PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN JOJOBO DAN PERANNYA DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN EKONOMI PRODUKTIF (Studi Kasus Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara) ALDI BASIR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 102 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul “Pemberdayaan kelembagaan jojobo dengan perannya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi produktif (Studi Kasus Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara)”, adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini. Bogor, Maret 2012 Aldi Basir I353080121 102 ABSTRACT ALDI BASIR. JOJOBO EMPOWERMENT AND THE IMPLICATION ON ECONOMIC PRODUCTION ACHIEVMENT “Case Study on Land diary Farm on Jailolo District Halmahera Barat Regency Maluku Utara Province”. Jojobo is a social value which is growth in a community to manage of pattern and spirit of social views based on togetherness, humanities, care among to the others, truths, justice and rightness, by kinship and relationship among communities or communal members in Maluku Utara Province, Jailolo District, Halmahera Barat Regency. The result have a conclusion that Jojobo values in dry land farmer community had lower of community participation in Jojobo institutional, make a weakness of relationship on kinship, lower of social insurance, lower of humanity senses on solidarity binding, have low families tolerance and trust on kinship relations. Besides that, the Jojobo institutional also could be exist, whereas that showed by economic institutional of Jojobo have an ability to fulfill of daily life achievement of dry land farmer, because supported by community participate. The socio-economic institutional, need values on community to make an institutional strength. The effectiveness factor of institutional, should have a social justice perspective for morality binding which have an embedded on dry land farmer community in Jailolo Selatan, Halmahera Regency. Key words: Jojobo, social values, economic institutional, strengthen factor, social justice 102 RINGKASAN Aldi Basir. Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo dan Perannya Dalam Memenuhi Kebutuhan Ekonomi Produktif “Studi Kasus Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara”. Dengan bimbingan; Titik Sumarti dan Fredian Tonny Nasdian. Kelembagaan Jojobo merupakan konstruksi sosial yang diterima dan disepakati oleh komunitas-komunitas petani perladangan yang tergantung pada nilai dan kekuatan luar desa seperti pasar dan industri perkotaan yang bersifat ekonomi dan individualis. Ukuran yang digunakan tidak lagi hanya menyangkut kelestarian dan kebersamaan saja, namun dipengaruhi pula oleh eksploitasi dan sukses finansial yang menyebabkan masyarakat desanya rapuh terhadap faktor yang berada di luar pengendaliannya. Beberapa wilayah Kecamatan Jailolo Selatan, masyarakatnya masih memiliki sifat dan naluri untuk berpartisipasi dalam membentuk lembaga seperti kelompok tani, paguyuban, dan terutama Jojobo sebagai lembaga tradisional setempat. Keberadaan kelembagaan Jojobo dapat diberdayakan dan dimanfaatkan sebagai asset pembangunan karena memiliki inti budaya lokal yang menjiwainya. Jojobo dikalangan komunitas petani perladangan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi yang telah dilakukan pada jaman dahulu. Jojobo dianggap mampu menciptakan nilai hubungan silahtuhrahmi kekeluargaan antar sesama warga dengan baik. Faktor yang menyebabkan komunitas petani peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat masih melakukan tradisi Jojobo, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan adanya hubungan emosional yang tinggi dalam hal saling mendukung dan membantu satu sama lain. Implikasi ini menunjukkan bahwa keterjaminan kehidupan sosial masyarakat bagi kaum petani peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan yang selama ini masih eksis dan hidup di pedesaan akibat meningkatnya sistem ekonomi moral yang sebenarnya. Hal ini memperlihatkan penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas ekonomi pada komunitas petani perladangan dilakukan untuk saling membantu memenuhi kebutuhan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan. Nilai luhur yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo berupa terciptanya hubungan kekeluargaan dan kekerabatan di dalam komunitas petani peladangan. Hal ini terefleksikan dalam pemenuhan faktor produksi, distribusi dan konsumsi. Oleh karena itu keberadaan kelembagaan Jojobo diharapkan menjadikan sarana dalam penerapan budaya lokal sebagai suatu upaya terutama pemenuhan kebutuhan ekonomi produksi dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan. Penelitian ini beranjak dari sebuah hipotesis bahwa pemberdayaan masyarakat desa melalui keberadaan kelembagaan sosial yaitu kelembagaan Jojobo sebagai basis kelembagaan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Pentingnya peranserta dan pemberdayaan kelembagaan masyarakat di bidang sosial ekonomi, berupa penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat, diharapkan mampu memenuhi kebutuhan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat. Oleh karena itu kelembagaan Jojobo ini diharapkan mampu berperan dalam mengembangkan solidaritas kerjasama antar warga masyarakat desa di Maluku Utara. Jojobo merupakan suatu modal sosial yang mengatur pola dan semangat hidup yang didasarkan pada kebersamaan, kemanusiaan, keperdulian, kejujuran, keadilan dan kebenaran atas dasar semangat persaudaraan dan kekerabatan diantara anggota komunitas atau kelompok masyarakat di Provinsi Maluku Utara pada umumnya dan pada khususnya masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera Barat sudah mulai memudar yang terlihat dari berkurangnya partisipasi masyarakat dalam membentuk kelembagaan Jojobo, serta berkurangnya nilai silahtuhrahmi kekeluargaan atau kekerabatan yang kuat antar sesama warga, kurangnya jaminan kehidupan sosial bermasyarakat yang hanya mengandalkan kelembagaan Jojobo, kurangnya rasa saling tolong menolong (gotong royong) antar warga dalam membentuk kerjasama dan solidaritas, toleransi kekeluargaan dan nilai kejujuran. Disamping mengalami pergeseran, berdasar hasil kajian di lapangan bahwa kelembagaan sosial ekonomi Jojobo juga masih eksis, terlihat mampu memenuhi kebutuhan komunitas petani perladangan karena didukung adanya peran serta masyarakat dalam meningkatkan efektivitas pemenuhan setiap kebutuhan komunitas masyarakat petani perladangan. Upaya penguatan kelembagaan sosial ekonomi dalam memenuhi kebutuhan komunitas petani perladangan dilakukan dengan mempertahankan keberadaannya dalam bentuk penguatan nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan tersebut. Kelembagaan Jojobo dibentuk dengan syarat diberlakukannya suatu keadilan sosial pada aturan ikatan moral yang dapat senantiasa menjunjung tinggi rasa keadilan dengan didukung oleh nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo, sehingga mampu memperkuat peran Jojobo dalam memberdayakan masyarakat komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat. Kata Kunci: Jojobo, nilai sosial, kelembagaan ekonomi, faktor penguat, keadilan sosial, Jailolo, Halmahera Barat. © Hak Cipta milik IPB Tahun 2012. Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjuan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB. 102 PERMBERDAYAAN KELEMBAGAAN JOJOBO DAN PERANNYA DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN EKONOMI PRODUKTIF (Studi Kasus Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara) ALDI BASIR Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sosiologi Pedesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 Terima Kasih Kepada Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. Penguji Luar Komisi, atas masukan, kritikan dan inspirasinya. Judul Tesis : Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo dan Perannya Dalam Memenuhi Kebutuhan Ekonomi Produktif (Studi Kasus Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara) Nama : Aldi Basir NRP : I353080121 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Titik Sumarti, MS. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS. Ketua Anggota Diketahui: Koordinator Program Studi Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. Tanggal Ujian: 5 Maret 2012 Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr. Tanggal Lulus: 102 PRAKATA Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, nikmat dan hidayahnya. Shalawat serta Salam terhaturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW, Saya bersyukur sedalamdalamnya kepada Allah SWT, karena mendapat kesempatan belajar di Pascasarjana IPB, hingga akhirnya mampu menyesaikan tangung jawab akademik ini. Dengan segala tulus, dalam kesempatan yang mulia ini, saya ingin mengucapakan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya khususnya kepada dosen pembimbing, para dosen di Sosiologi Pedesaan IPB, teman-teman seangkatan SPD 2008, para sahabat dan keluarga baik langsung maupun tidak yang memberikan spirit penyelesaian tesis ini, mereka adalah; 1. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS, dan Ir. Ferdian Tonny Nasdian, MS, Selaku pembimbing tesis. Keduanya memiliki peran besar bagi penulis dan proses penyesaian tesis ini. 2. Dr. Ir. Arya Hadi Darmawan, Msc, Agr, selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan dan Dr. Rilus Kinseng, selaku wakil Program Srtudi, yang selalu memberi motivasi dan mendukung penyesaian studi para mahasiswa. 3. Dr. Ir. Djuara P Lubis, MS selaku dosen Penguji Luar komisi. Terima kasiha atas masukan, kritikan dan Motivasinya. 4. Dosen-dosen dilingkungan Sosiologi Pedesaan; Prof .Dr. Endriatmo Soetarto, Dr, Arif Satria, Ir. Said Rusli, Dr. Lala Kolopaking MS, Dr. Soeryo Adi Wibowo, Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS.DEA, Dr. Ekawati S., Dr. Ir. Saharudin, M.Si, Dr. Ir Ivanovich Agusta, Dr. Satyawan Sunito, Ir. Melani A. Sunito, M.Sc, Dra Winati Wigna MDS., Moch. Sohibuddin, M.Si, Prof. Dr. Hariadi Kartodiharjo, dan Dr. Andreas Dwi Santoso, Ir. Nuraini W. Prasodjo M.Si. Terima kasih atas dukungan dan doanya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. 5. Sahabat seperjuangan Sosiologi Pedesaan ankatan 2008, Eko Cahyono, M.Si, Dian Ekowati, M.Si, Usep Setiawan, M.Si, Nendah Kurnisari, M.Si, Fafor A. Bacin M.Si, Nurul Hayat, Gentini, 6. Staff administrasi yang telah membantu memperlancar kegiatan akademik: Ibu Anggra Irene Bondar, Ibu Hetty, Ibu Susi, beserta staff Departemen Sains dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. 7. Keluarga Besar Sajogyo Institute (SAINS), Prof. Sajogyo, Dr. Ir. Gunawan Wiradi, Prof. M.P. Tjondronegoro, terima kasih atas keteladanan hidup dan inspirasinya. 8. Tesis ini dipersembahkan untuk orang tuaku; Bapak (Almarhum) Basir Sabana dan Ibu Sarawang Haji Abdul Haji, Semoga Allah SWT melimpahkan keberkahan hidup mereka di dunia dan akhirat, Amin. Tak lupa pula terima kasih untuk kakak tercinta, Idrus, Jalia, Alwia, Ridwan dan Almarhum Sunarti. Sahabatku Mas Rinto Andhi Suncoko, No Haji Saleh Idayanti Lethulur, Feny Kiat, Moch Yusri Hamid, Yusran Halik, Masita Salam, Hendra Akhari, Ahmad Nuhuyan, Rian, Dimas, Azar, Ganjar, Putu Idra, Sulistiono, Mas Zaenal Mutaqin, Bang Adi, Andika, Andhika K, Fajar, Pembaruan Siregar, Adiz, Flandrianto, Oci, Rumondang, Abu Bakar Ibrahim, Bang Efan, Oji, Ucup, Mas Bambang, Oni, Zulfadli, Winter Nuhuyan, Erna Talib, Ika Wahyuni Tomagola, Dwi Wahyuni Tomagola, Fadli Guret, serta teman yang tidak disebutkan namanya. Terima kasih atas dukungan dan doa mereka telah memudahkan penyesaian tesis ini. 9. Persembahan khusus untuk masyarakat Kecamatan Jailolo Selatan; Moch Sarif Ali, Mafud, Farid, Terima Kasih untuk pembelajaran dan persaudraanya. Secara khusus, penyelesaian penulisan tesis ini adalah berkat doa dan dukungan Sahabatku tercinta Herny DS, Djafar dan Ibu Diana E. Cahyono atas bantuannya. Semoga Allah SWT, selalau melimpahkan Hidayah, Magfirah dan keberkahan (rizki, kesehatan umur, ilmu) kepada kita semua, sehinggs kita mampu menjadi hambanya yang berkualitas. Amin Bogor, Maret 2012 Aldi Basir RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Orimakurunga (Halmahera Selatan) pada tanggal 06 Agustus 1980s dan merupakan anak bungsu dari pasangan Ayahanda Haji Basir Sabana dan ibunda tercinta Sarawan Haji Abdul Haji. Lulus dari Sekolah Dasar Negeri Orimakurunga pada tahun 1994, Sekolah Menegah Pertama Orimakurunga pada tahun 1997 dan penulis melanjutkan pada asekolah Menegah Umum Negeri 1Soa-sio dan tamat pada tahun 2000 Pendidikan Sarjana penulis tempuh pada tahun 2002 di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan lulus pada tahun 2007, pada tahun 2007 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemda Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara. Pada bulan September 2008 penulis melanjutkan pendidikan di Program Magister Sains Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD). 102 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .……………………………………………………………. i DAFTAR TABEL .……………………………………………………… iii DAFTAR GAMBAR .…………………………………………………… iv I PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 II 7 9 14 19 20 25 29 Pendekatan Penelitian ..………………….…………………... Lokasi dan Waktu Penelitian ..…………………...………...... Metode Penentuan Subyek dan Informan ..………………….. Metode Pengumpulan Data …………………………………... Metode Pengolahan Data ……………………………………. 31 31 32 33 35 PROFIL KOMUNITAS PETANI PERLADANGAN 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 V Konsep Jojobo ...……………………….…………………….. Konsep Kelembagaan ……………………...……………....... Konsep Pemberdayaan ………………....…………………..... Pemberdayaan Kelembagaan …..……………………………. Ekologi Komunitas Petani Perladangan ..…………...……...... Kerangka Pemikiran ………………………………………….. Hipotesis Pengarah …………………………………………... METODOLOGI PENELITIAN 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 IV 1 4 5 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 III Latar Belakang ……………...……………………………….. Perumusan Masalah ………………………...……………….. Tujuan Penelitian....................................................................... Kondisi Geografis ..……………….……………………......... Kondisi Demografi …………...…………………………….... Kondisi Ekonomi ...................................................................... Kondisi Budaya ……………………………………………… Ikhtisar ………………………………………………………. 39 42 46 50 53 PENERAPAN NILAI-NILAI JOJOBO 5.1 5.2 Nilai-Nilai Jojobo ..………………………………………….. Eksistensi Nilai Jojobo …………………………………....…. i 55 59 5.3 VI 6.3 Upaya Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo ..………………. Dampak Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo Pada Pemenuhan Kebutuhan Sosial Ekonomi Produktif ………….. Ikhtisar ………………………………………………………. 67 71 78 DAMPAK PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN JOJOBO 7.1 Kelembagaan Jojobo Sebagai Wadah Pemenuhan Kebutuhan 7.2. Solidaritas dalam Kelembagaan Jojobo ...……………………. 7.3. Ikhtisar ………………………………....……………………. 81 83 90 93 VIII SINTESIS IX 64 PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN JOJOBO 6.1 6.2 VII Ikhtisar …………………………………….....…………….... KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 9.2 Kesimpulan ..………………………………………………… Saran ……………………...………………………………….. 9.2.1 Saran pada Aspek Teoritis …………………......……... 9.2.2 Saran pada Aspek Praktis ……………………………... 99 100 100 100 DAFTAR PUSTAKA .…………………………………………………… 103 LAMPIRAN ………………………………………………........................ 107 ii DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1 Daftar Nara Sumber/ Informan Utama ………………………. 32 Tabel 3.2 Penentuan Responden (Subjek dan Informan) ……………….. 34 Tabel 4.1 Luas Wilayah Daratan Kabupaten Halmahera Barat ............... 40 Tabel 4.2 Jumlah Kecamatan, Desa dan Nama Ibu Kota Kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat .................................................... 42 Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007 ……………………………...... 43 Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Perdesaan di Kecamatan Jailolo Selatan di kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007 …………………..... 43 Tabel 4.5 Penduduk yang Berusia 10 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kegiatan Utama dan Jenis Kelamin di Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007 ………………………………………......... 44 Tabel 4.6 Proyeksi Penduduk Usia 7-12 Tahun Menurut Kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007 ……………………. 45 Tabel 4.7 Jumlah Guru Menurut Sekolah dan Kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007 ……………………………...... 46 Tabel 4.8 Usaha Industri di Kabupaten Halmahera Barat Sampai Tahun 2007 .......................................................................................... 50 Tabel 4.9 Usaha Industri di Kabupaten Halmahera Barat Sampai Tahun 2007 ........................................................................................... 50 Tabel 8 94 Komponen Kelembagaan Jojobo……………………………... iii 102 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Halaman Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Barat ............................ 39 Gambar 2 Topografi Wilayah Kabupaten Halmahera Barat ................... iv 40 102 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan masyarakat Provinsi Maluku Utara dipengaruhi oleh kondisi wilayah yang terdiri dari laut dan kepulauan, perbukitan dan hutan-hutan tropis. Desa-desa di Maluku Utara umumnya (kurang lebih 85 persen) terletak di pesisir pantai dan sebagian besar lainnya berada di pulau-pulau kecil. Oleh sebab itu, pola kehidupan seperti menangkap ikan, berburu, bercocok tanaman dan berdagang masih sangat mewarnai dinamika kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di Maluku Utara (sekitar 79 persen). Kondisi daerah kepulauan di Provinsi Maluku Utara yang menyebar ini mendorong masyarakatnya tumbuh dan berkembang dengan segala keragaman budayanya. Berdasarkan catatan di Maluku Utara terdapat 28 sub etnis dengan 29 bahasa lokal (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Maluku Utara, 2010). Semboyan masyarakat Maluku Utara yang dijadikan motto pemerintah Provinsi Maluku Utara, yakni “Marimoi Ngone Futura Masidika Ngone Foruru” (Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh), merupakan ajakan ke arah solidaritas dan partisipasi masyarakat yang didukung oleh ikatan kekerabatan, pertalian darah dan keturunan sesama anggota keluarga. Ikatan yang sangat erat dan familiar ini telah menumbuhkan harmonisasi dan interaksi sosial yang sangat kuat. Interaksi sosial antar komunitas didasarkan pada hubungan kekeluargaan dan pertimbangan kultural. Potensi kultural ini merupakan modal pembangunan yang paling berharga untuk dikembangkan. Jojobo merupakan warisan leluhur di Maluku Utara berupa kelembagaan sosial ekonomi masyarakat lokal yang merupakan sebuah kebiasaan secara turun temurun dalam kerangka hidup yang saling tolong menolong, dan di sisi lain jojobo menjadi disementasi sosial atau perekat sosial untuk mencairkan serta merajut segala bentuk pertentangan dalam komunitas masyarakat agar tercipta selalu rasa solidaritas dan kerjasama antar warga masyarakat di Maluku Utara. 1 Jojobo sebagai sebuah kelembagaan merupakan suatu himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang biasa berlaku dan menjadi nilai kebersamaan dalam mencapai tujuan secara kolektif. Pada sisi lain, kelembagaan jojobo juga mengatur mekanisme dan pertukaran (resiprositas) kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Resiprositas dalam arti harfiah adalah timbal balik, dalam antropologi ekonomi kegiatan resiprositas berarti pertukaran barang dan jasa yang kira-kira sama nilainya antara dua pihak. Resiprositas juga menunjuk pada gerakan diantara kelompok-kelompok simetris yang saling berhubungan (Polanyi, 1957). Artinya dalam aktivitas jojobo tentu mempunyai kecenderungan saling tukar kebaikan dalam anggota komunitas dalam masyarakat itu sendiri. Prakteknya kelembagaan jojobo dilakukan tidak terlalu mengikat dan memberatkan para anggota jojobo seperti halnya dalam bentuk penerapan jojobo, diantaranya lebih cenderung tradisonal dalam pengelolaannya, Sebab di dalam kelembagaan jojobo terdapat nilai dan unsur kultur lokal yang menjadi ruh dasarnya. Sementara kelembagaan lokal lainya lebih pada orientasi “saving” dana jangka pendek yang umumnya tidak terkait langsung dengan budaya lokal. Dengan kata lain dalam jojobo model pengelolaan lebih mengedepankan nilai-nilai sosial kultural daripada pranata sosial yang formal dan kaku. Orang yang dipercayakan untuk memegang kendali kelompok jojobo harus orang yang dituakan. Orang yang memegang kendali ini harus memenuhi kriteria baik secara sosial ataupun budaya masyarakat setempat. Semua keputusan yang diambil dalam aktivitas jojobo diputuskan berdasarkan kesepakatan bersama yang pada akhirnya melahirkan keputusan melalui asas musyawarah. Pola pembagian atau realisasi akhir dalam aktivitas jojobo dilakukan berdasarkan prioritas dalam pemenuhan kebutuhan anggota jojobo, sehingga dalam penerapan jojobo itu sendiri tidak terjadi kesalahpahaman dalam pelaksanaannya. Kalaupun terjadi kesalahpahaman dalam pelaksanaannya dapat lebih mudah teratasi, karena jojobo memiliki azas kekerabatan dan persaudaraan. Perilaku yang terlihat dari keberadaan kelembagaan jojobo dilakukan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan produktif bagi anggota komunitas jojobo. 2 Perubahan sosial yang disebabkan proses modernisasi dan industrialisasi yang masuk ke desa-desa dapat mempengaruhi nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat termasuk nilai sosial jojobo. Dampak yang ditimbulkan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal mengakibatkan tata nilai dan kelembagaan tradisional seperti jojobo yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat lokal menjadi hilang. Hilanganya nilai-nilai sosial yang berkembang dalam masyarakat lokal, berimplikasi buruk terhadap berbagai aspek baik sosial maupun ekonomi di pedesaan, karena nilai-nilai sosial ini merupakan suatu kekuatan atau modal sosial dalam mengatur alokasi pemanfaatan alam secara adil dan langgeng serta dapat menangani kendala sosial maupun ekonomi termasuk stabilitas keamanan (Mansur, 1999). Masyarakat lokal senantiasa mengembangkan pola-pola institusi yang bersifat fungsional sebagai respon terhadap kondisi ketidakpastian dan kerentanan yang mereka hadapi. Institusi-institusi jaminan sosial yang bersifat lokal dan tradisional ini memuat berbagai model mekanisme yang mewajibkan individu, kelompok dan komunitas memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan. Di dalamnya juga ada mekanisme pengembangan model-model saling membantu demi kesejahteraan bersama sebagai kelompok sosial (Von Benda, 2000). Hal ini memperlihatkan bahwa semua hubungan, lembaga dan keyakinan yang sudah terbentuk secara sosial dalam jojobo menjalankan fungsi tertentu sebagai jaminan dari segi sosial, ekonomis dan psikologis bagi seseorang. Permasalahan di Maluku Utara terlihat dari pergeseran nilai-nilai, norma, kebiasaan, tata kelakuan, sikap, semangat kerja serta paradigma masyarakat dalam penerapan jojobo. Perubahan yang terjadi, terlihat dari kecenderungan masyarakat dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari sebagian besar telah meninggalkan semangat jojobo dikarenakan adanya peran keberadaan teknologi, nilai uang dan lain sebagainya. Modernisasi menganggap bahwa orang-orang yang bekerja di sektor ekonomi subsisten pedesaan mendapat jaminan sosial memadai dari sistem dukungan tradisional yang ada (Von Benda, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat dapat diperoleh dari dukungan sistem tradisional berupa kelembagaan jojobo yang mampu memenuhi kebutuhan ekonomi 3 produktif dan ekonomi keluarga khususnya pada komunitas petani peladangan. Persoalan lain dalam proses pemberdayaan masyarakat tingkat lokal tidak menempatkan keberadaan kelembagaan jojobo sebagai sarana penting dalam pemberdayaan masyarakatnya yang terlihat dari tidak adanya legitimasi formal keberadaan kelembagaan jojobo oleh pemerintah. Bahkan keberadaan kelembagaan jojobo tidak didukung oleh pemerintah sebagai stakeholders utama pembangunan, sehingga mengesampingkan keberadaan kelembagaan jojobo. Di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat, terdapat kelembagaan jojobo yang masih eksis dan dimanfaatkan oleh komunitas dalam pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi, tidak hanya sebatas untuk pemenuhan ekonomi dan sosial saja, akan tetapi kelembagaan jojobo juga menunjukkan kearah yang meluas, tidak hanya berlaku dalam hubungan kekerabatan, namun juga berpengaruh dalam antar komunitas lokal lainnya. 1.2 Perumusan Masalah Bagaimana pemberdayaan kelembagaan jojobo dan perannya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi produktif pada petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat Maluku Utara, dalam kaitannya dengan nilai sosial ekonomi yang berlaku dalam masyarakat lokal, dapat dipahami dengan mengkaji: (1). Bagaimana bentuk penerapan nilai-nilai jojobo dalam aktivitas ekonomi produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat? (2). Bagaimana upaya pemberdayaan kelembagaan jojobo dan dampaknya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat? (3). Bagaimana dampak kelembagaan jojobo terhadap solidaritas kerjasama antar warga masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonominya? 4 1.3 Tujuan Penelitian Dengan mengajukan beberapa pokok persoalan penelitian diatas maka studi ini bertujuan untuk: (1). Mengkaji bentuk penerapan nilai-nilai jojobo dalam aktivitas ekonomi produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat. (2). Menganalisis dan menguraikan pemberdayaan kelembagaan jojobo berserta dampaknya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat. (3). Menganalisis dampak kelembagaan jojobo terhadap solidaritas dan kerjasama antar warga masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonominya. 5 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Jojobo Jojobo berasal dari bahasa Ternate berarti “usaha yang dilakukan secara bersama untuk kepentingan bersama dalam suatu komunitas untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang memiliki nilai-nilai solidaritas seperti baku tolong, atau baku bantu baik secara ekonomi maupun sosial”. Jojobo juga mengandung pemaknaan filosofis sebagai pegangan dan nilai-nilai sosial yang menerangkan tentang pola kehidupan dan hubungan antar manusia dengan sesamanya maupun dengan alam semesta. Dalam hubungannya manusia dengan sesamanya, mengisyaratkan manusia sebagai hamba Tuhan (Allah), yang harus saling mencintai dan saling mengasihi, sebagaimana Allah mencintai hambah-Nya. Dalam praktek kehidupan sosial kemasyarakatan pada komunitas masyarakat di Maluku Utara umumnya, dan masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan pada khususnya memiliki nilai-nilai filosofis yang disebut “dorabololo” yang dimasukan dalam semangat jojobo seperti halnya “Modet Makatono” atau “Mo Te Futuwae”, yang mempunyai arti “mari kita saling membantu, atau menyatukan hati” seperti biji pala dan fulinya. Ilustrasi dari “dolabolo” tersebut dapat memberikan gambaran bahwa jojobo merupakan sebuah nilai-nilai kesepakatan yang menyatukan setiap komunitas yang ada pada masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan untuk saling menolong atau membantu dalam bingkai saling mengasihi dan mencintai. Dengan demikian jojobo dapat dikatakan merupakan konsep nilai atau perilaku yang berpola dalam masyarakat (Safar, 2008). Jojobo dalam konteks kelembagaan, merupakan nilai-nilai sosial yang mengatur pola dan semangat hidup yang didasarkan pada kepercayaan, keterbukaan, saling peduli, saling menghargai, dan saling menolong diantara anggota komunitas masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat pada khususnya dan Maluku Utara pada umumnya. Jojobo juga merupakan warisan leluhur masyarakat di Maluku Utara yang dilembagakan sehingga telah menjadi sebuah kebiasaan dalam kerangka hidup saling tolong menolong, dan di sisi lain sebagai disementasi sosial atau perekat sosial untuk mencairkan serta 7 merajut segala bentuk pertentangan dalam komunitas masyarakat agar tercipta selalu rasa solidaritas. Pemaknaan kata jojobo berbeda dengan kelembagaan sosial lainnya, karena dalam pemaknaan dan prakteknya jojobo memiliki 2 (dua) perekat nilai yaitu, nilai ekonomi dan nilai sosial. Jojobo menunjukan pada aktivitas atau implementasi dari nilai-nila sosial dalam hal ekonomis yang kegunaannya untuk mengatur kebutuhan hidup dalam suatu komunitas, seperti dalam komunitas keluarga yang memiliki hubungan darah dan kekerabatan serta dapat berkembang jauh lebih besar pada komunitas yang memiliki kesamaan budaya atau cultur. Kegiatan jojobo dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan dalam anggota komunitas untuk mengatasi kesulitan ekonomi secara bersama. Jojobo sebagai sebuah nilai-nilai sosial, merupakan suatu ide yang telah turun-temurun dianggap efektif dan penting oleh anggota komunitas masyarakat di Maluku Utara. Misalnya nilai harmonisasi, tolong menolong, kerjasama dan lainnya merupakan contoh nilai kekerabatan yang sangat umum dikenal dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian jojobo adalah salah satu dari nilai sosial yang diyakini dan masih dilestarikan masyarakat Jailolo Selatan hingga kini. Beragam perspektif sosiologis batasan pengertian nilai sosial dapat diuraikan sebagai berikut: pandangan C. Kluckhon, menjelaskan nilai sosial adalah ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengatasi kemauan pada saat dan situasi tertentu. Menurut Woods, nilai sosial merupakan petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Bagi A.W.Green, nilai sosial adalah kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap obyek. Sedangkan, menurut menurut Kimball Young, nilai sosial adalah asumsi abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang benar dan apa yang penting. Dan masih banyak pengertian lain terkait dengan nilai sosial, misalnya Alvin L. Bertrand yang memandang bahwa Nilai adalah suatu kesadaran yang disertai emosi yang relatif lama hilangnya terhadap suatu objek, gagasan, atau orang. Dan Robin Williams, nilai sosial adalah hal yang menyangkut kesejahteraan bersama melalui konsensus yang efektif di antara mereka, sehingga nilai-nilai sosial dijunjung tinggi oleh banyak orang. Sedangkan 8 menurut Koentjaraningrat (1968) suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Alfin, 2011). 2.2 Konsep Kelembagaan Secara normatif istilah social-institution (kelembagaan sosial) memiliki beberapa arti. Merujuk pada Koentjaraningrat (1968) selaras dengan makna pranata sosial yang berarti “suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat”. Menurut Polak (1966) kelembagaan sosial berarti “suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting”. Dengan makna makna yang lebih luas, kelembagaan sosial menurut Bertrand (1974) berarti: 1) “himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat” yang wujud kongkritnya adalah berupa asosiasi (association). 2) “tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, organisasi, dan sistem sosial lainnya”. Dilihat dari fungsinya kelembagaan sosial setidaknya memiliki empat hal; 1) Memberi pedoman berperilaku kepada individu atau masyarakat; 2) Menjaga keutuhan; 3) Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control); 4) Memenuhi kebutuhan pokok manusia atau masyarakat. Sedangkan ciri-cirinya menurut Soekanto, (1990), memiliki enam ciri; 1) Merupakan pengorganisasian pola pemikiran yang terwujud melalui aktivitas masyarakat & hasil-hasilnya; 2) Memiliki kekekalan tertentu, 3) Mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu; 4) Mempunyai lambang-lambang yang secara simbolik menggambarkan tujuan; 5) Mempunyai alat untuk mencapai tujuan tertentu; 6) Mempunyai tradisi tertulis atau tidak tertulis. Sedangkan tipe-tipe kelembagaan sosial menurut Gillin dan Gillin (1954) sebagimana dikutip oleh Koentjaraningrat, juga oleh Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut: a) Lembaga sosial berdasarkan perkembangannya, b) Lembaga sosial berdasarkan nilai/kepentingan yang diterima masyarakat, c) Lembaga sosial berdasarkan penerimaan masyarakat, d). Lembaga sosial berdasarkan faktor penyebarannya. e) Lembaga sosial berdasarkan fungsinya. 9 Berdasarkan penerimaan masyarakat, kelembagaan sosial terbagi dua; 1) Approved Institutions adalah bentuk lembaga sosial yang diterima secara umum oleh masyarakat. Misalnya, adanya lembaga peradilan yang berfungsi untuk mengurangi dan mengadili para pelaku penyimpangan sosial. 2) Unsanctioned institutions adalah bentuk lembaga sosial yang secara umum ditolak oleh masyarakat. Misalnya berbagai perilaku penyimpangan, seperti adanya pusat perjudian yang akan memberikan dampak negative terhadap pelaku dan masyarakat sekitarnya. Faktor penyebaran dan jangkauannya kelembagan sosial terdiri dari beberapa hal,yaitu; 1) General Institutions adalah bentuk lembaga sosial yang diketahui dan dipahami masyarakat secara umum. Misalnya keberadaan agama sebagai pedoman hidup manusia maka dibentuklah lembaga agama. 2) Restricted Institutions adalah bentuk lembaga sosial yang hanya dipahami oleh anggota kelompok tertentu. Misalnya pelaksanaan ajaran agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, atau berbagai aliran kepercayaan lainnya, yang pelaksanaan ajaran agama itu hanya dipahami oleh pemeluk ajaran agama yang bersangkutan.Contohnya Kewajiban sholat lima waktu bagi umat Islam dan beribadah ke gereja bagi umat Kristen. Sedangkan proses perkembangan kelembagaan sosial meliputi; 1) lahirnya peraturan dan norma-norma baru (proses strukturalisasi dan inkulturasi); 2) terjadi dimana-mana dan terus menerus dalam masyarakat; 3) proses pengaturan dan pembinaan pola-pola prosedur (tata cara) diserta beragam sanksi dalam masyarakat. Dari proses mengenal kemudian mengakui, menghargai, mentaati, menerima dan internalisasi. Sedangkan tingkat internalisasi “dinilai” berdasarkan kuat atau lemahnya ikatan yang dimiliki oleh norma tersebut. Dalam pengertian lain, disebutkan bahwa proses pertumbuhan lembaga sosial terjadi melalui dua cara yaitu: 1) secara tidak terncana, 2) secara terencana. Secara tidak terencana maksudnya adalah institusi itu lahir secara bertahap dalam kehidupan masyarakat, biasanya hal ini terjadi ketika masyarakat dihadapkan pada masalah atau hal-hal yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup yang sangat penting. Contohnya adalah dalam kehidupan ekonomi, dimasa lalu, untuk memperoleh suatu barang orang menggunakan sistem barter, namun karena 10 dianggap sudah tidak efisien dan menyulitkan, maka dibuatlah uang sebagai alat pembayaran yang diakui masyarakat, hingga muncul lembaga ekonomi seperti bank dan sebagainya. Dan secara terencana maksudnya adalah institusi muncul melalui suatu proses perncanaan yang matang yang diatur oleh seseorang atau kelompok orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang. Contohnya lembaga transmigrasi yang dibuat oleh pemerintah sebagai cara untuk mengatasi permasalahan kepadatan penduduk. Singkat kata bahwa proses terbentuknya lembaga sosial berawal dari individu yang saling membutuhkan. Saling membutuhkan ini berjalan dengan baik kemudian timbul aturan yang disebut norma kemasyarakatan. Norma kemasyarakatan dapat berjalan baik apabila terbentuk lembaga sosial. Dengan batasan pengertian di atas dapat dijelaskan bagimana muncul beragam kelembagaan sosial yang pernah ada hingga sekarang, umumnya di desa telah ada seperangkat lembaga-lembaga yang muncul dan timbul dari inisiatif masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harus di penuhinya. Lembaga-lembaga lokal ini masih sangat bersifat tradisional dengan berbagai kekurangan-kekurangan yang ada dari segi organisasi atau kelembagaan modern. Padahal di sisi lain pemerintah sebagai stakeholder dari program pembangunan sangat memerlukan lembaga yang sangat mampu untuk menjadi wadah atau saluran pembangunan bahkan sarana paling tepat untuk percepatan pembangunan pedesaan. Berpijak dari realita semacam inilah maka pemerintahpun mengeluarkan kebijakan mengenai perlunya pembentukan lembaga kemasyarakatan modern dalam rangka pelaksanaan pembangunan di pedesaan dengan pertimbangan bahwa lembaga masyarakat modern yang dibuat pemerintah yang memang dirancang secara khusus untuk kegiatan pembangunan akan memberikan peluang besar guna keberhasilan pembangunan itu sendiri dari pada pemerintah menggunakan lembaga pemasyarakatan yang sudah ada yang umumnya bercorak kultural, agamis dan tradisional. Kelembagaan umumnya banyak dibahas dalam sosiologi, antropologi, hukum dan politik, organisasi dan manajemen, psikologi maupun ilmu lingkungan yang kemudian berkembang dalam ilmu ekonomi karena kini mulai banyak ahli 11 ekonomi yang mulai berkesimpulan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi umumnya karena kegagalan kelembagaan. Dalam bidang sosiologi, kelembagaan banyak ditekankan pada norma, tingkah laku, dan adat istiadat. Terdapat beberapa definisi kelembagaan yang disampaikan oleh ahli dari berbagai bidang mengenai pengertian lembaga yaitu: 1) Aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerja sama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ruttan dan Hayami, 1984). 2). Suatu himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama, institusi ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat istiadat (Uphoff, 1986). 3) Aturan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain (Ostrom, 1985). Umumnya definisi lembaga mencakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilakunya tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian tata cara orang berperilaku atau bertindak sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Kemampuan dalam mengenali sebuah kelembagaan, membedakan sifat dasar kelembagaan satu dengan yang lainnya, dan melihat relasi antar kelembagaan; dibutuhkan suatu alat menganalisisnya untuk melihat sejauhmana kelembagaan itu masih eksis atau memudar. Alat analisis kelembagaan menurut Sayuti (2003) mengintroduksikan satu konsep bahwa sisi internal sebuah kelembagaan dapat dibagi menjadi 2 (dua) aspek, yaitu aspek kelembagaan (nilai, norma, aturan, etika dan lainnya), dan aspek keorganisasian (struktur, peran, wewenang, otoritas, keanggotaan dan lainnya). 12 Sebagian besar literatur menunjukkan perbedaan antara “kelembagaan” dengan “organisasi”. Setidaknya ada empat bentuk cara membedakan yang terlihat sebagai berikut; 1) Kelembagaan cenderung tradisional, sedangkan organisasi cenderung modern. Pembedaan atas tradisional dan modern ini sejalan dengan pembedaan yang diajukan oleh Horton dan Hunt (1993): “... institution do not have members, they have followers”. 2) Kelembagaan terbentuk dari masyarakat itu sendiri sedangkan organisasi datang dari atas. Cara pembedaan ini relatif mirip dengan pembedaan di atas, namun ini tidak dalam konteks tradisional-modern, namun bawah-atas. Pendapat ini digunakan misalnya oleh Tjondronegoro (1990): “... lembaga semakin mencirikan lapisan bawah dan lemah, dan organisasi mencirikan lapisan tengah dengan orientasi ke atas dan kota” 3) Kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinum, artinya, organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga. Menurut Uphoff (1986), tujuan akhir adalah organisasi yang melembaga, atau kelembagaan yang memiliki aspek organisasi. Jadi, mereka hanya berbeda dalam tingkat penerimaan di masyarakat saja. Organisasi dipandangnya hanyalah sebagai sesuatu yang akan dilembagakan. Pendapat ini sedikit banyak juga berasal dari Harrison dan Huntington (2000) yang menyatakan: “Organization and procedures vary in their degree of institutionalization... Institutionalization is the process by which organizations and procedures acquire value and stability”. 4) Organisasi merupakan bagian dan kelembagaan. Dalam konteks ini, organisasi merupakan organ dalam suatu kelembagaan. Keberadaan organisasi menjadi elemen teknis penting yang menjamin beroperasinya kelembagaan. Kalangan ahli ekonomi kelembagaan menggunakan batasan seperti ini pula. Jika ditelusuri perkembangan dalam khazanah ilmu sosiologi, pada awalnya istilah ‘institution‘ dan ‘organization’ cenderung tidak dibedakan dan bahkan adakalanya digunakan secara bolak balik’. Lalu, semenjak tahun 1950-an, mulai tampak pembedaan yang semakin tegas, bahwa “kelembagaan” dan “keorganisasian” berbeda. Artinya, terjadi perubahan dan pengertian yang “luas dan baur” menjadi “sempit dan tegas”. Kelembagaan jojobo merupakan norma-norma dan tingkah laku yang biasa berlaku dan menjadi nilai kebersamaan dalam mencapai tujuan secara kolektif. 13 Aktivitas kelembagaan jojobo mempunyai kecenderungan saling tukar kebaikan dalam anggota komunitas dalam masyarakat itu sendiri. Secara menyeluruh kelembagaan jojobo ini ditujukan dalam kaitannya dengan nilai sosial ekonomi yang berlaku dalam masyarakat lokal, yang memerlukan dukungan bagi semua pihak untuk meletakkan kelembagaan jojobo sebagai suatu proses pemberdayaan masyarakat desa dalam konteks mengatur pola dan semangat hidup yang didasarkan pada keperdulian, kebersamaan, kejujuran, kebenaran dan kepercayaan antara kelompok anggota masyarakat dalam rangka proses keberlangsungan pembangunan di Maluku Utara. Masyarakat lokal senantiasa mengembangkan pola-pola institusi yang bersifat fungsional sebagai respon terhadap kondisi ketidakpastian dan kerentanan yang mereka hadapi. Institusi-institusi jaminan sosial yang bersifat lokal dan tradisional ini memuat berbagai model mekanisme yang mewajibkan individu, kelompok dan komunitas memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan. Di dalamnya juga ada mekanisme pengembangan model-model saling membantu demi kesejahteraan bersama sebagai kelompok sosial (Von Benda, 2000). Hal ini memperlihatkan bahwa semua hubungan, lembaga dan keyakinan yang sudah terbentuk secara sosial dalam jojobo menjalankan fungsi tertentu sebagai jaminan dari segi sosial, ekonomis dan psikologis bagi seseorang. 2.3 Konsep Pemberdayaan Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996), manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal. 14 Menurut Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Mubyarto (1998) menekankan bahwa terkait erat dengan pemberdayaan rakyat, dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan sumberdaya manusia (di pedesaan), penciptaan peluang berusaha yang sesuai dengan keinginan masyarakat serta kelembagaan-kelembagaan yang dimiliki. Masyarakat menentukan jenis usaha, kondisi wilayah yang pada gilirannya dapat menciptakan lembaga dan sistem pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan masyarakat ini kemudian ditujukan dalam pemberdayaan rakyat yang dapat diperoleh melalui penguatan kelembagaan-kelembagaan lokal yang dimiliki. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan, dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat itu sendiri menjadi sumber dari apa yang di dalam wawasan politik disebut sebagai ketahanan nasional. Artinya bahwa apabila masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi, maka hal tersebut merupakan bagian dari ketahanan ekonomi nasional. Kerangka inilah upaya memberdayakan masyarakat pertama-tama dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang termasuk penguatan kelembagaan-kelembagaan lokal yang dimiliki. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu sendiri, dengan mendorong memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya 15 untuk mengembangkannya kelembagaan yang dimiliki. Selanjutnya, upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang kondusif. Perkuatan kelembagaan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya (Kartasasmita, 1996). Pemberdayaan yang dikemukakan Dwijowijoto (2006) dan Roesmidi (2008) menempatkannya bukan pada sebuah proses instan, melainkan suatu proses yang bertahap. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan yaitu 1) penyadaran, 2) pengkapasitasan dan 3) pendayaan. Tahap-tahap terjadinya pemberdayaan melalui proses-proses tersebut yaitu: Pertama, Penyadaran. Pada tahap ini target hendak didayakan diberi pencerahan dalam bentuk diberi penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai sesuatu misalnya target kelompok masyarakat miskin dan mereka bisa menjadi berada itu didahului jika mereka mempunyai kapasitas untuk keluar dari kemiskinan. Program tahapan ini memberi pengetahuan. Diberdayakan dalam proses pemberdayaan itu dimulai dari dalam diri sendiri dan orang luar. Kedua, pengkapasitasan (capasity building). Pada tahap ini dilakukan melalui pembangunan kemampuan untuk membuat mereka cakap melalui suatu training, latihan, workshop, seminar, atau simulasi. Dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi, suatu kelompok dengan memanajemen yaitu: a) pengkapasitasan pertama menyiapkan medium buat organisasi. b) pengkapasitasan kedua take it for granted (jadi dengan sendirinya). Ketiga, Pemberdayaan. Pemberdayaan pada tahapan ini memberikan daya melalui diberikannya otoritas kekuasaan, peluang sesuai kecakapan yang dimiliki. Intinya dalam proses pemberian daya atau kekuasaan diberikan sesuai dengan kecakapan penerimaan. Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat. Namun, upaya mewujudkannya dalam praktik pembangunan tidak selalu berjalan mulus. Banyak pemikir dan praktisi yang belum memahami dan mungkin tidak 16 meyakini bahwa konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap dilema-dilema pembangunan yang dihadapi. Mereka yang berpegang pada teoriteori pembangunan model lama juga tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan pandangan-pandangan dan tuntutan-tuntutan keadilan. Mereka yang tidak nyaman terhadap konsep partisipasi dan demokrasi dalam pembangunan tidak akan merasa tentram dengan konsep pemberdayaan ini. Lebih lanjut, disadari pula adanya berbagai bias terhadap pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma baru pembangunan. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995 dalam Kartasasmita, 1996). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan dimasa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedmann (1992) disebut alternative development, yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity”. Konsep pemberdayaan tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena seperti dikatakan oleh Brown (1995), keduanya tidak harus diasumsikan sebagai “incompatible or anti-thetical”. Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game” dan “trade off”. Ia bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan yang akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Kirdar dan Silk (1995), “the pattern of growth is just as important as the rate of growth”. Yang dicari adalah seperti dikatakan Ranis, “the right kind of growth”, yakni bukan yang vertikal menghasilkan “trickle-down”, seperti yang terbukti tidak berhasil, tetapi yang bersifat horizontal (horizontal flows), yakni “broadly based, employment intensive, and not compartmentalized” (Ranis, 1995). 17 Pertumbuhan dihasilkan bukan hanya dengan biaya lebih kecil, tetapi dengan devisa yang lebih kecil pula (Brown, 1995). Hal terakhir ini besar artinya bagi negara-negara berkembang yang mengalami kelangkaan devisa dan lemah posisi neraca pembayarannya. Lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa terhadap model pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut : (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya Akhirnya yang terjadi ialah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the powerless). (Prijono dan Pranarka, 1996). Proses tahapan pemberdayaan sejalan dengan terminologi pemberdayaan itu sendiri atau yang dikenal dengan istilah empowerment yang berawal dari kata daya (power). Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam tetapi dapat diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar. Ia merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan yang menghubungkan power dengan pembagian kesejahteraan. Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber-sumber power. Proses historis yang panjang menyebabkan terjadinya power dispowerment, yakni peniadaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh dari kekuasaan. Begitulah lingkaran setan itu berputar terus. Oleh karena itu, pemberdayaan bertujuan dua arah. Pertama, melepaskan 18 belenggu kemiskinan, dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan. (Prijono dan Pranarka, 1996) 2.4 Pemberdayaan Kelembagaan Pada dasarnya terdapat beragam makna tentang pemberdayaan kelembagaan, namun keseluruhan pegertian tersebut mengacu pada makna dasar dari pemberdayaan itu sendiri yang berarti “Memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan kepada warga untuk meningkatkan kemampuan merka dalam menentukan masa depannya sendiri dan berpartisipasi dalam dan mempengaruhi kehidupan dari masyarakatnya” ( Ife, 1995: 182). Dapat dikatakan juga bahwa pemberdayaan adalah “Perluasan aset-aset dan kemampuan-kemampuan masyarakat miskin dalam menegosiasikan dengan mempengaruhi, mengontrol, serta mengendalikan tanggung jawab lembagalembaga yang mempengaruhi kehidupannya” ( Narayan et al, 2002:11). Pemberdayaan juga berarti kemampuan individu dan komunitas untuk mengontrol lingkungannya dengan menciptkan kemampuan menganalisis masalah mereka, mengidentifikasi sebab-sebabnya, menetapkan prioritas, dan memperoleh pengetahuan baru secara mandiri (conscientization) ( Freire, 1972: 13). Menurut Ife (1995:61-64), pemberdayaan termasuk di dalamnya penguatan kelembagaan masyarakat mesti memuat dua pengertian kunci yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuatan politik namun mempunyai arti luas yang merupakan penguasaan masyarakat atas: 1) Power over personal choices and life chances. Kekuasaan atas pilihan-pilhan personal dan kesempatan-kesempatan hidup, kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai pilihan hidup, tempat tinggal dan pekerjaan dan sebagainya. 2) Power over the definition of need. Kekuasaan atas pendefinisian kebutuhan, kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginan. 3) Power over ideas. Kekuasaan atas ide atau gagasan, kemampuan mengekspersikan dan menyumbang gagasan dalam interaksi, forum dan diskusi secara bebas dan tanpa tekanan. 4) Power over institutions. Kekuasaan atas lembaga-lembaga, kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi lembaga-lembaga masyarakat seperti; lembaga pendidikan, 19 kesehatan, keuangan serta lembaga-lembaga pemenuh kebutuhan hidup lainnya. 5) Power over resources. Kekuasaan atas sumber daya, kemampuan memobilisasi sumber daya formal dan informal serta kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhan hidup. 6) Power over economic activity. Kekuasaan atas aktivitas ekonomi kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi serta pertukaran barang dan jasa. 7) Power over reproduction. Kekuasaan atas reproduksi, kemampuan dalam kaitannya dengan proses reproduksi dalam arti luas seperti pendidikan, sosialisasi, nilai dan prilaku bahkan kelahiran dan perawatan anak. Dalam pengetian ini maka pemberdayaan dan penguatan masyarakat beserta kelembagaan yang dimilikinya dapat diartikan sebagai tujuan dan proses sekaligus. Sebagai tujuan, pemberdayaan adalah suatu keadaan yang ingin dicapai, yakni masyarakat yang memiliki kekuatan atau kekuasaan dan keberdayaan yang mengarah pada kemandirian sesuai dengan tipetipe kekuasaan yang disebutkan sebelumnya. Dengan demikian maksud dan tujuan Pemberdayaan Kelembagaan Sosial Masyarakat adalah: 1) Untuk mewujudkan partisipasi sosial masyarakat melalui perorangan, lembaga-lembaga sosial masyarakat serta dunia usaha dalam melaksanakan usaha-usaha kesejahteraan sosial. 2) Mendelegasikan sebagian tugas kepada institusi sosial di daerah dalam menyusun rencana, melaksanakan dan mengendalikan pemberdayaan potensi dan sumber kesejahteraan sosial secara terukur dan akuntabel di daerahnya masing-masing. 3) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, organisasi dan manajemen mitra-mitra kerja untuk mewujudkan pelayanan sosial yang profesional. 2.5 Ekologi Komunitas Petani perladangan Maluku Utara memiliki ekosistem yang agak berbeda dengan pulau-pulau lain, seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan pulau-pulau lain di Indonesia. Aneka ciri-ciri fisik-geografis dan biologi (curah hujan, kelembaban, kesuburan tanah, kerapatan vegetasi, topografi, struktur ruang, dan lain-lain) berinteraksi sedemikian rupa dengan ciri-ciri sosial budaya (penduduk, etnisitas, pola penempatan, kepercayaan, dan lain-lain) dalam kurun waktu lama sehingga membentuk suatu sistem ekologi kebudayaan perladangan yang berbeda yaitu 20 sistem (JICA dan Bappenas, 1998). Perspektif ini menggariskan norma-norma yang dapat menjawab pertanyaan mengenai ciri-ciri ekologi kebudayaan Maluku Utara. Daerah pantai umumnya tanah gambut dan hutan rendah, sementara daerah hulu berupa hutan hujan tropis. Struktur tanah di Maluku Utara memiliki pegunungan vulkanik yang secara berkala menyemburkan hara dan mineral ke dataran rendah. Formasi umum alivium, yakni berupa endapan sungai dan rawa, bersumber dari kwarsa, kerikil, dan bongkahan batu malihan, granit, dan kwarsa. Endapan aluvium rawa terutama terdiri dari lumpur hitam sampai keabu-abuan, tanah liat yang mengandung limonit dan di beberapa tempat lumpur pasir dan tanah liat mengandung lignit. Aluvium yang lebih tua terdiri dari kerikil dan bongkah batuan malihan dan granit, agak mengeras, terletak 40-50 meter di atas permukaan sungai sekarang. Ketebalan aluvium 5-10 meter dan terdapat sisa-sisa tanaman dan tumbuhan (Miring, dkk. 1989). Pola perkampungan tertata dalam jarak yang saling berjauhan mengikuti alur DAS, dengan populasi relatif kecil, adakalanya hanya belasan kepala keluarga, tidak pernah berkembang melebihi daya dukung tanah (Riwut, 1993). Jarak fisik dan geografis yang saling berjauhan membatasi interaksi sosial yang intensif antar kampung dan antar anak kampung. Kampung pada umumnya berjauhan satu sama lain, terpencar jauh. Letak rumah terpencar-pencar dan banyak ditemukan rumah betang. Kampung besar mempunyai beberapa anak kampung yang terpencil lebih jauh lagi ke pedalaman, yaitu di gunung, di lembah, di tepi sungai, di hutan-hutan dan pesisir laut. Untuk anak kampung yang di sungai-sungai ada yang jaraknya sampai 20-30 km dengan kampung besarnya, demikian pula untuk kampung yang terletak di hutan-hutan jaraknya sekitar 5-10 km dari kampung besarnya. Tidak jarang satu kampung terdiri dari tiga sampat lima kampung yang letaknya berjauhan (Riwut, 1993). Ciri positif perladangan dari segi ekologi lebih berintegrasi ke dalam struktur umum ekosistem alami, sebelum perladangan itu direncanakan, dan jika sungguh-sungguh adaptif lebih baik mempertahankan struktur itu daripada menciptakan dan melanjutkan ekosistem yang disusun menurut garis-garis baru dan dinamik-dinamik baru. Setiap bentuk pertanian merupakan usaha mengubah 21 ekosistem tertentu sehingga manusia dapat menaikkan arus energi ke manusia. Persawahan mencapai hal itu dengan cara mengolah kembali alam sekitar, sementara perladangan dengan cara meniru alam sekitar. Perladangan memilik ciri sistemik dengan meniru hutan tropis sebagai tingkat umum yang dicapainya. Ekosistem Maluku Utara didiami beragam suku bangsa dimana mayoritas adalah Suku-suku lokal. Masyarakatnya sebagian besar tinggal di pesisir pantai dan berkembang kebudayaan, alat-alat, dan bahasa yang berbeda di masingmasing tempat. Komunitas yang ada di Maluku Utara terdapat 28 sub etnis dan 29 bahasa. Meski terdapat pengelompokan sub etnis dan perbedaan bahasa, namun masing-masing etnis tetap menghargai satu sama lain. Itu sebab, identitas masyarakat Maluku Utara dianggap relatif tinggi jika dibandingkan dengan sukusuku pendatang, misalnya dibanding Bugis, Manado, atau Jawa. Lebih dari itu, Maluku Utara memiliki kesatuan orientasi sosial, ekonomi, dan budaya antar daerah dan propinsi lain. Secara historis, Maluku Utara menerima migran dan beragam suku bangsa, seperti Melayu, Bugis, Jawa dan luar Maluku Utara. Migrasi yang terus-menerus baik secara spontan maupun lewat program (transmigrasi) menciptakan sebuah masyarakat yang kompleks. Perbedaan tingkahlaku, keperibadian, dan orientasi nilai budaya sering tertumpangi oleh kepentingan ekonomi politik, menimbulkan ketidakstabilan sosial. Beragam dimensi kelembagaan sosial, ekonomi, budaya, religi, dan politiknya semakin kehilangan fungsi koordinasinya terhadap pola dan arah perkembangan. Day (1996) mencatat perubahan dalam kepemimpinan, kelembagaan, dan organisasi-organisasi pertanian. Ekonomi uang menggantikan subsistensi dan ekonomi kelembagaan. Pengaruh paren (pengetua adat) terdegradasi, dan digantikan oleh bentuk kepemimpinan baru (agama, pemerintah, ekonomi). Kelembagaan jojobo (gotong-royong) dan organisasi-organisasi bekerja dengan cara-cara baru. Kelembagaan jojobo yang berhubungan dengan tata guna agraria kehilangan fungsi. Pola tinggal menetap yang terpencar memberi jalan yang mudah bagi pengaruh-pengaruh luar menerobos masuk ke dalam komunitas. Perkembangan zaman memaksa komunitas-komunitas di Maluku Utara kembali hubungan mereka dengan alam. Pemusatan fasilitas umum seperti 22 pendidikan dan kesehatan misalnya, mendorong perubahan pola tinggal menetap berhubungan dengan pendidikan bagi anak-anak mereka. Mereka mendekati tepi pantai atau kota-kota kecil dimana pembangunan dan modernitas terpusat. Ekonomi perladangan menciut dengan memutus sebagian mata rantai siklus perladangan. Intensifikasi relatif atas lahan menurunkan tingkat kesuburan, lebih jauh menurunkan produktifitas. Budaya politik nasional (sentralisme, otoritarianisme) menghadang evolusi sosiobudaya pada masyarakat perladangan di Maluku Utara, oleh perencanaan pengembangan pertanian yang lebih didasari “politik panglima” (Dove, 1980). Sekalipun elementer, dan mencakup bagian terluas dari sistem ekologi di Indonesia, pengetahuan tentang ekologi perladangan sangat kurang, dan jika tersedia perladangan biasanya diungkapkan secara negatif, antara lain karena dianggap tidak ada hubungan dengan pertumbuhan usaha pedesaan dan sangat sedikit produksi yang mempunyai arti bagi perdagangan (Geertz, 1975).”Sistem pertanian perladangan lebih sering disalahmengerti (Mubyarto. 1989) dengan kesan-kesan yang bias budaya sawah-sentris (Dove, 1988). Jarang sekali dipertimbangkan sistem perladangan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat peladang (Ukur, 1992). Dalam hal industrialisasi di sektor kehutanan, segi-segi ekonomi dan kelestarian lingkungan hutan lebih ditonjolkan ketimbang manusia dan kebudayaannya (Gunawan dkk., 1998). Hak-hak asal usul (ulayat) dikesampingkan sambil memberi jalan bagi pemodal mengeksploitasi sumbersumber alam yang tersedia di lingkungan hutan dan alam. Ketika isu-su lingkungan hidup mengemuka, para peladang selalu menjadi pihak yang hampir selalu dipersalahkan (Djuweng, 1998). Ekonomi perladangan mempunyai ciri-ciri yang khas dengan peluang lebih terbuka bagi perkembangan tanaman perdagangan seperti kelapa, lada, pala, kopi, dan cengkeh, yang tidak memerlukan pemeliharaan intensif. Tetapi perkembangan ekonomi perladangan terjerat dalam jebakan sistem ekonomi dualistik yang sering tidak dimengerti. Karena itu pemindahan penduduk ke Maluku Utara melalui program-program kependudukan seperti transmigrasi mendasari berkembangnya isu-isu pemindahan kemiskinan (Mubyarto, 1992). 23 Pemerintah nasional berkeinginan mengubah pola perladangan menjadi pola kehidupan yang sesuai dengan pola pertanian yang dikenal oleh pemerintah pusat; pemerintah berkepentingan menghalangi penggarapan tanah hutan tropik di dalam sistem perladangan. Sistem perladangan berhasil baik dan sesuai dengan pertimbangan mengenai lingkungan, sebaliknya pemerintah salah paham dan percaya sistem perladangan merupakan pendayagunaan yang membahayakan lingkungan, yang merupakan alasan utama bagi pelaksanaan program pengendalian perladangan (Dove, 1988). Harapan bagi pendayagunaan yang lebih intensif atas hutan tropika juga dipakai sebagai dasar program pengendalian lingkungan. Intensifikasi tanah memang diperlukan oleh kepentingan negara yang menghadapi masalah pertumbuhan dan ketidakmerataan penduduk. Dalam sistem perladangan, peningkatan per unit area berbeda dengan peningkatan per unit tenaga. Yang pertama cenderung dinilai sangat tinggi dalam sistem pertanian intensif, di mana tanah sudah menjadi langka, tenaga semakin langka, dan permodalan sudah ditingkatkan;yang terakhir selalu lebih penting bagi sifat-sistem yang ekstensif dimana tanah masih banyak sedangkan tenaga kerja yang sedikit. Karena sistem yang terakhir ini lebih menghemat tenaga kerja sedangkan yang pertama lebih menghemat tanah,yang terakhir ini dapat menghasilkan produktifitas yang lebih tinggi per unit tenaga kerja meskipun menghasilkan produktifitas yang lebih rendah per unit tanah. Akibatnya rata-rata peladang menggunakan alasan ekonomis dengan perhitungan-perhitungan yang paling tepat untuk menolak ajakan pemerintah mengembangkan sistem perladangan ekstensif diubah menjadi sistem perladangan intensif (Dove, 1988). Perubahan lingkungan hidup fisik, perubahan dalam jumlah serta komposisi penduduk, dan perubahan dalam cara-cara berproduksi (teknologi) merupakan faktor penting yang mendorong perubahan sosial budaya. Perubahan sosial budaya ini akan semakin tajam apabila perubahan faktor ekologi terjadi karena tekanan-tekanan luar (external pressure) yang tidak dapat ditolerir oleh masyarakat yang bersangkutan. Perubahan-perubahan ekologi yang diterima dan kemudian terintegrasi ke dalam suatu sistem sosial budaya akan merupakan suatu inovasi, apabila unsur-unsur perubahan itu berperan sebagai faktor dinamik dalam 24 kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya yang terjadi adalah penolakan apabila perubahan-perubahan bertentangan dengan pola budaya yang sudah ada atau dianggap akan mengakibatkan perubahan yang mendasar, baik yang berkenaan dengan pandangan hidup atau nilai-nilai budaya atau struktur sosial yang ada. Dengan demikian, perubahan itu tidak akan berfungsi sebagai faktor dinamis, melainkan sebagai faktor yang mendorong terjadinya perusakan atau peruntuhan diri. Perusakan-diri antara lain ditandai oleh terjadinya kerancuan dan kekacauan sosial yang pada akhirnya dapat membawa masyarakat itu kehilangan etos dan identitas diri (Pelly, 1991). 2.6 Kerangka Pemikiran Pendekatan modernization Theory merupakan kebijakan pemerintah sebagai upaya mengeluarkan masyarakat pedesaan dari keterbelakangan sosial ekonomi di perkenalkan sebagai nilai-nilai modern seperti halnya teknologi keahlian dan modal. Industrialisasi, ekspansi modal yang merupakan bagian dari modernisasi adalah merupakan salah satu faktor pendorong yang akan mentransformasikan secara cepat tertinggal, atau ketertinggalan tradisi dalam suatu komunitas pedesaan. Nilai-nilai modernisasi yang didukung oleh program kebijakan pemerintah membawa perubahan terhadap memudarnya kelembagaan lokal di pedesaan sebagai nilai sosial masyarakatnya. Kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia umumnya memiliki kelembagaan-kelembagaan lokal yang dibutuhkan dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial ekonomi dan upaya untuk mengatasi beratnya suatu pekerjaan. Kehidupan masyarakat pedesaan sebelum modernisasi tampak dari menguatnya kelembagaan-kelembagaan lokal yang mempunyai peran strategis sebagai normanorma yang mengatur tentang pola dan semangat hidup yang berlandaskan gotong royong atau kerja sama, kebersamaan dalam usaha pemenuhan dan menyelesaikan masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapinya. Kelembagaan merupakan tatanan norma-norma dan tingkah laku yang berlaku untuk mencapai tujuan kolektif yang dijadikan nilai bersama. Aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggota untuk membantunya dengan harapan di mana setiap orang dapat 25 bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang di inginkan (Ruttan dan Hayami, 1984). Kelembagaan lokal ini memperlihatkan bahwa adanya distribusi dalam bentuk kerjasama dalam suatu kelompok masyarakat. Polanyi membagi kegiatan distribusi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu: 1) resiprositas, 2) redistribusi, dan 3) pertukaran pasar. 1. Resiprositas dalam arti harfiah adalah timbal balik, dalam antropologi ekonomi kegiatan resiprositas berarti pertukaran barang dan jasa yang kirakira sama nilainya antara dua pihak. Resiprositas dibagi menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu: (a). Resiprositas umum: kegiatan tukar menukar barang dan jasa, dimana pemberi maupun penerima tidak menentukan secara spesifik nilai barang atau waktu penyerahannya: contoh kegiatan ekonomi yang bersifat altruis dimana hanya berorientasi pada kesejahteraan orang banyak. Seperti yang terjadi di kalangan suku-suku pribumi Australia, saat mendapatkan hewan buruan, daging hewan tersebut dibagi-bagikan kepada keluarga terdekat, namun bagian yang tidak enak seperti limpa atau darah ditahan untuk pemburu. (b). Resiprositas berimbang kegiatan tukar menukar barang dan jasa dimana pemberi maupun penerima menentukan dengan pasti nilai barang yang terlibat dan waktu penyerahannya. (c). Resiprositas negatif: Kegiatan tukar menukar barang dan jasa dimana salah satu pihak ingin mengambil keuntungan dari pihak lain dengan cara apapun. Contoh: dalam budaya Indian Navajo menipu pada waktu barter dengan orang asing secara moral dapat diterima. 2. Redistribusi: bentuk kegiatan ekonomi dimana barang-barang masuk dalam satu tempat pusat kemudian didistribusikan lagi. Contoh: pajak di Indonesia dan beberapa negara lain. Masyarakat diwajibkan membayar pajak pada pemerintah, setelah uang hasil pajak terkumpul maka pemerintah akan membagikan lagi ke rakyat dalam bentuk pembangunan fasilitas-fasilitas umum yang lebih memadai, atau contoh di Amerika Serikat dimana pajak yang terkumpul dipakai untuk mendanai perusahaan international asal Amerika yang hampir bangkrut. Ketiga, Barter: adalah kegiatan tukarmenukar barang yang digolongkan dalam salah satu bentuk resiprositas negatif, karena di dalamnya tidak ada bentuk resiprositas umum atau 26 berimbang murni. Dalam barter terdapat penilaian relatif pada suatu barang yang akan dipertukarkan, dimana barang langka yang dihasilkan oleh suatu kelompok dipertukarkan dengan barang yang dihasilkan oleh kelompok lain. Ketidakpastian dan kerentanan merupakan masalah yang dihadapi oleh setiap orang sepanjang hidupnya. Setiap orang dan kelompok masyarakat memiliki persepsi dan cara sendiri tentang bagaimana ketidakpastian dan kerentanan hidup harus ditangani dan dipecahkan. Setiap orang atau masyarakat senantiasa sedang menjalankan dan terus menerus mengembangkan mekanisme atau sistem-sistem sosial untuk mengatasi ketidakpastian dan kerentanan itu melalui hubungan-hubungan yang dibangun, lembaga-lembaga, dan keyakinankeyakinan budaya tertentu. Semua hubungan, lembaga dan keyakinan yang sudah terbentuk secara sosial itu menjalankan fungsi tertentu sebagai jaminan dari segi sosial, ekonomis, dan psikologis bagi seseorang. Itu berarti bahwa setiap orang dan masyarakat senantiasa memiliki suatu sistem jaminan sosial tertentu. Jika dilihat dengan cara demikian, jaminan sosial tidak saja menjadi persoalan budaya, sosial, ekonomi, hukum, dan politik yang sangat penting, tetapi juga merupakan aspek yang tak terpisahkan dari kompleksitas perubahan masyarakat yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakatnya (Von Benda, 2000). Penelitian berkaitan dengan jojobo sebagai suatu lembaga sosial ekonomi masyarakat petani perladangan di Maluku Utara, berdasarkan kerangka penelitian dipergunakan konsep perbedayaan ekonomi melalui penguatan kelembagaan lokal, yaitu sebagai berikut : 1. Kelembagaan sosial berkaitan dengan nilai bersama yang mengatur perilaku individu dalam suatu masyarakat atau kelompok. Kelembagaan lokal memiliki norma informal bersifat instan yang mengembangkan kerjasama dua orang atau lebih. Norma merupakan modal sosial yang dapat disusun dari norma resiprositas antar manusia. Norma sosial ini menentukan perilaku bersama dalam suatu kelompok individu sebagai prinsip keadilan yang mengarahkan perilaku tidak mementingkan diri sendiri. (Polanyi, 1957). 27 2. Pemenuhan kebutuhan dalam komunitas merupakan sistem dari saluran komunikasi (system of communication channel) untuk melindungi dan mengembangkan hubungan interpersonal. Redistribusi ini merupakan gerakan appropriasi yang bergerak ke arah pusat kemudian dari pusat didistribusikan kembali ke bawah (Polanyi, 1957), dalam kaitannya pemenuhan kebutuhan komunitas diarahkan pada keberadaan kelembagaan lokal yang mampu meredistrubsi kemampuan yang dimiliki komunitas masyarakat yang kemudian didistribusikan kembali kepada para anggota komunitas masyarakat. 3. Solidaritas sosial merupakan penyediaan arahan bagi terbentuknya kerjasama dan koordinasi sosial dari semua aktivitas sehingga setiap individu dapat hidup bersama dan berinteraksi dengan lainnya. Kelembagaan sosial yang bersifat lokal dan tradisional memuat berbagai model mekanisme yang mewajibkan individu, kelompok dan komunitas memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan. Di dalamnya terdapat mekanisme pengembangan model-model saling membantu demi kesejahteraan bersama sebagai kelompok sosial (Von Benda, 2000). Pemberdayaan masyarakat menyangkut kelompok masyarakat sebagai pemberdayaan kelembagaan jojobo bertumpu pada nilai-nilai jojobo dengan berbasis nilai akan dapat memenuhi kebutuhan sosial ekonomi. Jojobo sebagai kelembagaan merupakan wadah dalam kelompok masyarakat yang memfasilitasi koordinasi kerjasama dalam mencapai kesejahteraan bersama. Jojobo sebagai kelembagaan sosial ekonomi berkaitan dengan kebersamaan yang ditampilkan dalam bentuk perilaku dalam menetapkan suatu keputusan berdasarkan kesepakatan bersama. Jojobo sebagai alat pemenuhan kebutuhan dalam kelembagaan sosial merupakan alat komunikasi dalam mempertahankan dan mengembangkan kekuatan komunitas dalam mencapai tujuan bersama yaitu pemenuhan kebutuhan para anggotanya. Kelembagaan jojobo dapat menjadi alat untuk mengukur solidaritas sosial dan juga dapat menjadi instrumen interaksi antar komunitas dalam bekerjasama untuk memperoleh keuntungan bersama. Dengan kata lain, jojobo juga merupakan disementasi sosial yang dapat merekatkan kepentingan sosial bersama antar 28 individu dan kelompok-kelompok yang terdapat di dalam masyarakat di kecamatan Jailolo Selatan, Halmahera Barat. Artinya, tinggi rendahnya solidaritas sosial, resiprositas sosial dan ikatan-ikatan sosial lainnya dalam masyarakat dapat dilihat dalam tebal-tipisnya semanagat jojobo dijalankan oleh masyarakat. 2.7 Hipotesis Pengarah Berdasarkan yang telah di uraikan dalam latar belakang dan perumusan masalah, tujuan penelitian maka disusun hipotesis yang merupakan arahan bagi pengembangan metode pnelitian dan analisis data. Hipotesis penelitian yang di maksud berkaitan dengan keberadaan kelembagaan sosial Jojobo sebagai modal sosial komunitas petani perladangan merupakan wadah dalam memfasilitasi koordinasi kerjasama dalam mencapai kesejahteraan bersama, maka ditetapkan hipotesis pengarah yaitu: (1). Pemberdayaan kelembagaan jojobo yang bertumpu pada nilai-nilai jojobo akan berdampak memenuhi kebutuhan sosial ekonomi komunitas petani perladangan; (2). Pemberdayaan kelembagaan jojobo akan dapat memperkuat solidaritas yang ada. 29 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menerapkan pendekatan studi kualitatif yang dipandang relevan karena bertujuan memahami fenomena aktivitas keberadaan kelembagaan sosial ekonomi petani peladang di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat merupakan studi kasus yang diteliti dalam penelitian ini. Penggunaan metode kualitatif dilakukan untuk mengungkapkan berbagai fenomena sosial ekonomi berupa penerapan modal sosial lokal yaitu keberadaannya kelembagaan sosial ekonomi pada komunitas masyarakat lokal dalam melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakatnya. Penelitian kualitatif yang dilakukan dalam penelitian ini yakni untuk menggambarkan, menggali secara mendetail dan menjabarkan realitas aktivitas petani peladangan dalam suatu komunitas masyarakat lokal, serta bekerjanya Jojobo sebagai kelembagaan sosial ekonomi di Maluku Utara khususnya pada studi komunitas petani peladang di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat dengan menggunakan data deskriptif berupa hasil pengambilan data di lapangan yang menghasilkan dalam bentuk kata-kata baik tertulis maupun lisan dan perilaku dari narasumber yang diteliti. Sumber data dalam penelitian ini yakni masyarakat desa di Maluku Utara, di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat yang terlibat langsung dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan menggali data dan informasi sebanyak-banyaknya agar dapat membantu peneliti dalam melakukan analisis dalam penelitian ini. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian yang difokuskan pada kelembagaan jojobo sebagai kelembagaan ekonomi dalam aktivitas petani peladang yang berada di lokasi Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat Propinsi Maluku Utara. Keberadaan lembaga sosial ekonomi Jojobo sebagai nilai sosial lokal dan sebagai kelembagaan ekonomi masyarakat dimiliki oleh komunitas petani peladang yang merupakan masyarakat setempat di Kecamatan Jailolo Selatan. Penelitian ini mempergunakan 31 waktu selama 3 (tiga) bulan mulai dari kegiatan persiapan penelitian, penyusunan pengajuan penelitian, pengumpulan data dan pelaporan hasil penelitian. 3.3 Metode Penentuan Subjek dan Informan Penelitian ini menggunakan penentuan responden secara non probability sampling dengan menerapkan metode snowball sampling. Metode ini merupakan prosedur penentuan responden berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden sebelumnya (Arikunto, 1995). Teknik Snowball Sampling yang dipilih dalam menentukan subjek yakni dengan menentukan beberapa responden awal, yang kemudian akan terus berlangsung hingga memperoleh informasi dari subjek satu dengan yang lain mempunyai kesamaan sehingga tidak ada data yang baru. sedangkan, penentuan informan penelitian menggunakan metode purposive sampling yakni menentukan informan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang mendalam terhadap permasalahan yang diteliti, dan dapat memberikan informasi yang valid. Subjek dalam penelitian ini dipergunakan unsur masyarakat yang terdiri dari Ketua Adat, ketua Masyarakat dan Pelaku Jojobo. Adapun informan yang dipilih yaitu unsur pemerintah daerah berjumlah 2 orang yaitu Kepala BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), dan Kepala Bidang Pemerintahan Desa. 1. Tabel 3.1 Daftar Nara Sumber/ Informan Utama No. 1. Nara Sumber/Informan Bapak MB dan F 2. Bapak MHA, SKK, B,M J, J, MS, D. Ibu AA 3. BHA, HM, DHY, A S, I, Bu SHR, SM 4. Posisi Jabatan/Profesi Kepala Badan dan Kepala Bidang Bapak BHA, AA, H S, SH, A, SY, HAHA, W, S, M, NHS, YHH, F, M, Y, IHB, S, I. Ibu Muna M, MY, SY. N, H, N, AHB, M Sumber: Hasil kajian Penulis, 2011 32 Ketua/Tokoh Masyarakat Ketua Adat Peladang/Pelaku Jojobo Data dan Informasi Pokok 1. Gambaran umum wilayah penelitian 2. Program-program Pemerintah dan partisipasi Warga 3. Mekanisme aktivitas Kelembagaan 1. Sejarah komunitas. 2. Partisipasi masyarakat 3. Bentuk-bentuk Solidaritas 1. Nilai-nilai sosial Jojobo 2. Interaksi Antar Individu komunitas Jojobo 3. Kekuatan sosial dalam Jojobo dalam Usaha dan bekerja berladang, mencari hasil hutan, berdagang dan berasosialisasi pada kegiatan Jojobo 3.4 Metode Pengumpulan Data Dalam pelaksanaan penelitian ini untuk memperoleh data penelitian maka peneliti menggunakan tiga cara dalam pengumpulan data yakni, dengan cara pengamatan langsung, wawancara mendalam (indepth interview) dan studi literature/dokumentasi. 1. Pengamatan langsung. Dengan metode ini peneliti hendak melihat fakta-fakta lapangan secara langsung, terutama dalam mendalami persoalan bagimana penerapan penghayatan nilai-nilai Jojobo dalam masyarakat. Dengan cara ini peneliti hendak menangkap perlilaku, sikap dan manifestasi lain dari nilai Jojobo dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. 2. Wawancara Mendalam (indepth interview). Dengan metode ini peneliti hendak mendalami beberapa tema dan topik khusus dengan orang-orang yang termasuk sebgai key informan yang telah dipilih berdasarkan prinsip-prinsip trianggulasi agar di hasilkan data yang spesifik dan menyeluruh dalam satu topik tertentu, khususnya untuk menjawab rumusan masalah utama penelitian. Dalam melakukan wawancara mendalam kepada tokoh dan informan kunci di lapangan, digunakan dan mengacu pada panduan wawancara yangtelah dipersiapkan menurut tema atau topik kajian. 3. Studi literatur dan dokmentasi. Dengan metode ini peneliti berusaha menelusuri dan mendalami beragam referensi (buku, jurnal, artikel, dsb), hasli penelitian sebelumnya, serta dokumen-dokumen tertulis baik melalui dinas-dinas pemerintah yang terkait maupun dokumen-dokumen yang dimiliki oleh masyarakat sendiri, yang berhubungan dan mendukung tema kajian. Dengan demikian, peneliti dapat memiliki data sekunder dan informasi awal yang luas guna mendalami di lapangan. 33 Berikut ditampilkan tabel teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 3.2 Penentuan Responden (Subjek dan Informan) No 1 2 3 Tujuan Penelitian Mengkaji bentuk penerapan nilainilai Jojobo dalam aktivitas ekonomi produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat 1. Menganalisis upaya pemberdayaan kelembagaan Jojobo dan dampaknya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat Menganalisis 1. dampak kelembagaan Jojobo bagi solidaritas kerjasama antar warga masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonominya. 34 Data 2. 3. 4. 2. 3. Gambaran umum wilayah penelitian Karakteristik demografi Mekanisme aktivitas kelembagaan ekonomi Jojobo Ragam bentuk aktivitas kelembagaan ekonomi Jojobo Nilai-nilai sosial ekonomi dalam kelembagaan Jojobo Interaksi antar anggota komunitas dalam kelembagaan Jojobo Kekuatan sosial ekonomi dalam kelembagaan Jojobo 1. Penerapan unsur-unsur saling membantu pada aktivitas kelembagaan Jojobo 2 Partisipasi masyarakat dalam kelembagaan Jojobo 3. Bentuk solidaritas dalam penerapan aktivitas ekonomi kelembagaan Jojobo Sumber Data 1. Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat 2. Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat 3. Ketua adat, tokoh masyarakat dan pelaku Jojobo di lokasi penelitian 4. Ketua adat, tokoh masyarakat dan pelaku Jojobo di lokasi penelitian 1. Ketua adat, dan tokoh masyarakat di lokasi penelitian 2. Ketua adat, tokoh masyarakat dan pelaku Jojobo di lokasi penelitian 3. Ketua adat, tokoh masyarakat dan pelaku Jojobo di lokasi penelitian 4. Ketua adat, tokoh masyarakat dan pelaku Jojobo di lokasi penelitian 1. Ketua adat, tokoh masyarakat, pelaku Jojobo, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD), 2. Ketua adat, tokoh masyarakat, pelaku Jojobo, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD), 3. Ketua adat, tokoh masyarakat, pelaku Jojobo, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD), Teknik Pengumpulan Data 1. Data Sekunder 2. Data Sekunder 3. Observasi dan Wawancara mendalam 4. Wawancara mendalam 1. Wawancara mendalam 2. Wawancara mendalam 3. Wawancara mendalam 4. Wawancara mendalam 5. Wawancara mendalam 1. Hasil Analisis dan Wawancara mendalam 2. Hasil Analisis dan Wawancara mendalam 3. Hasil Analisis dan Wawancara mendalam 3.5 Metode Pengolahan Data Teknik analisis data yang digunakan yakni teknik analisis interpretif atau penafsiran terhadap hasil pengumpulan data. Dalam suatu penelitian sebelum data dianalisis perlu dilakukan pengolahan data agar menjadi ringkas dan sistematis, sehingga memudahkan dalam proses analisis data. Selanjutnya pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Menelaah seluruh data, yaitu dimulai dengan kegiatan mencatat, membaca, mempelajari dan menelaah data yang tersedia dari berbagai sumber, baik dari wawancara dengan masyarakat, pengamatan, studi dokumentasi dan lainnya. 2. Mereduksi data, yaitu dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya dilandaskan pada catatan-catatan harian dan catatan lapang lain yang telah dikumpulkan sebelumnya. 3. Mengkategorikan dan mengklasifikasikan data, yaitu mengumpulkan data dalam satuan-satuan tertentu yang dilakukan sambil membuat koding sesui kebutuhan kajian; 4. Mengadakan pemeriksaan (cross check) keabsahan data, yaitu memeriksa kebenaran dari data yang diperoleh melalui teknik pengecekan anggota (member check); 5. Menyajikan data, yaitu mendeskripsikan data yang diperoleh secara verbal melalui analisis data yang ditetapkan. Analisis data menurut Singarimbun (1991) yang menyatakan bahwa analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterprestasikan. Moleong (2000) menyatakan bahwa : “Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan dalam suatu proses, yang berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif, yaitu sesudah meninggalkan lapangan.” 35 Sesuai dengan ciri penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sepanjang penelitian dilaksanakan, bahkan bersamaan dengan proses penulisan laporan. Untuk memperoleh pemahaman serta pendalaman pengertian atas sebab gejala, data yang diperoleh sering harus dilakukan wawancara ulang dengan sumber yang sama, hal itu untuk menghindarkan pengertian ganda dalam bentuk bias. Mengingat secara mendasar persoalan perilaku tidak sama dalam setiap individu, pengulangan wawancara dilakukan dengan informan kunci. Hal itu dimaksudkan sebagai pemeriksaan ulang, selain bertujuan untuk lebih memperdalam pemahaman atas masalah yang dicari. Pengertian lain mengenai analisis data yaitu menurut Nasution (1996) bahwa analisis data adalah proses penyusunan, pengkategorian, mencari pola atau tema dengan maksud untuk memahami maknanya. Menurut Muhajir (1996) Analisis data adalah upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi dan wawancara untuk meningkatkan pemahaman tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis data, adalah sebagai berikut; 1. Reduksi data, pada tahap ini, laporan data yang diperoleh dari lapangan perlu direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema atau polanya. Jadi laporan lapangan sebagai bahan “mentah” disingkatkan; direduksi, disusun lebih sistematis, ditonjolkan pokok-pokok yang penting, diberi susunan yang lebih sistematis, sehingga lebih mudah dikendalikan (Nasution, 1996). 2. Display data. Penyajian atau “display” data, dilakukan agar dapat melihat gambaran keseluruhannya atau bagian-bagian tertentu dari penelitian, melalui pembuatan berbagai macam matriks, grafik, network dan charts. (Nasution, 1996). 3. Mengambil kesimpulan dan verifikasi. Sejak awal penelitian kualitatif peneliti berusaha untuk mencari makna data yang dikumpulkan. Dari data yang diperoleh kemudian diambil kesimpulan. Kesimpulan itu mulamula masih sangat tentatif, kabur, diragukan, akan tetapi dengan bertambahnya data, maka kesimpulan itu lebih “grounded”. Jadi 36 kesimpulan senantiasa harus direvisi selama penelitian berlangsung (Nasution, 1996). Pada hakikatnya tujuan utama dan langkah-langkah analisis dalam penelitian deskriptif yang dilakukan secara kualitatif adalah sebagai berikut: 1. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada. 2. Mengindentifikasi masalah-masalah atau memeriksa kondisi dan praktekpraktek yang berlaku, termasuk terhadap konsep-konsep dan pemahamanpemahaman serta upaya mendapat pengertian dari pola-pola di dalam data. 3. Membuat perbandingan atau evaluasi, dalam hal ini harus melihat latar belakang dan orangnya secara holistik (keutuhan). 4. Menentukan apa yang akan dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah-masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada saat yang akan datang. Dalam hal ini orang harus dipahami dari sudut pengalamannya sendiri dan peneliti berusaha semaksimalnya membatasi pengaruh dari peneliti terhadap apa yang dipelajari (Rakhmat, 1989; dan Bogdan, 1984). Langkah analisis dalam penelitian ini terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Pada tahap reduksi data, meliputi proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Tahapan penyajian data merupakan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Sedangkan pada tahap kesimpulan/verifikasi merupakan makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya atau validitasnya. Dalam penelitian kualitatif, strategi atau pendekatannya adalah induksi konseptualisasi. Dengan strategi atau pendekatan ini, peneliti bertolak dari fakta dan informasi empiris (data) untuk membangun konsep, hipotesis, dan teori. Dari data/informasi ke konsep yang merupakan suatu gerak melintas ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi, bukan suatu perhitungan tabulasi dari data yang berasosiasi dengan konsep yang ditemukan. Terkait dengan pendekatan kualitatif, 37 yakni reduksi-konseptualisasi untuk membangun konsep, hipotesis dan teori, maka untuk menganalisis hasil penelitian yang diperoleh dari wawancara dan observasi peneliti menggunakan teknik analisis domain, dengan langkah-langkah untuk menganalisis data hasil penelitian adalah sebagai berikut : 1. Peneliti dapat memilih pola atau tipe hubungan semantis tertentu atas dasar informasi dan fakta yang tersedia dalam catatan lapangan. 2. Menyiapkan lembaran kerja analisis domain. 3. Memilih pertanyaan atau fakta dalam catatan lapangan yang setidaktidaknya memiliki satu kesamaan tertentu (sejenis atau sewarga); d) Mencari cover term dan include term yang sesuai dengan suatu pola/tipe hubungan semantis (konsep induk dari sejumlah jenis). 4. Memformulasikan pertanyaan struktural untuk masing-masing domain; 5. Membuat daftar semua domain yang tercakup dari segenap data yang ada. 6. Penulisan laporan atau penyajian data. Domain tersebut merupakan hasil kegiatan melalui observasi dan wawancara yang dilakukan, dengan melakukan penelaahan terhadap fokus penelitian secara menyeluruh. Hasil observasi atau wawancara yang dilakukan dengan berbagai informan dan key informan dicatat secara tertentu dalam “catatan lapangan” atau field note. 38 BAB IV PROFIL KOMUNITAS PETANI PERLADANGAN 4.1 Kondisi Geografis Halmahera Barat merupakan sebuah kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Maluku Utara yang terletak di Pulau Halmahera berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota Tidore, Kepulauan di Provinsi Maluku Utara. Kabupaten yang memiliki luas wilayah 3.669,58 km2 dengan laut seluas 1.311,7 km2 ini terletak antara 1o48o Lintang Utara sampai 0o 48o Lintang Utara serta 127o16’0” Bujur Timur sampai 127o16’ Bujur Timur. Kabupaten Halmahera Barat terletak di Kawasan Timur Indonesia, tepatnya berbatasan dengan: 1) Sebelah Utara dibatasi oleh Kabupaten Halmahera Utara dan Samudera Pasifik, 2) Sebelah Selatan dibatasi oleh Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Timur, 3) Sebelah Timur dibatasi oleh Kabupaten Halmahera Utara, dan 4) Sebelah Barat dibatasi oleh Laut Maluku. Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2004 Gambar 1 Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Barat 39 Secara addministratiff Kabupatenn Halmaheera Barat dibagi d atass sembilan matan dan 146 desa. Kecamatan K yang wilay yahnya terluuas adalah K Kecamatan kecam Ibu Selatan daan yang teerkecil adallah Kecam matan Jailolo Selatan. Ibu Kota mahera Barrat terletak di d Kecamattan Jailolo, yang dapatt ditempuh Kabuupaten Halm dari seluruh keccamatan deengan perjallanan darat kecuali daari Kecamattan Loloda yangg harus mennempuh jallur laut. Daari 146 desa yang adaa yang term masuk desa pantaai adalah seebanyak 577 desa sedaangkan sisaanya bukan desa pantaai. Adapun luas wilayah darri masing-m masing daeraah adalah seebagai berikkut: T Tabel 4.1 Luas Wilayyah Daratan Kabupaten Halmahera H B Barat No. K Kecamatan Lua as Wilayah (K Km2) 1 Jailoloo 225,59 2 Jailoloo Timur 282,19 3 Jailoloo Selatan 146,25 4 Sahu 123,97 5 Sahu Timur 270,58 6 Ibu 109,61 7 Ibu Seelatan 371,25 8 Ibu Utara U 219,5 9 Lolodda 608,94 AL 2.357,88 TOTA Suumber: Badan Perencanaan Pembangunan n Daerah Halm mahera Barat,, 2007. Topografi wilayah Kabupaten K Halmaheraa Barat didominasi ooleh tanah curam m (63%). Terdapatnya T a empat guunung berap pi dan empat sungai m menjadikan Kabuupaten Hallmahera Baarat sebagaai daerah yang y masihh alami daan banyak menyyimpan kekkayaan alam m seperti andesit, a kao olin, gips, batu b bara, pasir besi, emass dan bahann galian lainnnya. Topografi Wilayaah Taanah Datar 1% Tanah Landai 10% Tanah Agak Curam 26% Tanah Curam T 63% Sum mber: Halmaheera Barat Dalaam Angka 20007 G Gambar 2 Top pografi Wilayyah Kabupatten Halmaherra Barat 40 Kabupaten Halmahera Barat merupakan kabupaten yang dibentuk setelah adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003, tanggal 28 Februari 2003, di mana Kabupaten Maluku Utara dimekarkan menjadi Empat Kabupaten, yaitu; 3 (tiga) kabupaten baru serta Satu kabupaten induk (Maluku Utara) yang berubah nama menjadi Kabupaten Halmahera Barat dengan ibukota Jailolo. Pada awal perkembangannya Kabupaten Halmahera Barat meliputi 5 (lima) kecamatan, yaitu Kecamatan Jailolo, Kecamatan Jailolo Selatan, Kecamatan Sahu, Kecamatan Ibu dan Kecamatan Loloda. Seiring perjalanan waktu dan pertumbuhan penduduk, aspirasi masyarakat serta rentang kendali pemerintahan yang terlalu jauh maka berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2005 tertanggal 21 Desember 2005 maka terjadi pemekaran tiga kecamatan, yaitu; Kecamatan Sahu Timur, Kecamatan Ibu Utara dan Kecamatan Ibu Selatan. Tidak lama berselang dikeluarkan pula Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemekaran Kecamatan Jailolo Timur, sehingga sejak saat itu Kabupaten Halmahera Barat meliputi Sembilan Kecamatan. Sembilan kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Halmahera Barat tersebut memiliki desa sebanyak 146 desa, dengan rincian desa swadaya sebanyak 72 desa, desa swakarya sebanyak 48 desa dan swasembada sebanyak 26 desa. Kecamatan dengan jumlah desa swadaya paling banyak adalah Kecamatan Loloda dengan jumlah 22 desa. Kecamatan yang memiliki desa swakarya paling banyak adalah Kecamatan Jailolo dengan 29 desa dan kecamatan yang memiliki desa swasembada paling banyak adalah Kecamatan Sahu Timur dan Ibu Selatan masing-masing dengan 13 desa. Adapun jumlah kecamatan, desa dan nama ibu kota kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat, sebagai berikut: 41 Tabel 4.2 Jumlah Kecamatan, Desa dan Nama Ibu Kota Kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kecamatan Jailolo Jailolo Timur Jailolo Selatan Sahu Sahu Timur Ibu Ibu Selatan Ibu Utara Loloda TOTAL Jumlah Desa 29 6 18 16 16 13 13 13 22 146 Letak Ibu Kota Kecamatan Gufasa Akelamo Raya Sidangoli Susupu Akelamo Tongute Sungi Talaga Duono Kedi Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Halmahera Barat, 2007. Kecamatan Jailolo Selatan adalah Kecamatan yang dibentuk setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 2003 pada Tanggal 25 Februari 2003 tentang Pembentukan 4 (empat) Kabupaten dan Kota merupakan pemekaran dari Kecamatan Jailolo. Kecamatan Jailolo Selatan memiliki Luas Wilayah 33,372.3 Ha dengan Ibu Kota Kecamatan Sidangoli, yang meliputi 18 desa/anak desa. Yaitu; 1) Sidangoli Gam, 2) Sidangoli Dehe, 3) Akelaha, 4) Akeara, 5) Domato, 6) Bangkit Rahmat, 7) Moiso, 8) Dodinga, 9) Gamlenge, 10) Tewe, 11) Tataleka, 12) Braha, 13) Ake Jailolo, 14) Tabadamai, 15) Biamahi, 16) Toniku, 17) Tuguraci, dan 18) Rioribati. Geografis Kecamatan Jailolo Selatan berada antara 1000 sampai 30 Lintang Utara dan 1250 sampai 1280 Bujur Timur. Berbatasan dengan: a) Sebelah Utara dibatasi Kecamatan Jailolo, b) Sebelah Selatan dibatasi Kota Tidore Kepulauan, c) Sebelah Timur dibatasi Kecamatan Jailolo Timur, dan sebelah Sebelah Barat dibatasi dengan Laut Maluku. 4.2 Kondisi Demografi Kabupaten Halmahera Barat adalah salah satu kabupaten di provinsi Maluku Utara, Indonesia. Kabupaten ini berpenduduk sebanyak 105.110 jiwa dengan kepadatan penduduk 44.58 jiwa/km² (2006). Sejumlah tersebut laki-laki 54.071 jiwa dan perempuan 51.039 jiwa. Jumlah penduduk di Kabupaten ini 10.34% dari jumlah penduduk Maluku Utara yang 910.656. (Sumber: Badan Pusat Statistik Maluku Utara). Adapun perincian jumlah penduduk tersebut ditampilkan pada tabel berikut: 42 Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007 % No. Kecamatan 1 Jailolo 2 Jailolo Timur 3 Jailolo Selatan 4 5 6 7 8 9 Sahu Sahu Timur Ibu Ibu Selatan Ibu Utara Loloda TOTAL Laki-Laki % Perempuan 12.322 51,16 11.761 2.435 51,72 2.273 9.415 4.903 3.931 5.156 5.578 4.118 6.213 54.071 52,15 50,41 50,65 51,04 51,45 52,15 52,04 51, 8.638 4.824 3.830 4.946 5.263 3.779 5.725 51.039 % Jumlah 48,84 48,28 47,85 49,59 49,35 48,95 48,55 47,85 47,96 48,56 24.083 100 4.708 100 18.053 9.727 7.761 10.102 10.841 7.897 11.938 105.110 100 100 100 100 100 100 100 100 Sumber: BPS Kabupaten Halmahera Barat, 2007. Aspek kependudukan merupakan faktor penting dalam perkembangan wilayah karena penduduk dan kegiatannya akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan suatu wilayah karena suatu rencana tata ruang disusun berdasarkan potensi penduduk tingkat kebutuhan dan kepentingan penduduk. Jumlah Penduduk Kecamatan Jailolo Selatan sebanyak 18.053 Jiwa yang terdiri dari wanita 8.638 (47,85%) dan pria 9.415 (5215,%) jiwa. Sedangkan tingkat kepadatan penduduk untuk Kecamatan Jailolo Selatan adalah sebesar 1 ( satu ) Jiwa /Ha dengan Distribusi penduduk sebesar 21,9 %. Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Perdesaan di Kecamatan Jailolo selatan Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Nama Desa Sio Gam Sio Dehe Domato Moiso Gamlenge Tataleka Ake Jailolo Biamaahi Tuguraci Akeara Akelaha Bangkit Rahmat Dodinga Tewe Braha T. Damai Toniku Rioribati Total Jumlah 4.100 1.098 289 775 684 646 198 851 584 1.368 429 689 904 347 504 578 856 577 15.449 % 26,53 7,10 1,87 5,01 4,43 4,18 1,28 5,5 3,78 8,85 2,77 4,46 5,85 2,24 3,26 3,74 5,54 3,73 100 Sumber: BPS Kabupaten Halmahera Barat, 2007 43 Kabupaten Halmahera Barat memiliki komposisi penduduk usia produktif (15-65 Tahun), sebesar 60% dari total penduduk di Kabupaten Halmahera Barat. Persentase tersebut merupakan potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan bagi kemajuan Kabupaten Halmahera Barat. Sedangkan perbandingan antara jumlah penduduk tidak produktif (di bawah 15 Tahun dan di atas 65 Tahun ke atas) dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 Tahun) di Kabupaten Halmahera Barat sebesar 66. Hal ini berarti tiap 100 penduduk usia produktif menanggung 66 penduduk usia tidak produktif. Adapun penduduk yang berusia 10 Tahun ke atas menurut jenis kegiatan utama dan jenis kelamin pada Tahun 2006, sebagai berikut: Tabel 4.5 Penduduk yang Berusia 10 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kegiatan Utama dan Jenis Kelamin di Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007 No. Kegiatan Utama Laki-Laki Perempuan Jumlah 1 Bekerja 27.875 15.669 43.544 Angkatan Mencari Kerja 2 1.774 2.622 4.396 Pekerjaan TOTAL 29.649 18.291 47.940 3 Sekolah 9.425 7.460 16.885 Mengurus Bukan 4 Rumah 326 11.798 12.124 Angkatan Tangga Kerja 5 Lainnya 2.321 1.477 3.798 TOTAL 12.072 20.735 32.807 Sumber: BPS Kabupaten Halmahera Barat, 2007 Jumlah penduduk di Kabupaten Halmahera Barat yang besar belum tentu menjamin SDM yang dimiliki. Selain jumlah penduduk (kuantitas), diperlukan juga tingkat pendidikan yang tinggi (kualitas) dari manusianya. Pendidikan adalah sektor yang memegang peranan sangat penting dalam pembangunan. Pendidikan yang bermutu merupakan jaminan terbentuknya kualitas generasi mendatang yang handal, untuk mensukseskan pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan Kabupaten Halmahera Barat pada khususnya. Kabupaten Halmahera Barat pada Tahun 2006 diperkirakan memiliki jumlah penduduk usia Sekolah Dasar (7-12 Tahun) sebanyak 13.691 jiwa, di mana Kecamatan Jailolo merupakan kecamatan dengan penduduk usia sekolah dasar paling banyak, yaitu 3.137 jiwa, dan kecamatan dengan jumlah penduduk usia sekolah dasar paling sedikit adalah Kecamatan Jailolo Timur dengan jumlah 44 613 jiwa. Angka Partisipasi Kasar SD/MI paling banyak dijumpai di Kecamatan Loloda, yaitu sebanyak 98.966 dan yang paling sedikit adalah di Kecamatan Jailolo Timur dengan jumlah 58.678. Tabel 4.6 Proyeksi Penduduk Usia 7-12 Tahun Menurut Kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007 No. Kecamatan 2005 2006 2007 1 Jailolo 3.093 3.137 3.180 2 Jailolo Timur 605 613 622 3 Jailolo Selatan 2.319 2.351 2.384 4 Sahu 1.249 1.267 1.284 5 Sahu Timur 997 1.011 1.025 6 Ibu 1.298 1.316 1.334 7 Ibu Selatan 1.392 1.412 1.431 8 Ibu Utara 1.014 1.029 1.043 9 Loloda 1.533 1.555 1.576 TOTAL 13.500 13.691 13.879 Sumber: Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kabupaten Halmahera, 2007 Jumlah guru sekolah dasar di Kabupaten Halmahera Barat ada sebanyak 1.537 orang, dengan rincian Kecamatan Jailolo memiliki 419 orang, Kecamatan Jailolo Timur 14 orang, Kecamatan Jailolo Selatan 521 orang, Kecamatan Sahu 98 orang, Kecamatan Sahu Timur 116 orang, Kecamatan Ibu 87 orang, Kecamatan Ibu Selatan 81 orang, Kecamatan Ibu Utara 77 orang dan Kecamatan Loloda mempunyai 124 orang guru. Total keseluruhan guru mulai dari sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah umum adalah sebanyak 2.370 orang. Tabel 4.7 Jumlah Guru Menurut Sekolah dan Kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007 No. Kecamatan SD MI SLTP MTs SMU MA 1 Jailolo 419 9 152 24 60 22 2 Jailolo Timur 14 12 0 0 0 0 3 Jailolo Selatan 521 17 51 34 14 14 4 Sahu 98 0 91 0 42 0 5 Sahu Timur 116 0 0 0 0 0 6 Ibu 87 0 88 0 45 0 7 Ibu Selatan 81 0 0 0 0 0 8 Ibu Utara 77 0 0 0 0 0 9 Loloda 124 0 38 0 0 0 TOTAL 1.537 38 458 58 161 36 Sumber: Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kabupaten Halmahera, 2007 SMK 20 0 0 62 0 0 0 0 0 82 Program Keluarga Berencana (KB) selama ini gencar dikumandangkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk mengontrol atau mengendalikan laju pertumbuhan penduduk dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama 45 ibu dan balita. Dengan adanya program KB memungkinkan seorang ibu untuk mengatur jarak kelahiran dan jumlah anak yang diinginkan. Kecamatan Jailolo merupakan kecamatan dengan jumlah akseptor aktif dan akseptor baru paling banyak, yaitu 3.127 akseptor dan 175 akseptor. Kecamatan yang memiliki akseptor aktif paling sedikit adalah Kecamatan Jailolo Selatan dengan jumlah akseptor aktif sebanyak 847 akseptor. Sedangkan Kecamatan Ibu Selatan dan Kecamatan Ibu Utara merupakan kecamatan dengan jumlah akseptor baru paling sedikit, yaitu sebanyak 94 akseptor. Salah satu program pelayanan masyarakat yang penting adalah pelayanan kesehatan. Kesehatan merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk suatu wilayah. Produktivitas manusia akan maksimal jika tidak mengalami keluhan kesehatan. Di Halmahera Barat terdapat 8 puskesmas dan 20 puskesmas pembantu. Baik puskesmas maupun puskesmas pembantu telah disediakan di tiap-tiap kecamatan. Jumlah puskesmas di tiap-tiap kecamatan berjumlah 1 (satu) unit, kecuali untuk Kecamatan Ibu Utara tidak memiliki puskesmas maupun puskesmas pembantu. Untuk puskesmas pembantu jumlahnya berbeda antar kecamatan. Kecamatan yang memiliki puskesmas pembantu paling banyak adalah Kecamatan Loloda, yaitu sebanyak 5 unit. Kecamatan Jailolo Timur, Kecamatan Sahu dan Kecamatan Ibu Selatan hanya memiliki satu puskesmas pembantu. 1.3 Kondisi Ekonomi Sumber mata pencaharian utama masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan selaras dengan potensi sumber daya alam yang ada di wilayah tersebut yakni, mayoritas mengandalakan hasil pertanian-perladangan, pemanfaatan hasil hutan, pemanfaatan hasil laut (nelayan), dan sebagian yang lain adalah peternak, berburu serta pemanfaatan dan pengarapan lahan hutan lainnya. Sebagian kecil masyarakat lainnya adalah berdagang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), guru dan militer dan polisi. Ketergantungan masyarakat pada dunia pertanian dan pemanfaatan hutan dan laut adalah yang paling tinggi. Hal ini menjadi corak dan karakteristik tersendiri bagi masyarakat yang ada di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat. 46 Potensi sumber daya pertanian yang ada di Kabupaten Halmahera Barat, terdiri dari: 1) Potensi lahan pertanian, dan 2) Potensi sumber daya manusia pertanian. Potensi lahan pertanian (lahan basah, lahan kering dan lahan tidur) yang cukup besar, diperkirakan mencapai 156.663 Ha, sementara yang baru diusahakan kurang lebih 23.249 Ha atau hanya 18,84%. Potensi sumber daya manusia pertanian, terdiri dari: 1) Kelompok tani yang berjumlah kurang lebih 199 KT, dan 2) Petugas teknis, terdiri dari PPL dan petugas kecamatan (PPK). Di atas lahan tersebut telah diusahakan untuk pengembangan tanaman pangan, terdiri dari padi sawah (Kec. Jailolo, Sahu Timur dan Ibu Selatan), padi lading sembilan Kecamatan), jagung (Kec. Jailolo, Jailolo Selatan, Jailolo Timur, Sahu, Sahu Timur, Ibu Selatan dan Ibu), Kedelai (Kec. Jailolo, Jailolo Selatan dan Sahu Timur), kacang tanah (Kec. Jailolo, Jailolo Timur, Sahu, Sahu Timur, Ibu dan Ibu Utara) dan umbi-umbian (Kec. Ibu, Ibu Utara dan Loloda) dengan total keseluruhan seluas 2.846 Ha. Pola pertanian bagi petani peladagan di Kecamatan Jailolo Selatan umumnya dilakukan secara tradisional dan hanya pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh faktor sumberdaya alam (iklim, tanah, air, topografi, dan lainlain, dan sumberdaya manusia yang kurang mendukung, sehingga lahan kering belum terkelola dengan baik yang mengakibatkan produktivitasnya tetap rendah. Keterbatasan agroekosistem lahan kering di Kecamatan Jailolo Selatan tercermin dari topografi dataran rendah, relatif rendahnya kesuburan tanah, struktur lempung berpasir dengan hanya 3-4 bulan basah dan curah hujan yang termasuk rendah (1200-1600/tahun). Untuk mengatasi paceklik beras, petani umumnya mengusahakan tanaman jagung, kacang tanah, atau singkong. Produksi jagung yang mereka hasilkan relatif rendah (2 ton/Ha, kacang tanah sekitar 650 kg/Ha karena tanpa pemeliharan intensif, menggunakan varietas lokal serta marjinalnya lahan kering yang mereka usahakan). Sementara Farm Record Keeping (FRK) menunjukkan pendapatan petani masih sangat rendah, sekitar Rp. 2 juta/KK/tahun (BPS Halmahera Barat, 2010). Pengembangan buah-buahan, terdiri dari jeruk (Kec. Sahu dan Sahu Timur), rambutan (Kec. Jailolo, Sahu, Sahu Timur), durian (Kec. Jailolo, Sahu, Sahu 47 Timur), pisang (9 kecamatan), langsat (Kec. Jailolo, Sahu, Sahu Timur, Ibu), salak (Kec. Ibu) dengan total keseluruhan seluas + 655 Ha. Pengembangan sayursayuran, terdiri dari cabe keriting, bawang, tomat, ketimun, dll. Terkonsentrasi di Kec. Jailolo, Jailolo Selatan, Sahu, Sahu Timur, Ibu, dengan total keseluruhan seluas 461 Ha. Pengembangan ternak; populasi ternak sapi telah mencapai 6.709 ekor, serta kambing 7.189 ekor. Jumlah tersebut, khususnya sapi dirasakan masih kurang seiring 15.000 ekor ternak sapi untuk mengembalikan kejayaan Halmahera Barat sebagai daerah lumbung ternak di Kabupaten Halmahera Barat. Potensi kehutanan di Kabupaten Halmahera Barat, dengan luas kawasan hutan + 246.500 Hektar, yang terdiri dari: 1) Hutan Lindung: + 79.500 Hektar, 2) Hutan Produksi: + 4.250 Hektar, 3) Hutan Produksi Terbatas: + 27.250 Hektar, 4) Areal Penggunaan Lain: + 39.250 Hektar, dan 5) Hutan Produksi Konsaliran Daservasi: + 96.250 Hektar. Daerah Aliran Sungai (DAS) terdiri atas 3 (tiga) aliran DAS besar, yaitu: Sungai Akelamo, Sungai Ngibut dan Sungai Sidangoli dan sejumlah sub-sub DAS lainnya. Beberapa kawasan hutan di Kabupaten Halmahera Barat yang tergolong kritis dan terbuka yang luasnya + 10.000 Hektar. Perbenihan tanaman hutan dapat dilihat dari terdapat beberapa kelompok tani dan usahawan golongan menengah yang telah membangun usaha perbenihan tanaman hutan. Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam di Kabupaten Halmahera Barat, sebagai berikut: 1) Perlindungan hutan dan pengendalian kebakaran hutan, 2) Keanekaragaman hayati yang teridir dari; a) Flora (tanaman): anggrek, kulit kayu dan jenis-jenis tanaman lokal lainnya dan b) Fauna (hewan): burung bidadari (jailolo selatan dan hutan talaga rano) dan wallet (loloda); 3) Wisata alam, terdiri atas: a) Wisata pantai: hutan bakau, dan b) Wisata hutan: air terjun dan telaga. Pengembangan ternak ayam ras petelur yang pada tahun-tahun sebelumnya belum diusahakan, maka pada Tahun 2006 telah diusahakan dengan jumlah populasi 7.504 ekor menjadi 15.500 ekor pada Tahun 2007 yang berlokasi di Kec. Jailolo. Namun dirasakan saat ini produksi telur di Kabupaten Halmahera Barat masih kurang dan belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga masih dipasok dari luar daerah. Untuk itu masih dibutuhkan penambahan 48 sebanyak kurang lebih 20.000 – 30.000 ekor ternak ayam ras petelur lagi dengan perhitungan produksi telur sebanyak 35.500 – 45.500 butir/Tahun. Karakteristik iklim di Kecamatan Jailolo Selatan pada umumnya beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata 1500-3500 mm/tahun dan memiliki 2 musim yaitu: 1) Musim Utara yaitu pada bulan Oktober dan musim pancaroba pada bulan April, dan 2) Musim Selatan yaitu pada Bulan April-September yang diselingi dengan angin timur dan pancaroba pada bulan September. Kondisi tanah yang terdapat pada wilayah Kecamatan Jailolo Selatan terdiri dari: 1) Jenis Tanah Andosol: - Ha, 2) Jenis Tanah Latosol: 33170.51 Ha, 3) Jenis Tanah Podsolik (Merah Kuning): 201,78 Ha, dan 4) Jenis Tanah Regosol: - Ha. Penggunaan lahan di Kecamatan Jailolo Selatan pada umumnya didominasi oleh hutan lindung dengan luas areal 14586.21 Ha hutan produksi terbatas adalah 2942.66 Ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi adalah; 1) Hutan produksi yang dikonversi seluas 1126.48; 2) Hutan lindung seluas 14586.21 Ha sedangkan hutan produksi terbatas adalah 2942.66 Ha. Tingkat perekonomian suatu daerah dapat diketahui dari pendapatan domestik bruto daerah tersebut. Besarnya pendapatan daerah tersebut menandakan juga besarnya tingkat kesejahteraan penduduk. Untuk melihat jumlah pendapatan Kabupaten Halmahera Barat dapat dilihat melalui PDRB-nya. Pada Tahun 2006 tercatat PDRB Kabupaten Halmahera Barat sebesar 219.621,06 juta untuk semua sektor meliputi Pertanian; Pertambangan dan Penggalian; Industri Pengolahan; Listrik, gas dan Air Minum; Bangunan; Perdagangan, Hotel & Restoran; Angkutan dan Komunikasi; Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; dan JasaJasa. Jumlah ini meningkat dari Tahun 2005 yang sebesar 205.954,22 juta. Upaya meningkatnya jumlah PDRB Kabupaten Halmahera Barat diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Sektor yang memberikan sumbangan terbesar adalah sektor pertanian. Sektor ini merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja cukup banyak dibanding sektor lainnya. Keadaan usaha industri di Kabupaten Halmahera Barat sampai Tahun 2007, sebagai berikut: 49 Tabel 4.8 Usaha Industri di Kabupaten Halmahera Barat Sampai Tahun 2007 Jumlah Jumlah TK Jumlah Investasi No. Jenis Industri Perusahaan (Orang) (Rp) 1 Industri Besar/Sedang 3 2.073 11.300.000.000 2 Industri Kecil 730 3.650 36.500.000.000 3 Industri Rumah Tangga 1.460 7.300 43.800.000.000 JUMLAH 2.193 13.023 91.600.000.000 Sumber: BPS Kabupaten Halmahera Barat, 2007. Keadaan Usaha perdagangan di Kabupaten Halmahera Barat sampai Tahun 2007, sebagai berikut: Tabel 4.9 Usaha Industri di Kabupaten Halmahera Barat Sampai Tahun 2007 Jumlah Jumlah TK Jumlah Investasi No Jenis Industri Perusahaan (Orang) (Rp) 1 Perdagangan Besar 28 280 280.000.000.000 2 Perdagangan Sedang 90 3.650 45.000.000.000 3 Perdagangan Kecil 1.460 7.300 73.000.000 JUMLAH 1.578 11.230 325.073.000.000 Sumber: BPS Kabupaten Halmahera Barat, 2007 4.4 Kondisi Budaya Sejarah Maluku Utara tercatat bahwa pada tahun 1257 telah berdirì sebuah kerajaan di Ternate. Wílayah kekuasaan raja atau kolano yang pertama (Masyhur Malamo, 1257-1277) meliputi kesatuan darì empat kelompok masyarakat yang telah ada sebelumnya ( Putuhena 1980: 264); Andilì 1980: 6). Dari catatan sejarah tersebut terungkap bahwa sejak sebelum abad ketiga belas tampaknya di Maluku Utara telah berkembang kelompok-kelompok masyarakat dengan organisasi sosial yang teratur. Bahkan menurut tradisì lisan setempat, jauh sebelum abad ketiga balas, yaitu pada abad kedelapan Masehi, masyarakat Maluku Utara telah mengenal tata kehídupan Islam berdasarkan paham Syiah yang dibawa masuk oleh empat orang syekh dari Irak ( Putuhena 1980: 264). Terlepas dari lingkat kebenaran tersebut, hal ini memperkuat anggapan bahwa suatu kehidupan masyarakat yang taratur dengan kebudayaan tersendirì di Maluku Utara nampaknya benar telah ada sejak jauh masa lampau, dengan kata lain antar kebudayaan Maluku Utara telah tertanam dalam kehidupan warga masyarakat pendukungnya pada kedudukan yang cukup kuat dan dalam. Dari cikal bakal kerajaan pertama di Ternate pada tahun 1257 tersebut kemudian 50 berkembang tiga kerajaan lain di Halmahera yaitu kerajaan Tìdore, Jailolo, dan Bacan, selanjutnya menjadi keempat kerajaan yaitu; (Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan) berada dalam satu kesatuan yang dikenal sebagaì Moluku Kie Raha, sebagai pemegang kekuasaan tradisional atas seluruh masyarakat di Halmahera dan pulau-pulau di sekitarnya. Dalam perkembangannya kemudian tampaknya konsep Moluku Kie Raha tersebut telah tumbuh menjadi suatu pandangan atau suatu idelogi tentang ikatan sosial spiritual yang bukan hanya berlaku di lingkungan kelembagaan tingkat pusat kerajaan, tetapi telah menjadi milik seluruh masyarakat Halmahera dan sekitarnya atau Maluku Utara. Konsep dasar yang menempatkan kesatuan empat kerajaan tradisional sebagai suatu ikatan sosial spiritual bagi seluruh masyarakat di Maluku Utara, dimana keempat kerajaan di Halmahera selalu terjadi hubungan kompetitif satu dengan yang lain. Dalam konteks ideologi Moloku Kie Raha ke empat kerajaan tersebut sering terlibat perang untuk ekspansi kekuasaan, Kesultanan Jaìlolo pernah dihancurkan kemudìan dinyatakan berada di bawah kekuasaan Ternate dan untuk selanjutnya tidak pernah disebut-sebut eksistensinya dalam tingkatan yang sama. Tetapi Jailolo tídak dimatikan. Hanya kedudukan Sultannya yang diturunkan menjadi di bawah tingkatan Sultan-sultan di Ternate, Tidore, maupun Bacan. Walapun dalam persaingan bidang kekuasaan dan perdagangan, terutama antara Ternate dan Tidore, seolah-olah tidak pernah ada hentinya, namun hubungan antara kedua kerajaan tersebut dalam konteks hajatan tradisional tetap dijaga. Kompleksitas kebudayaan Maluku Utara diwarnai juga oleh perkembangan kehidupan ekonomi maupun kehìdupan sosial politik dan kehidupan keagamaan, yang mengalamì proses dìnamikanya dalam kurun waktu yang panjang sejalan dengan masuknya pengaruh berbagai kebudayaan dari luar. Masuknya suku-suku bangsa, agama dan kebudayaan, ditandai dengan kehadiranya orang-orang yang dari Persia, Gujarat, Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang secara silih berganti telah mempengaruhî dan bahkan membentuk peta kebudayaan Maluku Utara yang tìdak pernah tetap. 51 Unsur-unsur kebudayaan luar yang pernah masuk tersebut kemudian menyebar dan direrima masyarakat tanpa memperhatìkan atau mengukur batas-batas kelompok kebahasaan dan kelompok etnis ataupun baras-batas geopolitik kewilayahan yang ada. Berkembangnya dunia perdagangan, khususnya perdagangan rempa-rempah, antara lain menimbulkan semakin luasnya lahan dan meningkatnya pengusahaan tanaman keras (cengkeh, pala, coklat, kelapa) sampai masuk ke daerah-daerah pedalaman. Pusat-pusat pelabuhan dan pasar tradisional di sepanjang garis pantai, bidang pelayaran mengalami banyak kemajuan. Perkembangan lain dalam kehidupan ekonomì bagi masyarakat adalah usaha bercocok tanam bahan makanan (padi, palawija, sayur mayur), pemelìharaan binatang ternak, menangkap ikan, berburuh dan berdagang. Keseluruhan kemajuan yang terjadi tersebut pada dasarnya berlangsung di seluruh Maluku Utara, terutama di daerah-daerah pantai, dalam kerangka perkembangan ekonomi masyarakat. Dalam hal ini bukan berarti bahwa perkembangan kehidupan ekonomi tiap-tiap daerah sama, tetapi adanya kesempatan dan kemungkinan untuk berkembang tersebut pada dasarnya merata tanpa terikat pada batas-batas kelompok etnik ataupun geopolitik kewilayahan yang berlaku. Perjalanan kehidupan ekonomi setiap masyarakat itu sendiri cukup panjang dan saling bervariasi. Hasilnya menampakkan adanya perbedaan gradual antara masyarakat satu dengan yang lain, walaupun mungkin terdapat karakteristik dasar pola kehidupan ekonomî yang paralel, Secara khusus masuknya orang Persia, Gujarat dan bangsa Eropa di Maluku Utara telah memberi andil yang relatif besar dan bahkan ikut mendasari perkembangan struktur kebudayaan masyarakat di kawasan Maluku Utara pada umumnya. Sekarang ini kelompok suku yang hidup di kecamatan Jailolo Selatan terdiri dari suku Pagu, Madole dan Tobaru, namun suku-suku yang ada sebagian besar di dominasi oleh suku pendatang misalnya migrasinya suku lokal antar pulau ke Jailolo selatan yaitu suku Makian, Ternate, Tidore, Sanana, Weda, Patani, dan Bacan, adapun suku pendatang yang datang dari luar daerah Kecamatan Jailolo Selatan, yaitu; suku Bugis, Buton, Gorontalo, Sangir, Manado, Ambon, dan Jawa. Sedangkan keyakinan agama atau kepercayaan yang dipeluk masyarakat 52 Kecamatan Jailolo Selatan mayoritas adalah beragama Islam dan sebagian lainya adalah Nasrani (Kristen dan Katolik). 4.5. Iktisar Dengan penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa secara geografis, kecamatan Jailolo berada di wilayah administratif Kabupaten Halmahera Barat. Kabupaten Halmahera Barat merupakan sebuah kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Maluku Utara yang terletak di Pulau Halmahera. Kabupaten Halmahera Barat berbatasan dengan: 1) Sebelah Utara dibatasi oleh Kabupaten Halmahera Utara dan Samudera Pasifik, 2) Sebelah Selatan dibatasi oleh Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Timur, 3) Sebelah Timur dibatasi oleh Kabupaten Halmahera Utara, dan 4) Sebelah Barat dibatasi oleh Laut Maluku. Secara administratif Kabupaten Halmahera Barat dibagi atas 9 (sembilan) kecamatan dan 146 (seratus empat puluh enam) desa. Kondisi demografi Kabupaten Halmahera Barat menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang hidup di wilayah ini sebanyak 105.110 jiwa dengan kepadatan penduduk 44.58 jiwa/km² (2006). Sejumlah tersebut laki-laki 54.071 jiwa dan perempuan 51.039 jiwa. Jumlah penduduk di Kabupaten ini adalah 10.34% dari jumlah penduduk Maluku Utara yang berjumlah 910.656 jiwa. Kabupaten Halmahera Barat memiliki komposisi penduduk usia produktif (15-65 Tahun), sebesar 60% dari total penduduk di Kabupaten Halmahera Barat. Persentase tersebut merupakan potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan bagi kemajuan Kabupaten Halmahera Barat. Sedangkan perbandingan antara jumlah penduduk tidak produktif (di bawah 15 Tahun dan di atas 65 Tahun ke atas) dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 Tahun) di Kabupaten Halmahera Barat sebesar 66. Hal ini berarti tiap 100 penduduk usia produktif menanggung 66 penduduk usia tidak produktif. Sedangkan jumlah penduduk yang ada di Kecamatan Jailolo Selatan sebanyak 18.053 Jiwa yang terdiri dari wanita 8.638 (47,85%) dan pria 9.415 (5215,%) jiwa. Sedangkan tingkat kepadatan penduduk untuk Kecamatan Jailolo Selatan adalah sebesar 1 ( satu ) Jiwa /Ha dengan distribusi penduduk sebesar 21,9 %. 53 Secara ekonomi kondisi masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan bermatapencaharian yang selaras dengan potensi sumber daya alam yang ada di wilayah tersebut yakni, mayoritas mengandalakan hasil pertanian-perladangan, pemanfaatan hasil hutan, pemanfaatan hasil laut (nelayan), dan sebagian yang lain adalah peternak, berburu dan serta pemanfaatan dan pengarapan lahan hutan lainnya. Sebagian kecil masyarakat lainnya adalah berdagang, pegawai pemerintah (PNS), Guru dan militer dan polisi. Ketergantungan masyarakat pada dunia pertanian dan pemanfaatan hutan dan laut adalah yang paling tinggi. Hal ini menjadi corak dan karakteristik tersendiri bagi masyarakat yang ada di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat. Secara budaya sejarah masyarakat yang ada di Kecamatan Jailolo Selatan bersumber pada sejarah lokal Maluku Utara tercatat bahwa pada tahun 1257 telah berdirì sebuah kerajaan di Ternate. Wílayah kekuasaan raja atau kolano yang pertama dikatakan meliputi kesatuan darì empat kelompok masyarakat yang telah ada sebelumnya. Kelompok suku yang hidup di kecamatan Jailolo Selatan terdiri dari suku Pagu, Madole dan Tobaru, namun suku-suku yang ada sebagian besar di dominasi oleh suku pendatang misalnya migrasinya suku lokal antar pulau ke Jailolo selatan yaitu suku Makian, Ternate, Tidore, Sanana, Weda, Patani, dan Bacan, adapun suku pendatang yang datang dari luar daerah Kecamatan Jailolo Selatan, yaitu; suku Bugis, Buton, Gorontalo, Sangir, Manado, Ambon, dan Jawa. Sedangkan keyakinan agama atau kepercayaan yang dipeluk masyarakat Kecamatan Jailolo Selatan mayoritas adalah beragama Islam dan sebagian lainya adalah Nasrani (Kristen Protestan dan Katolik). 54 BAB V PENERAPAN NILAI-NILAI JOJOBO 5.1 Nilai-Nilai Jojobo Nilai sosial yang berlaku pada kelembagaan Jojobo merupakan landasan bagi masyarakat pada komunitas petani perladangan untuk merumuskan apa yang benar dan penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting untuk mendorong dan mengarahkan anggotanya agar berbuat sesuai norma yang berlaku pada masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan. Nilai sosial yang berlaku ini mengacu pada pertimbangan terhadap suatu tindakan benda, cara untuk mengambil keputusan apakah sesuatu yang bernilai itu memiliki kebenaran, keindahan, dan nilai ketuhanan. Norma merupakan hasil cipta manusia sebagai makhluk sosial untuk mengatur hubungan sosial agar dapat berlangsung dengan lancar sehingga menimbulkan suasana yang harmonis. Penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas ekonomi pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat dapat ditunjukkan pula pada penerapan norma di dalam kehidupan komunitas masyarakat petani perladangan. Penerapan norma yang berisi tata tertib, aturan, petunjuk standar mengenai perilaku yang pantas atau wajar pada komunitas antar petani perladangan ditunjukkan dengan harmonisnya kehidupan diantara para petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Pelanggaran terhadap norma dalam komunias petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan akan mendatangkan sanksi, dari mulai bentuk cibiran atau cemoohan sampai ke sanksi fisik dan psikis berupa pengasingan atau di usir. Norma merupakan bentuk nilai yang disertai dengan sanksi tegas bagi pelanggarnya. Norma merupakan ukuran yang dipergunakan oleh masyarakat apakah perilaku seseorang benar atau salah, sesuai atau tidak sesuai, wajar atau tidak, dan diterima atau tidak. Norma dibentuk di atas nilai sosial yang berlaku antar komunitas petani perladangan, dan norma sosial diciptakan untuk menjaga dan mempertahankan nilai sosial yang berlaku. Nilai dan norma merupakan hal yang berkaitan. Norma merupakan bentuk konkret dari nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Misalnya, nilai menghormati dan mematuhi tokoh adat 55 diperjelas dan dikonkretkan dalam bentuk norma-norma dalam bersikap dan berbicara kepada orang yang lebih dituakan. Nilai-nilai sopan santun dan kejujuran dalam pergaulan keseharian antar petani perladangan dikonkretkan dalam bentuk keharmonisan dalam bertetangga dan berperilaku antar masyarakatnya. Jadi, pengertian norma dalam komunitas petani perladangan merupakan patokan-patokan atau pedoman untuk berperilaku di dalam masyarakat komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Kebudayaan merupakan perwujudan kemampuan manusia sebagai mahluk individu dan sosial dalam usaha mengolah usaha budi guna menanggapi lingkungannya. Kemampuan untuk mengolah usaha budi itu tidak dimiliki oleh mahluk hidup lain, sehingga kebudayaan kristalisasi kemampuan manusia dalam menata perjalanan kehidupannya. Untuk itu, nilai budaya lokal yang terdapat di daerah Kecamatan Jailolo Selatan diharapkan bisa menjadi bagian dari pemberdayaan masyarakat khususnya pada komunitas petani peladangan. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo meskipun sudah mulai mengalami pergeseran, namun masih ada yang mempertahankannya terutama pada sebagian komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Faktor yang menyebabkan komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat masih ada yang melakukan tradisi Jojobo ini seperti dikatakan oleh salah satu petani yaitu Bpk Muhdar (Tahun 2011) bahwa: “Penyebabnya karena Jojobo merupakan salah satu tradisi yang masih dipertahankan karena terciptanya hubungan kekeluargaan yang sangat kuat serta kebutuhan masyarakat yang bisa terpenuhi untuk kebutuhankebutuhan yang tidak terduga” Hasil wawancara ini memperlihatkan bahwa nilai luhur yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo berupa terciptanya hubungan kekeluargaan dan kekerabatan di dalam komunitas petani perladangan. Nilai luhur kekeluargaan dan kekerabatan ini terefleksikan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bahkan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terduga. Oleh karena itu keberadaan kelembagaan Jojobo diharapkan menjadikan sarana dalam penerapan budaya lokal sebagai suatu upaya terutama pemenuhan kebutuhan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. 56 Nilai budaya berasal dari value masyarakat tradisional lokal, dan telah menjadi suatu tatanan budaya yang dianggap mengatur dan mengikat dalam bentuk moral masyarakat setempat, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman hidup bagi semua perilaku dan pengambilan keputusan karena nilai itu dianggap etis, logis, mulia, sakral, mengandung harapan masa depan, dan menjadi identitas jati diri dan karakter wilayah setempat. Nilai kelembagaan Jojobo dipahami sebagai konsepsi yang hidup dalam alam pikiran dari sebagian besar masyarakat tradisional di Kecamatan Jailolo Selatan sebagai sesuatu yang berharga dalam hidup khususnya bagi komunitas petani perladang. Karena itu nilai kelembagaan Jojobo menjadi dasar dari kehidupan manusia dan menjadi pedoman ketika komunitas petani perladangan akan melakukan sesuatu. Nilai sosial dalam aktivitas komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan merupakan kumpulan sikap dan perasaan yang diwujudkan melalui perilaku yang mempengaruhi perilaku seseorang yang memiliki nilai tersebut. Nilai sosial Jojobo ini merupakan sikap-sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan dan merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting dilakukan oleh komunitas petani perladangan dalam menjalankan aktivitas kesehariannya. Di beberapa wilayah Kecamatan Jailolo Selatan, dimana sifat dan naluri partisipasi masyarakat dalam membentuk lembaga seperti kelompok tani, paguyuban, dan terutama Jojobo sebagai lembaga tradisional, masih ada yang mempertahankannya. Keberadaan kelembagaan sosial ini dapat diberdayakan dan dimanfaatkan sebagai asset pembangunan yang perlu ditingkatkan karena memiliki inti budaya lokal yang menjiwainya. Hasil ini berdasarkan wawancara dengan Ibu Safa Mahmud (Tahun 2011) sebagai Tokoh Masyarakat berkaitan dengan Jojobo sebagai lembaga sosial masyarakat desa yang masih dilakukan sebagian Komunitas Masyarakat Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat, yang menyatakan “Jojobo dikalangan komunitas petani perladangan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi yang telah dilakukan pada jaman dahulu. Jojobo dianggap masyarakat terutama komunitas petani peladangan adalah satu bentuk organisasi non formal yang mempunyai dampak positif terhadap kebutuhan perekonomian masyarakat dan sangat membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan-kubutuhan yang tak 57 terduga. Disamping itu juga dapat menciptakan hubungan silahtuhrahmi kekeluargaan antar sesama warga dengan baik” Di samping itu, sebagian perspektif masyarakat menyebutkan bahwa kelembagaan Jojobo dapat menjadi salah satu potensi yang bisa dikembangkan menjadi suatu sarana, baik yang adopsi teknologi maupun berorientasi pasar, serta bermanfaat wadah untuk menampung dan mengembangkan diri petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan.1 Keberadaan Jojobo juga merupakan salah satu organisasi sederhana yang dibentuk oleh masyarakat komunitas petani perladangan atas dasar kesepakatan bersama dengan penunjukan secara langsung kepada seseorang yang dituakan atau berpengaruh dan dipercaya untuk mengelolah organisasi tersebut dengan tujuan meningkatkan perkonomian masyarakat. Selain itu Jojobo juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat yang telah dilakukan secara turun temurun, yang mana adanya hubungan emosional yang sangat kuat antar masyarakat petani perladangan khususnya hubungan kekeluargaan.2 Di sisi lain, kelembagaan Jojobo merupakan hasil konstruksi sosial yang diterima dan disepakati oleh komunitas-komunitas petani peladangan sebagai bentuk penyesuaian masyarakat dengan lingkungan material dan non-material. Meskipun kelembagaan Jojobo saat ini sudah mulai memudar karena masyarakat petani peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan semakin tergantung pada nilai dan kekuatan luar desa seperti pasar dan industri perkotaan yang bersifat ekonomi dan individualis; dimana ukuran yang digunakan tidak lagi menyangkut kelestarian dan kebersamaan, melainkan eksploitasi dan sukses finansial semata. Sehingga, masyarakat desa sangat rapuh terhadap faktor yang berada di luar pengendaliannya3. 1 Hasil wawancara dengan Bpk Din Hi Yusuf, petani di kecamatan Jailolo Selatan, 3 Agustus 2011. 2 Hasil wawancara dengan Bpk Said Jusuf, petani di kecamatan Jailolo Selatan, 5 Agustus 2011. 3 Pengolahan data dari hasil wawancara dengan beberapa warga di desa Sidangoli Dehe, Kecamatan jailolo Selatan, tanggal 10-12 Agustus 2011. 58 5.2 Eksistensi Nilai-nilai Jojobo Masyarakat komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat yang masih mempertahankan keberadaan kelembagaan Jojobo disebabkan oleh berbagai faktor terutama berkaitan dengan dukungan dari sesama masyarakat komunitas petani peladangan. Faktor yang menyebabkan Jojobo masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat hingga hari ini adalah disebabkan adanya dukungan sesama masyarakat komunitas petani perladangan dalam bentuk kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dan dapat menunjang kebutuhan hidup sehari-hari, serta toleransi antar sesama warga sangat tinggi4. Selain itu, sebab lainnya adalah karena Jojobo merupakan salah satu tradisi yang masih dipertahankan karena terciptanya hubungan kekeluargaan yang sangat kuat serta kebutuhan masyarakat yang bisa terpenuhi utntuk kebutuhan-kebutuhan yang tidak terduga5. Komunitas petani peladangan masih ditemukan melakukan tradisi kelembagaan Jojobo. Faktor yang menyebabkan Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat masih ada yang melakukan tradisi Jojobo salah satunya adalah karena ada faktor untuk memenuhi kebutuhankebutuhan ekonomi dengan dasar hubungan emosional yang sangat tinggi dalam hal saling mendukung dan membantu satu sama lain melalui Jojobo. Faktor lainnya adalah tradisi kelembagaan Jojobo masih dianggap sebagai suatu hubungan silaturahmi antar masyarakat sehingga tidak terputus hubungan secara kekeluargaan maupun antar warga6. Umumnya, kehidupan sosial masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan yang selama ini masih eksis dan hidup di pedesaan adalah model subsistensi, yang berakar dalam kebiasaan ekonomi dan pertukaran sosial untuk kebutuhan dasar keluarga. Namun sebagian masyarakat sudah mulai berhadapan dengan model ekonomi komersil yang berorientasi pasar. Dalam konteks 4 Hasil wawancara dengan ketua adat Bpk Amanah Sangaji, ketua adat desa moiso di kecamatan Jailolo Selatan 2 september 2011. 5 Hasil wawancara dengan Bpk Mundar, petani di desa moiso kecamatan jailolo Selatan, 3 september 2011. 6 Hasil wawancara dengan Bpk Saleh Hasan dan Ibu Salbiyah Hj.Rauf, petani dan ketua adat di akeara kecamatan Jailolo Selatan, 7 dan 8 September 2011. 59 semacam ini penerapan nilai-nilai Jojobo dalam beragam aktivitas ekonomi di komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat sangat mendukung dan membantu antara antar golongan masyarakat terutama dalam mendukung dan saling membantu memenuhi kebutuhan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani peladangan yang masih mengandalkan hubungan-hubungan ekonomi sosial tradisional. Menurut, Koentjaraningrat (1986) nilai budaya suatu masyarakat bisa dan terus akan berubah. Terjadinya perubahan nilai itu menunjukkan bahwa nilai budaya tidak muncul begitu saja. Ciri-ciri bahwa komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat masih mempertahankan Jojobo, dapat terlihat dan ditunjukkan melalui ciri-ciri aktivitas sebagai berikut; 1) Mengundang warga komunitas petani perladangan dalam rangka hajatan. 2) Melaksanakan pertemuan keluarga 2 Minggu Sekali, 3) Mengumpulkan dana untuk membantu warga yang sedang mengalami musibah. Selain itu juga terwujud dalam aktivitas 1) Sifat gotong royong antar warga, 2) Sering melakukan pertemuan keluarga, 3) Saling berbagi rasa antar warga ketika salah satu warga mendapat musibah atau mengadakan hajatan.7. Hal ini memperlihatkan bahwa nilai budaya masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan berupa keberadaan kelembagaan Jojobo masih ada di komunitas petani perladangan dicirikan oleh adanya nilai budaya berupa sifat gotong royong antar warganya, dengan seringnya diadakan pertemuan secara periodik, mengundang setiap warganya pada saat ada hajatan atau syukuran, melakukan penggalangan dana pada saat warganya mengalami musibah, serta memberikan bantuan pada saat ada warganya melakukan hajatan. Kearifan budaya lokal di Kecamatan Jailolo Selatan ini menunjukkan identitas dan karakter budaya lokal masih terlihat secara jelas dalam konsep ketahanan budaya lokal berupa kelembagaan Jojobo dengan mempertahankan nilai kearifan lokal tetap terjaga dan menjadi nilai yang tetap ada untuk memperkokoh ketahanan budaya lokal di Kecamatan Jailolo Selatan khususnya, dan umumnya masyarakat desa di Maluku Utara. 7 Hasil wawancara dengan ibu Hamidah Abdulah dan Ibu Muna Mahdi , tokoh masyarakat Petani di desa Moiso kecamatan Jailolo Selatan, 9 September 2012. 60 Era globalisasi saat ini, setiap masyarakat tidak akan mampu menolak keberadaan modernitas kebudayaan sebagai konsekuensi dunia yang mengglobal. Setiap kebudayaan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan itu tergantung dari dinamika masyarakatnya. Terjadinya perubahan tatanan budaya bukan hanya disebabkan oleh pengaruh eksternal, tetapi juga akibat pengaruh internal karena berubahnya cara pandang masyarakat tradisional terhadap perubahan kehidupan dan penghidupan mereka sebagai faaktor penyebab bergesernya keberadaan nilai-nilai kelembagaan Jojobo. Kebudayaan memang bersifat dinamis, berkembang dan mengalami pengaruh lingkungan strategisnya yang menjadikan kebudayaan berubah dari waktu ke waktu. Perubahan itu menyebabkan beberapa unsur kebudayaan universal mencapai puncak orbitasi dalam kulminasinya dan mempunyai nilai yang semakin tinggi. Kelembagaan Jojobo inipun mengalami perubahan karena sifat budaya yang dinamis dan kehidupan mayarakat petani perladangan yang selalu berkembang. Disamping itu banyaknya pengaruh lingkungan ekonomi dengan banyaknya para pendatang serta mobilisasi penduduk menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai Jojobo. Perbedaan kelembagaan Jojobo dahulu dengan kelembagaan Jojobo sekarang adalah jika dahulu Jojobo di kalangan komunitas petani peladangan adalah merupakan salah satu bentuk pertemuan antar keluarga dekat saja dan juga salah satu tempat pengumpulan dana atau dalam bentuk barang untuk diberikan kepada warga yang kebutuhan hidupnya harus di bantu. Sedangkan Jojobo sekarang sudah lebih memperhatikan kebutuhan pokok setiap warga dengan mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati bersama Selain itu, dahulu Jojobo dilakukan masih bersifat sangat sederhana yaitu pertemuan yang dilakukan masih antar keluarga dekat saja. Sedangkan Jojobo sekarang sudah lebih modern dan meluas antara warga komunitas petani perladangan yang memiliki kesamaan budaya.8. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pergeseran nilai keberadaan kelembagaan Jojobo terutama pada aspek sosial ekonomi yang semula hanya berada di lingkungan keluarga dekat yang memiliki pertalian darah, namun saat ini sudah berkembang di lingkungan kekerabatan pada keluarga yang 8 Hasil wawancara dengan Hj. Mudasir Ketua Adat di desa Gam dan dan Bpk Ikram Ketua Adat di kecamatan Jailolo Selatan, 15 september 2011. 61 lebih besar dan luas, bahkan berkembang pula pada komunitas-komunitas yang memiliki kesamaan pekerjaan seperti komunitas petani peladangan. Saat ini, nilai sosial ekonomi kelembagaan Jojobo telah menjadi kebanggaan dan merupakan jati diri komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Nilai-nilai dasar kelembagaan Jojobo yang masih dipertahankan oleh sebagian komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan dahulu hingga sekarang ditunjukkan dalam bentuk toleransi kekeluargaan dalam hal kebutuhan yang mendesak.” “Masih melakukan pertemuan antar warga dengan suatu kesepakatan dalam bentuk pengumpulan dana kemudian disepakati secara bersama dalam hal lebih memprioritaskan kebutuhan warga yang dianggap lebih urgen atau mendesak.9 Nilai-nilai budaya yang masih dipertahankan oleh komunitas petani perladangan dalam penerapan kelembagaan Jojobo terutama dalam hal nilai toleransi kekeluargaan dan pertemuan dalam mencapai suatu kesepakatan bersama. Perkembangan budaya lokal disebabkan oleh banyak faktor baik secara internal maupun eksternal. Perubahan sosial dalam suatu masyarakat diawali oleh tahapan perubahan nilai, norma, dan tradisi kehidupan sehari-hari masyarakat yang bersangkutan, yang juga dapat disebut dengan perubahan nilai sosial. Berlangsungnya perubahan nilai budaya tersebut disebabkan oleh pertamatama adanya inovasi yang diperkenalkan oleh sekelompok warga masyarakat, baik yang berupa variasi, inovasi, maupun difusi budaya. Untuk masuk menjadi bagian dalam sistem budaya masyarakat, nilai-nilai baru yang dimaksud harus melalui proses penerimaan sosial serta proses seleksi sosial. Nilai-nilai budaya baru yang mampu memberikan kepuasan atau peningkatan hidup bagi masyarakat baik secara materi ataupun nonmateri, atau bertahan lama, dan lambat laun akan masuk menjadi bagian integral dari sistem budaya masyarakat yang bersangkutan. Terjadinya perubahan nilai sosial ekonomi kelembagaan Jojobo dahulu dengan sekarang salsah satunya disebabkan oleh terjadi perkembangan jaman yang tingkat kebutuhan hidup semakin meningkat sehingga perlu adanya perubahan sistem Jojobo yang lebih relevan dengan kondisi keadaan sekarang. Selain itu juga perubahan bentuk yang dahulu masih bersifat sederhana dan masih 9 Hasil wawancara dengan Hi. Abdullah dan Ibu Salbiah, ketua Adat di desa Braha Tabadamai Kecamatan Jailolo Selatan, 13 September 2011. 62 antara keluarga dekat saja, kemudian kesepakatan yang dibangun masih atas dasar toleransi khususnya untuk kebutuhan-kubutuahan masyarakat yang terdesak. Sedangkan Jojobo sekarang sudah bersifat semi modern tergantung dari kubutuhan-kebutuhan masyarakat yang sudah merupakan kebutuhan pokok dan kesepakatan yang dibuat harus mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati secara bersama.10 Hal ini memperlihatkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo selalu mengalami pergeseran yang dinamis pada aktivitas komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Bentuk penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat masih ditemukan nilai-nilai gotong royong, saling tolong menolong, kebersamaan, kekeluargaan, kekerabatan, kepercayaan dan toleransi, serta nilai kejujuran. Hal itu dilakukan oleh komunitas petani peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat. Meskipun nilai-nilai Jojobo hingga hari ini sebagian besar masih eksis dan diterapkan oleh komunitas perladangan di masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa di zaman modern sekarang ini, memiliki dinamika dan memiliki tantangannya sendiri, sebagaimana banyak terjadi juga pada nilai-nilai lokal dan tradisional lain di masyarakat adat nusantara. Diantara tantangan-tantangan baru yang ikut mempengaruhi dan menggeser makna nilai-nilai Jojobo tersebut adalah budaya dari luar baik yang dibawa serta oleh para pendatang luar daerah, maupun dari media (massa dan elektronik), masuknya beragam industri dan perusahaan, teknologi pertanian modern, serta budaya modern lainnya yang pada akhirnya ikut membentuk budaya yang lebih individualistik daripada kepentingan komunal dan kelompok. Beragam pengaruh dan intervensi budaya modern beserta asupan teknologi baru yang telah hadir menjadi keniscayaan sejarah ini menjadi dilema tersendiri bagi masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Sebab, di satu sisi masyarakat petani perladangan masih ingin mempertahankan nilai-nilai tradisional Jojobo yang merupakan warisan leluhur yang sudah ratusan tahun teruji menjadi ciri khas budaya lokal, namun disisi lain kebutuhan akan efisiensi, 10 Pengolahan data dari hasil wawancara dengan Bpk Mukhtar S Dulman dan Muzammir Hi. Adam, tokoh masyarakat di desa Taba damai kecamatan Jailolo Selatan, 14 agustus 2011. 63 kemajuan teknologi dan budaya modern telah mengepung dan memaksa mereka untuk beradaptasi agar tetap relevan dengan tuntutan zaman. Karena itulah diperlukan sebuah upaya-upaya pemberdayaan keembagaan yang serius dan sistematis agar nilai-nilai Jojobo dapat mampu dikontekstualisasikan dan direlevansikan dengan tantangan zamannya, tanpa harus mengorbankannya demi modernisasi. 5.3 Ikhtisar Kelembagaan Jojobo merupakan konstruksi sosial yang diterima dan disepakati oleh komunitas-komunitas petani perladangan sebagai bentuk penyesuaian masyarakat dengan lingkungan material dan non-material. Masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan selanjutnya jadi semakin tergantung pada nilai dan kekuatan luar desa seperti pasar dan industri perkotaan yang bersifat ekonomi dan individualis; dimana ukuran yang digunakan tidak lagi menyangkut kelestarian dan kebersamaan, melainkan eksploitasi dan sukses finansial semata. Sehingga, masyarakat desa sangat rapuh terhadap faktor yang berada di luar pengendaliannya. Nilai luhur yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo berupa terciptanya hubungan kekeluargaan dan kekerabatan di dalam komunitas petani peladangan. Nilai luhur kekeluargaan dan kekerabatan ini terefleksikan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bahkan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terduga. Oleh karena itu keberadaan kelembagaan Jojobo diharapkan menjadikan sarana dalam penerapan budaya lokal sebagai suatu upaya terutama pemenuhan kebutuhan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Nilai budaya masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan berupa keberadaan kelembagaan Jojobo masih ada di komunitas petani perladangan dicirikan oleh adanya nilai budaya berupa sifat gotong royong antar warganya, dengan seringnya diadakan pertemuan secara periodik, mengundang setiap warganya pada saat ada hajatan atau syukuran, melakukan penggalangan dana pada saat warganya mengalami musibah, serta memberikan bantuan pada saat ada warganya melakukan hajatan. 64 Kelembagaan Jojobo inipun mengalami perubahan karena sifat budaya yang dinamis dan kehidupan mayarakat petani perladangan yang selalu berkembang. Disamping itu banyaknya pengaruh lingkungan ekonomi dengan banyaknya para pendatang serta mobilisasi penduduk menyebabkan terjadinya pergeseran nilainilai Jojobo. Pergeseran nilai keberadaan kelembagaan Jojobo terutama pada aspek sosial ekonomi yang semula hanya berada di lingkungan keluarga dekat yang memiliki pertalian darah, namun saat ini sudah berkembang di lingkungan kekerabatan pada keluarga yang lebih besar dan luas, bahkan berkembang pula pada komunitaskomunitas yang memiliki kesamaan pekerjaan seperti komunitas petani perladangan. Nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo selalu mengalami pergeseran yang dinamis pada aktivitas komunitas petani peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Bentuk penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat masih ditemukan nilai-nilai gotong royong, saling tolong menolong, kebersamaan, kekeluargaan, kekerabatan, dan toleransi, serta nilai kejujuran. Hal itu dilakukan oleh komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat dengan jalan menerapkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo. 65 66 BAB VI PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN JOJOBO 6.1 Upaya Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo Peran serta masyarakat dalam meningkat efektivitas dalam memenuhi setiap kebutuhan dalam suatu komunitas masyarakat, maka sebenarnya upaya pemberdayaan masyarakat telah dijalankan. Upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi dan produktifitas melalui pengembangan sumberdaya manusia, penguasaan teknologi dan penguatan kelembagaan serta perbaikan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial. Upaya ini memerlukan adanya kerjasama yang sinergis dari berbagai kekuatan yang ada. Upaya penguatan kelembagaan sosial ekonomi yang berada dalam suatu komunitas masyarakat dapat dilakukan dengan usaha-usaha mempertahankan keberadaannya dalam bentuk penguatan nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan tersebut. Penguatan kelembagaan sosial ekonomi ini telah dilakukan pula oleh sebagian kelompok masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan dengan berbagai upaya termasuk penguatan nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mempertahankan Jojobo oleh sebagian komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat dilakukan dengan cara sering melakukan silatuhrahmi antar warga dan selalu memberikan dukungan dan bantuan satu sama lain.11 Masih adanya kelembagaan sosial ekonomi pedesaan Jojobo mampu memberikan kekuatan bagi petani perladangan (posisi tawar yang tinggi). Kelembagaan Jojobo dalam hal ini memberikan jawaban atas permasalahan pemenuhan kebutuhan komunitas petani perladangan yang membutuhkan bantuan satu sama lain. Penguatan posisi tawar petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan melalui kelembagaan Jojobo merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan terutama bagi komunitas petani perladangan, agar mereka mampu secara berkelanjutan dalam melaksanakan kegiatan usahataninya dan juga dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya. 11 Hasil wawancara dengan Bpk Abu Bakar, petani di kecamatan Jailolo Selatan, 10 Agustus 2011. 67 Diantara usaha untuk tetap mempertahankan dan penguatan nilai-nilai kelembagaan Jojobo dilakukan dengan usaha yang dilakukan adalah sifat gotong royong dan toleransi tetap di pertahankan, saling mendukung antara warga dalam usahanya dengan melihat kondisi yang ada di Jailolo Selatan sebagian besar mata pencariannya adalah nelayan dan bertani. Dari hasil nelayan dan petani dibuat satu kesepakatan sebagian keuntungan harus disisipkan sesuai dengan besaran jumlah yang telah disepakati dan dimasukan dalam bentuk Jojobo.12 Pengembangan masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan melalui kelembagaan Jojobo merupakan suatu upaya pemberdayaan terencana yang dilakukan secara sadar dan sungguh-sungguh melalui usaha bersama petani untuk memperbaiki keragaman sistem perekonomian pada komunitas masyarakat petani perladangan. Arah pemberdayaan petani perladangan akan disesuaikan dengan kesepakatan yang telah dirumuskan bersama. Dengan partisipasi yang tinggi terhadap kelembagaan Jojobo, diharapkan rasa ikut memiliki dari masyarakat atas semua kegiatan kelembagaan Jojobo yang dilaksanakan akan juga tinggi. Petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan, jika kegiatan usaha pertaniannya dilakukan secara individu, maka akan terus berada di pihak yang lemah karena petani perladangan yang dilakukan secara individu akan mengelola usaha tani dengan luas garapan kecil dan terpencar serta kepemilikan modal yang rendah. Sehingga, perlu memperhatikan penguatan kelembagaan Jojobo karena dengan berkelompok maka petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan tersebut akan lebih kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun permodalannya. Kelembagaan petani di desa umumnya tidak berjalan dengan baik ini disebabkan (Zuraida dan Rizal, 1993; Agustian, dkk, 2003; Syahyuti, 2003; Purwanto, dkk, 2007) karena beberapa hal: Pertama, Kelompok tani pada umumnya dibentuk berdasarkan kepentingan teknis untuk memudahkan pengkoordinasian apabila ada kegiatan atau program pemerintah, sehingga lebih bersifat orientasi program, dan kurang menjamin kemandirian kelompok dan keberlanjutan kelompok. Kedua, Partisipasi dan kekompakan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok masih relatif rendah, ini tercermin dari tingkat 12 Hasil wawancara dengan Ibu Maria Yahya, tokoh masyarakat di Jailolo Selatan, 20 september 2011. 68 kehadiran anggota dalam pertemuan kelompok rendah (hanya mencapai 50%). Ketiga, Pengelolaan kegiatan produktif anggota kelompok bersifat individu. Kelompok sebagai forum kegiatan bersama belum mampu menjadi wadah pemersatu kegiatan anggota dan pengikat kebutuhan anggota secara bersama, sehingga kegiatan produktif individu lebih menonjol. Kegiatan atau usaha produktif anggota kelompok dihadapkan pada masalah kesulitan permodalan, ketidakstabilan harga dan jalur pemasaran yang terbatas. Keempat, Pembentukan dan pengembangan kelembagaan tidak menggunakan basis sosial capital setempat dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan. Kelima, Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan konsep cetak biru (blue print approach) yang seragam. Introduksi kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan. Keenam, Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan pendekatan yang top down, menyebabkan tidak tumbuhnya partisipasi masyarakat. Ketujuh, Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar mereka meningkat. Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya. Kedelapan, Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada kontaktani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena tidak ada sosial learning approach. Kesebilan, Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktural organisasi dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya, meskipun wadahnya sudah tersedia. Kondisi komunitas masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan relatif sama dengan kondisi petani perladangan pada umumnya. Namun keberadaan kelembagaan Jojobo dapat mengatasi permasalahan-permasalahan 69 yang dialami oleh petani perladangan yang menerapkan kelembagaan Jojobo. Permasalahan yang dihadapi petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan pada umumnya adalah lemah dalam hal permodalan. Akibatnya tingkat penggunaan saprodi rendah, inefisien skala usaha karena umumnya berlahan sempit, dan karena terdesak masalah keuangan posisi tawar ketika panen lemah. Selain itu produk yang dihasilkan petani perladangan relatif berkualitas rendah, karena umumnya budaya petani perladangan di pedesaan dalam melakukan praktek pertanian masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga (subsisten), dan belum berorientasi pasar. Selain masalah internal petani perladangan tersebut, ketersediaan faktor pendukung seperti infrastruktur, lembaga ekonomi pedesaan, intensitas penyuluhan, dan kebijakan pemerintah sangat diperlukan, guna mendorong usahatani dan meningkatkan akses petani terhadap pasar (Saragih, 2002). Pemberdayaan masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat dapat dilakukan dengan adanya aktivitas kelembagaan Jojobo. Peran serta masyarakat yang meningkat efektivitasnya, sebenarnya merupakan upaya pemberdayaan masyarakat yang telah dijalankan. Upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi dan produktifitas melalui pengembangan sumberdaya manusia, penguasaan teknologi dan penguatan kelembagaan serta perbaikan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial. Sehingga penguatan keberadaan kelembagaan Jojobo dapat dilakukan dengan dukungan upaya yang memerlukan adanya kerjasama yang sinergis dari berbagai kekuatan pembangunan yang ada. Tipe masyarakat komunal merupakan ciri yang universal ketika ketergantungan antar penduduk tinggi, dan campur tangan pihak luar rendah sekali. Salah satu cirinya adalah pemilik sumberdaya secara bersama dan disdistribusi manfaatnya juga bersama-sama. Pada tatanan masyarakat komunal yang sehat, setiap pengambilan keputusan yang penting dilakukan melalui musyawarah dengan menjunjung tinggi kebersamaan (solidaritas). Pada masa sebelum campur tangan pemerintah secara intensif, yaitu lebih tegasnya lagi kirakira masa sebelum “era pembangunan”, maka kelembagaan yang hidup di masyarakat pedesaan umumnya merupakan kelembagaan yang dibangun sendiri 70 oleh masyarakat sepeti halnya kelembagaan Jojobo. Mereka sendiri yang memutuskan untuk membentuk kelembagaan yang dibutuhkan mencakup didalamnya bentuk atau strukturnya, mekanismenya pemilihan anggotanya, pola kepemimpinannya, aturan main (rule of the game) serta sangsi-sangsinya. Kelembagaan Jojobo memiliki kriteria dalam pemilihan anggotanya. Faktorfaktor yang menentukan calon peserta dalam kelembagaan Jojobo pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat, diantaranya adalah 1) Harus mempunyai ikatan hubungan keluarga, 2) Dapat dipercaya dan mampu mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati bersama. 3) Mempunyai usaha dan pekerja keras. Selain itu peserta kelembagaan Jojobo diharuskan memiliki ikatan keluarga atau kekerabatan, memiliki penghasilan, dan harus patuh pada aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Faktor yang menentukan untuk menjadi calon anggota Jojobo adalah 1) Harus adanya usaha sendiri, 2) Termasuk dalam komunitas dalam keluarga, 3) Harus patuh pada aturan-aturan yang telah disepakati dalam Jojobo.13 Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa hal yang berkaitan dengan aturanaturan yang telah disepakati bersama ini merupakan norma yang berlaku dalam penyelenggaraan kelembagaan Jojobo. Setiap orang yang terlibat di dalam kelembagaan Jojobo diikat oleh suatu pola nilai dan norma sebagai pedoman bersikap dan berperilaku, yang dimantapkan kemudian dengan adanya struktur yang baku. Struktur merupakan visualisasi dari siapa orang yang terlibat dan posisionalnya 6.2 Dampak Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo pada Pemenuhan Kebutuhan Sosial Ekonomi produktif Setiap orang yang ikut serta dalam kelembagaan Jojobo pastilah memiliki motivasi yang berbeda-beda, namun secara umum para peserta kelembagaan Jojobo pada komunitas petani perladangan memiliki motivasi utama terjalinnya hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang baik antar sesama warga. Motif utama masyarakat mengikuti Jojobo adalah keinginan terjalinnya hubungan kekeluargaan dengan baik antar sesama warga, dan kebutuhan hidup dapat 13 Pengolahan data hasil wawancara dengan Hi. Abdullah ketua adat di kecamatan jailolo selatan dengan Ibu Maria Yahya petani di kecamatan Jailolo Selatan, tanggal 21 dan 23 september 2011. 71 terpenuhi dengan baik. Selain motivasi utama terjalin hubungan yang baik antar anggota keluarga atau kekerabatan, pemenuhan keamanan terutama berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan yang tidak terduga atau terdesak juga merupakan motivasi peserta anggota kelembagaan Jojobo. Sebab dengan Jojobo diharapkan hubungan kekeluargaan yang tidak terputus dan adanya toleransi tetap terjaga dengan sangat baik serta pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terduga atau mendesak dapat terpenuhi14. Masyarakat petani peladangan memiliki kelembagaan adat untuk mengatur, menata, memperkuat dan menjaga berlangsungnya keharmonisan interaksi antara masyarakat petani peladangan dengan ekosistem lahan pertanian di sekitarnya. Perubahan lingkungan eksternal menuntut perubahan operasional kelembagaan, termasuk di tingkat lokal, perlu mereformasikan diri dan bersinergis agar sesuai dengan kebutuhan yang selalu mengalami perkembangan. Inilah yang dimaksud dengan transformasi kelembagaan, yang dilakukan tidak hanya secara internal, namun juga tatahubungan dari keseluruhan kelembagaan tersebut. Salah satu perubahan eksternal yang mempengaruhi keberadaan kelembagaan Jojobo di Kecamatan Jailolo Selatan adalah banyaknya masyarakat pendatang dari berbagai etnis dan suku yang menetap di Kecamatan Jailolo Selatan, baik dari kecamatan lain di Kabupaten Halmahera Barat, maupun dari luar kabupaten atau bahkan dari Luar Provonsi Maluku Utara. Anggapan bahwa masyarakat pendatang menjadi salah satu peyebab bergesernya nilai dan peran Jojobo dalam masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan memiliki alasan, seperti yang dikemukakan oleh tokoh masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan yaitu Bapak Jauhar (Tahun 2011) yang mengatakan bahwa: “Alasannya masyarakat pendatang sering melakukan perubahan pola pikir komunitas petani perladangan dengan cara dan sistem yang di pakai lebih mengutamakan keuntungan tanpa memperdulikan nilai-nilai etika kekeluargaan sehingga dengan sendirinya peran Jojobo itu sendiri menjadi berkurang.” Kecamatan Jailolo Selatan dibanjiri pendatang dari berbagai latar belakang sosial dan etnis. Keragaman sosial ekonomi serta mata pencaharian mulai dari 14 Data hasil olahan dari wawancara dengan Bpk Burhanuddin tokoh Masyarakat desa Braha Kecamatan Jailolo Selatan dan Ibu Safa Yahya, petani di desa Braha Kecamatan Jailolo Selatan, 21-22 Agustus 2011. 72 tukang tambal ban, pengusaha warung, pedagang buah, hingga pegawai negeri sipil maupun pegawai swasta serta karyawan pabrik memerlukan ruang transisi dan alkulturasi untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan setempat. Adanya ruang bersama memungkinkan proses ini dapat berlangsung dengan baik. Kepadatan pemukiman dan terbentuknya ruang bersama baik sebagai fasilitas keagamaan, pendidikan, dan olahraga mendorong perilaku positif sosial masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan. Secara alamiah masyarakat komunitas petani peladangan akan bertahan dengan segala modal yang ada dengan membangun kekuatan yang sudah ada. Masyarakat pendatang menjadi peyebab memudar dan bergesernya peran Jojobo dalam masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan dikatakan pula oleh seorang petani peladangan yaitu Bapak Haji Abas (Tahun 2011) yang mengungkapkan bahwa: “Alasannya masyarakat pendatang lebih memberikan pemikiran yang lebih modern dan lebih mengutamakan keuntungan secara individual dan itu sangat berpengaruh kepada masyarakat asli sehingga peran Jojobo pada masyarakat menjadi berkurang.” Kecamatan Jailolo Selatan memiliki ruang bersama sebagai wadah interaksi para pendatang dan penduduk lokal. Ikatan sosial memotivasi warga untuk mewujudkan aktivitasnya melalui komunikasi antar warga. Banyaknya aktivitas mereka maka warga berinisiatif menciptakan ruang bersama baru sebagai simpul interaksi warga. Interaksi ini akan membentuk budaya baru sebagai bentuk aktivitas interaksi sosial masyarakat di pedesaan yang berkembang melalui aktivitas dalam ruang bersama tersebut. Ikatan keruangan yang menjadi dasar kehidupan bermasyarakat di kampung ditumbuhkan melalui kebersamaan membuat ruang untuk keperluan bersama. Perubahan sosial budaya masyarakat akibat perkembangan wilayah pedesaan menyebabkan beberapa budaya lokal tersisih dan sulit dipertahankan. Sejumlah pihak menganggap bahwa Jojobo hanya ada pada komunitas petani peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat. Namun hal ini disanggah oleh tokoh adat yaitu Bapak Din Haji Yusup (Tahun 2011) yang mengatakan sebagai berikut: 73 “Tidak benar, karena ada beberapa komunitas masyarakat yang hidup di wilayah Kecamatan Jailolo Selatan dan mempunyai tradisi Jojobo yang berbeda-beda antara satu komunitas dengan komunitas yang lain.” Pendapat ini di dukung pula oleh tokoh masyarakat lainya yaitu Bapak Matius Jawa (Tahun 2011) yang mengatakan sebagai berikut: “Tidak benar, karena Kecamatan Jailolo Selatan terdiri dari beberapa komunitas dan Jojobo yang dilakukan dengan cara yang berbeda sesuai dengan tradisi dari masing-masing komunitas itu sendiri.” Hal ini memperlihatkan bahwa Jojobo memiliki karakteristik yang beragam, namun keberadaan kelembagaan Jojobo pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan memiliki kebiasaan atau tradisi tersendiri. Sebab umumnya di komunitas petani perladangan penunjukan lebih kepada orang yang di anggap mampu dalam segi finansial, mampu melakukan komunikasi dengan warga, serta dapat dipercaya. Selain itu biasanya di komunitas petani perladangan orang yang dituakan atau berpengaruh dan mampu yang memimpin Jojobo; Adanya hubungan kekeluargaan yang sangat dekat; Orang yang amanah atau dapat dipercaya.15 Penyelenggaraan kelembagaan Jojobo mempunyai maksud dan tujuan beragam sehingga berdampak pada pelaksanaan penggalangan dana dan penentuan waktu bagi hasil. Di samping utamanya menjalin silaturahmi antar anggota Jojobo, penentuan tempat penyelenggaraan kegiatan Jojobo pada dasarnya tidak ada tempat-tempat khusus, tetapi tempat penyelenggaraan pelaksanaan di salah satu rumah anggota atau di rumah ketua kelembagaan Jojobo sesuai dengan kesepakatan bersama. Pembagian waktu dan penentuan biasanya atas kesepakatan bersama, dan tempat pelaksanaan Jojobo biasanya di tempat ketua atau orang yang memimpin Jojobo.” Namun kadangkala penentuan waktu juga atas kesepakatan bersama misalnya 10 hari harus dilakukan Jojobo, Tempat yang dilakukan Jojobo dirumah orang yang telah ditunjuk sebagai ketua, dan atau 15 Hasil wawancara dengan Bpk Amanah Sangaji, ketua Adat di desa Tataleka, Kecamatan jailolo Selatan, Hi. Abdullah Hi. Adam, petani di Kecamatan Jailolo Selatan, tanggal 24-25 Austus 2011. 74 berpindah tempat dari warga yang satu ke warga yang lain secara bergiliran dengan tujuan agar silaturahmi tetap berjalan dengan baik.16 Bentuk, keadaan, suasana dan ketentuan penyelenggaraan kelembagaan Jojobo yang sangat beragam ini, dilakukan tergantung dari kesepakatan yang dilakukan oleh seluruh anggotanya. Waktu penyelenggaraan biasanya dilaksanakan sesudah selesai masa panen, misalnya perkebunan (seperti panen kelapa) karena hampir seluruh masyarakat komunitas petani perladangan hidupnya dari hasil produksi tanah pertanian. Setiap peserta Jojobo menyadari pembagian waktu, sebab sudah ada dasar kesepakatan bersama. Sebagaimana diungkapkan oleh ketua adat di desa Dehe Kecamatan Jailolo Selatan yang menyatakan bahwa pembagian waktu pelaksanaan Jojobo yang ditentukan atas dasar kesepakatan bersama. Aktivitas sosial dihimpun menjadi kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan erat dengan peranan-peranan dari perangkat struktur dapat dinamakan lembaga. Lembaga dapat dimaknai sebagai sistem terorganisasi dari praktek-praktek dan peranan-peranan sosial yang muncul di sekitar suatu nilai atau serangkaian nilai, dan perlengkapan yang muncul untuk mengatur praktek-praktek tersebut serta menjalankan aturan-aturan. Dengan demikian ”lembaga dalam makna sosiologis” adalah kontinuitas proses hubungan antar manusia atau antar kelompok sosial yang berfungsi mengatur dan memelihara keteraturan pola perilaku sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Kelembagaan sosial sebagai basis pemberdayaan masyarakat yang dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan ekonomi. Dengan demikian maka masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan harus mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang dihadapi melalui pemberdayaan masyarakat desa yang dapat dilakukan melalui kelembagaan Jojobo sebagai basis pemberdayaan masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan. 16 Hasil wawancara dengan Hi. Mudastir dan Bpk Sedek, ketua adat dan petani di Kecamatan Jailolo Selatan, 26 Agustus 2011. 75 Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan harus mampu berperan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terutama dalam membentuk dan merubah perilaku masyarakat untuk mencapai taraf hidup yang lebih berkualitas melalui kelembagaan sosial. Pembentukan dan perubahan perilaku masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan melalui kelembagaan sosial, baik dalam dimensi sektoral yakni dalam seluruh aspek atau sektor-sektor kehidupan manusia; dimensi kemasyarakatan yang meliputi jangkauan kesejahteraan dari materil hingga non materil; dimensi waktu dan kualitas yakni jangka pendek hingga jangka panjang dan peningkatan kemampuan dan kualitas untuk pelayanannya, serta dimensi sasaran yakni dapat menjangkau dari seluruh strata masyarakat. Pemberdayaan masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan tidak lain adalah memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar mampu menggali potensi dirinya dan berani bertindak memperbaiki kualitas hidupnya, melalui cara antara lain dengan pendidikan untuk penyadaran dan pemampuan diri mereka yang dapat diperoleh dengan keberadaan kelembagaan sosial yang berkembang pada masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan. Keberadaan kelembagaan sosial ekonomi Jojobo mampu memenuhi kebutuhan komunitas petani perladangan di daerah ini. Hal ini terlihat dari pengaruh langsung maupun tidak langsung pelaksanaan kelembagaan Jojobo yang berhasil dalam mencapai kesejahteraan bersama pada setiap anggotanya. Meskipun landasan kelembagaan Jojobo yang selama ini diketahui mampu memenuhi kebutuhan komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat seperti biaya sekolah, pembelian peralatan rumah tangga, namun mampu juga meringankan komunitas petani peladangan dalam skala lebih besar seperti dalam hal pembiayaan pembangunan rumah. Keberadaan kelembagaan Jojobo juga mampu menjadi basis pemberdayaan masyarakat desa pada komunitas petani perladangan yang berorientasi pada peningkatan produksi sektor pertanian perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Pembangunan merupakan unsur utama yang membawa serta gejala perubahan sosial masyarakat. Infrastruktur, birokrasi, teknologi, pengetahuan baru dan orientasi uang adalah intrumen yang melekat padanya. Perubahan pada eksistensi kelembagaan sosial Jojobo adalah gejala sosial di masyarakat 76 merepresentasikan perubahan sosial yang tengah berlangsung. Masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan menunjukkan respon yang terkontaminasi dalam gejala perubahan dengan menanggung resiko memudarnya kohesi sosial, dan di pihak lain menunjukkan gejala resistensi terhadap unsur-unsur perubahan tersebut. Mereka yang menolaknya menunjukkan resistensi terhadap unsur-unsur modern, mereka memilih mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo dan memilih tetap menjalankan Jojobo. Hal ini memperlihatkan bahwa keberadaan kelembagaan Jojobo yang memilih mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam Jojobo dianggapnya mampu memenuhi kebutuhan komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan, namun pada kenyataan nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan sudah mulai memudar. Hal ini terlihat dari mereka yang terbawa arus perubahan ditunjukkan oleh masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan yang memperkecil keberadaan kelembagaan Jojobo hanya dalam aktivitasnya, sehingga berkurang terutama dalam unsur gotong royong seperti dalam pembangunan rumah yang mengganti unsur kerja sukarela menjadi lebih komersial. Kelembagaan Jojobo merupakan simpul atau mewakili gambaran masyarakat di pedesaan yang hidup didasarkan pada pola kerjasama, tolong menolong, saling peduli, memiliki nilai, norma dan kepercayaan. Jojobo sebagai nilai sosial budaya dan pengetahuan lokal yang telah lama tertanam pada masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan pada umumnya, diharapkan senantiasa terpelihara dan berkembang menjadi modal yang bernilai harganya dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, semestinya kebijakan pemerintah dalam bentuk implementasi program pembangunan di desa lebih intensif memanfaatkan kelembagaan Jojobo sebagai kelembagaan lokal yang ada di masyarakat. Melembagakan nilai-nilai Jojobo dalam setiap kebijakan dan program pemerintah daerah merupakan suatu langkah startegis untuk memberdayakan masyarakat. Internalisasi nilai-nilai Jojobo pada setiap aspek kehidupan merupakan wujud dari upaya untuk memelihara, mempertahankan dan memperkuat kelembagaan Jojobo. 77 6.3 Ikhtisar Upaya pemberdayaan kelembagaan Jojobo dipengaruhi oleh perubahan lingkungan eksternal (sosial, ekonomi, politik) nasional dan di tingkat lokal. Sehingga perlu upaya mereformasikan diri dan bersinergis agar sesuai dengan kebutuhan kebaruan yang selalu mengalami perkembangan. Inilah yang dimaksud dengan transformasi kelembagaan, yang dilakukan tidak hanya secara internal, namun juga tatahubungan dari keseluruhan kelembagaan tersebut. Salah satu perubahan eksternal yang mempengaruhi keberadaan kelembagaan Jojobo di Kecamatan Jailolo Selatan adalah banyaknya masyarakat pendatang dari berbagai etnis dan suku yang menetap di Kecamatan Jailolo Selatan, baik dari kecamatan lain di Kabupaten Halmahera Barat, maupun dari luar kabupaten atau bahkan dari Luar Provonsi Maluku Utara. Penyelenggaraan kelembagaan Jojobo mempunyai maksud dan tujuan beragam sehingga berdampak pada pelaksanaan penggalangan dana dan penentuan waktu bagi hasil. Di samping utamanya menjalin silaturahmi antar anggota Jojobo, penentuan tempat penyelenggaraan kegiatan Jojobo pada dasarnya tidak ada tempat-tempat khusus, tetapi tempat penyelenggaraan pelaksanaan di salah satu rumah anggota atau di rumah ketua kelembagaan Jojobo sesuai dengan kesepakatan bersama. Usaha pemberdayaan kelembagaan Jojobo menghasilkan bergam program pemberdayaan yang dilakukan oleh masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan dalam upaya penguatan nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mempertahankan Jojobo oleh sebagian komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo dikemukakan oleh beberapa narasumber di lapangan. Masih adanya kelembagaan sosial ekonomi pedesaan Jojobo mampu memberikan kekuatan bagi petani perladangan (posisi tawar yang tinggi). Kelembagaan Jojobo dalam hal ini memberikan jawaban atas permasalahan pemenuhan kebutuhan komunitas petani perladangan yang membutuhkan bantuan satu sama lain. Penguatan posisi tawar petani peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan melalui kelembagaan Jojobo merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan terutama bagi komunitas petani peladangan, 78 agar mereka mampu secara berkelanjutan dalam melaksanakan kegiatan usahataninya dan upaya meningkatkan kesejahteraan. Dasar dari upaya penguatan kelembagaan Jojobo dikembalikan pada inisitaif yang dibangun sendiri oleh masyarakat, meliputi keputusan penyususnan bentuk atau strukturnya, mekanismenya pemilihan anggotanya, pola kepemimpinannya, aturan main (rule of the game) serta sangsi-sangsinya. Satu hal yang telah disepakati bersama sebagai norma yang berlaku dalam penyelenggaraan kelembagaan Jojobo. Faktor-faktor yang menentukan calon peserta dalam kelembagaan Jojobo pada komunitas petani perladangan, yaitu; 1) Harus mempunyai ikatan hubungan keluarga, 2) Dapat dipercaya dan mampu mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati bersama, dan 3) Mempunyai usaha dan pekerja keras. Salah satu dampak dari perubahan eksternal yang mempengaruhi keberadaan kelembagaan Jojobo adalah banyaknya masyarakat pendatang dari berbagai etnis dan suku yang menetap di Kecamatan Jailolo Selatan, baik dari kecamatan lain di Kabupaten Halmahera Barat, maupun dari luar kabupaten atau bahkan dari luar Provonsi Maluku Utara yang membawa serta adat dan tradisi mereka sendiri, sehingga ikut mempengaruhi pemudaran nilai-nilai Jojobo. Sebab, salah satu alasan yang dikemukakan tokoh msyarakat bahwa para pendatang sering melakukan perubahan pola pikir komunitas petani perladangan dengan cara dan sistem yang di pakai lebih mengutamakan keuntungan tanpa memperdulikan nilai-nilai etika kekeluargaan sehingga dengan sendirinya peran Jojobo itu sendiri menjadi berkurang. Jojobo sebagai salah satu kelembagaan sosial berbasis pemberdayaan masyaraka, mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan penerima manfaat dari seluruh proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan ekonomi. Inilah semangat sari upaya pemberdayaan kelembagaan Jojobo. 79 80 BAB VII DAMPAK KELEMBAGAAN JOJOBO TERHADAP SOLIDARITAS SOSIAL 7.1 Kelembagaan Jojobo sebagai Wadah Pemenuhan Komitmen Lembaga mengatur cara-cara memenuhi kebutuhan manusia yang penting, oleh karena itu dalam setiap kehidupan masyarakat terdapat lembaga-lembaga yang berfungsi mengatur berbagai kebutuhan manusia dalam hidupnya. Bertrand (1980) menjelaskan bahwa institusi-institusi sosial pada hakekatnya merupakan kumpulan dari norma-norma (struktur-struktur sosial) yang diciptakan untuk dapat melaksanakan suatu fungsi masyarakat. Lembaga-lembaga yang menyangkut pengaturan kebutuhan manusia dalam masyarakat secara umum disebut dengan lembaga sosial. Kepatuhan dan kontinuitas merupakan suatu hal yang wajib dilaksanakan oleh para peserta Jojobo. Faktor yang menyebabkan peserta Jojobo mentaati ketentuan yang sudah ditetapkan dikemukakan oleh tokoh adat yaitu Bapak Din Haji Yusup (Tahun 2011) yang mengatakan bahwa: “Faktor utamanya adalah komitmen yang sudah dibangun secara bersamasama dan saling menguntungkan satu sama lain”. Kebutuhan manusia yang paling mendasar dalam kehidupan sehari-hari dapat dibagi dalam kategori umum; primer, sekunder dan tersier. Mulai dari kebutuhan pangan, sandang, papan, hingga hiburan atau rekreasi, melanjutkan keturunan atau perkawinan, disamping kebutuhan untuk memenuhi perasaan akan keamanan, ketenteraman serta pemenuhan kebutuhan spiritual dan nilai-nilai sosial lainnya yang dapat menjadi dasar bagi hubungan sosial-masyarakat. Dengan terpenuhinya kebutuhan nilai sosial dimungkinkan terciptanya ketertiban dan keselarasan pergaulan dalam masyarakat. Faktor yang menyebabkan masyarakat melaksanakan Jojobo dengan mentaati aturan berupa komitmen yang sudah ditetapkan. Diantaranya oleh beberapa faktor berikut, 1) Adanya sifat 81 toleransi atau gotong royong antar perserta, 2) Adanya keterkaitan hubungan kekeluargaan, 3) Komitmen terhadap ketentuan yang sudah ditetapkan17. Lembaga tradisional Jojobo ini mengajarkan tentang “kearifan masyarakat” terhadap kelestarian budaya lokal, dan berbagai bentuk pantangan adat, perlu terus dipertahankan, bahkan jika masih diperlukan, dapat digali kembali lembagalembaga tradisional yang efektif sebagai pengendali dalam pemenuhan kebutuhan komunitas petani peladangan. Satu hal yang mungkin perlu mendapatkan perhatian berupa terjadinya proses transisi dari model kelembagaan Jojobo lama ke model kelembagaan Jojobo baru. Lembaga-lembaga Jojobo yang berkembang kemudian, jika tidak disertai dengan spesialisasi unsur-unsur yang terdapat dalam Jojobo untuk mengakomodir kesepakatan secara bersama. Artinya dalam Jojobo memang perlu spesialisasi dalam Jojobo karena aturan-aturan yang telah di tetapkan sudah sangat jelas dan telah menjadi salah satu acuan bagi warga komunitas petani perladangan dimana usulan tiap peserta komunitas petani perladangan sudah terakomodir18. Berkaitan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam Jojobo ini dikemukakan pula oleh Tokoh Masyarakat yaitu Bapak Samar Kandi Kuilo (2011) yang mengatakan bahwa: Kepatuhan komunitas masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan pada umumnya mendorong komitmen terhadap ketentuan yang sudah ditetapkan pada pelaksanaan kelembagaan Jojobo. Keberadaan kelembagaan tradisional Jojobo ini digunakan sebagai sarana komunikasi yang efektif antar warga masyarakat petani perladangan. Kelompok-kelompok yang menerapkan kelembagaan Jojobo biasanya diikat dengan sistem menyerupai arisan antar warga sebagai sarana berkumpulnya warga untuk mengikatkan diri dalam kesatuan “solidaritas sosial” yang kuat yang terbentuk dengan adanya sifat toleransi dan gotong royong. Dalam kelompok-kelompok tradisional seperti inilah masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan memiliki kesadaran kolektif sebagai satu kesatuan komunitas yang utuh. 17 Hasil wawancara dengan Bpk Amanah Sangaji, Ketua Adat di Jailollo Selatan, 27 september 2011. 18 Diolah dari hasil wawancara dengan Ibu Salbiah Hj. Rauf, Ketua Adat Desa Rio Ribati dan Bpk Samar Kandi, Kuilo, tokoh masarakkat Rio Ribati, Kecamatan Jailolo Selatan, 28 Agustus 2011. 82 Motivasi dalam penyelenggaraan kelembagaan Jojobo yang disampaikan oleh pemimpin Jojobo akan menjadi sangat efektif diterima oleh para anggotanya, dan merupakan salah satu upaya bentuk kepedulian komunitas masyarakat petani perladangan terhadap pelestarian kelembagaan Jojobo. Meskipun kegiatan kelembagaan tradisional Jojobo tersebut aktifitasnya relatif tinggi, tetapi belum dimanfaatkan secara efektif. Pemanfaatan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin informal kelembagaan Jojobo, sebenarnya dapat dijadikan model kemitraan antara lembaga tradisional di Kecamatan Jailolo Selatan. Aktivitas masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan dalam bentuk kelembagaan Jojobo dapat dimanfaatkan sebagai sarana yang efektif untuk meningatkan komitmen yang tinggi terhadap lembaga Jojobo yang berfungsi sebagai sarana komunikasi serta diskusi antar warga, yang lebih bernuansa egalitarian. Kerjasama yang efektif dan efisien dalam kelembagaan Jojobo yang ada, diharapkan akan mampu “menjembatani kesenjangan kepentingan” yang selama ini terjadi dalam komunitas masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. 7.2 Solidaritas dalam Kelembagaan Jojobo Kelembagaan merupakan social form ibarat organ-organ dalam tubuh manusia yang hidup dalam masyarakat. Kata “kelembagaan” menunjuk kepada sesuatu yang bersifat mantap (established) yang hidup (constitued) di dalam masyarakat. Suatu kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok orang. Ia merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern, atau bisa berbentuk tradisional dan modern; dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial. Hal ini terlihat pula dalam kelembagaan sosial ekonomi Jojobo yang bersifat mantap yang hidup di Maluku Utara, khususnya pada komunitas masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan dengan mengembangkan solidaritas kerjasama. Kesepakatan yang solid akan membawa rasa solidaritas terhadap para pelaku kerjasama dalam kelembagaan Jojobo ini. Akan muncul ‘sense of 83 belonging’ di antara para pelaku kerjasama dalam kelembagaan Jojobo yang kemudian akan melahirkan sikap untuk saling mendukung, saling percaya, dan saling membantu satu sama lain. Akan muncul satu tujuan bersama yang kemudian menjadi pedoman bagi para pelaku kerjasama dalam kelembagaan Jojobo tersebut untuk mencapai keseahteraan bersama. Kerjasama yang solid dibangun dari sikap dan sifat solider dari para pelaku kerjasama. Solidaritas antara pelaku akan menciptakan hubungan yang solid, atau kuat, kukuh dan padat. Dengan begitu kerjasama pun dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan oleh pihak-pihak yang bekerjasama dalam suatu kelembagaan sosial ekonomi. Faktor-faktor tersebut adalah mengumpulkan dana ataupun barang-barang sesuai dengan kebutuhan dari warga yang mendesak, dan juga menyumbangkan tenaga untuk membantu warga yang membutuhkan19. Salah satu tujuan utama pembentukan kelembagaan Jojobo yaitu berupa penggalangan dana untuk disalurkan kepada anggota yang sangat membutuhkan. Selain itu kelembagaan Jojobo tidak hanya berorientasi pada bantuan dalam bentuk finansial atau uang, namun juga bantuan dalam bentuk material atau barang dan bahkan dapat pula berupa bantuan dalam bentuk tenaga. Penjelasan ini memperlihatkan bahwa peran keberadaan kelembagaan Jojobo, sangat membantu terwujudnya rasa solidaritas dan kesetiakawanan yang diperoleh dari kerjasama antar para anggotanya. Kemandirian merupakan kebutuhan siapapun dan berprofesi apapun di negeri ini. Mandiri akan melahirkan kebersamaan, karena tidak mungkin seseorang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa peran orang lain. Mandiri akan melahirkan pemberdayaan setiap diri untuk bisa melakukan produktifitas pada bidangnya masing-masing sehingga ia dibutuhkan orang lain. Jika setiap individu dalam suatu komunitas masyarakat bisa mandiri, maka wilayah keberadaan komunitas masyarakat akan mampu mensejahterakan masyarakatnya tanpa harus bergantung pada wilayah lainnya. Kemandirian inilah yang dapat diperoleh dari keberadaan Jojobo pada komunitas petani peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan dalam memberdayakan masyarakatnya. Diantara hal lain yang menjadi sebab kuatnya peran Jojobo dalam memberdayakan masyarakat komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo 19 Hasil wawancara dengan Bpk Farid, petani di Desa Tabadamai, Kecamatan Jailolo Selatan, tanggal 29 Agustus 2011. 84 Selatan Halmahera Barat adalah adanya sifat toleransi yang sangat tinggi terhadap sesama warga dan mampu memahami kebutuhan setiap warga.20 Hasil wawancara ini memperlihatkan adanya semangat dan implementasi dari kemauan untuk saling bekerja sama dalam upaya memenuhi kepentingan sosial dan kepentingan individu atau personal telah termanivestasikan dalam berbagai bentuk aktivitas bersama yang secara umum termasuk dalam kelembagaan Jojobo, yang dikenal dengan kegiatan "saling tolong-menolong", atau secara luas terwadahi dalam tradisi "gotong-royong". Tradisi gotong-royong memiliki aturan main yang disepakati bersama (norma), menghargai prinsip timbal-balik dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dan dalam waktu tertentu akan menerima kompensasi atau reward sebagai suatu bentuk dari sistem resiprositas (reciprocity), ada saling kepercayaan antarpelaku bahwa masing-masing akan mematuhi semua bentuk aturan main yang telah disepakati (trust), serta kegiatan kerja sama tersebut diikat kuat oleh hubungan-hubungan spesifik antara lain mencakup kekerabatan (kinship), pertetanggaan (neighborship) dan pertemanan (friendship), sehingga semakin menguatkan jaringan antarpelaku (network). Secara nyata, tradisi gotong-royong telah melembaga dalam kelembagaan Jojobo pada komunitas petani perladangan telah mengakar kuat. Ini diwujudkan dalam berbagai aktivitas keseharian masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan. Praktek gotong-royong, walau cenderung mengalami penurunan, baik dari sudut pandang lingkup aktivitas maupun jumlah orang yang terlibat, secara umum masih mendapatkan apresiasi positif dari komunitas masyarakat petani peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Hal ini tampaknya juga dipengaruhi oleh salah satu karakteristik khusus, yaitu keeratan hubungan sosial yang dimiliki oleh komunitas masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan. Orientasi komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat untuk mengikuti Jojobo dikemukakan oleh salah seorang petani yaitu Bapak No Haji Saleh, diantara orentasinya adalah: 1) Kebutuhan-Kebutuhan hidup sehari hari bisa terpenuhi, 2) Terjalinnya hubungan kekeluarga menjadi lebih baik, 3) Saling mendukung sesama warga. 20 Hasil wawancara dengan Bpk Hi. Abdullah Ketua Adat dan Bpk Burhanudin Tokoh masyarakat di kecamatan Jailolo Selatan, 27 september 2011. 85 Menggalang kerjasama dan solidaritas sosial sesungguhnya merupakan sifat alamiah yang dimiliki manusia demi survival. Solidaritas yang dapat diartikan sebagai berkumpul bersama secara setara untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan bersama. Bentuk-bentuk perkumpulan yang tidak didasarkan pada solidaritas akan menghancurkan individualitas yang tunduk kepadanya. Hal ini ditunjukkan pula oleh petani yaitu Bapak IHB (2011) yang menyatakan bahwa orientasinya mengikuti kelembagaan Jojobo berkaitan dengan solidaritas dan pengakuan mengenai kepentingan bersama, yang bertujuan untuk, 1) Tidak terputusnya tali persaudaraan dan kekeluargaan, 2) Saling membantu antar warga, 3) Mempermudah kebutuhan-kebutuhan yang mendesak. Solidaritas adalah faktor utama dalam merekatkan hubungan sosial dalam sebuah komunitas. Karena rasa solidaritaslah masyarakat bisa menyatukan persepsinya tentang hal yang ingin mereka perjuangkan. Merujuk pada teori Emile Durkheim (1973), solidaritas itu terdiri dari dua jenis, yaitu mechanical solidarity dan organic solidarity. Perbedaan kedua jenis solidaritas ini adalah sumber dari solidaritas mereka, atau hal apa yang telah menyatukan mereka dalam bentuk kerjasama. Kerjasama dalam suatu kelembagaan membutuhkan dukungan dan partisipasi dari para pelakunya. Konsep partisipasi menurut Mikkelsen (Susiana, 2002) dapat diartikan sebagai alat untuk mengembangkan diri sekaligus tujuan akhir. Keduanya merupakan satu kesatuan dan dalam kenyataan sering hadir pada saat yang sama meskipun status, strategi serta pendekatan metodologinya berbeda. Partisipasi akan menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat banyak. Partisipasi juga menghasilkan pemberdayaan, di mana setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Dalam jaringan sosial, partisipasi memegang peranan yang cukup penting, karena kerjasama yang ada dalam komunitas dapat terjadi karena adanya partisipasi individu-individu. Para peserta Jojobo memiliki dorongan untuk selalu berpartisipasi yaitu dengan cara saling membantu ketika salah satu warga mengalami musibah atau membuat hajatan baik bantuan secara materi maupun tenaga. Dan juga saling membantu pada saat salah satu warga mendapat musibah atau membuat hajatan, 86 serta menyumbangkan dana untuk warga yang membutuhkan. Hal inilah yang sering terjadi di dalam keseharian masyarakat dalam mempraktekkan nilai-nilai Jojobo. Memahami prinsip partisipasi memposisikan solidaritas yang berarti suatu upaya untuk meningkatkan partisipasi sesama dalam kesejahteraan umum. Atau, dengan kata lain, solidaritas adalah usaha mewujudkan keadilan sosial. Ukuran keadilan sosial adalah terwujudnya partisipasi dua arah dalam kesejahteraan umum bagi setiap individu dan kelompok. Solidaritas dalam kelembagaan Jojobo adalah bagaimana kebutuhan anggotanya dapat terpenuhi. Arah peningkatan partisipasi dalam kelembagaan Jojobo mampu mendorong gerakan-gerakan solidaritas dan keadilan sosial. Dorongan komunitas petani perladangan untuk menyeleggarakan kelembagaan Jojobo berupa memperoleh manfaat dalam untuk pemenuhan kebutuhan keluarganya. Manfaat dalam keluarga adalah saling mengenal antara satu keluarga dengan keluarga yang lain dan kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan yang tidak terduga bisa terpenuhi. Hal ini dipertegas lagi oleh seorang petani yaitu Bapak Iksan Tuada (Petani) yang mengatakan bahwa: Manfaat dalam keluarganya adalah 1) Terpenuhinya kebutuhan tidak terduga, 2) Kebutuhan hidup keluarga sehari-hari bisa terpenuhi, 3) Hubungan silatuhmi antar keluarga tetap berjalan dengan baik. dengan demikian nampak bahwa, selain manfaat dari aspek ekonomi berupa pemenuhan kebutuhan sehari-hari, juga berkaitan dengan manfaat keamanan jika terjadi kebutuhan yang tidak terduga. Selain faktor ekonomi dorongan komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan juga menghendaki manfaat sosial berupa hubungan silaturahmi yang akan terjaga dan berjalan dengan baik. Manfaat ekonomi yang diperoleh dari keikutsertaannya dalam Kelembagaan Jojobo dikemukakan oleh seorang petani yaitu Ibu Alwia (Tahun 2011) yang mengatakan bahwa dengan memakai kelembagaan Jojobo pemenuhan kebutuhan ekonominya menjadi lebih baik dan pendapatan menjadi lebih meningkat. Keberadaan kelembagaan Jojobo pada komunitas masyarakat petani pedesaan ini memperlihatkan tipe masyarakat komunal merupakan ciri yang universal ketika ketergantungan antar penduduk tinggi, dan campur tangan pihak 87 luar rendah sekali. Tipe masyarakat seperti ini ditemui pula di Kecamatan Jailolo Selatan. Salah satu cirinya adalah kepemilikan sumber daya secara bersama dan distribusi manfaatnya juga bersama-sama, serta berbagai aktivitas kerja bersama yang dikenal dengan istilah gotong-royong. Seluruh keputusan-keputusan yang penting dilakukan dengan cara musyawarah-mufakat atas prinsip kebersamaan dalam kesetaraan. Kelembagaan Jojobo merupakan kelembagaan yang dibangun sendiri oleh masyarakat. Mereka sendiri yang memutuskan untuk membentuk suatu kelembagaan, bagaimana bentuk strukturnya, bagaimana pemilihan anggotanya, pola kepemimpinannya, serta aturan-aturan beserta sanksi-sanksinya. Sanksi yang banyak diterapkan pada waktu itu berupa sanksi adat bagi anggota komunitas yang melanggar. Kelembagaan Jojobo ini adanya saling keterkaitan antar bagiannya, penetapan keputusan yang demokratis, serta luas jangkauan yang terbatas. Khusus untuk aktifitas ekonomi tidak memiliki keleluasaan khusus namun sudah tercakup di dalam kelembagaan yang terbentuk. Kelembagaan Jojobo belum cukup berkembang, dan ketergantungan atau pertukaran barang antar wilayah masih rendah. Pertukaran barang lebih banyak terjadi antar warga dalam komunitas yang relatif terbatas. Memperhatikan kondisi saat ini, yang dapat mempercepat terjadinya proses penerapan Jojobo sebagai modal sosial yang dapat memberdayakan masyarakat komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat dikemukakan oleh Ketua adat yaitu Bapak Haji Mudasir (Tahun 2011) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan sosial yang terjalin dengan baik, menanamkan sikap gotong royong dan toleransi kepada setiap warga. Hal ini juga didukung oleh Tokoh masyarakat yaitu Bapak Jauhar (Tahun 2011) yang mengatakan bahwa hubungan-hubungan yang terjalin msih bersifat eksklusif, hanya pada sekelompok golongannya sendiri. Sebab, terdapat; 1) Adanya hubungan sosial antar warga, 2) Tidak terputusnya hubungan kekeluargaan, 3) Saling membantu antar sesama warga, 4) Kebutuhan warga terpenuhi. Namun semua hubungan itu lebih banyak hanya pada golongan mereka saja. Baik yang terikat karena kekeluargaan maupun etnis dan budaya. 88 Gotong royong merupakan suatu bentuk saling membantu atau tolong menolong yang berlaku di daerah pedesaan Indonesia. Gotong royong sebagai bentuk kerjasama antarindividu dan antarkelompok membentuk status norma saling percaya untuk melakukan kerjasama dalam menangani permasalahan yang menjadi kepentingan bersama. Bentuk kerjasama gotong royong ini merupakan salah satu bentuk solidaritas sosial. Guna memelihara nilai-nilai solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat secara sukarela dalam pembangunan di era sekarang ini, maka perlu ditumbuhkan dari interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan kultural Sehingga memunculkan kebersamaan komunitas yang unsur-unsurnya meliputi: seperasaan, sepenanggungan, dan saling butuh. Pada akhirnya menumbuhkan kembali solidaritas sosial. Saran-saran yang diajukan agar Jojobo lebih berperan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat dikemukakan oleh Tokoh Adat yaitu Bapak Din Haji Yusup (Tahun 2011) yang mengatakan perlu untuk mengembangkan Jojobo, ke arah yang lebih modern. “Perlu adanya perubahan Jojobo yang lebih modern dan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi yang telah ada dalam Jojobo, serta meningkatkan peran Jojobo untuk kebutuhan masyarakat sehingga dapat meningkatkan perekonomian komunitas petani perladangan.” Namun perlu juga Jojobo untuk tetap dipertahankan karena terbukti mampu lebih berperan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Maka mengikuti pendapat seorang Tokoh Masyarakat yaitu Bapak Muzamhir Haji Adam SH (Tahun 2011) mengatakan, maka perlu; 1) tetap mempertahankan Jojobo sebagai salah satu tradisi yang sudah dilakukan sejak jaman dulu. 2) Lebih meningkatkan peran Jojobo untuk kebutuhan masyarakat” Hal ini juga ditambahkan agar Jojobo lebih berperan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat oleh petani-petani yaitu Bapak Mahfud, Bapak Yamin dan Bapak Yusran Haji Halek, Ibu Hasna dan Ibu Nurain yang mengatakan bahwa “Perlu adanya perubahan Jojobo yang lebih modern dan lebih menguntungkan untuk meningkatkan peerekonomian masyarakat pada komunitas petani perladangan. “ 89 Hal di atas memperlihatkan bahwa tiap kelembagaan memiliki tujuan tertentu, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya merniliki pola perilaku tertentu serta nilai-nilai dan norma yang sudah disepakati yang sifatnya khas. Kelembagaan merupakan kelompok-kelompok sosial yang dijalankan oleh masyarakat. Tiap kelembagaan dibangun untuk satu fungsi tertentu, karena itu dikenal kelembagaan pendidikan, kelembagaan-kelembagaan di bidang ekonomi, agama, dan lain-lain. Pada masyarakat berisi kelembagaan-kelembagaan. Semua manusia pasti masuk dalam kelembagaan. Tidak satu, tapi sekaligus dalam banyak kelembagaan, mulai dari di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di tempat ibadah, dan lain-lain. Di kalangan agen-agen pembangunan pedesaan dan pertanian, kelembagaan umumnya dipersempit terutama hanya menjadi kelembagaan kelompok tani, koperasi. subak, kelompok petani peserta program, kelompok pengrajin, dan lain-lain yang sejenis, termasuk kelembagaan sosial ekonomi Jojobo. Penelitian ini menemukan arah tantangan pemberdayaan masyarakat desa melalui keberadaan kelembagaan sosial yaitu kelembagaan Jojobo sebagai basis pemberdayaan pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Pentingnya peranserta dan pemberdayaan masyarakat di bidang sosial ekonomi, penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat, kemampuan kelembagaan Jojobo dalam memenuhi kebutuhan komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat, dan peran kelembagaan sosial ekonomi Jojobo dalam mengembangkan solidaritas kerjasama antar warga masyarakat desa di Maluku Utara; merupakan fokus dalam kajian kelembagaan Jojobo sebagai basis pemberdayaan masyarakat desa di Maluku Utara yang merupakan studi yang dilakukan pada Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat. 7.3 Ikhtisar Salah satu fungsi kelembagaan mengatur berbagai kebutuhan manusia dalam hidupnya, sebab institusi-institusi sosial pada hakekatnya merupakan kumpulan dari norma-norma (struktur-struktur sosial) yang diciptakan untuk dapat 90 melaksanakan suatu fungsi masyarakat. Jojobo sebagi kelembagaan sosial juga mengikat dan menciptakan kepatuhan dan kontinuitas yang wajib dilaksanakan oleh para pelaksana Jojobo. Dampaknya adalah menguatnya solidaritas sosial masyarakat. Sebab, kelembagaan Jojobo mengandung nilai “kearifan masyarakat” terhadap kelestarian budaya lokal, dan berbagai bentuk pantangan adat, perlu terus dipertahankan, bahkan jika masih diperlukan, dapat digali kembali lembagalembaga tradisional yang efektif sebagai pengendali dalam pemenuhan kebutuhan komunitas petani perladangan. Satu hal yang mungkin perlu mendapatkan perhatian berupa terjadinya proses transisi dari model kelembagaan Jojobo lama ke model kelembagaan Jojobo baru. Kepatuhan komunitas masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan pada umumnya mendorong komitmen terhadap ketentuan yang sudah ditetapkan pada pelaksanaan kelembagaan Jojobo. Keberadaan kelembagaan tradisional Jojobo ini digunakan sebagai sarana komunikasi yang efektif antar warga masyarakat petani perladangan yang pada gilirannya ikut meningkatkan solidaritas sosial. Kelompok-kelompok yang menerapkan kelembagaan Jojobo biasanya diikat dengan sistem menyerupai arisan antar warga sebagai sarana berkumpulnya warga untuk mengikatkan diri dalam kesatuan “solidaritas sosial” yang kuat yang terbentuk dengan adanya sifat toleransi dan gotong royong. Kerjasama yang terjalin dalam kelembagaan Jojobo, sikap dan sifat solider ini jelas dibutuhkan karena inilah yang menentukan keberlanjutan eksistensi kerjasama tersebut. Jika suatu kerjasama tidak disertai sikap solider diantara pelaku kerjasamanya, maka akan timbul konflik. Inilah yang tejadi pada kelembagaan Jojobo. Kelembagaan Jojobo ini dibentuk sesuai dengan kebutuhan para pesertanya, sehingga kelembagaan ini dituntut solid baik dari segi pesertanya maupun dari segi aturannya. Aturan kelembagaan Jojobo relatif mudah untuk diwujudkan karena kelembagaan Jojobo mengharuskan adanya suara bulat dalam musyawarah untuk memperoleh mufakat. Ketika ada satu anggotanya tidak berkenan, maka kelembagaan Jojobo tidak akan terbentuk, sehingga kelembagaan Jojobo terbentuk oleh ketetapan yang diperoleh dari hasil musyawarah yang menghasilkan kesepakatan bersama, sebagai suatu kesatuan kesolidan anggotanya. 91 Salah satu tujuan utama pembentukan kelembagaan Jojobo yaitu berupa penggalangan dana untuk disalurkan kepada anggota yang sangat membutuhkan. Selain itu kelembagaan Jojobo tidak hanya berorientasi pada bantuan dalam bentuk finansial atau uang, namun juga bantuan dalam bentuk material atau barang dan bahkan dapat pula berupa bantuan dalam bentuk tenaga yang berupakan solidaritas anggota dalam membantu anggota lainnya untuk memenuhi kebutuhannya. Semangat dan implementasi dari kemauan untuk saling bekerja sama dalam upaya memenuhi kepentingan sosial dan kepentingan individu atau personal sebagai bentuk dari solidaritas telah termanivestasikan dalam berbagai bentuk aktivitas bersama yang dikenal dengan kegiatan "saling tolong-menolong", atau secara luas terwadahi dalam tradisi "gotong-royong". Secara nyata, tradisi gotong-royong telah melembaga dalam kelembagaan Jojobo pada komunitas petani perladangan telah mengakar kuat. Ini diwujudkan dalam berbagai aktivitas keseharian masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan. Praktek gotong-royong, walau cenderung mengalami penurunan, baik dari sudut pandang lingkup aktivitas maupun jumlah orang yang terlibat, secara umum masih mendapatkan apresiasi positif dari komunitas masyarakat petani perladangan Kelembagaan Jojobo merupakan kelembagaan yang dibangun sendiri oleh masyarakat. Mereka sendiri yang memutuskan untuk membentuk suatu kelembagaan, bagaimana bentuk strukturnya, bagaimana pemilihan anggotanya, pola kepemimpinannya, serta aturan-aturan beserta sanksi-sanksinya. Sanksi yang banyak diterapkan pada waktu itu berupa sanksi adat bagi anggota komunitas yang melanggar. 92 BAB VIII SINTESIS Nilai luhur yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo berupa terciptanya hubungan kekeluargaan dan kekerabatan di dalam komunitas petani perladangan. Hal ini terefleksikan dalam pemenuhan faktor produksi, distribusi dan konsumsi. Oleh karena itu keberadaan kelembagaan Jojobo diharapkan menjadikan sarana dalam penerapan budaya lokal sebagai suatu upaya terutama pemenuhan kebutuhan ekonomi produksi dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan. Nilai budaya kelembagaan Jojobo masih ada di komunitas petani perladangan dicirikan dari sifat gotong royong antar warganya, dengan seringnya diadakan pertemuan secara periodik, mengundang setiap warganya pada saat ada hajatan atau syukuran, melakukan penggalangan dana pada saat warganya mengalami musibah, serta memberikan bantuan pada saat ada warganya melakukan hajatan. Pada saat ini kelembagaan Jojobo merupakan konstruksi sosial yang diterima dan disepakati oleh komunitas-komunitas petani perladangan yang tergantung pada nilai dan kekuatan luar desa seperti pasar dan industri perkotaan yang bersifat ekonomi dan individualis. Ukuran yang digunakan tidak lagi hanya menyangkut kelestarian dan kebersamaan saja, namun dipengaruhi pula oleh eksploitasi dan sukses finansial yang menyebabkan masyarakat desanya rapuh terhadap faktor yang berada di luar pengendaliannya. Kelembagaan Jojobo terdiri dari beberapa komponen, yaitu norma/nilai, tata perilaku, aktor dan fisik (Soekanto, 1990). Komponen Jojobo tersebut memiliki dinamika antara periode dulu dan sekarang. Pada zaman dahulu komponen tata nilai/norma seperti kekerabatan, solidaritas, kepercayaan, tolong menolong kejujuran, masih sangat solid. Tata perilaku termanifestasi dalam tolongmenolong/resiprositas dalam hal pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi keseharian, sementara aktorn atau personilnya lebih banyak adalah keluarga, kerabat dan komunitas petani perladangan. Sedangkan bentuknya fisiknya adalah berupa sarana, prasarana, benda seperti pembangunan tempat ibadah, rumah adat 93 dan fasilitas publik lainnya. Sedangkan sekarang ini norma/nilainya mengalami pergeseran, disebabkan adanya beragam kepentingan sosial, ekonomi dan politik dari komunitas petani perladangan yang ikut dalam Jojobo. Sebagai contoh, Jojobo kadang dipakai untuk kepentingan mencari pengaruh sebagai jalan politik menjadi pemimpin lokal (pemilihan kepala desa atau kepala dusun). Sementara tata perilakunya dibentuk dari hasil usaha bersama yang bersifat dan dalam aktifitas produktif perladangan. Misalnya, gotong royong pembersihan kebun, penanaman dan panen hasil pertanian. Para aktor atau personil yang terlibat dalam aktifitas kelembagaan Jojobo sekarang lebih banyak kelompok marga, komunitas kekerabatan dan antar komunitas (yang masih memiliki kesamaan budaya). Sedangkan bentuk fisik kelembagaan Jojobo tidak banyak berubah dari dulu hingga sekarang, yang tersembunyi dalam aktifitas sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang kemudian dengan nilai-nilai Jojobo tersebut mampu menggerakkan masyarakat untuk bersama-sama dalam membangun berupa sarana dan prasarana, seperti bangunan rumah adat, tempat ibadah, dan fasilitas publik yang dibutuhkan oleh komunitas petani perladangan yang terikat dengan nilai-nilai Jojobo. Secara lebih ringkas penjelasan komponen nilai-nilai Jojobo ini akan diuraikan dalam tabel berikut ini; Tabel 8. Komponen Kelembagaan Jojobo No 1. Kelembagaan Jojobo Norma/Nilai Dulu Sekarang Solid. Berbasis Kekeluargaan dan Kekerabatan. Solid. Namun ada kepentingan sosial, ekonomi Politik. Berbasis komunitas Usaha-usaha bersama yang produktif, tidak hanya terbatas pada ikatan kekeluargaan dan kekerabatan. Antar komunitas yang masih memiliki kesamaan budaya. 2. Tata Kelakuan/Perilaku Tolong-menolong, resiprositas, kebersamaan, gotong royong yang bersifat Reproduktif. 3. Aktor 4. Fisik Kinship (Hubungan-hubungan yang terikat pada kekeluargaan dan kekerabatan) Tersembunyi dalam akivitas sosialekonomi masyarakat Tersembunyi dalam akivitas sosial-ekonomi masyarakat Di beberapa wilayah Kecamatan Jailolo Selatan, masyarakatnya masih memiliki sifat dan naluri untuk berpartisipasi dalam membentuk lembaga seperti kelompok tani, paguyuban, dan terutama Jojobo sebagai lembaga tradisional 94 setempat. Keberadaan kelembagaan Jojobo dapat diberdayakan dan dimanfaatkan sebagai asset pembangunan karena memiliki inti budaya lokal yang menjiwainya. Jojobo dikalangan komunitas petani perladangan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi yang telah dilakukan pada jaman dahulu. Jojobo dianggap mampu menciptakan dan meningkatkan nilai hubungan kekeluargaan berdasarkan kekerabatan. Faktor yang menyebabkan komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat masih melakukan tradisi Jojobo, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan adanya hubungan emosional yang tinggi dalam hal saling mendukung dan membantu satu sama lain. Hal ini memperlihatkan penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas ekonomi pada komunitas petani perladangan dilakukan untuk saling membantu memenuhi kebutuhan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan. Setiap orang yang ikut serta dalam kelembagaan Jojobo pastilah memiliki motivasi yang berbeda-beda, namun secara umum para peserta kelembagaan Jojobo pada komunitas petani perladangan memiliki motivasi utama terjalinnya hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang baik antar sesama warga. Motif utama masyarakat mengikuti Jojobo ini dikemukakan oleh tokoh masyarakat yaitu Bpk Burhanudin (Tahun 2011) bahwa motif utamanya adalah terjalinnya hubungan kekeluargaan dengan baik antar sesama warga, dan kebutuhan hidup dapat terpenuhi dengan baik. Salah satu perubahan eksternal yang mempengaruhi keberadaan kelembagaan Jojobo di Kecamatan Jailolo Selatan adalah banyaknya masyarakat pendatang dari berbagai etnis dan suku yang menetap di Kecamatan Jailolo Selatan, baik dari kecamatan lain di Kabupaten Halmahera Barat, maupun dari luar kabupaten atau bahkan dari Luar Provonsi Maluku Utara. Pergeseran nilainilai kelembagaan Jojobo terjadi karena sifat budaya yang dinamis, kehidupan mayarakat petani perladangan yang selalu berkembang, pengaruh lingkungan ekonomi dari para pendatang, dan mobilisasi penduduk. Keberadaan kelembagaan Jojobo yang memilih mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam Jojobo dianggapnya mampu memenuhi kebutuhan 95 ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan, namun pada kenyataan nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan sudah mulai memudar. Hal ini terlihat dari mereka yang terbawa arus perubahan ditunjukkan oleh masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan yang memperkecil keberadaan kelembagaan Jojobo hanya dalam aktivitasnya, sehingga berkurang terutama dalam unsur gotong royong seperti dalam pembangunan rumah yang mengganti unsur kerja sukarela menjadi lebih komersial. Upaya pemberdayaan kelembagaan yang dilakukan masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan berupa upaya penguatan nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mempertahankan Jojobo oleh sebagian komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat dikemukakan oleh seorang petani perladangan yaitu Bpk Abubakar (Tahun 2011) yang mengungkapkan bahwa usaha yang dilakukan untuk mempertahankan Jojobo di komunitas petani perladangan adalah dengan seringnya melakukan silatuhrahmi antar warga dan selalu memberikan dukungan dan bantuan satu sama lain. Masih adanya kelembagaan sosial ekonomi pedesaan Jojobo mampu memberikan kekuatan bagi petani perladangan (posisi tawar yang tinggi). Kelembagaan Jojobo dalam hal ini memberikan jawaban atas permasalahan pemenuhan kebutuhan komunitas petani perladangan yang membutuhkan bantuan satu sama lain. Penguatan posisi tawar petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan melalui kelembagaan Jojobo merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan terutama bagi komunitas petani peladangan, agar mereka mampu secara berkelanjutan dalam melaksanakan kegiatan usahataninya dan juga dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Penelitian ini menemukan arah tantangan pemberdayaan masyarakat desa melalui keberadaan kelembagaan sosial yaitu kelembagaan Jojobo sebagai basis kelembagaan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Pentingnya peran serta dan pemberdayaan kelembagaan masyarakat di bidang sosial ekonomi, berupa penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas komunitas petani perladangan di 96 Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat, diharapkan mampu memenuhi kebutuhan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan yang berbasis kekeluargaan dan kekerabatan. 97 98 BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Bentuk-bentuk penerapan nilai-nilai kelembagaan Jojobo dalam aktivitas ekonomi produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat termanifestasikan dalam beragam aktifitas keseharian masyarakat seperti gotong royong, saling tolong-menolong, kebersamaan, kekeluargaan, kekerabatan, kepercayaan dan toleransi, serta nilai kejujuran. Tujuan penerapan nilai-nilai Jojobo ini adalah untuk untuk saling meringankan beban sosial-ekonomi dan upaya membantu memenuhi kebutuhan ekonomi produktif lainnya, khususnya bagi keluarga dan umumnya pada komunitas petani perladangan yang ikut terlibat dalam aktifitas Jojobo berdasarkan kekerabatan. 2. Kelembagaan Jojobo pada komunitas petani perladangan melemah ketika banyak etnis pendatang masuk dan membawa kekuatan pasar dan industri pedesaan. Oleh karena itu upaya pemberdayaan kelembagaan Jojobo dilakukan dengan baragam cara tergantung pada kekuatan-kekuatan orang dan kelompok sosial masyarakat pendukungnya. Kelembagaan Jojobo semakin kuat dan kokoh ketika kondisi sosial budaya masyarakat masih mempercayai dan meyakini nilai- nilai Jojobo lebih relevan bagi kebutuhan mereka, dibandingkan nilai-nilai dari luar budaya mereka. Jika kelembagaan Jojobo masih kokoh, dan dibangun berbasis kekeluargaan dan kekerabatan. 3. Dampak kelembagaan Jojobo bagi peningkatan solidaritas sosial adalah sangat nyata dan kuat. Nilai-nilai utama Jojobo, seperti saling menolong, peduli dan saling mendukung untuk pemenuhan kebutuhan sosiaekonomi telah berakar kuat pada komunitas petani perladangan di Jailolo Selatan. Semakin kelembagaan Jojobo baik dan sehat, maka nilai-nilai solidaritas akan semakin meningkat dan sebaliknya. Kesepakatan99 kesepakatan bersama yang dibangun dengan nilai-nilai Jojobo berimplikasi pada kekompakan, kesolidan yang lambat laun akan menumbuh-kembangkan rasa solidaritas terhadap para pelaku kerjasama dalam kelembagaan Jojobo baik yang termanifestasikan dalam bentuk keadilan sosial yang ditunjukkan oleh kegiatan saling tolong-menolong, atau secara luas terwadahi dalam tradisi gotong-royong. Disinilah nilainilai Jojobo menjadi spirit dan pendukung bagi solidaritas sosial. 9.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, dapat diajukan saran baik dari aspek teoritis maupun aspek praktis berkaitan dengan keberadaan kelembagaan Jojobo sebagai basis pemberdayaan masyarakat desa di Maluku Utara sebagai berikut: 9.2.1 Saran pada Aspek Teoritis Secara teoritis penelitian tentang Jojobo sebagai nilai sosial lokal dan kelembagaan pemberdayaan masyarakat desa dapat diajukan saran sebagai berikut: 1. Hasil penelitian secara teoritis disarankan agar dalam hal pemberdayaan masyarakat perlu ditinjau dari aspek nilai sosial lokal dan kelembagaan pemberdayaan masyarakat desa yang berkembang. 2. Penelitian lanjutan disarankan agar dilakukan baik dengan komunitas yang lebih luas pada kecamatan-kecamatan lain di Maluku Utara, maupun penelitian yang melibatkan etnis-etnis yang ada di wilayah penelitian. 3. Penelitian lanjutan lainnya disarankan agar dilakukan pada kelembagaankelembagaan sosial ekonomi lainnya yang berkembang di Maluku Utara dalam upaya memberdayakan masyarakatnya. 9.2.2 Saran pada Aspek Praktis Secara praktis atau pragmatis penelitian tentang Jojobo sebagai nilai sosial lokal dan kelembagaan pemberdayaan masyarakat desa di Maluku Utara ini dapat diajukan saran sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini disarankan dapat dijadikan dasar dalam proses-proses kebijakan 100 serta pengambilan keputusan pembangunan pedesaan khususnya di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat sebagai upaya dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat desanya, khususnya bagi komunitas petani perladangan berbasis kekeluargaan dan kekerabatan (kinship) 2. Selain itu pada aspek praktis lainnya disarankan dari hasil penelitian ini yaitu: a. Menjadi bahan informasi dan referensi bagi Pemerintah Daerah di Kabupaten Halmahera Barat dalam mengetahui kendala-kendala yang terjadi berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat. b. Menjadi bahan informasi dan referensi bagi Pemerintah Daerah di Kabupaten Halmahera Barat dalam menyusun kebijakan pemerintah daerah di Kabupaten Halmahera Barat berupa upaya-upaya mengatasi kendala yang terjadi berkaitan dengan peningkatan pemenuhan kebutuhan masyarakat desa di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat. c. Menjadi bahan informasi dan referensi bagi masyarakat Maluku Utara pada umumnya, dan khususnya masyarakat desa di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat dalam upaya meningkatkan pemenuhan kebutuhan masyarakat. 3. Peningkatan peran kelembagaan sosial ekonomi Jojobo dalam pemberdayaan masyarakat disarankan agar: a. Perlunya revitalisasi kembali kelembagaan Jojobo kepada generasi muda dalam upaya mempertahankan budaya lokal di Maluku Utara. b. Adanya pengakuan dari pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat khususnya, dan umumnya Provinsi Maluku Utara akan keberadaan Kelembagaan Jojobo yang mampu memberdayakan masyarakat lokal baik dari aspek sosial maupun aspek ekonomi. 101 102 DAFTAR PUSTAKA Agustian, A; Supena F; Syahyuti; dan E. Ariningsih. 2003. Studi Baseline Program PHT Perkebunan Rakyat Lada di Bangka Belitung dan Lampung. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Arikunto, 1995. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina Aksara. Bertrand, Alvin L, 1980. Sosiologi, Surabaya: PT. Bina Ilmu. Brown, Donald, 1995. Poverty-Growth Dichotomy, dalam Üner Kirdar dan Leonard Silk (ed.). People: From Impoverishment to Empowerment. New York: New York University. Day, L.C.1996. Perubahan Sosial Ekonomi dan Dampaknya terhadap Organisasi Pertanian di Long pujingan dan Long Alongo, dalam Eghenter, C dan Bernard Sellato1996. (peny). Kebudayaan dan Pelestarian Alam. PHPA, The Ford Founddation, dan IMF. Djuweng, S.1999. Pembangunan dan Marginalisas, Masyarakat Adat Dayak, dalam Muhammad Hayat Rahz (Pen). Ashoka Indonesia dan Insit. Yogyakarta. Dove, M.R. 1981. Antara Mitos dan Kebenaran antara Sistem Perladangan Peneliti Yayasan Reckfeller PPS Lingkungan UGM Yogyakarta, Indonesia Agro Ekonomi Tahun XII, No. 15 (Agustus, 1981). Dove, M.R. 1981. Sistem Perladangan di Indonesia. Suatu Studi Kasus dari Kalimantan Barat. UGM Press. Yogyakarta. Durkheim E, 1973. Moral Education.Translated by Everett K.Wilson and Herman Schurer From: L Education Morale, 1925. Collier Macmillan Publighers, London. Dwijowijoto, Riant Nugroho. 2006. Kebijakan Publik:Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputendo. Friedmann, 1992. Empowerment; The Politics of Alernative Development. Cambridge Blackwell. Geertz, C. 1975. Involusi Pertanian. Proses perubahan Ekologi di Indonesia Diterbitkan untuk Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaa, Institut Pertanian Bogor dan Yayasan Obor, Jakarta. J.P. de Josselin Long, 1935. De Meleishe Archipl als ethnologisch Studieveld. Leiden: Ginberg. 103 Karsidi, Ravik. 2001.Paradigma Baru Penyuluhan Pembangunan dalam Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Pambudy dan A.K.Adhy (ed.): Pemberdayaan SumberdayaManusia Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani, Bogor: Penerbit Pustaka Wirausaha Muda. Kartasasmita, Ginandjar, 1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, PT. Pustaka Cidesindo. Kirdar, Uner dan Leonard Silk (ed), 1995. People: From Impoverishment to Empowerment. New York: New York University Press. Koentjaraningrat, 1968. Pengantar Ilmu Antropologi; Cet. Ke-6; Jakarta: Aksara Baru. Koentjaraningrat, 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia; Cet. Ke 22; Jakarta: Pernerbit Jembatan. Mahmudi, Ahmad. 1999. Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Masyarakat. TOT P2KP oleh LPPSLH, Ambarawa, 27 Nopember 1999. Malinowski, B, 1944. A Scientifcis Theory of Culture and Other Essays, Chapel Hill: University of North Caroline Perss. Mansur. Mohammad Zen, 1999. Dampak Negatif dari Investasi Perkebunan Besar Swasta (PSB) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Lokal dan Pembangunan Wilayah Maluku Utara. PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR. di Publikasikan Miles, Matthew B, dan A. Michael Hubermen. 1992. Analisis Data Kualitatif. Diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: universitas Indonesia. Miring, dkk.1987. Tim Geografi Budaya Daerah Kalimantan Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Moleong, Lexy. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Mubyarto, 1998. Sistem dan moral ekonomi Indonesia, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. Mubyarto. 2001. Ekonomisme. Orasi Kebudayaan, Disampaikan di Taman Mini Ismail Marzuki (Tim) 9 April 2001. CIPTA Dewan Kesenian Jakarta. Jakarta. Muhadjir, Noeng, 1982. Teori Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin. Muhajir, Noeng, 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, Eds. 3, Yogyakarta: Rake Sarasin. 104 Nasution, 1996. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara. Norman Uphoff. 1992. Local Institutions and Participation Development.Gatekeeper Series SA31. IIED, London for Sustainable Ostrom E. 1985. Sosial capital: a Fad Or a Fudamental concept? Dalam Dasgupta, P and Ismail Seregeldin. 1999. Sosial Capital: A Multifaceted Perspective. The Word Bank The International Bank For Reconstruction and Development Washington D.C. 20433. P.E, De Josselin Jong, 1977. Structural Anthropologi In The Netherlands. KITL. Translation Seises 17 The Hague Martinus Nyhoff. Patton, Michael Quinn. 1987 Qualitative Education Methods, Beverly Hills, Sage Publication Robert Bogdan. Planck, Ulrich, 1993, Sosiolologi Pertanian, Jakarta; penerbit Yayasan Obor Indonesia. Polanyi, Karl, 2009. Transformasi Besar: Asal Usul Politik Ekonomi Zaman Sekarang. Penerbit : Pustaka Pelajar Prijono, S. Onny., & Pranarka, A.M.W. 1996. Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Jakarta: CSIS. Putuhena, Saleh.1980. Sejarah Agama Islam di Ternate, dalam Masinambow (ed) 1980 Hlm. 263-276. R. Bogdan dan Taylor, S.J, 1984 Introduction to Qualitative Research Methods: The Search for Meanings. Second Edition. New York dll.: John Wiley & Sons. Rakhmat, Jalaluddin, 1989. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Ranis, Gustav, 1995. Reducing Poverty: Horizontal Flows Instead of Trickle Down", dalam Uner Kirdar dan Leonard Silk (ed.). People: From Impoverishment To Empowennent. New York: New York University Press. Robert M.Z. Lawang, 1994. Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Roesmidi, M.M dan Risyanti, I, 2008. Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: AlQaprint Jatinangor. Ruttan, Vernon W and Hayami, 1984. Induce Innovation Model of Agricultural Development in agricultural Development in the Third World. Edited by Calr K. Eicher & John M. Stas 105 Safar, 2008. Konsep Kebudayaan Maluku ss.org/web/images/provinsi maluku utara bmg. Utara. http://www.cps- Saragih, Bungaran, 2002. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian, Bogor: Yayasan Mulia persada Indonesia, Pt.Surveyor Indonesia dan PSP Lemlit IPB. Sasono, Adi, 1999. Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan, Makalah Konferensi Internasional Ekonomi Jaringan, Hotel Sangri-La, Jakarta 5-7 Desember. Singarimbun dan Effendi, 1991. Metode Penilitian Survei, LP3S Jakarta. Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani, Bogor: Disertasi Doktor Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sumodiningrat, Gunawan, 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan JPS. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Uphoff, 1986. Lokal Institusional Development: An Analitical Sourcebook, whit Cases. West Hartford, Kumarian Perss. Von Benda-Beckmann, Frans, Keebet von Benda-Beckmann, and Hands Marks, 2000. Coping With Insecurity. An “Underall” Perspective on Social Security in the Third World (2nd Ed.). Pustaka Pelajar Indonesia dan Focoal Foundation the Netherlands. Zuraida, Desiree dan J. Rizal (ed). 1993. Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan: Pokok-pokok Pemikiran Selo Soemardjan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 106 LAMPIRAN Gambar Peta Provinsi Maluku Utara Gambar Peta Daerah Penelitian Gambar Pusat Kebudayaan Maluku Utara Gambar Pembesihan lahan perladangan sesama anggota Jojobo Gambar Penanaman bersama antara anggota Komunitas Jojobo Gambar Hasil Pertanian Masyarakat di Maluku Utara Gambar Hasil Pertanian Petani Perladangan di kec. Jailolo Selatan Gambar Hasil Panen Petani Perladangan di kec. Jailolo Selatan Gambar Gotong royong dalam Pembangunan Rumah Ibadah di Jailolo selatan Gambar Gotong royong dalam Pembuatan jalan setapak Desa di Kec Jailolo Selatan