profil dan pentingnya sexual abstinence pada remaja

advertisement
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
PROFIL DAN PENTINGNYA SEXUAL ABSTINENCE PADA REMAJA UNTUK
MEMBENTUK GENERASI YANG BERMORAL
Dian Ari Widyastuti
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan
Email: [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat sexual abstinence siswa yang berada pada
rentang usia remaja. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitaif dengan instrumen
pengumpulan data berupa skala sexual abstinence. Subjek penelitian berjumlah 98 siswa kelas
VIII di salah satu SMP di Kota Malang yang diambil melalui teknik random sampling. Analisis
data menggunakan analisis statistik deskriptif, dimana pengelompokkan kriteria dihitung
menggunakan rumus standar deviasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 15,31%
siswa berada pada kriteria sexual abstinence sangat tinggi, 28,57% siswa berada pada kriteria
sexual abstinence tinggi, 19,39% siswa berada pada kriteria sexual abstinence sedang, 32,65%
siswa berada pada kriteria sexual abstinence rendah, dan 4,08% siswa berada pada kriteria
sexual abstinence sangat rendah. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi bahwa
diperlukan suatu tindakan yang berfungsi preventive development maupun curative terkait
dengan sexual abstinence pada remaja. Dengan demikian, remaja akan terhindar dari aktivitas
seksual pranikah dan akan menjadi generasi penerus bangsa yang bermoral.
Kata Kunci: sexual abstinence, pengendalian hasrat seksual, seks bebas, seks pranikah
1. PENDAHULUAN
Pengembangan karakter dan moral siswa
di Indonesia perlu mendapatkan perhatian
serius sebab adanya kekhawatiran terhadap
sikap dan perilaku siswa yang semakin jauh
dari nilai dan etika yang berlaku di masyarakat.
Dewasa ini, sikap dan perilaku siswa yang
berada pada rentang usia remaja, cenderung
mengarah pada degradasi nilai dan moral.
Salah satu bentuk degradasi nilai dan moral
dimana remaja Indonesia tidak lagi memegang
teguh nilai yang berlaku di masyarakat,
terutama yang berkaitan dengan seksualitas.
Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan,
mengingat bahwa remaja di Indonesia
merupakan generasi penerus bangsa yang
seharusnya menunjukkan perilaku normatif
dan sikap mental yang positif.
Berbagai fakta di lapangan menjadi bukti
adanya degradasi nilai dan moral para remaja.
Salah satu fakta tersebut dilansir media online
Sindonews, yakni di Kabupaten Ponorogo
(Jawa Timur) pada bulan Januari-Oktober
2013 terdapat 256 remaja mengajukan
dispensasi menikah ke Pengadilan Agama
Kabupaten Ponorogo (Subekhi, 2013). Dari
jumlah tersebut, 200 di antaranya telah hamil
dan berstatus sebagai pelajar. Fakta serupa
terjadi di Aceh. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia (PKBI) di Nangroe Aceh
Darussalam menyatakan bahwa terjadi
perubahan perilaku remaja di Aceh yang kian
mengkhawatirkan, baik pola pergaulan
maupun pergeseran moral (Kompas, 2014).
Penelitian yang dilakukan di satu pesantren dan
di tiga SMA di Banda Aceh dan Aceh Besar
ini, menghasilkan temuan data bahwa 90% di
antaranya pernah mengakses video porno, 40%
mengaku pernah menyentuh organ intim
pasangan, dan 40% mengaku telah melakukan
hubungan seks dengan pasangannya. Para
siswa memberikan pengakuan bahwa perilaku
seks pranikah yang telah mereka lakukan
berawal dari ketidakmampuan mereka dalam
mengendalikan hasrat seksual setelah
menyaksikan video porno yang telah mereka
dapatkan dari perangkat teknologi komunikasi
(telepon genggam, internet, maupun bertukar
flashdisk dengan teman sebaya).
832
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Remaja semakin permisif terhadap seks
(Kompas, 2014). Jumlah remaja yang
melakukan perilaku seks pranikah dari waktu
ke waktu kian bertambah. Hingga saat ini,
prosentase remaja yang terlibat dalam perilaku
seksual pranikah sangat memprihatinkan.
Dokter Jane (dalam Liputan6, 2013)
menyatakan bahwa seks pranikah di usia
remaja menurut penelitian Adolescent
Reproductive Health, SDKI 2012 mengalami
peningkatan. Usia remaja tersebut antara 15-19
tahun. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Komisi
Nasional
Perlindungan
Anak
(KOMNAS-PA) terhadap 4.726 responden
siswa perempuan SMP dan SMA di 17 kota
besar di Indonesia, mengungkap data bahwa
97% di antaranya mengaku pernah
menyaksikan video porno dan 93,7% di
antaranya pernah melakukan berbagai macam
adegan intim dengan lawan jenis sesama
pelajar (Beritakaltara, 2014). Remaja dengan
bebasnya melakukan berbagai aktivitas seksual
mulai dari hanya sekedar berpegangan tangan,
berciuman, meraba-raba sampai dengan
melakukan hubungan seksual secara intim.
Sikap dan perilaku remaja yang demikian,
menunjukkan bahwa remaja sudah semakin
jauh dari nilai dan moral yang berlaku di
masyarakat.
Aktivitas-aktivitas seksual pranikah yang
dilakukan oleh remaja, secara umum
disebabkan oleh rendahnya pengendalian
hasrat seksual. Pengendalian hasrat seksual
(sexual abstinence) dapat diartikan sebagai
sikap menghindari semua kontak kelamin atau
semua gairah/hasrat seksual (Kimberly &
Hans, 2011). Sexual abstinence memiliki
konotasi agama dan moral bagi banyak orang,
yang berarti bahwa mereka menolak bahkan
menahan nafsu (seperti berpuasa) dalam
berciuman dan “menyentuh” karena adanya
ketakutan bahwa ciuman dan sentuhan adalah
langkah pertama menuju coitus yang dapat
menghasilkan gairah seksual (Goodson,
Suther, Pruitt, & Wilson dalam Planes et al.,
2009). Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa pengendalian hasrat seksual (sexual
abstinence) merupakan sikap menahan diri dari
berbagai aktivitas seksual pranikah.
Dampak yang ditimbulkan jika remaja
memiliki sexual abstinence rendah yaitu
UAD, Yogyakarta
terjerumusnya remaja dalam hubungan seks
pranikah (seks bebas). Lebih lanjut, dampak
tersebut akan mengakibatkan kehamilan di luar
nikah, meningkatnya jumlah pelaku aborsi
yang tidak aman (abortus profocatus atau
abortus kriminalis), dan penularan penyakit
seksual. Hal tersebut senada dengan
pernyataan DeLamater & Moorman (2007)
serta Ogunsola (2012) bahwa seks pranikah
dapat menimbulkan Kehamilan Tidak
Diinginkan (KTD) yang selanjutnya dapat pula
memicu praktik aborsi yang tidak aman,
penularan PMS dan HIV/AIDS, dan bahkan
dapat menimbulkan kematian. Penelitian yang
dilakukan oleh Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan
Sosial (B2P3KS), Departemen Sosial Republik
Indonesi menyatakan bahwa remaja yang
memiliki masalah KTD dan berkonsultasi
setiap tahunnya mengalami peningkatan
(Depsos RI dalam Azinar, 2013). Dalam hal ini
lah sexual abstinence diperlukan sebab sexual
abstinence merupakan strategi perilaku yang
penting untuk mencegah virus human
immunodeficiency (HIV), infeksi menular
seksual lainnya (IMS), dan kehamilan di
kalangan remaja (Santelli et al., 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
profil sexual abstinence siswa di salah satu
SMP di Kota Malang. Berdasarkan data
tersebut, diharapkan dapat dilakukan suatu
tindakan yang berfungsi preventive maupun
curative pada remaja terkait dengan
peningkatan sexual abstinence agar remaja
dapat terhindar dari perilaku seks bebas dan
dapat berkembang dengan optimal.
2. KAJIAN LITERATUR
a. Seksualitas pada Remaja
Seksualitas pada remaja merupakan hal
yang
urgent
untuk
diperbincangkan.
Adolescence (remaja) merupakan periode
transisi dari kanak-kanak menuju dewasa. Pada
periode ini, berbagai perubahan terjadi baik
perubahan secara biologis (fisik dan
hormonal), psikologis, maupun sosial.
Perubahan-perubahan terjadi secara signifikan
dan terkadang tanpa disadari. Perubahan fisik
yang menonjol adalah perkembangan tandatanda seks primer dan sekunder serta terjadinya
pertumbuhan tubuh secara cepat. Maturasi
833
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
seksual terjadi melalui tahapan-tahapan yang
teratur yang akhirnya mengantarkan remaja
siap dengan fungsi fertilitasnya, remaja lakilaki dengan spermatogenesis sedangkan
remaja perempuan dengan ovulasi. Di samping
itu, terjadi pula perubahan psikososial anak
baik dalam tingkah laku, hubungan dengan
lingkungan serta ketertarikan dengan lawan
jenis.
Ditinjau dari sudut pandang biologis,
perkembangan seksual terjadi di masa remaja.
Masa remaja (adolescence) merupakan periode
transisi perkembangan antara masa kanakkanak dengan masa dewasa (Santrock, 2012).
Salah satu perubahan yang dialami individu di
masa remaja yakni perkembangan fungsi
seksual yang ditandai dengan munculnya
karakteristik seksual primer dan karakteristik
seksual sekunder. Perkembangan seks primer
pada remaja laki-laki ditandai dengan
perkembangan penis, testis, serta pembuluh
yang memproduksi sperma dan kelenjar
prostat. Kematangan organ-organ seksual ini
memungkinkan remaja laki-laki mengalami
“mimpi basah”, yang diikuti dengan keluarnya
sperma. Pada remaja perempuan, terjadi
pertumbuhan cepat pada organ rahim dan
ovarium yang memproduksi ovum (sel telur)
dan hormon untuk kehamilan. Akibatnya
terjadilah siklus menarche. Siklus awal
menstruasi sering diiringi dengan sakit kepala,
pinggang, kelelahan, depresi, dan mudah
tersinggung.
Perkembangan seks sekunder pada remaja
ditandai
dengan
pertumbuhan
yang
melengkapi kematangan individu sehingga
tampak sebagai laki-laki atau perempuan.
Remaja laki-laki mengalami pertumbuhan
bulu-bulu pada kumis, jambang, janggut,
tangan, kaki, ketiak, dan kelaminnya. Tumbuh
pula jakun dan suara remaja laki-laki berubah
menjadi parau dan rendah. Kulit berubah
menjadi kasar. Pada remaja perempuan juga
mengalami pertumbuhan bulu-bulu secara
lebih terbatas, yakni pada ketiak dan alat
kelamin. Pertumbuhan juga terjadi pada
kelenjar yang memproduksi air susu di
payudara, serta pertumbuhan pada pinggul
sehingga menjadi wanita dewasa secara
proporsional. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa, secara fungsional organ
UAD, Yogyakarta
reproduksi
remaja
telah
matang/siap
digunakan dalam aktivitas seksual sehingga
diperlukan pengendalian hasrat seksual pada
remaja agar remaja dapat mengarahkan dirinya
terhindar dari aktivitas seksual pranikah.
Dimensi
psikososial
berpengaruh
terhadap perkembangan individu terkait
dengan seksualitas. Perkembangan psikososial
pada remaja dibagi dalam tiga tahap yaitu
remaja awal (early adolescent), pertengahan
(middle adolescent), dan akhir (late
adolescent). Tahap pertama early adolescent,
terjadi pada usia 12-14 tahun. Pada masa ini
anak-anak terpapar pada perubahan tubuh yang
cepat, adanya akselerasi pertumbuhan, dan
perubahan komposisi tubuh disertai awal
pertumbuhan seks sekunder. Remaja hanya
tertarik pada keadaan sekarang, bukan masa
depan, sedangkan secara seksual mulai timbul
rasa malu, ketertarikan terhadap lawan jenis
tetapi masih berkelompok dengan teman
sebayanya dan mulai bereksperimen dengan
tubuh seperti masturbasi. Peran peer group
sangat dominan, mereka berusaha membentuk
kelompok, berperilaku sama, berpenampilan
sama, mempunyai bahasa dan kode atau isyarat
yang sama.
Tahap yang ke dua adalah middle
adolescent terjadi antara usia 15-17 tahun.
Pada middle adolescent, remaja sangat
memperhatikan
penampilan,
mulai
mempunyai dan sering berganti-ganti pacar,
perhatian terhadap lawan jenis, sudah mulai
mempunyai konsep role model, dan mulai
konsisten terhadap cita-cita. Tahap yang
terakhir yaitu late adolescent dimulai pada usia
18 tahun ditandai oleh tercapainya
perkembangan fisik secara sempurna. Pada
fase ini, remaja lebih memperhatikan masa
depan, termasuk peran yang diinginkan di
masa depan. Mulai serius dalam menjalin
hubungan dengan lawan jenis, dan mulai dapat
menerima tradisi dan kebiasaan lingkungan.
Rasa ketertarikan terhadap lawan jenis
adalah salah satu wujud remaja dalam
memenuhi kebutuhan psikologisnya untuk
dicintai dan mencintai. Guna memuaskan
kebutuhan psikologisnya tersebut, tak jarang
remaja
menemukan
hambatan
atau
menyimpang dari jalur yang sesuai dengan
nilai dan norma. Oleh karena itu, hendaknya
834
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
remaja mengembangkan identitas seksual
sejak dini agar terhindar dari konsekuensi yang
tidak diinginkan.
Proses mengembangkan identitas seksual
melibatkan proses belajar untuk mengelola
perasaan-perasaan seksual, mengembangkan
bentuk intiminasi baru, serta mempelajari
keterampilan mengatur perilaku seksual untuk
menghindari konsekuensi-konsekuensi yang
tidak
diinginkan
(Santrock,
2012).
Mengembangkan identitas seksual remaja
tidak hanya melibatkan perilaku seksual
remaja saja, melainkan muncul dalam konteks
faktor fisik, sosial, budaya, di mana sebagian
besar masyarakat memberikan batasan-batasan
terhadap perilaku seksual remaja.
b. Pengendalian Hasrat Seksual (Sexual
Abstinence) pada Remaja berdasar
Konsep Freudian
Setiap individu memiliki hasrat seksual.
Hasrat seksual muncul dari dalam diri yang
mendorong individu berusaha memperoleh
kepuasan seksual. Hasrat seksual menurut
Freud (dalam Scruton, 2006) merupakan
keinginan mempersatukan dua alat kelamin
yang disebut dengan senggama yang bertujuan
untuk melampiaskan ketegangan seksual serta
memperoleh kepuasan seksual. Freud (dalam
DeLamater & Sill, 2005) juga menjelaskan
bahwa hasrat seksual merupakan fakta
biologis, alami, dorongan motivasional
(motivational force). Hal tersebut senada
dengan pendapat Kaplan (dalam DeLamater &
Sill, 2005) bahwa hasrat seksual adalah
keinginan yang besar atau dorongan yang
memotivasi kita untuk berperilaku seksual.
Hasrat seksual juga dapat didefinisikan sebagai
susunan motivasional yang dapat dipahami
sebagai ketertarikan terhadap objek seksual
(semisal manusia) atau aktivitas, atau sebagai
harapan, kebutuhan atau dorongan untuk
mencari objek seksual atau upaya untuk
melakukan aktivitas seksual (Regan dan
Berscheid dalam Regan & Atkins, 2006). Dari
beberapa definisi yang telah dipaparkan, maka
dapat disimpulkan bahwa hasrat seksual
merupakan dorongan untuk mencapai
kepuasan seksual yang ditunjukkan dengan
perilaku menjalin relasi dengan lawan jenis
sebagai objek seksual atau melakukan aktivitas
UAD, Yogyakarta
seksual. Aktivitas-aktivitas seksual pranikah
yang dilakukan oleh remaja, secara umum
disebabkan oleh rendahnya pengendalian
hasrat seksual pada diri remaja.
Pada dasarnya, dorongan/hasrat seksual
yang bergejolak dalam diri individu bersumber
dari id. Id tidak diperintahkan oleh hukum akal
atau logika, dan ia tidak memiliki nilai, etika,
atau akhlak (Hall, 1995: 35). Ia hanya didorong
oleh satu pertimbangan, yaitu mencapai
kepuasan bagi keinginan nalurinya, sesuai
dengan prinsip kesenangan. Seringkali
dorongan seksual dari id yang bersifat
mendesak dan terlalu kuat, tidak dapat
dikendalikan oleh remaja sehingga mereka
melakukan aktivitas seksual pranikah yang
melanggar nilai dan norma.
Remaja yang belum terikat dalam tali
pernikahan dan tidak mampu mengendalikan
hasrat seksualnya, dapat dikatakan bahwa ego
dalam dirinya tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Ego tidak mampu menyeimbangkan
antara kebutuhan id yang menuntut adanya
pemenuhan kebutuhan seksual dan superego
yang berperan dalam kontrol nilai yang
seharusnya dijalankan. Dalam diri individu,
ego mengontrol dan memerintahkan id dan
superego serta memelihara hubungan dengan
dunia luar. Jika ego dapat melaksanakan
tugasnya dengan bijaksana maka akan terjadi
keselarasan. Sebaliknya, jika ego mengalah
kepada id atau superego maka akan terjadi
keadaan yang tidak teratur. Hall (1995: 38)
menyatakan bahwa berlainan dengan id yang
dikuasai oleh prinsip kesenangan, ego dikuasai
oleh prinsip kenyataan (reality principle). Ego
berperan dalam penangguhan suatu tindakan
yang bertujuan memperoleh kesenangan.
Dalam hal ini, tidak berarti prinsip kesenangan
ditinggalkan begitu saja, melainkan dibekukan
sementara
waktu
untuk
kepentingan
kenyataan. Remaja yang memiliki hasrat
seksual, hendaknya mengalihkan perhatiannya
pada aktivitas lain sampai datang waktunya dia
dapat memuaskan hasrat seksualnya dengan
pasangannya dalam ikatan pernikahan.
Di sisi lain, superego merupakan cabang
moril atau cabang keadilan dari kepribadian
(Hall, 1995: 41). Superego merupakan
komponen moral kepribadian yang terkait
dengan standar nilai atau norma masyarakat
835
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
mengenai baik dan buruk, benar dan salah
(Yusuf & Nurihsan, 2011: 44). Melalui
pengalaman hidup, individu memperoleh
informasi perilaku yang baik atau buruk dan
yang benar atau salah. Kemudian individu
menginternalisasi berbagai norma sosial
tersebut ke dalam dirinya. Dengan demikian,
individu hendaknya mampu mengontrol gerak
hatinya terkait dengan perilaku seksual
pranikah karena ia telah mengetahui dan
mempelajari norma-norma sosial yang
berkaitan dengan seksualitas. Hal tersebut
senada dengan pernyataan Hall (1995: 41)
bahwa superego dalam diri individu bertujuan
untuk mengontrol dan mengatur gerak hati.
Gerak hati yang dimaksudkan salah satunya
adalah “seks”.
Merujuk dari teori perkembangan seksual
yang dicetuskan oleh Freud, remaja berada
pada tahap perkembangan genital (Santrock,
2012). Pada tahap ini remaja mengalami
kebangkitan
seksual,
dimana
sumber
kesenangan seksual diperoleh dari individu di
luar keluarganya. Remaja mengembangkan
minat seksual yang kuat pada lawan jenis.
Hasrat seksual yang kuat menyebabkan remaja
berusaha untuk memberikan kepuasan seksual
bagi dirinya sendiri. Dalam hal ini lah
pengendalian hasrat seksual pada remaja
diperlukan.
Pengendalian hasrat seksual (sexual
abstinence) dapat diartikan sebagai sikap
menghindari semua kontak kelamin atau
semua gairah/hasrat seksual (Kimberly &
Hans, 2011). Sexual abstinence memiliki
konotasi agama dan moral bagi banyak orang,
yang berarti bahwa mereka menolak bahkan
menahan nafsu (seperti berpuasa) dalam
berciuman dan “menyentuh” karena adanya
ketakutan bahwa ciuman dan sentuhan adalah
langkah pertama menuju coitus yang dapat
menghasilkan gairah seksual (Goodson,
Suther, Pruitt, & Wilson dalam Planes et al.,
2009). Senada dengan itu, Horan et al. (2009)
menyatakan bahwa sexual abstinence
merupakan sikap menahan diri dari kegiatan
seksual yang melibatkan vagina, anal, dan
hubungan oral. Sexual abstinence dapat pula
didefinisikan dalam hal perilaku, seperti
“menunda seks” atau “menahan diri” dari
hubungan seksual lebih lanjut”
jika
UAD, Yogyakarta
sebelumnya pernah mengalami hubungan
seksual, serta menahan diri dari perilaku
seksual lain termasuk menyentuh, mencium,
masturbasi, oral seks, dan seks anal (Santelli,
2005). Merujuk dari beberapa definisi tentang
pengendalian
hasrat
seksual
(sexual
abstinence) dan dikaitkan dengan teori
Freudian, maka pengendalian hasrat seksual
dapat diartikan sebagai sikap menahan diri dari
berbagai aktivitas seksual pranikah dengan
cara menyadari munculnya hasrat/dorongan
seksual dalam diri, mengakui berbagai
aktivitas seksual yang pernah dilakukan untuk
memuaskan
hasrat/dorongan
seksual,
mengenali norma yang berkaitan dengan
aktivitas seksual pranikah, mengenali dampak
aktivitas seksual pranikah, mengarahkan
pikiran pada hal-hal positif, dan menetapkan
pilihan/tindakan terkait dengan aktivitas
seksual pranikah.
3. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kuantitatif. Subjek penelitian
sebanyak 98 siswa kelas VIII di salah satu SMP
di Kota Malang yang diambil secara random
sampling. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah skala sexual abstinence
yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya.
Teknik analisis data yang digunakan yaitu
analisis statistik deskriptif. Standar deviasi
digunakan dalam perhitungan
untuk
pengelompokan kriteria. Kriteria yang
dimaksudkan yaitu sangat tinggi, tinggi,
sedang, rendah, dan sangat rendah.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil
analisis
data
menggunakan
statistik
deskriptif
(pengelompokkan
kriteria
berdasarkan
perhitungan standar deviasi), diperoleh data
sebanyak 15,31% siswa berada pada kriteria
sexual abstinence sangat tinggi, 28,57% siswa
berada pada kriteria sexual abstinence tinggi,
19,39% siswa berada pada kriteria sexual
abstinence sedang, 32,65% siswa berada pada
kriteria sexual abstinence rendah, dan 4,08%
siswa berada pada kriteria sexual abstinence
sangat rendah. Hasil pengelompokkan tingkat
sexual abstinence siswa seperti pada Gambar
1.
836
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Hasil Pengelompokkan Tingkat
Sexual Abstinence Siswa
35.00%
30.00%
25.00%
20.00%
15.00%
10.00%
5.00%
0.00%
32.65%
28.57%
19.39%
15.31%
4.08%
Sangat
Tinggi
Tinggi Sedang Rendah Sangat
Rendah
Gambar 1
Hasil Pengelompokkan Tingkat Sexual
Abstinence Siswa
Temuan penting dalam penelitian yang
diperoleh melalui focus group discussion
(FGD) dengan beberapa siswa yang ditentukan
secara random, dapat dijadikan sebagai data
pendukung. Temuan tersebut menyatakan
bahwa seluruh siswa di dalam kelompok FGD
mengakui bahwa mereka pernah melihat
gambar/video porno dan membaca cerita
porno. Kegiatan tersebut secara berulangberulang mereka lakukan untuk memperoleh
kepuasan seksual. Beberapa siswa mengakui
bahwa telah mencontoh aktivitas seksual
dalam video/cerita porno dengan pasangan
mereka (pacar), seperti berpelukan, berciuman,
sampai dengan memegang bagian tubuh
sensitif. Gambar, video, dan cerita porno dapat
dengan mudah diakses oleh siswa melalui
internet sebagai akibat dari revolusi media. Hal
tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Yee (2007) dan Azinar (2013)
bahwa media berkontribusi mendorong remaja
melakukan aktivitas seksual pranikah.
Adanya revolusi media yang sangat
terbuka bagi semua kalangan, dapat
mempengaruhi kehidupan seksualitas remaja.
Berbagai kenikmatan hubungan seksual
menjadi sajian yang sangat menarik dalam
beberapa macam media. Kemudahan dalam
mengakses berbagai situs yang menyajikan
kenikmatan hubungan seksual, menjadikan
remaja menikmati atau bahkan mengimitasi
aktivitas-aktivitas seksual yang disajikan
media tersebut. Berbagai hal yang telah
dipaparkan, mengakibatkan peningkatan
UAD, Yogyakarta
kerentanan remaja terhadap berbagai dampak
negatif, terutama yang berhubungan dengan
pengendalian hasrat seksual. Hasilnya, remaja
yang pada beberapa generasi lalu masih malumalu kini sudah melakukan hubungan seks di
usia dini, yakni 13-15 tahun (Depsos RI dalam
Azinar, 2013).
Saat ini, remaja di Indonesia sedang
mengalami perubahan kondisi sosial secara
signifikan, dari masyarakat tradisional menuju
masyarakat modern. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Rosjidan (dalam Rofiqah,
2007: 6) bahwa remaja sekarang hidup dan
berkembang dalam kondisi sosial dan budaya
yang ditandai dengan gejala kesenjangan
masyarakat dan pergeseran nilai-nilai.
Kehidupan remaja yang dahulu terjaga erat
oleh sistem keluarga, nilai, serta adat budaya
yang ada, kini telah mengalami pengikisan.
Gejala pergeseran nilai dan moral tampak
menonjol dalam beberapa hal, salah satunya
dalam hal nilai-nilai seksualitas. Suwardi
(2009) berpendapat bahwa pada masyarakat
Jawa yang menganut budaya timur, seks
dianggap tidak sekedar persoalan nafsu saja
tetapi terlingkupi etika moral yang luhur.
Namun, hubungan seks yang dahulunya dalam
budaya timur terjadi hanya dalam ikatan
pernikahan, telah bergeser menjadi sekedar
kebutuhan biologis sehingga kehilangan
dimensi spiritual dan sakralnya.
Sebagaimana pernyataan yang telah
diungkapkan oleh Rosjidan, Santrock (2012:
194) menjelaskan pula bahwa hubungan seks
yang berlangsung diantara para remaja
merupakan perluasan dari kecenderungan
umum yang mengarah pada sikap permisif
terhadap kehidupan seksual secara bebas yang
menjadi budaya orang dewasa. Beberapa masa
yang lalu, umumnya seks hanya berlangsung
pada pasangan yang telah menikah, kini seks
pada orang dewasa pun berlangsung secara
terbuka dengan partner seksnya yang tidak
dalam ikatan pernikahan. Hal inilah yang
menjadi cermin para remaja dalam melakukan
aktivitas seksual pranikah.
Perubahan kondisi sosial salah satunya
dipengaruhi oleh masuknya ide-ide baru yang
tersebar luas melalui berbagai macam
teknologi komunikasi. Ide-ide tersebut secara
signifikan dapat menyebar di seluruh kalangan
837
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
masyarakat Indonesia, termasuk para remaja.
Remaja dengan sangat antusias menerima ideide baru dan menjadikannya sebagai gaya
hidup mereka, tanpa adanya filter untuk
memilah antara yang sesuai dengan nilai dan
norma atau justru yang melanggar nilai dan
norma.
Data pendukung lain diperoleh melalui
wawancara dengan konselor di sekolah
tersebut. Hasil wawancara menyatakan bahwa
terdapat beberapa kasus yang menggambarkan
masih rendahnya sexual abstinence pada diri
remaja. Kasus tersebut antara lain siswa hamil
di luar nikah, siswa memiliki hobi
mengunjungi tempat prostitusi, siswa
perempuan menjual dirinya, siswa berciuman
di pojok ruang kelas setelah jam pelajaran
selesai, dan siswa check in di penginapan/vila
bersama pasangannya guna memuaskan hasrat
seksual mereka. Dapat disimpulkan bahwa
data-data yang diperoleh dari hasil penelitian
ini membuktikan bahwa masih rendahnya
sexual abstinence yang dimiliki oleh remaja
sehingga membuat mereka terjerumus dalam
aktivitas seksual pranikah.
Sexual abstinence pada remaja penting
untuk ditingkatkan. Jika tidak, rendahnya
sexual abstinence yang berkelanjutkan akan
berdampak pada kerusakan moral generasi
penerus bangsa. Peningkatan sexual abstinence
dapat dilakukan oleh berbagai pihak, antara
lain guru, konselor, orangtua, dan masyarakat.
Bagi guru, hendaknya selalu menanamkan
nilai-nilai dan moral pada remaja sesuai
dengan karakter Bangsa Indonesia yang dapat
diintegrasikan dalam proses pembelajaran di
kelas. Bagi konselor, peningkatan sexual
abstinence pada siswa (remaja) dapat
dilakukan melalui layanan-layanan dalam
bimbingan dan konseling yang dipandang tepat
dan efektif, misalnya diawali dengan layanan
informasi yang dapat memberikan pemahaman
kepada siswa terkait dengan dampak aktivitas
seksual
pranikah,
layanan
bimbingan
kelompok yang berfungsi sebagai pencegahan
dan pengembangan, serta layanan konseling
yang berfungsi kuratif. Bagi orangtua,
hendaknya selalu memberikan perhatian,
pengawasan, dan dapat dijadikan sebagai
“sahabat/teman sharing” bagi anaknya
sehingga orangtua dapat selalu mengontrol
UAD, Yogyakarta
perilaku anak agar tidak terjerumus dalam
aktivitas seksual pranikah. Bagi masyarakat,
hendaknya dapat menjadi “model” bagi para
remaja bahwa aktivitas seksual hanya
diperbolehkan dalam pernikahan.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat
disimpulkan bahwa diperlukan tindakan yang
berfungsi preventive development maupun
curative dalam menangani sexual abstinence
pada remaja agar remaja terhindar dari perilaku
seks pranikah dan dapat menjadi generasi
penerus bangsa yang bermoral.
6. REFERENSI
Azinar, Muhammad. 2013. Perilaku Seksual
Pranikah Berisiko terhadap Kehamilan
Tidak Diinginkan. Jurnal KEMAS. 8(2):
153-160.
Beritakaltara. 27 Januari 2014. Setengah dari
Jumlah Gadis Muda Kota Hilang
Keperawanan.
(Online),
(http://beritakaltara.com/?p=2053),
diakses 25 Maret 2015.
DeLamater, John D. & Moorman, Sara M.
2007. Sexual Behavior in Later Life.
Journal of Aging and Health. 20(10): 125.
DeLamater, John D. & Sill, Morgan. 2005.
Sexual Desire in Later Life. The Journal
of Sex Research. 42(2): 138–149.
Hall, Calvin S. 1995. Seks, Obsesi, Trauma,
dan Katarsis. Jakarta: Delapratasa.
Horan, Patricia F. et al. 2009. The Meaning of
Abstinence for College Students. Journal
of HIV/AIDS Prevention & Education for
Adolescents & Children. 2(2): 51-66.
Kimberly & Hans. 2011. Abstinence, Sex, and
Virginity: Do They Mean What We Think
They Mean?. American Journal of
Sexuality Education. 6(4): 329-342.
Kompas. 25 Maret 2014. Memprihatinkan, Sisi
Gelap Kehidupan ABG di Aceh. (Online),
(http://regional.kompas.com/read/2014/0
3/25/1213195/Memprihatinkan.Sisi.Gela
p.Kehidupan.ABG.di.Aceh), diakses 25
Maret 2015.
Kompas. 13 Juni 2014. Remaja Makin Permisif
pada
Seks.
(Online),
(http://health.kompas.com/read/2014/06/
838
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
13/1521137/Remaja.Makin.Permisif.pada
.Seks), diakses 12 Desember 2014.
Liputan6. 9 September 2013. Alasan Kenapa
Menikah Muda Membahayakan. (Online),
(http://health.liputan6.com/read/687334/a
lasan-kenapa-menikah-mudamembahayakan), diakses 1 Mei 2015.
Ogunsola, Moses O. 2012. Abstinence from
Premarital Sex: A Precursor to Quality
Relationship and Marital Stability in
Subsequent Marriage in Nigerian Society.
Journal of Psychological Studies. 4(2):
228-234.
Planes, et al. 2009. What is Abstinence?
Definitions and Examples of Abstinence,
to Prevent the Sexual Transmission of the
HIV Virus, According to Spanish
University Students. Journal of Behaviour
Change. 26(3).
Regan, Pamela C. & Atkins, Leah. 2006. Sex
Differences
And
Similarities
In
Frequency And Intensity Of Sexual
Desire. Journal of Social Behavior and
Personality. 34(1): 95-102
Rofiqah. 2007. Pengembangan Paket
Bimbingan Moral bagi Siswa Sekolah
Menengah
Pertama.
Tesis
tidak
Diterbitkan. Malang: Pascasarjana UM.
Santelli, John., et al. 2005. Abstinence and
abstinence-only education: A review of
U.S. policies and programs. Journal of
Adolescent Health. 38(1): 72-81.
Santrock, John W. 2012. Adolescence. New
York: McGraw-Hill Companies.
Scruton, Roger. 2006. Sexual Desire. London:
Continuum.
UAD, Yogyakarta
International Journal of Humanities and
Social Science. 1(18): 90-101.
Yusuf LN, Syamsu. & Nurihsan, Juntika. 2011.
Teori Kepribadian. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Subekhi, Ahmad. 7 November 2013. Perilaku
Seks Remaja Ponorogo Sudah Gawat.
(Online),
(http://daerah.sindonews.com/read/80265
3/23/perilaku-seks-remaja-ponorogosudah-gawat-1383746841), diakses 12
Desember 2014.
Suwardi. 2009. Kramanisasi Seks dalam
Kehidupan
Orang
Jawa
Melalui
Ungkapan Tradisional. Jurnal Humaniora
FIB UGM. 21(3).
Yee, Kimberly Aumack. 2007. Teens Talking
About Sexual Health: Girl-Directed Tools
to Trigger Partner Communication.
839
Download