FAKTOR DETERMINAN KEJADIAN TB PARU PADA ANAK DI

advertisement
FAKTOR DETERMINAN KEJADIAN TB PARU PADA ANAK
DI KABUPATEN PURWOREJO PROVINSI JAWA TENGAH
2009
Achmad Setya Roswendi
A.
PENDAHULUAN
Kabupaten Purworejo merupakan salah satu dari 35 Kabupaten/kota di Jawa Tengah. Data kasus
TB tahun 2006 berjumlah 255 orang, tahun 2007 berjumlah 310 orang dan tahun 2008 berjumlah 567 orang
(501 kasus terdaftar di puskesmas dan 66 kasus terdaftar di RS) dan 112 diantaranya adalah kasus TB
paru pada anak. Adanya peningkatan jumlah kasus TB ini dimungkinkan karena keberhasilan program
pencarian penderita secara aktif ke desa-desa dengan fokus kasus tuberkulosis (TB), baik secara kuantitas
maupun secara kualitas. Cakupan imunisasi BCG di Kabupaten Purworejo tahun 2008 mencapai 115%,
pencapaian cakupan imunisasi tertinggi di Kecamatan Banyuurip Puskesmas Seborokrapyak sebesar
266.7%, sedangkan cakupan imunisasi BCG yang terkecil di Kecamatan Kutoarjo Puskesmas Kutoarjo
sebesar 63.8% .1
Masih tingginya kasus TB pada anak di Kabupaten Purworejo dapat disebabkan oleh berbagai
faktor. Sebelum menentukan faktor apa yang harus terlebih dahulu diatasi, peneliti merasa tertarik untuk
1
mengetahui
hubungan antara faktor determinan dan faktor yang paling dominan terhadap kejadian
tuberkulosis pada anak di Kabupaten Purworejo.
Dari hasil penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan informasi tentang faktor apa yang paling
dominan mempengaruhi kejadian TB paru pada anak di Kabupaten Purworejo. Informasi tersebut
selanjutnya dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo dalam
prioritas pencegahan TB paru pada anak.
B.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain penelitian case-control
yang disetarakan (matched case-control) faktor umur responden, untuk menelaah hubungan antara efek
(penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor resiko tertentu. Pendekatan dalam matched casecontrol studies ini adalah kasus diidentifikasi terlebih dahulu, baru kemudian faktor risiko dipelajari secara
retrospektif.2
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak berumur 1-18 tahun yang dinyatakan TB positif,
tinggal di Kabupaten Purworejo dan tercatat di buku register TB paru di Puskesmas wilayah Kabupaten
Purworejo pada tahun 2008. Yang termasuk kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: Anak, baik laki-laki
maupun perempuan dengan usia <18 tahun, didiagnosis TB paru positif di Puskesmas wilayah Kabupaten
Purworejo berdasarkan scoring system. Kelompok kasus adalah anak-anak yang didiagnosis TB paru
positif di Puskesmas wilayah Kabupaten Purworejo berdasarkan scoring system yang dibuat oleh Depkes
dan UKK Respirologi IDAI.3 Kelompok kontrol adalah anak yang tidak didiagnosis TB dan memiliki
karakteristik umur sama dengan kasus dan tinggal sebagai tetangga kasus di wilayah Kabupaten
Purworejo. Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah penderita TB anak yang dinyatakan oleh anggota
keluarganya sudah meninggal dunia pada saat dilaksanakan penelitian. Besar sampel dalam penelitian ini
ditetapkan 94 anak untuk kasus dan 94 anak untuk kontrol, sehingga besar total sampel berjumlah 188
anak.
C.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Responden
Untuk mengontrol faktor perancu peneliti melakukan penyetaraan secara berpasangan antara
kasus dan kontrol dalam hal umur anak. Berikut ini distribusi frekuensi faktor umur yang disetarakan
dapat dilihat pada gambar 1.
2
J
u
m
R
e
s
p
o
n
d
e
n
Karakteristik Responden
20
15
10
5
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Umur Responden (tahun)
Kasus
kontrol
Gambar 1: Grafik Distribusi Frekuensi Umur Responden
Pada gambar 1 menunjukkan bahwa anak umur 2 tahun memiliki distribusi frekuensi paling tinggi
diantara umur responden lainnya, yaitu sejumlah 16 pasang responden. Hampir semua umur sudah
terwakili oleh masing-masing pasang responden, kecuali responden umur 13 tahun dan umur 17 tahun.
Karakteristik responden menunjukkan bahwa proporsi responden yang lebih banyak pada
kelompok kasus daripada kelompok kontrol terdapat pada variabel status anak gizi kurang, riwayat anak
pernah kontak serumah dengan penderita tuberkulosis dewasa dan status ekonomi keluarga miskin.
Proporsi responden yang lebih banyak pada kelompok kontrol daripada kelompok kasus terdapat pada
variabel ventilasi rumah kurang. Variabel yang memiliki proporsi hampir sama antara kasus dan kontrol
dalam penelitian ini adalah variabel padat hunian dan tingkat pengetahuan ibu kurang tentang
tuberkulosis. Sedangkan variabel yang memiliki proporsi persis sama antara kasus dan kontrol adalah
variabel status anak tidak diimunisasi. Tingkat pendidikan ibu terbanyak dalam penelitian ini adalah
tingkat pendidikan SLTA yaitu 44,56%.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariabel untuk mengetahui hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas. Uji
statistik yang digunakan McNemar dengan tingkat kemaknaan p<0,05 dan penghitungan Odds Ratio
(OR) pada CI95%. Odds Ratio dihitung dengan mengabaikan nilai konkordan (sel a dan sel d) karena
sel a merupakan hal yang sama-sama terpapar pada kasus dan kontrol dan sel d merupakan kondisi
sama-sama tidak terpapar pada kasus dan kontrol. Nilai OR didapatkan dari pembagian nilai diskordan
antara sel b (kasus terpapar dan kontrol tidak tepapar) dengan sel c (kontrol terpapar dan kasus tidak
terpapar). Hasil analisis bivariabel diuraikan pada Tabel
Tabel 1. Analisis McNemar penyetaraan umur terhadap variabel terikat dengan variabel bebas (padat
hunian, ventilasi rumah kurang , status anak gizi kurang, riwayat anak pernah kontak TB,
status anak tidak diimunisasi dan status ekonomi keluarga miskin)
Kontrol
Kasus
E+
E--
OR
(CI 95%)
P
3
Padat
Tdk padat
64
8
10
12
1,25
(0,44 – 3,64)
0,64
Ventilasi krg
Ventilasi ckp
68
16
10
0
0,63
(0,25 – 1,46)
0,24
Gizi kurang
Gizi baik
31
11
26
26
2,36
(1,12 – 5,30)
0,01*
Pernah kontak
Tdk pernah
2
9
21
62
2,33
(1,02 – 5,79)
0,03*
Belum imunisasi
Sudah imunisasi
0
2
2
92
1
(0,07 -- 13,80)
1,00
Miskin
32
21
3,5
Tidak misikn
6
35
E+ = nama sama dengan eksposur positif pada kasus.
E-- = nama sama dengan eksposur negatif pada kasus.
(1,34 – 10,60)
0,04*
Pada Tabel 1 analisis pencocokan antara kejadian tuberkulosis anak dengan variabel padat
hunian yang menunjukkan hubungan tidak bermakna. Hasil diskordan didapatkan kasus terpapar dan
kontrol tidak terpapar memiliki nilai yang hampir sama dibandingkan dengan kontrol terpapar dan kasus
tidak terpapar yaitu nilai 10:8 dengan nilai p=0,64 dan proporsi diskordan=0,19.
Hasil penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian di Gunung Kidul menunjukkan bahwa
kepadatan hunian
tidak mempunyai hubungan dan bukan merupakan faktor risiko terjadinya
tuberkulosis pada anak, dengan nilai p=0,39 dan OR=1,32 (CI95%:0,75-2,29).5 Sedangkan hasil
penelitian di Jambia (2006) menjelaskan bahwa semakin padat hunian semakin besar terjadinya
tuberkulosis. Kamar dihuni 1 orang tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian
tuberkulosis, dengan nilai OR=1,0. Kamar dihuni 2 orang tidak memiliki hubungan yang bermakna
terhadap kejadian tuberkulosis, dengan nilai OR=1,49 (CI95%:0,45-4,09) dan kamar yang dihuni 3
orang memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian tuberkulosis, dengan nilai OR=2,31
(CI95%:1,05-5,12).6
Salah satu perbedaan kemaknaan dalam hasil penelitian ini adalah faktor lingkungan dan
kebiasaan masyarakat setempat. Satu daerah dengan daerah lainnya akan memiliki kebiasaan yang
berbeda. Berdasarkan temuan di lapangan bahwa pada umumnya anak umur kurang dari 5 tahun masih
tinggal bersama orangtuanya. Hal ini terjadi karena kebiasaan masyarakat yang masih belum berani
membiarkan anaknya untuk tidur sendiri dan juga didukung oleh luas rumah yang tidak memadai untuk
membuat kamar yang lebih banyak. Kondisi ini terjadi pada kasus dan pada kontrol. Hal ini
memungkinkan terjadinya peluang yang sama untuk terpapar tuberkulosis, baik pada kasus maupun
pada kontrol.
Analisis pencocokan antara kejadian tuberkulosis anak dengan
ventilasi rumah yang tidak
memenuhi standar menunjukkan hubungan tidak bermakna. Hasil diskordan didapatkan kontrol terpapar
4
dan kasus tidak terpapar lebih banyak dibandingkan dengan kasus terpapar dan kontrol tidak terpapar
yaitu 16:10 dan nilai p=0,24 dengan proporsi diskordan=0,28.
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Paseh-Sumedang yang menjelaskan bahwa
rumah yang tidak memiliki luas ventilasi dan pencahayaan cukup memiliki risiko 3,69 kali untuk
terjadinya tuberkulosis pada anak dibandingkan dengan rumah yang memiliki luas ventilasi dan
pencahayaan yang memenuhi syarat kesehatan.7
Peneliti berpendapat bahwa ventilasi bukan merupakan penyebab utama terjadinya kejadian
tuberkulosis pada anak di Kabupaten Purworejo. Sebuah sumber yang menyatakan bahwa sumber
penularan tuberkulosis adalah pasien TB BTA positif, dan faktor yang memungkinkan seseorang
terpapar kuman tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut.8 Hal ini dimungkinkan walaupun ventilasi tidak memenuhi syarat tetapi tidak terpapar
dengan penderita tuberkulosis. Namun walaupun demikian ventilasi rumah sangat dibutuhkan untuk
menghindari terjadinya penularan penyakit. Hasil penelitian di Batuceper Tanggerang menjelaskan
bahwa perbaikan sanitasi perumahan khususnya mengenai percahayaan dan ventilasi sangat besar
artinya untuk mengurangi penularan penyakit tuberkulosis dan infeksi saluran pernafasan.9
Salah satu perbedaan kemaknaan dalam hasil penelitian ini adalah faktor lingkungan dan
kebiasaan masyarakat setempat. Satu daerah dengan daerah lainnya akan memiliki kebiasaan yang
berbeda. Berdasarkan temuan di lapangan masih banyak masyarakat yang memiliki ventilasi tidak
memenuhi standar bahkan beberapa rumah tidak memiliki ventilasi. Tidak terpenuhinya standar ventilasi
adalah ketidak tahuan masyarakat tentang standar ventilasi yang baik untuk kesehatan terutama
pencegahan penularan tuberkulosis bahkan sebagian masyarakat berpendapat bahwa jika rumahnya
terbuat dari bambu tidak perlu adanya ventilasi tersendiri. Hal ini terjadi merata pada kelompok kasus
dan kontrol sehingga akan memberikan peluang yang sama untuk terjadinya kejadian tuberkulosis pada
anak.
Analisis pencocokan antara kejadian tuberkulosis anak dengan status anak gizi kurang
menunjukkan hubungan yang bermakna. Hasil diskordan didapatkan kasus terpapar dan kontrol tidak
terpapar lebih banyak dibandingkan dengan kontrol terpapar dan kasus tidak terpapar yaitu 26:11 dan
nilai p=0,01 dengan nilai OR=2,36 (CI95%:1,12–5,30). Hal ini dapat dinterpretasikan bahwa status anak
gizi kurang pada kelompok kasus lebih tinggi 2,36 kali dibandingkan dengan status anak gizi kurang
pada kelompok kontrol.
Penelitian di Sleman Provinsi DIY menunjukkan bahwa status gizi kurang memiliki risiko 7 kali
terhadap kejadian tuberkulosis pada anak.10 Penelitian di Kalimantan Selatan menjelaskan bahwa status
anak gizi kurang memiliki risiko 29 kali terhadap kejadian tuberkulosis pada anak.11 Beberapa hal yang
mempengruhi daya tahan tubuh diantaranya penyakit kronik dan malnutrisi (gizi buruk) yang
mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi
infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah
5
bahkan bisa mengakibatkan kematian.12 Dengan demikian peneliti berpendapat bahwa status anak gizi
kurang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis di Kabupaten Purworejo.
Analisis pencocokan antara kejadian tuberkulosis anak dengan riwayat anak pernah kontak TB
serumah menunjukkan hubungan yang bermakna. Hasil diskordan didapatkan kasus terpapar dan
kontrol tidak terpapar lebih banyak dibandingkan dengan kontrol terpapar dan kasus tidak terpapar yaitu
21:9 denggan nilai p=0,03 dan nilai OR=2,33 (CI95%:1,02-5,79). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa
anak yang memiliki riwayat pernah kontak TB serumah pada kelompok kasus lebih tinggi 2,33 kali
dibandingkan dengan anak yang memiliki riwayat pernah kontak TB serumah pada kelompok kontrol.
Kondisi ini memiliki kesamaan dengan penelitian di Rusia yang menjelaskan bahwa anak yang
memiliki riwayat pernah kontak serumah dengan orang dewasa penderita TB memiliki risiko 2,9 kali
terhadap kejadian tuberkulosis.13 Penelitian di Alaska menyatakan faktor risiko terjadinya infeksi TB
pada anak adalah setelah anak terpapar orang tuanya yang menderita TB aktif atau terpapar orang
dewasa lain. Penderita TB aktif sebesar 25% dan berisiko menjadi sakit TB pada anak tersebut sebesar
9,6%.14 Penelitian di Jambia-Afrika Barat menunjukkan dari 206 kasus TB yang dikunjungi
menggambarkan adanya risiko peningkatan terhadap kejadian TB anak dengan dekatnya geografis
tempat yang memiliki prevalensi kejadian TB, tinggal dalam satu rumah dengan penderita TB dewasa,
dan aktivitas bersama antara anak dengan penderita TB.15 Penelitian di Nigeria menjelaskan bahwa
anak yang terpapar oleh orang dewasa dengan BTA positif, mempunyai risiko infeksi tuberkulosis pada
anak sebear 30%-40%.16 Penelitian di Iran menunjukkan bahwa angka kejadian TB lebih tinggi pada
penderita TB yang tinggal serumah dengan penderita TB dewasa dibandingkan dengan penderita TB
yang tidak tinggal serumah dengan penderita TB dewasa yaitu 18,2% berbanding 1,6%. Rata-rata
angka kejadian TB di komunitas yang memiliki prevalensi TB lebih tinggi dibandingkan dengan TB di
komunitas yang tidak memiliki prevalensi TB yaitu 1,6% berbanding 0,2%.17 Penelitian lain yang
menjelaskan bahwa beberapa hasil penelitian tentang faktor-faktor risiko terjadinya tuberkulosis pada
anak di Amerika Serikat sangat bervariasi dari satu penelitian dengan penelitian lainnya tetapi secara
umum disebabkan oleh anak lahir di negara yang memiliki prevalensi TB yang tinggi, bagian dari
anggota keluarga yang menderita TB, dan memiliki riwayat kontak dengan penderita TB dewasa. Orang
dewasa tuberkulosis dapat menularkan penyakitnya kepada anak sebesar 98%.18 Kondisi ini didukung
oleh sebuah teori yang menjelaskan bahwa kuman tuberkulosis dipaparkan melalui udara dari
seseorang penderita tuberkulosis kepada orang lain. Bakteri tuberkulosis dikeluarkan pada saat
penderita tuberkulosis batuk atau bersin dan kemudian bakteri tuberkulosis terhirup oleh orang lain di
sekitarnya. Bakteri masuk ke dalam paru-paru dan mengakibatkan infeksi tuberkulosis. Daya penularan
seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru-paru nya. Makin tinggi
derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.19 Dengan demikian peneliti
berpendapat bahwa anak yang memiliki riwayat pernah kontak TB dengan penderita dewasa pada
kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki riwayat pernah kontak TB dengan
penderita dewasa pada kelompok kontrol.
6
Analisis pencocokan antara kejadian tuberkulosis anak dengan status anak tidak diimunisasi
menunjukkan hubungan tidak bermakna. Hasil diskordan didapatkan kasus terpapar dan kontrol tidak
terpapar memiliki nilai sama dibandingkan dengan kontrol terpapar dan kasus tidak terpapar yaitu nilai
2:2 dengan nilai p=1,0 dan nilai OR=1 (CI95%:0,07–13,8).
Kondisi ini seseuai dengan hasil penelitian di India yang menunjukkan bahwa 68.6% anak yang
sudah mendapatkan imunisasi BCG masih mendapatkan infeksi kuman TB.20 Penelitian di Jambia
menyimpulkan bahwa anak yang sudah mendapatkan imunisasi BCG dan tidak mendapatkan imunisasi
BCG mempunyai risiko yang sama terhadap angka kejadian tuberkulosis anak, dengan nilai OR=1,0
(CI95%:0,54-1,60) dan p=0,78.6 Keadaan ini dapat dijelaskan dalam sebuah teori yang menyatakan
bahwa imunisasi BCG tidak melindugi sepenuhnya terhadap infeksi primer TB tetapi dapat memberikan
perindungan yang baik terhadap tuberkulosis pada anak-anak, khususnya tuberkulosis yang fatal yakni
tuberkulosis meningitis dan tuberkulosis milier.12 Salah satu aspek yang dapat mempengaruhi efektifitas
imunisasi BCG adalah waktu pemberian imunisasi BCG. Sebuah keterangan menjelaskan bahwa
pemberian vaksin BCG sebaiknya diberikan pada saat bayi baru lahir atau pada saat pertama kali bayi
bertemu dengan tenaga kesehatan, khususnya untuk negara-negara yang memiliki prevalensi yang
tinggi terhadap kejadian tuberkulosis.21
Untuk lebih mengefektifkan imunisasi sebagai perlindungan terhadap kejadian tuberkulosis, saat ini
sedang dikembangkan vaksin yang lebih baik daripada vaksin BCG yaitu rBCG(mbtB)30. Kelebihan dari
vaksin BCG rekombinan adalah dapat memproduksi protein mycolyl transferase dalam jumlah besar.
Vaksin tersebut lebih aman karena hanya dapat bereplikasi beberapa kali setelah imunisasi. Penurunan
kemampuan bereplikasi ini disebabkan oleh penurunan kemampuan vaksin untuk mendapatkan zat besi
dari induk. Zat besi merupakan unsur penting bagi bakteri untuk bereplikasi. Walaupun vaksin yang baru
dapat diberikan kepada siapa saja, vaksin tersebut dirancang secara khusus untuk bayi yang HIV-positif
dan orang dewasa yang HIV-positif, termasuk orang yang sedang dalam pengobatan antiretroviral
(ART).22
Analisis pencocokan antara kejadian tuberkulosis anak dengan status ekonomi keluarga miskin
menunjukkan hubungan yang bermakna. Hasil diskordan didapatkan kelompok kasus terpapar dan
kontrol tidak terpapar lebih banyak dibandingkan dengan kelompok kontrol terpapar dan kasus tidak
terpapar yaitu 21:6 dengan nilai p=0,04 dan nilai OR=3,5 (CI95%:1,34–10,60). Hal ini dapat
diinterpretasikan bahwa status ekonomi keluarga miskin pada kelompok kasus lebih tinggi 3,5 kali
dibandingkan dengan keluarga miskin pada kelompok kontrol.
Analisis dilanjutkan untuk mengetahui angka kejadian tuberkulosis anak yang berasal dari
kelompok keluarga miskin disertai dengan riwayat anak pernah kontak dengan penderita tuberkulosis
dewasa atau status anak gizi kurang. Analisis tersebut ditampilkan dengan tabel di bawah ini:
Tabel 2. Analisis McNemar penyetaraan umur terhadap variabel terikat
dengan variabel (status
ekonomi keluarga miskin disertai riwayat anak pernah kontak TB dengan penderita
tuberkulosis dewasa atau status anak gizi kurang)
7
Kontrol
Kasus
Kel miskin dan Kontak(+)
Kel miskin dan Kontak(-)
Kel miskin dan gizi kurang
Kel miskin dan gizi cukup.
E+
2
E-11
OR
5,5
(CI 95%)
(1,20 – 51,07)
P
0,01
2
57
79
20
3,33
(1,29 – 10,14)
0,01
6
11
nama sama dengan eksposur positif pada kasus.
E-- = nama sama dengan eksposur negatif pada kasus.
E+ =
Pada Tabel 2 analisis pencocokan antara kejadian tuberkulosis anak dengan riwayat anak pernah
kontak TB serumah pada keluarga miskin menujukkan hubungan yang bermakna. Hasil diskordan
didapatkan kasus terpapar dan kontrol tidak terpapar lebih banyak dibandingkan dengan kontrol
terpapar dan kasus tidak terpapar yaitu 11:2 dengan nilai p=0,01 dan nilai OR=5,5 (CI95%:1,20–
51,07). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa anak yang memiliki riwayat pernah kontak dengan
penderita tuberkulosis dewasa dari keluarga miskin pada kelompok kasus lebih tinggi 5,5 kali
dibandingkan dengan anak yang memiliki riwayat pernah kontak serumah dari keluarga miskin pada
kelompok kontrol.
Hasil penelitian ini sesuai dengan sebuah sumber yang menjelaskan bahwa TB dapat menyebar
langsung melalui riwayat kontak, seperti batuk, bersin atau tertawa dan tuberkulosis berhubungan
dengan lingkaran kemiskinan, terutama berasal dari negara sedang berkembang. Kemiskinan
mengakibatkan orang hidup pada kondisi stress berat, sanitasi yang buruk dan kurang gizi yang
akhirnya menghasilkan sistem imun yang lemah, hal ini mengakibatkan mudahnya terserang TB.23
Sumber lain menjelaskan bahwa anak mudah terserang penyakit dapat disebabkan secara langsung
dan tidak langsung dari dampak salah satu anggota keluarga yang sudah memiliki penyakit TB. Risiko
tinggi anak terserang penyakit TB terdapat pada anak yang tinggal dengan orang dewasa yang
menderita tuberculosis aktif atau anak yang lahir di negara yang memiliki prevalensi penyakit TB yang
cukup tinggi. Diperkirakan 1/3 populasi di dunia terinfeksi tuberkulosis dan diperkirakan 20%-50%
adalah anak tinggal di keluarga orang dewasa yang memiliki TB aktif. Keluarga dapat menjadi miskin
akibat kehilangan keuangan yang disebabkan oleh penyakit TB.24 Sebuah keterangan menjelaskan
bahwa risiko terjadinya TB pada anak disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kemiskinan, tinggal
bersama penderita tuberkulosis, pengangguran, peminum alkohol, penderita DM dan padat hunian.13
Keterangan lainnya menjelaskan bahwa TB merupakan penyakit sangat sering terjadi pada negaranegara miskin di dunia dimana orang sering tidak mendapatkan pengobatan yang efektif. Hal ini yang
mengakibatkan kematian sekitar 1,7 juta orang setiap tahun.25 Penelitian di India menunjukkan bahwa
kemiskinan mengantarkan pada kondisi sakit dan kondisi sakit dapat mengakibatkan kemiskinan. Lebih
jauh lagi kemiskinan bukan hanya mengakibatkan kehilangan pendapatan keuangan saja tapi juga
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan individu (malnutrisi), kondisi kesehatan yang menurun dan
terhambatnya perkembangan pendidikan. Penanganan TB yang efektif dapat menghentikan lingkaran
8
kemiskinan dan penyakit. Hal ini akan menyembuhkan dan mengembalikan mereka untuk akitf, hidup
produktif, untuk dapat memberikan manfaat bagi anaknya, memberikan kontribusi untuk ekonomi dan
perkembangan sosial pada negaranya.26 Penelitian di Los Altos - Chiapas, Mexico menunjukkan bahwa
angka kematian tinggi yang disebabkan oleh penyakit TB paru berhubungan dengan pelayanan
kesehatan yang buruk akibat sosial ekonomi masyarakat yang rendah.27 Sebuah sumber menjelaskan
bahwa 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah
atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dan tuberkulosis adalah timbal balik. Tuberkulosis dapat
menyebabkan kemiskinan dan kemiskinan mengakibatkan tuberkulosis.28 Penelitian di Indonesia
mengatakan bahwa status ekonomi merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan
berkembangnya kuman-kuman tuberkulosis di Indonesia. Hal ini disebabkan rendahnya pendapatan
perkapita keluarga, kurang terpelihara gizi dan nutrisi, serta linkungan perumahan dan sanitasi yang
kurang memenuhi syarat kesehatan.29
Dengan demikian peneliti berpendapat bahwa anak yang pernah kontak dengan penderita TB
dewasa dari keluarga miskin pada kelompok kasus lebih tinggi dibadingkan dengan anak pernah kontak
dengan penderita TB dewasa dari keluarga miskin pada kelompok kontrol di Kabupaten Purworejo.
Tabel 3. Analisis McNemar penyetaraan umur terhadap variabel terikat dengan variabel luar (tingkat
pendidikan ibu dan tingkat pengetahuan ibu tentang tuberkulosis)
Kontrol
Kasus
E+
E-OR
(CI 95%)
P
Tamat SD
5
15
1,25
0,55– 2,92
0,56
Akademi/PT
12
62
SLTP
Akademi/PT
10
14
22
48
1,57
0,77– 3,32
0,18
SLTA
Akademi/PT
21
21
15
37
0,71
0,34–1,45
0,32
Peng krg
41
21
0,95
Peng ckp
22
10
E+ = nama sama dengan eksposur positif pada kasus.
E-- = nama sama dengan eksposur negatif pada kasus.
0,50–1,82
0,88
Pada Tabel 3 analisis pencocokan hubungan antara kejadian tuberkulosis anak dengan tingkat
pendidikan ibu menunjukkan hubungan tidak bermakna. Hasil pasangan diskordan yang memilki kasus
terpapar dan kontrol tidak terpapar lebih banyak dibandingkan dengan kontrol terpapar dan kasus tidak
terpapar adalah tingkat pendidikan ibu tamat SD dan tingkat pendidikan ibu SLTP. Hasil pasangan
diskordan yang memiliki kontrol terpapar dan kasus tidak terpapar lebih banyak dibandingkan dengan
kasus terpapar dan kontrol tidak terpapar adalah tingkat pendidikan ibu SMA dan tingkat pendidikan ibu
perguruan tinggi.
Analisis pencocokan antara kejadian tuberkulosis anak dengan tingkat pengetahuan ibu tentang
tuberkulosis menunjukkan hubungan tidak bermakna. Hasil diskordan didapatkan kasus terpapar dan
9
kontrol tidak terpapar hampir sama dibandingkan dengan kontrol terpapar dan kasus tidak terpapar yaitu
21:22 dengan nilai p=0,95 dan proporsi diskordan=0,46.
3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel terhadap
variabel terikat, dengan mengontrol dari masing-masing variabel tersebut. Uji hipotesis yang digunakan
adalah uji conditional logistic regression. Variabel yang dimasukkan dalam uji statistik adalah variabel
yang memiliki nilai p<0,05 pada hasil uji bivariabel. Pemodelan dalam conditional logistic regression
menampilkan nilai OR dan Confidence Interval (CI) 95%. Nilai -2 log likelihood atau deviance digunakan
untuk membandingkan perbedaan regresi model 1 dengan regresi model lainnya. Perbedaan bermakna
secara statistik jika nilai -2 log likelihood lebih besar dari nilai χ 2 tabel dengan derajat bebas yang
dihitung dari perbedaan derajat dua model. Jika model regresi yang lain berbeda dengan regresi model
1, berarti variabel tambahan lain selain variabel bebas mempunyai peluang mempengaruhi variabel
terikat dan berpeluang merubah nilai OR pada variabel bebasnya. R2 yaitu melihat seberapa jauh
seluruh variabel dalam setiap model memprediksi angka kejadian TB pada anak.
Tabel 4. Hasil analisis conditional logistic regression antara kejadian TB pada anak dengan riwayat
pernah kontak TB, status anak gizi kurang, status ekonomi keluarga miskin dengan
mengontrol faktor risiko.
Variabel
Model 1
Model 2
Model 3
Model 4
OR
OR
OR
OR
(CI 95%)
(CI 95%)
(CI 95%)
(CI 95%)
Status Gizi
2,76*
2,71*
2,66*
2,71*
Gizi kurang
(1,30–5,84)
(1,22–6,03)
(1,15-6,14)
(0,74-9,94)
Gizi baik
Kontak Serumah
2,81*
2,57*
1,15
1,16
Pernah kontak
(1,22– 6,48)
(1,20–6,05)
(0,38-3,46)
(0,37-3,61)
Tdk pernah
Status Ekonomi
Miskin
Tidak miskin
Status ekonomi Dgn Kontak(+)
kin dgn kontak (+)
Miskin dgn kontak (-)
Status ekonomi Dgn status gizi
kurang
Miskin dgn gizi kurang (+)
Miskin dgn gizi cukup
N
-2 log likelihood (Deviance)
χ 2 tabel (df)
R2
3,15*
(1,21–8,21)
4,21*
(1,49-11,87)
4,25*
(1,36-13,30)
7,52*
(1,05-53,64)
7,47*
(1,01-54,95)
0,97
(0,17-5,43)
188
55,45
5,9(2)
0,10
188
51,86
7,8(3)
0,15
188
53,26
23,80(4)
0,18
188
53,26
23,80(5)
0.18
Model 1 untuk mengetahui pengaruh variabel status anak gizi kurang dan variabel riwayat anak
pernah kontak serumah dengan penderita tuberkulosis dewasa terhadap kejadian tuberkulosis pada
anak. Hasil analisis menunjukkan bahwa status anak gizi kurang pada kelompok kasus lebih tinggi 2,76
10
kali dibandingkan dengan status anak gizi kurang pada kelompok kontrol. Riwayat anak pernah kontak
serumah dengan penderita tuberkulosis dewasa pada kelompok kasus lebih tinggi 2,81 kali
dibandingkan dengan riwayat anak pernah kontak serumah dengan penderita tuberkulosis dewasa pada
kelompok kontrol. Model 1 menghasilkan nilai R2=0,10 artinya status anak gizi kurang dan riwayat anak
pernah kontak serumah dengan penderita TB dewasa dapat mempengaruhi kejadian TB pada anak
sebesar 10% sedangkan 90% disebabkan oleh faktor lain.
Pada model 2 variabel status ekonomi keluarga miskin dimasukkan ke dalam analisis variabel
status anak gizi kurang dan riwayat anak pernah kontak serumah dengan penderita tuberkulosis
dewasa. Analisis menunjukkan hubungan yang signifikan antara status anak gizi kurang dan riwayat
anak pernah kontak serumah dengan penderita tuberkulosis dewasa terhadap kejadian tuberkulosis
pada anak dengan mengontrol variabel status ekonomi keluarga miskin. Hasil analisis menunjukkan
bahwa status anak gizi kurang pada kelompok kasus lebih tinggi 2,71 kali dibandingkan dengan status
anak gizi kurang pada kelompok kontrol dan riwayat anak pernah kontak tuberkulosis pada kelompok
kasus lebih tinggi 2,57 kali dibandingkan dengan riwayat anak pernah kontak tuberkulosis pada
kelompok kontrol sedangkan status ekonomi keluarga miskin pada kelompok kasus lebih tinggi 3,15 kali
dibandingkan dengan status ekonomi keluarga miskin pada kelompok kontrol. Model ini menghasilkan
nilai R2=0,15 yang berarti variabel status anak gizi kurang dan riwayat anak pernah kontak TB serumah
dengan mengontrol variabel status ekonomi keluarga miskin dapat memprediksi kejadian tuberkulosis
pada anak sebesar 15%, sedangkan 85% disebabkan oleh faktor lain.
Pada model 3 variabel riwayat anak pernah kontak TB serumah dari keluarga miskin dimasukkan
ke dalam analisis variabel status anak gizi kurang, status anak pernah kontak TB serumah dan status
ekonomi keluarga miskin. Analisis untuk variabel riwayat anak pernah kontak TB serumah tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan sedangkan antara status anak gizi kurang, status ekonomi
keluarga miskin terhadap kejadian tuberkulosis pada anak dengan mengontrol variabel status anak
pernah kontak TB serumah dari keluarga miskin menunjukkan hubungan yang signifikan. Hasil analisis
menunjukkan bahwa status anak pernah kontak TB serumah dari keluarga miskin pada kelompok kasus
lebih tinggi 7,52 kali dibandingkan dengan status anak pernah kontak TB serumah dari keluarga miskin
pada kelompok kontrol. Status anak pernah kontak TB serumah memiliki perbandingan yang hampir
sama antara kelompok kontrol dan kasus, dengan nilai OR=1,15 (CI95%:0,38-3,47), status anak gizi
kurang pada kelompok kasus lebih tinggi 2,66 kali dibandingkan dengan status anak gizi kurang pada
kelompok kontrol dan status ekonomi keluarga miskin pada kelompok kasus lebih tinggi 4,21 kali
dibandingkan dengan status ekonomi keluarga miskin pada kelompok kontrol. Model ini menghasilkan
nilai R2= 0,18 yang berarti variabel status anak gizi kurang, riwayat anak pernah kontak TB serumah
dan status ekonomi keluarga miskin dengan mengontrol variabel status anak pernah kontak TB serumah
dari keluarga miskin dapat memprediksi kejadian tuberkulosis pada anak sebesar 18%, sedangkan 82%
disebabkan oleh faktor lain.
11
Pada model 4 variabel status anak gizi kurang dari keluarga miskin dimasukkan ke dalam analisis
variabel status anak pernah kontak TB serumah, status anak gizi kurang, status ekonomi keluarga
miskin dan status anak pernah kontak TB serumah dari keluarga miskin. Analisis menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara status anak gizi kurang, riwayat anak pernah kontak TB serumah,
status ekonomi keluarga miskin dan status anak pernah kontak TB serumah dari keluarga miskin
terhadap kejadian tuberkulosis pada anak dengan mengontrol variabel status anak gizi kurang dari
keluarga miskin. Hasil analisis menunjukkan antara status anak gizi kurang dari keluarga miskin pada
kelompok kasus hampir sama dibandingkan dengan status anak gizi kurang dari keluarga miskin pada
kelompok kontrol, dengan nilai OR=0,97 (CI95%:0,17-5,43). Status anak pernah kontak TB serumah
memiliki perbandingan yang hampir sama antara kelompok kontrol dan kasus, dengan nilai OR=1,16
(CI95%:0,37-3,61). Hasil analisis status anak gizi kurang pada kelompok kasus lebih tinggi 2,71 kali
dibandingkan dengan status anak gizi kurang pada kelompok kontrol, status ekonomi keluarga miskin
pada kelompok kasus lebih tinggi 4,25 kali dibandingkan dengan status ekonomi keluarga miskin pada
kelompok kontrol dan status anak pernah kontak TB serumah dari keluarga miskin pada kelompok
kasus lebih tinggi 7,47 kali dibandingkan dengan status anak pernah kontak TB serumah dari keluarga
miskin pada kelompok kontrol. Model ini menghasilkan nilai R2=0,18 yang berarti variabel status anak
gizi kurang, riwayat anak pernah kontak TB serumah, status ekonomi keluarga miskin dan status anak
pernah kontak TB serumah dari keluarga miskin dengan mengontrol variabel status anak gizi kurang
dari keluarga miskin dapat memprediksi kejadian tuberkulosis pada anak sebesar 18%, sedangkan 82%
disebabkan oleh faktor lain.
Dari model yang ada, menurut peneliti model 3 merupakan model yang terbaik yang digunakan,
karena model 3 memiliki nilai R2 sama besar dengan model 4, walaupun model 3 hanya terdiri dari 4
variabel sedangkan model 4 terdiri dari 5 variabel dan pada model 4 variabel yang menjadi pengontrol
(status anak gizi kurang dari keluarga miskin) tidak memiliki nilai kemaknaan terhadap kejadian
tuberkulosis pada anak, dengan nilai OR=0,97 (CI95%:0,17-5,43). Dari model 3 yang mempunyai nilai
OR terbesar adalah variabel status anak pernah kontak TB serumah dari keluarga miskin dengan nilai
OR=7,52 (CI95%:1,05–53,64). Hal ini berarti bahwa variabel status anak pernah kontak TB serumah
dari keluarga miskin merupakan variabel yang paling dominan terhadap kejadian tuberkulosis pada anak
di Kabupaten Purworejo.
D.
KESIMPULAN DAN SARAN
Rumah padat hunian, luas ventilasi rumah kurang dari 10% dan status imunisasi anak bukan
merupakan faktor utama yang mempengaruhi terhadap kejadian tuberkulosis pada anak di Kabupaten
Purworejo. Status anak dengan gizi kurang, riwayat anak pernah kontak TB serumah, status ekonomi
keluarga miskin dan status anak pernah kontak TB serumah dari keluarga miskin merupakan faktor yang
mempengaruhi terhadap kejadian tuberkulosis pada anak di Kabupaten Purworejo. status anak pernah
12
kontak TB serumah dari keluarga miskin merupakan faktor paling dominan terhadap kejadian tuberkulosis
pada anak.
Hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi kontak serumah dengan penderita tuberkulosis dewasa
adalah: Keterbukaan penyampaian informasi dari tenaga pelayanan kesehatan tentang diagnosis pasien
khususnya diagnosa TB, perlunya penyuluhan/penyampaian informasi yang jelas tentang proses penularan
penyakit tuberkulosis, perlunya penyampaian informasi yang jelas tentang rumah sehat, terutama tentang
ventilasi rumah, karena masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang syarat ventilasi 10% dari
luas lantai bangunan. Hal ini dilakukan untuk memutus rantai penularan tuberkulosis dari orang dewasa
kepada anak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo. Profil kesehatan Kabupaten Purworejo tahun 2007. Dinkes; 2008.
2. Gordis L. Epidemiology. 3rd Edition, Philadelphia: John Hopkins Bloomberg School Public Health; 2004.
3. Depkes RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI; 2007.
4. Schlesselman JJ, Stolley PD. Case-control studies, design, conduct, analiysis. New York: Oxford University
Press; 1982.
5. Dudeng D. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis pada anak di Kabupaten Gunung
Kidul Provinsi DIY. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2005.
6. Hill PC, Sillah DJ, Donkor SA, Otu J, Adegabola RA, Lienhard C. Risk factors for pulmonary tuberculosis: a
clinic-based case control study in The Jambia, France. BMC Public Health. 2006;6(156):471-2458.
7. Nurhidayah I, Lukman H, Rakhmawati W. Hubungan antara karakteristik lingkungan rumah dengan kejadian
tuberkulosis pada anak di Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang. Bandung: Universitas Padjajaran; 2007.
8. Depkes RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI; 2005.
9. Atmosukarto K. Bronkhopneumoni dan bronkhiektasis di lingkungan keluarga penderita tuberkulosis paru.
Jakarta: Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan RI; 1991.
10. Haryani. Faktor risiko yang berhubungan dengan tuberkulosis pada anak di Kabupaten Sleman DIY. Tesis.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2007.
11. Aris M. Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan TB paru di Kab. Tabalong Kalsel. Tesis. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada; 2000.
12. Crofton J, Horne N, Miller F. Clinical Tuberculosis. In Muherman edd. Tuberkulosis klinis. Jakarta: Widya
Medika; 2002.
13. Coker R, McKee M, Atun R, Dimitrova B, Dodonova E, Kuznetsov S, Drobniewski F. Risk factors for
pulmonary tuberculosis in Rusia: case-control study. BMJ. 2006;332:85-87.
14. Gresner BD, Weiss NS, Nolan CM. Tuberculosis Infection and disease after household exposure to adult
index cases in Alaska. J Pediatr. 132(3 Pt 1):509-13.
13
15. Liendhardt C, Sillah J, Fielding K, Donkor S, Manneh, Warndorff D, Bennet S, Adam K. Risk factor for
tuberculosis infection in children in contact with infectious tuberculosis cases in Gambia, West Afrika:
Pediatrics. 2003;111(5 Pt 1):e608-14.
16. Nakaoka H, Lawson L, Squire SB, Coulter B, Ravn P, Brock I, Hart CA, Cuevas LE. Risk for tuberculosis
among children. Emerg Infect Dis. 2006;12(9):1383-8.
17. Alavi SM, Farahmand FM. Pulmonary tuberculosis in household contact of patients with active tuberculosis in
Ahwaz, Iran. Med Sci. 2008;24(6): 780-785.
18. Feza K, Saiman L. Tuberculosis in Children. Clin Chest Med. 2005; 295-312.
19. Lannelli V. Tuberculosis facts for parents, Your Guide To Pediatrics; 2003. Available from
http://pediatrics.about.com/cs/ commoninfections/ a/
tuberculosis.htm.
20. Ranuh IGN, Soeyitno H, Rejeki S, Hadinegoro. Buku Imunisasi di Indonesia. Edisi Pertama. Satgas
Imunisasi. IDAI; 2001
21. Fine PEM, Carneiro IAM, Milstien JB, Clements CJ. Issue relating to the use of BCG in ummunization
programmes. Geneva: The Department of Vaccines and Biologicals, WHO; 1999.
22. Kaiser Global Health Reporting.org. Vaksin yang baru lebih aman dibandingkan vaksin BCG pada Odha.
Jakarta: HIV Cooperation Program for Indonesia;2008.
23. Results
(2001)
World
Health/
Diseases
of
Poverty.
Available
from:<http://
www.
Health.state.mn.us/divs/idepc/diseases/tb/tbac/results2.pdf.
24. Sandoz
(2006)
Pediatric
TB.
Available
from:<http://
www.
Tbdots.com/site/en/doctor_section_tb_pediatric.html.
25. TB Alert (2005) Frequently asked questions, poverty. Available from http:// www. tbalert.org/general/faq.php.
26. Kumar D, Singh J. Stop TB – Fight Poverty An Indian Perspective. 2001; org (accessed Desember 2009).
Available from http://[email protected].
27. Ortiz N, Perez S, Diaz O, Cedeno A, Lezama, Meteo. Demographic, health services and social-economic
factor associated with pulmonary tuberculosis mortality in Los Altos Region of Chiapas, Mexico. Int J
Epidemiol, 2008;37(4): 786–795.
28. WHO/ SEARO. Social Determinants and tuberculosis in South-East Asia, New Delhi: Regional Consultation
on the Social Determinants of Health;2005.
29. Tjiptoherijanto P, Soesetyo B. Ekonomi kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta;1994.
14
Download