pemberdayaan kelembagaan jojobo dan perannya

advertisement
PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN JOJOBO
DAN PERANNYA DALAM MEMENUHI
KEBUTUHAN EKONOMI PRODUKTIF
(Studi Kasus Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara)
ALDI BASIR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
102
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul
“Pemberdayaan kelembagaan jojobo dengan perannya dalam memenuhi
kebutuhan ekonomi produktif (Studi Kasus Komunitas Petani Perladangan di
Kecamatan Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara)”, adalah
karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini.
Bogor, Maret 2012
Aldi Basir
I353080121
102
ABSTRACT
ALDI BASIR. JOJOBO EMPOWERMENT AND THE IMPLICATION
ON ECONOMIC PRODUCTION ACHIEVMENT “Case Study on Land diary
Farm on Jailolo District Halmahera Barat Regency Maluku Utara Province”.
Jojobo is a social value which is growth in a community to manage of pattern and
spirit of social views based on togetherness, humanities, care among to the others,
truths, justice and rightness, by kinship and relationship among communities or
communal members in Maluku Utara Province, Jailolo District, Halmahera Barat
Regency. The result have a conclusion that Jojobo values in dry land farmer
community had lower of community participation in Jojobo institutional, make a
weakness of relationship on kinship, lower of social insurance, lower of humanity
senses on solidarity binding, have low families tolerance and trust on kinship
relations. Besides that, the Jojobo institutional also could be exist, whereas that
showed by economic institutional of Jojobo have an ability to fulfill of daily life
achievement of dry land farmer, because supported by community participate. The
socio-economic institutional, need values on community to make an institutional
strength. The effectiveness factor of institutional, should have a social justice
perspective for morality binding which have an embedded on dry land farmer
community in Jailolo Selatan, Halmahera Regency.
Key words: Jojobo, social values, economic institutional, strengthen factor, social
justice
102
RINGKASAN
Aldi Basir. Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo dan Perannya Dalam Memenuhi
Kebutuhan Ekonomi Produktif “Studi Kasus Komunitas Petani Perladangan di
Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara”. Dengan
bimbingan; Titik Sumarti dan Fredian Tonny Nasdian.
Kelembagaan Jojobo merupakan konstruksi sosial yang diterima dan
disepakati oleh komunitas-komunitas petani perladangan yang tergantung pada
nilai dan kekuatan luar desa seperti pasar dan industri perkotaan yang bersifat
ekonomi dan individualis. Ukuran yang digunakan tidak lagi hanya menyangkut
kelestarian dan kebersamaan saja, namun dipengaruhi pula oleh eksploitasi dan
sukses finansial yang menyebabkan masyarakat desanya rapuh terhadap faktor
yang berada di luar pengendaliannya. Beberapa wilayah Kecamatan Jailolo
Selatan, masyarakatnya masih memiliki sifat dan naluri untuk berpartisipasi dalam
membentuk lembaga seperti kelompok tani, paguyuban, dan terutama Jojobo
sebagai lembaga tradisional setempat. Keberadaan kelembagaan Jojobo dapat
diberdayakan dan dimanfaatkan sebagai asset pembangunan karena memiliki inti
budaya lokal yang menjiwainya.
Jojobo dikalangan komunitas petani perladangan sudah merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari tradisi yang telah dilakukan pada jaman dahulu.
Jojobo dianggap mampu menciptakan nilai hubungan silahtuhrahmi kekeluargaan
antar sesama warga dengan baik. Faktor yang menyebabkan komunitas petani
peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat masih melakukan
tradisi Jojobo, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan adanya
hubungan emosional yang tinggi dalam hal saling mendukung dan membantu satu
sama lain. Implikasi ini menunjukkan bahwa keterjaminan kehidupan sosial
masyarakat bagi kaum petani peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan yang
selama ini masih eksis dan hidup di pedesaan akibat meningkatnya sistem
ekonomi moral yang sebenarnya.
Hal ini memperlihatkan penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas
ekonomi pada komunitas petani perladangan dilakukan untuk saling membantu
memenuhi kebutuhan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas
petani perladangan. Nilai luhur yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo
berupa terciptanya hubungan kekeluargaan dan kekerabatan di dalam komunitas
petani peladangan. Hal ini terefleksikan dalam pemenuhan faktor produksi,
distribusi dan konsumsi. Oleh karena itu keberadaan kelembagaan Jojobo
diharapkan menjadikan sarana dalam penerapan budaya lokal sebagai suatu upaya
terutama pemenuhan kebutuhan ekonomi produksi dan ekonomi keluarga pada
komunitas petani perladangan.
Penelitian ini beranjak dari sebuah hipotesis bahwa pemberdayaan
masyarakat desa melalui keberadaan kelembagaan sosial yaitu kelembagaan
Jojobo sebagai basis kelembagaan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada
komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Pentingnya
peranserta dan pemberdayaan kelembagaan masyarakat di bidang sosial ekonomi,
berupa penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas komunitas petani perladangan
di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat, diharapkan mampu memenuhi
kebutuhan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani
perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat. Oleh karena itu
kelembagaan Jojobo ini diharapkan mampu berperan dalam mengembangkan
solidaritas kerjasama antar warga masyarakat desa di Maluku Utara.
Jojobo merupakan suatu modal sosial yang mengatur pola dan semangat
hidup yang didasarkan pada kebersamaan, kemanusiaan, keperdulian, kejujuran,
keadilan dan kebenaran atas dasar semangat persaudaraan dan kekerabatan
diantara anggota komunitas atau kelompok masyarakat di Provinsi Maluku Utara
pada umumnya dan pada khususnya masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan
Kabupaten Halmahera Barat. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penerapan
nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas komunitas petani perladangan di Kecamatan
Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera Barat sudah mulai memudar yang terlihat
dari berkurangnya partisipasi masyarakat dalam membentuk kelembagaan Jojobo,
serta berkurangnya nilai silahtuhrahmi kekeluargaan atau kekerabatan yang kuat
antar sesama warga, kurangnya jaminan kehidupan sosial bermasyarakat yang
hanya mengandalkan kelembagaan Jojobo, kurangnya rasa saling tolong
menolong (gotong royong) antar warga dalam membentuk kerjasama dan
solidaritas, toleransi kekeluargaan dan nilai kejujuran.
Disamping mengalami pergeseran, berdasar hasil kajian di lapangan
bahwa kelembagaan sosial ekonomi Jojobo juga masih eksis, terlihat mampu
memenuhi kebutuhan komunitas petani perladangan karena didukung adanya
peran serta masyarakat dalam meningkatkan efektivitas pemenuhan setiap
kebutuhan komunitas masyarakat petani perladangan. Upaya penguatan
kelembagaan sosial ekonomi dalam memenuhi kebutuhan komunitas petani
perladangan dilakukan dengan mempertahankan keberadaannya dalam bentuk
penguatan nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan tersebut. Kelembagaan
Jojobo dibentuk dengan syarat diberlakukannya suatu keadilan sosial pada aturan
ikatan moral yang dapat senantiasa menjunjung tinggi rasa keadilan dengan
didukung oleh nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo, sehingga
mampu memperkuat peran Jojobo dalam memberdayakan masyarakat komunitas
petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat.
Kata Kunci: Jojobo, nilai sosial, kelembagaan ekonomi, faktor penguat, keadilan
sosial, Jailolo, Halmahera Barat.
© Hak Cipta milik IPB Tahun 2012.
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjuan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
102
PERMBERDAYAAN KELEMBAGAAN JOJOBO DAN
PERANNYA DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN
EKONOMI PRODUKTIF
(Studi Kasus Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan
Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara)
ALDI BASIR
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Mayor Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Terima Kasih Kepada Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. Penguji Luar Komisi,
atas masukan, kritikan dan inspirasinya.
Judul Tesis : Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo dan Perannya Dalam
Memenuhi Kebutuhan Ekonomi Produktif (Studi Kasus
Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan,
Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara)
Nama
: Aldi Basir
NRP
: I353080121
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Titik Sumarti, MS.
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS.
Ketua
Anggota
Diketahui:
Koordinator Program Studi Mayor
Dekan Sekolah Pascasarjana
Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr.
Tanggal Ujian: 5 Maret 2012
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.
Tanggal Lulus:
102
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT, atas
segala limpahan rahmat, nikmat dan hidayahnya. Shalawat serta Salam
terhaturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW, Saya bersyukur sedalamdalamnya kepada Allah SWT, karena mendapat kesempatan belajar di
Pascasarjana IPB, hingga akhirnya mampu menyesaikan tangung jawab akademik
ini.
Dengan segala tulus, dalam kesempatan yang mulia ini, saya ingin
mengucapakan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya khususnya kepada
dosen pembimbing, para dosen di Sosiologi Pedesaan IPB, teman-teman
seangkatan SPD 2008, para sahabat dan keluarga baik langsung maupun tidak
yang memberikan spirit penyelesaian tesis ini, mereka adalah;
1. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS, dan Ir. Ferdian Tonny Nasdian, MS, Selaku
pembimbing tesis. Keduanya memiliki peran besar bagi penulis dan
proses penyesaian tesis ini.
2. Dr. Ir. Arya Hadi Darmawan, Msc, Agr, selaku Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan dan Dr. Rilus Kinseng, selaku wakil Program Srtudi,
yang selalu memberi motivasi dan mendukung penyesaian studi para
mahasiswa.
3. Dr. Ir. Djuara P Lubis, MS selaku dosen Penguji Luar komisi. Terima
kasiha atas masukan, kritikan dan Motivasinya.
4. Dosen-dosen dilingkungan Sosiologi Pedesaan; Prof .Dr. Endriatmo
Soetarto, Dr, Arif Satria, Ir. Said Rusli, Dr. Lala Kolopaking MS, Dr.
Soeryo Adi Wibowo, Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS.DEA, Dr. Ekawati S.,
Dr. Ir. Saharudin, M.Si, Dr. Ir Ivanovich Agusta, Dr. Satyawan Sunito, Ir.
Melani A. Sunito, M.Sc, Dra Winati Wigna MDS., Moch. Sohibuddin,
M.Si, Prof. Dr. Hariadi Kartodiharjo, dan Dr. Andreas Dwi Santoso, Ir.
Nuraini W. Prasodjo M.Si. Terima kasih atas dukungan dan doanya,
sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
5. Sahabat seperjuangan Sosiologi Pedesaan ankatan 2008, Eko Cahyono,
M.Si, Dian Ekowati, M.Si, Usep Setiawan, M.Si, Nendah Kurnisari, M.Si,
Fafor A. Bacin M.Si, Nurul Hayat, Gentini,
6. Staff administrasi yang telah membantu memperlancar kegiatan akademik:
Ibu Anggra Irene Bondar, Ibu Hetty, Ibu Susi, beserta staff Departemen
Sains dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia.
7. Keluarga Besar Sajogyo Institute (SAINS), Prof. Sajogyo, Dr. Ir.
Gunawan Wiradi, Prof. M.P. Tjondronegoro, terima kasih atas keteladanan
hidup dan inspirasinya.
8. Tesis ini dipersembahkan untuk orang tuaku; Bapak (Almarhum) Basir
Sabana dan Ibu Sarawang Haji Abdul Haji, Semoga Allah SWT
melimpahkan keberkahan hidup mereka di dunia dan akhirat, Amin. Tak
lupa pula terima kasih untuk kakak tercinta, Idrus, Jalia, Alwia, Ridwan
dan Almarhum Sunarti. Sahabatku Mas Rinto Andhi Suncoko, No Haji
Saleh Idayanti Lethulur, Feny Kiat, Moch Yusri Hamid, Yusran Halik,
Masita Salam, Hendra Akhari, Ahmad Nuhuyan, Rian, Dimas, Azar,
Ganjar, Putu Idra, Sulistiono, Mas Zaenal Mutaqin, Bang Adi, Andika,
Andhika K, Fajar, Pembaruan Siregar, Adiz, Flandrianto, Oci,
Rumondang, Abu Bakar Ibrahim, Bang Efan, Oji, Ucup, Mas Bambang,
Oni, Zulfadli, Winter Nuhuyan, Erna Talib, Ika Wahyuni Tomagola, Dwi
Wahyuni Tomagola, Fadli Guret, serta teman yang tidak disebutkan
namanya. Terima kasih atas dukungan dan doa mereka telah memudahkan
penyesaian tesis ini.
9. Persembahan khusus untuk masyarakat Kecamatan Jailolo Selatan; Moch
Sarif Ali, Mafud, Farid, Terima Kasih untuk pembelajaran dan
persaudraanya.
Secara khusus, penyelesaian penulisan tesis ini adalah berkat doa dan
dukungan Sahabatku tercinta Herny DS, Djafar dan Ibu Diana E. Cahyono atas
bantuannya.
Semoga Allah SWT, selalau melimpahkan Hidayah, Magfirah dan keberkahan
(rizki, kesehatan umur, ilmu) kepada kita semua, sehinggs kita mampu menjadi
hambanya yang berkualitas. Amin
Bogor, Maret 2012
Aldi Basir
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Orimakurunga (Halmahera Selatan) pada tanggal 06
Agustus 1980s dan merupakan anak bungsu dari pasangan Ayahanda Haji Basir
Sabana dan ibunda tercinta Sarawan Haji Abdul Haji.
Lulus dari Sekolah Dasar Negeri Orimakurunga pada tahun 1994, Sekolah
Menegah Pertama Orimakurunga pada tahun 1997 dan penulis melanjutkan pada
asekolah Menegah Umum Negeri 1Soa-sio dan tamat pada tahun 2000
Pendidikan Sarjana penulis tempuh pada tahun 2002 di Universitas
Muhammadiyah Maluku Utara dan lulus pada tahun 2007, pada tahun 2007
penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemda Kabupaten
Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara. Pada bulan September 2008 penulis
melanjutkan pendidikan di Program Magister Sains Institut Pertanian Bogor pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD).
102
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .…………………………………………………………….
i
DAFTAR TABEL .………………………………………………………
iii
DAFTAR GAMBAR .……………………………………………………
iv
I
PENDAHULUAN
1.1
1.2
1.3
II
7
9
14
19
20
25
29
Pendekatan Penelitian ..………………….…………………...
Lokasi dan Waktu Penelitian ..…………………...………......
Metode Penentuan Subyek dan Informan ..…………………..
Metode Pengumpulan Data …………………………………...
Metode Pengolahan Data …………………………………….
31
31
32
33
35
PROFIL KOMUNITAS PETANI PERLADANGAN
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
V
Konsep Jojobo ...……………………….……………………..
Konsep Kelembagaan ……………………...…………….......
Konsep Pemberdayaan ………………....………………….....
Pemberdayaan Kelembagaan …..…………………………….
Ekologi Komunitas Petani Perladangan ..…………...……......
Kerangka Pemikiran …………………………………………..
Hipotesis Pengarah …………………………………………...
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
IV
1
4
5
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
III
Latar Belakang ……………...………………………………..
Perumusan Masalah ………………………...………………..
Tujuan Penelitian.......................................................................
Kondisi Geografis ..……………….…………………….........
Kondisi Demografi …………...……………………………....
Kondisi Ekonomi ......................................................................
Kondisi Budaya ………………………………………………
Ikhtisar ……………………………………………………….
39
42
46
50
53
PENERAPAN NILAI-NILAI JOJOBO
5.1
5.2
Nilai-Nilai Jojobo ..…………………………………………..
Eksistensi Nilai Jojobo …………………………………....….
i
55
59
5.3
VI
6.3
Upaya Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo ..……………….
Dampak Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo Pada
Pemenuhan Kebutuhan Sosial Ekonomi Produktif …………..
Ikhtisar ……………………………………………………….
67
71
78
DAMPAK PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN JOJOBO
7.1 Kelembagaan Jojobo Sebagai Wadah Pemenuhan Kebutuhan
7.2. Solidaritas dalam Kelembagaan Jojobo ...…………………….
7.3. Ikhtisar ………………………………....…………………….
81
83
90
93
VIII SINTESIS
IX
64
PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN JOJOBO
6.1
6.2
VII
Ikhtisar …………………………………….....……………....
KESIMPULAN DAN SARAN
9.1
9.2
Kesimpulan ..…………………………………………………
Saran ……………………...…………………………………..
9.2.1 Saran pada Aspek Teoritis …………………......……...
9.2.2 Saran pada Aspek Praktis ……………………………...
99
100
100
100
DAFTAR PUSTAKA .……………………………………………………
103
LAMPIRAN ………………………………………………........................
107
ii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Daftar Nara Sumber/ Informan Utama ………………………. 32
Tabel 3.2 Penentuan Responden (Subjek dan Informan) ………………..
34
Tabel 4.1 Luas Wilayah Daratan Kabupaten Halmahera Barat ...............
40
Tabel 4.2 Jumlah Kecamatan, Desa dan Nama Ibu Kota Kecamatan di
Kabupaten Halmahera Barat ....................................................
42
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten
Halmahera Barat Tahun 2007 ……………………………......
43
Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Perdesaan di Kecamatan Jailolo Selatan di
kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007 ………………….....
43
Tabel 4.5 Penduduk yang Berusia 10 Tahun ke Atas Menurut Jenis
Kegiatan Utama dan Jenis Kelamin di Kabupaten Halmahera
Barat Tahun 2007 ……………………………………….........
44
Tabel 4.6 Proyeksi Penduduk Usia 7-12 Tahun Menurut Kecamatan di
Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007 …………………….
45
Tabel 4.7 Jumlah Guru Menurut Sekolah dan Kecamatan di Kabupaten
Halmahera Barat Tahun 2007 ……………………………......
46
Tabel 4.8 Usaha Industri di Kabupaten Halmahera Barat Sampai Tahun
2007 ..........................................................................................
50
Tabel 4.9 Usaha Industri di Kabupaten Halmahera Barat Sampai Tahun
2007 ...........................................................................................
50
Tabel 8
94
Komponen Kelembagaan Jojobo……………………………...
iii
102
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Halaman
Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Barat ............................ 39
Gambar 2
Topografi Wilayah Kabupaten Halmahera Barat ...................
iv
40
102
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan masyarakat Provinsi Maluku Utara dipengaruhi oleh kondisi
wilayah yang terdiri dari laut dan kepulauan, perbukitan dan hutan-hutan tropis.
Desa-desa di Maluku Utara umumnya (kurang lebih 85 persen) terletak di pesisir
pantai dan sebagian besar lainnya berada di pulau-pulau kecil. Oleh sebab itu,
pola kehidupan seperti menangkap ikan, berburu, bercocok tanaman dan
berdagang
masih
sangat
mewarnai
dinamika
kehidupan
sosial-ekonomi
masyarakat di Maluku Utara (sekitar 79 persen). Kondisi daerah kepulauan di
Provinsi Maluku Utara yang menyebar ini mendorong masyarakatnya tumbuh dan
berkembang dengan segala keragaman budayanya. Berdasarkan catatan di
Maluku Utara terdapat 28 sub etnis dengan 29 bahasa lokal (Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Maluku Utara, 2010).
Semboyan masyarakat Maluku Utara yang dijadikan motto pemerintah
Provinsi Maluku Utara, yakni “Marimoi Ngone Futura Masidika Ngone Foruru”
(Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh), merupakan ajakan ke arah solidaritas
dan partisipasi masyarakat yang didukung oleh ikatan kekerabatan, pertalian darah
dan keturunan sesama anggota keluarga. Ikatan yang sangat erat dan familiar ini
telah menumbuhkan harmonisasi dan interaksi sosial yang sangat kuat. Interaksi
sosial antar komunitas didasarkan pada hubungan kekeluargaan dan pertimbangan
kultural. Potensi kultural ini merupakan modal pembangunan yang paling
berharga untuk dikembangkan.
Jojobo merupakan warisan leluhur di Maluku Utara berupa kelembagaan
sosial ekonomi masyarakat lokal yang merupakan sebuah kebiasaan secara turun
temurun dalam kerangka hidup yang saling tolong menolong, dan di sisi lain
jojobo menjadi disementasi sosial atau perekat sosial untuk mencairkan serta
merajut segala bentuk pertentangan dalam komunitas masyarakat agar tercipta
selalu rasa solidaritas dan kerjasama antar warga masyarakat di Maluku Utara.
1
Jojobo sebagai sebuah kelembagaan merupakan suatu himpunan atau tatanan
norma-norma dan tingkah laku yang biasa berlaku dan menjadi nilai kebersamaan
dalam mencapai tujuan secara kolektif. Pada sisi lain, kelembagaan jojobo juga
mengatur mekanisme dan pertukaran (resiprositas) kegiatan sosial ekonomi
masyarakat. Resiprositas dalam arti harfiah adalah timbal balik, dalam antropologi
ekonomi kegiatan resiprositas berarti pertukaran barang dan jasa yang kira-kira
sama nilainya antara dua pihak. Resiprositas juga menunjuk pada gerakan diantara
kelompok-kelompok simetris yang saling berhubungan (Polanyi, 1957). Artinya
dalam aktivitas jojobo tentu mempunyai kecenderungan saling tukar kebaikan
dalam anggota komunitas dalam masyarakat itu sendiri.
Prakteknya kelembagaan jojobo dilakukan tidak terlalu mengikat dan
memberatkan para anggota jojobo seperti halnya dalam bentuk penerapan jojobo,
diantaranya lebih cenderung tradisonal dalam pengelolaannya, Sebab di dalam
kelembagaan jojobo terdapat nilai dan unsur kultur lokal yang menjadi ruh
dasarnya. Sementara kelembagaan lokal lainya lebih pada orientasi “saving” dana
jangka pendek yang umumnya tidak terkait langsung dengan budaya lokal.
Dengan kata lain dalam jojobo model pengelolaan lebih mengedepankan
nilai-nilai sosial kultural daripada pranata sosial yang formal dan kaku. Orang
yang dipercayakan untuk memegang kendali kelompok jojobo harus orang yang
dituakan. Orang yang memegang kendali ini harus memenuhi kriteria baik secara
sosial ataupun budaya masyarakat setempat. Semua keputusan yang diambil
dalam aktivitas jojobo diputuskan berdasarkan kesepakatan bersama yang pada
akhirnya melahirkan keputusan melalui asas musyawarah.
Pola pembagian atau realisasi akhir dalam aktivitas jojobo dilakukan
berdasarkan prioritas dalam pemenuhan kebutuhan anggota jojobo, sehingga
dalam penerapan jojobo itu sendiri tidak terjadi kesalahpahaman dalam
pelaksanaannya. Kalaupun terjadi kesalahpahaman dalam pelaksanaannya dapat
lebih mudah teratasi, karena jojobo memiliki azas kekerabatan dan persaudaraan.
Perilaku yang terlihat dari keberadaan kelembagaan jojobo dilakukan dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan produktif bagi anggota komunitas
jojobo.
2
Perubahan sosial yang disebabkan proses modernisasi dan industrialisasi
yang masuk ke desa-desa dapat mempengaruhi nilai-nilai sosial yang ada dalam
masyarakat termasuk nilai sosial jojobo. Dampak yang ditimbulkan terhadap
kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal mengakibatkan tata nilai dan
kelembagaan tradisional seperti jojobo yang tumbuh dan berkembang di kalangan
masyarakat lokal menjadi hilang. Hilanganya nilai-nilai sosial yang berkembang
dalam masyarakat lokal, berimplikasi buruk terhadap berbagai aspek baik sosial
maupun ekonomi di pedesaan, karena nilai-nilai sosial ini merupakan suatu
kekuatan atau modal sosial dalam mengatur alokasi pemanfaatan alam secara adil
dan langgeng serta dapat menangani kendala sosial maupun ekonomi termasuk
stabilitas keamanan (Mansur, 1999).
Masyarakat lokal senantiasa mengembangkan pola-pola institusi yang
bersifat fungsional sebagai respon terhadap kondisi ketidakpastian dan kerentanan
yang mereka hadapi. Institusi-institusi jaminan sosial yang bersifat lokal dan
tradisional ini memuat berbagai model mekanisme yang mewajibkan individu,
kelompok
dan
komunitas
memberi
bantuan
kepada
orang
lain
yang
membutuhkan. Di dalamnya juga ada mekanisme pengembangan model-model
saling membantu demi kesejahteraan bersama sebagai kelompok sosial (Von
Benda, 2000). Hal ini memperlihatkan bahwa semua hubungan, lembaga dan
keyakinan yang sudah terbentuk secara sosial dalam jojobo menjalankan fungsi
tertentu sebagai jaminan dari segi sosial, ekonomis dan psikologis bagi seseorang.
Permasalahan di Maluku Utara terlihat dari pergeseran nilai-nilai, norma,
kebiasaan, tata kelakuan, sikap, semangat kerja serta paradigma masyarakat dalam
penerapan jojobo. Perubahan yang terjadi, terlihat dari kecenderungan masyarakat
dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari sebagian besar telah meninggalkan
semangat jojobo dikarenakan adanya peran keberadaan teknologi, nilai uang dan
lain sebagainya.
Modernisasi menganggap bahwa orang-orang yang bekerja di sektor
ekonomi subsisten pedesaan mendapat jaminan sosial memadai dari sistem
dukungan tradisional yang ada (Von Benda, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa
pemberdayaan masyarakat dapat diperoleh dari dukungan sistem tradisional
berupa kelembagaan jojobo yang mampu memenuhi kebutuhan ekonomi
3
produktif dan ekonomi keluarga khususnya pada komunitas petani peladangan.
Persoalan lain dalam proses pemberdayaan masyarakat tingkat lokal tidak
menempatkan keberadaan kelembagaan jojobo sebagai sarana penting dalam
pemberdayaan masyarakatnya yang terlihat dari tidak adanya legitimasi formal
keberadaan
kelembagaan
jojobo
oleh
pemerintah.
Bahkan
keberadaan
kelembagaan jojobo tidak didukung oleh pemerintah sebagai stakeholders utama
pembangunan, sehingga mengesampingkan keberadaan kelembagaan jojobo.
Di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat, terdapat
kelembagaan jojobo yang masih eksis dan dimanfaatkan oleh komunitas dalam
pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi, tidak hanya sebatas untuk pemenuhan
ekonomi dan sosial saja, akan tetapi kelembagaan jojobo juga menunjukkan
kearah yang meluas, tidak hanya berlaku dalam hubungan kekerabatan, namun
juga berpengaruh dalam antar komunitas lokal lainnya.
1.2 Perumusan Masalah
Bagaimana pemberdayaan kelembagaan jojobo dan perannya dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi produktif pada petani perladangan di Kecamatan
Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat Maluku Utara, dalam kaitannya
dengan nilai sosial ekonomi yang berlaku dalam masyarakat lokal, dapat dipahami
dengan mengkaji:
(1). Bagaimana bentuk penerapan nilai-nilai jojobo dalam aktivitas ekonomi
produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
Halmahera Barat?
(2). Bagaimana upaya pemberdayaan kelembagaan jojobo dan dampaknya
dalam memenuhi kebutuhan ekonomi produktif komunitas petani
perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat?
(3). Bagaimana dampak kelembagaan jojobo terhadap solidaritas kerjasama
antar warga masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhan sosial
ekonominya?
4
1.3 Tujuan Penelitian
Dengan mengajukan beberapa pokok persoalan penelitian diatas maka studi
ini bertujuan untuk:
(1). Mengkaji bentuk penerapan nilai-nilai jojobo dalam aktivitas ekonomi
produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
Halmahera Barat.
(2).
Menganalisis dan menguraikan pemberdayaan kelembagaan jojobo
berserta dampaknya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi produktif
komunitas petani perladangan
di Kecamatan Jailolo Selatan
Halmahera Barat.
(3). Menganalisis dampak kelembagaan jojobo terhadap solidaritas dan
kerjasama antar warga masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhan
sosial ekonominya.
5
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Jojobo
Jojobo berasal dari bahasa Ternate berarti “usaha yang dilakukan secara
bersama untuk kepentingan bersama dalam suatu komunitas untuk pemenuhan
kebutuhan hidup yang memiliki nilai-nilai solidaritas seperti baku tolong, atau
baku bantu baik secara ekonomi maupun sosial”. Jojobo juga mengandung
pemaknaan filosofis sebagai pegangan dan nilai-nilai sosial yang menerangkan
tentang pola kehidupan dan hubungan antar manusia dengan sesamanya maupun
dengan alam semesta. Dalam hubungannya manusia dengan sesamanya,
mengisyaratkan manusia sebagai hamba Tuhan (Allah), yang harus saling
mencintai dan saling mengasihi, sebagaimana Allah mencintai hambah-Nya.
Dalam praktek kehidupan sosial kemasyarakatan pada komunitas masyarakat di
Maluku Utara umumnya, dan masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan pada
khususnya memiliki nilai-nilai filosofis yang disebut “dorabololo” yang
dimasukan dalam semangat jojobo seperti halnya “Modet Makatono” atau “Mo
Te Futuwae”, yang mempunyai arti “mari kita saling membantu, atau menyatukan
hati” seperti biji pala dan fulinya. Ilustrasi dari “dolabolo” tersebut dapat
memberikan gambaran bahwa jojobo merupakan sebuah nilai-nilai kesepakatan
yang menyatukan setiap komunitas yang ada pada masyarakat di Kecamatan
Jailolo Selatan untuk saling menolong atau membantu dalam bingkai saling
mengasihi dan mencintai. Dengan demikian jojobo dapat dikatakan merupakan
konsep nilai atau perilaku yang berpola dalam masyarakat (Safar, 2008).
Jojobo dalam konteks kelembagaan, merupakan nilai-nilai sosial yang
mengatur pola dan semangat hidup yang didasarkan pada kepercayaan,
keterbukaan, saling peduli, saling menghargai, dan saling menolong diantara
anggota komunitas masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat
pada khususnya dan Maluku Utara pada umumnya. Jojobo juga merupakan
warisan leluhur masyarakat di Maluku Utara yang dilembagakan sehingga telah
menjadi sebuah kebiasaan dalam kerangka hidup saling tolong menolong, dan di
sisi lain sebagai disementasi sosial atau perekat sosial untuk mencairkan serta
7
merajut segala bentuk pertentangan dalam komunitas masyarakat agar tercipta
selalu rasa solidaritas. Pemaknaan kata jojobo berbeda dengan kelembagaan sosial
lainnya, karena dalam pemaknaan dan prakteknya jojobo memiliki 2 (dua) perekat
nilai yaitu, nilai ekonomi dan nilai sosial.
Jojobo menunjukan pada aktivitas atau implementasi dari nilai-nila sosial
dalam hal ekonomis yang kegunaannya untuk mengatur kebutuhan hidup dalam
suatu komunitas, seperti dalam komunitas keluarga yang memiliki hubungan
darah dan kekerabatan serta dapat berkembang jauh lebih besar pada komunitas
yang memiliki kesamaan budaya atau cultur. Kegiatan jojobo dilakukan sebagai
upaya untuk mengatasi permasalahan dalam anggota komunitas untuk mengatasi
kesulitan ekonomi secara bersama. Jojobo sebagai sebuah nilai-nilai sosial,
merupakan suatu ide yang telah turun-temurun dianggap efektif dan penting oleh
anggota komunitas masyarakat di Maluku Utara. Misalnya nilai harmonisasi,
tolong menolong, kerjasama dan lainnya merupakan contoh nilai kekerabatan
yang sangat umum dikenal dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian jojobo
adalah salah satu dari nilai sosial yang diyakini dan masih dilestarikan masyarakat
Jailolo Selatan hingga kini.
Beragam perspektif sosiologis batasan pengertian nilai sosial dapat
diuraikan sebagai berikut: pandangan C. Kluckhon, menjelaskan nilai sosial
adalah ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengatasi kemauan pada saat dan
situasi tertentu. Menurut Woods, nilai sosial merupakan petunjuk-petunjuk umum
yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku dalam kehidupan
sehari-hari. Bagi A.W.Green, nilai sosial adalah kesadaran yang secara relatif
berlangsung disertai emosi terhadap obyek. Sedangkan, menurut menurut Kimball
Young, nilai sosial adalah asumsi abstrak dan sering tidak disadari tentang apa
yang benar dan apa yang penting. Dan masih banyak pengertian lain terkait
dengan nilai sosial, misalnya Alvin L. Bertrand yang memandang bahwa Nilai
adalah suatu kesadaran yang disertai emosi yang relatif lama hilangnya terhadap
suatu objek, gagasan, atau orang. Dan Robin Williams, nilai sosial adalah hal
yang menyangkut kesejahteraan bersama melalui konsensus yang efektif di antara
mereka, sehingga nilai-nilai sosial dijunjung tinggi oleh banyak orang. Sedangkan
8
menurut Koentjaraningrat (1968) suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi
sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Alfin, 2011).
2.2 Konsep Kelembagaan
Secara normatif
istilah social-institution (kelembagaan sosial) memiliki
beberapa arti. Merujuk pada Koentjaraningrat (1968) selaras dengan makna
pranata sosial yang berarti “suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang
berpusat
kepada
aktivitas-aktivitas
untuk
memenuhi
kompleks-kompleks
kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat”. Menurut Polak (1966)
kelembagaan sosial berarti “suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan
adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting”. Dengan makna
makna yang lebih luas, kelembagaan sosial menurut Bertrand (1974) berarti: 1)
“himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan
pokok di dalam kehidupan masyarakat” yang wujud kongkritnya adalah berupa
asosiasi (association). 2) “tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, organisasi,
dan sistem sosial lainnya”.
Dilihat dari fungsinya kelembagaan sosial setidaknya memiliki empat hal;
1) Memberi pedoman berperilaku kepada individu atau masyarakat; 2) Menjaga
keutuhan; 3) Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol
sosial (social control); 4) Memenuhi kebutuhan pokok manusia atau masyarakat.
Sedangkan ciri-cirinya menurut Soekanto, (1990), memiliki enam ciri; 1)
Merupakan pengorganisasian pola pemikiran yang terwujud melalui aktivitas
masyarakat & hasil-hasilnya; 2) Memiliki kekekalan tertentu, 3) Mempunyai satu
atau lebih tujuan tertentu; 4) Mempunyai lambang-lambang yang secara simbolik
menggambarkan tujuan; 5) Mempunyai alat untuk mencapai tujuan tertentu; 6)
Mempunyai tradisi tertulis atau tidak tertulis.
Sedangkan tipe-tipe kelembagaan sosial menurut Gillin dan Gillin (1954)
sebagimana dikutip oleh Koentjaraningrat, juga oleh Soerjono Soekanto adalah
sebagai berikut: a) Lembaga sosial berdasarkan perkembangannya, b) Lembaga
sosial berdasarkan nilai/kepentingan yang diterima masyarakat, c) Lembaga
sosial berdasarkan penerimaan masyarakat, d). Lembaga sosial berdasarkan
faktor penyebarannya. e) Lembaga sosial berdasarkan fungsinya.
9
Berdasarkan penerimaan masyarakat, kelembagaan sosial terbagi dua; 1)
Approved Institutions adalah bentuk lembaga sosial yang diterima secara umum
oleh masyarakat. Misalnya, adanya lembaga peradilan yang berfungsi untuk
mengurangi dan mengadili para pelaku penyimpangan sosial. 2) Unsanctioned
institutions adalah bentuk lembaga sosial yang secara umum ditolak oleh
masyarakat. Misalnya berbagai perilaku penyimpangan, seperti adanya pusat
perjudian yang akan memberikan dampak negative terhadap pelaku dan
masyarakat sekitarnya.
Faktor penyebaran dan jangkauannya kelembagan sosial terdiri dari
beberapa hal,yaitu; 1) General Institutions adalah bentuk lembaga sosial yang
diketahui dan dipahami masyarakat secara umum. Misalnya keberadaan agama
sebagai pedoman hidup manusia maka dibentuklah lembaga agama. 2) Restricted
Institutions adalah bentuk lembaga sosial yang hanya dipahami oleh anggota
kelompok tertentu. Misalnya pelaksanaan ajaran agama Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, atau berbagai aliran kepercayaan lainnya, yang
pelaksanaan ajaran agama itu hanya dipahami oleh pemeluk ajaran agama yang
bersangkutan.Contohnya Kewajiban sholat lima waktu bagi umat Islam dan
beribadah ke gereja bagi umat Kristen.
Sedangkan proses perkembangan kelembagaan sosial meliputi; 1) lahirnya
peraturan dan norma-norma baru (proses strukturalisasi dan inkulturasi); 2) terjadi
dimana-mana dan terus menerus dalam masyarakat; 3) proses pengaturan dan
pembinaan pola-pola prosedur (tata cara) diserta beragam sanksi dalam
masyarakat. Dari proses mengenal kemudian mengakui, menghargai, mentaati,
menerima dan internalisasi. Sedangkan tingkat internalisasi “dinilai” berdasarkan
kuat atau lemahnya ikatan yang dimiliki oleh norma tersebut.
Dalam pengertian lain, disebutkan bahwa proses pertumbuhan lembaga
sosial terjadi melalui dua cara yaitu: 1) secara tidak terncana, 2) secara terencana.
Secara tidak terencana maksudnya adalah institusi itu lahir secara bertahap dalam
kehidupan masyarakat, biasanya hal ini terjadi ketika masyarakat dihadapkan pada
masalah atau hal-hal yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup
yang sangat penting. Contohnya adalah dalam kehidupan ekonomi, dimasa lalu,
untuk memperoleh suatu barang orang menggunakan sistem barter, namun karena
10
dianggap sudah tidak efisien dan menyulitkan, maka dibuatlah uang sebagai alat
pembayaran yang diakui masyarakat, hingga muncul lembaga ekonomi seperti
bank dan sebagainya. Dan secara terencana maksudnya adalah institusi muncul
melalui suatu proses perncanaan yang matang yang diatur oleh seseorang atau
kelompok orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang. Contohnya lembaga
transmigrasi yang dibuat oleh pemerintah sebagai cara untuk mengatasi
permasalahan kepadatan penduduk. Singkat kata
bahwa proses terbentuknya
lembaga sosial berawal dari individu yang saling membutuhkan. Saling
membutuhkan ini berjalan dengan baik kemudian timbul aturan yang disebut
norma kemasyarakatan. Norma kemasyarakatan dapat berjalan baik apabila
terbentuk lembaga sosial.
Dengan batasan pengertian di atas dapat dijelaskan bagimana muncul
beragam kelembagaan sosial yang pernah ada hingga sekarang, umumnya di desa
telah ada seperangkat lembaga-lembaga yang muncul dan timbul dari inisiatif
masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harus di penuhinya.
Lembaga-lembaga lokal ini masih sangat bersifat tradisional dengan berbagai
kekurangan-kekurangan yang ada dari segi organisasi atau kelembagaan modern.
Padahal di sisi lain pemerintah sebagai stakeholder dari program pembangunan
sangat memerlukan lembaga yang sangat mampu untuk menjadi wadah atau
saluran pembangunan bahkan sarana paling tepat untuk percepatan pembangunan
pedesaan.
Berpijak dari realita semacam inilah maka pemerintahpun mengeluarkan
kebijakan mengenai perlunya pembentukan lembaga kemasyarakatan modern
dalam rangka pelaksanaan pembangunan di pedesaan dengan pertimbangan
bahwa lembaga masyarakat modern yang dibuat pemerintah yang memang
dirancang secara khusus untuk kegiatan pembangunan akan memberikan peluang
besar guna keberhasilan pembangunan itu sendiri dari pada pemerintah
menggunakan lembaga pemasyarakatan yang sudah ada yang umumnya bercorak
kultural, agamis dan tradisional.
Kelembagaan umumnya banyak dibahas dalam sosiologi, antropologi,
hukum dan politik, organisasi dan manajemen, psikologi maupun ilmu lingkungan
yang kemudian berkembang dalam ilmu ekonomi karena kini mulai banyak ahli
11
ekonomi yang mulai berkesimpulan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi
umumnya karena kegagalan kelembagaan. Dalam bidang sosiologi, kelembagaan
banyak ditekankan pada norma, tingkah laku, dan adat istiadat.
Terdapat beberapa definisi kelembagaan yang disampaikan oleh ahli dari
berbagai bidang mengenai pengertian lembaga yaitu: 1) Aturan di dalam suatu
kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar
anggotanya untuk membantu dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerja
sama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama
yang diinginkan (Ruttan dan Hayami, 1984). 2). Suatu himpunan atau tatanan
norma-norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu
untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama, institusi
ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat istiadat (Uphoff,
1986). 3) Aturan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota
suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau
saling tergantung satu sama lain (Ostrom, 1985).
Umumnya definisi lembaga mencakup konsep pola perilaku sosial yang
sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini
sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada
peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi
untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilakunya
tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian
tata cara orang berperilaku atau bertindak sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang berlaku.
Kemampuan dalam mengenali sebuah kelembagaan, membedakan sifat
dasar kelembagaan satu dengan yang lainnya, dan melihat relasi antar
kelembagaan; dibutuhkan suatu alat menganalisisnya untuk melihat sejauhmana
kelembagaan itu masih eksis atau memudar. Alat analisis kelembagaan menurut
Sayuti (2003) mengintroduksikan satu konsep bahwa sisi internal sebuah
kelembagaan dapat dibagi menjadi 2 (dua) aspek, yaitu aspek kelembagaan (nilai,
norma, aturan, etika dan lainnya), dan aspek keorganisasian (struktur, peran,
wewenang, otoritas, keanggotaan dan lainnya).
12
Sebagian besar literatur menunjukkan perbedaan antara “kelembagaan”
dengan “organisasi”. Setidaknya ada empat bentuk cara membedakan yang
terlihat sebagai berikut; 1) Kelembagaan cenderung tradisional, sedangkan
organisasi cenderung modern. Pembedaan atas tradisional dan modern ini sejalan
dengan pembedaan yang diajukan oleh Horton dan Hunt (1993): “... institution do
not have members, they have followers”. 2) Kelembagaan terbentuk dari
masyarakat itu sendiri sedangkan organisasi datang dari atas. Cara pembedaan ini
relatif mirip dengan pembedaan di atas, namun ini tidak dalam konteks
tradisional-modern, namun bawah-atas. Pendapat ini digunakan misalnya oleh
Tjondronegoro (1990): “... lembaga semakin mencirikan lapisan bawah dan
lemah, dan organisasi mencirikan lapisan tengah dengan orientasi ke atas dan
kota” 3) Kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinum, artinya,
organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga. Menurut Uphoff (1986),
tujuan akhir adalah organisasi yang melembaga, atau kelembagaan yang memiliki
aspek organisasi. Jadi, mereka hanya berbeda dalam tingkat penerimaan di
masyarakat saja. Organisasi dipandangnya hanyalah sebagai sesuatu yang akan
dilembagakan. Pendapat ini sedikit banyak juga berasal dari Harrison dan
Huntington (2000) yang menyatakan: “Organization and procedures vary in their
degree of institutionalization... Institutionalization is the process by which
organizations and procedures acquire value and stability”. 4) Organisasi
merupakan bagian dan kelembagaan. Dalam konteks ini, organisasi merupakan
organ dalam suatu kelembagaan. Keberadaan organisasi menjadi elemen teknis
penting yang menjamin beroperasinya kelembagaan. Kalangan ahli ekonomi
kelembagaan menggunakan batasan seperti ini pula. Jika ditelusuri perkembangan
dalam khazanah ilmu sosiologi, pada awalnya istilah ‘institution‘ dan
‘organization’ cenderung tidak dibedakan dan bahkan adakalanya digunakan
secara bolak balik’. Lalu, semenjak tahun 1950-an, mulai tampak pembedaan
yang semakin tegas, bahwa “kelembagaan” dan “keorganisasian” berbeda.
Artinya, terjadi perubahan dan pengertian yang “luas dan baur” menjadi “sempit
dan tegas”.
Kelembagaan jojobo merupakan norma-norma dan tingkah laku yang biasa
berlaku dan menjadi nilai kebersamaan dalam mencapai tujuan secara kolektif.
13
Aktivitas kelembagaan jojobo mempunyai kecenderungan saling tukar kebaikan
dalam anggota komunitas dalam masyarakat itu sendiri. Secara menyeluruh
kelembagaan jojobo ini ditujukan dalam kaitannya dengan nilai sosial ekonomi
yang berlaku dalam masyarakat lokal, yang memerlukan dukungan bagi semua
pihak untuk meletakkan kelembagaan jojobo sebagai suatu proses pemberdayaan
masyarakat desa dalam konteks mengatur pola dan semangat hidup yang
didasarkan pada keperdulian, kebersamaan, kejujuran, kebenaran dan kepercayaan
antara kelompok anggota masyarakat dalam rangka proses keberlangsungan
pembangunan di Maluku Utara.
Masyarakat lokal senantiasa mengembangkan pola-pola institusi yang
bersifat fungsional sebagai respon terhadap kondisi ketidakpastian dan kerentanan
yang mereka hadapi. Institusi-institusi jaminan sosial yang bersifat lokal dan
tradisional ini memuat berbagai model mekanisme yang mewajibkan individu,
kelompok
dan
komunitas
memberi
bantuan
kepada
orang
lain
yang
membutuhkan. Di dalamnya juga ada mekanisme pengembangan model-model
saling membantu demi kesejahteraan bersama sebagai kelompok sosial (Von
Benda, 2000). Hal ini memperlihatkan bahwa semua hubungan, lembaga dan
keyakinan yang sudah terbentuk secara sosial dalam jojobo menjalankan fungsi
tertentu sebagai jaminan dari segi sosial, ekonomis dan psikologis bagi seseorang.
2.3 Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata
lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam
konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996), manusia adalah
subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses
memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong
atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk
menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus
ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.
14
Menurut
Sumodiningrat
(1999),
bahwa
pemberdayaan
masyarakat
merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi
kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa
menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak
yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang
memberdayakan. Mubyarto (1998) menekankan bahwa terkait erat dengan
pemberdayaan rakyat, dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada
pengembangan sumberdaya manusia (di pedesaan), penciptaan peluang berusaha
yang sesuai dengan keinginan masyarakat serta kelembagaan-kelembagaan yang
dimiliki. Masyarakat menentukan jenis usaha, kondisi wilayah yang pada
gilirannya dapat menciptakan lembaga dan sistem pelayanan dari, oleh dan untuk
masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan masyarakat ini kemudian ditujukan
dalam
pemberdayaan
rakyat
yang
dapat
diperoleh
melalui
penguatan
kelembagaan-kelembagaan lokal yang dimiliki.
Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang
bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang
bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan
mental, terdidik dan kuat, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi.
Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu
masyarakat bertahan, dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri
dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat itu sendiri menjadi sumber dari
apa yang di dalam wawasan politik disebut sebagai ketahanan nasional. Artinya
bahwa apabila masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi, maka hal
tersebut merupakan bagian dari ketahanan ekonomi nasional.
Kerangka inilah upaya memberdayakan masyarakat pertama-tama dimulai
dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang termasuk penguatan kelembagaan-kelembagaan lokal yang dimiliki.
Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat,
memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, bahwa tidak ada masyarakat
yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan punah. Pemberdayaan
adalah upaya untuk membangun daya itu sendiri, dengan mendorong memotivasi
dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya
15
untuk mengembangkannya kelembagaan yang dimiliki. Selanjutnya, upaya
tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkah-langkah lebih
positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang kondusif. Perkuatan
kelembagaan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan
berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang
(opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya
(Kartasasmita, 1996).
Pemberdayaan yang dikemukakan Dwijowijoto (2006) dan Roesmidi (2008)
menempatkannya bukan pada sebuah proses instan, melainkan suatu proses yang
bertahap. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan yaitu 1)
penyadaran, 2) pengkapasitasan dan 3) pendayaan. Tahap-tahap terjadinya
pemberdayaan melalui proses-proses tersebut yaitu: Pertama, Penyadaran. Pada
tahap ini target hendak didayakan diberi pencerahan dalam bentuk diberi
penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai sesuatu misalnya
target kelompok masyarakat miskin dan mereka bisa menjadi berada itu didahului
jika mereka mempunyai kapasitas untuk keluar dari kemiskinan. Program tahapan
ini memberi pengetahuan. Diberdayakan dalam proses pemberdayaan itu dimulai
dari dalam diri sendiri dan orang luar. Kedua, pengkapasitasan (capasity
building). Pada tahap ini dilakukan melalui pembangunan kemampuan untuk
membuat mereka cakap melalui suatu training, latihan, workshop, seminar, atau
simulasi. Dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi, suatu kelompok
dengan memanajemen yaitu: a) pengkapasitasan pertama menyiapkan medium
buat organisasi. b) pengkapasitasan kedua take it for granted (jadi dengan
sendirinya). Ketiga, Pemberdayaan. Pemberdayaan pada tahapan ini memberikan
daya melalui diberikannya otoritas kekuasaan, peluang sesuai kecakapan yang
dimiliki. Intinya dalam proses pemberian daya atau kekuasaan diberikan sesuai
dengan kecakapan penerimaan.
Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak
diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat.
Namun, upaya mewujudkannya dalam praktik pembangunan tidak selalu berjalan
mulus. Banyak pemikir dan praktisi yang belum memahami dan mungkin tidak
16
meyakini bahwa konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap
dilema-dilema pembangunan yang dihadapi. Mereka yang berpegang pada teoriteori pembangunan model lama juga tidak mudah untuk menyesuaikan diri
dengan pandangan-pandangan dan tuntutan-tuntutan keadilan. Mereka yang tidak
nyaman terhadap konsep partisipasi dan demokrasi dalam pembangunan tidak
akan merasa tentram dengan konsep pemberdayaan ini. Lebih lanjut, disadari pula
adanya berbagai bias terhadap pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma
baru pembangunan.
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi
yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru
pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory, empowering,
and sustainable” (Chambers, 1995 dalam Kartasasmita, 1996). Konsep ini lebih
luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau
menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety
net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya
mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan dimasa yang lalu.
Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa
yang antara lain oleh Friedmann (1992) disebut alternative development, yang
menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender
equality and intergenerational equity”.
Konsep pemberdayaan tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan
pemerataan, karena seperti dikatakan oleh Brown (1995), keduanya tidak harus
diasumsikan sebagai “incompatible or anti-thetical”. Konsep ini mencoba
melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game” dan “trade off”. Ia bertitik tolak
dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk
pertumbuhan dan yang akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh
karena itu, seperti dikatakan oleh Kirdar dan Silk (1995), “the pattern of growth is
just as important as the rate of growth”. Yang dicari adalah seperti dikatakan
Ranis, “the right kind of growth”, yakni bukan yang vertikal menghasilkan
“trickle-down”, seperti yang terbukti tidak berhasil, tetapi yang bersifat horizontal
(horizontal flows), yakni “broadly based, employment intensive, and not
compartmentalized” (Ranis, 1995).
17
Pertumbuhan dihasilkan bukan hanya dengan biaya lebih kecil, tetapi
dengan devisa yang lebih kecil pula (Brown, 1995). Hal terakhir ini besar artinya
bagi negara-negara berkembang yang mengalami kelangkaan devisa dan lemah
posisi neraca pembayarannya. Lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa
terhadap model pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas.
Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut : (1) bahwa proses
pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2)
pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan
masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas
atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang
manipulatif untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem
pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan
menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat
tunadaya Akhirnya yang terjadi ialah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa
dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai,
maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang lemah
(empowerment of the powerless). (Prijono dan Pranarka, 1996).
Proses tahapan pemberdayaan sejalan dengan terminologi pemberdayaan itu
sendiri atau yang dikenal dengan istilah empowerment yang berawal dari kata
daya (power). Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam tetapi dapat
diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar. Ia merupakan
sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan yang menghubungkan power
dengan pembagian kesejahteraan. Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul
dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan
atau akses pada sumber-sumber power. Proses historis yang panjang
menyebabkan terjadinya power dispowerment, yakni peniadaan power pada
sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat tidak memiliki akses yang
memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang
memiliki power. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan
mereka makin jauh dari kekuasaan. Begitulah lingkaran setan itu berputar terus.
Oleh karena itu, pemberdayaan bertujuan dua arah. Pertama, melepaskan
18
belenggu kemiskinan, dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan
masyarakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan. (Prijono dan Pranarka, 1996)
2.4 Pemberdayaan Kelembagaan
Pada
dasarnya
terdapat
beragam
makna
tentang
pemberdayaan
kelembagaan, namun keseluruhan pegertian tersebut mengacu pada makna dasar
dari pemberdayaan itu sendiri yang berarti “Memberikan sumberdaya,
kesempatan, pengetahuan dan keterampilan kepada warga untuk meningkatkan
kemampuan merka dalam menentukan masa depannya sendiri dan berpartisipasi
dalam dan mempengaruhi kehidupan dari masyarakatnya” ( Ife, 1995: 182). Dapat
dikatakan
juga
bahwa
pemberdayaan
adalah
“Perluasan
aset-aset
dan
kemampuan-kemampuan masyarakat miskin dalam menegosiasikan dengan
mempengaruhi, mengontrol, serta mengendalikan tanggung jawab lembagalembaga yang mempengaruhi kehidupannya” ( Narayan et al, 2002:11).
Pemberdayaan juga berarti kemampuan individu dan komunitas untuk mengontrol
lingkungannya dengan menciptkan kemampuan menganalisis masalah mereka,
mengidentifikasi sebab-sebabnya, menetapkan prioritas, dan memperoleh
pengetahuan baru secara mandiri (conscientization) ( Freire, 1972: 13).
Menurut Ife (1995:61-64), pemberdayaan termasuk di dalamnya penguatan
kelembagaan masyarakat mesti memuat dua pengertian kunci yakni kekuasaan
dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut
kekuatan politik namun mempunyai arti luas yang merupakan penguasaan
masyarakat atas: 1) Power over personal choices and life chances. Kekuasaan atas
pilihan-pilhan personal dan kesempatan-kesempatan hidup, kemampuan dalam
membuat keputusan-keputusan mengenai pilihan hidup, tempat tinggal dan
pekerjaan dan sebagainya. 2) Power over the definition of need. Kekuasaan atas
pendefinisian kebutuhan, kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan
aspirasi dan keinginan. 3) Power over ideas. Kekuasaan atas ide atau gagasan,
kemampuan mengekspersikan dan menyumbang gagasan dalam interaksi, forum
dan diskusi secara bebas dan tanpa tekanan. 4) Power over institutions. Kekuasaan
atas
lembaga-lembaga,
kemampuan
menjangkau,
menggunakan
dan
mempengaruhi lembaga-lembaga masyarakat seperti; lembaga pendidikan,
19
kesehatan, keuangan serta lembaga-lembaga pemenuh kebutuhan hidup lainnya.
5) Power over resources. Kekuasaan atas sumber daya, kemampuan memobilisasi
sumber daya formal dan informal serta kemasyarakatan dalam memenuhi
kebutuhan hidup. 6) Power over economic activity. Kekuasaan atas aktivitas
ekonomi kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi,
distribusi serta pertukaran barang dan jasa. 7) Power over reproduction.
Kekuasaan atas reproduksi, kemampuan dalam kaitannya dengan proses
reproduksi dalam arti luas seperti pendidikan, sosialisasi, nilai dan prilaku bahkan
kelahiran dan perawatan anak. Dalam pengetian ini maka pemberdayaan dan
penguatan masyarakat beserta kelembagaan yang dimilikinya dapat diartikan
sebagai tujuan dan proses sekaligus. Sebagai tujuan, pemberdayaan adalah suatu
keadaan yang ingin dicapai, yakni masyarakat yang memiliki kekuatan atau
kekuasaan dan keberdayaan yang mengarah pada kemandirian sesuai dengan tipetipe kekuasaan yang disebutkan sebelumnya.
Dengan demikian maksud dan tujuan Pemberdayaan Kelembagaan Sosial
Masyarakat adalah: 1) Untuk mewujudkan partisipasi sosial masyarakat melalui
perorangan, lembaga-lembaga sosial masyarakat serta dunia usaha dalam
melaksanakan usaha-usaha kesejahteraan sosial. 2) Mendelegasikan sebagian
tugas kepada institusi sosial di daerah dalam menyusun rencana, melaksanakan
dan mengendalikan pemberdayaan potensi dan sumber kesejahteraan sosial secara
terukur dan akuntabel di daerahnya masing-masing. 3) Meningkatkan kualitas
Sumber Daya Manusia, organisasi dan manajemen mitra-mitra kerja untuk
mewujudkan pelayanan sosial yang profesional.
2.5 Ekologi Komunitas Petani perladangan
Maluku Utara memiliki ekosistem yang agak berbeda dengan pulau-pulau
lain, seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan pulau-pulau lain di Indonesia.
Aneka ciri-ciri fisik-geografis dan biologi (curah hujan, kelembaban, kesuburan
tanah, kerapatan vegetasi, topografi, struktur ruang, dan lain-lain) berinteraksi
sedemikian rupa dengan ciri-ciri sosial budaya (penduduk, etnisitas, pola
penempatan, kepercayaan, dan lain-lain) dalam kurun waktu lama sehingga
membentuk suatu sistem ekologi kebudayaan perladangan yang berbeda yaitu
20
sistem (JICA dan Bappenas, 1998). Perspektif ini menggariskan norma-norma
yang dapat menjawab pertanyaan mengenai ciri-ciri ekologi kebudayaan Maluku
Utara.
Daerah pantai umumnya tanah gambut dan hutan rendah, sementara daerah
hulu berupa hutan hujan tropis. Struktur tanah di Maluku Utara memiliki
pegunungan vulkanik yang secara berkala menyemburkan hara dan mineral ke
dataran rendah. Formasi umum alivium, yakni berupa endapan sungai dan rawa,
bersumber dari kwarsa, kerikil, dan bongkahan batu malihan, granit, dan kwarsa.
Endapan aluvium rawa terutama terdiri dari lumpur hitam sampai keabu-abuan,
tanah liat yang mengandung limonit dan di beberapa tempat lumpur pasir dan
tanah liat mengandung lignit. Aluvium yang lebih tua terdiri dari kerikil dan
bongkah batuan malihan dan granit, agak mengeras, terletak 40-50 meter di atas
permukaan sungai sekarang. Ketebalan aluvium 5-10 meter dan terdapat sisa-sisa
tanaman dan tumbuhan (Miring, dkk. 1989).
Pola perkampungan tertata dalam jarak yang saling berjauhan mengikuti
alur DAS, dengan populasi relatif kecil, adakalanya hanya belasan kepala
keluarga, tidak pernah berkembang melebihi daya dukung tanah (Riwut, 1993).
Jarak fisik dan geografis yang saling berjauhan membatasi interaksi sosial yang
intensif antar kampung dan antar anak kampung. Kampung pada umumnya
berjauhan satu sama lain, terpencar jauh. Letak rumah terpencar-pencar dan
banyak ditemukan rumah betang. Kampung besar mempunyai beberapa anak
kampung yang terpencil lebih jauh lagi ke pedalaman, yaitu di gunung, di lembah,
di tepi sungai, di hutan-hutan dan pesisir laut. Untuk anak kampung yang di
sungai-sungai ada yang jaraknya sampai 20-30 km dengan kampung besarnya,
demikian pula untuk kampung yang terletak di hutan-hutan jaraknya sekitar 5-10
km dari kampung besarnya. Tidak jarang satu kampung terdiri dari tiga sampat
lima kampung yang letaknya berjauhan (Riwut, 1993).
Ciri positif perladangan dari segi ekologi lebih berintegrasi ke dalam
struktur umum ekosistem alami, sebelum perladangan itu direncanakan, dan jika
sungguh-sungguh adaptif lebih baik mempertahankan struktur itu daripada
menciptakan dan melanjutkan ekosistem yang disusun menurut garis-garis baru
dan dinamik-dinamik baru. Setiap bentuk pertanian merupakan usaha mengubah
21
ekosistem tertentu sehingga manusia dapat menaikkan arus energi ke manusia.
Persawahan mencapai hal itu dengan cara mengolah kembali alam sekitar,
sementara perladangan dengan cara meniru alam sekitar. Perladangan memilik ciri
sistemik dengan meniru hutan tropis sebagai tingkat umum yang dicapainya.
Ekosistem Maluku Utara didiami beragam suku bangsa dimana mayoritas
adalah Suku-suku lokal. Masyarakatnya sebagian besar tinggal di pesisir pantai
dan berkembang kebudayaan, alat-alat, dan bahasa yang berbeda di masingmasing tempat. Komunitas yang ada di Maluku Utara terdapat 28 sub etnis dan 29
bahasa. Meski terdapat pengelompokan sub etnis dan perbedaan bahasa, namun
masing-masing etnis tetap menghargai satu sama lain. Itu sebab, identitas
masyarakat Maluku Utara dianggap relatif tinggi jika dibandingkan dengan sukusuku pendatang, misalnya dibanding Bugis, Manado, atau Jawa. Lebih dari itu,
Maluku Utara memiliki kesatuan orientasi sosial, ekonomi, dan budaya antar
daerah dan propinsi lain.
Secara historis, Maluku Utara menerima migran dan beragam suku bangsa,
seperti Melayu, Bugis, Jawa dan luar Maluku Utara. Migrasi yang terus-menerus
baik secara spontan maupun lewat program (transmigrasi) menciptakan sebuah
masyarakat yang kompleks. Perbedaan tingkahlaku, keperibadian, dan orientasi
nilai budaya sering tertumpangi oleh kepentingan ekonomi politik, menimbulkan
ketidakstabilan sosial.
Beragam dimensi kelembagaan sosial, ekonomi, budaya, religi, dan
politiknya semakin kehilangan fungsi koordinasinya terhadap pola dan arah
perkembangan.
Day
(1996)
mencatat
perubahan
dalam
kepemimpinan,
kelembagaan, dan organisasi-organisasi pertanian. Ekonomi uang menggantikan
subsistensi dan ekonomi kelembagaan. Pengaruh paren (pengetua adat)
terdegradasi, dan digantikan oleh bentuk kepemimpinan baru (agama, pemerintah,
ekonomi). Kelembagaan jojobo (gotong-royong) dan organisasi-organisasi bekerja
dengan cara-cara baru. Kelembagaan jojobo yang berhubungan dengan tata guna
agraria kehilangan fungsi. Pola tinggal menetap yang terpencar memberi jalan
yang mudah bagi pengaruh-pengaruh luar menerobos masuk ke dalam komunitas.
Perkembangan zaman memaksa komunitas-komunitas di Maluku Utara
kembali hubungan mereka dengan alam. Pemusatan fasilitas umum seperti
22
pendidikan dan kesehatan misalnya, mendorong perubahan pola tinggal menetap
berhubungan dengan pendidikan bagi anak-anak mereka. Mereka mendekati tepi
pantai atau kota-kota kecil dimana pembangunan dan modernitas terpusat.
Ekonomi perladangan menciut dengan memutus sebagian mata rantai siklus
perladangan. Intensifikasi relatif atas lahan menurunkan tingkat kesuburan, lebih
jauh menurunkan produktifitas.
Budaya politik nasional (sentralisme, otoritarianisme) menghadang evolusi
sosiobudaya pada masyarakat perladangan di Maluku Utara, oleh perencanaan
pengembangan pertanian yang lebih didasari “politik panglima” (Dove, 1980).
Sekalipun elementer, dan mencakup bagian terluas dari sistem ekologi di
Indonesia, pengetahuan tentang ekologi perladangan sangat kurang, dan jika
tersedia perladangan biasanya diungkapkan secara negatif, antara lain karena
dianggap tidak ada hubungan dengan pertumbuhan usaha pedesaan dan sangat
sedikit produksi yang mempunyai arti bagi perdagangan (Geertz, 1975).”Sistem
pertanian perladangan lebih sering disalahmengerti (Mubyarto. 1989) dengan
kesan-kesan yang bias budaya sawah-sentris (Dove, 1988). Jarang sekali
dipertimbangkan sistem perladangan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat
peladang (Ukur, 1992). Dalam hal industrialisasi di sektor kehutanan, segi-segi
ekonomi dan kelestarian lingkungan hutan lebih ditonjolkan ketimbang manusia
dan kebudayaannya (Gunawan dkk., 1998). Hak-hak asal usul (ulayat)
dikesampingkan sambil memberi jalan bagi pemodal mengeksploitasi sumbersumber alam yang tersedia di lingkungan hutan dan alam. Ketika isu-su
lingkungan hidup mengemuka, para peladang selalu menjadi pihak yang hampir
selalu dipersalahkan (Djuweng, 1998).
Ekonomi perladangan mempunyai ciri-ciri yang khas dengan peluang lebih
terbuka bagi perkembangan tanaman perdagangan seperti kelapa, lada, pala, kopi,
dan cengkeh, yang tidak memerlukan pemeliharaan intensif. Tetapi perkembangan
ekonomi perladangan terjerat dalam jebakan sistem ekonomi dualistik yang sering
tidak dimengerti. Karena itu pemindahan penduduk ke Maluku Utara melalui
program-program kependudukan seperti transmigrasi mendasari berkembangnya
isu-isu pemindahan kemiskinan (Mubyarto, 1992).
23
Pemerintah nasional berkeinginan mengubah pola perladangan menjadi pola
kehidupan yang sesuai dengan pola pertanian yang dikenal oleh pemerintah pusat;
pemerintah berkepentingan menghalangi penggarapan tanah hutan tropik di dalam
sistem perladangan. Sistem perladangan berhasil baik dan sesuai dengan
pertimbangan mengenai lingkungan, sebaliknya pemerintah salah paham dan
percaya sistem perladangan merupakan pendayagunaan yang membahayakan
lingkungan,
yang
merupakan
alasan
utama bagi pelaksanaan program
pengendalian perladangan (Dove, 1988).
Harapan bagi pendayagunaan yang lebih intensif atas hutan tropika juga
dipakai sebagai dasar program pengendalian lingkungan. Intensifikasi tanah
memang diperlukan oleh kepentingan negara yang menghadapi masalah
pertumbuhan dan ketidakmerataan penduduk. Dalam sistem perladangan,
peningkatan per unit area berbeda dengan peningkatan per unit tenaga. Yang
pertama cenderung dinilai sangat tinggi dalam sistem pertanian intensif, di mana
tanah sudah menjadi langka, tenaga semakin langka, dan permodalan sudah
ditingkatkan;yang terakhir selalu lebih penting bagi sifat-sistem yang ekstensif
dimana tanah masih banyak sedangkan tenaga kerja yang sedikit. Karena sistem
yang terakhir ini lebih menghemat tenaga kerja sedangkan yang pertama lebih
menghemat tanah,yang terakhir ini dapat menghasilkan produktifitas yang lebih
tinggi per unit tenaga kerja meskipun menghasilkan produktifitas yang lebih
rendah per unit tanah. Akibatnya rata-rata peladang menggunakan alasan
ekonomis dengan perhitungan-perhitungan yang paling tepat untuk menolak
ajakan pemerintah mengembangkan sistem perladangan ekstensif diubah menjadi
sistem perladangan intensif (Dove, 1988).
Perubahan lingkungan hidup fisik, perubahan dalam jumlah serta komposisi
penduduk, dan perubahan dalam cara-cara berproduksi (teknologi) merupakan
faktor penting yang mendorong perubahan sosial budaya. Perubahan sosial
budaya ini akan semakin tajam apabila perubahan faktor ekologi terjadi karena
tekanan-tekanan luar (external pressure) yang tidak dapat ditolerir oleh
masyarakat yang bersangkutan. Perubahan-perubahan ekologi yang diterima dan
kemudian terintegrasi ke dalam suatu sistem sosial budaya akan merupakan suatu
inovasi, apabila unsur-unsur perubahan itu berperan sebagai faktor dinamik dalam
24
kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya yang terjadi adalah
penolakan apabila perubahan-perubahan bertentangan dengan pola budaya yang
sudah ada atau dianggap akan mengakibatkan perubahan yang mendasar, baik
yang berkenaan dengan pandangan hidup atau nilai-nilai budaya atau struktur
sosial yang ada. Dengan demikian, perubahan itu tidak akan berfungsi sebagai
faktor dinamis, melainkan sebagai faktor yang mendorong terjadinya perusakan
atau peruntuhan diri. Perusakan-diri antara lain ditandai oleh terjadinya kerancuan
dan kekacauan sosial yang pada akhirnya dapat membawa masyarakat itu
kehilangan etos dan identitas diri (Pelly, 1991).
2.6 Kerangka Pemikiran
Pendekatan modernization Theory merupakan kebijakan pemerintah sebagai
upaya mengeluarkan masyarakat pedesaan dari keterbelakangan sosial ekonomi di
perkenalkan sebagai nilai-nilai modern seperti halnya teknologi keahlian dan
modal. Industrialisasi, ekspansi modal yang merupakan bagian dari modernisasi
adalah merupakan salah satu faktor pendorong yang akan mentransformasikan
secara cepat tertinggal, atau ketertinggalan tradisi dalam suatu komunitas
pedesaan. Nilai-nilai modernisasi yang didukung oleh program kebijakan
pemerintah membawa perubahan terhadap memudarnya kelembagaan lokal di
pedesaan sebagai nilai sosial masyarakatnya.
Kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia umumnya memiliki
kelembagaan-kelembagaan lokal yang dibutuhkan dalam menyelesaikan berbagai
masalah sosial ekonomi dan upaya untuk mengatasi beratnya suatu pekerjaan.
Kehidupan masyarakat pedesaan sebelum modernisasi tampak dari menguatnya
kelembagaan-kelembagaan lokal yang mempunyai peran strategis sebagai normanorma yang mengatur tentang pola dan semangat hidup yang berlandaskan gotong
royong atau kerja sama, kebersamaan dalam usaha pemenuhan dan menyelesaikan
masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapinya.
Kelembagaan merupakan tatanan norma-norma dan tingkah laku yang
berlaku untuk mencapai tujuan kolektif yang dijadikan nilai bersama. Aturan di
dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi
antar anggota untuk membantunya dengan harapan di mana setiap orang dapat
25
bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan
bersama yang di inginkan (Ruttan dan Hayami, 1984). Kelembagaan lokal ini
memperlihatkan bahwa adanya distribusi dalam bentuk kerjasama dalam suatu
kelompok masyarakat. Polanyi membagi kegiatan distribusi dalam 3 (tiga) bentuk,
yaitu: 1) resiprositas, 2) redistribusi, dan 3) pertukaran pasar.
1. Resiprositas dalam arti harfiah adalah timbal balik, dalam antropologi
ekonomi kegiatan resiprositas berarti pertukaran barang dan jasa yang kirakira sama nilainya antara dua pihak. Resiprositas dibagi menjadi 3 (tiga)
bentuk, yaitu: (a). Resiprositas umum: kegiatan tukar menukar barang dan
jasa, dimana pemberi maupun penerima tidak menentukan secara spesifik
nilai barang atau waktu penyerahannya: contoh kegiatan ekonomi yang
bersifat altruis dimana hanya berorientasi pada kesejahteraan orang banyak.
Seperti yang terjadi di kalangan suku-suku pribumi Australia, saat
mendapatkan hewan buruan, daging hewan tersebut dibagi-bagikan kepada
keluarga terdekat, namun bagian yang tidak enak seperti limpa atau darah
ditahan untuk pemburu. (b). Resiprositas berimbang kegiatan tukar menukar
barang dan jasa dimana pemberi maupun penerima menentukan dengan
pasti nilai barang yang terlibat dan waktu penyerahannya. (c). Resiprositas
negatif: Kegiatan tukar menukar barang dan jasa dimana salah satu pihak
ingin mengambil keuntungan dari pihak lain dengan cara apapun. Contoh:
dalam budaya Indian Navajo menipu pada waktu barter dengan orang asing
secara moral dapat diterima.
2. Redistribusi: bentuk kegiatan ekonomi dimana barang-barang masuk dalam
satu tempat pusat kemudian didistribusikan lagi. Contoh: pajak di Indonesia
dan beberapa negara lain. Masyarakat diwajibkan membayar pajak pada
pemerintah, setelah uang hasil pajak terkumpul maka pemerintah akan
membagikan lagi ke rakyat dalam bentuk pembangunan fasilitas-fasilitas
umum yang lebih memadai, atau contoh di Amerika Serikat dimana pajak
yang terkumpul dipakai untuk mendanai perusahaan international asal
Amerika yang hampir bangkrut. Ketiga, Barter: adalah kegiatan tukarmenukar barang yang digolongkan dalam salah satu bentuk resiprositas
negatif, karena di dalamnya tidak ada bentuk resiprositas umum atau
26
berimbang murni. Dalam barter terdapat penilaian relatif pada suatu barang
yang akan dipertukarkan, dimana barang langka yang dihasilkan oleh suatu
kelompok dipertukarkan dengan barang yang dihasilkan oleh kelompok lain.
Ketidakpastian dan kerentanan merupakan masalah yang dihadapi oleh
setiap orang sepanjang hidupnya. Setiap orang dan kelompok masyarakat
memiliki persepsi dan cara sendiri tentang bagaimana ketidakpastian dan
kerentanan hidup harus ditangani dan dipecahkan. Setiap orang atau masyarakat
senantiasa sedang menjalankan dan terus menerus mengembangkan mekanisme
atau sistem-sistem sosial untuk mengatasi ketidakpastian dan kerentanan itu
melalui hubungan-hubungan yang dibangun, lembaga-lembaga, dan keyakinankeyakinan budaya tertentu.
Semua hubungan, lembaga dan keyakinan yang sudah terbentuk secara
sosial itu menjalankan fungsi tertentu sebagai jaminan dari segi sosial, ekonomis,
dan psikologis bagi seseorang. Itu berarti bahwa setiap orang dan masyarakat
senantiasa memiliki suatu sistem jaminan sosial tertentu. Jika dilihat dengan cara
demikian, jaminan sosial tidak saja menjadi persoalan budaya, sosial, ekonomi,
hukum, dan politik yang sangat penting, tetapi juga merupakan aspek yang tak
terpisahkan dari kompleksitas perubahan masyarakat yang dapat dilakukan
melalui pemberdayaan masyarakatnya (Von Benda, 2000).
Penelitian berkaitan dengan jojobo sebagai suatu lembaga sosial ekonomi
masyarakat petani perladangan di Maluku Utara, berdasarkan kerangka penelitian
dipergunakan konsep perbedayaan ekonomi melalui penguatan kelembagaan
lokal, yaitu sebagai berikut :
1. Kelembagaan sosial berkaitan dengan nilai bersama yang mengatur
perilaku individu dalam suatu masyarakat atau kelompok. Kelembagaan
lokal memiliki norma informal bersifat instan yang mengembangkan
kerjasama dua orang atau lebih. Norma merupakan modal sosial yang dapat
disusun dari norma resiprositas antar manusia. Norma sosial ini
menentukan perilaku bersama dalam suatu kelompok individu sebagai
prinsip keadilan yang mengarahkan perilaku tidak mementingkan diri
sendiri. (Polanyi, 1957).
27
2. Pemenuhan kebutuhan dalam komunitas merupakan sistem dari saluran
komunikasi (system of communication channel) untuk melindungi dan
mengembangkan hubungan interpersonal. Redistribusi ini merupakan
gerakan appropriasi yang bergerak ke arah pusat kemudian dari pusat
didistribusikan kembali ke bawah (Polanyi, 1957), dalam kaitannya
pemenuhan kebutuhan komunitas diarahkan pada keberadaan kelembagaan
lokal yang mampu meredistrubsi kemampuan yang dimiliki komunitas
masyarakat yang kemudian didistribusikan kembali kepada para anggota
komunitas masyarakat.
3. Solidaritas sosial merupakan penyediaan arahan bagi terbentuknya
kerjasama dan koordinasi sosial dari semua aktivitas sehingga setiap
individu
dapat
hidup
bersama
dan
berinteraksi
dengan
lainnya.
Kelembagaan sosial yang bersifat lokal dan tradisional memuat berbagai
model mekanisme yang mewajibkan individu, kelompok dan komunitas
memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan. Di dalamnya
terdapat mekanisme pengembangan model-model saling membantu demi
kesejahteraan bersama sebagai kelompok sosial (Von Benda, 2000).
Pemberdayaan masyarakat menyangkut kelompok masyarakat sebagai
pemberdayaan kelembagaan jojobo bertumpu pada nilai-nilai jojobo dengan
berbasis nilai akan dapat memenuhi kebutuhan sosial ekonomi. Jojobo sebagai
kelembagaan merupakan wadah dalam kelompok masyarakat yang memfasilitasi
koordinasi kerjasama dalam mencapai kesejahteraan bersama. Jojobo sebagai
kelembagaan sosial ekonomi berkaitan dengan kebersamaan yang ditampilkan
dalam bentuk perilaku dalam menetapkan suatu keputusan berdasarkan
kesepakatan bersama. Jojobo sebagai alat pemenuhan kebutuhan dalam
kelembagaan sosial merupakan alat komunikasi dalam mempertahankan dan
mengembangkan kekuatan komunitas dalam mencapai tujuan bersama yaitu
pemenuhan kebutuhan para anggotanya.
Kelembagaan jojobo dapat menjadi alat untuk mengukur solidaritas sosial
dan juga dapat menjadi instrumen interaksi antar komunitas dalam bekerjasama
untuk memperoleh keuntungan bersama. Dengan kata lain, jojobo juga merupakan
disementasi sosial yang dapat merekatkan kepentingan sosial bersama antar
28
individu dan kelompok-kelompok yang terdapat
di dalam masyarakat di
kecamatan Jailolo Selatan, Halmahera Barat. Artinya, tinggi rendahnya solidaritas
sosial, resiprositas sosial dan ikatan-ikatan sosial lainnya dalam masyarakat dapat
dilihat dalam tebal-tipisnya semanagat jojobo dijalankan oleh masyarakat.
2.7 Hipotesis Pengarah
Berdasarkan yang telah di uraikan dalam latar belakang dan perumusan
masalah, tujuan penelitian maka disusun hipotesis yang merupakan arahan bagi
pengembangan metode pnelitian dan analisis data. Hipotesis penelitian yang di
maksud berkaitan dengan keberadaan kelembagaan sosial Jojobo sebagai modal
sosial komunitas petani perladangan merupakan wadah dalam memfasilitasi
koordinasi kerjasama dalam mencapai kesejahteraan bersama, maka ditetapkan
hipotesis pengarah yaitu:
(1).
Pemberdayaan kelembagaan jojobo yang bertumpu pada nilai-nilai jojobo
akan berdampak memenuhi kebutuhan sosial ekonomi komunitas petani
perladangan;
(2). Pemberdayaan kelembagaan jojobo akan dapat memperkuat solidaritas
yang ada. 29
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menerapkan pendekatan studi kualitatif yang dipandang
relevan karena bertujuan memahami fenomena aktivitas keberadaan kelembagaan
sosial ekonomi petani peladang di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat
merupakan studi kasus yang diteliti dalam penelitian ini. Penggunaan metode
kualitatif dilakukan untuk mengungkapkan berbagai fenomena sosial ekonomi
berupa penerapan modal sosial lokal yaitu keberadaannya kelembagaan sosial
ekonomi pada komunitas masyarakat lokal dalam melakukan pemberdayaan
ekonomi masyarakatnya.
Penelitian kualitatif yang dilakukan dalam penelitian ini yakni untuk
menggambarkan, menggali secara mendetail dan menjabarkan realitas aktivitas
petani peladangan dalam suatu komunitas masyarakat lokal, serta bekerjanya
Jojobo sebagai kelembagaan sosial ekonomi di Maluku Utara khususnya pada
studi komunitas petani peladang di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat
dengan menggunakan data deskriptif berupa hasil pengambilan data di lapangan
yang menghasilkan dalam bentuk kata-kata baik tertulis maupun lisan dan
perilaku dari narasumber yang diteliti. Sumber data dalam penelitian ini yakni
masyarakat desa di Maluku Utara, di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat
yang terlibat langsung dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan
menggali data dan informasi sebanyak-banyaknya agar dapat membantu peneliti
dalam melakukan analisis dalam penelitian ini.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian yang difokuskan pada kelembagaan jojobo sebagai kelembagaan
ekonomi dalam aktivitas petani peladang yang berada di lokasi Kecamatan Jailolo
Selatan Kabupaten Halmahera Barat Propinsi Maluku Utara. Keberadaan lembaga
sosial ekonomi Jojobo sebagai nilai sosial lokal dan sebagai kelembagaan
ekonomi masyarakat dimiliki oleh komunitas petani peladang yang merupakan
masyarakat setempat di Kecamatan Jailolo Selatan. Penelitian ini mempergunakan
31
waktu selama 3 (tiga) bulan mulai dari kegiatan persiapan penelitian, penyusunan
pengajuan penelitian, pengumpulan data dan pelaporan hasil penelitian.
3.3 Metode Penentuan Subjek dan Informan
Penelitian ini menggunakan penentuan responden secara non probability
sampling dengan menerapkan metode snowball sampling. Metode ini merupakan
prosedur penentuan responden berdasarkan informasi yang diperoleh dari
responden sebelumnya (Arikunto, 1995). Teknik Snowball Sampling yang dipilih
dalam menentukan subjek yakni dengan menentukan beberapa responden awal,
yang kemudian akan terus berlangsung hingga memperoleh informasi dari subjek
satu dengan yang lain mempunyai kesamaan sehingga tidak ada data yang baru.
sedangkan, penentuan informan penelitian menggunakan metode purposive
sampling yakni menentukan informan yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang mendalam terhadap permasalahan yang diteliti, dan dapat
memberikan informasi yang valid.
Subjek dalam penelitian ini dipergunakan unsur masyarakat yang terdiri dari
Ketua Adat, ketua Masyarakat dan Pelaku Jojobo. Adapun informan yang dipilih
yaitu unsur pemerintah daerah berjumlah 2 orang yaitu Kepala BPMD (Badan
Pemberdayaan Masyarakat Desa), dan Kepala Bidang Pemerintahan Desa.
1. Tabel 3.1 Daftar Nara Sumber/ Informan Utama No.
1.
Nara
Sumber/Informan
Bapak MB dan F
2.
Bapak MHA, SKK, B,M J,
J, MS, D. Ibu AA
3.
BHA, HM, DHY, A S, I,
Bu SHR, SM
4.
Posisi
Jabatan/Profesi
Kepala Badan dan Kepala Bidang
Bapak BHA, AA, H S, SH,
A, SY, HAHA, W, S, M,
NHS, YHH, F, M, Y, IHB,
S, I. Ibu Muna M, MY,
SY. N, H, N, AHB, M
Sumber: Hasil kajian Penulis, 2011
32
Ketua/Tokoh Masyarakat
Ketua Adat
Peladang/Pelaku Jojobo
Data dan Informasi Pokok
1. Gambaran umum
wilayah
penelitian
2. Program-program Pemerintah dan
partisipasi Warga
3. Mekanisme aktivitas Kelembagaan
1. Sejarah komunitas.
2. Partisipasi masyarakat
3. Bentuk-bentuk Solidaritas
1. Nilai-nilai sosial Jojobo
2. Interaksi Antar Individu
komunitas Jojobo
3. Kekuatan sosial dalam Jojobo
dalam
Usaha dan bekerja berladang, mencari hasil
hutan, berdagang dan berasosialisasi pada
kegiatan Jojobo
3.4 Metode Pengumpulan Data
Dalam pelaksanaan penelitian ini untuk memperoleh data penelitian maka
peneliti menggunakan tiga cara dalam pengumpulan data yakni, dengan cara
pengamatan langsung, wawancara mendalam (indepth interview) dan studi
literature/dokumentasi.
1.
Pengamatan langsung. Dengan metode ini peneliti hendak melihat fakta-fakta
lapangan secara langsung, terutama dalam mendalami persoalan bagimana
penerapan penghayatan nilai-nilai Jojobo dalam masyarakat. Dengan cara ini
peneliti hendak menangkap perlilaku, sikap dan manifestasi lain dari nilai Jojobo
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
2.
Wawancara Mendalam (indepth interview). Dengan metode ini peneliti hendak
mendalami beberapa tema dan topik khusus dengan orang-orang yang termasuk
sebgai key informan yang telah dipilih berdasarkan prinsip-prinsip trianggulasi
agar di hasilkan data yang spesifik dan menyeluruh dalam satu topik tertentu,
khususnya untuk menjawab rumusan masalah utama penelitian. Dalam
melakukan wawancara mendalam kepada tokoh dan informan kunci di lapangan,
digunakan dan mengacu pada panduan wawancara yangtelah dipersiapkan
menurut tema atau topik kajian.
3.
Studi literatur dan dokmentasi. Dengan metode ini peneliti berusaha menelusuri
dan mendalami beragam referensi (buku, jurnal, artikel, dsb), hasli penelitian
sebelumnya,
serta
dokumen-dokumen
tertulis
baik
melalui
dinas-dinas
pemerintah yang terkait maupun dokumen-dokumen yang dimiliki oleh
masyarakat sendiri, yang berhubungan dan mendukung tema kajian. Dengan
demikian, peneliti dapat memiliki data sekunder dan informasi awal yang luas
guna mendalami di lapangan. 33
Berikut ditampilkan tabel teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini.
Tabel 3.2 Penentuan Responden (Subjek dan Informan)
No
1
2
3
Tujuan
Penelitian
Mengkaji bentuk
penerapan nilainilai Jojobo
dalam aktivitas
ekonomi
produktif
komunitas petani
perladangan di
Kecamatan
Jailolo Selatan
Halmahera Barat
1.
Menganalisis
upaya
pemberdayaan
kelembagaan
Jojobo dan
dampaknya
dalam
memenuhi
kebutuhan
ekonomi
produktif
komunitas petani
perladangan di
Kecamatan
Jailolo Selatan
Halmahera Barat
Menganalisis
1.
dampak
kelembagaan
Jojobo bagi
solidaritas
kerjasama antar
warga
masyarakat desa
dalam memenuhi
kebutuhan sosial
ekonominya.
34
Data
2.
3.
4.
2.
3.
Gambaran umum
wilayah penelitian
Karakteristik
demografi
Mekanisme aktivitas
kelembagaan
ekonomi Jojobo
Ragam bentuk
aktivitas kelembagaan
ekonomi Jojobo
Nilai-nilai sosial
ekonomi dalam
kelembagaan Jojobo
Interaksi antar
anggota komunitas
dalam kelembagaan
Jojobo
Kekuatan sosial
ekonomi dalam
kelembagaan Jojobo
1. Penerapan unsur-unsur
saling membantu pada
aktivitas kelembagaan
Jojobo
2 Partisipasi masyarakat
dalam kelembagaan
Jojobo
3. Bentuk solidaritas
dalam penerapan
aktivitas ekonomi
kelembagaan Jojobo
Sumber
Data
1. Pemerintah
Kabupaten
Halmahera Barat
2. Pemerintah
Kabupaten
Halmahera Barat
3. Ketua adat, tokoh
masyarakat
dan
pelaku Jojobo di
lokasi penelitian
4. Ketua adat, tokoh
masyarakat
dan
pelaku Jojobo di
lokasi penelitian
1. Ketua adat, dan
tokoh masyarakat di
lokasi penelitian
2. Ketua adat, tokoh
masyarakat
dan
pelaku Jojobo di
lokasi penelitian
3. Ketua adat, tokoh
masyarakat
dan
pelaku Jojobo di
lokasi penelitian
4. Ketua adat, tokoh
masyarakat
dan
pelaku Jojobo di
lokasi penelitian
1. Ketua adat, tokoh
masyarakat, pelaku
Jojobo, dan Badan
Pemberdayaan
Masyarakat Desa
(BPMD),
2. Ketua adat, tokoh
masyarakat, pelaku
Jojobo, dan Badan
Pemberdayaan
Masyarakat Desa
(BPMD),
3. Ketua adat, tokoh
masyarakat, pelaku
Jojobo, dan Badan
Pemberdayaan
Masyarakat Desa
(BPMD),
Teknik
Pengumpulan
Data
1. Data Sekunder
2. Data Sekunder
3. Observasi dan
Wawancara
mendalam
4. Wawancara
mendalam
1. Wawancara
mendalam
2. Wawancara
mendalam
3. Wawancara
mendalam
4. Wawancara
mendalam
5. Wawancara
mendalam
1. Hasil Analisis
dan Wawancara
mendalam
2. Hasil Analisis
dan Wawancara
mendalam
3. Hasil Analisis
dan Wawancara
mendalam
3.5 Metode Pengolahan Data
Teknik analisis data yang digunakan yakni teknik analisis interpretif atau
penafsiran terhadap hasil pengumpulan data. Dalam suatu penelitian sebelum data
dianalisis perlu dilakukan pengolahan data agar menjadi ringkas dan sistematis,
sehingga memudahkan dalam proses analisis data. Selanjutnya pengolahan data
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Menelaah seluruh data, yaitu dimulai dengan kegiatan mencatat, membaca,
mempelajari dan menelaah data yang tersedia dari berbagai sumber, baik
dari wawancara dengan masyarakat, pengamatan, studi dokumentasi dan
lainnya.
2.
Mereduksi data, yaitu dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.
Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan
pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di
dalamnya dilandaskan pada catatan-catatan harian dan catatan lapang lain
yang telah dikumpulkan sebelumnya.
3.
Mengkategorikan dan mengklasifikasikan data, yaitu mengumpulkan data
dalam satuan-satuan tertentu yang dilakukan sambil membuat koding sesui
kebutuhan kajian;
4.
Mengadakan pemeriksaan (cross check) keabsahan data, yaitu memeriksa
kebenaran dari data yang diperoleh melalui teknik pengecekan anggota
(member check);
5.
Menyajikan data, yaitu mendeskripsikan data yang diperoleh secara verbal
melalui analisis data yang ditetapkan.
Analisis data menurut Singarimbun (1991) yang menyatakan bahwa analisis
data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah
dibaca dan diinterprestasikan. Moleong (2000) menyatakan bahwa :
“Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh
data. Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan dalam suatu
proses, yang berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak
pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif, yaitu sesudah
meninggalkan lapangan.”
35
Sesuai dengan ciri penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sepanjang
penelitian dilaksanakan, bahkan bersamaan dengan proses penulisan laporan.
Untuk memperoleh pemahaman serta pendalaman pengertian atas sebab gejala,
data yang diperoleh sering harus dilakukan wawancara ulang dengan sumber yang
sama, hal itu untuk menghindarkan pengertian ganda dalam bentuk bias.
Mengingat secara mendasar persoalan perilaku tidak sama dalam setiap individu,
pengulangan wawancara dilakukan dengan informan kunci. Hal itu dimaksudkan
sebagai pemeriksaan ulang, selain bertujuan untuk lebih memperdalam
pemahaman atas masalah yang dicari.
Pengertian lain mengenai analisis data yaitu menurut Nasution (1996)
bahwa analisis data adalah proses penyusunan, pengkategorian, mencari pola atau
tema dengan maksud untuk memahami maknanya. Menurut Muhajir (1996)
Analisis data adalah upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil
observasi dan wawancara untuk meningkatkan pemahaman tentang kasus yang
diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain.
Langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis data, adalah sebagai berikut;
1.
Reduksi data, pada tahap ini, laporan data yang diperoleh dari lapangan
perlu direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada
hal-hal yang penting, dicari tema atau polanya. Jadi laporan lapangan
sebagai bahan “mentah” disingkatkan; direduksi, disusun lebih
sistematis, ditonjolkan pokok-pokok yang penting, diberi susunan yang
lebih sistematis, sehingga lebih mudah dikendalikan (Nasution, 1996).
2.
Display data. Penyajian atau “display” data, dilakukan agar dapat melihat
gambaran keseluruhannya atau bagian-bagian tertentu dari penelitian,
melalui pembuatan berbagai macam matriks, grafik, network dan charts.
(Nasution, 1996).
3.
Mengambil kesimpulan dan verifikasi. Sejak awal penelitian kualitatif
peneliti berusaha untuk mencari makna data yang dikumpulkan. Dari
data yang diperoleh kemudian diambil kesimpulan. Kesimpulan itu mulamula masih sangat tentatif, kabur, diragukan, akan tetapi dengan
bertambahnya data, maka kesimpulan itu lebih “grounded”. Jadi
36
kesimpulan senantiasa harus direvisi selama penelitian berlangsung
(Nasution, 1996).
Pada hakikatnya tujuan utama dan langkah-langkah analisis dalam
penelitian deskriptif yang dilakukan secara kualitatif adalah sebagai berikut:
1.
Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang
ada.
2.
Mengindentifikasi masalah-masalah atau memeriksa kondisi dan praktekpraktek yang berlaku, termasuk terhadap konsep-konsep dan pemahamanpemahaman serta upaya mendapat pengertian dari pola-pola di dalam data.
3.
Membuat perbandingan atau evaluasi, dalam hal ini harus melihat latar
belakang dan orangnya secara holistik (keutuhan).
4.
Menentukan apa yang akan dilakukan orang lain dalam menghadapi
masalah-masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk
menetapkan rencana dan keputusan pada saat yang akan datang.
Dalam hal ini orang harus dipahami dari sudut pengalamannya sendiri dan
peneliti berusaha semaksimalnya membatasi pengaruh dari peneliti terhadap apa
yang dipelajari (Rakhmat, 1989; dan Bogdan, 1984). Langkah analisis dalam
penelitian ini terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu:
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Pada tahap
reduksi
data,
meliputi
proses
pemilihan,
pemusatan
perhatian
pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan tertulis di lapangan. Tahapan penyajian data merupakan
sekumpulan informasi yang tersusun yang memberikan kemungkinan adanya
penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Sedangkan pada tahap
kesimpulan/verifikasi merupakan makna-makna yang muncul dari data harus diuji
kebenarannya atau validitasnya.
Dalam penelitian kualitatif, strategi atau pendekatannya adalah induksi
konseptualisasi. Dengan strategi atau pendekatan ini, peneliti bertolak dari fakta
dan informasi empiris (data) untuk membangun konsep, hipotesis, dan teori. Dari
data/informasi ke konsep yang merupakan suatu gerak melintas ke tingkat
abstraksi yang lebih tinggi, bukan suatu perhitungan tabulasi dari data yang
berasosiasi dengan konsep yang ditemukan. Terkait dengan pendekatan kualitatif,
37
yakni reduksi-konseptualisasi untuk membangun konsep, hipotesis dan teori,
maka untuk menganalisis hasil penelitian yang diperoleh dari wawancara dan
observasi peneliti menggunakan teknik analisis domain, dengan langkah-langkah
untuk menganalisis data hasil penelitian adalah sebagai berikut :
1.
Peneliti dapat memilih pola atau tipe hubungan semantis tertentu atas dasar
informasi dan fakta yang tersedia dalam catatan lapangan.
2.
Menyiapkan lembaran kerja analisis domain.
3.
Memilih pertanyaan atau fakta dalam catatan lapangan yang setidaktidaknya memiliki satu kesamaan tertentu (sejenis atau sewarga); d)
Mencari cover term dan include term yang sesuai dengan suatu pola/tipe
hubungan semantis (konsep induk dari sejumlah jenis).
4.
Memformulasikan pertanyaan struktural untuk masing-masing domain;
5.
Membuat daftar semua domain yang tercakup dari segenap data yang ada.
6.
Penulisan laporan atau penyajian data.
Domain tersebut merupakan hasil kegiatan melalui observasi dan
wawancara yang dilakukan, dengan melakukan penelaahan terhadap fokus
penelitian secara menyeluruh. Hasil observasi atau wawancara yang dilakukan
dengan berbagai informan dan key informan dicatat secara tertentu dalam “catatan
lapangan” atau field note.
38
BAB IV
PROFIL KOMUNITAS PETANI PERLADANGAN
4.1 Kondisi Geografis
Halmahera Barat merupakan sebuah kabupaten baru hasil pemekaran dari
Kabupaten Maluku Utara yang terletak di Pulau Halmahera berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara,
Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera
Timur, dan Kota Tidore, Kepulauan di Provinsi Maluku Utara. Kabupaten yang
memiliki luas wilayah 3.669,58 km2 dengan laut seluas 1.311,7 km2 ini terletak
antara 1o48o Lintang Utara sampai 0o 48o Lintang Utara serta 127o16’0” Bujur
Timur sampai 127o16’ Bujur Timur. Kabupaten Halmahera Barat terletak di
Kawasan Timur Indonesia, tepatnya berbatasan dengan: 1) Sebelah Utara dibatasi
oleh Kabupaten Halmahera Utara dan Samudera Pasifik, 2) Sebelah Selatan
dibatasi oleh Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Timur, 3)
Sebelah Timur dibatasi oleh Kabupaten Halmahera Utara, dan 4) Sebelah Barat
dibatasi oleh Laut Maluku.
Sumber:
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2004
Gambar 1 Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Barat
39
Secara addministratiff Kabupatenn Halmaheera Barat dibagi
d
atass sembilan
matan dan 146 desa. Kecamatan
K
yang wilay
yahnya terluuas adalah K
Kecamatan
kecam
Ibu Selatan daan yang teerkecil adallah Kecam
matan Jailolo Selatan. Ibu Kota
mahera Barrat terletak di
d Kecamattan Jailolo, yang dapatt ditempuh
Kabuupaten Halm
dari seluruh keccamatan deengan perjallanan darat kecuali daari Kecamattan Loloda
yangg harus mennempuh jallur laut. Daari 146 desa yang adaa yang term
masuk desa
pantaai adalah seebanyak 577 desa sedaangkan sisaanya bukan desa pantaai. Adapun
luas wilayah darri masing-m
masing daeraah adalah seebagai berikkut:
T
Tabel
4.1
Luas Wilayyah Daratan Kabupaten Halmahera
H
B
Barat
No.
K
Kecamatan
Lua
as Wilayah (K
Km2)
1
Jailoloo
225,59
2
Jailoloo Timur
282,19
3
Jailoloo Selatan
146,25
4
Sahu
123,97
5
Sahu Timur
270,58
6
Ibu
109,61
7
Ibu Seelatan
371,25
8
Ibu Utara
U
219,5
9
Lolodda
608,94
AL
2.357,88
TOTA
Suumber: Badan Perencanaan Pembangunan
n Daerah Halm
mahera Barat,, 2007.
Topografi wilayah Kabupaten
K
Halmaheraa Barat didominasi ooleh tanah
curam
m (63%). Terdapatnya
T
a empat guunung berap
pi dan empat sungai m
menjadikan
Kabuupaten Hallmahera Baarat sebagaai daerah yang
y
masihh alami daan banyak
menyyimpan kekkayaan alam
m seperti andesit,
a
kao
olin, gips, batu
b
bara, pasir besi,
emass dan bahann galian lainnnya.
Topografi Wilayaah
Taanah Datar
1%
Tanah Landai
10%
Tanah Agak
Curam
26%
Tanah Curam
T
63%
Sum
mber: Halmaheera Barat Dalaam Angka 20007
G
Gambar
2 Top
pografi Wilayyah Kabupatten Halmaherra Barat
40
Kabupaten Halmahera Barat merupakan kabupaten yang dibentuk setelah
adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003, tanggal 28 Februari 2003, di mana
Kabupaten Maluku Utara dimekarkan menjadi Empat Kabupaten, yaitu; 3 (tiga)
kabupaten baru serta Satu kabupaten induk (Maluku Utara) yang berubah nama
menjadi Kabupaten Halmahera Barat dengan ibukota Jailolo.
Pada awal perkembangannya Kabupaten Halmahera Barat meliputi 5 (lima)
kecamatan, yaitu Kecamatan Jailolo, Kecamatan Jailolo Selatan, Kecamatan Sahu,
Kecamatan Ibu dan Kecamatan Loloda. Seiring perjalanan waktu dan
pertumbuhan penduduk, aspirasi masyarakat serta rentang kendali pemerintahan
yang terlalu jauh maka berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2005
tertanggal 21 Desember 2005 maka terjadi pemekaran tiga kecamatan, yaitu;
Kecamatan Sahu Timur, Kecamatan Ibu Utara dan Kecamatan Ibu Selatan. Tidak
lama berselang dikeluarkan pula Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2005 tentang
Pemekaran Kecamatan Jailolo Timur, sehingga sejak saat itu Kabupaten
Halmahera Barat meliputi Sembilan Kecamatan.
Sembilan kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Halmahera Barat
tersebut memiliki desa sebanyak 146 desa, dengan rincian desa swadaya sebanyak
72 desa, desa swakarya sebanyak 48 desa dan swasembada sebanyak 26 desa.
Kecamatan dengan jumlah desa swadaya paling banyak adalah Kecamatan Loloda
dengan jumlah 22 desa. Kecamatan yang memiliki desa swakarya paling banyak
adalah Kecamatan Jailolo dengan 29 desa dan kecamatan yang memiliki desa
swasembada paling banyak adalah Kecamatan Sahu Timur dan Ibu Selatan
masing-masing dengan 13 desa.
Adapun jumlah kecamatan, desa dan nama ibu kota kecamatan di Kabupaten
Halmahera Barat, sebagai berikut:
41
Tabel 4.2
Jumlah Kecamatan, Desa dan Nama Ibu Kota Kecamatan
di Kabupaten Halmahera Barat
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kecamatan
Jailolo
Jailolo Timur
Jailolo Selatan
Sahu
Sahu Timur
Ibu
Ibu Selatan
Ibu Utara
Loloda
TOTAL
Jumlah Desa
29
6
18
16
16
13
13
13
22
146
Letak Ibu Kota
Kecamatan
Gufasa
Akelamo Raya
Sidangoli
Susupu
Akelamo
Tongute Sungi
Talaga
Duono
Kedi
Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Halmahera Barat, 2007.
Kecamatan Jailolo Selatan adalah Kecamatan yang dibentuk setelah
dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 2003 pada Tanggal 25 Februari
2003 tentang Pembentukan 4 (empat) Kabupaten dan Kota merupakan pemekaran
dari Kecamatan Jailolo. Kecamatan Jailolo Selatan memiliki Luas Wilayah
33,372.3 Ha dengan Ibu Kota Kecamatan Sidangoli, yang meliputi 18 desa/anak
desa. Yaitu; 1) Sidangoli Gam, 2) Sidangoli Dehe, 3) Akelaha, 4) Akeara, 5)
Domato, 6) Bangkit Rahmat, 7) Moiso, 8) Dodinga, 9) Gamlenge, 10) Tewe, 11)
Tataleka, 12) Braha, 13) Ake Jailolo, 14) Tabadamai, 15) Biamahi, 16) Toniku,
17) Tuguraci, dan 18) Rioribati.
Geografis Kecamatan Jailolo Selatan berada antara 1000 sampai 30 Lintang
Utara dan 1250 sampai 1280 Bujur Timur. Berbatasan dengan: a) Sebelah Utara
dibatasi Kecamatan Jailolo, b) Sebelah Selatan dibatasi Kota Tidore Kepulauan, c)
Sebelah Timur dibatasi Kecamatan Jailolo Timur, dan sebelah Sebelah Barat
dibatasi dengan Laut Maluku.
4.2 Kondisi Demografi
Kabupaten Halmahera Barat adalah salah satu kabupaten di provinsi Maluku
Utara, Indonesia. Kabupaten ini berpenduduk sebanyak 105.110 jiwa dengan
kepadatan penduduk 44.58 jiwa/km² (2006). Sejumlah tersebut laki-laki 54.071
jiwa dan perempuan 51.039 jiwa. Jumlah penduduk di Kabupaten ini 10.34% dari
jumlah penduduk Maluku Utara yang 910.656. (Sumber: Badan Pusat Statistik
Maluku Utara). Adapun perincian jumlah penduduk tersebut ditampilkan pada
tabel berikut:
42
Tabel 4.3
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten
Halmahera Barat Tahun 2007
%
No.
Kecamatan
1
Jailolo
2
Jailolo Timur
3
Jailolo Selatan
4
5
6
7
8
9
Sahu
Sahu Timur
Ibu
Ibu Selatan
Ibu Utara
Loloda
TOTAL
Laki-Laki
%
Perempuan
12.322
51,16
11.761
2.435
51,72
2.273
9.415
4.903
3.931
5.156
5.578
4.118
6.213
54.071
52,15
50,41
50,65
51,04
51,45
52,15
52,04
51,
8.638
4.824
3.830
4.946
5.263
3.779
5.725
51.039
%
Jumlah
48,84
48,28
47,85
49,59
49,35
48,95
48,55
47,85
47,96
48,56
24.083
100
4.708
100
18.053
9.727
7.761
10.102
10.841
7.897
11.938
105.110
100
100
100
100
100
100
100
100
Sumber: BPS Kabupaten Halmahera Barat, 2007.
Aspek kependudukan merupakan faktor penting dalam perkembangan
wilayah karena penduduk dan kegiatannya akan membawa pengaruh yang sangat
besar terhadap perkembangan suatu wilayah karena suatu rencana tata ruang
disusun berdasarkan potensi penduduk tingkat kebutuhan dan kepentingan
penduduk. Jumlah Penduduk Kecamatan Jailolo Selatan sebanyak 18.053 Jiwa
yang terdiri dari wanita 8.638 (47,85%) dan pria 9.415 (5215,%) jiwa. Sedangkan
tingkat kepadatan penduduk untuk Kecamatan Jailolo Selatan adalah sebesar 1 (
satu ) Jiwa /Ha dengan Distribusi penduduk sebesar 21,9 %.
Tabel 4.4
Jumlah Penduduk Perdesaan di Kecamatan Jailolo selatan Kabupaten Halmahera Barat
Tahun 2007
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Nama Desa
Sio Gam
Sio Dehe
Domato
Moiso
Gamlenge
Tataleka
Ake Jailolo
Biamaahi
Tuguraci
Akeara
Akelaha
Bangkit Rahmat
Dodinga
Tewe
Braha
T. Damai
Toniku
Rioribati
Total
Jumlah
4.100
1.098
289
775
684
646
198
851
584
1.368
429
689
904
347
504
578
856
577
15.449
%
26,53
7,10
1,87
5,01
4,43
4,18
1,28
5,5
3,78
8,85
2,77
4,46
5,85
2,24
3,26
3,74
5,54
3,73
100
Sumber: BPS Kabupaten Halmahera Barat, 2007
43
Kabupaten Halmahera Barat memiliki komposisi penduduk usia produktif
(15-65 Tahun), sebesar 60% dari total penduduk di Kabupaten Halmahera Barat.
Persentase tersebut merupakan potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan bagi
kemajuan Kabupaten Halmahera Barat. Sedangkan perbandingan antara jumlah
penduduk tidak produktif (di bawah 15 Tahun dan di atas 65 Tahun ke atas)
dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 Tahun) di Kabupaten Halmahera
Barat sebesar 66. Hal ini berarti tiap 100 penduduk usia produktif menanggung 66
penduduk usia tidak produktif.
Adapun penduduk yang berusia 10 Tahun ke atas menurut jenis kegiatan
utama dan jenis kelamin pada Tahun 2006, sebagai berikut:
Tabel 4.5
Penduduk yang Berusia 10 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kegiatan Utama dan Jenis
Kelamin di Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007
No.
Kegiatan Utama
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
1
Bekerja
27.875
15.669
43.544
Angkatan
Mencari
Kerja
2
1.774
2.622
4.396
Pekerjaan
TOTAL
29.649
18.291
47.940
3
Sekolah
9.425
7.460
16.885
Mengurus
Bukan
4
Rumah
326
11.798
12.124
Angkatan
Tangga
Kerja
5
Lainnya
2.321
1.477
3.798
TOTAL
12.072
20.735
32.807
Sumber: BPS Kabupaten Halmahera Barat, 2007
Jumlah penduduk di Kabupaten Halmahera Barat yang besar belum tentu
menjamin SDM yang dimiliki. Selain jumlah penduduk (kuantitas), diperlukan
juga tingkat pendidikan yang tinggi (kualitas) dari manusianya. Pendidikan adalah
sektor yang memegang peranan sangat penting dalam pembangunan. Pendidikan
yang bermutu merupakan jaminan terbentuknya kualitas generasi mendatang yang
handal, untuk mensukseskan pembangunan nasional pada umumnya dan
pembangunan Kabupaten Halmahera Barat pada khususnya.
Kabupaten Halmahera Barat pada Tahun 2006 diperkirakan memiliki
jumlah penduduk usia Sekolah Dasar (7-12 Tahun) sebanyak 13.691 jiwa, di
mana Kecamatan Jailolo merupakan kecamatan dengan penduduk usia sekolah
dasar paling banyak, yaitu 3.137 jiwa, dan kecamatan dengan jumlah penduduk
usia sekolah dasar paling sedikit adalah Kecamatan Jailolo Timur dengan jumlah
44
613 jiwa. Angka Partisipasi Kasar SD/MI paling banyak dijumpai di Kecamatan
Loloda, yaitu sebanyak 98.966 dan yang paling sedikit adalah di Kecamatan
Jailolo Timur dengan jumlah 58.678.
Tabel 4.6
Proyeksi Penduduk Usia 7-12 Tahun Menurut Kecamatan
di Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007
No.
Kecamatan
2005
2006
2007
1
Jailolo
3.093
3.137
3.180
2
Jailolo Timur
605
613
622
3
Jailolo Selatan
2.319
2.351
2.384
4
Sahu
1.249
1.267
1.284
5
Sahu Timur
997
1.011
1.025
6
Ibu
1.298
1.316
1.334
7
Ibu Selatan
1.392
1.412
1.431
8
Ibu Utara
1.014
1.029
1.043
9
Loloda
1.533
1.555
1.576
TOTAL
13.500
13.691
13.879
Sumber: Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kabupaten Halmahera, 2007
Jumlah guru sekolah dasar di Kabupaten Halmahera Barat ada sebanyak
1.537 orang, dengan rincian Kecamatan Jailolo memiliki 419 orang, Kecamatan
Jailolo Timur 14 orang, Kecamatan Jailolo Selatan 521 orang, Kecamatan Sahu 98
orang, Kecamatan Sahu Timur 116 orang, Kecamatan Ibu 87 orang, Kecamatan
Ibu Selatan 81 orang, Kecamatan Ibu Utara 77 orang dan Kecamatan Loloda
mempunyai 124 orang guru. Total keseluruhan guru mulai dari sekolah dasar
sampai dengan sekolah menengah umum adalah sebanyak 2.370 orang.
Tabel 4.7
Jumlah Guru Menurut Sekolah dan Kecamatan di Kabupaten
Halmahera Barat Tahun 2007
No. Kecamatan
SD
MI SLTP
MTs SMU MA
1
Jailolo
419
9
152
24
60
22
2
Jailolo Timur
14
12
0
0
0
0
3
Jailolo Selatan
521
17
51
34
14
14
4
Sahu
98
0
91
0
42
0
5
Sahu Timur
116
0
0
0
0
0
6
Ibu
87
0
88
0
45
0
7
Ibu Selatan
81
0
0
0
0
0
8
Ibu Utara
77
0
0
0
0
0
9
Loloda
124
0
38
0
0
0
TOTAL
1.537
38
458
58
161
36
Sumber: Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kabupaten Halmahera, 2007
SMK
20
0
0
62
0
0
0
0
0
82
Program Keluarga Berencana (KB) selama ini gencar dikumandangkan oleh
pemerintah yang bertujuan untuk mengontrol atau mengendalikan laju
pertumbuhan penduduk dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama
45
ibu dan balita. Dengan adanya program KB memungkinkan seorang ibu untuk
mengatur jarak kelahiran dan jumlah anak yang diinginkan.
Kecamatan Jailolo merupakan kecamatan dengan jumlah akseptor aktif dan
akseptor baru paling banyak, yaitu 3.127 akseptor dan 175 akseptor. Kecamatan
yang memiliki akseptor aktif paling sedikit adalah Kecamatan Jailolo Selatan
dengan jumlah akseptor aktif sebanyak 847 akseptor. Sedangkan Kecamatan Ibu
Selatan dan Kecamatan Ibu Utara merupakan kecamatan dengan jumlah akseptor
baru paling sedikit, yaitu sebanyak 94 akseptor.
Salah satu program pelayanan masyarakat yang penting adalah pelayanan
kesehatan. Kesehatan merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan
penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk suatu wilayah. Produktivitas
manusia akan maksimal jika tidak mengalami keluhan kesehatan. Di Halmahera
Barat terdapat 8 puskesmas dan 20 puskesmas pembantu. Baik puskesmas
maupun puskesmas pembantu telah disediakan di tiap-tiap kecamatan. Jumlah
puskesmas di tiap-tiap kecamatan berjumlah 1 (satu) unit, kecuali untuk
Kecamatan Ibu Utara tidak memiliki puskesmas maupun puskesmas pembantu.
Untuk puskesmas pembantu jumlahnya berbeda antar kecamatan. Kecamatan
yang memiliki puskesmas pembantu paling banyak adalah Kecamatan Loloda,
yaitu sebanyak 5 unit. Kecamatan Jailolo Timur, Kecamatan Sahu dan Kecamatan
Ibu Selatan hanya memiliki satu puskesmas pembantu.
1.3 Kondisi Ekonomi
Sumber mata pencaharian utama masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan
selaras dengan potensi sumber daya alam yang ada di wilayah tersebut yakni,
mayoritas mengandalakan hasil pertanian-perladangan, pemanfaatan hasil hutan,
pemanfaatan hasil laut (nelayan), dan sebagian yang lain adalah peternak, berburu
serta pemanfaatan dan pengarapan lahan hutan lainnya. Sebagian kecil masyarakat
lainnya adalah berdagang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), guru dan militer dan
polisi. Ketergantungan masyarakat pada dunia pertanian dan pemanfaatan hutan
dan laut adalah yang paling tinggi. Hal ini menjadi corak dan karakteristik
tersendiri bagi masyarakat yang ada di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera
Barat.
46
Potensi sumber daya pertanian yang ada di Kabupaten Halmahera Barat,
terdiri dari: 1) Potensi lahan pertanian, dan 2) Potensi sumber daya manusia
pertanian. Potensi lahan pertanian (lahan basah, lahan kering dan lahan tidur) yang
cukup besar, diperkirakan mencapai 156.663 Ha, sementara yang baru diusahakan
kurang lebih 23.249 Ha atau hanya 18,84%. Potensi sumber daya manusia
pertanian, terdiri dari: 1) Kelompok tani yang berjumlah kurang lebih 199 KT,
dan 2) Petugas teknis, terdiri dari PPL dan petugas kecamatan (PPK).
Di atas lahan tersebut telah diusahakan untuk pengembangan tanaman
pangan, terdiri dari padi sawah (Kec. Jailolo, Sahu Timur dan Ibu Selatan), padi
lading sembilan Kecamatan), jagung (Kec. Jailolo, Jailolo Selatan, Jailolo Timur,
Sahu, Sahu Timur, Ibu Selatan dan Ibu), Kedelai (Kec. Jailolo, Jailolo Selatan dan
Sahu Timur), kacang tanah (Kec. Jailolo, Jailolo Timur, Sahu, Sahu Timur, Ibu
dan Ibu Utara) dan umbi-umbian (Kec. Ibu, Ibu Utara dan Loloda) dengan total
keseluruhan seluas 2.846 Ha.
Pola pertanian bagi petani peladagan di Kecamatan Jailolo Selatan
umumnya dilakukan secara tradisional dan hanya pada musim hujan. Hal ini
disebabkan oleh faktor sumberdaya alam (iklim, tanah, air, topografi, dan lainlain, dan sumberdaya manusia yang kurang mendukung, sehingga lahan kering
belum terkelola dengan baik yang mengakibatkan produktivitasnya tetap rendah.
Keterbatasan agroekosistem lahan kering di Kecamatan Jailolo Selatan tercermin
dari topografi dataran rendah, relatif rendahnya kesuburan tanah, struktur lempung
berpasir dengan hanya 3-4 bulan basah dan curah hujan yang termasuk rendah
(1200-1600/tahun).
Untuk mengatasi paceklik beras, petani umumnya mengusahakan tanaman
jagung, kacang tanah, atau singkong. Produksi jagung yang mereka hasilkan
relatif rendah (2 ton/Ha, kacang tanah sekitar 650 kg/Ha karena tanpa pemeliharan
intensif, menggunakan varietas lokal serta marjinalnya lahan kering yang mereka
usahakan). Sementara Farm Record Keeping (FRK) menunjukkan pendapatan
petani masih sangat rendah, sekitar Rp. 2 juta/KK/tahun (BPS Halmahera Barat,
2010).
Pengembangan buah-buahan, terdiri dari jeruk (Kec. Sahu dan Sahu Timur),
rambutan (Kec. Jailolo, Sahu, Sahu Timur), durian (Kec. Jailolo, Sahu, Sahu
47
Timur), pisang (9 kecamatan), langsat (Kec. Jailolo, Sahu, Sahu Timur, Ibu), salak
(Kec. Ibu) dengan total keseluruhan seluas + 655 Ha. Pengembangan sayursayuran, terdiri dari cabe keriting, bawang, tomat, ketimun, dll. Terkonsentrasi di
Kec. Jailolo, Jailolo Selatan, Sahu, Sahu Timur, Ibu, dengan total keseluruhan
seluas 461 Ha. Pengembangan ternak; populasi ternak sapi telah mencapai 6.709
ekor, serta kambing 7.189 ekor. Jumlah tersebut, khususnya sapi dirasakan masih
kurang seiring 15.000 ekor ternak sapi untuk mengembalikan kejayaan Halmahera
Barat sebagai daerah lumbung ternak di Kabupaten Halmahera Barat.
Potensi kehutanan di Kabupaten Halmahera Barat, dengan luas kawasan hutan +
246.500 Hektar, yang terdiri dari: 1) Hutan Lindung: + 79.500 Hektar, 2) Hutan
Produksi: + 4.250 Hektar, 3) Hutan Produksi Terbatas: + 27.250 Hektar, 4) Areal
Penggunaan Lain: + 39.250 Hektar, dan 5) Hutan Produksi Konsaliran Daservasi:
+ 96.250 Hektar. Daerah Aliran Sungai (DAS) terdiri atas 3 (tiga) aliran DAS
besar, yaitu: Sungai Akelamo, Sungai Ngibut dan Sungai Sidangoli dan sejumlah
sub-sub DAS lainnya. Beberapa kawasan hutan di Kabupaten Halmahera Barat
yang tergolong kritis dan terbuka yang luasnya + 10.000 Hektar.
Perbenihan tanaman hutan dapat dilihat dari terdapat beberapa kelompok
tani dan usahawan golongan menengah yang telah membangun usaha perbenihan
tanaman hutan. Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam di Kabupaten
Halmahera Barat, sebagai berikut: 1) Perlindungan hutan dan pengendalian
kebakaran hutan, 2) Keanekaragaman hayati yang teridir dari; a) Flora (tanaman):
anggrek, kulit kayu dan jenis-jenis tanaman lokal lainnya dan b) Fauna (hewan):
burung bidadari (jailolo selatan dan hutan talaga rano) dan wallet (loloda); 3)
Wisata alam, terdiri atas: a) Wisata pantai: hutan bakau, dan b) Wisata hutan: air
terjun dan telaga.
Pengembangan ternak ayam ras petelur yang pada tahun-tahun sebelumnya
belum diusahakan, maka pada Tahun 2006 telah diusahakan dengan jumlah
populasi 7.504 ekor menjadi 15.500 ekor pada Tahun 2007 yang berlokasi di Kec.
Jailolo. Namun dirasakan saat ini produksi telur di Kabupaten Halmahera Barat
masih kurang dan belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga
masih dipasok dari luar daerah. Untuk itu masih dibutuhkan penambahan
48
sebanyak kurang lebih 20.000 – 30.000 ekor ternak ayam ras petelur lagi dengan
perhitungan produksi telur sebanyak 35.500 – 45.500 butir/Tahun.
Karakteristik iklim di Kecamatan Jailolo Selatan pada umumnya beriklim
tropis dengan curah hujan rata-rata 1500-3500 mm/tahun dan memiliki 2 musim
yaitu: 1) Musim Utara yaitu pada bulan Oktober dan musim pancaroba pada bulan
April, dan 2) Musim Selatan yaitu pada Bulan April-September yang diselingi
dengan angin timur dan pancaroba pada bulan September. Kondisi tanah yang
terdapat pada wilayah Kecamatan Jailolo Selatan terdiri dari: 1) Jenis Tanah
Andosol: - Ha, 2) Jenis Tanah Latosol: 33170.51 Ha, 3) Jenis Tanah Podsolik
(Merah Kuning): 201,78 Ha, dan 4) Jenis Tanah Regosol: - Ha.
Penggunaan lahan di Kecamatan Jailolo Selatan pada umumnya didominasi
oleh hutan lindung dengan luas areal 14586.21 Ha hutan produksi terbatas adalah
2942.66 Ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi adalah; 1) Hutan produksi
yang dikonversi seluas 1126.48; 2) Hutan lindung seluas 14586.21 Ha sedangkan
hutan produksi terbatas adalah 2942.66 Ha.
Tingkat perekonomian suatu daerah dapat diketahui dari pendapatan
domestik bruto daerah tersebut. Besarnya pendapatan daerah tersebut menandakan
juga besarnya tingkat kesejahteraan penduduk. Untuk melihat jumlah pendapatan
Kabupaten Halmahera Barat dapat dilihat melalui PDRB-nya. Pada Tahun 2006
tercatat PDRB Kabupaten Halmahera Barat sebesar 219.621,06 juta untuk semua
sektor meliputi Pertanian; Pertambangan dan Penggalian; Industri Pengolahan;
Listrik, gas dan Air Minum; Bangunan; Perdagangan, Hotel & Restoran;
Angkutan dan Komunikasi; Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; dan JasaJasa. Jumlah ini meningkat dari Tahun 2005 yang sebesar 205.954,22 juta.
Upaya
meningkatnya
jumlah
PDRB
Kabupaten
Halmahera
Barat
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Sektor yang
memberikan sumbangan terbesar adalah sektor pertanian. Sektor ini merupakan
sektor yang menyerap tenaga kerja cukup banyak dibanding sektor lainnya.
Keadaan usaha industri di Kabupaten Halmahera Barat sampai Tahun 2007,
sebagai berikut:
49
Tabel 4.8
Usaha Industri di Kabupaten Halmahera Barat Sampai Tahun 2007
Jumlah
Jumlah TK
Jumlah Investasi
No.
Jenis Industri
Perusahaan
(Orang)
(Rp)
1
Industri Besar/Sedang
3
2.073
11.300.000.000
2
Industri Kecil
730
3.650
36.500.000.000
3
Industri Rumah Tangga
1.460
7.300
43.800.000.000
JUMLAH
2.193
13.023
91.600.000.000
Sumber: BPS Kabupaten Halmahera Barat, 2007.
Keadaan Usaha perdagangan di Kabupaten Halmahera Barat sampai
Tahun 2007, sebagai berikut:
Tabel 4.9
Usaha Industri di Kabupaten Halmahera Barat Sampai Tahun 2007
Jumlah
Jumlah TK
Jumlah Investasi
No
Jenis Industri
Perusahaan
(Orang)
(Rp)
1
Perdagangan Besar
28
280
280.000.000.000
2
Perdagangan Sedang
90
3.650
45.000.000.000
3
Perdagangan Kecil
1.460
7.300
73.000.000
JUMLAH
1.578
11.230
325.073.000.000
Sumber: BPS Kabupaten Halmahera Barat, 2007
4.4 Kondisi Budaya
Sejarah Maluku Utara tercatat bahwa pada tahun 1257 telah berdirì sebuah
kerajaan di Ternate. Wílayah kekuasaan raja atau kolano yang pertama (Masyhur
Malamo, 1257-1277) meliputi kesatuan darì empat kelompok masyarakat yang
telah ada sebelumnya ( Putuhena 1980: 264); Andilì 1980: 6). Dari catatan sejarah
tersebut terungkap bahwa sejak sebelum abad ketiga belas tampaknya di Maluku
Utara telah berkembang kelompok-kelompok masyarakat dengan organisasi sosial
yang teratur. Bahkan menurut tradisì lisan setempat, jauh sebelum abad ketiga
balas, yaitu pada abad kedelapan Masehi, masyarakat Maluku Utara telah
mengenal tata kehídupan Islam berdasarkan paham Syiah yang dibawa masuk
oleh empat orang syekh dari Irak ( Putuhena 1980: 264).
Terlepas dari lingkat kebenaran tersebut, hal ini memperkuat anggapan
bahwa suatu kehidupan masyarakat yang taratur dengan kebudayaan tersendirì di
Maluku Utara nampaknya benar telah ada sejak jauh masa lampau, dengan kata
lain antar kebudayaan Maluku Utara telah tertanam dalam kehidupan warga
masyarakat pendukungnya pada kedudukan yang cukup kuat dan dalam. Dari
cikal bakal kerajaan pertama di Ternate pada tahun 1257 tersebut kemudian
50
berkembang tiga kerajaan lain di Halmahera yaitu kerajaan Tìdore, Jailolo, dan
Bacan, selanjutnya menjadi keempat kerajaan yaitu; (Ternate, Tidore, Jailolo, dan
Bacan) berada dalam satu kesatuan yang dikenal sebagaì Moluku Kie Raha,
sebagai pemegang kekuasaan tradisional atas seluruh masyarakat di Halmahera
dan pulau-pulau di sekitarnya.
Dalam perkembangannya kemudian tampaknya konsep Moluku Kie Raha
tersebut telah tumbuh menjadi suatu pandangan atau suatu idelogi tentang ikatan
sosial spiritual yang bukan hanya berlaku di lingkungan kelembagaan tingkat
pusat kerajaan, tetapi telah menjadi milik seluruh masyarakat Halmahera dan
sekitarnya atau Maluku Utara.
Konsep dasar yang menempatkan kesatuan empat kerajaan tradisional
sebagai suatu ikatan sosial spiritual bagi seluruh masyarakat di Maluku Utara,
dimana keempat kerajaan di Halmahera selalu terjadi hubungan kompetitif satu
dengan yang lain. Dalam konteks ideologi Moloku Kie Raha ke empat kerajaan
tersebut sering terlibat perang untuk ekspansi kekuasaan, Kesultanan Jaìlolo
pernah dihancurkan kemudìan dinyatakan berada di bawah kekuasaan Ternate dan
untuk selanjutnya tidak pernah disebut-sebut eksistensinya dalam tingkatan yang
sama. Tetapi Jailolo tídak dimatikan. Hanya kedudukan Sultannya yang
diturunkan menjadi di bawah tingkatan Sultan-sultan di Ternate, Tidore, maupun
Bacan. Walapun dalam persaingan bidang kekuasaan dan perdagangan, terutama
antara Ternate dan Tidore, seolah-olah tidak pernah ada hentinya, namun
hubungan antara kedua kerajaan tersebut dalam konteks hajatan tradisional tetap
dijaga.
Kompleksitas kebudayaan Maluku Utara diwarnai juga oleh perkembangan
kehidupan ekonomi maupun kehìdupan sosial politik dan kehidupan keagamaan,
yang mengalamì proses dìnamikanya dalam kurun waktu yang panjang sejalan
dengan masuknya pengaruh berbagai kebudayaan dari luar. Masuknya suku-suku
bangsa, agama dan kebudayaan, ditandai dengan kehadiranya orang-orang yang
dari Persia, Gujarat, Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang secara silih
berganti telah mempengaruhî dan bahkan membentuk peta kebudayaan Maluku
Utara yang tìdak pernah tetap.
51
Unsur-unsur kebudayaan luar yang pernah masuk tersebut kemudian
menyebar dan direrima masyarakat tanpa memperhatìkan atau mengukur
batas-batas kelompok kebahasaan dan kelompok etnis ataupun baras-batas
geopolitik kewilayahan yang ada. Berkembangnya dunia perdagangan, khususnya
perdagangan rempa-rempah, antara lain menimbulkan semakin luasnya lahan dan
meningkatnya pengusahaan tanaman keras (cengkeh, pala, coklat, kelapa) sampai
masuk ke daerah-daerah pedalaman. Pusat-pusat pelabuhan dan pasar tradisional
di sepanjang garis pantai, bidang pelayaran mengalami banyak kemajuan.
Perkembangan lain dalam kehidupan ekonomì bagi masyarakat adalah usaha
bercocok tanam bahan makanan (padi, palawija, sayur mayur), pemelìharaan
binatang ternak, menangkap ikan, berburuh dan berdagang. Keseluruhan
kemajuan yang terjadi tersebut pada dasarnya berlangsung di seluruh Maluku
Utara, terutama di daerah-daerah pantai, dalam kerangka perkembangan ekonomi
masyarakat. Dalam hal ini bukan berarti bahwa perkembangan kehidupan
ekonomi tiap-tiap daerah sama, tetapi adanya kesempatan dan kemungkinan untuk
berkembang tersebut pada dasarnya merata tanpa terikat pada batas-batas
kelompok etnik ataupun geopolitik kewilayahan yang berlaku.
Perjalanan kehidupan ekonomi setiap masyarakat itu sendiri cukup panjang
dan saling bervariasi. Hasilnya menampakkan adanya perbedaan gradual antara
masyarakat satu dengan yang lain, walaupun mungkin terdapat karakteristik dasar
pola kehidupan ekonomî yang paralel, Secara khusus masuknya orang Persia,
Gujarat dan bangsa Eropa di Maluku Utara telah memberi andil yang relatif besar
dan bahkan ikut mendasari perkembangan struktur kebudayaan masyarakat di
kawasan Maluku Utara pada umumnya.
Sekarang ini kelompok suku yang hidup di kecamatan Jailolo Selatan terdiri
dari suku Pagu, Madole dan Tobaru, namun suku-suku yang ada sebagian besar
di dominasi oleh suku pendatang misalnya migrasinya suku lokal antar pulau ke
Jailolo selatan yaitu suku Makian, Ternate, Tidore, Sanana, Weda, Patani, dan
Bacan, adapun suku pendatang yang datang dari luar daerah Kecamatan Jailolo
Selatan, yaitu; suku Bugis, Buton, Gorontalo, Sangir, Manado, Ambon, dan Jawa.
Sedangkan keyakinan agama atau kepercayaan yang dipeluk masyarakat
52
Kecamatan Jailolo Selatan mayoritas adalah beragama Islam dan sebagian lainya
adalah Nasrani (Kristen dan Katolik).
4.5. Iktisar
Dengan penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa secara geografis,
kecamatan Jailolo berada di wilayah administratif Kabupaten Halmahera Barat.
Kabupaten Halmahera Barat merupakan sebuah kabupaten baru hasil pemekaran
dari Kabupaten Maluku Utara yang terletak di Pulau Halmahera. Kabupaten
Halmahera Barat berbatasan dengan: 1) Sebelah Utara dibatasi oleh Kabupaten
Halmahera Utara dan Samudera Pasifik, 2) Sebelah Selatan dibatasi oleh Kota
Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Timur, 3) Sebelah Timur dibatasi
oleh Kabupaten Halmahera Utara, dan 4) Sebelah Barat dibatasi oleh Laut
Maluku. Secara administratif Kabupaten Halmahera Barat dibagi atas 9
(sembilan) kecamatan dan 146 (seratus empat puluh enam) desa.
Kondisi demografi Kabupaten Halmahera Barat menunjukkan bahwa
jumlah penduduk yang hidup di wilayah ini sebanyak 105.110 jiwa dengan
kepadatan penduduk 44.58 jiwa/km² (2006). Sejumlah tersebut laki-laki 54.071
jiwa dan perempuan 51.039 jiwa. Jumlah penduduk di Kabupaten ini adalah
10.34% dari jumlah penduduk Maluku Utara yang
berjumlah 910.656 jiwa.
Kabupaten Halmahera Barat memiliki komposisi penduduk usia produktif (15-65
Tahun), sebesar 60% dari total penduduk di Kabupaten Halmahera Barat.
Persentase tersebut merupakan potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan bagi
kemajuan Kabupaten Halmahera Barat. Sedangkan perbandingan antara jumlah
penduduk tidak produktif (di bawah 15 Tahun dan di atas 65 Tahun ke atas)
dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 Tahun) di Kabupaten Halmahera
Barat sebesar 66. Hal ini berarti tiap 100 penduduk usia produktif menanggung 66
penduduk usia tidak produktif. Sedangkan jumlah penduduk yang ada di
Kecamatan Jailolo Selatan sebanyak 18.053 Jiwa yang terdiri dari wanita 8.638
(47,85%) dan pria 9.415 (5215,%) jiwa. Sedangkan tingkat kepadatan penduduk
untuk Kecamatan Jailolo Selatan adalah sebesar 1 ( satu ) Jiwa /Ha dengan
distribusi penduduk sebesar 21,9 %.
53
Secara ekonomi kondisi masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan bermatapencaharian yang selaras dengan potensi sumber daya alam yang ada di wilayah
tersebut
yakni,
mayoritas
mengandalakan
hasil
pertanian-perladangan,
pemanfaatan hasil hutan, pemanfaatan hasil laut (nelayan), dan sebagian yang lain
adalah peternak, berburu dan serta pemanfaatan dan pengarapan lahan hutan
lainnya. Sebagian kecil masyarakat lainnya adalah berdagang, pegawai
pemerintah (PNS), Guru dan militer dan polisi. Ketergantungan masyarakat pada
dunia pertanian dan pemanfaatan hutan dan laut adalah yang paling tinggi. Hal ini
menjadi corak dan karakteristik tersendiri bagi masyarakat yang ada di Kecamatan
Jailolo Selatan Halmahera Barat.
Secara budaya sejarah masyarakat yang ada di Kecamatan Jailolo Selatan
bersumber pada sejarah lokal Maluku Utara tercatat bahwa pada tahun 1257 telah
berdirì sebuah kerajaan di Ternate. Wílayah kekuasaan raja atau kolano yang
pertama dikatakan meliputi kesatuan darì empat kelompok masyarakat yang telah
ada sebelumnya. Kelompok suku yang hidup di kecamatan Jailolo Selatan terdiri
dari suku Pagu, Madole dan Tobaru, namun suku-suku yang ada sebagian besar
di dominasi oleh suku pendatang misalnya migrasinya suku lokal antar pulau ke
Jailolo selatan yaitu suku Makian, Ternate, Tidore, Sanana, Weda, Patani, dan
Bacan, adapun suku pendatang yang datang dari luar daerah Kecamatan Jailolo
Selatan, yaitu; suku Bugis, Buton, Gorontalo, Sangir, Manado, Ambon, dan Jawa.
Sedangkan keyakinan agama atau kepercayaan yang dipeluk masyarakat
Kecamatan Jailolo Selatan mayoritas adalah beragama Islam dan sebagian lainya
adalah Nasrani (Kristen Protestan dan Katolik).
54
BAB V
PENERAPAN NILAI-NILAI JOJOBO
5.1 Nilai-Nilai Jojobo
Nilai sosial yang berlaku pada kelembagaan Jojobo merupakan landasan
bagi masyarakat pada komunitas petani perladangan untuk merumuskan apa yang
benar dan penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting untuk
mendorong dan mengarahkan anggotanya agar berbuat sesuai norma yang berlaku
pada masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan. Nilai sosial yang berlaku ini
mengacu pada pertimbangan terhadap suatu tindakan benda, cara untuk
mengambil keputusan apakah sesuatu yang bernilai itu memiliki kebenaran,
keindahan, dan nilai ketuhanan.
Norma merupakan hasil cipta manusia sebagai makhluk sosial untuk
mengatur hubungan sosial agar dapat berlangsung dengan lancar sehingga
menimbulkan suasana yang harmonis. Penerapan nilai-nilai Jojobo dalam
aktivitas ekonomi pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo
Selatan Halmahera Barat dapat ditunjukkan pula pada penerapan norma di dalam
kehidupan komunitas masyarakat petani perladangan. Penerapan norma yang
berisi tata tertib, aturan, petunjuk standar mengenai perilaku yang pantas atau
wajar pada komunitas antar petani perladangan ditunjukkan dengan harmonisnya
kehidupan diantara para petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan.
Pelanggaran terhadap norma dalam komunias petani perladangan di Kecamatan
Jailolo Selatan akan mendatangkan sanksi, dari mulai bentuk cibiran atau
cemoohan sampai ke sanksi fisik dan psikis berupa pengasingan atau di usir.
Norma merupakan bentuk nilai yang disertai dengan sanksi tegas bagi
pelanggarnya. Norma merupakan ukuran yang dipergunakan oleh masyarakat
apakah perilaku seseorang benar atau salah, sesuai atau tidak sesuai, wajar atau
tidak, dan diterima atau tidak. Norma dibentuk di atas nilai sosial yang berlaku
antar komunitas petani perladangan, dan norma sosial diciptakan untuk menjaga
dan mempertahankan nilai sosial yang berlaku. Nilai dan norma merupakan hal
yang berkaitan. Norma merupakan bentuk konkret dari nilai-nilai yang ada di
dalam masyarakat. Misalnya, nilai menghormati dan mematuhi tokoh adat
55
diperjelas dan dikonkretkan dalam bentuk norma-norma dalam bersikap dan
berbicara kepada orang yang lebih dituakan. Nilai-nilai sopan santun dan
kejujuran dalam pergaulan keseharian antar petani perladangan dikonkretkan
dalam
bentuk
keharmonisan
dalam
bertetangga
dan
berperilaku
antar
masyarakatnya. Jadi, pengertian norma dalam komunitas petani perladangan
merupakan patokan-patokan atau pedoman untuk berperilaku di dalam masyarakat
komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan.
Kebudayaan merupakan perwujudan kemampuan manusia sebagai mahluk
individu dan sosial dalam usaha mengolah usaha budi guna menanggapi
lingkungannya. Kemampuan untuk mengolah usaha budi itu tidak dimiliki oleh
mahluk hidup lain, sehingga kebudayaan kristalisasi kemampuan manusia dalam
menata perjalanan kehidupannya. Untuk itu, nilai budaya lokal yang terdapat di
daerah Kecamatan Jailolo Selatan diharapkan bisa menjadi bagian dari
pemberdayaan masyarakat khususnya pada komunitas petani peladangan.
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo meskipun
sudah mulai mengalami pergeseran, namun masih ada yang mempertahankannya
terutama pada sebagian komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo
Selatan. Faktor yang menyebabkan komunitas petani perladangan di Kecamatan
Jailolo Selatan Halmahera Barat masih ada yang melakukan tradisi Jojobo ini
seperti dikatakan oleh salah satu petani yaitu Bpk Muhdar (Tahun 2011) bahwa:
“Penyebabnya karena Jojobo merupakan salah satu tradisi yang masih
dipertahankan karena terciptanya hubungan kekeluargaan yang sangat kuat
serta kebutuhan masyarakat yang bisa terpenuhi untuk kebutuhankebutuhan yang tidak terduga”
Hasil wawancara ini memperlihatkan bahwa nilai luhur yang terkandung
dalam kelembagaan Jojobo berupa terciptanya hubungan kekeluargaan dan
kekerabatan di dalam komunitas petani perladangan. Nilai luhur kekeluargaan dan
kekerabatan ini terefleksikan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bahkan
kebutuhan-kebutuhan yang tidak terduga. Oleh karena itu keberadaan
kelembagaan Jojobo diharapkan menjadikan sarana dalam penerapan budaya
lokal sebagai suatu upaya terutama pemenuhan kebutuhan ekonomi produktif dan
ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo
Selatan.
56
Nilai budaya berasal dari value masyarakat tradisional lokal, dan telah
menjadi suatu tatanan budaya yang dianggap mengatur dan mengikat dalam
bentuk moral masyarakat setempat, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman
hidup bagi semua perilaku dan pengambilan keputusan karena nilai itu dianggap
etis, logis, mulia, sakral, mengandung harapan masa depan, dan menjadi identitas
jati diri dan karakter wilayah setempat. Nilai kelembagaan Jojobo dipahami
sebagai konsepsi yang hidup dalam alam pikiran dari sebagian besar masyarakat
tradisional di Kecamatan Jailolo Selatan sebagai sesuatu yang berharga dalam
hidup khususnya bagi komunitas petani perladang. Karena itu nilai kelembagaan
Jojobo menjadi dasar dari kehidupan manusia dan menjadi pedoman ketika
komunitas petani perladangan akan melakukan sesuatu.
Nilai sosial dalam aktivitas komunitas petani perladangan di Kecamatan
Jailolo Selatan merupakan kumpulan sikap dan perasaan yang diwujudkan melalui
perilaku yang mempengaruhi perilaku seseorang yang memiliki nilai tersebut.
Nilai sosial Jojobo ini merupakan sikap-sikap dan perasaan yang diterima secara
luas oleh masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan dan merupakan dasar untuk
merumuskan apa yang benar dan apa yang penting dilakukan oleh komunitas
petani perladangan dalam menjalankan aktivitas kesehariannya.
Di beberapa wilayah Kecamatan Jailolo Selatan, dimana sifat dan naluri
partisipasi masyarakat dalam membentuk lembaga seperti kelompok tani,
paguyuban, dan terutama Jojobo sebagai lembaga tradisional, masih ada yang
mempertahankannya. Keberadaan kelembagaan sosial ini dapat diberdayakan dan
dimanfaatkan sebagai asset pembangunan yang perlu ditingkatkan karena
memiliki inti budaya lokal yang menjiwainya. Hasil ini berdasarkan wawancara
dengan Ibu Safa Mahmud (Tahun 2011) sebagai Tokoh Masyarakat berkaitan
dengan Jojobo sebagai lembaga sosial masyarakat desa yang masih dilakukan
sebagian Komunitas Masyarakat Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
Halmahera Barat, yang menyatakan
“Jojobo dikalangan komunitas petani perladangan sudah merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi yang telah dilakukan pada jaman
dahulu. Jojobo dianggap masyarakat terutama komunitas petani
peladangan adalah satu bentuk organisasi non formal yang mempunyai
dampak positif terhadap kebutuhan perekonomian masyarakat dan sangat
membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan-kubutuhan yang tak
57
terduga. Disamping itu juga dapat menciptakan hubungan silahtuhrahmi
kekeluargaan antar sesama warga dengan baik”
Di samping itu, sebagian perspektif masyarakat menyebutkan bahwa
kelembagaan Jojobo dapat menjadi salah satu potensi yang bisa dikembangkan
menjadi suatu sarana, baik yang adopsi teknologi maupun berorientasi pasar, serta
bermanfaat wadah untuk menampung dan mengembangkan diri petani
perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan.1 Keberadaan Jojobo juga merupakan
salah satu organisasi sederhana yang dibentuk oleh masyarakat komunitas petani
perladangan atas dasar kesepakatan bersama dengan penunjukan secara langsung
kepada seseorang yang dituakan atau berpengaruh dan dipercaya untuk
mengelolah organisasi tersebut dengan tujuan meningkatkan perkonomian
masyarakat. Selain itu Jojobo juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakat yang telah dilakukan secara turun temurun, yang mana adanya
hubungan emosional yang sangat kuat antar masyarakat petani perladangan
khususnya hubungan kekeluargaan.2
Di sisi lain, kelembagaan Jojobo merupakan hasil konstruksi sosial yang
diterima dan disepakati oleh komunitas-komunitas petani peladangan sebagai
bentuk penyesuaian masyarakat dengan lingkungan material dan non-material.
Meskipun kelembagaan Jojobo saat ini sudah mulai memudar karena masyarakat
petani peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan semakin tergantung pada nilai
dan kekuatan luar desa seperti pasar dan industri perkotaan yang bersifat ekonomi
dan individualis; dimana ukuran yang digunakan tidak lagi menyangkut
kelestarian dan kebersamaan, melainkan eksploitasi dan sukses finansial semata.
Sehingga, masyarakat desa sangat rapuh terhadap faktor yang berada di luar
pengendaliannya3.
1
Hasil wawancara dengan Bpk Din Hi Yusuf, petani di kecamatan Jailolo Selatan, 3 Agustus
2011.
2
Hasil wawancara dengan Bpk Said Jusuf, petani di kecamatan Jailolo Selatan, 5 Agustus 2011.
3
Pengolahan data dari hasil wawancara dengan beberapa warga di desa Sidangoli Dehe,
Kecamatan jailolo Selatan, tanggal 10-12 Agustus 2011.
58
5.2 Eksistensi Nilai-nilai Jojobo
Masyarakat komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
Halmahera Barat yang masih mempertahankan keberadaan kelembagaan Jojobo
disebabkan oleh berbagai faktor terutama berkaitan dengan dukungan dari sesama
masyarakat komunitas petani peladangan. Faktor yang menyebabkan Jojobo
masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat Komunitas Petani Perladangan di
Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat hingga hari ini adalah disebabkan
adanya dukungan sesama masyarakat komunitas petani perladangan dalam bentuk
kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dan dapat menunjang kebutuhan hidup
sehari-hari, serta toleransi antar sesama warga sangat tinggi4. Selain itu, sebab
lainnya adalah karena Jojobo merupakan salah satu tradisi yang masih
dipertahankan karena terciptanya hubungan kekeluargaan yang sangat kuat serta
kebutuhan masyarakat yang bisa terpenuhi utntuk kebutuhan-kebutuhan yang
tidak terduga5.
Komunitas petani peladangan masih ditemukan melakukan tradisi
kelembagaan Jojobo. Faktor yang menyebabkan Komunitas Petani Perladangan di
Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat masih ada yang melakukan tradisi
Jojobo salah satunya adalah karena ada faktor untuk memenuhi kebutuhankebutuhan ekonomi dengan dasar hubungan emosional yang sangat tinggi dalam
hal saling mendukung dan membantu satu sama lain melalui Jojobo. Faktor
lainnya adalah tradisi kelembagaan Jojobo masih dianggap sebagai suatu
hubungan silaturahmi antar masyarakat sehingga tidak terputus hubungan secara
kekeluargaan maupun antar warga6.
Umumnya, kehidupan sosial masyarakat petani perladangan di Kecamatan
Jailolo Selatan yang selama ini masih eksis dan hidup di pedesaan adalah model
subsistensi, yang berakar dalam kebiasaan ekonomi dan pertukaran sosial untuk
kebutuhan dasar keluarga. Namun sebagian masyarakat sudah mulai berhadapan
dengan model ekonomi komersil yang berorientasi pasar. Dalam konteks
4
Hasil wawancara dengan ketua adat Bpk Amanah Sangaji, ketua adat desa moiso di kecamatan
Jailolo Selatan 2 september 2011.
5
Hasil wawancara dengan Bpk Mundar, petani di desa moiso kecamatan jailolo Selatan, 3
september 2011.
6
Hasil wawancara dengan Bpk Saleh Hasan dan Ibu Salbiyah Hj.Rauf, petani dan ketua adat di
akeara kecamatan Jailolo Selatan, 7 dan 8 September 2011.
59
semacam ini penerapan nilai-nilai Jojobo dalam beragam aktivitas ekonomi di
komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat
sangat mendukung dan membantu antara antar golongan masyarakat terutama
dalam mendukung dan saling membantu memenuhi kebutuhan ekonomi produktif
dan ekonomi keluarga pada komunitas petani peladangan yang masih
mengandalkan hubungan-hubungan ekonomi sosial tradisional.
Menurut, Koentjaraningrat (1986) nilai budaya suatu masyarakat bisa dan
terus akan berubah. Terjadinya perubahan nilai itu menunjukkan bahwa nilai
budaya tidak muncul begitu saja. Ciri-ciri bahwa komunitas petani perladangan di
Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat masih mempertahankan Jojobo, dapat
terlihat dan ditunjukkan melalui ciri-ciri aktivitas sebagai berikut; 1) Mengundang
warga komunitas petani perladangan dalam rangka hajatan. 2) Melaksanakan
pertemuan keluarga 2 Minggu Sekali, 3) Mengumpulkan dana untuk membantu
warga yang sedang mengalami musibah. Selain itu juga terwujud dalam aktivitas
1) Sifat gotong royong antar warga, 2) Sering melakukan pertemuan keluarga, 3)
Saling berbagi rasa antar warga ketika salah satu warga mendapat musibah atau
mengadakan hajatan.7.
Hal ini memperlihatkan bahwa nilai budaya masyarakat di Kecamatan
Jailolo Selatan berupa keberadaan kelembagaan Jojobo masih ada di komunitas
petani perladangan dicirikan oleh adanya nilai budaya berupa sifat gotong royong
antar warganya, dengan seringnya diadakan pertemuan secara periodik,
mengundang setiap warganya pada saat ada hajatan atau syukuran, melakukan
penggalangan dana pada saat warganya mengalami musibah, serta memberikan
bantuan pada saat ada warganya melakukan hajatan. Kearifan budaya lokal di
Kecamatan Jailolo Selatan ini menunjukkan identitas dan karakter budaya lokal
masih terlihat secara jelas dalam konsep ketahanan budaya lokal berupa
kelembagaan Jojobo dengan mempertahankan nilai kearifan lokal tetap terjaga
dan menjadi nilai yang tetap ada untuk memperkokoh ketahanan budaya lokal di
Kecamatan Jailolo Selatan khususnya, dan umumnya masyarakat desa di Maluku
Utara.
7
Hasil wawancara dengan ibu Hamidah Abdulah dan Ibu Muna Mahdi , tokoh masyarakat Petani
di desa Moiso kecamatan Jailolo Selatan, 9 September 2012.
60
Era globalisasi saat ini, setiap masyarakat tidak akan mampu menolak
keberadaan modernitas kebudayaan sebagai konsekuensi dunia yang mengglobal.
Setiap kebudayaan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan itu
tergantung dari dinamika masyarakatnya. Terjadinya perubahan tatanan budaya
bukan hanya disebabkan oleh pengaruh eksternal, tetapi juga akibat pengaruh
internal karena berubahnya cara pandang masyarakat tradisional terhadap
perubahan kehidupan dan penghidupan mereka sebagai faaktor penyebab
bergesernya keberadaan nilai-nilai kelembagaan Jojobo.
Kebudayaan memang bersifat dinamis, berkembang dan mengalami
pengaruh lingkungan strategisnya yang menjadikan kebudayaan berubah dari
waktu ke waktu. Perubahan itu menyebabkan beberapa unsur kebudayaan
universal mencapai puncak orbitasi dalam kulminasinya dan mempunyai nilai
yang semakin tinggi. Kelembagaan Jojobo inipun mengalami perubahan karena
sifat budaya yang dinamis dan kehidupan mayarakat petani perladangan yang
selalu berkembang. Disamping itu banyaknya pengaruh lingkungan ekonomi
dengan banyaknya para pendatang serta mobilisasi penduduk menyebabkan
terjadinya pergeseran nilai-nilai Jojobo. Perbedaan kelembagaan Jojobo dahulu
dengan kelembagaan Jojobo sekarang adalah jika dahulu Jojobo di kalangan
komunitas petani peladangan adalah merupakan salah satu bentuk pertemuan antar
keluarga dekat saja dan juga salah satu tempat pengumpulan dana atau dalam
bentuk barang untuk diberikan kepada warga yang kebutuhan hidupnya harus di
bantu. Sedangkan Jojobo sekarang sudah lebih memperhatikan kebutuhan pokok
setiap warga dengan mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati bersama Selain
itu, dahulu Jojobo dilakukan masih bersifat sangat sederhana yaitu pertemuan
yang dilakukan masih antar keluarga dekat saja. Sedangkan Jojobo sekarang
sudah lebih modern dan meluas antara warga komunitas petani perladangan yang
memiliki kesamaan budaya.8. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pergeseran
nilai keberadaan kelembagaan Jojobo terutama pada aspek sosial ekonomi yang
semula hanya berada di lingkungan keluarga dekat yang memiliki pertalian darah,
namun saat ini sudah berkembang di lingkungan kekerabatan pada keluarga yang
8
Hasil wawancara dengan Hj. Mudasir Ketua Adat di desa Gam dan dan Bpk Ikram Ketua Adat di
kecamatan Jailolo Selatan, 15 september 2011.
61
lebih besar dan luas, bahkan berkembang pula pada komunitas-komunitas yang
memiliki kesamaan pekerjaan seperti komunitas petani peladangan.
Saat ini, nilai sosial ekonomi kelembagaan Jojobo telah menjadi
kebanggaan dan merupakan jati diri komunitas petani perladangan di Kecamatan
Jailolo Selatan. Nilai-nilai dasar kelembagaan Jojobo yang masih dipertahankan
oleh sebagian komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan dahulu
hingga sekarang ditunjukkan dalam bentuk toleransi kekeluargaan dalam hal
kebutuhan yang mendesak.” “Masih melakukan pertemuan antar warga dengan
suatu kesepakatan dalam bentuk pengumpulan dana kemudian disepakati secara
bersama dalam hal lebih memprioritaskan kebutuhan warga yang dianggap lebih
urgen atau mendesak.9
Nilai-nilai budaya yang masih dipertahankan oleh komunitas petani
perladangan dalam penerapan kelembagaan Jojobo terutama dalam hal nilai
toleransi kekeluargaan dan pertemuan dalam mencapai suatu kesepakatan
bersama. Perkembangan budaya lokal disebabkan oleh banyak faktor baik secara
internal maupun eksternal. Perubahan sosial dalam suatu masyarakat diawali oleh
tahapan perubahan nilai, norma, dan tradisi kehidupan sehari-hari masyarakat
yang bersangkutan, yang juga dapat disebut dengan perubahan nilai sosial.
Berlangsungnya perubahan nilai budaya tersebut disebabkan oleh pertamatama adanya inovasi yang diperkenalkan oleh sekelompok warga masyarakat, baik
yang berupa variasi, inovasi, maupun difusi budaya. Untuk masuk menjadi bagian
dalam sistem budaya masyarakat, nilai-nilai baru yang dimaksud harus melalui
proses penerimaan sosial serta proses seleksi sosial. Nilai-nilai budaya baru yang
mampu memberikan kepuasan atau peningkatan hidup bagi masyarakat baik
secara materi ataupun nonmateri, atau bertahan lama, dan lambat laun akan masuk
menjadi bagian integral dari sistem budaya masyarakat yang bersangkutan.
Terjadinya perubahan nilai sosial ekonomi kelembagaan Jojobo dahulu
dengan sekarang salsah satunya disebabkan oleh terjadi perkembangan jaman
yang tingkat kebutuhan hidup semakin meningkat sehingga perlu adanya
perubahan sistem Jojobo yang lebih relevan dengan kondisi keadaan sekarang.
Selain itu juga perubahan bentuk yang dahulu masih bersifat sederhana dan masih
9
Hasil wawancara dengan Hi. Abdullah dan Ibu Salbiah, ketua Adat di desa Braha Tabadamai
Kecamatan Jailolo Selatan, 13 September 2011.
62
antara keluarga dekat saja, kemudian kesepakatan yang dibangun masih atas dasar
toleransi khususnya untuk kebutuhan-kubutuahan masyarakat yang terdesak.
Sedangkan Jojobo sekarang sudah bersifat semi modern tergantung dari
kubutuhan-kebutuhan masyarakat yang sudah merupakan kebutuhan pokok dan
kesepakatan yang dibuat harus mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati
secara bersama.10
Hal ini memperlihatkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam
kelembagaan Jojobo selalu mengalami pergeseran yang dinamis pada aktivitas
komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Bentuk penerapan
nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas komunitas petani perladangan di Kecamatan
Jailolo Selatan Halmahera Barat masih ditemukan nilai-nilai gotong royong,
saling tolong menolong, kebersamaan, kekeluargaan, kekerabatan, kepercayaan
dan toleransi, serta nilai kejujuran. Hal itu dilakukan oleh komunitas petani
peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat.
Meskipun nilai-nilai Jojobo hingga hari ini sebagian besar masih eksis dan
diterapkan oleh komunitas perladangan di masyarakat di Kecamatan Jailolo
Selatan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa di zaman modern sekarang ini,
memiliki dinamika dan memiliki tantangannya sendiri, sebagaimana banyak
terjadi juga pada nilai-nilai lokal dan tradisional lain di masyarakat adat nusantara.
Diantara tantangan-tantangan baru yang ikut mempengaruhi dan menggeser
makna nilai-nilai Jojobo tersebut adalah budaya dari luar baik yang dibawa serta
oleh para pendatang luar daerah, maupun dari media (massa dan elektronik),
masuknya beragam industri dan perusahaan, teknologi pertanian modern, serta
budaya modern lainnya yang pada akhirnya ikut membentuk budaya yang lebih
individualistik daripada kepentingan komunal dan kelompok.
Beragam pengaruh dan intervensi budaya modern beserta asupan teknologi
baru yang telah hadir menjadi keniscayaan sejarah ini menjadi dilema tersendiri
bagi masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Sebab, di satu
sisi masyarakat petani perladangan masih ingin mempertahankan nilai-nilai
tradisional Jojobo yang merupakan warisan leluhur yang sudah ratusan tahun
teruji menjadi ciri khas budaya lokal, namun disisi lain kebutuhan akan efisiensi,
10
Pengolahan data dari hasil wawancara dengan Bpk Mukhtar S Dulman dan Muzammir Hi.
Adam, tokoh masyarakat di desa Taba damai kecamatan Jailolo Selatan, 14 agustus 2011.
63
kemajuan teknologi dan budaya modern telah mengepung dan memaksa mereka
untuk beradaptasi agar tetap relevan dengan tuntutan zaman. Karena itulah
diperlukan sebuah upaya-upaya pemberdayaan keembagaan yang serius dan
sistematis agar nilai-nilai Jojobo dapat mampu dikontekstualisasikan dan
direlevansikan dengan tantangan zamannya, tanpa harus mengorbankannya demi
modernisasi.
5.3 Ikhtisar
Kelembagaan Jojobo merupakan konstruksi sosial yang diterima dan
disepakati oleh komunitas-komunitas petani perladangan sebagai bentuk
penyesuaian
masyarakat
dengan
lingkungan
material
dan
non-material.
Masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan selanjutnya jadi
semakin tergantung pada nilai dan kekuatan luar desa seperti pasar dan industri
perkotaan yang bersifat ekonomi dan individualis; dimana ukuran yang digunakan
tidak lagi menyangkut kelestarian dan kebersamaan, melainkan eksploitasi dan
sukses finansial semata. Sehingga, masyarakat desa sangat rapuh terhadap faktor
yang berada di luar pengendaliannya.
Nilai luhur yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo berupa terciptanya
hubungan kekeluargaan dan kekerabatan di dalam komunitas petani peladangan.
Nilai luhur kekeluargaan dan kekerabatan ini terefleksikan dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan bahkan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terduga. Oleh
karena itu keberadaan kelembagaan Jojobo diharapkan menjadikan sarana dalam
penerapan budaya lokal sebagai suatu upaya terutama pemenuhan kebutuhan
ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan di
Kecamatan Jailolo Selatan.
Nilai budaya masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan berupa keberadaan
kelembagaan Jojobo masih ada di komunitas petani perladangan dicirikan oleh
adanya nilai budaya berupa sifat gotong royong antar warganya, dengan seringnya
diadakan pertemuan secara periodik, mengundang setiap warganya pada saat ada
hajatan atau syukuran, melakukan penggalangan dana pada saat warganya
mengalami musibah, serta memberikan bantuan pada saat ada warganya
melakukan hajatan.
64
Kelembagaan Jojobo inipun mengalami perubahan karena sifat budaya yang
dinamis dan kehidupan mayarakat petani perladangan yang selalu berkembang.
Disamping itu banyaknya pengaruh lingkungan ekonomi dengan banyaknya para
pendatang serta mobilisasi penduduk menyebabkan terjadinya pergeseran nilainilai Jojobo.
Pergeseran nilai keberadaan kelembagaan Jojobo terutama pada aspek sosial
ekonomi yang semula hanya berada di lingkungan keluarga dekat yang memiliki
pertalian darah, namun saat ini sudah berkembang di lingkungan kekerabatan pada
keluarga yang lebih besar dan luas, bahkan berkembang pula pada komunitaskomunitas yang memiliki kesamaan pekerjaan seperti komunitas petani
perladangan.
Nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo selalu mengalami
pergeseran yang dinamis pada aktivitas komunitas petani peladangan di
Kecamatan Jailolo Selatan. Bentuk penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas
komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat
masih ditemukan nilai-nilai gotong royong, saling tolong menolong, kebersamaan,
kekeluargaan, kekerabatan, dan toleransi, serta nilai kejujuran. Hal itu dilakukan
oleh komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten
Halmahera Barat dengan jalan menerapkan nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam kelembagaan Jojobo.
65
66
BAB VI
PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN JOJOBO
6.1 Upaya Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo
Peran serta masyarakat dalam meningkat efektivitas dalam memenuhi setiap
kebutuhan dalam suatu komunitas masyarakat, maka sebenarnya upaya
pemberdayaan masyarakat telah dijalankan. Upaya pemberdayaan masyarakat
dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi dan produktifitas melalui
pengembangan sumberdaya manusia, penguasaan teknologi dan penguatan
kelembagaan serta perbaikan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial. Upaya ini
memerlukan adanya kerjasama yang sinergis dari berbagai kekuatan yang ada.
Upaya penguatan kelembagaan sosial ekonomi yang berada dalam suatu
komunitas masyarakat dapat dilakukan dengan usaha-usaha mempertahankan
keberadaannya dalam bentuk penguatan nilai-nilai yang terkandung dalam
kelembagaan tersebut.
Penguatan kelembagaan sosial ekonomi ini telah dilakukan pula oleh
sebagian kelompok masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
dengan berbagai upaya termasuk penguatan nilai-nilai yang terkandung dalam
kelembagaan Jojobo. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mempertahankan Jojobo
oleh sebagian komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
Halmahera Barat dilakukan dengan cara sering melakukan silatuhrahmi antar
warga dan selalu memberikan dukungan dan bantuan satu sama lain.11
Masih adanya kelembagaan sosial ekonomi pedesaan Jojobo mampu
memberikan kekuatan bagi petani perladangan (posisi tawar yang tinggi).
Kelembagaan Jojobo dalam hal ini memberikan jawaban atas permasalahan
pemenuhan kebutuhan komunitas petani perladangan yang membutuhkan bantuan
satu sama lain. Penguatan posisi tawar petani perladangan di Kecamatan Jailolo
Selatan melalui kelembagaan Jojobo merupakan suatu kebutuhan yang sangat
mendesak dan mutlak diperlukan terutama bagi komunitas petani perladangan,
agar mereka mampu secara berkelanjutan dalam melaksanakan kegiatan
usahataninya dan juga dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
11
Hasil wawancara dengan Bpk Abu Bakar, petani di kecamatan Jailolo Selatan, 10 Agustus 2011.
67
Diantara usaha untuk tetap mempertahankan dan penguatan nilai-nilai
kelembagaan Jojobo dilakukan dengan usaha yang dilakukan adalah sifat gotong
royong dan toleransi tetap di pertahankan, saling mendukung antara warga dalam
usahanya dengan melihat kondisi yang ada di Jailolo Selatan sebagian besar mata
pencariannya adalah nelayan dan bertani. Dari hasil nelayan dan petani dibuat satu
kesepakatan sebagian keuntungan harus disisipkan sesuai dengan besaran jumlah
yang telah disepakati dan dimasukan dalam bentuk Jojobo.12
Pengembangan masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
melalui kelembagaan Jojobo merupakan suatu upaya pemberdayaan terencana
yang dilakukan secara sadar dan sungguh-sungguh melalui usaha bersama petani
untuk memperbaiki keragaman sistem perekonomian pada komunitas masyarakat
petani perladangan. Arah pemberdayaan petani perladangan akan disesuaikan
dengan kesepakatan yang telah dirumuskan bersama. Dengan partisipasi yang
tinggi terhadap kelembagaan Jojobo, diharapkan rasa ikut memiliki dari
masyarakat atas semua kegiatan kelembagaan Jojobo yang dilaksanakan akan juga
tinggi.
Petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan, jika kegiatan usaha
pertaniannya dilakukan secara individu, maka akan terus berada di pihak yang
lemah karena petani perladangan yang dilakukan secara individu akan mengelola
usaha tani dengan luas garapan kecil dan terpencar serta kepemilikan modal yang
rendah. Sehingga, perlu memperhatikan penguatan kelembagaan Jojobo karena
dengan berkelompok maka petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
tersebut akan lebih kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun permodalannya.
Kelembagaan petani di desa umumnya tidak berjalan dengan baik ini
disebabkan (Zuraida dan Rizal, 1993; Agustian, dkk, 2003; Syahyuti, 2003;
Purwanto, dkk, 2007) karena beberapa hal: Pertama, Kelompok tani pada
umumnya dibentuk berdasarkan kepentingan teknis untuk memudahkan
pengkoordinasian apabila ada kegiatan atau program pemerintah, sehingga lebih
bersifat orientasi program, dan kurang menjamin kemandirian kelompok dan
keberlanjutan kelompok. Kedua, Partisipasi dan kekompakan anggota kelompok
dalam kegiatan kelompok masih relatif rendah, ini tercermin dari tingkat
12
Hasil wawancara dengan Ibu Maria Yahya, tokoh masyarakat di Jailolo Selatan, 20 september
2011.
68
kehadiran anggota dalam pertemuan kelompok rendah (hanya mencapai 50%).
Ketiga, Pengelolaan kegiatan produktif anggota kelompok bersifat individu.
Kelompok sebagai forum kegiatan bersama belum mampu menjadi wadah
pemersatu kegiatan anggota dan pengikat kebutuhan anggota secara bersama,
sehingga kegiatan produktif individu lebih menonjol. Kegiatan atau usaha
produktif anggota kelompok dihadapkan pada masalah kesulitan permodalan,
ketidakstabilan harga dan jalur pemasaran yang terbatas. Keempat, Pembentukan
dan pengembangan kelembagaan tidak menggunakan basis sosial capital setempat
dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan
pemberdayaan.
Kelima,
Pembentukan
dan
pengembangan
kelembagaan
berdasarkan konsep cetak biru (blue print approach) yang seragam. Introduksi
kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan
lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan.
Keenam, Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan pendekatan
yang top down, menyebabkan tidak tumbuhnya partisipasi masyarakat. Ketujuh,
Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat
ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas
orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya agar terjalin kerjasama
yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar mereka meningkat. Untuk
ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah
sulit menjangkaunya. Kedelapan, Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun
pembinaan yang dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus.
Pembinaan kepada kontaktani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak
mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena tidak
ada sosial learning approach. Kesebilan, Pengembangan kelembagaan selalu
menggunakan jalur struktural, dan lemah dari pengembangan aspek kulturalnya.
Struktural organisasi dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti oleh
pengembangan aspek kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri
pengurus dan anggotanya, meskipun wadahnya sudah tersedia.
Kondisi komunitas masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo
Selatan relatif sama dengan kondisi petani perladangan pada umumnya. Namun
keberadaan kelembagaan Jojobo dapat mengatasi permasalahan-permasalahan
69
yang dialami oleh petani perladangan yang menerapkan kelembagaan Jojobo.
Permasalahan yang dihadapi petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
pada umumnya adalah lemah dalam hal permodalan.
Akibatnya tingkat penggunaan saprodi rendah, inefisien skala usaha karena
umumnya berlahan sempit, dan karena terdesak masalah keuangan posisi tawar
ketika panen lemah. Selain itu produk yang dihasilkan petani perladangan relatif
berkualitas rendah, karena umumnya budaya petani perladangan di pedesaan
dalam melakukan praktek pertanian masih berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan keluarga (subsisten), dan belum berorientasi pasar. Selain masalah
internal petani perladangan tersebut, ketersediaan faktor pendukung seperti
infrastruktur, lembaga ekonomi pedesaan, intensitas penyuluhan, dan kebijakan
pemerintah sangat diperlukan, guna mendorong usahatani dan meningkatkan
akses petani terhadap pasar (Saragih, 2002).
Pemberdayaan masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
Halmahera Barat dapat dilakukan dengan adanya aktivitas kelembagaan Jojobo.
Peran serta masyarakat yang meningkat efektivitasnya, sebenarnya merupakan
upaya pemberdayaan masyarakat yang telah dijalankan. Upaya pemberdayaan
masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi dan produktifitas
melalui pengembangan sumberdaya manusia, penguasaan teknologi dan
penguatan kelembagaan serta perbaikan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial.
Sehingga penguatan keberadaan kelembagaan Jojobo dapat dilakukan dengan
dukungan upaya yang memerlukan adanya kerjasama yang sinergis dari berbagai
kekuatan pembangunan yang ada.
Tipe
masyarakat
komunal
merupakan ciri yang universal ketika
ketergantungan antar penduduk tinggi, dan campur tangan pihak luar rendah
sekali. Salah satu cirinya adalah pemilik sumberdaya secara bersama dan
disdistribusi manfaatnya juga bersama-sama. Pada tatanan masyarakat komunal
yang sehat, setiap pengambilan keputusan yang penting dilakukan melalui
musyawarah dengan menjunjung tinggi kebersamaan (solidaritas). Pada masa
sebelum campur tangan pemerintah secara intensif, yaitu lebih tegasnya lagi kirakira masa sebelum “era pembangunan”, maka kelembagaan yang hidup di
masyarakat pedesaan umumnya merupakan kelembagaan yang dibangun sendiri
70
oleh masyarakat sepeti halnya kelembagaan Jojobo. Mereka sendiri yang
memutuskan untuk membentuk kelembagaan yang dibutuhkan mencakup
didalamnya bentuk atau strukturnya, mekanismenya pemilihan anggotanya, pola
kepemimpinannya, aturan main (rule of the game) serta sangsi-sangsinya.
Kelembagaan Jojobo memiliki kriteria dalam pemilihan anggotanya. Faktorfaktor yang menentukan calon peserta dalam kelembagaan Jojobo pada komunitas
petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat, diantaranya
adalah 1) Harus mempunyai ikatan hubungan keluarga, 2) Dapat dipercaya dan
mampu mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati bersama. 3) Mempunyai
usaha dan pekerja keras. Selain itu peserta kelembagaan Jojobo diharuskan
memiliki ikatan keluarga atau kekerabatan, memiliki penghasilan, dan harus patuh
pada aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Faktor yang menentukan untuk
menjadi calon anggota Jojobo adalah 1) Harus adanya usaha sendiri, 2) Termasuk
dalam komunitas dalam keluarga, 3) Harus patuh pada aturan-aturan yang telah
disepakati dalam Jojobo.13
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa hal yang berkaitan dengan aturanaturan yang telah disepakati bersama ini merupakan norma yang berlaku dalam
penyelenggaraan kelembagaan Jojobo. Setiap orang yang terlibat di dalam
kelembagaan Jojobo diikat oleh suatu pola nilai dan norma sebagai pedoman
bersikap dan berperilaku, yang dimantapkan kemudian dengan adanya struktur
yang baku. Struktur merupakan visualisasi dari siapa orang yang terlibat dan
posisionalnya
6.2 Dampak Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo pada Pemenuhan
Kebutuhan Sosial Ekonomi produktif
Setiap orang yang ikut serta dalam kelembagaan Jojobo pastilah memiliki
motivasi yang berbeda-beda, namun secara umum para peserta kelembagaan
Jojobo pada komunitas petani perladangan memiliki motivasi utama terjalinnya
hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang baik antar sesama warga. Motif
utama masyarakat mengikuti Jojobo adalah keinginan terjalinnya hubungan
kekeluargaan dengan baik antar sesama warga, dan kebutuhan hidup dapat
13
Pengolahan data hasil wawancara dengan Hi. Abdullah ketua adat di kecamatan jailolo selatan
dengan Ibu Maria Yahya petani di kecamatan Jailolo Selatan, tanggal 21 dan 23 september 2011.
71
terpenuhi dengan baik. Selain motivasi utama terjalin hubungan yang baik antar
anggota keluarga atau kekerabatan, pemenuhan keamanan terutama berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan yang tidak terduga atau terdesak juga merupakan
motivasi peserta anggota kelembagaan Jojobo. Sebab dengan Jojobo diharapkan
hubungan kekeluargaan yang tidak terputus dan adanya toleransi tetap terjaga
dengan sangat baik serta pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terduga
atau mendesak dapat terpenuhi14.
Masyarakat petani peladangan memiliki kelembagaan adat untuk mengatur,
menata, memperkuat dan menjaga berlangsungnya keharmonisan interaksi antara
masyarakat petani peladangan dengan ekosistem lahan pertanian di sekitarnya.
Perubahan lingkungan eksternal menuntut perubahan operasional kelembagaan,
termasuk di tingkat lokal, perlu mereformasikan diri dan bersinergis agar sesuai
dengan kebutuhan yang selalu mengalami perkembangan. Inilah yang dimaksud
dengan transformasi kelembagaan, yang dilakukan tidak hanya secara internal,
namun juga tatahubungan dari keseluruhan kelembagaan tersebut.
Salah
satu
perubahan
eksternal
yang
mempengaruhi
keberadaan
kelembagaan Jojobo di Kecamatan Jailolo Selatan adalah banyaknya masyarakat
pendatang dari berbagai etnis dan suku yang menetap di Kecamatan Jailolo
Selatan, baik dari kecamatan lain di Kabupaten Halmahera Barat, maupun dari
luar kabupaten atau bahkan dari Luar Provonsi Maluku Utara. Anggapan bahwa
masyarakat pendatang menjadi salah satu peyebab bergesernya nilai dan peran
Jojobo dalam masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
memiliki alasan, seperti yang dikemukakan oleh tokoh masyarakat di Kecamatan
Jailolo Selatan yaitu Bapak Jauhar (Tahun 2011) yang mengatakan bahwa:
“Alasannya masyarakat pendatang sering melakukan perubahan pola pikir
komunitas petani perladangan dengan cara dan sistem yang di pakai lebih
mengutamakan keuntungan tanpa memperdulikan nilai-nilai etika
kekeluargaan sehingga dengan sendirinya peran Jojobo itu sendiri menjadi
berkurang.”
Kecamatan Jailolo Selatan dibanjiri pendatang dari berbagai latar belakang
sosial dan etnis. Keragaman sosial ekonomi serta mata pencaharian mulai dari
14
Data hasil olahan dari wawancara dengan Bpk Burhanuddin tokoh Masyarakat desa Braha
Kecamatan Jailolo Selatan dan Ibu Safa Yahya, petani di desa Braha Kecamatan Jailolo Selatan,
21-22 Agustus 2011.
72
tukang tambal ban, pengusaha warung, pedagang buah, hingga pegawai negeri
sipil maupun pegawai swasta serta karyawan pabrik memerlukan ruang transisi
dan alkulturasi untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan setempat. Adanya
ruang bersama memungkinkan proses ini dapat berlangsung dengan baik.
Kepadatan pemukiman dan terbentuknya ruang bersama baik sebagai fasilitas
keagamaan, pendidikan, dan olahraga mendorong perilaku positif sosial
masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan. Secara alamiah masyarakat komunitas
petani peladangan akan bertahan dengan segala modal yang ada dengan
membangun kekuatan yang sudah ada.
Masyarakat pendatang menjadi peyebab memudar dan bergesernya peran
Jojobo dalam masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
dikatakan pula oleh seorang petani peladangan yaitu Bapak Haji Abas (Tahun
2011) yang mengungkapkan bahwa:
“Alasannya masyarakat pendatang lebih memberikan pemikiran yang lebih
modern dan lebih mengutamakan keuntungan secara individual dan itu
sangat berpengaruh kepada masyarakat asli sehingga peran Jojobo pada
masyarakat menjadi berkurang.”
Kecamatan Jailolo Selatan memiliki ruang bersama sebagai wadah interaksi
para pendatang dan penduduk lokal. Ikatan sosial memotivasi warga untuk
mewujudkan aktivitasnya melalui komunikasi antar warga. Banyaknya aktivitas
mereka maka warga berinisiatif menciptakan ruang bersama baru sebagai simpul
interaksi warga. Interaksi ini akan membentuk budaya baru sebagai bentuk
aktivitas interaksi sosial masyarakat di pedesaan yang berkembang melalui
aktivitas dalam ruang bersama tersebut. Ikatan keruangan yang menjadi dasar
kehidupan bermasyarakat di kampung ditumbuhkan melalui kebersamaan
membuat ruang untuk keperluan bersama. Perubahan sosial budaya masyarakat
akibat perkembangan wilayah pedesaan menyebabkan beberapa budaya lokal
tersisih dan sulit dipertahankan.
Sejumlah pihak menganggap bahwa Jojobo hanya ada pada komunitas
petani peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat. Namun hal ini
disanggah oleh tokoh adat yaitu Bapak Din Haji Yusup (Tahun 2011) yang
mengatakan sebagai berikut:
73
“Tidak benar, karena ada beberapa komunitas masyarakat yang hidup di
wilayah Kecamatan Jailolo Selatan dan mempunyai tradisi Jojobo yang
berbeda-beda antara satu komunitas dengan komunitas yang lain.”
Pendapat ini di dukung pula oleh tokoh masyarakat lainya yaitu Bapak
Matius Jawa (Tahun 2011) yang mengatakan sebagai berikut:
“Tidak benar, karena Kecamatan Jailolo Selatan terdiri dari beberapa
komunitas dan Jojobo yang dilakukan dengan cara yang berbeda sesuai
dengan tradisi dari masing-masing komunitas itu sendiri.”
Hal ini memperlihatkan bahwa Jojobo memiliki karakteristik yang beragam,
namun keberadaan kelembagaan Jojobo pada komunitas petani perladangan di
Kecamatan Jailolo Selatan memiliki kebiasaan atau tradisi tersendiri. Sebab
umumnya di komunitas petani perladangan penunjukan lebih kepada orang yang
di anggap mampu dalam segi finansial, mampu melakukan komunikasi dengan
warga, serta dapat dipercaya. Selain itu biasanya di komunitas petani perladangan
orang yang dituakan atau berpengaruh dan mampu yang memimpin Jojobo;
Adanya hubungan kekeluargaan yang sangat dekat; Orang yang amanah atau
dapat dipercaya.15
Penyelenggaraan kelembagaan Jojobo mempunyai maksud dan tujuan
beragam sehingga berdampak pada pelaksanaan penggalangan dana dan
penentuan waktu bagi hasil. Di samping utamanya menjalin silaturahmi antar
anggota Jojobo, penentuan tempat penyelenggaraan kegiatan Jojobo pada
dasarnya tidak ada tempat-tempat khusus, tetapi tempat penyelenggaraan
pelaksanaan di salah satu rumah anggota atau di rumah ketua kelembagaan Jojobo
sesuai dengan kesepakatan bersama. Pembagian waktu dan penentuan biasanya
atas kesepakatan bersama, dan tempat pelaksanaan Jojobo biasanya di tempat
ketua atau orang yang memimpin Jojobo.” Namun kadangkala penentuan waktu
juga atas kesepakatan bersama misalnya 10 hari harus dilakukan Jojobo, Tempat
yang dilakukan Jojobo dirumah orang yang telah ditunjuk sebagai ketua, dan atau
15
Hasil wawancara dengan Bpk Amanah Sangaji, ketua Adat di desa Tataleka, Kecamatan jailolo
Selatan, Hi. Abdullah Hi. Adam, petani di Kecamatan Jailolo Selatan, tanggal 24-25 Austus 2011.
74
berpindah tempat dari warga yang satu ke warga yang lain secara bergiliran
dengan tujuan agar silaturahmi tetap berjalan dengan baik.16
Bentuk, keadaan, suasana dan ketentuan penyelenggaraan kelembagaan
Jojobo yang sangat beragam ini, dilakukan tergantung dari kesepakatan yang
dilakukan
oleh
seluruh
anggotanya.
Waktu
penyelenggaraan
biasanya
dilaksanakan sesudah selesai masa panen, misalnya perkebunan (seperti panen
kelapa) karena hampir seluruh masyarakat komunitas petani perladangan
hidupnya dari hasil produksi tanah pertanian.
Setiap peserta Jojobo menyadari pembagian waktu, sebab sudah ada dasar
kesepakatan bersama. Sebagaimana diungkapkan oleh ketua adat di desa Dehe
Kecamatan Jailolo Selatan yang menyatakan bahwa pembagian waktu
pelaksanaan Jojobo yang ditentukan atas dasar kesepakatan bersama.
Aktivitas sosial dihimpun menjadi kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan erat
dengan peranan-peranan dari perangkat struktur dapat dinamakan lembaga.
Lembaga dapat dimaknai sebagai sistem terorganisasi dari praktek-praktek dan
peranan-peranan sosial yang muncul di sekitar suatu nilai atau serangkaian nilai,
dan perlengkapan yang muncul untuk mengatur praktek-praktek tersebut serta
menjalankan aturan-aturan. Dengan demikian ”lembaga dalam makna sosiologis”
adalah kontinuitas proses hubungan antar manusia atau antar kelompok sosial
yang berfungsi mengatur dan memelihara keteraturan pola perilaku sesuai dengan
kebutuhan hidupnya.
Kelembagaan sosial sebagai basis pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan
mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan penerima
manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan ekonomi.
Dengan demikian maka masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan harus mampu
meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang dihadapi melalui
pemberdayaan masyarakat desa yang dapat dilakukan melalui kelembagaan
Jojobo sebagai basis pemberdayaan masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan.
16
Hasil wawancara dengan Hi. Mudastir dan Bpk Sedek, ketua adat dan petani di Kecamatan
Jailolo Selatan, 26 Agustus 2011.
75
Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan harus
mampu berperan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terutama dalam
membentuk dan merubah perilaku masyarakat untuk mencapai taraf hidup yang
lebih berkualitas melalui kelembagaan sosial. Pembentukan dan perubahan
perilaku masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan melalui kelembagaan sosial,
baik dalam dimensi sektoral yakni dalam seluruh aspek atau sektor-sektor
kehidupan
manusia;
dimensi
kemasyarakatan
yang
meliputi
jangkauan
kesejahteraan dari materil hingga non materil; dimensi waktu dan kualitas yakni
jangka pendek hingga jangka panjang dan peningkatan kemampuan dan kualitas
untuk pelayanannya, serta dimensi sasaran yakni dapat menjangkau dari seluruh
strata masyarakat. Pemberdayaan masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan tidak
lain adalah memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar mampu
menggali potensi dirinya dan berani bertindak memperbaiki kualitas hidupnya,
melalui cara antara lain dengan pendidikan untuk penyadaran dan pemampuan diri
mereka yang dapat diperoleh dengan keberadaan kelembagaan sosial yang
berkembang pada masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan.
Keberadaan kelembagaan sosial ekonomi Jojobo mampu memenuhi
kebutuhan komunitas petani perladangan di daerah ini. Hal ini terlihat dari
pengaruh langsung maupun tidak langsung pelaksanaan kelembagaan Jojobo yang
berhasil dalam mencapai kesejahteraan bersama pada setiap anggotanya.
Meskipun landasan kelembagaan Jojobo yang selama ini diketahui mampu
memenuhi kebutuhan komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
Halmahera Barat seperti biaya sekolah, pembelian peralatan rumah tangga, namun
mampu juga meringankan komunitas petani peladangan dalam skala lebih besar
seperti dalam hal pembiayaan pembangunan rumah. Keberadaan kelembagaan
Jojobo juga mampu menjadi basis pemberdayaan masyarakat desa pada
komunitas petani perladangan yang berorientasi pada peningkatan produksi sektor
pertanian perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan.
Pembangunan merupakan unsur utama yang membawa serta gejala
perubahan sosial masyarakat. Infrastruktur, birokrasi, teknologi, pengetahuan baru
dan orientasi uang adalah intrumen yang melekat padanya. Perubahan pada
eksistensi kelembagaan sosial Jojobo adalah gejala sosial di masyarakat
76
merepresentasikan perubahan sosial yang tengah berlangsung. Masyarakat di
Kecamatan Jailolo Selatan menunjukkan respon yang terkontaminasi dalam gejala
perubahan dengan menanggung resiko memudarnya kohesi sosial, dan di pihak
lain menunjukkan gejala resistensi terhadap unsur-unsur perubahan tersebut.
Mereka yang menolaknya menunjukkan resistensi terhadap unsur-unsur modern,
mereka memilih mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan
Jojobo dan memilih tetap menjalankan Jojobo.
Hal ini memperlihatkan bahwa keberadaan kelembagaan Jojobo yang
memilih mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam Jojobo dianggapnya
mampu memenuhi kebutuhan komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo
Selatan, namun pada kenyataan nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan
sudah mulai memudar. Hal ini terlihat dari mereka yang terbawa arus perubahan
ditunjukkan oleh masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan yang memperkecil
keberadaan kelembagaan Jojobo hanya dalam aktivitasnya, sehingga berkurang
terutama dalam unsur gotong royong seperti dalam pembangunan rumah yang
mengganti unsur kerja sukarela menjadi lebih komersial.
Kelembagaan
Jojobo
merupakan
simpul
atau
mewakili
gambaran
masyarakat di pedesaan yang hidup didasarkan pada pola kerjasama, tolong
menolong, saling peduli, memiliki nilai, norma dan kepercayaan. Jojobo sebagai
nilai sosial budaya dan pengetahuan lokal yang telah lama tertanam pada
masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan pada umumnya, diharapkan senantiasa
terpelihara dan berkembang menjadi modal yang bernilai harganya dalam proses
pembangunan. Oleh karena itu, semestinya kebijakan pemerintah dalam bentuk
implementasi program pembangunan di desa lebih intensif memanfaatkan
kelembagaan Jojobo sebagai kelembagaan lokal yang ada di masyarakat.
Melembagakan nilai-nilai Jojobo dalam setiap kebijakan dan program pemerintah
daerah merupakan suatu langkah startegis untuk memberdayakan masyarakat.
Internalisasi nilai-nilai Jojobo pada setiap aspek kehidupan merupakan wujud dari
upaya untuk memelihara, mempertahankan dan memperkuat kelembagaan Jojobo.
77
6.3 Ikhtisar
Upaya pemberdayaan kelembagaan Jojobo dipengaruhi oleh perubahan
lingkungan eksternal (sosial, ekonomi, politik) nasional dan di tingkat lokal.
Sehingga perlu upaya mereformasikan diri dan bersinergis agar sesuai dengan
kebutuhan kebaruan yang selalu mengalami perkembangan. Inilah yang dimaksud
dengan transformasi kelembagaan, yang dilakukan tidak hanya secara internal,
namun juga tatahubungan dari keseluruhan kelembagaan tersebut. Salah satu
perubahan eksternal yang mempengaruhi keberadaan kelembagaan Jojobo di
Kecamatan Jailolo Selatan adalah banyaknya masyarakat pendatang dari berbagai
etnis dan suku yang menetap di Kecamatan Jailolo Selatan, baik dari kecamatan
lain di Kabupaten Halmahera Barat, maupun dari luar kabupaten atau bahkan dari
Luar Provonsi Maluku Utara.
Penyelenggaraan kelembagaan Jojobo mempunyai maksud dan tujuan
beragam sehingga berdampak pada pelaksanaan penggalangan dana dan
penentuan waktu bagi hasil. Di samping utamanya menjalin silaturahmi antar
anggota Jojobo, penentuan tempat penyelenggaraan kegiatan Jojobo pada
dasarnya tidak ada tempat-tempat khusus, tetapi tempat penyelenggaraan
pelaksanaan di salah satu rumah anggota atau di rumah ketua kelembagaan Jojobo
sesuai dengan kesepakatan bersama.
Usaha pemberdayaan kelembagaan Jojobo menghasilkan bergam program
pemberdayaan yang dilakukan oleh masyarakat petani perladangan di Kecamatan
Jailolo Selatan dalam upaya penguatan nilai-nilai yang terkandung dalam
kelembagaan Jojobo. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mempertahankan Jojobo
oleh sebagian komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo dikemukakan
oleh beberapa narasumber di lapangan. Masih adanya kelembagaan sosial
ekonomi pedesaan Jojobo mampu memberikan kekuatan bagi petani perladangan
(posisi tawar yang tinggi).
Kelembagaan Jojobo dalam hal ini memberikan jawaban atas permasalahan
pemenuhan kebutuhan komunitas petani perladangan yang membutuhkan bantuan
satu sama lain. Penguatan posisi tawar petani peladangan di Kecamatan Jailolo
Selatan melalui kelembagaan Jojobo merupakan suatu kebutuhan yang sangat
mendesak dan mutlak diperlukan terutama bagi komunitas petani peladangan,
78
agar mereka mampu secara berkelanjutan dalam melaksanakan kegiatan
usahataninya dan upaya meningkatkan kesejahteraan.
Dasar dari upaya penguatan kelembagaan Jojobo dikembalikan pada
inisitaif yang dibangun sendiri oleh masyarakat, meliputi keputusan penyususnan
bentuk
atau
strukturnya,
mekanismenya
pemilihan
anggotanya,
pola
kepemimpinannya, aturan main (rule of the game) serta sangsi-sangsinya. Satu hal
yang
telah
disepakati
bersama
sebagai
norma
yang
berlaku
dalam
penyelenggaraan kelembagaan Jojobo. Faktor-faktor yang menentukan calon
peserta dalam kelembagaan Jojobo pada komunitas petani perladangan, yaitu; 1)
Harus mempunyai ikatan hubungan keluarga, 2) Dapat dipercaya dan mampu
mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati bersama, dan 3) Mempunyai usaha
dan pekerja keras.
Salah satu dampak dari perubahan eksternal yang mempengaruhi
keberadaan kelembagaan Jojobo adalah banyaknya masyarakat pendatang dari
berbagai etnis dan suku yang menetap di Kecamatan Jailolo Selatan, baik dari
kecamatan lain di Kabupaten Halmahera Barat, maupun dari luar kabupaten atau
bahkan dari luar Provonsi Maluku Utara yang membawa serta adat dan tradisi
mereka sendiri, sehingga ikut mempengaruhi pemudaran nilai-nilai Jojobo. Sebab,
salah satu alasan yang dikemukakan tokoh msyarakat bahwa para pendatang
sering melakukan perubahan pola pikir komunitas petani perladangan dengan cara
dan sistem yang di pakai lebih mengutamakan keuntungan tanpa memperdulikan
nilai-nilai etika kekeluargaan sehingga dengan sendirinya peran Jojobo itu sendiri
menjadi berkurang.
Jojobo sebagai salah satu kelembagaan sosial berbasis pemberdayaan
masyaraka, mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan
penerima manfaat dari seluruh proses mencari solusi dan meraih hasil
pembangunan ekonomi. Inilah semangat sari upaya pemberdayaan kelembagaan
Jojobo.
79
80
BAB VII
DAMPAK KELEMBAGAAN JOJOBO TERHADAP SOLIDARITAS
SOSIAL
7.1 Kelembagaan Jojobo sebagai Wadah Pemenuhan Komitmen
Lembaga mengatur cara-cara memenuhi kebutuhan manusia yang penting,
oleh karena itu dalam setiap kehidupan masyarakat terdapat lembaga-lembaga
yang berfungsi mengatur berbagai kebutuhan manusia dalam hidupnya. Bertrand
(1980) menjelaskan bahwa institusi-institusi sosial pada hakekatnya merupakan
kumpulan dari norma-norma (struktur-struktur sosial) yang diciptakan untuk dapat
melaksanakan suatu fungsi masyarakat. Lembaga-lembaga yang menyangkut
pengaturan kebutuhan manusia dalam masyarakat secara umum disebut dengan
lembaga sosial.
Kepatuhan dan kontinuitas merupakan suatu hal yang wajib dilaksanakan
oleh para peserta Jojobo. Faktor yang menyebabkan peserta Jojobo mentaati
ketentuan yang sudah ditetapkan dikemukakan oleh tokoh adat yaitu Bapak Din
Haji Yusup (Tahun 2011) yang mengatakan bahwa:
“Faktor utamanya adalah komitmen yang sudah dibangun secara bersamasama dan saling menguntungkan satu sama lain”.
Kebutuhan manusia yang paling mendasar dalam kehidupan sehari-hari
dapat dibagi dalam kategori umum; primer, sekunder dan tersier. Mulai dari
kebutuhan pangan, sandang, papan, hingga hiburan atau rekreasi, melanjutkan
keturunan atau perkawinan, disamping kebutuhan untuk memenuhi perasaan akan
keamanan, ketenteraman serta pemenuhan kebutuhan spiritual dan nilai-nilai
sosial lainnya yang dapat menjadi dasar bagi hubungan sosial-masyarakat.
Dengan terpenuhinya kebutuhan nilai sosial dimungkinkan terciptanya ketertiban
dan keselarasan pergaulan dalam masyarakat. Faktor yang menyebabkan
masyarakat melaksanakan Jojobo dengan mentaati aturan berupa komitmen yang
sudah ditetapkan. Diantaranya oleh beberapa faktor berikut, 1) Adanya sifat
81
toleransi atau gotong royong antar perserta, 2) Adanya keterkaitan hubungan
kekeluargaan, 3) Komitmen terhadap ketentuan yang sudah ditetapkan17.
Lembaga tradisional Jojobo ini mengajarkan tentang “kearifan masyarakat”
terhadap kelestarian budaya lokal, dan berbagai bentuk pantangan adat, perlu terus
dipertahankan, bahkan jika masih diperlukan, dapat digali kembali lembagalembaga tradisional yang efektif sebagai pengendali dalam pemenuhan kebutuhan
komunitas petani peladangan. Satu hal yang mungkin perlu mendapatkan
perhatian berupa terjadinya proses transisi dari model kelembagaan Jojobo lama
ke model kelembagaan Jojobo baru. Lembaga-lembaga Jojobo yang berkembang
kemudian, jika tidak disertai dengan spesialisasi unsur-unsur yang terdapat dalam
Jojobo untuk mengakomodir kesepakatan secara bersama. Artinya dalam Jojobo
memang perlu spesialisasi dalam Jojobo karena aturan-aturan yang telah di
tetapkan sudah sangat jelas dan telah menjadi salah satu acuan bagi warga
komunitas petani perladangan dimana usulan tiap peserta komunitas petani
perladangan sudah terakomodir18.
Berkaitan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam Jojobo ini dikemukakan
pula oleh Tokoh Masyarakat yaitu Bapak Samar Kandi Kuilo (2011) yang
mengatakan bahwa:
Kepatuhan komunitas masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo
Selatan pada umumnya mendorong komitmen terhadap ketentuan yang sudah
ditetapkan pada pelaksanaan kelembagaan Jojobo. Keberadaan kelembagaan
tradisional Jojobo ini digunakan sebagai sarana komunikasi yang efektif antar
warga masyarakat petani perladangan. Kelompok-kelompok yang menerapkan
kelembagaan Jojobo biasanya diikat dengan sistem menyerupai arisan antar warga
sebagai sarana berkumpulnya warga untuk mengikatkan diri dalam kesatuan
“solidaritas sosial” yang kuat yang terbentuk dengan adanya sifat toleransi dan
gotong royong. Dalam kelompok-kelompok tradisional seperti inilah masyarakat
petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan memiliki kesadaran kolektif
sebagai satu kesatuan komunitas yang utuh.
17
Hasil wawancara dengan Bpk Amanah Sangaji, Ketua Adat di Jailollo Selatan, 27 september
2011.
18
Diolah dari hasil wawancara dengan Ibu Salbiah Hj. Rauf, Ketua Adat Desa Rio Ribati dan Bpk
Samar Kandi, Kuilo, tokoh masarakkat Rio Ribati, Kecamatan Jailolo Selatan, 28 Agustus 2011.
82
Motivasi dalam penyelenggaraan kelembagaan Jojobo yang disampaikan
oleh pemimpin Jojobo akan menjadi sangat efektif diterima oleh para anggotanya,
dan merupakan salah satu upaya bentuk kepedulian komunitas masyarakat petani
perladangan terhadap pelestarian kelembagaan Jojobo. Meskipun kegiatan
kelembagaan tradisional Jojobo tersebut aktifitasnya relatif tinggi, tetapi belum
dimanfaatkan secara efektif. Pemanfaatan tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap para pemimpin informal kelembagaan Jojobo, sebenarnya dapat
dijadikan model kemitraan antara lembaga tradisional di Kecamatan Jailolo
Selatan.
Aktivitas masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan dalam bentuk
kelembagaan Jojobo dapat dimanfaatkan sebagai sarana yang efektif untuk
meningatkan komitmen yang tinggi terhadap lembaga Jojobo yang berfungsi
sebagai sarana komunikasi serta diskusi antar warga, yang lebih bernuansa
egalitarian. Kerjasama yang efektif dan efisien dalam kelembagaan Jojobo yang
ada, diharapkan akan mampu “menjembatani kesenjangan kepentingan” yang
selama ini terjadi dalam komunitas masyarakat petani perladangan di Kecamatan
Jailolo Selatan.
7.2 Solidaritas dalam Kelembagaan Jojobo
Kelembagaan merupakan social form ibarat organ-organ dalam tubuh
manusia yang hidup dalam masyarakat. Kata “kelembagaan” menunjuk kepada
sesuatu yang bersifat mantap (established) yang hidup (constitued) di dalam
masyarakat. Suatu kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku (ways) yang
hidup pada suatu kelompok orang. Ia merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan
berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan
dalam sistem sosial tradisional dan modern, atau bisa berbentuk tradisional dan
modern; dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial. Hal ini terlihat
pula dalam kelembagaan sosial ekonomi Jojobo yang bersifat mantap yang hidup
di Maluku Utara, khususnya pada komunitas masyarakat petani perladangan di
Kecamatan Jailolo Selatan dengan mengembangkan solidaritas kerjasama.
Kesepakatan yang solid akan membawa rasa solidaritas terhadap para
pelaku kerjasama dalam kelembagaan Jojobo ini. Akan muncul ‘sense of
83
belonging’ di antara para pelaku kerjasama dalam kelembagaan Jojobo yang
kemudian akan melahirkan sikap untuk saling mendukung, saling percaya, dan
saling membantu satu sama lain. Akan muncul satu tujuan bersama yang
kemudian menjadi pedoman bagi para pelaku kerjasama dalam kelembagaan
Jojobo tersebut untuk mencapai keseahteraan bersama.
Kerjasama yang solid dibangun dari sikap dan sifat solider dari para pelaku
kerjasama. Solidaritas antara pelaku akan menciptakan hubungan yang solid, atau
kuat, kukuh dan padat. Dengan begitu kerjasama pun dapat memberikan hasil
seperti yang diharapkan oleh pihak-pihak yang bekerjasama dalam suatu
kelembagaan sosial ekonomi. Faktor-faktor tersebut adalah mengumpulkan dana
ataupun barang-barang sesuai dengan kebutuhan dari warga yang mendesak, dan
juga menyumbangkan tenaga untuk membantu warga yang membutuhkan19.
Salah satu tujuan utama pembentukan kelembagaan Jojobo yaitu berupa
penggalangan dana untuk disalurkan kepada anggota yang sangat membutuhkan.
Selain itu kelembagaan Jojobo tidak hanya berorientasi pada bantuan dalam
bentuk finansial atau uang, namun juga bantuan dalam bentuk material atau
barang dan bahkan dapat pula berupa bantuan dalam bentuk tenaga. Penjelasan ini
memperlihatkan bahwa peran keberadaan kelembagaan Jojobo, sangat membantu
terwujudnya rasa solidaritas dan kesetiakawanan yang diperoleh dari kerjasama
antar para anggotanya. Kemandirian merupakan kebutuhan siapapun dan
berprofesi apapun di negeri ini. Mandiri akan melahirkan kebersamaan, karena
tidak mungkin seseorang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa peran orang
lain. Mandiri akan melahirkan pemberdayaan setiap diri untuk bisa melakukan
produktifitas pada bidangnya masing-masing sehingga ia dibutuhkan orang lain.
Jika setiap individu dalam suatu komunitas masyarakat bisa mandiri, maka
wilayah keberadaan komunitas masyarakat akan mampu mensejahterakan
masyarakatnya tanpa harus bergantung pada wilayah lainnya. Kemandirian inilah
yang dapat diperoleh dari keberadaan Jojobo pada komunitas petani peladangan di
Kecamatan Jailolo Selatan dalam memberdayakan masyarakatnya.
Diantara hal lain yang menjadi sebab kuatnya peran Jojobo dalam
memberdayakan masyarakat komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo
19
Hasil wawancara dengan Bpk Farid, petani di Desa Tabadamai, Kecamatan Jailolo Selatan,
tanggal 29 Agustus 2011.
84
Selatan Halmahera Barat adalah adanya sifat toleransi yang sangat tinggi terhadap
sesama warga dan mampu memahami kebutuhan setiap warga.20
Hasil wawancara ini memperlihatkan adanya semangat dan implementasi
dari kemauan untuk saling bekerja sama dalam upaya memenuhi kepentingan
sosial dan kepentingan individu atau personal telah termanivestasikan dalam
berbagai bentuk aktivitas bersama yang secara umum termasuk dalam
kelembagaan Jojobo, yang dikenal dengan kegiatan "saling tolong-menolong",
atau secara luas terwadahi dalam tradisi "gotong-royong".
Tradisi gotong-royong memiliki aturan main yang disepakati bersama
(norma), menghargai prinsip timbal-balik dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dan dalam waktu tertentu akan menerima kompensasi atau
reward sebagai suatu bentuk dari sistem resiprositas (reciprocity), ada saling
kepercayaan antarpelaku bahwa masing-masing akan mematuhi semua bentuk
aturan main yang telah disepakati (trust), serta kegiatan kerja sama tersebut diikat
kuat oleh hubungan-hubungan spesifik antara lain mencakup kekerabatan
(kinship), pertetanggaan (neighborship) dan pertemanan (friendship), sehingga
semakin menguatkan jaringan antarpelaku (network).
Secara nyata, tradisi gotong-royong telah melembaga dalam kelembagaan
Jojobo pada komunitas petani perladangan telah mengakar kuat. Ini diwujudkan
dalam berbagai aktivitas keseharian masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan.
Praktek gotong-royong, walau cenderung mengalami penurunan, baik dari sudut
pandang lingkup aktivitas maupun jumlah orang yang terlibat, secara umum
masih mendapatkan apresiasi positif dari komunitas masyarakat petani peladangan
di Kecamatan Jailolo Selatan. Hal ini tampaknya juga dipengaruhi oleh salah satu
karakteristik khusus, yaitu keeratan hubungan sosial yang dimiliki oleh komunitas
masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan.
Orientasi komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
Halmahera Barat untuk mengikuti Jojobo dikemukakan oleh salah seorang petani
yaitu Bapak No Haji Saleh, diantara orentasinya adalah: 1) Kebutuhan-Kebutuhan
hidup sehari hari bisa terpenuhi, 2) Terjalinnya hubungan kekeluarga menjadi
lebih baik, 3) Saling mendukung sesama warga.
20
Hasil wawancara dengan Bpk Hi. Abdullah Ketua Adat dan Bpk Burhanudin Tokoh masyarakat
di kecamatan Jailolo Selatan, 27 september 2011.
85
Menggalang kerjasama dan solidaritas sosial sesungguhnya merupakan sifat
alamiah yang dimiliki manusia demi survival. Solidaritas yang dapat diartikan
sebagai berkumpul bersama secara setara untuk memenuhi kepentingan dan
kebutuhan bersama. Bentuk-bentuk perkumpulan yang tidak didasarkan pada
solidaritas akan menghancurkan individualitas yang tunduk kepadanya. Hal ini
ditunjukkan pula oleh petani yaitu Bapak IHB (2011) yang menyatakan bahwa
orientasinya mengikuti kelembagaan Jojobo berkaitan dengan solidaritas dan
pengakuan mengenai kepentingan bersama, yang bertujuan untuk, 1) Tidak
terputusnya tali persaudaraan dan kekeluargaan, 2) Saling membantu antar warga,
3) Mempermudah kebutuhan-kebutuhan yang mendesak.
Solidaritas adalah faktor utama dalam merekatkan hubungan sosial dalam
sebuah komunitas. Karena rasa solidaritaslah masyarakat bisa menyatukan
persepsinya tentang hal yang ingin mereka perjuangkan. Merujuk pada teori Emile
Durkheim (1973), solidaritas itu terdiri dari dua jenis, yaitu mechanical solidarity
dan organic solidarity. Perbedaan kedua jenis solidaritas ini adalah sumber dari
solidaritas mereka, atau hal apa yang telah menyatukan mereka dalam bentuk
kerjasama. Kerjasama dalam suatu kelembagaan membutuhkan dukungan dan
partisipasi dari para pelakunya.
Konsep partisipasi menurut Mikkelsen (Susiana, 2002) dapat diartikan
sebagai alat untuk mengembangkan diri sekaligus tujuan akhir. Keduanya
merupakan satu kesatuan dan dalam kenyataan sering hadir pada saat yang sama
meskipun status, strategi serta pendekatan metodologinya berbeda. Partisipasi
akan menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta
dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat banyak. Partisipasi juga
menghasilkan pemberdayaan, di mana setiap orang berhak menyatakan pendapat
dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Dalam jaringan
sosial, partisipasi memegang peranan yang cukup penting, karena kerjasama yang
ada dalam komunitas dapat terjadi karena adanya partisipasi individu-individu.
Para peserta Jojobo memiliki dorongan untuk selalu berpartisipasi yaitu
dengan cara saling membantu ketika salah satu warga mengalami musibah atau
membuat hajatan baik bantuan secara materi maupun tenaga. Dan juga saling
membantu pada saat salah satu warga mendapat musibah atau membuat hajatan,
86
serta menyumbangkan dana untuk warga yang membutuhkan. Hal inilah yang
sering terjadi di dalam keseharian masyarakat dalam mempraktekkan nilai-nilai
Jojobo.
Memahami prinsip partisipasi memposisikan solidaritas yang berarti suatu
upaya untuk meningkatkan partisipasi sesama dalam kesejahteraan umum. Atau,
dengan kata lain, solidaritas adalah usaha mewujudkan keadilan sosial. Ukuran
keadilan sosial adalah terwujudnya partisipasi dua arah dalam kesejahteraan
umum bagi setiap individu dan kelompok. Solidaritas dalam kelembagaan Jojobo
adalah bagaimana kebutuhan anggotanya dapat terpenuhi. Arah peningkatan
partisipasi dalam kelembagaan Jojobo mampu mendorong gerakan-gerakan
solidaritas dan keadilan sosial.
Dorongan
komunitas
petani
perladangan
untuk
menyeleggarakan
kelembagaan Jojobo berupa memperoleh manfaat dalam untuk pemenuhan
kebutuhan keluarganya. Manfaat dalam keluarga adalah saling mengenal antara
satu keluarga dengan keluarga yang lain dan kebutuhan hidup sehari-hari dan
kebutuhan yang tidak terduga bisa terpenuhi. Hal ini dipertegas lagi oleh seorang
petani yaitu Bapak Iksan Tuada (Petani) yang mengatakan bahwa: Manfaat dalam
keluarganya adalah 1) Terpenuhinya kebutuhan tidak terduga, 2) Kebutuhan hidup
keluarga sehari-hari bisa terpenuhi, 3) Hubungan silatuhmi antar keluarga tetap
berjalan dengan baik. dengan demikian nampak bahwa, selain manfaat dari aspek
ekonomi berupa pemenuhan kebutuhan sehari-hari, juga berkaitan dengan manfaat
keamanan jika terjadi kebutuhan yang tidak terduga. Selain faktor ekonomi
dorongan komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan juga
menghendaki manfaat sosial berupa hubungan silaturahmi yang akan terjaga dan
berjalan dengan baik. Manfaat ekonomi yang diperoleh dari keikutsertaannya
dalam Kelembagaan Jojobo dikemukakan oleh seorang petani yaitu Ibu Alwia
(Tahun 2011) yang mengatakan bahwa dengan memakai kelembagaan Jojobo
pemenuhan kebutuhan ekonominya menjadi lebih baik dan pendapatan menjadi
lebih meningkat.
Keberadaan kelembagaan Jojobo pada komunitas masyarakat petani
pedesaan ini memperlihatkan tipe masyarakat komunal merupakan ciri yang
universal ketika ketergantungan antar penduduk tinggi, dan campur tangan pihak
87
luar rendah sekali. Tipe masyarakat seperti ini ditemui pula di Kecamatan Jailolo
Selatan. Salah satu cirinya adalah kepemilikan sumber daya secara bersama dan
distribusi manfaatnya juga bersama-sama, serta berbagai aktivitas kerja bersama
yang dikenal dengan istilah gotong-royong. Seluruh keputusan-keputusan yang
penting dilakukan dengan cara musyawarah-mufakat atas prinsip kebersamaan
dalam kesetaraan.
Kelembagaan Jojobo merupakan kelembagaan yang dibangun sendiri oleh
masyarakat. Mereka sendiri yang memutuskan untuk membentuk suatu
kelembagaan, bagaimana bentuk strukturnya, bagaimana pemilihan anggotanya,
pola kepemimpinannya, serta aturan-aturan beserta sanksi-sanksinya. Sanksi yang
banyak diterapkan pada waktu itu berupa sanksi adat bagi anggota komunitas
yang melanggar.
Kelembagaan Jojobo ini adanya saling keterkaitan antar bagiannya,
penetapan keputusan yang demokratis, serta luas jangkauan yang terbatas. Khusus
untuk aktifitas ekonomi tidak memiliki keleluasaan khusus namun sudah tercakup
di dalam kelembagaan yang terbentuk. Kelembagaan Jojobo belum cukup
berkembang, dan ketergantungan atau pertukaran barang antar wilayah masih
rendah. Pertukaran barang lebih banyak terjadi antar warga dalam komunitas yang
relatif terbatas.
Memperhatikan kondisi saat ini, yang dapat mempercepat terjadinya proses
penerapan Jojobo sebagai modal sosial yang dapat memberdayakan masyarakat
komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat
dikemukakan oleh Ketua adat yaitu Bapak Haji Mudasir (Tahun 2011) yang
mengatakan bahwa terdapat hubungan sosial yang terjalin dengan baik,
menanamkan sikap gotong royong dan toleransi kepada setiap warga.
Hal ini
juga didukung oleh Tokoh masyarakat yaitu Bapak Jauhar (Tahun 2011) yang
mengatakan bahwa hubungan-hubungan yang terjalin msih bersifat eksklusif,
hanya pada sekelompok golongannya sendiri. Sebab, terdapat; 1) Adanya
hubungan sosial antar warga, 2) Tidak terputusnya hubungan kekeluargaan, 3)
Saling membantu antar sesama warga, 4) Kebutuhan warga terpenuhi. Namun
semua hubungan itu lebih banyak hanya pada golongan mereka saja. Baik yang
terikat karena kekeluargaan maupun etnis dan budaya.
88
Gotong royong merupakan suatu bentuk saling membantu atau tolong
menolong yang berlaku di daerah pedesaan Indonesia. Gotong royong sebagai
bentuk kerjasama antarindividu dan antarkelompok membentuk status norma
saling percaya untuk melakukan kerjasama dalam menangani permasalahan yang
menjadi kepentingan bersama. Bentuk kerjasama gotong royong ini merupakan
salah satu bentuk solidaritas sosial. Guna memelihara nilai-nilai solidaritas sosial
dan partisipasi masyarakat secara sukarela dalam pembangunan di era sekarang
ini, maka perlu ditumbuhkan dari interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan
kultural Sehingga memunculkan kebersamaan komunitas yang unsur-unsurnya
meliputi: seperasaan, sepenanggungan, dan saling butuh. Pada akhirnya
menumbuhkan kembali solidaritas sosial.
Saran-saran yang diajukan agar Jojobo lebih berperan dalam meningkatkan
perekonomian masyarakat pada komunitas petani perladangan di Kecamatan
Jailolo Selatan Halmahera Barat dikemukakan oleh Tokoh Adat yaitu Bapak Din
Haji Yusup (Tahun 2011) yang mengatakan perlu untuk mengembangkan Jojobo,
ke arah yang lebih modern.
“Perlu adanya perubahan Jojobo yang lebih modern dan tetap
mempertahankan nilai-nilai tradisi yang telah ada dalam Jojobo, serta
meningkatkan peran Jojobo untuk kebutuhan masyarakat sehingga dapat
meningkatkan perekonomian komunitas petani perladangan.”
Namun perlu juga Jojobo untuk tetap dipertahankan karena terbukti mampu
lebih berperan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Maka mengikuti
pendapat seorang Tokoh Masyarakat yaitu Bapak Muzamhir Haji Adam SH
(Tahun 2011) mengatakan, maka perlu; 1) tetap mempertahankan Jojobo sebagai
salah satu tradisi yang sudah dilakukan sejak jaman dulu. 2) Lebih meningkatkan
peran Jojobo untuk kebutuhan masyarakat”
Hal ini juga ditambahkan agar Jojobo lebih berperan dalam meningkatkan
perekonomian masyarakat oleh petani-petani yaitu Bapak Mahfud, Bapak Yamin
dan Bapak Yusran Haji Halek, Ibu Hasna dan Ibu Nurain yang mengatakan bahwa
“Perlu
adanya
perubahan Jojobo yang lebih modern dan lebih
menguntungkan untuk meningkatkan peerekonomian masyarakat pada
komunitas petani perladangan. “
89
Hal di atas memperlihatkan bahwa tiap kelembagaan memiliki tujuan
tertentu, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya merniliki pola perilaku
tertentu serta nilai-nilai dan norma yang sudah disepakati yang sifatnya khas.
Kelembagaan merupakan kelompok-kelompok sosial yang dijalankan oleh
masyarakat. Tiap kelembagaan dibangun untuk satu fungsi tertentu, karena itu
dikenal kelembagaan pendidikan, kelembagaan-kelembagaan di bidang ekonomi,
agama, dan lain-lain. Pada masyarakat berisi kelembagaan-kelembagaan. Semua
manusia pasti masuk dalam kelembagaan. Tidak satu, tapi sekaligus dalam banyak
kelembagaan, mulai dari di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di tempat ibadah,
dan lain-lain. Di kalangan agen-agen pembangunan pedesaan dan pertanian,
kelembagaan umumnya dipersempit terutama hanya menjadi kelembagaan
kelompok tani, koperasi. subak, kelompok petani peserta program, kelompok
pengrajin, dan lain-lain yang sejenis, termasuk kelembagaan sosial ekonomi
Jojobo.
Penelitian ini menemukan arah tantangan pemberdayaan masyarakat desa
melalui keberadaan kelembagaan sosial yaitu kelembagaan Jojobo sebagai basis
pemberdayaan pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan.
Pentingnya peranserta dan pemberdayaan masyarakat di bidang sosial ekonomi,
penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas komunitas petani perladangan di
Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat, kemampuan kelembagaan Jojobo
dalam memenuhi kebutuhan komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo
Selatan Halmahera Barat, dan peran kelembagaan sosial ekonomi Jojobo dalam
mengembangkan solidaritas kerjasama antar warga masyarakat desa di Maluku
Utara; merupakan fokus dalam kajian kelembagaan Jojobo sebagai basis
pemberdayaan masyarakat desa di Maluku Utara yang merupakan studi yang
dilakukan pada Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan
Halmahera Barat.
7.3 Ikhtisar
Salah satu fungsi kelembagaan mengatur berbagai kebutuhan manusia
dalam hidupnya, sebab institusi-institusi sosial pada hakekatnya merupakan
kumpulan dari norma-norma (struktur-struktur sosial) yang diciptakan untuk dapat
90
melaksanakan suatu fungsi masyarakat. Jojobo sebagi kelembagaan sosial juga
mengikat dan menciptakan kepatuhan dan kontinuitas yang wajib dilaksanakan
oleh para pelaksana Jojobo. Dampaknya adalah menguatnya solidaritas sosial
masyarakat. Sebab, kelembagaan Jojobo mengandung nilai “kearifan masyarakat”
terhadap kelestarian budaya lokal, dan berbagai bentuk pantangan adat, perlu terus
dipertahankan, bahkan jika masih diperlukan, dapat digali kembali lembagalembaga tradisional yang efektif sebagai pengendali dalam pemenuhan kebutuhan
komunitas petani perladangan. Satu hal yang mungkin perlu mendapatkan
perhatian berupa terjadinya proses transisi dari model kelembagaan Jojobo lama
ke model kelembagaan Jojobo baru.
Kepatuhan komunitas masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo
Selatan pada umumnya mendorong komitmen terhadap ketentuan yang sudah
ditetapkan pada pelaksanaan kelembagaan Jojobo. Keberadaan kelembagaan
tradisional Jojobo ini digunakan sebagai sarana komunikasi yang efektif antar
warga masyarakat petani perladangan yang pada gilirannya ikut meningkatkan
solidaritas sosial. Kelompok-kelompok yang menerapkan kelembagaan Jojobo
biasanya diikat dengan sistem menyerupai arisan antar warga sebagai sarana
berkumpulnya warga untuk mengikatkan diri dalam kesatuan “solidaritas sosial”
yang kuat yang terbentuk dengan adanya sifat toleransi dan gotong royong.
Kerjasama yang terjalin dalam kelembagaan Jojobo, sikap dan sifat solider
ini jelas dibutuhkan karena inilah yang menentukan keberlanjutan eksistensi
kerjasama tersebut. Jika suatu kerjasama tidak disertai sikap solider diantara
pelaku kerjasamanya, maka akan timbul konflik. Inilah yang tejadi pada
kelembagaan Jojobo. Kelembagaan Jojobo ini dibentuk sesuai dengan kebutuhan
para pesertanya, sehingga kelembagaan ini dituntut solid baik dari segi pesertanya
maupun dari segi aturannya. Aturan kelembagaan Jojobo relatif mudah untuk
diwujudkan karena kelembagaan Jojobo mengharuskan adanya suara bulat dalam
musyawarah untuk memperoleh mufakat. Ketika ada satu anggotanya tidak
berkenan, maka kelembagaan Jojobo tidak akan terbentuk, sehingga kelembagaan
Jojobo terbentuk oleh ketetapan yang diperoleh dari hasil musyawarah yang
menghasilkan kesepakatan bersama, sebagai suatu kesatuan kesolidan anggotanya.
91
Salah satu tujuan utama pembentukan kelembagaan Jojobo yaitu berupa
penggalangan dana untuk disalurkan kepada anggota yang sangat membutuhkan.
Selain itu kelembagaan Jojobo tidak hanya berorientasi pada bantuan dalam
bentuk finansial atau uang, namun juga bantuan dalam bentuk material atau
barang dan bahkan dapat pula berupa bantuan dalam bentuk tenaga yang
berupakan solidaritas anggota dalam membantu anggota lainnya untuk memenuhi
kebutuhannya. Semangat dan implementasi dari kemauan untuk saling bekerja
sama dalam upaya memenuhi kepentingan sosial dan kepentingan individu atau
personal sebagai bentuk dari solidaritas telah termanivestasikan dalam berbagai
bentuk aktivitas bersama yang dikenal dengan kegiatan "saling tolong-menolong",
atau secara luas terwadahi dalam tradisi "gotong-royong".
Secara nyata, tradisi gotong-royong telah melembaga dalam kelembagaan
Jojobo pada komunitas petani perladangan telah mengakar kuat. Ini diwujudkan
dalam berbagai aktivitas keseharian masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan.
Praktek gotong-royong, walau cenderung mengalami penurunan, baik dari sudut
pandang lingkup aktivitas maupun jumlah orang yang terlibat, secara umum
masih mendapatkan apresiasi positif dari komunitas masyarakat petani
perladangan Kelembagaan Jojobo merupakan kelembagaan yang dibangun sendiri
oleh masyarakat. Mereka sendiri yang memutuskan untuk membentuk suatu
kelembagaan, bagaimana bentuk strukturnya, bagaimana pemilihan anggotanya,
pola kepemimpinannya, serta aturan-aturan beserta sanksi-sanksinya. Sanksi yang
banyak diterapkan pada waktu itu berupa sanksi adat bagi anggota komunitas
yang melanggar.
92
BAB VIII
SINTESIS
Nilai luhur yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo berupa terciptanya
hubungan kekeluargaan dan kekerabatan di dalam komunitas petani perladangan.
Hal ini terefleksikan dalam pemenuhan faktor produksi, distribusi dan konsumsi.
Oleh karena itu keberadaan kelembagaan Jojobo diharapkan menjadikan sarana
dalam penerapan budaya lokal sebagai suatu upaya terutama pemenuhan
kebutuhan ekonomi produksi dan ekonomi keluarga pada komunitas petani
perladangan.
Nilai budaya kelembagaan Jojobo masih ada di komunitas petani
perladangan dicirikan dari sifat gotong royong antar warganya, dengan seringnya
diadakan pertemuan secara periodik, mengundang setiap warganya pada saat ada
hajatan atau syukuran, melakukan penggalangan dana pada saat warganya
mengalami musibah, serta memberikan bantuan pada saat ada warganya
melakukan hajatan.
Pada saat ini kelembagaan Jojobo merupakan konstruksi sosial yang
diterima dan disepakati oleh komunitas-komunitas petani perladangan yang
tergantung pada nilai dan kekuatan luar desa seperti pasar dan industri perkotaan
yang bersifat ekonomi dan individualis. Ukuran yang digunakan tidak lagi hanya
menyangkut kelestarian dan kebersamaan saja, namun dipengaruhi pula oleh
eksploitasi dan sukses finansial yang menyebabkan masyarakat desanya rapuh
terhadap faktor yang berada di luar pengendaliannya.
Kelembagaan Jojobo terdiri dari beberapa komponen, yaitu norma/nilai, tata
perilaku, aktor dan fisik (Soekanto, 1990). Komponen Jojobo tersebut memiliki
dinamika antara periode dulu dan sekarang. Pada zaman dahulu komponen tata
nilai/norma seperti kekerabatan, solidaritas, kepercayaan, tolong menolong
kejujuran, masih sangat solid. Tata perilaku termanifestasi dalam tolongmenolong/resiprositas dalam hal pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi
keseharian, sementara aktorn atau personilnya lebih banyak adalah keluarga,
kerabat dan komunitas petani perladangan. Sedangkan bentuknya fisiknya adalah
berupa sarana, prasarana, benda seperti pembangunan tempat ibadah, rumah adat
93
dan fasilitas publik lainnya. Sedangkan sekarang ini norma/nilainya mengalami
pergeseran, disebabkan adanya beragam kepentingan sosial, ekonomi dan politik
dari komunitas petani perladangan yang ikut dalam Jojobo. Sebagai contoh,
Jojobo kadang dipakai untuk kepentingan mencari pengaruh sebagai jalan politik
menjadi pemimpin lokal (pemilihan kepala desa atau kepala dusun). Sementara
tata perilakunya dibentuk dari hasil usaha bersama yang bersifat dan dalam
aktifitas produktif perladangan. Misalnya, gotong royong pembersihan kebun,
penanaman dan panen hasil pertanian.
Para aktor atau personil yang terlibat dalam aktifitas kelembagaan Jojobo
sekarang lebih banyak kelompok marga, komunitas kekerabatan dan antar
komunitas (yang masih memiliki kesamaan budaya). Sedangkan bentuk fisik
kelembagaan Jojobo tidak banyak berubah dari dulu hingga sekarang, yang
tersembunyi dalam aktifitas sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang
kemudian dengan nilai-nilai Jojobo tersebut mampu menggerakkan masyarakat
untuk bersama-sama dalam membangun berupa sarana dan prasarana, seperti
bangunan rumah adat, tempat ibadah, dan fasilitas publik yang dibutuhkan oleh
komunitas petani perladangan yang terikat dengan nilai-nilai Jojobo. Secara lebih
ringkas penjelasan komponen nilai-nilai Jojobo ini akan diuraikan dalam tabel
berikut ini;
Tabel 8.
Komponen Kelembagaan Jojobo
No
1.
Kelembagaan
Jojobo
Norma/Nilai
Dulu
Sekarang
Solid. Berbasis Kekeluargaan dan
Kekerabatan.
Solid. Namun ada kepentingan
sosial,
ekonomi
Politik.
Berbasis komunitas
Usaha-usaha bersama yang
produktif, tidak hanya terbatas
pada ikatan kekeluargaan dan
kekerabatan.
Antar komunitas yang masih
memiliki kesamaan budaya.
2.
Tata Kelakuan/Perilaku
Tolong-menolong, resiprositas,
kebersamaan, gotong royong yang
bersifat Reproduktif.
3.
Aktor
4.
Fisik
Kinship (Hubungan-hubungan yang
terikat pada kekeluargaan dan
kekerabatan)
Tersembunyi dalam akivitas sosialekonomi masyarakat
Tersembunyi dalam akivitas
sosial-ekonomi masyarakat
Di beberapa wilayah Kecamatan Jailolo Selatan, masyarakatnya masih
memiliki sifat dan naluri untuk berpartisipasi dalam membentuk lembaga seperti
kelompok tani, paguyuban, dan terutama Jojobo sebagai lembaga tradisional
94
setempat. Keberadaan kelembagaan Jojobo dapat diberdayakan dan dimanfaatkan
sebagai asset pembangunan karena memiliki inti budaya lokal yang menjiwainya.
Jojobo dikalangan komunitas petani perladangan sudah merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari tradisi yang telah dilakukan pada jaman dahulu. Jojobo
dianggap mampu menciptakan dan meningkatkan nilai hubungan kekeluargaan
berdasarkan kekerabatan.
Faktor yang menyebabkan komunitas petani perladangan di Kecamatan
Jailolo Selatan Halmahera Barat masih melakukan tradisi Jojobo, berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan adanya hubungan emosional yang
tinggi dalam hal saling mendukung dan membantu satu sama lain. Hal ini
memperlihatkan penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas ekonomi pada
komunitas petani perladangan dilakukan untuk saling membantu memenuhi
kebutuhan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani
perladangan.
Setiap orang yang ikut serta dalam kelembagaan Jojobo pastilah memiliki
motivasi yang berbeda-beda, namun secara umum para peserta kelembagaan
Jojobo pada komunitas petani perladangan memiliki motivasi utama terjalinnya
hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang baik antar sesama warga. Motif
utama masyarakat mengikuti Jojobo ini dikemukakan oleh tokoh masyarakat yaitu
Bpk Burhanudin (Tahun 2011) bahwa motif utamanya adalah terjalinnya
hubungan kekeluargaan dengan baik antar sesama warga, dan kebutuhan hidup
dapat terpenuhi dengan baik.
Salah
satu
perubahan
eksternal
yang
mempengaruhi
keberadaan
kelembagaan Jojobo di Kecamatan Jailolo Selatan adalah banyaknya masyarakat
pendatang dari berbagai etnis dan suku yang menetap di Kecamatan Jailolo
Selatan, baik dari kecamatan lain di Kabupaten Halmahera Barat, maupun dari
luar kabupaten atau bahkan dari Luar Provonsi Maluku Utara. Pergeseran nilainilai kelembagaan Jojobo terjadi karena sifat budaya yang dinamis, kehidupan
mayarakat petani perladangan yang selalu berkembang, pengaruh lingkungan
ekonomi dari para pendatang, dan mobilisasi penduduk.
Keberadaan kelembagaan Jojobo yang memilih mempertahankan nilai-nilai
yang terkandung dalam Jojobo dianggapnya mampu memenuhi kebutuhan
95
ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan di
Kecamatan Jailolo Selatan, namun pada kenyataan nilai-nilai yang terkandung
dalam kelembagaan sudah mulai memudar. Hal ini terlihat dari mereka yang
terbawa arus perubahan ditunjukkan oleh masyarakat di Kecamatan Jailolo
Selatan yang memperkecil keberadaan kelembagaan Jojobo hanya dalam
aktivitasnya, sehingga berkurang terutama dalam unsur gotong royong seperti
dalam pembangunan rumah yang mengganti unsur kerja sukarela menjadi lebih
komersial.
Upaya pemberdayaan kelembagaan yang dilakukan masyarakat petani
perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan berupa upaya penguatan nilai-nilai yang
terkandung dalam kelembagaan Jojobo. Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mempertahankan Jojobo oleh sebagian komunitas petani perladangan di
Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat dikemukakan oleh seorang petani
perladangan yaitu Bpk Abubakar (Tahun 2011) yang mengungkapkan bahwa
usaha yang dilakukan untuk mempertahankan Jojobo di komunitas petani
perladangan adalah dengan seringnya melakukan silatuhrahmi antar warga dan
selalu memberikan dukungan dan bantuan satu sama lain.
Masih adanya kelembagaan sosial ekonomi pedesaan Jojobo mampu
memberikan kekuatan bagi petani perladangan (posisi tawar yang tinggi).
Kelembagaan Jojobo dalam hal ini memberikan jawaban atas permasalahan
pemenuhan kebutuhan komunitas petani perladangan yang membutuhkan bantuan
satu sama lain. Penguatan posisi tawar petani perladangan di Kecamatan Jailolo
Selatan melalui kelembagaan Jojobo merupakan suatu kebutuhan yang sangat
mendesak dan mutlak diperlukan terutama bagi komunitas petani peladangan,
agar mereka mampu secara berkelanjutan dalam melaksanakan kegiatan
usahataninya dan juga dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Penelitian ini menemukan arah tantangan pemberdayaan masyarakat desa
melalui keberadaan kelembagaan sosial yaitu kelembagaan Jojobo sebagai basis
kelembagaan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani
perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Pentingnya peran serta dan
pemberdayaan kelembagaan masyarakat di bidang sosial ekonomi, berupa
penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas komunitas petani perladangan di
96
Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat, diharapkan mampu memenuhi
kebutuhan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani
perladangan yang berbasis kekeluargaan dan kekerabatan.
97
98
BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Bentuk-bentuk penerapan nilai-nilai kelembagaan Jojobo dalam aktivitas
ekonomi produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo
Selatan Halmahera Barat termanifestasikan dalam beragam aktifitas
keseharian masyarakat seperti gotong royong, saling tolong-menolong,
kebersamaan, kekeluargaan, kekerabatan, kepercayaan dan toleransi,
serta nilai kejujuran. Tujuan penerapan nilai-nilai Jojobo ini adalah untuk
untuk saling meringankan beban sosial-ekonomi dan upaya membantu
memenuhi kebutuhan ekonomi produktif lainnya, khususnya bagi
keluarga dan umumnya pada komunitas petani perladangan yang ikut
terlibat dalam aktifitas Jojobo berdasarkan kekerabatan.
2. Kelembagaan Jojobo pada komunitas petani perladangan melemah ketika
banyak etnis pendatang masuk dan membawa kekuatan pasar dan industri
pedesaan. Oleh karena itu upaya pemberdayaan kelembagaan Jojobo
dilakukan dengan baragam cara tergantung pada kekuatan-kekuatan
orang dan kelompok sosial masyarakat pendukungnya. Kelembagaan
Jojobo semakin kuat dan kokoh ketika kondisi sosial budaya masyarakat
masih mempercayai dan meyakini nilai- nilai Jojobo lebih relevan bagi
kebutuhan mereka, dibandingkan nilai-nilai dari luar budaya mereka. Jika
kelembagaan Jojobo masih kokoh, dan dibangun berbasis kekeluargaan
dan kekerabatan.
3. Dampak kelembagaan Jojobo bagi peningkatan solidaritas sosial adalah
sangat nyata dan kuat. Nilai-nilai utama Jojobo, seperti saling menolong,
peduli dan saling mendukung untuk pemenuhan kebutuhan sosiaekonomi telah berakar kuat pada komunitas petani perladangan di Jailolo
Selatan. Semakin kelembagaan Jojobo baik dan sehat, maka nilai-nilai
solidaritas akan semakin meningkat dan sebaliknya. Kesepakatan99
kesepakatan bersama yang
dibangun dengan nilai-nilai Jojobo
berimplikasi pada kekompakan, kesolidan yang lambat laun
akan
menumbuh-kembangkan rasa solidaritas terhadap para pelaku kerjasama
dalam kelembagaan Jojobo baik yang termanifestasikan dalam bentuk
keadilan sosial yang ditunjukkan oleh kegiatan saling tolong-menolong,
atau secara luas terwadahi dalam tradisi gotong-royong. Disinilah nilainilai Jojobo menjadi spirit dan pendukung bagi solidaritas sosial.
9.2
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, dapat diajukan saran baik
dari aspek teoritis maupun aspek praktis berkaitan dengan keberadaan
kelembagaan Jojobo sebagai basis pemberdayaan masyarakat desa di Maluku
Utara sebagai berikut:
9.2.1 Saran pada Aspek Teoritis
Secara teoritis penelitian tentang Jojobo sebagai nilai sosial lokal dan
kelembagaan pemberdayaan masyarakat desa dapat diajukan saran sebagai
berikut:
1. Hasil penelitian secara teoritis disarankan agar dalam hal pemberdayaan
masyarakat perlu ditinjau dari aspek nilai sosial lokal dan kelembagaan
pemberdayaan masyarakat desa yang berkembang.
2. Penelitian lanjutan disarankan agar dilakukan baik dengan komunitas
yang lebih luas pada kecamatan-kecamatan lain di Maluku Utara,
maupun penelitian yang melibatkan etnis-etnis yang ada di wilayah
penelitian.
3. Penelitian lanjutan lainnya disarankan agar dilakukan pada kelembagaankelembagaan sosial ekonomi lainnya yang berkembang di Maluku Utara
dalam upaya memberdayakan masyarakatnya.
9.2.2 Saran pada Aspek Praktis
Secara praktis atau pragmatis penelitian tentang Jojobo sebagai nilai sosial
lokal dan kelembagaan pemberdayaan masyarakat desa di Maluku Utara ini dapat
diajukan saran sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini disarankan dapat dijadikan dasar dalam proses-proses
kebijakan
100
serta
pengambilan
keputusan
pembangunan
pedesaan
khususnya di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat
sebagai upaya dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat desanya,
khususnya bagi komunitas petani perladangan berbasis kekeluargaan dan
kekerabatan (kinship)
2. Selain itu pada aspek praktis lainnya disarankan dari hasil penelitian ini
yaitu:
a. Menjadi bahan informasi dan referensi bagi Pemerintah Daerah di
Kabupaten Halmahera Barat dalam mengetahui kendala-kendala yang
terjadi berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa di
Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat.
b. Menjadi bahan informasi dan referensi bagi Pemerintah Daerah di
Kabupaten Halmahera Barat dalam menyusun kebijakan pemerintah
daerah di Kabupaten Halmahera Barat berupa upaya-upaya mengatasi
kendala yang terjadi berkaitan dengan peningkatan pemenuhan
kebutuhan masyarakat desa di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten
Halmahera Barat.
c. Menjadi bahan informasi dan referensi bagi masyarakat Maluku Utara
pada umumnya, dan khususnya masyarakat desa di Kecamatan Jailolo
Selatan Kabupaten Halmahera Barat dalam upaya meningkatkan
pemenuhan kebutuhan masyarakat.
3. Peningkatan
peran
kelembagaan
sosial
ekonomi
Jojobo
dalam
pemberdayaan masyarakat disarankan agar:
a. Perlunya revitalisasi kembali kelembagaan Jojobo kepada generasi
muda dalam upaya mempertahankan budaya lokal di Maluku Utara.
b. Adanya pengakuan dari pihak Pemerintah Daerah Kabupaten
Halmahera Barat khususnya, dan umumnya Provinsi Maluku Utara
akan keberadaan Kelembagaan Jojobo yang mampu memberdayakan
masyarakat lokal baik dari aspek sosial maupun aspek ekonomi.
101
102
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, A; Supena F; Syahyuti; dan E. Ariningsih. 2003. Studi Baseline
Program PHT Perkebunan Rakyat Lada di Bangka Belitung dan Lampung.
Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.
Arikunto, 1995. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina
Aksara.
Bertrand, Alvin L, 1980. Sosiologi, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Brown, Donald, 1995. Poverty-Growth Dichotomy, dalam Üner Kirdar dan
Leonard Silk (ed.). People: From Impoverishment to Empowerment. New
York: New York University.
Day, L.C.1996. Perubahan Sosial Ekonomi dan Dampaknya terhadap Organisasi
Pertanian di Long pujingan dan Long Alongo, dalam Eghenter, C dan
Bernard Sellato1996. (peny). Kebudayaan dan Pelestarian Alam. PHPA,
The Ford Founddation, dan IMF.
Djuweng, S.1999. Pembangunan dan Marginalisas, Masyarakat Adat Dayak,
dalam Muhammad Hayat Rahz (Pen). Ashoka Indonesia dan Insit.
Yogyakarta.
Dove, M.R. 1981. Antara Mitos dan Kebenaran antara Sistem Perladangan
Peneliti Yayasan Reckfeller PPS Lingkungan UGM Yogyakarta, Indonesia
Agro Ekonomi Tahun XII, No. 15 (Agustus, 1981).
Dove, M.R. 1981. Sistem Perladangan di Indonesia. Suatu Studi Kasus dari
Kalimantan Barat. UGM Press. Yogyakarta.
Durkheim E, 1973. Moral Education.Translated by Everett K.Wilson and Herman
Schurer From: L Education Morale, 1925. Collier Macmillan Publighers,
London.
Dwijowijoto, Riant Nugroho. 2006. Kebijakan Publik:Formulasi, Implementasi,
dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputendo.
Friedmann, 1992. Empowerment; The Politics of Alernative Development.
Cambridge Blackwell.
Geertz, C. 1975. Involusi Pertanian. Proses perubahan Ekologi di Indonesia
Diterbitkan untuk Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaa, Institut
Pertanian Bogor dan Yayasan Obor, Jakarta.
J.P. de Josselin Long, 1935. De Meleishe Archipl als ethnologisch Studieveld.
Leiden: Ginberg.
103
Karsidi, Ravik. 2001.Paradigma Baru Penyuluhan Pembangunan dalam
Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Pambudy dan A.K.Adhy (ed.):
Pemberdayaan SumberdayaManusia Menuju Terwujudnya Masyarakat
Madani, Bogor: Penerbit Pustaka Wirausaha Muda.
Kartasasmita, Ginandjar, 1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan, PT. Pustaka Cidesindo.
Kirdar, Uner dan Leonard Silk (ed), 1995. People: From Impoverishment to
Empowerment. New York: New York University Press.
Koentjaraningrat, 1968. Pengantar Ilmu Antropologi; Cet. Ke-6; Jakarta: Aksara
Baru.
Koentjaraningrat, 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia; Cet. Ke 22;
Jakarta: Pernerbit Jembatan.
Mahmudi, Ahmad. 1999. Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Masyarakat. TOT P2KP
oleh LPPSLH, Ambarawa, 27 Nopember 1999.
Malinowski, B, 1944. A Scientifcis Theory of Culture and Other Essays, Chapel
Hill: University of North Caroline Perss.
Mansur. Mohammad Zen, 1999. Dampak Negatif dari Investasi Perkebunan Besar
Swasta (PSB) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Lokal dan
Pembangunan Wilayah Maluku Utara. PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR. di Publikasikan
Miles, Matthew B, dan A. Michael Hubermen. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: universitas
Indonesia.
Miring, dkk.1987. Tim Geografi Budaya Daerah Kalimantan Tengah. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Moleong, Lexy. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Mubyarto, 1998. Sistem dan moral ekonomi Indonesia, Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta.
Mubyarto. 2001. Ekonomisme. Orasi Kebudayaan, Disampaikan di Taman Mini
Ismail Marzuki (Tim) 9 April 2001. CIPTA Dewan Kesenian Jakarta.
Jakarta.
Muhadjir, Noeng, 1982. Teori Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Muhajir, Noeng, 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, Eds. 3, Yogyakarta:
Rake Sarasin.
104
Nasution, 1996. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.
Norman Uphoff. 1992. Local Institutions and Participation
Development.Gatekeeper Series SA31. IIED, London
for
Sustainable
Ostrom E. 1985. Sosial capital: a Fad Or a Fudamental concept? Dalam
Dasgupta, P and Ismail Seregeldin. 1999. Sosial Capital: A Multifaceted
Perspective. The Word Bank The International Bank For Reconstruction
and Development Washington D.C. 20433.
P.E, De Josselin Jong, 1977. Structural Anthropologi In The Netherlands. KITL.
Translation Seises 17 The Hague Martinus Nyhoff.
Patton, Michael Quinn. 1987 Qualitative Education Methods, Beverly Hills, Sage
Publication Robert Bogdan.
Planck, Ulrich, 1993, Sosiolologi Pertanian, Jakarta; penerbit Yayasan Obor
Indonesia.
Polanyi, Karl, 2009. Transformasi Besar: Asal Usul Politik Ekonomi Zaman
Sekarang. Penerbit : Pustaka Pelajar
Prijono, S. Onny., & Pranarka, A.M.W. 1996. Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan
dan Implementasi, Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Jakarta: CSIS.
Putuhena, Saleh.1980. Sejarah Agama Islam di Ternate, dalam Masinambow (ed)
1980 Hlm. 263-276.
R. Bogdan dan Taylor, S.J, 1984 Introduction to Qualitative Research Methods:
The Search for Meanings. Second Edition. New York dll.: John Wiley &
Sons.
Rakhmat, Jalaluddin, 1989. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya
Ranis, Gustav, 1995. Reducing Poverty: Horizontal Flows Instead of Trickle
Down", dalam Uner Kirdar dan Leonard Silk (ed.). People: From
Impoverishment To Empowennent. New York: New York University
Press.
Robert M.Z. Lawang, 1994. Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Roesmidi, M.M dan Risyanti, I, 2008. Pemberdayaan Masyarakat. Bandung:
AlQaprint Jatinangor.
Ruttan, Vernon W and Hayami, 1984. Induce Innovation Model of Agricultural
Development in agricultural Development in the Third World. Edited by
Calr K. Eicher & John M. Stas
105
Safar,
2008. Konsep Kebudayaan Maluku
ss.org/web/images/provinsi maluku utara bmg.
Utara.
http://www.cps-
Saragih, Bungaran, 2002. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi
Berbasis Pertanian, Bogor: Yayasan Mulia persada Indonesia, Pt.Surveyor
Indonesia dan PSP Lemlit IPB.
Sasono, Adi, 1999. Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan, Makalah
Konferensi Internasional Ekonomi Jaringan, Hotel Sangri-La, Jakarta 5-7
Desember.
Singarimbun dan Effendi, 1991. Metode Penilitian Survei, LP3S Jakarta.
Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju
Pengembangan Kemandirian Petani, Bogor: Disertasi Doktor Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sumodiningrat, Gunawan, 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan JPS. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan
Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Uphoff, 1986. Lokal Institusional Development: An Analitical Sourcebook, whit
Cases. West Hartford, Kumarian Perss.
Von Benda-Beckmann, Frans, Keebet von Benda-Beckmann, and Hands Marks,
2000. Coping With Insecurity. An “Underall” Perspective on Social
Security in the Third World (2nd Ed.). Pustaka Pelajar Indonesia dan
Focoal Foundation the Netherlands.
Zuraida, Desiree dan J. Rizal (ed). 1993. Masyarakat dan Manusia dalam
Pembangunan: Pokok-pokok Pemikiran Selo Soemardjan. Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
106
LAMPIRAN
Gambar
Peta Provinsi Maluku Utara
Gambar
Peta Daerah Penelitian
Gambar
Pusat Kebudayaan Maluku Utara
Gambar
Pembesihan lahan perladangan sesama anggota Jojobo
Gambar
Penanaman bersama antara anggota Komunitas Jojobo
Gambar
Hasil Pertanian Masyarakat di Maluku Utara
Gambar
Hasil Pertanian Petani Perladangan di kec. Jailolo Selatan
Gambar
Hasil Panen Petani Perladangan di kec. Jailolo Selatan
Gambar
Gotong royong dalam Pembangunan Rumah Ibadah di Jailolo selatan
Gambar
Gotong royong dalam Pembuatan jalan setapak Desa di Kec Jailolo Selatan
Download