4 4.1 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel Ikan Tuna Mata Besar Pada dasarnya ikan tuna genus Thunnus dapat dibagi dalam kelompok besar berdasarkan penyebarannya secara geografis, yaitu kelompok yang hidup di perairan dingin atau beriklim sedang (temperate species) seperti ikan tuna sirip biru utara (Thunnus thynnus), ikan tuna sirip biru selatan (T. maccoyii) dan albakora (T. alalunga), dan kelompok yang hidup di perairan tropis (tropical species) seperti ikan tuna sirip kuning atau madidihang (T. albacares). Ikan tuna mata besar (T. obesus) mempunyai sifat kedua kelompok tersebut, karena ikan tuna mata besar dapat hidup di daerah yang sangat luas mulai dari daerah tropis hingga daerah beriklim sedang (Suzuki 1988, diacu dalam Sumadhiharga 2001). Posisi geografis pengambilan sampel sirip ikan tuna mata besar yang juga merupakan daerah penangkapan ikan tuna mata besar secara tepat disajikan pada Gambar 4 dan Tabel 9. Lokasi daerah penangkapan kapal tuna longline yang diamati berada di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa Timur, Bali hingga ke Nusa Tenggara. Sebagian besar lokasi penangkapan di sebelah selatan lintang 13o LS, dimana wilayah ini merupakan perairan laut bebas karena sudah di luar ZEE Indonesia. Tabel 9 Posisi dan ukuran panjang kelompok sampel ikan tuna mata besar Kelompok sampel 1 2 3 4 5 Posisi geografis pengambilan sampel 113o13'-114o12' BT 14o23'-16o07' LS 110o15'-112o59' BT 13o59'-15o13' LS o o 113 21'-118 35' BT 11o49'-13o48' LS 115o26'-116o25' BT 13o03'-14o25' LS o o 113 26'-116 58' BT 09o11'-12o32' LS Ukuran ikan (cm) 61-139 86-155 73-156 65-145 102-178 Jika dilihat dari posisi geografis penangkapannya, ikan tuna mata besar yang dijadikan sampel diduga masih dalam satu populasi. Pada Gambar 4 terlihat bahwa lokasi penangkapan antara kelompok sampel 1 hingga kelompok sampel 5 tidak terlalu jauh. Menurut Bremer et al. (1998) hanya ada 2 (dua) populasi ikan tuna mata besar di dunia, yaitu populasi ikan tuna mata besar dari Samudera 26 Atlantik dan populasi dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitiannya yang mengindikasikan bahwa sampel ikan tuna mata besar dari Samudera Atlantik secara genetik berbeda dari sampel ikan tuna mata besar dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selain itu, hasil penelitian genetik ikan tuna mata besar yang diambil dari 5 (lima) lokasi pengambilan sampel di perairan Samudera Hindia (Indonesia, Madagaskar, Seychelles, barat Samudera Hindia dan bagian barat Australia) yang dilakukan oleh Appleyard et al (2002) mengindikasikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang sangat nyata antara sampel ikan tuna mata besar yang dikumpulkan dari sebelah timur dan barat Samudera Hindia. Hal ini diperkuat oleh penelitian Chiang et al. (2008) yang mengambil sampel dari 4 lokasi di perairan Samudera Hindia (Kepulauan Cocos, Seychelles, sebelah tenggara dan baratdaya Samudera Hindia) yang menyatakan bahwa ikan tuna mata besar dari Samudera Hindia merupakan satu populasi. Ukuran ikan tuna mata besar yang diambil siripnya untuk dianalisis genetiknya berkisar 60-180 cm (FL) dengan modus 100-110 cm (Gambar 6). Sebagian besar (>90%) ikan tuna mata besar tersebut telah matang gonad. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nootmorn (2004) yang memperkirakan ukuran pertama kali matang gonad (size at fist maturity) ikan tuna mata besar di Samudera Hindia yaitu 88,08 cm untuk betina dan 86,85 cm untuk jantan. 120 110 100 90 Jumlah (ekor) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 60-69 70-79 80-89 90-99 100-109 110-119 120-129 130-139 140-149 150-159 160-169 170-179 FL (cm) Gambar 6 Sebaran ukuran panjang ikan sampel tuna mata besar. 27 4.2 Keragaman Genetik Ikan Tuna Mata Besar 4.2.1 Amplifikasi dan Pemotongan dengan Enzim Restriksi Hasil amplifikasi D-Loop mtDNA pada ikan tuna mata besar dengan menggunakan primer Pro-5 (CAC GAC GTT GTA AAA CGA CCT ACC YCY AAC TCC CAA AGC), dan primer 12SAR (GGA TAA CAA TTT CAC ACA GGG CAT AGT GGG GTA TCT AAT CC) menghasilkan fragmen DNA berukuran sekitar 1.500 bp (base pairs) pada semua sampel ikan tuna mata besar (Gambar 7). 1.500 bp 1.000 bp 500 bp 100 bp Gambar 7 Fragmen tunggal mtDNA hasil amplifikasi PCR ikan tuna mata besar. Dengan menggunakan primer ini terlihat hanya ada satu pita DNA pada gel agaros dengan perkiraan ukuran 1.500 bp. Hal ini mengindikasikan bahwa primer yang digunakan merupakan primer spesifik untuk ikan tuna mata besar. Keragaman jumlah situs dan ukuran fragmen restriksi (RFLP) yang diperoleh dari hasil restriksi mtDNA dengan empat enzim adalah 18 tipe restriksi yaitu Taq I dan Hin6 I dengan empat tipe restriksi A, B, C dan D (Gambar 8 dan 9), Afa I dan Mbo I dengan lima tipe restriksi A, B, C, D dan E (Gambar 10 dan 11). Berdasarkan tipe restriksi mtDNA tersebut, enzim Afa I dan Mbo I dengan lima tipe restriksi merupakan enzim yang paling sensitif mendeteksi perbedaan panjang fragmen terpotong dibandingkan enzim Taq I dan Hin6 I. Penggunaan empat enzim restriksi dalam penelitian ini guna mengukur keragaman genetik suatu populasi telah menunjukkan suatu variabilitas yang tinggi, walaupun idealnya lebih banyak enzim lebih baik. Rekapitulasi identifikasi 28 tipe restriksi mtDNA teramplifikasi hasil digesti dengan empat enzim (Taq I, Afa I, Mbo I dan Hin6 I) disajikan pada Tabel 10. Gambar 8 Tipe restriksi dengan enzim Taq I: A B C D. Gambar 9 Tipe restriksi dengan enzim Hin6 I: A B C D. Gambar 10 Tipe restriksi dengan enzim Afa I: A B C D E. 29 Gambar 11 Tipe restriksi dengan enzim Mbo I: A B C D E. Tabel 10 Distribusi tipe restriksi pada lima kelompok sampel ikan tuna mata besar Enzim Taq I Afa I Mbo I Hin6 I Tipe restriksi A B C D A B C D E A B C D E A B C D Kelompok sampel 1 (sirip ekor) Kelompok sampel 2 (sirip ekor) Kelompok sampel 3 (sirip ekor) Kelompok sampel 4 (sirip ekor) Kelompok sampel 5 (sirip ekor) 9 40 1 4 45 1 44 2 4 13 37 - 4 35 4 35 33 6 19 18 - 19 18 3 34 29 2 5 1 5 31 1 - 12 18 1 2 1 31 1 27 5 1 8 24 1 - 31 1 29 1 28 3 4 24 3 - Enzim Taq I menghasilkan tipe restriksi A monomorfik pada kelompok sampel 5, tiga tipe restriksi (A, B, C) pada kelompok sampel 1 dan empat tipe restriksi (A, B, C, D) pada kelompok sampel 4. Tipe A dan B ditemukan pada kelompok sampel 2 dan 3, dimana pada kelompok sampel 2 tipe B lebih dominan, sedangkan pada kelompok sampel 3 tipe A dan B hampir sama. Enzim Afa I menghasilkan dua tipe restriksi yang sama pada kelompok sampel 2 dan 3, dan tiga tipe restriksi pada kelompok sampel 1, 4 dan 5, namun 30 berbeda situs restriksi. Tipe B dominan ditemukan pada semua kelompok sampel. Tipe C hanya ditemukan di kelompok sampel 1, tipe D di kelompok sampel 4 dan tipe E di kelompok sampel 5. Enzim Mbo I menghasilkan 2 hingga 4 tipe restriksi, dimana tipe A dominan di semua kelompok sampel. Dua tipe restriksi yang sama yaitu tipe A dan C ditemukan pada kelompok sampel 2 dan 5, tiga tipe restriksi pada kelompok sampel 1 dan 4, namun berbeda situs restriksi, dan empat tipe restriksi hanya pada kelompok sampel 3. Enzim Hin6 I menghasilkan dua tipe restriksi yang sama pada kelompok sampel 1 dan 2, dan tiga tipe restriksi yang sama pada kelompok sampel 3, 4 dan 5. Tipe B dominan hampir ditemukan pada semua kelompok sampel, kecuali pada kelompok sampel 2. Hasil pemotongan yang menunjukkan ukuran panjang fragmen berbeda akan memberikan tipe pemotongan (haplotipe) yang berbeda pula. Tipe pemotongan yang berbeda pada setiap individu dalam suatu populasi maupun antara populasi dapat disebabkan oleh terjadinya pergantian, penambahan atau hilangnya basa tertentu pada urutan pasangan basa D-Loop mtDNA-nya sehingga enzim tertentu tidak memotong pada situs yang sama. Hal ini mengakibatkan terjadinya pergeseran situs pemotongan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan urutan pasangan basa pada individu yang mempunyai tipe pemotongan basa yang berbeda. Hal ini mengindikasikan adanya keragaman genetik di dalam populasi dan antara populasi. 4.2.2 Keragaman Haplotipe (Haplotype Diversity) Hasil pemotongan produk PCR dengan menggunakan empat enzim restriksi menghasilkan 23 komposit haplotipe mtDNA D-Loop region. Tipe komposit haplotipe yang diperoleh tersaji pada Tabel 11. Setiap enzim memiliki tipe restriksi (tipe pemotongan) yang berbeda. Analisis komposit haplotipe menghasilkan 23 komposit haplotipe pada seluruh kelompok sampel. Jumlah terendah yang diamati adalah pada kelompok sampel 5 (7 komposit haplotipe), sedangkan jumlah tertinggi terdapat pada kelompok sampel 1 (12 komposit haplotipe). Nilai keragaman haplotipe bervariasi 31 antara 0,5578 (kelompok sampel 5) hingga 0,8136 (kelompok sampel 4) (Tabel 11 dan Lampiran 1). Tabel 11 Distribusi frekuensi menurut tipe komposit haplotipe pada lima kelompok sampel ikan tuna mata besar Frekuensi haplotipe (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Tipe komposit haplotipe AAAA BBAB ABAB BAAB BBAA BABA BBCA BBCB ABCB BBBA CBAA BCAA BAAA ABAA BBAC ABAD BADA CBEB BDAA DBAA DBAB BAAC BEAB Jumlah sampel (sirip ekor) Jumlah tipe komposit haplotipe Keragaman haplotipe Total Kelompok sampel 1 Kelompok sampel 2 Kelompok sampel 3 Kelompok sampel 4 Kelompok sampel 5 1 86 33 4 14 1 3 16 4 3 1 1 5 5 5 1 1 1 1 1 1 1 1 0,02 0,50 0,14 0,04 0,14 0,02 0,02 0,04 0,02 0,02 0,02 0,02 - 0,54 0,05 0,03 0,08 0,15 0,08 0,03 0,03 0,03 - 0,27 0,43 0,05 0,08 0,05 0,05 0,03 0,03 - 0,30 0,24 0,03 0,03 0,12 0,12 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 - 0,65 0,03 0,10 0,03 0,06 0,10 0,03 190 50 39 37 33 31 12 9 8 11 7 0,7048 0,6693 0,7232 0,8136 0,5578 Komposit haplotipe BBAB tertinggi ditemukan pada kelompok sampel 5 (65%), selanjutnya berurutan adalah kelompok sampel 2 (54%), kelompok sampel 1 (50%) dan kelompok sampel 4 (30%), dan komposit haplotipe ABAB (43%) pada kelompok sampel 3. Komposit haplotipe BBAB dan BBCB terdistribusi pada semua kelompok sampel, sedangkan ABAB terdistribusi pada empat 32 kelompok sampel yaitu kelompok sampel 1, 2, 3 dan 4. Komposit haplotipe BBAB dan BBCB merupakan haplotipe utama (major composite haplotypes) karena keduanya terdapat pada lima kelompok sampel, sedangkan ABAB merupakan haplotipe umum (common haplotype) karena terdapat pada empat kelompok sampel dari lima kelompok sampel. Selain komposite haplotipe utama dan umum, kelima kelompok sampel juga dicirikan dengan komposit haplotipe unik (unique composite haplotypes), yaitu komposit haplotipe yang terdapat pada satu kelompok sampel tetapi tidak terdapat pada kelompok sampel yang lainnya. Komposit haplotipe AAAA, BABA, CBAA, BCAA, ABAD, BADA, CBEB, BDAA, DBAA, DBAB, BAAC dan BEAB adalah komposit haplotipe unik yang masing-masing hanya terdapat pada satu kelompok sampel yang berbeda. Komposit haplotipe AAAA, BABA, CBAA dan BCAA hanya ditemukan pada kelompok sampel 1, ABAD hanya ditemukan pada kelompok sampel 2, BADA hanya ditemukan pada kelompok sampel 3, CBEB, BDAA, DBAA, DBAB dan BAAC hanya ditemukan pada kelompok sampel 4 dan BEAB pada kelompok sampel 5. Berdasarkan tipe haplotipe BBAB dan BBCB, yang ditemukan pada semua kelompok sampel, menunjukkan kedekatan secara geografis. Dengan demikian dapat diduga secara genetik kelima kelompok sampel tersebut memiliki asal stok yang sama. Nilai keragaman haplotipe yang diperoleh berkisar dari 0,5578 pada kelompok sampel 5 hingga 0,8136 pada kelompok sampel 4 (Tabel 10). Nilai keragaman haplotipe, secara umum sangat tergantung pada ukuran sampel (Nei 1981; Tabata dan Mizuta 1997, diacu dalam Rina 2001). Tingkat keragaman genetik, yang ditunjukkan dengan jumlah maupun keragaman haplotipe, pada ikan tuna mata besar yang diamati setara dengan jumlah haplotipe ikan laut lainnya yang berjumlah antara 6-17 dengan nilai keragaman 0,600-0,900 (Nugroho, 2001). Hasil penelitian keragaman genetik ikan tuna mata besar yang dilakukan oleh Bremer et al. (1998) di perairan Samudera Atlantik, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik menunjukkan bahwa ikan tuna mata besar dari tiga perairan tersebut memiliki 13 komposit haplotipe, dimana pada Samudera Hindia memiliki 5 komposit haplotipe. Begitu pula halnya dengan 33 komposit haplotipe ikan tuna sirip kuning hasil penelitian Permana et al. (2007) dari perairan Bali, Sulawesi Utara dan Maluku Utara memiliki 15 komposit haplotipe. Nilai keragaman genetik (haplotipe) rata-rata adalah 0,6937. Nilai ini lebih rendah dibandingkan nilai keragaman rata-rata ikan tuna sirip kuning yaitu 0,857 (Permana et al. 2007), namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis ikan laut perenang cepat lainnya seperti ikan hiu (0,64) (Heist 1999, diacu dalam Permana et al. 2007). Graves dan McDowell (1994) diacu dalam Tabata et al. (1997) menjelaskan bahwa keragaman haplotipe keseluruhan mtDNA ikan striped marlin adalah 0,82 dan Avise et al. (1989) diacu dalam Tabata et al. (1997) menyatakan bahwa keragaman haplotipe keseluruhan mtDNA untuk beberapa ikan berada dalam kisaran 0,473-0,998. Relatif tingginya keragaman haplotipe pada ikan tuna mata besar ini memberikan indikasi bahwa keadaan populasinya belum banyak terganggu khususnya kelompok sampel 4 dan 3. Selain itu, keadaan ini juga menunjukkan bahwa ikan tuna mata besar mempunyai tingkat migrasi yang lebih tinggi dibandingkan ikan air laut lainnya sehingga peluang untuk adanya persilangan dengan populasi yang lainnya semakin besar pula (Wild 1994, diacu dalam Permana et al. 2007). Keragaman haplotipe terkecil, yaitu 0,5578 terdapat pada ikan tuna mata besar kelompok sampel 5 dan yang tertinggi, yaitu 0,8136 pada kelompok sampel 4. Fenomena ini mengindikasikan bahwa ikan tuna mata besar dari kelompok sampel 5 mempunyai keragaman genetik yang rendah dan memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan empat kelompok sampel lainnya. Leary et al. (1985) diacu dalam Ayu (2005), menyatakan bahwa rendahnya keragaman genetik akan mengakibatkan munculnya sifat-sifat negatif, antara lain menurunnya pertumbuhan, keragaman ukuran, kestabilan perkembangan organ, tingkat kelangsungan hidup, serta adaptasi terhadap perubahan lingkungannya. 4.2.3 Jarak Genetik Berdasarkan uji perbandingan nilai Fst antar kelompok sampel dengan menggunakan program TFPGA tercatat bahwa perbedaan terjadi antara kelompok sampel 1 dengan kelompok sampel 3 dan 4, kelompok sampel 2 dengan kelompok 34 sampel 3 dan 4, kelompok sampel 3 dengan kelompok sampel 4 dan 5 serta kelompok sampel 4 dengan kelompok sampel 5. Tidak ada perbedaan yang nyata antara kelompok sampel 1 dengan 2 dan 5 serta kelompok sampel 2 dengan kelompok sampel 5. Hasil uji keragaman antara lima kelompok sampel ikan tuna mata besar dengan metode jarak berpasangan (Fst) disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Keragaman lima kelompok sampel ikan tuna mata besar berdasarkan metode jarak berpasangan (Fst) Kelompok sampel 1 1 - 2 0,1266ns ± 0,0174 2 - 3 3 0,0000s ± 0,0000 0,0000s ± 0,0000 - 4 4 0,0065s ± 0,0024 0,0139s ± 0,0045 0,0223s ± 0,0065 - 5 5 0,1479ns ± 0,0143 0,3043ns ± 0,0151 0,0000s ± 0,0000 0,0000s ± 0,0000 - Keterangan : ns = tidak beda nyata (P>0,05) s = beda nyata (P<0,05) Jarak genetik dan dendrogram hubungan kekerabatan antar kelompok sampel (filogeni) pada lima kelompok sampel ikan tuna mata besar menurut metode UPGMA menggunakan program TFPGA disajikan pada Tabel 13, Gambar 12 dan Lampiran 2. Makin kecil nilai jarak genetik yang diperoleh, maka makin dekat pula keragaman kedua kelompok sampel tersebut, demikian juga sebaliknya. Tabel 13 Jarak genetik antara ikan tuna mata besar Kelompok sampel 1 2 3 4 5 1 - 2 0,0596 - 3 0,3545 0,5145 - 4 0,1840 0,2178 0,1615 - 5 0,0589 0,0383 0,6621 0,3261 - Jarak genetik rata-rata antara kelompok sampel ikan tuna mata besar adalah sekitar 0,2572. Ikan tuna mata besar dari kelompok sampel 1 memiliki jarak 35 genetik yang jauh dengan kelompok sampel 3, tetapi memiliki jarak genetik yang dekat dengan kelompok sampel 2 dan 5. Kelompok sampel 2 memiliki jarak genetik yang jauh dengan kelompok sampel 3, tetapi memiliki jarak genetik yang dekat dengan kelompok sampel 5. Kelompok sampel 3 memiliki jarak genetik yang jauh dengan kelompok sampel 5, tetapi memiliki jarak genetik yang dekat dengan kelompok sampel 4. Dari semua kelompok sampel, ikan tuna mata besar dari kelompok sampel 3 dan 5 memiliki jarak genetik terjauh dengan nilai 0,6621, sedangkan jarak genetik terdekat adalah antara kelompok sampel 2 dan 5 yaitu sebesar 0,0383. Nilai jarak genetik yang rendah antara kelompok sampel 1 dan 2, 1 dan 5, dan 2 dan 5 menunjukkan kedekatan kelompok sampel-kelompok sampel tersebut. Diduga ketiga kelompok sampel tersebut secara geografis tidak terbatas antara satu dengan yang lainnya. Keadaan ini menyebabkan proses migrasi dan pertukaran gen antar kelompok sampel terjadi. Koleksi ikan tuna mata besar dari kelompok sampel 2 dan 5 mempunyai jarak genetik lebih dekat dibandingkan jarak genetik antara koleksi ikan tuna mata besar dari daerah lainnya. Nilai jarak genetik pada ikan tuna mata besar ini relatif lebih setara dibandingkan jarak genetik antara ikan dari populasi yang terdiri dari sub-spesies yang sama, seperti pada king fish (Nugroho et al. 2001). 0,400 0,300 0,200 0,100 0,000 2 5 1 3 4 Gambar 12 Dendrogram hubungan kekerabatan (filogeni) lima kelompok sampel ikan tuna mata besar. 36 4.3 Struktur Populasi Dendrogram yang dibentuk berdasarkan jarak genetik menunjukkan bahwa kelompok sampel ikan tuna mata besar yang diamati dapat dibagi menjadi dua kelompok populasi (subpopulasi), yaitu kelompok pertama terdiri dari ikan tuna mata besar yang berasal dari kelompok sampel 2, 5 dan 1, sedangkan kelompok kedua yang berasal dari kelompok sampel 3 dan 4 (Gambar 13). Perbedaan nilai jarak genetik antar kelompok sampel menunjukkan hal tersebut. Nilai jarak genetik kelompok sampel 1 lebih dekat dengan kelompok sampel 2 dan 5, dibandingkan nilai jarak genetik dengan kelompok sampel 3 dan 4 (Tabel 13). Struktur populasi ikan tuna mata besar di perairan Samudera Hindia ini ditunjukkan oleh nilai-nilai Fst yang diperoleh melalui metode jarak berpasangan. Kelompok sampel 1, 2 dan 5 berbeda nyata dengan kelompok sampel 3 dan 4 (Tabel 12). Terdapatnya dua kelompok populasi (subpopulasi) ikan tuna mata besar di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara diduga karena ikan tuna mata besar yang ada di perairan tersebut berasal dari dua perairan, yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Ikan tuna mata besar yang berasal dari Samudera Pasifik diduga masuk ke perairan Samudera Hindia melalui perairan Filipina dan perairan diantara pulau-pulau Indonesia serta dari Australia (Suda 1971, diacu dalam Sumadhiharga 2001). -5° LAUT JAWA -7° JAWA LAUT FLORES BALI Latitude -9° -11° SAMUDERA HINDIA -13° -15° -17° 105° Subpopulasi 1 Subpopulasi 2 107° 109° 111° 113° 115° 117° 119° 121° 123° 125° Longitude Gambar 13 Struktur populasi ikan tuna mata besar di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara berdasarkan jarak genetik. 37 Studi struktur populasi berdasarkan analisis mtDNA pada sepesies yang sama di perairan Samudera Atlantik, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik menunjukkan bahwa populasi ikan tuna mata besar di perairan-perairan tersebut terbagi menjadi 2 populasi; yaitu populasi 1 berasal dari Samudera Atlantik, sedangkan populasi 2 berasal dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Bremer et al. 1998; Chiang et al. 2006; 2008). Data yang diperoleh dari penandaan (tagging) ikan tuna mata besar menunjukkan beberapa spesies tersebut melakukan perjalanan jauh tetapi tidak menunjukkan perjalanan lintas samudera (Nishida et al. komunikasi pribadi, diacu dalam Appleyard et al. 2002). Perjalanan lintas Samudera Atlantik ikan tuna mata besar telah dicatat oleh Pereira (1995), diacu dalam Appleyard et al. (2002), namun sejauh ini diketahui bahwa tidak ada bukti ikan-ikan tuna mata besar yang telah diberi penandaan berenang di antara Samudera Atlantik dan Samudera Hindia. 4.4 Implikasi Manajemen Perikanan Tuna Suatu populasi mempunyai keragaman genetik yang cukup tinggi maka hal ini dapat memberikan indikasi bahwa populasi tersebut di alam masih belum banyak mengalami gangguan. Sebaliknya jika keragaman genetik suatu populasi rendah, maka populasi di alam rendah pula. Analisis terhadap kelima kelompok sampel ikan tuna mata besar di Samudera Hindia menunjukkan bahwa keragaman genetik yang dimiliki relatif tinggi, namun pada kelompok sampel 5 mempunyai keragaman genetik yang rendah. Rendahnya keragaman genetik pada kelompok sampel 5 diduga karena daerah penangkapannya atau lokasi pengambilan sampelnya terletak di perairan ZEE Indonesia, dimana daerah tersebut sudah terindikasi lebih tangkap. Indikasi ini terlihat dari semakin kecilnya nilai laju tangkap (hook rate) di perairan tersebut. Menurut Wudianto et al. (2003), laju tangkap di perairan ZEE Indonesia lebih kecil dibandingkan nilai laju tangkap di luar perairan ZEE Indonesia. Nilai laju tangkap di luar perairan ZEE Indonesia antara 0,30-1,59, sedangkan di perairan ZEE Indonesia antara 0,38-0,83. Dapat dikatakan bahwa penelitian ini telah berhasil pula membuktikan bahwa keragaman genetik yang rendah pada ikan 38 tuna merupakan indikator terjadinya lebih tangkap (over exploited) pada perikanan tuna. Berdasarkan temuan tersebut di atas, manajemen perikanan tuna yang dapat dilakukan sebaiknya mencakup tujuan jangka pendek (terkait dengan penangkapan berlebih) dan tujuan jangka panjang dalam program konservasi, sehingga kelangsungan sumber daya dengan hasil tangkapan yang optimal dapat tercapai. Beberapa hal yang perlu dilakukan agar kedua tujuan tersebut dapat tercapai diantaranya adalah dengan menjadikan daerah penangkapan di perairan ZEE Indonesia sebagai daerah tertutup bagi penangkapan untuk sementara waktu tertentu agar sumber daya tuna, khususnya tuna mata besar di daerah tersebut dapat pulih kembali (renewable resources), membatasi produksi (kuota) atau jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB), membatasi upaya penangkapan dengan tidak menambah izin dan sekaligus mengurangi jumlah kapal penangkap ikan di perairan tersebut, pengawasan terhadap kapal-kapal, terutama kapal tuna longline yang melakukan Illegal, Unregulated, Unreported (IUU) fishing di perairan ZEE Indonesia, dan melakukan kerja sama dengan organisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management Organization, RFMO) khususnya perikanan tuna di Samudera Hindia yaitu Komisi Tuna Samudera Hindia (Indian Ocean Tuna Commission, IOTC) agar Indonesia dapat berperan lebih aktif dalam mengelola perikanan tuna di Samudera Hindia. Penutupan daerah penangkapan sementara waktu di perairan ZEE Indonesia ditujukan pada daerah yang diduga merupakan daerah pemijahan (spawning ground) ikan tuna mata besar. Perlu penelitian yang mendalam untuk mengetahui daerah pemijahan ikan tuna mata besar di Samudera Hindia. Penelitian itu meliputi aspek penangkapan seperti mengetahui daerah-daerah penangkapan ikan tuna mata besar di perairan Samudera Hindia dan aspek biologi seperti tingkat kematangan gonad (TKG), ukuran pertama kali matang gonad (length at first maturity) dan larva ikan tuna mata besar. Dengan diketahuinya tingkat kematangan gonad dan ukuran pertama kali matang gonad ikan tuna mata besar di suatu daerah penangkapan pada waktu tertentu, maka akan diketahui daerah dan musim pemijahan (spawning season) dari ikan tuna mata besar. Penelitian ini dapat berhasil dengan baik jika dilakukan secara berkesinambungan selama 39 beberapa tahun dan dikerjakan bersama-sama dengan negara-negara dan organisasi pengelolaan perikanan regional yang bertanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya tuna mata besar di Samudera Hindia. Jika penelitian ini berhasil, pemerintah Indonesia dan organisasi pengelolaan perikanan regional di Samudera Hindia dapat membuat keputusan atau kebijakan mengenai kapan dan daerah mana yang ditutup sementara waktu untuk penangkapan ikan tuna mata besar sehingga kelestarian sumber daya ikan tuna mata besar di perairan Samudera Hindia dapat terjaga. Pada tahun 1999 pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 995/Kpts/IK.210/9/99 tentang Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan (JTB) pada beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). JTB diperoleh sebesar 80% dari Maximum Sustainable Yield (MSY) yang ada pada setiap WPP dan ditentukan berdasarkan hasil pengkajian stok yang dilakukan oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut, LIPI. JTB untuk tuna di WPP Samudera Hindia yaitu sekitar 73.500 ton. Nilai ini diperoleh dari hasil pengkajian stok sumber daya ikan laut pada tahun 1997. Hingga saat ini belum ada surat keputusan yang baru tentang berapa JTB di WPP Indonesia berdasarkan pengkajian stok sumber daya ikan laut pada tahun 2001 (Mertha 2005). Pemerintah Indonesia harus segera menghitung ulang berapa MSY di seluruh perairan Indonesia, khususnya WPP Samudera Hindia agar JTB diketahui. Penelitian mengenai pengkajian stok ikan tuna, khususnya ikan tuna mata besar harus melibatkan negara-negara yang dilalui oleh migrasi ikan tuna tersebut. Selain itu, Indonesia juga harus bekerja sama dengan organisasi pengelolaan perikanan regional yang bertanggung jawab akan kelestarian sumber daya ikan tuna mata besar di Samudera Hindia yaitu IOTC. IOTC sebagai organisasi pengelolaan perikanan regional di Samudera Hindia berencana akan menetapkan kuota penangkapan ikan tuna mata besar bagi setiap negara. Besarnya kuota penangkapan yang akan ditetapkan untuk setiap negara hingga saat ini belum diketahui. IOTC masih mengkaji berapa kuota penangkapan untuk setiap negara. Jika nanti ada suatu negara yang melanggar atau melebihi kuota yang telah ditentukan oleh IOTC, maka negara tersebut akan terkena sanksi. 40 Jumlah kapal tuna longline di Indonesia terus mengalami kenaikan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2005) mencatat bahwa ada sekitar 6.547 unit kapal tuna longline di Indonesia pada tahun 2003. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan pada tahun 2002 yang hanya berjumlah 2.264 unit. Untuk membatasi dan mengurangi jumlah kapal-kapal tersebut peran pemerintah pusat dan daerah sangat penting. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai instansi yang menangani langsung masalah perikanan dan kelautan di Indonesia harus berperan lebih aktif untuk mengontrol dan mengawasi jumlah kapal tuna longline yang ada di Indonesia. DKP dapat membatasi jumlah kapal tuna longline yang beroperasi di perairan Indonesia, terutama kapal-kapal yang berukuran >30 GT karena izin kapal-kapal tersebut dibuat oleh DKP. Selain itu juga DKP dapat menentukan jumlah kapal tuna longline yang dapat beroperasi di suatu perairan di Indonesia berdasarkan kuota atau JTB yang dikeluarkan oleh pemerintah. Untuk pemerintah daerah juga diharapkan dapat mengontrol dan mengawasi jumlah kapal tuna longline yang berukuran <30 GT karena izin kapal-kapal tersebut dibuat oleh pemerintah daerah, khususnya Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi. Pemerintah pusat dan daerah harus bekerjasama dalam hal penentuan jumlah kapal tuna longline yang dapat beroperasi di suatu perairan di Indonesia, terutama di Samudera Hindia. Sangat terbukanya perairan Indonesia terhadap dunia luar, menyebabkan mudahnya kapal-kapal tuna longline asing melakukan kegiatan IUU fishing di perairan Indonesia, terutama di Samudera Hindia. Kegiatan IUU fishing tidak hanya dilakukan oleh kapal-kapal tuna longline asing, tetapi juga oleh kapal-kapal tuna longline Indonesia. Lemahnya kontrol dan pengawasan di lapangan, memungkinkan terjadinya kegiatan IUU fishing. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya armada-armada atau kapal-kapal pengawas yang mengawasi perairan Samudera Hindia. DKP dengan dibantu oleh TNI AL, diharapkan dapat menangkap pelaku-pelaku yang melakukan kegiatan IUU fishing di perairan Samudera Hindia. Indonesia harus membuat daftar kapal-kapal tuna longline yang melakukan kegiatan IUU fishing di perairan Indonesia, baik itu kapal-kapal tuna longline asing maupun kapal-kapal tuna longline Indonesia dan daftar tersebut kemudian dilaporkan kepada IOTC yang kemudian oleh IOTC akan disebarkan 41 kepada negara-negara anggota IOTC sehingga negara-negara anggota IOTC mengetahui kapal-kapal mana saja yang melakukan kegiatan IUU fishing dan segera melakukan tindakan terhadap kapal-kapal tersebut. Agar Indonesia dapat berperan aktif dalam pemanfaatan dan pengelolaan perikanan tuna, Indonesia mau tidak mau harus menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional Samudera Hindia, yaitu IOTC. Hal ini sudah diwujudkan dan secara resmi Indonesia telah menjadi anggota IOTC yang ke 27 sejak tanggal 20 Juni 2007 (Anonim 2009b). Dengan bergabungnya Indonesia ke dalam organisasi ini, diharapkan Indonesia dapat memanfaatkan sumber daya tuna di perairan Samudera Hindia dengan bertanggung jawab sehingga kelestarian sumber daya ikan tuna tetap terjaga, membantu Indonesia dalam menanggulangi IUU fishing, membuka kesempatan bekerja sama dengan negara-negara anggota IOTC, terhindar dari embargo ekspor tuna, ikut serta mengatur pengelolaan sumber daya ikan tuna di Samudera Hindia, turut menentukan kuota hasil tangkapan maupun kuota ekspor ikan tuna, dan sebagai alat kerja sama penelitian perikanan tuna di perairan Samudera Hindia.