BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Setiap kegiatan industri akan menghasilkan limbah sebagai sisa hasil proses produksi, baik limbah padat, cair, maupun gas. Limbah dari kegiatan industri mempunyai potensi cukup besar pada pencemaran lingkungan, salah satu diantaranya adalah limbah cair. Limbah cair dihasilkan dari air bersih yang telah digunakan untuk berbagai keperluan. Penggunaan air untuk berbagai kegiatan menghasilkan limbah cair karena tidak semua air yang digunakan terikut sebagai bagian dari barang atau bahan yang diproduksi. Dalam limbah cair terdapat bahan kimia yang sukar untuk dihilangkan dan berbahaya. Jika air limbah tidak terolah terakumulasi, akan terjadi dekomposisi material organik yang terkandung dalam limbah tersebut dan akan menyebabkan air bersifat septik dan bau. Air limbah tidak terolah biasanya mengandung berbagai jenis mikroorganisme patogen dan bahan-bahan kimia yang dapat memberi kehidupan bagi kuman-kuman penyebab penyakit. Industri Tahu dan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan industri bahan makanan yang banyak ditemui di Indonesia. Kedua jenis industri bahan makanan tersebut merupakan penghasil limbah cair yang memiliki kandungan zat organik sangat tinggi. Apabila langsung dibuang ke badan air tanpa dilakukan pengolahan maka dapat menyebabkan pencemaran air dan penurunan kualitas lingkungan. Constructed wetland diharapkan dapat mengatasi masalah limbah cair yang berasal dari RPH dan Industri Tahu. 2.2 Air Limbah RPH Rumah potong hewan (RPH) merupakan salah satu fasilitas perkotaan yang menyediakan kebutuhan pangan masyarakat, khususnya kebutuhan akan daging. Di kota Bandung terdapat ± 7 RPH yang mengolah ternak potong rata-rata II-1 sejumlah 84.000 ekor setiap tahunnya, baik ternak besar maupun ternak kecil (Nuraini, 2002). RPH yang ada, pada umumnya tidak memiliki sarana pengolahan limbah yang memadai. Hal ini bisa berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan. Limbah yang dihasilikan RPH dapat mencemari lingkungan karena industri ini menghasilkan air buangan dengan konsentrasi parameter-parameter tertentu yang lebih tinggi dibandingkan dengan air buangan domestik. Oleh karena itu, pengolahannya tidak dapat disatukan dengan air buangan domestik. Sebagai upaya untuk menghindari pencemaran air dibutuhkan suatu standar untuk buangan industri yang akan bervariasi tergantung pada tempat pembuangan efluen, tingkat pengenceran dalam badan air penerima, dan ketersediaan fasilitas kota untuk penampungan dan penanganan air buangan tersebut. Apabila tidak tersedia fasilitas pengolahan limbah kota, maka RPH tersebut harus menyediakan sendiri sistem penanganan dan pembuangan limbahnya. Air buangan dari RPH biasanya mengandung zat organik tinggi, senyawa nitrogen relatif tinggi, serta mengandung zat padat dan lemak (Azad, 1976). Kandungan bahan organik yang tinggi dapat menjadi sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini dapat mereduksi kandungan O2 terlarut dalam air. Bila O2 terlarut dalam air habis sama sekali karena kadar bahan organik yang tinggi, maka akan timbul bau busuk dan warna air menjadi gelap. Bila protein yang terdapat dalam air mengandung sulfur atau kandungan sulfat alamiah dalam air tinggi, maka akan dihasilkan gas H2S yang menimbulkan bau. Indikator polutan lain yang terlihat dari limbah RPH adalah warnanya yang merah dan coklat gelap. Hal ini dapat menyebakan protes masyarakat sekitar karena mengganggu pemandangan dan nilai estetika bagi pihak yang ingin memanfaatkan badan air tersebut. Kegiatan RPH yang dapat memberikan dampak terhadap kualitas lingkungan sekitarnya dapat dilihat pada Tabel 2.1. II-2 Tabel 2.1 Sumber Dampak Kegiatan RPH terhadap Lingkungan SUMBER LIMBAH ASAL BENTUK FISIK Limbah Padat - Kotoran/tinja Kandang hewan - Kotoran perut Pembersihan isi perut - Sisa daging, lemak, dan lain- Pembersihan daging Gumpalan lain Limbah Cair - Pemotongan hewan Rumah Pemotongan Hewan Darah (RPH) Darah campur air Kandang hewan Gas - Pembersihan Pencemaran Udara - Bau Sumber : Rumah Pemotongan Hewan Dago Bengkok, Bandung 2.2.1 Proses Terbentuknya Limbah RPH Sumber utama air limbah RPH adalah kandang hewan dan ruang pemotongan hewan. Sumber air limbah yang pertama yaitu kandang hewan. Di RPH Dago Bengkok kandang hewan berupa kandang terbuka berlantai tanah kotor, ada juga yang sudah tertutup dan berlantai beton. Bagian dari kandang ini terdiri dari kotoran cair dan padat yang dibuang dari kandang pada waktu pembersihan atau pada saat hujan turun (pada kandang terbuka). Volume dan kadar buangan ini bervariasi tergantung frekuensi pembersihan dan intensitas hujan. Sumber air limbah yang kedua yaitu ruang pemotongan hewan. Buangan utama yang dihasilkan dari ruang pemotongan ini berasal dari pemotongan, pembersihan bulu hewan dan bagian dalam, pemotongan daging, dan pencucian. Dari proses-proses ini, ruang pemotongan biasanya menghasilkan buangan terbanyak sebagian besar terdiri dari darah. Kotoran perut dan cairannya dibuang atau digunakan sebagai pupuk, sedangkan darah dan air pencuci masuk ke saluran pembuangan. Sesuai ruang lingkup pemeriksaan, maka inventarisasi limbah yang dilakukan hanya pada proses pemotongan ayam. Limbah yang dihasilkan dari proses pemotongan ayam antara lain : II-3 • Limbah darah dari proses pemotongan ayam • Limbah dari sisa bak air panas • Limbah darah dan kotoran dari bak pencucian Proses kerja pada RPH ayam Dago Bengkok ditunjukkan pada Gambar 2.1. Pemotongan ayam Dimasukkan ke dalam air panas Pembersihan bulu dan bagian dalam Pencucian Ayam yang telah bersih Darah dan air pencucian Air panas bercampur darah dan bulu ayam Bulu, kotoran perut dan air pencucian Sisa air pencucian akhir Siap dipasarkan Gambar 2.1 Skematik proses kerja pada RPH ayam Dago Bengkok (sonie, 2007) 2.2.2 Karakteristik Air Limbah RPH Air limbah RPH berwarna merah-kecoklatan, limbah tersebut mengandung darah, lemak, padatan organik dan anorganik, campuran bulu dan kotoran hewan. Kandungan COD dan konsentrasi padatan dalam efluen RPH akan tergantung pada pengawasan terhadap air yang digunakan, pemisahan limbah, dan manajemen RPH dalam mengelola limbahnya. Efluen dari RPH mengandung air limbah dengan konsentrasi sedang sampai tinggi. Efluen ini mengandung organik terlarut (45%) dan tersuspensi (55%). Kebanyakan organik dihasilkan dari darah dan kotoran. Komposisi dan besarnya aliran umumnya tergantung dari jumlah hewan yang dipotong. (Manjunath et.al, diambil dari TA Sonie, 2007). Karakteristik air buangan RPH dapat dilihat pada Tabel 2.2. II-4 Tabel 2.2 Karakteristik Limbah RPH Parameter Konsentrasi RPH RPH Mis Ciroyom (*) Chicken (*) 27.4 oC 25.2 oC Suhu Manjunath, 2000 (*) - RPH Dago Bengkok (**) 27 – 33 0C pH 6.5-7.3 6.6 8.05 6,64 – 7,9 TSS 300-2300 mg/l 1244 mg/l 172.4 mg/l 20 – 1492 mg/l BOD5 600-3500 mg/l 1100 mg/l 2943-3160 mg/l 1165 – 3740 mg/l Lemak 400-725 mg/l 1.4 mg/l - 29,4 – 41 mg/l NTK 90-150 mg/l - - 39,2 – 214,36 mg/l Fosfat 8-15 mg/l - 3.72 mg/l 19,72 - 27,231 mg/l COD 1100-7250 mg/l 2460 mg/l 3205 mg/l 2451 – 9344 mg/l Sumber: (*) Danielaini, 2002 dan Elyzabeth, 2002 (**) Sonie,2007 2.3 Air Limbah Industri Tahu Industri Tahu merupakan industri kecil yang termasuk kelompok industri pangan. Di Jawa Barat, industri kecil berkembang pesat dengan tingkat perkembangan 4,78 % per tahun dengan 24,12 % merupakan kelompok industri pangan, termasuk Industri Tahu (Departemen Perindustrian, 1994). Perkembangan Industri Tahu ini membawa dampak positif bagi masyarakat yaitu mampu menyerap tenaga kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Namun di sisi lain, Industri Tahu ini pun memberikan dampak negatif bagi lingkungan yaitu meningkatnya air buangan dari pembuatan tahu. Limbah tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu maupun pada saat pencucian kedelai. Limbah tahu keruh dan berwarna kuning muda keabu-abuan, bila dibiarkan akan berwarna hitam dan berbau busuk. Limbah yang dihasilkan berupa limbah padat dan cair. Limbah padat belum dirasakan dampaknya terhadap lingkungan karena dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak, tetapi limbah cair dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan karena pada umumnya limbah tersebut memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Potensi pencemaran badan air akibat tercemar air buangan cukup besar karena dalam pembuatan tahu diperlukan air sekitar 75 – 150 liter untuk tiap kg II-5 kedelai dan sebagian besar air ini dibuang. Air yang digunakan kembali hanya air bekas fermentasi yang digunakan sebagai bibit untuk pembutan tahu berikutnya sekitar 50-70 liter. Pada umumnya pembuat tahu membuang air buangannya langsung ke badan air penerima karena ketidaktahuan atau ketidakmampuan untuk mengolah limbah tersebut. 2.3.1 Proses Terbentuknya Limbah Tahu Limbah cair pada Industri Tahu ini berasal dari proses-proses yang terlibat dalam pembuatan tahu, mulai dari proses awal yaitu pencucian kedelai, sampai tahu yang telah jadi. Gambar 2.2 memperlihatkan proses pembuatan tahu. Kacang Kedelai Pembersihan Air sisa perendaman Perendaman Air dingin Air sisa pencucian Pencucian Air dingin Penggilingan Air dingin Perebusan Air hangat Penyaringan Air hangat Air sisa pencetakan Pencetakan Air sisa pewarnaan Pewarnaan Tahu Tahu Gambar 2.2 Proses pembuatan tahu secara konvensional (Royanti, 2001) Secara sistematis, proses-proses yang terdapat dalam pembuatan tahu dapat dilihat pada Gambar 2.3. II-6 Gambar 2.3 Skema proses pembuatan tahu Dari berbagai tahapan proses pembuatan tahu tersebut dihasilkan limbah yang berpotensi mengakibatkan pencemaran bagi lingkungan. Limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan tahu antara lain : Air dari proses perendaman dan pencucian kedelai. Sisa air tahu yang tidak menggumpal. Potongan tahu yang hancur pada saat proses karena kurang sempurnanya proses penggumpalan. Air sisa perebusan tahu dengan kunyit dan garam (apabila diproduksi juga tahu kuning). 2.3.2 Karakteristik Air Limbah Tahu Air limbah tahu mengandung padatan tersuspensi maupun terlarut yang akan mengalami perubahan secara fisika, kimia, dan hayati menghasilkan zat beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya kuman penyakit yang II-7 merugikan baik pada tahu sendiri maupun tubuh manusia. Air limbah akan berubah warnanya menjadi coklat kehitaman dan berbau busuk. Bau busuk ini akan mengakibatkan sakit pernapasan. Apabila air limbah ini merembes ke dalam tanah yang dekat dengan sumur, maka air sumur itu tidak dapat dimanfaatkan lagi. Apabila limbah ini dialirkan ke sungai maka akan mencemari sungai dan bila masih digunakan akan menimbulkan penyakit gatal, diare, dan penyakit lainnya. Hasil pemeriksaan air buangan dari Industri Tahu dengan mengambil sampel Industri Tahu dari dua tempat, yaitu Industri Tahu Tauhid Lembang pada tahun 2001, dan Industri Tahu Cibuntu pada tahun 2000 dan 2001 dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Hasil Pemeriksaan Air Buangan Industri Tahu Parameter Satuan Tauhid tahun '01 Kualitas Air Buangan Industri Tahu Dago Bengkok Cibuntu (*) tahun '00 tahun '01 2007 Gol. Baku Mutu III pH - 5.3 4.5 – 5 3.61 4,1 – 5,15 6.0 - 9.0 Temperatur Daya Hantar Listrik Oksigen Terlarut (DO) Warna TSS TDS Kekeruhan COD ºC µmhos mg/l Pt-Co mg/l mg/l NTU mg/l 78 >1000 2.3 15000 950 46338 136.5 1000 36 19390 2319.6 13468 190 400 60 5320 148 13050 118000 25 – 41 460 – 1272 8333,4 – 8409,6 3 400 1000 50 BOD mg/l 3231 378,621 3400 - 3650 6 NTK N – Ammonium N – Organik Nitrat Nitrit Zat Organik Total fosfat mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l KmnO4 mg/l 616.352 112.064 504.288 - 2.269 1.753 - 565.6 44.8 520.8 12.16 0 3370.67 - 26,6 – 202,48 0,523 – 2.998 20 0.06 1 Lemak mg/l - - - 10,52 – 30 - Sumber : Katharina Oginawati, Bahan Kuliah Teknologi Bersih, 2006 (*)Sonie, 2007 Dari Tabel 2.3 diketahui bahwa parameter-parameter air buangan Industri Tahu yang melewati baku mutu PP No.82 tahun 2001 untuk golongan III adalah : pH, TSS, TDS, COD, BOD, Nitrit, total fosfat. Dengan demikian, jika air buangan tahu ini langsung dibuang ke badan air dapat mengganggu keseimbangan ekosistem air. Jika kandungan nitrogen atau fosfor dalam air tinggi maka akan II-8 mengakibatkan tertutupnya perairan oleh tanaman air. Jika keadaan ini dibiarkan perairan dapat menjadi anaerob. Kondisi anaerob ini dapat mengganggu kehidupan pada ekosistem air terutama bagi satwa air. 2.4 Wetland Wetland atau lahan basah merupakan zona transisi antara tanah kening (terrestrial) dan sistem perairan. Wetland mempunyai ciri khusus dengan adanya air yang menggenangi daerah tersebut, dan memiliki tanah yang berbeda dibanding daratan kening yang berdekatan dengan air, serta mendukung vegetasi yang dapat beradaptasi pada kondisi basah dan tergenang. Menurut Hammer (1992) wetland didefenisikan sebaagai sistem pengolahan air limbah yang memenuhi tiga faktor: a. Area yang tergenang air dan mendukung hidupnya tumbuhan air. b. Media tempat tumbuh tumbuhan air, berupa tanah yang selalu digenangi air. c. Media tumbuh tumbuhan air, bisa juga bukan tanah, tetapi media yang jenuh dengan air. Secara garis besar wetland dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Natural Wetland Natural wetland merupakan pengolahan air yang terjadi secara alami, seperti yang terjadi di rawa-rawa dekat pesisir pantai, ataupun sepanjang aliran sungai yang lambat. Tumbuhan airnya tidak diperlakukan secara terencana, debit air limbah yang mengalir tidak direncanakan, dan kehidupan biota sangat beraneka ragam. Natural wetland, terutama pada daerah tropis, memiliki perubahan level muka air yang cukup tinggi dan sering sehingga vegetasi harus beradaptasi dengan keadaan hidrologi tersebut. Natural wetland memiliki karakteristik yang spesifik terhadap komponen fungsionalnya. Hasil pengolahan limbah yang diperoleh dari suatu tipe natural wetland pada suatu daerah belum tentu memberikan hasil yang sama pada daerah yang berbeda meskipun jenis limbahnya sama. Meskipun dapat diamati peningkatan kualitas limbah cair yang telah melewati suatu natural wetland, tidak II-9 mungkin untuk memperoleh hitungan yang tepat terhadap kemampuan penguraian dari natural wetland tersebut. Sebagai bahan pertimbangan dalam sistem natural wetland, yang harus diperhatikan yaitu: a. Pengolahan air Iimbah terbatas hanya untuk pengolahan lanjutan. b. Tidak diketahui secara jelas bagaimana kondisi area untuk natural wetland ini. Pada umumnya daerah tersebut sudah menerima beban air limbah dalam waktu yang cukup lama, sehingga kondisinya sudah jenuh dan tidak dapat menerima tambahan beban lagi. c. Adanya eutrofikasi karena pembuangan air limbah domestik maupun industri meningkatkan konsentrasi nutrien dalam area natural wetlan sehingga menimbulkan peningkatan pertumbuhan tumbuhan air dalam area tersebut. 2. Constructed Wetland Pada prinsipnya hampir sama dengan natural wetland, namun sistem pengolahannya memilik struktur yang direncanakan seperti : a. Debit aliran b. Beban organik tertentu c. Kedalaman media tanah maupun air < 0,6 m d. Dilakukan pemeliharaan terhadap tumbuhah air selama proses pengolahan berlangsung. Pada constructed wetland level muka air sepanjang tahun hampir seragam, tidak mengalami perubahan yang signifikan, kecuali pengaruh dari ketersediaan limbah cair yang akan diolah. Constructed wetland memiliki susunan media yang jauh berbeda dengan natural wetland karena telah didesain seoptimal mungkin untuk memudahkan pergerakan air. Sistem ini memakai berbagai konfigurasi yang berbeda seperti jenis media dan jenis tumbuhan air. Perbedaan yang paling jelas yaitu pada keanekaragaman hayati. Natural wetland memiliki tingkat keanekaragaman dan kerapatan vegetasi yang tinggi dibandingkan constructed wetland karena vegetasi yang ada telah terbentuk dan II-10 dibiarkan tumbuh secara alami. Sedangkan untuk constructed wetland biasanya didesain hanya memiliki satu jenis vegetasi. Meskipun tiap tahun kerapatannya semakin bertambah, kerapatan pada constructed wetland tetap rendah karena dilakukan pembersihan (panen) untuk mengurangi kepadatan pada constructed wetland. Pada pertengahan tahun 1970-an, sudah banyak dilakukan penelitian, pemanfaatan, perencanaan, dan pengontrolan kapasitas kemampuan penguraian dari beberapa natural wetland untuk mengetahui kualitas air yang tepat. Penelitian ini telah menghasilkan desain rekonstruksi atau ciptaan lahan basah untuk mengolah limbah cair. Kenyataannya, cenderung untuk mempertahankan natural wetland yang sudah ada dan untuk merancang constructed wetland yang sesuai untuk purifikasi. Constructed wetland memiliki kemampuan efisiensi yang lebih tinggi, jika dimanfaatkan untuk pengolahan air limbah. Hal ini disebabkan karena constructed wetland lebih mudah dikontrol dan konstruksinya dapat didesain sesuai dengan fasilitas yang dikehendaki seperti komposisi substrat, jenis vegetasi, kecepatan aliran, dan debit aliran. 2.5 Constructed Wetland Constructed wetland merupakan sistem pengolahan terencana atau terkontrol yang telah didesain dan dibangun dengan menggunakan proses alami yang melibatkan vegetasi wetland, media, dan mikroorganisme untuk mengolah air limbah. Aplikasi wetland saat ini sudah banyak digunakan di berbagai negara untuk pengolahan limbah cair, baik domestik maupun non-domestik. Umumnya constructed wetland digunakan sebagai kolam penyimpanan sebelum air limbah dibuang ke lingkungan atau badan air sehingga diperlukan pengolahan awal sebelum dialirkan ke dalam constructed wetland. Constructed wetland sangat cocok diaplikasikan di negara-negara berkembang karena sangat fleksibel dalam ukuran maupun fungsi yang diperlukan. Sistem ini cocok diterapkan di Indonesia, karena selain lahan yang dibutuhkan masih tersedia, juga iklim tropis yang sangat mendukung, II-11 menyediakan lingkungan yang sangat baik untuk lahan basah buatan karena temperatur yang lebih hangat dapat meningkatkan aktivitas biologis dan efisiensi penyisihan. Keunggulan constructed wetland dibandingkan dengan fasilitas pengolahan limbah konvensional adalah : 1. Biaya investasi, operasi, dan pemeliharaan yang lebih murah. 2. Pengoperasian dan perawatan lebih mudah sehingga dapat dilakukan oleh tenaga lokal. 3. Mempunyai efisiensi yang cukup tinggi. 4. Relatif toleran terhadap berbagai tingkat konsentrasi bahan pencemar sebagai akibat fluktuasi hidrolis. 5. Bahan pencemar di dalam air limbah dapat didaur ulang untuk menjadi biomassa yang bernilai ekonomis. 6. Cocok dikembangkan di pemukiman kecil, daerah pertanian, dan daerah pertambangan yang mampunyai lahan cukup luas. 7. Memberikan keuntungan yang tidak langsung seperti pemanfaatan tanaman yang digunakan pada constructed wetland (bahan dasar untuk pakan ternak, kosmetik, obat-obatan, kertas, pupuk, tanaman hias), mendukung fungsi ekologis, kawasan hijau, habitat satwa, dan juga untuk pendidikan dan kawasan rekreasi. Walaupun memiliki sejumlah keunggulan, teknologi constructed wetland seperti teknologi pengolah air limbah lainnya juga mempunyai keterbatasan (Hammer, 1989). Beberapa keterbatasan constructed wetland dibandingkan dengan fasilitas pengolahan limbah konvensional adalah : 1. Memerlukan lahan yang luas. 2. Kriteria desain dan operasi masih belum jelas. 3. Kompleksitas biologis dan hidrologis belum dipahami dengan baik. 4. Kemungkinan berkembangnya vektor penyakit dalam sistem constructed wetland seperti nyamuk. II-12 2.5.1 Tipe Constructed Wetland Pada dasarnya aliran air dalam sistem constructed wetland terdiri dari dua aliran (EPA, 1988), yaitu aliran permukaan (Free Water Surface) dan aliran bawah permukaan (Subsurface Flow System). Pada subsurface flow system ada dua macam pola aliran yaitu aliran horizontal (Horizontal subsurface flow, HSF), dan aliran vertikal (vertical flow system, VFS). 2.5.1.1 Free Water Surface (FWS) Pada sistem ini air mengalir dari satu kolam ke kolam lain dengan permukaan air yang terbuka. Pada bagian dasar tanah telah dilapisi dengan bahan yang kedap air, misalnya lapisan tanah liat, dan plastik. Pengolahan awal biasanya digunakan terlebih dahulu dan selanjutnya terjadi pengolahan dimana air limbah mengalir pelan melewati batang dan akar tanaman yang ditanam di atas kolam. Proses pengendapan merupakan mekanisme pengolahan utama pada tipe ini. Kolam berisi tanaman terapung, lapisan tanah di dasar kolam berfungsi sebagai media akar. Kedalaman air berkisar dari 0,3 m sampai 0,8 m, tergantung dari tujuan dibangunnya lahan basah buatan ini. dengan debit air limbah cair berkisar 4 - 75.000 m3/detik. Bentuk penampang dan pola aliran pada sistem ini dapat dilihat pada Gambar 2.4. Gambar 2.4 Pola aliran pada FWS Sumber: http://www.iridra.com/index_eng.htm Pada prakteknya, free water system jarang digunakan karena sistem ini dapat menjadi sarang bagi vektor penyakit (seperti nyamuk) serta menimbulkan bau. Jenis constructed wetland yang sering digunakan yaitu HSF dan VSF. II-13 2.5.1.2 Vertical Flow System (VFS) Pada dasarnya tipe ini hampir sama dengan tipe HSF, hanya berbeda pada arah aliran air. Sistem pengalirannya tidak dilakukan secara kontinu tetapi dengan batch. Air limbah cair yang masuk dari atas akan mengalir ke bawah dengan melewati zona akar dengan gaya gravitasi akhirnya keluar dari dasar media. Tipe vertical flow system dapat dilihat pada Gambar 2.5. Gambar 2.5 Pola aliran pada VFS Sumber: http://www.iridra.com/index_eng.htm VFS baik digunakan untuk proses nitrifikasi karena kemampuan transfer oksigen yang tinggi, serta penyisihan BOD dan COD. VFS kurang bagus untuk penyisihan partikel tersuspensi dan dapat mengakibatkan clogging jika pemilihan pasir tidak tepat. 2.5.1.3 Horizontal Subsurface Flow (HSF) Horizontal subsurface flow (HSF) berupa kolam atau reservoir yang berisi material dasar yang dipilih secara granulometry dengan tujuan untuk memastikan hydraulic conductivity (media yang digunakan umumnya pasir dan kerikil). Fungsi dari material dasar tersebut untuk mendukung pertumbuhan akar. Dasar kolam harus kedap air dengan tujuan untuk mencegah terjadinya presipitasi ke dalam tanah sebelum sempat diolah pada constructed wetland, biasanya dilapisi dengan tanah liat atau membran sintetis (HDPE atau LDPE 2 mm). Dasar constructed wetland biasanya diberi slope (sekiatr 1%) untuk memastikan pada constructed wetland terjadi aliran dari inlet ke outlet. Tipe horizontal subsurface flow dapat dilihat pada Gambar 2.6. II-14 Gambar 2.6 Pola aliran pada HSF Sumber: http://www.iridra.com/index_eng.htm Kedalaman media berkisar antara 0,3-0,6 m. Tinggi permukaan air dipertahankan selalu berada sekitar 15 cm di bawah permukaan media dengan mengatur ketinggian outlet agar berada di bawah permukaan media. Tanah atau media dalam HSF akan menjadi anaerob karena penggenangan yang terus menerus. Vegetasi dari HSF ini ditanam di media lapisan paling atas. Tanaman yang berada di atas media memilki kemampuan dalam mengadsorbsi oksigen dengan menggunakan daun dan batang yang berada diatas permukaan media. Oksigen ditransfer ke akar sehingga keadaan di sekitar akar dapat menjadi aerob. Tanaman dapat mentransfer oksigen sekitar 5-45 g oksigen per hari per meter persegi luas permukaan constructed wetland, tergantung pada kepadatan tanaman dan oxygen stress levels pada zona akar. Sebagian dari oksigen yang berada di dalam akar dapat mencapai permukaan akar atau rhizome sehingga membentuk aerobic microsites. Aerobic microsites dapat membantu proses aerobik yang terjadi pada mikroorganisme, seperti proses nitrifikasi. Untuk meningkatkan efisiensi HSF sangat penting untuk memperluas penetrasi akar ke dalam media sehingga menciptakan kontak yang lebih besar antara akar dan limbah. Keuntungan dari tipe HSF ini adalah tidak adanya genangan air yang dapat menimbulkan bau dan menjadi tempat nyamuk berkembang biak. HSF baik digunakan untuk penyisihan partikel tersuspensi karena kemampuannya untuk menyaring, penyisihan BOD, dan denitrifikasi (selama masih tersedia oksigen dalam bentuk nitrat). Bila didesain dan dibuat konstruksi yang baik operasinya II-15 akan mudah dan proses pengolahannya berjalan secara alamiah dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu 15-20 tahun. Kekurangan dari HSF yaitu tidak bagus untuk proses nitrifikasi karena keterbatasan kemampuan transfer oksigen. Selain itu bakteri menghasilkan biofilm yang dapat menyumbat pori-pori media sehingga menyebabkan clogging. Sering terjadi aliran pendek yang menyebabkan menurunnya efisiensi pengolahan. HSF tidak cocok digunakan untuk pengolahan air limbah yang mempunyai beban suspended solid sangat tinggi. Oleh karena itu dianjurkan adanya unit pengolahan pendahuluan seperi bak sedimentasi, tangki septik, tangki imhoff, dll. Biaya konstruksi yang dibutuhkan untuk tipe ini juga jauh lebih tinggi dari tipe free water surface. Untuk mendesain wetland horizontal subsurface flow ada beberapa kriteria desain yang telah ditetapkan melalui beberapa percobaan. Pada Tabel 2.4 dapat dilihat kriteria desain yang dapat digunakan pada susbsurface wetland. Tabel 2.4 Kriteria Desain Pada Horizontal Subsurface Flow Parameter Desain Satuan Metcalf Eddy, 1991 Crites & Tchobanouglous, 1998 Waktu detensi hidrolis Hari 4-15 3-4 (BOD) 6-10 (N) Tinggi muka air Cm 30-75 30-60 Beban BOD g/m2.h <6,65 <11,2 Beban hidrolis m3/m2.h 0,014-0,047 - Berdasarkan US-EPA (1993) langkah pertama yang perlu diketahui untuk mendesain constructed wetland yaitu menghitung nilai KT yang berguna untuk menentukan luas permukaan constructed wetland. KT merupakan konstanta temperatur yang diperoleh dari konversi konstanta pada saat suhu 20oC dengan faktor koreksi 1,1. Persamaan untuk menghitung nilai KT dapat dilihat pada persamaan 2-1. Suhu yang digunakan untuk menghitung nilai KT yaitu suhu terendah yang dimiliki oleh limbah cair pada saat musim dingin. Hal ini dilakukan karena pada saat musim dingin, aktivitas penguraian zat organik oleh II-16 mikroorganisme berjalan lambat Sehingga akan dibutuhkan waktu detensi lebih lama untuk menghasilkan efluen yang diinginkan. KT = K20 (1,06)(T-20) (2-1) (USEPA, 1993) KT = konstanta temperatur (/hari) K20 = 1,104/hari T = suhu air (oC) Nilai KT yang diperoleh dapat digunakan untuk menghitung waktu detensi (t) untuk penyisihan BOD serta luas permukaan dengan menggunakan rumus 2-2 dan 2-3. Ada beberapa literatur yang langsung memberikan nilai KT sehingga persamaan 2-4 langsung dapat digunakan. Menurut (Arceivala,1998), nilai KT untuk daerah yang hangat seperti India memiliki nilai KT berkisar 0,18-0,2/hari. Namun, data ini masih harus diteliti lebih lanjut. t= ln(C e / C o ) KT (2-2) AS = Qt dn (2-3) Persamaan 2-2 dan 2-3 dapat ditulis menjadi persamaan 2-4. Untuk nilai n dapat dilihat pada Tabel 2.4. AS = Q (ln C o ln C e ) K T dn (2-4) AS = luas permukaan constructed wetland (m2) Q = debit (m3/hari) Ce = efluen BOD (mg/l) Co = influen BOD (mg/l) KT = konstanta temperatur (/hari) d = kedalaman media (m) n = porositas media Untuk penampang melintang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2-5. Nilai Ks dapat dilihat pada Tabel 2.5. II-17 Q KsS Ac = (2-5) AC = luas penampang constructed wetland (m2) Q = debit (m3/hari) KS = Hydraulic konductivity (m3/m2/hari) S = Slope Setelah memperoleh nilai Ac dapat dihitung lebar constructed wetland (W) dengan menggunakan persamaan 2-6. Serta juga dapat diperoleh panjang constructed wetland (L) dengan menggunakan persamaan 2-7. W = AC / d (2-6) L = AS / W (2-7) Setelah dimensi constructed wetland dan debit diketahui maka dapat dihitung waktu detensi (t) yang digunakan pada constructed wetland dengan menggunakan persamaan 2-8. t LWdn Tabel 2.5 (2-8) Q Karakteristik Media pada Subsurface Flow System Tipe media Coarse Sand Gravelly Sand Fine Gravel Medium Gravel Coarse Rock Max 10% Ukuran butiran (mm) Porositas (n) (%) Ks (m /m2/hari) 2 8 16 32 128 32 35 38 40 45 1000 5000 7500 10000 100000 3 Sumber: USEPA, 1993 2.5.2 Komponen-komponen Constructed wetland Agar pengolahan air limbah efektif maka constructed wetland membutuhkan beberapa komponen penting (Hammer, 1989), yaitu: 1. Substrat/ media (tanah, pasir, kerikil, dll) dengan berbagai tingkat konduktivitas hidrologis. II-18 2. Tumbuhan akuatik, baik yang tumbuh melekat pada substrat maupun yang mengapung dalam air. 3. Genangan air baik yang mengalir di atas atau di bawah permukaan tanah. 4. Mikroorganisme aerob dan anaerob. 5. Hewan yang bertulang belakang dan tidak bertulang belakang. Komponen biotik dan abiotik pada constructed wetland saling berinteraksi membentuk keseimbangan jaring-jaring makanan dan perpindahan energi. Ketika air limbah masuk ke dalam sistem tersebut, bahan pencemar yang terkandung di dalamnya akan menjadi salah satu bahan baku dalam mata rantai makanan yang akan didegradasi oleh mikroorganisme dan diserap oleh tanaman. 2.5.2.1 Substrat/Media Substrat/media yang sering digunakan dalam constructed wetland adalah tanah, pasir, kerikil. Media ini mempunyai nilai konduktivitas tertentu yang akan mempengaruhi waktu detensi sistem. Konduktivitas hidrolis merupakan kemampuan media untuk menghantarkan atau melewatkan cairan. Semakin besar nilai konduktivitas maka nilai waktu detensi semakin kecil. Pemilihan media yang akan digunakan tergantung pada karakteristik air limbah, tujuan utama pengolahan yang diinginkan, dan karakteristik desain yang akan digunakan. Masing-masing media memiliki kelebihan dan kekurangan tertentu sehingga pada prakteknya seringkali digunakan kombinasi dari beberapa media. Tanah baik untuk pertumbuhan tanaman, menyediakan dukungan fisik yang diperlukan bagi sistem perakaran dan juga berfungsi sebagai reservoir udara, air, dan nutrien yang juga penting bagi tanaman. Tanah juga dapat menyerap senyawa- senyawa organik dan nutrien yang terdapat pada air buangan (tanah liat sering digunakan sebagai media untuk penyisihan fosfor). Pasir baik untuk pertumbuhan tanaman, penetrasi akar tanaman dapat menjadi lebih dalam. Media pasir akan cepat mengalami clogging jika beban suspended solid pada air buangan cukup tinggi. Kerikil dapat mengatasi masalah clogging, akan tetapi kurang baik untuk aktivitas dan perkembangbiakan bakteri dibandingkan tanah dan pasir. II-19 2.5.2.2 Vegetasi dalam Constructed Wetland Tanaman adalah komponen penting dalam constructed wetland yaitu mentransfer oksigen melalui akar dan sistem rhizome menuju bagian dasar media dan meyediakan suatu media di bawah air untuk tempat melekatnya mikroorganisme. Selain itu tanaman air juga menyerap bahan pencemar dari air limbah untuk menjadi biomassa yang dapat bernilai ekonomis tergantung jenis tanamannya. Beberapa tanaman air dapat menyerap zat-zat organik dan beberapa komponen organik dalam air. Tanaman akan melahirkan suatu micro ecosystem yang menghasilkan sinergi yang positif terhadap proses pengolahan limbah. Tanaman tersebut mengarsorbsi dan meleburkan material-material terlarut tersebut ke dalam struktur metabolisme mereka sendiri. Kadar unsur hara anorganik ideal yang dibutuhkan oleh tanaman ditunjukkan pada Tabel 2.6. Tabel 2.6 Kadar Unsur Hara Anorganik Ideal yang Dibutuhkan Tanaman Unsur hara anorganik Nitrat (sebagai N) Ammonia nitrogen (sebagai N) Fosfor (sebagai P) Kalium Kalsium Magnesium Besi Mangan Natrium Klor Sumber : Wheatley, 1987 Komposisi ideal bagi tanaman (mg/l) 40-45 0,1 90-100 90-100 125 85 8-12 1 60 50 Fungsi tanaman air dalam pengolahan air limbah dengan constructed wetland adalah sebagai berikut : 1. Akar atau batang yang terendam dalam air : sebagai tempat tumbuhnya bakteri sebagai media absorbsi dan filtrasi dari solid 2. Batang atau daun pada atau di atas permukaan air : mengurangi sinar matahari sehingga dapat mencegah pertumbuhan alga II-20 mengurangi efek angin dari air meningkatkan transfer oksigen ke akar Tujuan utama pemanfaatan tanaman ini adalah untuk menjaga kondisi konduktivitas hidrolis dari bidang pengolahan dan menyediakan sarana transfer oksigen dari udara ke akar. Tanaman mengkonversi energi sinar matahari menjadi energi kimia dan membawa oksigen dari permukaan daun dan batang untuk dilepaskan di akar, sehingga dapat memungkinkan terjadinya degradasi senyawa organik dan anorganik. Zona akar tanaman pada constructed wetland dapat dilahat pada Gambar 2.7. Gambar 2.7 Zona akar tanaman pada wetland (Sumber : www.Constructed wetland /wastewater treatment system.com) Pada daerah akar terjadi degradasi materi organik secara aerob dan anaerob. Selama limbah cair melewati rizosfer dari tanaman, materi organik akan terdekomposisi akibat aktivitas mikroba, nitrogen terdenitrifikasi, jika tersedia materi organik yang cukup, phosphor dan logam berat akan teradsorpsi oleh media. Vegetasi berperan sebagai tempat terjadinya proses penguraian dengan pengembangan mikroba aerobik pada rizosfer dan transfer oksigen dari atmosfer ke bagian akar serta mengisi pori-pori tanah dengan oksigen mengakibatkan terjadinya proses oksidasi yang baik pada limbah cair. II-21 2.5.2.3 Mikroorganisme Beberapa jenis mikroorganisme yang terdapat dalam construced wetland antara lain bakteri aerob dan anaerob, actinomycetes, jamur, dan alga. Distribusi mikroorganisme pada profil memanjang tanah dapat dilihat pada Tabel 2.7. Tabel 2.7 Distribusi Mikroorganisme pada Profil Memanjang Tanah Kedalaman (cm) Bakteri Aerob 3-8 7800 20-25 1800 35-40 472 65-75 10 135-145 1 Sumber : Alexander, 1961 Organisme / gr tanah *103 Bakteri Actinomycetes Jamur Anaerob 1950 2080 119 379 248 50 98 49 14 1 5 6 0,4 3 Alga 25 5 0,5 0,1 - Bakteri Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme dalam tanah yang paling dominan dan lebih setengah dari biomassa mikroba dalam tanah. Bakteri terdapat dalam segala tipe tanah tetapi populasinya menurun dengan bertambahnya kedalaman. Dalam kondisi anaerob, bakteri mendominasi tempat dan melaksanakan kegiatan mikrobiologi dalam tanah karena jamur dan actinomycetes tidak dapat tumbuh baik tanpa adanya oksigen. Ketika bahan pencemar memasuki sistem constructed wetland, bakteri yang ingin memperoleh energi akan menguraikan bahan pencemar yang kompleks seperti senyawa organik untuk menjadi senyawa yang lebih sederhana dan dapat diserap oleh tumbuhan. Bakteri aerob menguraikan bahan organik dengan menggunakan oksigen dan menghasilkan air, karbondioksida, dan energi. Bakteri anaerob menggunakan ion nitrat dan sulfat untuk menguraikan bahan organik dan hasil yang diperoleh adalah karbondioksida, energi, gas nitrogen bagi bakteri yang menggunakan ion nitrat, atau gas asam sulfida bagi bakteri yang menggunakan ion sulfat. Bakteri fakultatif dapat mencerna bahan organik baik dalam keadaan ada oksigen maupun tidak ada oksigen. Bakteri fakultatif bersama dengan bakteri anaerob menguraikan senyawa-senyawa organik menjadi gas metana, karbondioksida, dan energi. II-22 Jamur Jamur memiliki kemampuan menguraikan bahan organik sisa-sisa makhluk hidup dengan cara menggunakan enzim untuk menjadi senyawa yang lebih sederhana dan menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Bersama-sama dengan bakteri, jamur merupakan organisme yang berperan mengembalikan bahan yang terbentuk dari sintesa oleh tumbuhan dan hewan tingkat tinggi untuk kembali menjadi senyawa yang sederhana. Dalam lingkungan air, jamur hifomisetes mampu menguraikan sisa-sisa tumbuhan yang mengandung lignin untuk menjadi senyawa yang lebih sederhana yang memudahkan mikroorganisme untuk mengkonsumsinya. Tanpa organisme pengurai ini bahan organik tersebut akan bertahan lama di lingkungan. Actinomycetes Actinomycetes adalah organisme tanah yang memiliki sifat-sifat mirip bakteri dan jamur, tetapi juga mempunyai ciri khas cukup berbeda yang menjadikannya menjadi satu kelompok yang berbeda. Kelompok ini memiliki kemiripan dengan jamur tidak sempurna, dalam hal medium aerialnya yang membentuk spora sebanyak-banyaknya dan dalam hal pembentukan suatu gumpalan atau butiran yang jelas dalam kultur cair. Actinomycetes berbeda dari jamur dalam hal komposisi dinding selnya. Actinomycetes tidak memiliki kitin dan selulosa yang umum dijumpai dalam dinding sel jamur. Actinomycetes hadir secara luas dalam tanah maupun air dan hampir semuanya aerobik. Jumlah actinomycetes meningkat dengan adanya bahan organik yang mengalami dekomposisi. Biasanya actinomycetes tidak toleran terhadap asam dan jumlahnya menurun pada pH 5,0. Rentang pH yang optimum adalah antara 6,5-8,0. Algae Pada umumnya alga bersel banyak dan hanya beberapa diantaranya yang bersel tunggal. Kebanyakan organisme ini hidup dalam air dan merupakan produsen zat organik terbesar dalam lingkungan akuatik. Zat-zat anorganik seperti karbondioksida, ammonia, nitrat, dan fosfat merupakan sumber makanan baku bagi algae untuk membentuk sel-sel baru dan memproduksi oksigen. Alga dapat berupa sel tunggal yang mungkin bergerak (motile) dengan bantuan flagellata atau II-23 diam (non motile), atau dapat juga berupa jaringan sel banyak. Alga dan bakteri yang hidup dalam lingkungan yang sama tidak akan berkompetisi dalam hal memperoleh makanan, bahkan mereka mempunyai simbiose, yaitu alga memanfaatkan end-product dari dekomposisi zat organik yang dilakukan oleh bakteri dan alga menghasilkan oksigen untuk menjaga kondisi aerobik yang diperlukan oleh bakteri. 2.5.2.4 Kehidupan hewan Sistem constructed wetland sangat mendukung kehidupan hewan, baik hewan bersel tunggal maupun bersel jamak. Hewan-hewan besel tunggal seperti protozoa dan flagellate mengkonsumsi bakteri, alga, protozoa lain yang lebih kecil, dan partikel organik padat yang tesuspensi dalam air. Karena itu, organisme bersel tunggal juga berperan serta dalam pengolahan air limbah pada sistem constructed wetland. 2.5.3 Mekanisme Penyisihan Parameter Pencemar Prinsip utama pengolahan dalam constructed wetland adalah memanfaatkan mikroorganisme dan tanaman dalam menguraikan limbah. Air limbah yang dialirkan ke media constructed wetland, akan diserap dan dicerna oleh mikroorganisme dan tanaman air yang hidup dalam constructed wetland. Tumbuhan yang hidup di constructed wetland membutuhkan unsur hara yang terkandung dalam air. Selain itu rapatnya tumbuhan akuatik memperlambat aliran air yang masuk ke perairan sehingga membantu proses pengendapan partikel tersuspensi dalam air buangan. Secara tidak langsung tanaman berperan penting dalam mendukung kehidupan mokroorganisme pengurai limbah seperti bakteri, jamur, alga, dan protozoa. Batang, cabang, daun, dan akar tanaman akuatik menyediakan kebutuhan oksigen untuk mikroorganisme dan habitat bagi tempat hidup dan berkembangnya mikroorganisme. Akar tanaman akuatik di dalam media tanah akan mengeluarkan oksigen sehingga akan terbentuk zona rhizosfer yang kaya oksigen. Zona rhizosfer ini II-24 akan terbentuk di seluruh permukaan rambut akar, sehingga semakin besar luas permukaan akar maka zona rhizosfer yang terbentuk akan semakin besar. Oksigen akan mengalir ke akar melalui batang setelah berdifusi dari atmosfer melalui poripori daun (Brix, 1987). Diperkirakan oksigen yang dilepas oleh akar tumbuan akuatik berkisar antara 5-45 mg tiap satu meter persegi luas permukaan akar (Reed, et, al, 1995). Tumbuhan akuatik mampu memasok oksigen ke dalam tanah di bawah permukaan air sebanyak 0,2-10 cm3 oksigen per batang per menit (Brix, et al, 1992) Dalam constructed wetland terdapat suatu saling ketergantungan yang erat antara tanaman dan mikroorgansime. Tanaman menyediakan tempat hidup dan memasok oksigen ke dalam media sehingga membantu mikroorganisme dalam mendegradasai bahan pencemar. Sebaliknya tumbuhan membutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan bahan pencemar menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Ditinjau secara fisik kimiawi, dan biologis, mekanisme penyisihan bahan pencemar dari air buangan dapat terjadi melalui proses-proses berikut (Wildeman dan Laudon, 1989) : 1. Filtrasi suspended solid dan koloidal yang terdapat dalam air. 2. Asimilasi bahan pencemar ke dalam jaringan akar dan daun tanaman. 3. Pengikatan bahan pencemar dengan substrat seperti tanah dan pasir. 4. Presipitasi dan netralisasi melalui pembentukan NH3 dan HCO3- (bikarbonat) dari penguraian bahan biologis oleh aktivitas bakteri. 5. Presipitasi logam dengan oksidasi dan reduksi yang dikatalisir oleh aktivitas bakteri. Proses di atas dapat terjadi secara simultan, atau didominasi oleh salah satu diantaranya tergantung dari keadaan fisik, kimia, dan biologis yang terdapat di lingkungan constructed wetland.Beberapa mekanisme penghilangan bahan pencemar dan bahan pencemar yang diolah ditunjukkan pada Tabel 2.8 II-25 Tabel 2.8 Mekanisme Penghilangan Bahan Pencemar dalam Wetland Mekanisme Bahan Pencemar (a) Fisika: P -Partikel padat yang dapat mengendap S -Koloida partikel padat I -BOD, nitrogen, fosfor, logam berat, bahan organic yang sukar terurai, bakteri dan virus S -Partikel padat yang dapat mengendap * Sedimentasi * Penyaringan Mekanisme Bahan Pencemar (a) Kimiawi : P -Fosfor, logam berat * Presipitasi * Adsorbsi P -Fosfor, logam berat S -Bahan organik yang sukar terurai * Penguraian P -Bahan organik yang sukar terurai Keterangan Pengaruh gravitasi bumi Partikel tersaring secara mekanis ketika air melewati substrat/media, massa akar, atau fauna air. Keterangan Pembentukan partikel padat dalam bentuk yang tidak terlarut atau bersama-sama dengan bahan lain (ko-presipitasi) Adsorpsi pada permukaan substrat/media atau tanaman Proses penguraian senyawa yang kurang stabil karena pengaruh sinar matahari, oksidasi, dan reduksi Biologi: * Metabolisme mikroba P -Koloida partikel padat, BOD, nitrogen, bahan organik yang sukar terurai, logam berat. * Metabolisme tanaman (b) S -Bahan organik yang sukar terurai, bakteri, dan virus * Absorbsi oleh tanaman S -Nitrogen, fosfor, logam berat, bahan organik yang sukar terurai * Kematian alami P -Bakteri dan virus Penghilangan koloida partikel padat oleh bentos yang tersuspensi dalam air. Degradasi senyawa organic oleh mikroba. Nitrifikasi dan denitrifikasi oleh bakteri. Oksidasi logam yang diperantarai oleh mikroba. Pengangkatan dan metabolisme bahan organik oleh tanaman. Sejumlah eskskresi oleh akar bersifat toksik bagi organisme yang berasal dari usus manusia/ Dalam keadaan yang sesuai , bahan-bahan pencemar tersebut akan diserap oleh tanaman dalam jumlah yang signifikan. Dalam lingkungan yang tidak mendukung, organisme tersebut akan mengalami kematian. Sumber : Stowell, et al., 1980 Keterangan : (a) P: efek primer, S: efek sekunder, I: efek tambahan (efek sampingan yang terjadi bersamaan dengan proses penghilangan bahan pencemar lain) (b) Metabolisme termasuk reaksi biosintesis dan katabolisme II-26 Constructed wetland memiliki kemampuan untuk mengolah berbagai air limbah domestik dan non domestik (pertanian dan peternakan, tambak, pertambangan, leachate landfill, air limbah rumah sakit, dan lain-lain). Kemampuan constructed wetland dipengaruhi oleh iklim dan temperatur. Perbandingan kemampuan constructed wetland dalam menyisihkan beberapa parameter pencemar di daerah empat musim dan daerah tropis dapat dilihat pada Tabel 2.9. Tabel 2.9 Kemampuan Constructed Wetland dalam Menyisihkan Parameter Pencemar Parameter BOD COD T-N T-P Coliform Sumber: Meutia, 2002 Efisiensi Penyisihan (%) Daerah empat musim Daerah tropis 73-90 80-95 80-95 73-97 35-64 58-95 25-55 67-94 99 99 Kemampuan constructed wetland di daerah tropis lebih baik karena tidak adanya musim dingin yang menurunkan aktivitas mikroorganisme dan tanaman. Khususnya untuk penyisihan senyawa nitrogen dan fosfor, constructed wetland di daerah tropis mempunyai kemampuan lebih tinggi daripada yang berada di daerah empat musim (Meutia, diambil dari TA Sonie, 2007). 2.5.3.1 Penyisihan Suspended Solid Penyisihan suspended solid terjadi melalui proses sedimentasi dan filtrasi. Pengendapan partikulat yang diakibatkan oleh gaya gravitasi dikategorikan sebagai pengendapan diskrit atau pengendapan flokulan. Pemisahan ini tergantung pada ukuran partikel, massa jenis, bentuk, massa jenis fluida, dan viskositas. Pengendapan diskrit tidak dipengaruhi oleh partikel lain, perubahan ukuran atau densitas. Sedimentasi pada sistem constructed wetland aliran horiozontal menjadi lebih efektif karena kecepatan aliran yang rendah, luas permukaan yang besar, adsorbsi pada biofilm yang melekat pada media dan sistem akar. II-27 Mekanisme filtrasi pada sistem constructed wetland tergantung pada ukuran solid dan media yang digunakan pada constructed wetland. Jika ukuran media yng digunakan semakin kecil maka efisiensi filtrasi semakin besar. Kemampuan constructed wetland untuk menyisihkan total solid dapat dilihat pada Tabel 2.10. Tabel 2.10 Kemampuan Constructed Wetland Menyisihkan Total Solid Reaktor COD Influen ABR (mg/L) HSF bersekat Sagittaria lancifolia HSF bersekat Sagittaria lancifolia HSF tanpa sekat Sagittaria lancifolia HSF tanpa sekat Sagittaria lancifolia HRT (hari) Influen (mg/L) Effluent (mg/L) Efisiensi (%) 3 374 266 28,8 5 250 214 14,4 3 550 414 24,73 5 328 272 17,07 3 378 252 33,33 5 270 196 27,41 3 556 420 24,46 5 400 258 35,5 400 600 400 600 Sumber : Sonie, 2007 2.5.3.2 Penyisihan Senyawa Organik Konversi biokimia merupakan mekanisme yang sangat penting dalam degradasi senyawa organik dalam constructed wetland. Penyisihan senyawa organik dapat melalui mineralisasi dan pembentukan biomassa yang baru. Mikroorganisme akan mengkonsumsi senyawa organik untuk bertahan hidup dan reproduksi. Senyawa organik menjadi sumber energi untuk sintesa biomassa. Metabolisme dapat terjadi secara aerobik dan anaerobik tergantung pada tersedianya oksigen. Metabolisme aerobik merupakan konversi yang lebih efisien. Reaksi anoxic (respirasi anaerobik) menggunakan nitrat, karbonat, dan sulfat sebagai akseptor elektron (seperti fungsi oksigen pada reaksi aerob). II-28 Senyawa organik dapat ditetapkan dengan COD (Chemical Oksygen Demand) yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa organik secara kimia dan BOD (Biochemical Oxygen Demand) yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri selama penguraian senyawa organik pada kondisi aerob. Pada oksidasi materi organik secara aerob, karbon merupakan sumber energi bagi bakteri yang akan direspirasikan dalam bentuk karbondioksida. Bakteri tersebut menggunakan sisa karbon bersama dengan fosfor dan nitrogen membentuk sel-sel baru dan sebagian menjadi energi. Oksigen berfungsi sebagai akseptor elektron selama oksidasi zat organik berlangsung dan reaksi akan terhenti jika oksigen tidak tersedia. Meknisme dekomposisi anaerob merupakan mekanisme yang sangat kompleks. Proses yang terjadi terdiri dari 2 tahap. Pada tahap pertama yang dikenal sebagai tahap fermentasi asam, zat organik kompleks akan didegradasi menjadi asam berantai lebih pendek, alkohol, aldehid, dan lain-lain. Kemudian pada tahap kedua yang dikenal sebagai fermentasi metan, materi pada tahap pertama dikonversikan menjadi gas metan (CH4), ammonia (NH3), karbondioksida (CO2), dan hidrogen (H2). Seperti halnya proses aerob, proses anaerob mengkonversi karbon, nitrogen, fosfor, dan nutrien lainnya menjadi selsel baru. Kemampuan constructed wetland yang sudah diterapkan di berbagai tempat baik skala lapangan, pilot project, maupun skala laboratorium untuk penyisihan COD dapat dilihat pada Tabel 2.11. Pada Tabel dapat dilihat bahwa penyisihan COD cukup tinggi baik untuk constructed wetland skala lapangan maupun skala pilot project. Tabel 2.11 Kemampuan Constructed Wetland Menyisihan COD Jenis Air Limbah Domestik Domestik Industri Kentang Leachate Landfill Sistem Pengolahan Vertikal Horizontal, dgn Phragmites Kombinasi, dgn Typha, Scirpus Horizontal, dgn Phragmites Konsentrasi Awal (mg/l) 467 mg/l 393 Penyisihan Keterangan 92 % 98 % CW Hof Mohr, Jerman CW Germerswang, Jerman Skala pilot project, 4 stage, USA Skala pilot project, 2 stage, Slovenia 2986 95% 1264 68 % II-29 Jenis Air Limbah Limbah Pertanian Domestik Limbah Rumah Sakit Sistem Pengolahan Kombinasi, dgn Phragmites Horizontal, dgn Typha Kombinasi, dgn Phragmites Konsentrasi Awal (mg/l) Penyi sihan 1465 97,6 % 146 96,5 % 768 95 % Keterangan CW Rugeley, 4 satge, UK. 1 stage & 3 kolam stabilisasi, Kenya 2 stage, Nepal Horizontal, dgn 2 stage&kolam ikan, Typha, 50-500 15-75% Pesantren Arafah. Kab kangkung Bandung HSF bersekat 81,82Skala lab, 2 stage, Dago ** Limbah (td=5 hari), dgn 106-128 84,38% Bengkok Bandung Sagittari RPH, Tahu lancifolia Sumber: Haberl, R. (1997) & Cooper, P (1998) * Meutia, 2002 ** Sonie, 2007 *Limbah Domestik Kemampuan constructed wetland untuk menyisihkan BOD dapat dilihat pada Tabel 2.12. Kemampuan constructed wetland dalam penyisihan BOD cukup tinggi. Tabel 2.12 Kemampuan Constructed Wetland Menyisihan BOD Jenis Air Limbah Domestik Leachate Landfill Limbah Pertanian Domestik Limbah Rumah Sakit Sistem Pengolahan Horizontal, dgn Phragmites Horizontal, dgn Phragmites Kombinasi, dgn Phragmites Horizontal, dgn Typha Kombinasi, dgn Phragmites Konsentrasi Awal (mg/l) 191 Penyisihan Keterangan 100 % CW Germerswang, Jerman Skala pilot project, 2 satage, Slovenia CW Rugeley, 4 satge, UK. 1 stage & 3 kolam stabilisasi, Kenya 60 46 % 1100 72,3 % 103 98,4 % 328 98 % 2 stage, Nepal Horizontal Skala lab, 2 stage, LIPI bawah 50 95% Cibinong permukaan Horizontal *Limbah Skala lab, 2 stage, LIPI permukaan 50 94% Lab. Kimia Cibinong (FWS) Horizontal, dgn 2 stage, kolam ikan, *Limbah Typha, 29-518 15-95% Pesantren Arafah. Kab Domestik kangkung Bandung HSF bersekat Skala lab, 2 stage, Dago ** Limbah (td=5 hari), dgn 85,14% 58,5 Bengkok Bandung Sagittari RPH, Tahu lancifolia Sumber: Haberl, R. (1997) & Cooper, P (1998) * Meutia, 2002 ** Sonie, 2007 *Limbah Lab. Kimia II-30 2.5.3.3 Penyisihan Nitrogen Secara umum tanaman menyerap nitrogen, tetapi peran tanaman pada constructed wetland secara langsung dalam penghilangan senyawa nitrogen relatif kecil. Penyerapan nitrogen oleh tanaman yang tumbuh di constructed wetland hanya berkisar sekitar 10-16 % dari senyawa nitrogen yang terlarut di dalam air (Gersbeg, 1983). Sebagian besar penghilangan senyawa nitrogen dilakukan oleh bakteri melalui proses amonifikasi, nitrifikasi, dan denitrifikasi. Tanaman akuatik mempunyai peran yang tidak langsung tetapi sangat penting dalam proses tersebut yaitu sebagai tempat pelengketan mikroorganisme dan menyuplai oksigen melalui akar sehingga mendukung pertumbuhan bakteri aerob. Sisa-sisa bagian tanaman yang mati menjadi sumber karbon organik yang diperlukan oleh bakteri sebagai sumber energi dalam proses denitrifikasi, yaitu perubahan nitrat menjadi gas N2. Selain proses biologis, proses penghilanagn senyawa nitrogen dalam constructed wetland juga terjadi melalui volatisasi ion ammonium (NH4+) menjadi gas NH3 bila pH lebih besar dari 8; sedimentasi dan penyaringan partikel padat yang mengandung nitrogen; serta proses adsorbsi ion ammonium ke dalam sedimen organik dan anorganik melalui pertukaran ion (Liehr, et al., 2000) Nitrifikasi Nitrifikasi merupakan bio-oksidasi ammonia menjadi nitrat, konversi tersebut merupakan suatu proses dua tahap yang dilakukan oleh dua kelompok bakteri yang sejenis yang memperoleh karbon dari karbondioksida dan energinya dari oksidasi senyawa anorganik (dalam hal ini ammonia dan nitrat). Bakteri tersebut adalah Nitrosomonas yang mengoksidasi ammonia menjadi nitrit, dan Nitrobakter yang mengoksidasi nitrit menjadi nitrat. Reaksi berlangsung pada kondisi aerobik. Nitrat merupakan senyawa stabil dan dapat berada pada air dan juga pada endapan. Nitrat tersebut diabsorbsi oleh tanaman atau mikroba pada proses reduksi nitrat. Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut: Nitrosomonas 55 NH4+ + 76O2 + 5CO2 → C5H7NO2 + 54 NO2- + 52H2O + 109 H+ Sel Bakteri II-31 Nitrobacter 400 NO2- + 195O2 + 5CO2 + NH3+ H2O → C5H7NO2 + 400 NO3Sel Bakteri Pada umumnya bakteri nitrifikasi aktif dengan tingkat yang nyata hanya dalam reaktor dengan waktu detensi yang panjang atau jika konsentrasi senyawasenyawa organik rendah. Reaksi berlangsung pada kondisi aerobik. Nitrat merupakan senyawa stabil dan dapat berada pada air dan juga pada endapan. Nitrat tersebut diabsorbsi oleh tanaman atau mikroba pada proses reduksi nitrat. Kebutuhan oksigen dalam proses nitrifikasi secara sempurna dalam arti sampai menjadi bentuk nitrat, yaitu untuk mengoksidasi 1 mg/ NH4+, menjadi NO3- sebesar 4,33 mg O2; dengan perincian bahwa untuk mengoksidasi 1 mg NH4+ menjadi NO2- dibutuhkan 3,22 mg O2 dan 1,11 mg O2 untuk mengoksidasi NO2- menjadi NO3- untuk setiap miligramnya. Denitrifikasi Disimilasi reduksi nitrat atau denitrifikasi oleh mikroorganisme terjadi pada kondisi anaerobik dengan nitrat sebagai akseptor elektron dan karbon organik sebagai donor elektron (EPA, 1993), oleh karena itu reaksi ini terjadi pada kondisi anaerobik dan membutuhkan karbon organik. Produk dari denitrifikasi adalah gas N2 dan N2O yang dapat keluar dari system constructed wetland. Perbandingan karbon-nitrat nitrogen sekitar 1 gr C/NO3-N. Proses denitrifikasi pada endapan akan menyuplai N2 untuk fiksasi oleh bakteri dan penyerapan oleh tanaman melalui akar. Secara umum persamaan reaksinya adalah sebagai berikut: NO3- → NO2- → N2 Fiksasi Nitrogen Gas nitrogen dapat dikonversi menjadi nitrogen organik oleh mikroorganisme tertentu yang memiliki enzim nitrogenase. Reaksi dapat terjadi secara aerob dan anaerob oleh bakteri dan alga hijau-biru. Fiksasi nitrogen terjadi pada permukaan air, endapan, rhizosfer tanaman, dan pada permukaan daun serta II-32 batang. (Reddy & Graetz, 1998). Nitrogen tersebut menjadi sumber nitrogen yang signifikan jika sistem kekurangan oksigen, tetapi tidak terlalu penting jika nitrogen dalam sistem tersedia banyak. Pengambilan Nitrogen oleh Tanaman / Asimilasi Tanaman wetland akan mengasimilasi nitrogen sebagai elemen yang penting unuk metabolisme tanaman. Nitrogen anorganik akan direduksi oleh tanaman menjadi senyawa nitrogen organik yang digunakan untuk jaringan tanaman. Pada masa pertumbuhan, pengambilan nitrogen dari air dan sedimen oleh tanaman sangat tinggi. Diperkirakan pengambilan nitrogen oleh tanaman pada wetland bervariasi sekitar 0,5-3,3 gN/m2/tahun (Burgoon et,al., 1991). Nitrogen pada Sistem constructed wetland Partikulat nitrogen organik masuk ke constructed wetland dari influen air limbah atau dari tanaman pada constructed wetland. Senyawa yang biodegradable diamonifikasi oleh mikroorganisme aerob dan anaerob. Ammonium yang dilepaskan dari partikulat nitrogen organik dalam endapan dapat digunakan oleh tanaman sebagai nutrien yang penting. Pengambilan ini akan meningkat pada masa pertumbuhan tanaman. Proses nitrifikasi ammonium membutuhkan oksigen terlarut, oleh karena itu terbatas pada area yang mempunyai oksigen yang cukup. Nitrat yang dihasilkan dari nitrifikasi atau berasal dari efluen sistem mungkin akan diambil oleh tumbuhan dan plankton-plankton. Pada kondisi anaerobik dan dengan adanya senyawa organik, mikroba akan mengkonversi nitrat menjadi gas nitrogen (NO2, N2) melalui proses denitrifikasi. Sebagian nitrat juga akan berdifusi pada endapan yang akan dapat diambil langsung oleh tanaman. Sehingga penyisihan dapat melalui pengambilan oleh tanaman, nitrifikasi dan denitrifikasi, volatisasi dan ion exchange. Proses volatisasi dan ion exchange hanya mempunyai dampak yang sangat kecil dalam penyisihan nitrogen ini. Constructed wetland aliran horizontal bawah permukaan yang konvensional akan menjadi lebih cocok untuk proses denitrifikasi dari influen yang telah mengalami nitrifikasi. Hal ini disebabkan karena kondisi pada media sebagian besar adalah anaerob. II-33 Kemampuan constructed wetland untuk menyisihkan senyawa nitrogen baik nitrogen total, ammonia, nitrat, dan nitrit dapat dilihat pada Tabel 2.13. pada Tabel dapat dilihat bahwa penyisihan nitrogen cukup efektif dengan pengolahan constructed wetland tetapi efisiensinya lebih rendah daripada penyisihan BOD dan COD. Efiensi penyisihan nitrat bernilai negative karena jumlah nitrat meningkat yang menujukkan terjadinya proses nitrifikasi dalam constructed wetland. Tabel 2.13 Kemampuan Constructed Wetland Menyisihan Nitrogen Jenis Air Limbah Domestik Domestik Industri Kentang Leachate Landfill Limbah Pertanian Domestik Limbah Rumah Sakit *Limbah Lab. Kimia Jenis Air Limbah *Limbah Lab. Kimia Sistem Pengolahan Vertikal Horizontal, dgn Phragmites Kombinasi, dgn Typha, Scirpus Horizontal, dgn Phragmites Kombinasi, dgn Phragmites Horizontal, dgn Typha Kombinasi, dgn Phragmites Horizontal bawah permukaan Sistem Pengolahan Horizontal permukaan (FWS) Konsentrasi Awal (mg/l) 116 NH4-N 108 N-Tot Penyi sihan 90 % 90 % Keterangan CW Hof Mohr, Jerman CW Germerswang, Jerman Skala pilot project, 4 stage, USA Skala pilot project, 2 satage, Slovenia CW Rugeley, 4 satge, UK. 1 stage & 3 kolam stabilisasi, Kenya 164 N-Tot 75 % 88 NH3-N 81 % 330 NH4-N 93,1 % 1,4 NO3-N -(95) % 0,8 NO3-N -(98,8) % 2 stage, Nepal 10,5 N-Tot 90,4 % Skala lab, 2 stage, LIPI Cibinong Konsentrasi Awal (mg/l) Penyi sihan Keterangan Skala lab, 2 stage, LIPI Cibinong 2 stage, kolam ikan, *Limbah Horizontal, dgn 10-82% Pesantren Arafah. Kab 90-260 NH4-N Domestik Typha, kangkung Bandung Skala lab, 2 stage, HSF bersekat (td=5 ** Limbah 1,792 NTK 95,31% Dago Bengkok hari), dgn Sagittari RPH, Tahu Bandung lancifolia Sumber: Haberl, R. (1997) & Cooper, P (1998) * Meutia, 2002 ** Sonie, 2007 6 N-Tot 58% 2.5.3.4 Penyisihan Fosfor Partikulat fosfat akan terkumpul ke endapan pada sistem constructed wetland melalui pengendapan, pengambilan oleh tanaman, sorbsi oleh biofilm pada media. Fosfat terlarut akan diserap ke biofilm pada tanaman, biofilm pada media, dan pada endapan. II-34 Pertukaran fosfat antara fosfat pada sedimen dalam pori air dengan yang ada dalam air bagian permukaan melalui proses difusi dan sorbsi merupakan bagian utama fosfat terlarut dalam sistem wetland. Pada sedimen dalam pori air, fosfat akan terpresipitasi sebagai besi fosfat, kalsium fosfat, aluminium fosfat yang tidak terlarut, atau diabsorbsi oleh besi, aluminium oksida dan hidroksida. Pada kondisi anaerob besi fosfat yang tidak terlarut akan direduksi menjadi besi terlarut dan fosfat dilepaskan. Pelepasan fosfat dari garam-garam tidak terlarut terjadi jika pH menurun dan sebagai hasilnya adalah asam organik, sulfat. Transformasi Fosfat secara Biologi Fosfat organik terlarut dan fosfat anorganik tidak terlarut serta organik fosfat biasanya dapat diserap oleh tanaman setelah diubah menjadi bentuk fosfat anorganik terlarut. Perubahan ini kemungkinan berlangsung pada kolom air oleh mikroba tersuspensi atau oleh biofilm yang terlekat pada permukaan tanaman dan media serta pada endapan. Pengambilan fosfat oleh mikroorganisme termasuk bakteri, algae berlangsung cepat. Tumbuhan juga mengambil fosfat melalui sistem akar. Diperkirakan pengambilan fosfat oleh tanaman bervariasi dari 1,8-18 g P/m2/tahun. (Burgoon, et al., 1991). Tanaman akuatik mempunyai kemampuan menyerap bahan pencemar fosfor dan nitrogen. Kemampuan tanaman akuatik untuk menyerap bahan pencemar fosfor dan nitrogen ditunjukkan dalam Tabel 2.14. Tabel 2.14 Kemampuan Tanaman Akuatik dalam Menyerap Bahan Pencemar Nitrogen dan Fosfor. Kemampuan penyerapan (kg/hektar/tahun) Jenis Tanaman N P Cyperus papyrus 1.100 50 Phragmites australis 2.500 120 Thypa latifolia 1.000 180 Eichornia crasssipes 2.400 350 Pistia srtatiotes 900 40 Potamogeton pectinatus 500 40 Ceratophylum demersum 100 10 Sumber : Brix, 1994 Kemampuan constructed wetland untuk menyisihkan fosfor dapat dilihat pada Tabel 2.15. Dari Tabel dapat dilihat bahwa efisiensi penyisihan fosfor bervariasi. Pada constructed wetland pengolahan air limbah rumah sakit di Nepal II-35 dengan sistem pengolahan kombinasi aliran horizontal dan vertikal hanya dapat menyisihkan fosfor sebesar 38 %, sedangkan pada constructed wetland di Germerswang, Jerman untuk pengolahan air limbah domestik dapat mencapai 98%. Tabel 2.15 Kemampuan Constructed Wetland Menyisihan Fosfor Jenis Air Limbah Domestik Leachate Landfill Limbah Pertanian Domestik Limbah Rumah Sakit *Limbah Domestik Sistem Pengolahan Horizontal, dgn Phragmites Horizontal, dgn Phragmites Kombinasi, dgn Phragmites Horizontal, dgn Typha Kombinasi, dgn Phragmites Konsentr asi Awal (mg/l) 13,71 Penyisihan 98 % Keterangan CW Germerswang, Jerman 10 63 % Skala pilot project, 2 stage, Slovenia 70,4 55,1 % CW Rugeley, 4 stage, UK. 9,4 88,2 % 1 stage & 3 kolam stabilisasi, Kenya 9,1 38 % 2 stage, Nepal Horizontal, dgn 2 stage, kolam ikan, Pesantren 8-20 27-44% Typha, kangkung Arafah. Kab Bandung HSF bersekat (td=5 Skala lab, 2 stage, Dago ** Limbah 0,21 75,19 % hari), dgn Sagittari Bengkok Bandung RPH, Tahu lancifolia Sumber : Haberl, R. (1997) & Cooper, P (1998) * Meutia, 2002 ** Sonie, 2007 2.5.4 Pengelolaan dan Pemeliharaan Constructed Wetland Penyumbatan merupakan salah satu masalah utama dalam constructed wetland yang sering membuat sistem ini tidak berfungsi. Bila didesain, dilaksanakan, dan dioperasikan dengan baik maka sistem ini akan berfungsi secara optimum selama 15-20 tahun. Umur constructed wetland sangat dipengaruhi oleh ukuran dari media yang digunakan, karakeristik dan “strength” dari limbah. Menurunnya fungsi sistem constructed wetland ditunjukkan dengan menurunnya efisiensi pengolahan dan menurunnya hydraulic conductivity. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memfungsikan kembali sistem constructed wetland yang efisiensinya telah menurun, antara lain: 1 Resting, yaitu Mengistirahatkan sistem constructed wetland untuk beberapa waktu. Selama proses “resting”, berbagai elemen yang mengakibatkan penyumbatan dapat terdekomposisi hingga hydraulic conductivity dapat ditingkatkan kembali. II-36 2 Setelah itu dilakukan pengisian secara bergantian (alternate charging) pada setiap bagin bad constructed wetland. Setelah dianggap cukup dapat difungsikan kembali. 3 Apabila menurunnya hydraulic conductivity disebabkan oleh partikel-partikel padat yang tidak dapat terurai maka tidak ada jalan lain selain membongkar media dan menggantinya. Bila hal ini terpaksa dilakukan maka lebih baik dilakukan pada bagian inlet, karena bagian inilah yang paling sering mengalami penyumbatan. 4 Kepadatan tanaman di dalam constructed wetland ini juga perlu diperhatikan. Jika sudah padat maka perlu dikeluarkan atau dipanen untuk menghindari penyumbatan media dan menurunnya supplai oksigen. Kontrol Vektor Pada constructed wetland, terutama sistem free water surface, menyediakan habitat breeding yang ideal untuk nyamuk. Masalah kontrol vector dapat menjadi faktor yang kritis dalam menentukan kelayakan penggunaan constructed wetland. Pada umumnya untuk kontrol biologis digunakan ikan pemangsa larva nyamuk yang turut dipelihara dalam constructed wetland free water surface. Idealnya yang dipelihara adalah ikan yang dapat memangsa larva nyamuk dan sanggup hidup pada kondisi air yang mengandung oksigen terlarut yang rendah, mengingat larva nyamuk dapat berkembang dalam air limbah yang kotor sedangkan kebanyakan ikan tidak dapat bertahan jika kadar oksigen kurang dari 3 mg/l. Ikan mujair sangat cocok untuk dipelihara sebagai pemangsa larva nyamuk dalam constructed wetland karena dapat bertahan hidup hingga pada kadar oksigen terlarut 0,1 mg/l, (Stickney, 1986). Dalam aliran subsurface flow, nyamuk tidak menjadi masalah. Pada sistem ini air mengalir di bawah permukaan media sekitar 10-15 cm dari permukaan sehingga mencegah akses nyamuk masuk ke dalam zona air. Selain itu bagian atas media ditutupi dengan pea gravel atau coarse sand untuk memenuhi tujuan ini. II-37