, segar dan tidak cacat. Pengangkutan ikan hidup dapat dilakukan dengan menggunakan media air sebagai media hidup ikan (sistem basah) dan tanpa menggunakan air sebagai media hidup ikan (sistem kering). Sistem pengemasan dapat dilakukan secara tertutup dan terbuka. Pengemasan ikan sistem terbuka yaitu ikan hidup yang diangkut dengan wadah atau tempat yang media airnya masih dapat berhubungan dengan udara bebas. Pengangkutan sistem ini biasa digunakan untuk pengangkutan jarak dekat dan membutuhkan waktu yang tidak begitu lama, kelebihan cara ini adalah terjadi difusi oksigen dari udara ke media. kekurangannya dapat membahayakan ikan dan tidak dapat dilakukan untuk pengiriman menggunakan pesawat terbang (Aksar, 2010). Huet (1971) dalam Gautama (2005), menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi pengemasan ikan hidup dengan mempertimbangkan persediaan oksigen dalam alat pengemasan antara lain : 1. Spesies ikan, kebutuhan ikan terhadap oksigen bervariasi sesuai dengan spesiesnya 2. Suhu air, pada suhu rendah mengakibatkan kadar oksigen di dalam air lebih tinggi, karena kebutuhan oksigen akan menurun 3. Lama waktu angkut, makin pendek lama waktu angkut makin tinggi kepadatannya 4. Cara angkut dan lama istirahat, makin cepat pengangkutan dan makin baik prasarana serta waktu istirahat yang pendek, kemungkinan keberhasilan pengangkutan makin besar. 5. Sifat alami alat pengangkut, pengangkutan dengan wadah kayu dapat menyebabkan peningkatan suhu air lebih lambat dibandingkan dengan wadah logam, dan wadah kayu dapat mengisolasi panas dalam wadah. Ketersediaan oksigen merupakan faktor penting dalam pengangkutan ikan, (Huet, 1971) menyatakan bahwa oksigen yang berada dalam media pengangkutan akan berdifusi secara perlahan-lahan ke dalam air selama pengangkutan, sehingga menjamin oksigen yang baik. Boyd (1982) dan Piper et al (1982) menyatakan bahwa konsumsi oksigen bervariasi menurut spesies, ukuran, aktivitas ikan dan jumlah air. Suhu dingin akan mempengaruhi kerja sel saraf (neuron) dan berfungsi sebagai penerima impuls sehingga rangsangan dari luar tidak diteruskan oleh neutrit. sehingga, ikan atau organisme tersebut akan diam walaupun sebenarnya masih hidup. Oleh karena itu, hasil aktivitas metabolismenya akan rendah (Junianto, 2003 dalam Drisatya, 2006) Konsumsi ikan terhadap oksigen menjadi sedikit pada kondisi air yang bersuhu rendah. Hal ini disebabkan oksigen dalam darah ikan tersebut cenderung berkaitan dengan hemoglobin dan membentuk senyawa oksihemoglobin. Penurunan konsumsi ini mengakibatkan jumlah oksigen yang terikat dalam darah semakin rendah. Keadaan ini mengakibatkan suplai oksigen ke jaringan sarap berkurang sehingga menyebabkan berkurangnya aktivitas fisiologis sehingga organisme tersebut menjadi lebih tenang. Kekurangan oksigen lebih lanjut berlangsung terus menerus akan menyebabkan otot menjadi lemas dan mengendor (Junianto, 2003 dalam Drisatya, 2006). Kelangsungan hidup adalah peluang hidup suatu individu dalam waktu tertentu, yang ditentukan oleh kualitas air meliputi suhu, kadar amoniak, nitrit, oksigen yang terlarut, dan tingkat keasaman (pH) perairan serta perbandingan antara jumlah ikan yang diangkut dan lamanya pengangkutan. Peningkatan suhu berpengaruh terhadap viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Peningkatan suhu menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O 2, CO2, NO2 dan NH4 (Haslam 1995 dalam Effendi 2003). Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, yang selanjutnya dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Konsentrasi oksigen terlarut merupakan salah satu parameter kualitas air yang penting dalam pengangkutan ikan hidup. Kekurangan oksigen biasanya merupakan penyebab utama kematian ikan secara mendadak dan dalam jumlah yang besar. Mempertahankan kondisi oksigen terlarut dalam kisaran normal akan membantu mempertahankan kondisi ikan selama pengangkutan. Kondisi oksigen 4 yang terlalu rendah akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap kesehatan ikan, diantaranya anoreksia, stres pernapasan, hipoksia jaringan, ketidaksadaran, bahkan kematian (Wedemeyer, 1996). Oksigen terlarut dalam media pengangkutan harus lebih besar dari 7 mg/l dan lebih kecil dari tingkat jenuh, sebab kebutuhan oksigen akan meningkat pada saat kadar CO2 tinggi dan stres penanganan sehingga untuk persiapan disediakan dua kali kebutuhan normal (Pipier, 1986). Kadar oksigen terlarut akan mengalami penurunan dengan makin meningkatnya tingkat kepadatan dan lama waktu pengangkutan. Hal ini membuktikan bahwa tingkat konsumsi oksigen sangat dipengaruhi oleh faktor kepadatan, sehingga dapat disimpulkan bahwa peranan faktor kepadatan mempunyai korelasi positif terhadap tingkat pemanfaatan oksigen, artinya semakin tingggi kepadatan tingkat konsumsi oksigen akan menjadi lebih tinggi demikian sebaliknya (Slamet 2008). Derajat keasaman (pH) bagi ikan berkisar antara 6,5 - 8,5, agar ikan dapat diangkut lebih lama, sebaiknya konsentrasi pH dipertahankan, biasanya dalam sistem pengangkutan media diberi serbuk buffer (Natrium Posfat, Na2PO4) dengan dosis 1,8 g/l air (Daelani 2001), Royce menyatakan bahwa derajat keasaman mempengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimia dalam air dan biokimia dalam tubuh ikan. Derajat keasaman (pH) air dipengaruhi oleh suhu, dimana hubungannya berbanding terbalik artinya dengan meningkatnya suhu maka nilai pH akan semakin menurun. Kadar CO 2 juga dapat memepengaruhi pH. Pada saat kandungan CO2 tinggi pH air akan rendah, demikian sebaliknya jika CO2 rendah maka pH air akan tinggi (Boyd 1990). Hal tersebut ditunjukkan pada persamaan reaksi sebagai berikut : CO2 + H2O H2CO3 + H2CO3 H + H2CO3 + Pada persamaan reaksi kesetimbangan di atas terbentuk ion H yang menyebabkan terjadinya penurunan pH. Derajat keasaman dapat mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Amonium bersifat tidak toksik (innocuous). Namun, pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan amonia yang tak terionisasi (unionized) dan bersifat toksik. Amonia tak terionisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan dengan amonium (Tebbut 1992 dalam Effendi 2003). Karbondioksida (CO2) merupakan produk ekresi yang sangat signifikan mempengaruhi kesehatan dan kondisi ikan saat pengangkutan. Karbondioksida bebas menggambarkan keberadaan gas CO 2 di perairan yang membentuk kesetimbangan dengan CO 2 di atmosfeer. Nilai CO2 yang terukur biasanya berupa CO2 bebas (Effendi 2003). Konsentrasi CO2 dalam air yang terlalu besar dapat menyebabkan keracunan bagi ikan (Jhingran dan Pullin, 1985), akan tetapi kadar CO2 lebih dapat ditolelir oleh ikan dibandingkan dengan amonia, bahkan banyak ikan yang dapat hidup pada air yang mengandung CO 2 lebih besar dari 60 mh/l (Boyd 1990). Kadar CO2 sebesar 50-100 mg/L dapat menyebabkan kematian ikan dalam waktu lama. Sisa hasil metabolisme yang dihasilkan dari tubuh ikan dapat menyebabkan kematian bagi ikan. Sisa metabolisme tersebut adalah amonia yang diekresikan ikan secara langsung melalui proses ekresi dan osmoregulasi. + Sisa hasil metabolisme di dalam air, terbagi menjadi dua bentuk, yaitu amonium (NH 4 ) dan amonia yang tidak terionisasi (NH3 ). NH3 adalah bentuk amonia yang lebih beracun dibandingkan dengan + NH4 bagi organisme perairan. Amonia yang tidak terionisasi (NH 3 ) sangat berbahaya bagi ikan, + namun NH4 relatif lebih aman. Keberadaan NH3 bergantung pada suhu dan pH (Boyd 1990). BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan betutu berukuran antara 80-260 gram/ekor diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di Waduk Cirata, wadah pengangkutan menggunakan kotak sterofoam berukuran 75 cm x 40 cm x 35 cm dan 40 cm x 30 cm x 20 cm, sterofoam dilubangi agar ada sirkulasi udara dari luar wadah, air bersih untuk mempertahankan kelembaban udara pada media pengangkutan, kain lap bersih sebagai sekat antara ikan betutu dan untuk mempertahankan kelembaban betutu dan udara, bak fiber glas berukuran 500 liter yang digunakan untuk tempat aklimatisasi sebelum ikan dimasukkan ke dalam kolam pembudidayaan. 5 Metode Metode pengangkutan yang digunakan adalah metode pengangkutan ikan hidup sistem kering dengan kemasan semi terbuka, penentuan keberhasilan pengangkutan adalah tingkat kelangsungan hidup, lama siuman, kerusakan sisik dan jumlah betutu yang terangkut, data dianalisis secara deskriptif. Untuk menentukan tingkat kelangsungan hidup digunakan rumus Effendi (1997), dengan persamaan : 𝑆𝑅 = 𝑁𝑡 𝑥 100% 𝑁𝑜 Keterangan : SR = Kelangsungan hidup (%) Nt = Jumlah ikan hidup pada akhir pengangkutan (ekor) N0 = Jumlah ikan hidup pada awal pengangkutan (ekor) (Effendie (1997) Hasil dan Pembahasan Pengangkutan ikan betutu menggunakan sistem kering dengan kemasan semi terbuka, dari Waduk Cirata sampai ke Kolam Percobaan ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran di Jatinangor, dengan jarak tempuh sekitar 90 km. Tahap yang dilakukan adalah menyiapkan alat yang akan digunakan pada saat pengangkutan yaitu wadah sterofoam berukuran 75 cm x 40 cm x 35 cm dan 40 cm x 30 cm x 20 cm, air bersih, kain lap bersih dan lakban. Cara pengemasan, wadah sterofoam yang telah diberi lubang pada sisi atas, dasar wadah dilapisi kain lap, isi air setinggi 1,0 cm, ambil ikan serta ukur beratnya, susun ikan dengan bagian kepala/mulut menghadap sisi sterofoam sampai semua permukaan dasar wadah terisi penuh, setelah penuh baru ditutup dengan pembatas menggunakan kain lap yang telah dibasahi. Tahap berikutnya menyusun kembali seperti tersebut diatas, sampai mencapai tiga tingkatan lapisan ikan. Ukuran ikan pada lapisan bawah sebaiknya lebih besar daripada lapisan diatasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan betutu dengan penggunaan wadah dan kepadatan yang berbeda menghasilkan persentase kelangsungan hidup yang berbeda. Persentase kelangsungan hidup betutu terbesar pada wadah ukuran 75 cm x 40 cm x 35 cm adalah 95%, betutu yang diangkut sebanyak 98 ekor atau seberat 17 kg dengan waktu pengangkutan 3 jam 30 menit, pada wadah ukuran 40 cm x 30 cm x 20 cm adalah 94%, betutu yang diangkut sebanyak 17 ekor atau seberat 3 kg dengan waktu pengangkutan 4 jam (Tabel 1). Tabel 1. Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Betutu Pasca Pengangkuta Dari Waduk Cirata Menggunakan Sistem Kering pada Sterofoam yang Berbeda No. 1 2 3 4 5 6 Ukuran Sterofoam (cm) 75x40x35 75x40x35 75x40x35 40x30x20 40x30x20 40x30x20 Ukuran Ikan (g/ekor) 80-230 80-250 80-250 120-260 120-260 120-260 Total Ikan (ekor) 98 110 120 17 21 32 Total Berat (kg) 17 19 22 3 4 5,5 Kelangsungan Hidup (%) 95 70 54 94 76 46 Susunan Ikan (lapis) 3 4 4 2 2 3 Lama Pengangkutan (jam, menit) 3 .30’ 3 .30’ 3 .30’ 4 .0’ 4 .0’ 4 .0’ Tingginya tingkat kelangsungan hidup betutu pada proses pengangkutan sistem kering dengan pengemasan semi terbuka menggunakan wadah sterofoam disebabkan dua faktor yaitu faktor 6 internal dari ikan tersebut yang memiliki empat pasang insang dan alat bantu pernapsan berupa gelembung udara sehingga ikan tersebut mampu beradaptasi pada kadar oksigen rendah (Gambar 5) dan faktor ekternal yaitu wadah strerofoam yang mempunyai kemampuan dapat mempertahankan suhu sehingga suhu dalam wadah stabil. Dengan stabilnya suhu pada kemasan maka konsumsi oksigen menjadi stabil. Ketersediaan oksigen selama pengangkutan berasal dari udara yang masuk melalui lubang sirkulasi pada tutup dan dinding atas sterofoam. Nemato dalam Ardyanti (2007), menyatakan sifat alami alat pengangkut berupa wadah kayu dapat menyebabkan peningkatan suhu air lebih lambat dibandingkan dengan wadah logam, dan wadah kayu dapat mengisolasi panas dalam wadah. Gambar 3. Alat Pernapasan Ikan Betutu 4 pasang insang dan gelembung udara (Sumber : Dokumentasi Pribadi) Hasil pengukuran terhadap dua contoh air yang digunakan untuk mengatur kelembaban udara pada o wadah sterofoam ukuran 75 cm x 40 cm x 35 cm, suhu 24 C, oksigen terlarut 2 mg/l dan pH 7,4; pada o wadah sterofoam ukuran 40 cm x 30 cm x 20 cm, suhu 24 C, oksigen terlarut 2,8 mg/l dan pH 7,1. Kadar oksigen dalam contoh air yang rendah mengakibatkan konsumsi oksigen oleh betutu rendah, hal ini dapat menyebabkan oksigen yang terikat dalam darah berkurang sehingga asupan oksigen ke jaringan sarap berkurang yang berdampak pada aktifvitas fisiologis berkurang sehingga ikan betutu menjadi tenang. Suhu dan pH air layak untuk ikan betutu. KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : Pengangkutan ikan betutu dengan sistem kering pada wadah sterofoam berukuran 75 cm x 40 cm x 35 cm dapat mengangkut betutu ukuran 80-220 g sebanyak 17 kg atau sebanyak 98 ekor, lama pengangkutan 3 jam 30 menit, dan pada sterofoam berukuran 40 cm x 30 cm x 20 cm dapat mengangkut betutu ukuran 120-230 g sebanyak 3 kg atau sebanyak 17 ekor, selama 4 jam. Saran Pengangkutan betutu menggunakan sistem kering pada wadah sterofoam berukuran 75 cm x 40 cm x 35 cm sebaiknya tidak lebih dari 17 kg dan lama pengangkutan 3 jam 30 menit, dan pada sterofoam berukuran 40 cm x 30 cm x 20 cm tidak lebih dari 3 kg lama pengangkutan 4 jam. Ucapan Terima Kasih Pada kesempatan ini kami menghaturkan terima kasih kepada Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Padjadjaran yang telah memberikan kepercayaan dalam melakukan penelitian skema Unggulan Perguruan Tinggi, dengan judul Domestikasi Ikan Betutu (Oxyeleotris marmorata) Melalui Sistem Pengelolaan Budidaya Terkontrol. 7 DAFTAR PUSTAKA Amri. K. Dan Sihombing T. 2006. Mengenal dan Mengendalikan Predator Benih Ikan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 79 hal. Aksar, 2010. Penanganan dan Transportasi Ikan Air Tawar. Boyd, C. E. 1982. Water Quality Managemen for Pond Fish Culture. Elsevier Sci. Pulb. Co. Amsterdam. Boyd, C. E. 1990. Water Quality in Pond Aquaculture. Birmigham Publishing Co. Alabama. Drisatya, A. 2006. Pengaruh Tingkat Kepadatan Terhadap Kelangsungan Hidup Benih Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) Selama Transportasi Sistem Basah. Skripsi. Jurusan Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, UNPAD. Hlm 15,38 (Tidak Dipublikasikan). Duo, S. Sekai Tsukomoto, 2000. Canibalism in Jjavanese Flounder Juvenils Paralichthys olivaceus, Reared Under/Controlled Condition. Journal of Aqauculture 182: 149-159. Effendie, I. M. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hlm. Gautama A, S. 2005. Pengaruh Penambahan Zeolit pada Pra Pengangkutan Ikan Mas (Cyprinus carpio) Sistem Tertutup Selama 24 jam. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor. 31 hal. (Tidak dipublikasikan). Huet, M. 1971. Text Book of Fish Culture: Breading and Cultivation of Fish. Second Edition. Fishing News Books. London. 408-414. Marhamah, E.N. 2010. Pengaruh Salinitas Terhadap Tingkat Kanibalisme Larva Ikan Patin (Pangasiodon hypopthalmus). Jurnal Perikanan dan Ilmu Kelautan Program Studi Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, Nemoto, C.M. 1957. Experiments with Methods for Asia Transport of Live Fish. Proggesive Fish Culturist 19 (4): 147-157. Piper, G. R. Ivan, B. Mc Elwin, and Leo. 1982. Fish Hatchery Management. United State Departemen of the Interior, Fish and Wildlife Service, Washington D.C. Wedemeyer, 1996. Growth and Ecology of Fish Population. Academic Press. London. 8 9