UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI

advertisement
BAB II
PENGATURAN TENTANG UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI
DALAM PERADILAN DI INDONESIA
2.1 Cita Hukum Keadilan
Undang - Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Pancasila sebagai cita
hukum dan sumber tertib hukum nasional Indonesia. Terdapat kaitan dan saling
mempengaruhi antara pokok-pokok pikiran cita hukum (rechts idee) dan hukum
dasar negara. Pokok-pokok pikiran merupakan dari dan akan memberi isi serta
menjiwaiacita hukum dan asas-asas hukum yang akan terwujud dalam hukum dasar
negara dan selanjutnya akan menjadi fundamen dari antara hukum yang berlaku. 1
Pancasila merupakan “sumber dari segala sumber hukum” yang berarti
pemerintah menetapkan bahwa dalam pengertiannya tersebut Pancasila berfungsi
sebagai cita hukum yang menjadi landasan atau pedoman bagi semua peraturan
perundang-undang di Negara Republik Indonesia. 2
Pandangan hidup bangsa Indonesia telah di rumuskan secara padat dalam
bentuk kesatuan rangkaian lima sila yang dinamakan Pancasila, sengaja di tempatkan
dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan kefalsafahan yang
mendasari dan menjiwai penyusunan ketentuan- ketentuan yang tercantum dalam
undang - undang dasar itu. Pancasila melandasi dan menjiwai kehidupan kenegaraan
di Indonesia, termasuk kegiatan menentukan dan melaksanakan politik hukumannya.
1
Marwah M Diah, 2003, Restrukturisasi BUMN di Indonesia, Trivatitasi atau Rerporatisasi, Penerbit
Literata, Jakarta, hal 30
2
Ibid. hal. 35
1
2
Sehubungan dengan itu, penyusunan dan penerapan tata hukum di Indonesia sejak
berlakunya Undang-undang Dasar itu harus dilandasi oleh Pancasila. 3
Dalam dinamika proses-proses kemasyarakatan,
Pancasila diwujudkan
dalam berbagai bidang kehidupan, juga pada bidang kehidupan hukum. Penerapan
atau realisasi Pancasila pada bidang kehidupan hukum itu menumbuhkan ketentuanketentuan hukum yang dijiwai atau diwarnai oleh Pancasila. 4
Dalam prakteknya, pada sistem hukum nasional pelaksanaan Pancasila
sebagai cita hukum yang berfungsi sebagai tolak ukur regulatif yaitu fungsi sebagai
penguji apakah suatu hukuman positif itu asli atau tidak. Sejalan dengan itu juga
hukum secara langsung diarahkan untuk mewujudkan keadilan sosial yang
memberikan kepada masyarakat sebagai kesatuan dan masing-masing warga
masyarakat kesejahteraan (materil dan spirituil) yang merata dalam keseimbangan
yang proporsional
Penegakan keadilan melalui kekuasaan kehakiman merupakan salah satu
tujuan dan prinsip Negara. Peraturan perundang-undangan tentang kekuasaan
kehakiman (sejak Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sampai dengan yang
terakhir Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009) menyatakan bahwa peradilan
dilakukan “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ketentuan ini
mengisyaratkan bahwa keadilan di Indonesia
berdasarkan Ilahiah, yang dapat
diartikan bahwa keadilan yang sebenarnya adalah keadilan yang berasal dari Tuhan,
baik langsung maupun tidak langsung. Menurut kepercayaan dan keyakinan Agama,
Tuhan telah mengatur seluruh sistem kehidupan berdasarkan timbangan yang adil
3
Arif Sidharta,2008, Filsafat Hukum Pancasila, Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam
Dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, hal 16
4
Marwah M Diah,Op cit hal. 18
3
dan keteraturan alam dengan segala isinya adalah bukti keadilan Tuhan yang dapat
diamati oleh akal manusia.
Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal
24 Undang-undang Dasar 1945 dan
undang-undang tentang kekuasaan kehakiman, bahwa kekuasaan kehakiman adalah
salah satu dari tiga kekuasaan dalam negara yang khusus
menegakan keadilan
berdasarkan hukum yang berlaku. Undang-undang tersebut menjamin kemandirian
hakim dalam memutuskan perkara tanpa campur tangan pihak lain, baik eksekutif
maupun legislatif. Meskipun demikian seorang hakim harus memutuskan sesuai
dengan apa yang dipandang adil oleh hukum, yang dalam hal ini dia terikat pada
hukum materiil dan hukum acara yang ada.
Persoalan pokok mengenai keadilan (justice), juga dapat dilihat dari
hubungannya norma-norma hukum (legal justice), moral (moral justice) dan sosial
(social justice). Keadilan menurut hukum dapat dilihat dari peraturan perundangundangan yang berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang mencerminkan
keadilan hukum negara dalam bentuk formal. Adil atau tidaknya suatu peraturaan
perundang-undangan atau putusan hakim ditentukan oleh keadilan menurut moral
dan keadilan sosial.
Moral justice adalah keadilan berdasarkan moralitas, yang hanya dimiliki
oleh manusia dan dengan itu manusia berusaha hidup lebih baik dalam masyarakat.
Di dunia Barat, sebagian orang seperti para teolog Kristen berpendapat bahwa
moralitas berasal dari Tuhan, sementara para pengikut Utilitarianisme menyatakan
moralitas berasal dari pemikiran dan perasaan manusia. Menurut kelompok ini yang
4
selalu menilai manfaat yang dapat diambil dari segala sesuatu, moralitas ditentukan
oleh kebahagiaan hidup yang ditimbulkannya.
Dalam kajian hukum Barat, hukum dan moralitas mempunyai kaitan erat,
tetapi hukum tidak sama dengan moralitas, hukum mengikat semua orang sebagai
warga negara, tetapi moralitas hanya mengikat orang sebagai individu. Disisi lain
hukum tidak menuntut berbuat kebaikan atau memberikan bantuan yang merupakan
kewajiban moral. Sebenarnya hukum yang baik berasal dari moralitas yang baik dan
moralitas yang baik melahirkan hukum yang baik.
Di Indonesia secara teoritis hukum tidak seharusnya bertentangan dengan
moralitas bangsa Indonesia. Hukum tertinggi negara adalah Undang-undang Dasar
1945, yang dimulai dengan pernyataan “Berkat rahmat Tuhan (Allah) pada
hakekatnya mengandung pengakuan terhadap agama sebagai sumber moralitas utama
dalam kehidupan bangsa Indonesia. Agama yang menetapkan tentang norma-norma
baik dan buruk, benar dan tidak benar, adil dan tidak adil, mengatur tentang cara
menimbang, memberi, dan menerima, membagi, bertransaksi, memberikan
kesaksian, menyelenggarakan pemerintahan dan sistem peradilan, dan lain-lain.
Meskipun demikian, merupakan hal yang salah jika hanya dilihat pada
keadilan struktur dasar, sosial dalam cara yang tidak lansung ini. Hal yang patut
diketahui ialah sistem hukum sebenarnya secara mendalam dan langsung menaruh
perhatian kepada hal-hal dasar tersebut seperti kebebasan politik, mendapatkan
kesempatan yang sama, pembagian sumber daya dan pemeliharaan kesejahteraan
warga negara. Dengan kata lain, sistem hukum harus merupakan cerminan dari
filsafat masyarakat tentang keadilan. Bagi para pengikat Utilitarianisme, desain
5
dasar suatu masyarakat seharusnya mengambil manfaat yang dapat diambil dari
segala sesuatu. Jika kebebasan politik dipandang tidak akan produktif, kebebasaan
tersebut harus ditarik. Seperti pada keadilan moral, bagi Utilitarianisme, keadilan
sosial adalah segala yang meningkatkan manfaat.
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa selain
melindungi segenap bangsa dan tanah air Indonesia, pemerintah Indonesia jaga ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Dalam pidatonya di dalam sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan
bahwa” kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi
permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economishe democratie yang
mampu mendatangkan kesejahteraan social. 5 Selanjutnya dalam sidang sebelumnya
dinyatakan oleh Mohammad Yamin bahwa kesejahteraan rakyat yang menjadi dasar
Negara Indonesia merdeka ialah keadilan masyarakat dan keadilan sosial.
Kemerdekaan menurut Soepomo keadilan sosial adalah sesuatu yang luhur seperti
yang dipahami oleh masyarakat.
Beranjak dari uraian diatas, keadilan adalah suatu konsep yang menyeluruh,
tetapi keadilan sosial adalah distribusi manfaat-manfaat yang diterima dan bebanbeban melalui suatu masyarakat sebagaimana merupakan hasil dari institusi-institusi
sosial utama sistem-sistem kepemilikan dan organisasi-organisasi publik. Keadilan
ini berhubungan dengan permasalahan –permasalahan seperti peraturan mengenai
5
Safroedin Bahar,1992 et al, Risalah Sidang, Badan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara, Jakarta, hal 67-68
6
upah dan keuntungan alokasi perumahan, peraturan kesehatan dan manfaat
kesejahteraan dan sebagainya.
Aristoteles menyatakan keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan
hubungan antar manusia. Kemudian Aristoteles membuat formulasi tentang apa
yang disebut keadilan, Ia membedakannya dalam dua jenis keadilan yaitu keadilan
kolektif dan keadilan distributif. Berbeda
dengan keadilan distributif yang
membutuhkan distribusi atas penghargaan, sedangkan keadilan kolektif didasarkan
pada transaksi (sundallagamata) baik sukarela maupun tidak.
Salah satu pendukung keadilan sosial lainnya adalah Theory of justice dari
John Rawls yang berpendapat bahwa keadilan adalah sebuah lembaga kebajikan
soasial yang pertama sebagai kebenaran dari sebuah sistem pemikiran, percaya
bahwa eksistensi suatu masyarakat sangat bergantung kepada pengaturan formal
melalui hukum serta lembaga-lembaga pendukungnya. Bila pada awalnya
pembahasaanya mengenai keadilan terbatas pada dunia filosofi Anglo Amerika yang
disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai logika dan bahasa, John Rawls
kemudian menyegarkan kembali minat kepada pertanyaan-pertanyaan yang
substantif dari filsafat politik. Secara sederhana, persoalan pokok tentang arti
keadilan dikaitan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang menjadikan
masyarakat adil? dan bagaimana keadilan sosial dihubungkan dengan upaya
individu mencari kehidupan yang baik ?.
Rawls yang mengajarkan mengenai
prinsip-prinsip keadilan, terutama
sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana di kemukakan Hume, Bentham
dan Mill. Gagasan instusi darimana Rawls mulai mengembangkan teorinya adalah
7
sederhana tetapi dalam, yaitu setiap orang memiliki rasa keadilan yang tidak
diganggu gugat, bahkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan tidak dapat
mengesampingkannya. Dengan kata lain, upaya pencarian kesejahteraan sosial tidak
seyogyanya merusak kehidupan individu dengan membatasi hak dasar dan yang
menjadi haknya. Rawls sangat prihatin dengan prospek kehidupan seseorang yang
seringkali di rusak oleh cara-cara yang bersifat tidak mempunyai nilai moral, seperti
mempersoalkan kelas, kesukuan dan jenis kelamin dapat meningkatnya manfaat
social, hal-hal tersebut melanggar perasaan terhadap rasa adil (fairness).
Rawls percaya bahwa intuisi tentang kebajikan sosial tidak dapat ditentukan.
Permasalahan akan makin timbul, jika difokuskan pada gagasan keadilan prasudural
(procedural justice), yang berusaha membangun suatu tata cara yang dalam struktur
meliputi moral yang ideal tentang keadilan, jika tugas dikerjakan dengan baik
dipastikan hasilnya akan adil apapun prosudurnya yang digunakan. Prosudur yang
digunakan oleh Rawls dalam mengembangkan teori keadilan adalah dengan
mengadilkan suatu posisi awal (original position) suatu situasi hipotesis dimana
orang-orang yang berkemampuan sama memutuskan untuk sepakat bekerjasama
sosial, tanpa mengetahui bagaimana kedudukan didalam masyarakat. Kedudukan
tersebut memberikan suatu modal yang berisi norma moral yang dalam sebagaimana
dikatakan Rawls:
Purity of heart, if one could affain, would be to see clearly and to act
with grace and selt-command from this point of view6
6
John Rawls,Op.cit, hal 210-225
8
Model yang dikembangkan oleh Rawls mengenai purity of heart mempunyai
dua bagian. Bagian pertama melukiskan orang dalam situasi hipotesis memilih
prinsip untuk hidup bersama. Dibayangkan sebagai individu yang rasional
mempunyai minat baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama memiliki kapasitas
yang sama dan mempunyai kebutuhan yang akan dapat di penuhi lebih efektif
dengan kerja sama. Bagian kedua dari models Ralws adalah ketidak pedulian yang
terselubung (veil of ignarance), yang memastikan bahwa para pihak tidak
mengetahui dimana kedudukan dalam masyarakat baru yaitu menurut kelas, suku
atau jenis kelamin. Selubung adalah bagian yang penting sekali dari konsepsi Rawls
mengenai moral seseorangyang mematuhi “kemurnian hati “dalam bentuk sikap yang
layak dan bermoral terhadap proyek orang lain. Menurut gagasan Rawls, keadilan
sosial dipertanyakan sehingga orang-orang yang benar (Real people) seharusnya
senantiasa berusaha untuk memilih tanpa prasangka kearah kepentingan sendiri.
Menurut Rawls perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan
kepentingan bersama. Bagaimana harus memberikan ukuran dan keseimbangan yang
disebut keadilan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditukar lagi, karena
keadilan menjamin stabilitas hidup manusia. Peraturan-peraturan diperlukan untuk
mencegah terjadinya benturan kepentingan. Hukum baru akan di taati apabila ia
mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan, lebih lanjut Rawls mengatakan bahwa
kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan,
kewibawaan, kesempatan, pendapatan dan kesejahteraan. 7
Konsepsi keadilan John Rawl membuka peluang yang sama bagi semua
warga negara untuk berpartisipasi dalam politik dan pemerintahan. Kebebasan hak
7
John Rawls,, Ibid hal 210-225
9
warganegara untuk tidak mematuhi atau menolak suatu peraturan atau hukum yang
menurut keyakinan suara hatinya bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat pada
umumnya. Dengan demikaian, konsepsi ini menjamin hak warganegara untuk
melakukan perubahan terhadat peraturan perundang-undangan atau hukum yang
tidak adil dalam suatu negara, akan tetapi tuntutan perubahan harus menurut undangundang.
Menurut praktek keadilan pidana di Indonesia, upaya hukum Peninjauan
Kembali telah mengalami pergeseran, seakan meninggalkan tujuannya yang hakiki,
itulah yang terjadi sekarang dalam praktek yaitu pengajuan Peninjauan Kembali oleh
Jaksa/Penuntut Umum terhadap putusan bebas dari Mahkamah Agung.
Praktek penerapan ketentuan terhadap upaya hukum Peninjauan Kembali
perlu dikaji secara mendalam dari sudut hukum pidana.
2.2. Sistem Peradilan Pidana dan Hukum Acara Pidana.
Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat dipandang sebagai
tanggung jawab secara persial dari pihak tertentu. Hal itu karena ada keterkaitan
berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu sistem peradilan pidana itu
sendiri.
Istilah sistem peradilan pidana dalam berbagai referensi digunakan sebagai
dasar pedoman dari criminal justice system. Dalam Block’s Raw Dictionary difinisi
criminal justice system disebutkan sebagai “The system typically has three
components : law enforcement (police, sheriffs, marshals), The judreal process
(judges, prosecutors, defense lawyers) and corrections (prison officials, probation
officers, parole officers).8 Pengertian tersebut lebih menekankan pada “komponen”
8
Bryan A Garner,1999, Black’s Law Dictionary,Seventh Edition, West Group, St.Paul Minn, hal 381
10
dalam sistem penegakan hukum yang terdiri dari Polisi, Jaksa/Penuntut Umum,
Hakim, Advokat dan Lembaga Pemasyarakatan. Disamping itu pengertian diatas
juga menekankan kepada fungsi komponen untuk “menegakkan hukum pidana” yaitu
fungsi penyelidikan, proses peradilan dan pelaksanaan pidananya.
Berbeda dengan pengertian Black’s Law Dictionary diatas, pengertian
sistem peradilan pidana seperti dikemukakan oleh Muladi, bahwa sistem peradilan
pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum
pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana sebagai materiil, hukum pidana
formil maupun hukum pelaksanaan pidana. 9 Pengertian yang dikemukakan Muladi
tersebut, disamping memberi penekanan pada suatu “jaringan” peradilan juga
menekankan adanya penggunaan hukum pidana oleh jaringan dalam melaksanakan
tugasnya secara menyeluruh, baik hukum pidana substantif, hukum acara pidana
maupun hukum penitensier untuk mencapai tujuan jaringan tersebut, sedangkan
dalam pengertian Black’s Law Dictionary terlihat lebih menekankan pada
kelembagaannya (komponen).
Pemahaman pengertian “sistem” dalam pendapat yang lain menurut Gordon
B.Davis sebagaimana dikutif Muladi dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik
sebagai physical system, dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja
untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system, dalam arti gagasangagasan yang merupakan susunan yang teratur satu sama lain berada dalam
ketergantugan.10 Dari pemahaman tersebut, pengertian “sistem” dalam sistem
9
Muladi, Op cit, hal 4
10
Op.cit hal 15
11
peradilan pidana meliputi keterpaduan bekerjanya elemen-elemen pendukung
peradilan pidana maupun gagasan-gagasan yang tersistematis.
Difinisi yang lain seperti dikemukakan Remington dan Ohlin sebagaimana
dikutif oleh Romli Atmasasmita, bahwa Criminal Justice system dapat diartikan
sebagai pemakaian sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan
peradilan sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundangundangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem
itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang disiapkan secara
rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala
keterbatasannya. 11 Pengertian tersebut memberi pemahaman bahwa sistem peradilan
pidana merupakan proses interaksi secara terpadu antara peraturan peraturan
perundang-undangan pidana, praktek administrasi yang dijalankan lembaga peradilan
pidana dan pelaksanaannya.
Dari pengertian diatas, oleh Hagan seperti dikutip Romli Atmasasmita,
membedakan pengertian antara Criminal justice system dan criminal justice process.
Menurut Hagan, Criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang
dihadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada penentuan
pidana baginya. Sedangkan Criminal justice system adalah interkoneksi antara
keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
12
Peradilan pidana sebagai “proses” menurut pengertian Hagan, didalamnya terdapat
pentahapan penanganan oleh komponen-komponen terkait yang masing - masing
memberikan
suatu
11
keputusan
hingga
ada
penentuan
status
hukum
bagi
Romli Atmasasmita, 1996, Sistim Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme,
Bina Cipta, Bandung, hal 14
12
Ibid, hal 14
12
tersangka/terdakwa. Sedangkan peradilan pidana sebagai “sistem” didalamnya
terdapat keterkaitan hubungan keputusan yang dibuat setiap komponen terkait dalam
prosesnya kearah suatu tujuan.
Dari definisi-definisi tersebut diatas terlihat adanya beberapa penekanan,
yaitu :
Pertama, adanya sistem dari suatu proses yang merupakan proses
pelaksanaan tanggung jawab yang terdapat dalam suatu lembaga peradilan. Jadi
terdapat tahapan-tahapan yang bertujuan secara sistematis dalam melaksanakan
peradilan pidana.
Kedua, adanya fungsi komponen-komponen yang berperan menjalankan
proses tersebut. Komponen-komponen tersebut dengan mengambil batasan yang
diberikan Mardjono Reksodipoetro, bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan
pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.
13
Jadi komponen
dimaksud adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
maka Advokat sudah selayaknya menjadi bagian komponen didalamnya.
Apabila dilihat dari fungsi masing-masing komponen tersebut, yaitu
kopolisian yang berfungsi melakukan tugas penyidikan, kejaksaan bertugas
melakukan fungsi penuntutan, pengadilan yang berfungsi melakukan tugas
mengadili, advokat berfungsi melakukan tugas mendampingi dan memberikan jasa
bantuan hukum terhadap tersangka terdakwa/terpidana, serta fungsi lembaga
13
Mardjono Reksodipoetro,1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan dan
Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), PidatoPengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap
Dalam Ilmu Hukum pada Universitas Indonesia, Jakarta (Selanjutnya disebut Murdjono Reksodipoetro I), hal 1
13
pemasyarakatan
yang
bertugas
menjalankan
putusan
penghukuman
dan
pemasyarakatan narapidana, urutan tersebut menunjukkan rangkaian proses yang
harus dilalui dari suatu sistem yang bekerja untuk suatu tujuan tertentu.
Ketiga, adanya penekanan bagaimana tiap-tiap komponen menjalankan
tugasnya. Meskipun setiap komponen peradilan pidana dalam menjalankan tugasnya
sebagai institusi yang berdiri sendiri dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda,
namun dalam menjalankan fungsinya tersebut semua komponen harus bekerja secara
terpadu. Keterpaduan tersebut diharapkan untuk menjalin kerja antar komponen
secara terkait, sehingga terlaksana seluruh tahap dalam proses peradilan pidana yang
sinergis guna mencapai tujuan yang tertentu.
Keempat, adanya tujuan dari proses bekerjanya komponen-komponen dalam
sistem tersebut. Tujuan disini dipandang sebagai tujuan secara keseluruhan atas hasil
kerjanya seluruh komponen. Oleh karenanya pemahaman tiap-tiap komponen dari
seluruh tahapan mengenai tujuan tersebut menjadi penting dan menjadi peran yang
sangat besar dalam mewujudkan tujuan atas proses yaitu dalam rangka
penanggulangan kejahatan.
Terkait dengan pemahaman atas tujuan dari sistem peradilan pidana, oleh
Alan Coffey sebagaimana dikutip Mardjono Reksodipoetro, dikemukakan bahwa :
peradilan pidana hanya dapat berfungsi secara sistematis apabila setiap sistem
tersebut mengingat akan tujuan yang hendak dicapai oleh keseluruhan bagian
lainnya. Dengan kata lain, sistem tersebut tidak akan sistematis jika hubungan antara
Polisi dan Penuntut Hukum, Polisi dengan Pengadilan, Penuntut Hukum dengan
Lembaga Kemasyarakatan, Lembaga kemasyarakatan dan hukum, dan seterusnya,
tidak harmonis. Diabaikannya hubungan fungsional diantara bagian-bagian tersebut
menyebabkan sistem peradilan pidana rentan terhadap perpecahan (Fragmentasi) dan
tidak efektif. 14
14
Mardjono Reksodipoetro, 1983, Bahan Bacaan Wajib Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana, Riset
Dokumentasi Hukum UI, Jakarta (selanjutnya disebut Mardjono Reksodipoetro III, hal 82
14
Pemahaman diatas menegaskan bahwa proses bekerjanya peradilan pidana
baru dapat terbentuk sebagai suatu proses yang sistematis apabila ada pemahaman
yang sama diantara komponen-komponen peradilan pidana tentang tujuan sistem
peradilan pidana. Apabila tidak terciptanya pemahaman yang sama diantara
komponen peradilan pidana berpotensi akan terfragmentasi dan berjalan sendirisendiri sehingga akan menyebabkan penegakan hukum dengan menggunakan sistem
ini tidak akan berhasil dengan baik. Oleh Mardjono Reksodipoetro, tujuan sistem
peradilan dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya. 15
Atas tujuan tersebut Mardjono Reksodipoetro mengemukakan bahwa empat
komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
lembaga kemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk
suatu integrited criminal justice system. 16 Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem
tidak dilakukan oleh Mardjono Reksodipoetro diperkarakan akan terdapat tiga
kerugian, yaitu :
1. Kesukaran menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan
2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masingmasing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana)
3. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi,
maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari
sistem peradilan pidana.17
15
Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 15
16
Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 15
17
Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 15
15
Dirangkaikannya istilah “integrated” terhadap Criminal justice system,
menurut Muladi dipandang sebagai suatu keputusan yang berlebihan (overbodig),
sebab tidak ada sistem yang tidak terintegrasi atau terpadu. .18 Hal itu apabila ditarik
dari pengertian system menurut Muladi, karena dalam istilah system seharusnya
sudah terkandung keterpaduan (integration and coordination) 19 Keterpaduan tersebut
didasarkan atas indikator-indikator sebagai berikut:
1.
Berorientasi pada tujuan (purposive behaviour)
2.
Menyeluruh dari pada sekedar penjumlahan bagian-bagiannya (wholism)
3.
Sistem selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar (openness)
4.
Operasionalisasi bagian-bagiannya menciptakan sistem nilai tertentu
(transpormation)
5.
Antar bagian sistem harus cocok satu sama lain (interrelatedness)
6.
Adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu
(control mechanism). 20
Meskipun demikian Muladi setuju apabila penyebutan istilah tersebut
diarahkan untuk lebih memberi tekanan agar integrasi dan koordinasi lebih
diperhatikan, sebab fragmentasi dalam sistem peradilan pidana nampaknya
merupakan disturbing issue.
21
Kiranya pelaksanaan sistem peradilan pidana yang
tidak dilakukan secara terintegrasi dan koordinasi dengan baik, menurut pandangan
para ahli hukum dimungkinkan tercipta fragmentasi yang dapat menghambat
tercapainya tujuan sistem tersebut dalam penegakan hukum. Adanya wewenang
diskresi yang dapat memicu timbulnya fragmentasi dalam sistem peradilan pidana
tersebut. Jika tidak ada rasa saling pengertian dan kerjasama diantara sub sistem18
Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 15
19
Muladi, Op.cit, hal 1
20
Muladi, Op.cit, hal 119
21
Muladi, Op.cit, hal 1
16
sistem peradilan pidana, dapat menimbulkan berbagai kecurigaan yang tidak perlu,
dan juga dapat berdampak negatif terhadap pencapaian tujuan sistem peradilan
pidana.
Keserempakan dan keselarasan sebagai kandungan makna-makna dari
sinkronisasi sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem, menurut Muladi dapat
bersifat :
Sinkronisasi struktural (structural syncronization), yaitu keserempakan dan
keselarasan dalam administrasi peradilan pidana (the administration of
justice) dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum dapat pula
sinkronisasi substansial (substansial syncronization), yaitu keserempakan
dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dalam
hukum positif, dan dapat pula bersifat sinkronisasi kultural (cultural
sincronization), yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati
pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 22
Pendapat yang lain sehubungan dengan tujuan sistem peradilan pidana
sebagaimana dikemukakan oleh Herbert L Packer, bahwa : a pragmatic approach to
the central question of what the criminal law is good for would require both a
general assessment of whether the criminal proses is a highspeed or a lows peed
instrument of social control and a series of specific aesessment of its fitnes for
handling particular kinds of anti social behaviour. 23 Menurut packer, bahwa suatu
pendekatan pragmatis atas pertanyaan mendasar mengenai tujuan baik dari adanya
hukum pidana memerlukan suatu penyelidikan secara umum tentang apakah suatu
proses pidana merupakan suatu kendali sosial yang memiliki kecepatan tinggi atau
rendah dari penyelidikan lanjutan dan bersifat khusus mengenai kemampuannya
untuk mengantisipasi perilaku anti sosial.
22
Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 15
23
Herbert L Packer, 1986, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford University Press, Stanford,
California, hal 152
17
Satu-satunya cara untuk melaksanakan tugas tersebut diatas menurut Packer
adalah dengan mengabstraksi kenyataan dan membangun sebuah model. One way to
do this kind of job is to abstract from reality, to build a model. 24 Model yang hendak
dibangun adalah :
1. It has considerable utility as an index of current value choices........about how
the system actually operates (yang memiliki kegunaan sebagai indeks dari
suatu
pilihan
nilai
masa
kini
tentang
bagaiman
suatu
sitem
diimplementasikan)
2. The kind of model that might emerge from an attempt to cut loose from the
law on the books and to describe, as accurately as possible, what actually
goes on in the real life (sebuah model yang terbentuk dari usaha untuk
membedakan secara tajam hukum dalam buku teks dan menuangkan seakurat
mungkin apa yang sedang terjadi dalam kehidupan nyata sehari-sehari).
3. The kind of model we need is one that permits us to recognize explicifly the
value choice that underlie the details of criminal process (sebuah model yang
dapat dipergunakan untuk mengenali secara eksplisit pilihan nilai yang
melandasi rincian suatu proses pidana). 25
Bentuk model yang cocok untuk mencapai hal diatas menurut Packer adalah
model-model normatif, dan dari beberapa model normatif yang ada, tidak akan lebih
dari dua model saja yang cocok, yaitu the due process model dan the crime control
model, 26 Terhadap model-model yang dibangun Packer tersebut, Muladi berpendapat
terdapat kelemahan atas model-model itu, yaitu :
1. Crime control model, sebagaimana di gambarkan oleh John Griffiths sebagai
model yang bertumpu pada the proposition that the repression of criminal
conduct is by for the most important function to be performed by the criminal
24
Ibid, hal 152
25
Ibid, hal 152-153
26
Ibid
18
process.
27
Model ini berpandangan tindakan yang bersifat represif sebagai
terpenting dalam melaksanakan proses peradilan pidana. Menurut Muladi,
model ini merupakan bentuk asli dari adversarymodel dengan ciri-ciri
penjahat dilihat sebagai musuh masyarakat yang harus dibasmi atau
diasingkan, efisiensi, ketertiban umum berada diatas segalanya, tujuan
pemidanaan adalah pengasingan. 28
2. Due process model, menurut Muladi tidak sepenuhnya meguntungkan, sebab
meskipun model ini diliputi oleh the concept of the individual and the
complementary concept of limitation on official power dan bersifat anti
outhoritarian values, namun tetap berada dalam kerangka adversary model.29
Konsep due process model menempatkan individu pada kedudukan yang
istimewa dan pembatasan kekuasaan aparat dan bersifat anti nilai-nilai
kepatuhan yang mutlak. Dalam pandangan Muladi, hal tersebut jelas tidak
sesuai dengan falsafah Pancasila, yang melihat pelaku tindak pidana baik
sebagai mahluk individual maupun sebagai mahluk sosial. 30
3. Family model, dari Griffiths dinilai juga kurang memadai, karena masih
terlalu offender oriented, padahal disisi lain masih terdapat korban (the victim
of crime) yang memerlukan perhatian serius. 31
Atas penilaian tersebut menurut Muladi, dengan mendasarkan diripada
konsep equal justice, model yang sesuai dengan sistem peradilan pidana Indonesia
27
Muladi, Op.cit, hal 5
28
Muladi, Op.cit, hal 5
29
Muladi, Op.cit, hal 5
30
Muladi, Op.cit, hal 5
31
Muladi, Op.cit, hal 5
19
adalah model yang realistik yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus
dilindungi oleh hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum,
kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban
kejahatan. 32 Model tersebut oleh Muladi disebut sebagai model keseimbangan, yaitu
model yang bertumpu pada konsep daad dader strafrecht tersebut terlihat belum
terakomodir dalam hukum acara pidana yang berlaku saat ini, yaitu Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), yang bertumpu pada konsep dader strafrecht yang
lebih memberi penekanan pelaku tindak pidana.
Keberpihakan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana pada pelaku tindak pidana, terlihat dari sepuluh asas
yang terkandung didalamnya, yaitu :
1. Perlakuan yang sama dimuka hukum tanpa diskriminasi apapun
2. Praduga tak bersalah
3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi
4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum
5. Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan
6. Peradilan yang bebas dilakukan dengan cepat dan sederhana
7. Peradilan yang terbuka untuk umum
8. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang
dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis)
9. Hak seseorang tersangka untuk diberitahukan tentang persangkaan dan
pendakwaan terhadapnya
32
Muladi, Op.cit, hal 5
20
10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan. 33
Penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana di
Indonesia yang sampai saat ini masih berlandaskan pada Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana, memang dirasakan belum mewakili
berbagai kepentingan sebagai salah satu contoh mengenai kepentingan korban dalam
proses peradilan pidana yang diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum, juga masih ada
perbedaan menjolok dengan kepentingan pelaku tindak pidana. Oleh karenanya
tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan pidana sebagaimana
dikemukakan Mardjono Reksodipoetro yaitu antara lain menyelesaikan kasus
kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan,
agaknya tidak akan terlaksana secara baik.
Dalam literatur pengertian Sistem Peradilan Pidana merujuk pada konsep
hukum yang bukan sekedar ketentuan normatifnya saja. Termasuk didalamnya dasar
teori, filosofi dan konsepnya. Sementara pengertian hukum acara pidana merujuk
pada hanya ketentuan normatifnya saja. Konkritnya hukum acara pidana adalah
pasal-pasal
ketentuan prosedural yang dirumuskan dalam undang – undang yang
mengatur tentang acara peradilan pidana, oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
sistem peradilan pidana adalah hukum acara pidana dalam arti yang luas, sementara
hukum acara pidana saja adalah sistem peradilan dalam arti sempit. 34
Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,
karena merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
33
Mardjono Reksodipoetro III, Op.cit, hal 11-12
34
Luhut NP Pangaribuan, 2013, Hukum Acara Pidana, Surat Resmi Advokat di Pengadilan, Penerbit
Papas Sinar Sinanti, Jakarta, hal 13
21
badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan
harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. 35
Hukum acara pidana itu sangat penting gunanya dalam mewujudkan hukum
pidana. Dengan demikian hukum pidana baru bisa dilaksanakan dengan adanya
pengaturan hak – hak dan kewajiban, yaitu kewajiban para penegak hukum serta
hak – hak dan kewajiban tersangka atau terdakwa. Apabila hukum acara pidana
berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan hukum pidana sudah barang tentu
didalam mewujudkan fungsi tersebut diperlukan perangkat pelaksana penegak
hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan advokat. Para penegak hukum itu didalam
melaksanakan tugasnya tidak boleh menyimpang dari asas – asas hukum acara
pidana. 36
Fungsi hukum acara pidana sebagai kumpulan ketentuan – ketentuan dengan
tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila
terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil, berarti
memberikan kepada hukum acara ini suatu hubungan yang mengabdi terhadap
hukum materiil.
37
Dengan terdapatnya kata – kata “ yang mengabdi pada hukum
materiil” bahwa jelas hukum acara pidana itu sangat erat hubunganya dengan hukum
pidana sebagaimana dikatakan oleh R. Wirjono Prodjodikoro.
Sedangkan menurut R. Soesilo menyatakan bahwa pengertian hukum acara
pidana atau hukum pidana formal adalah kumpulan peraturan – peraturan hukum
yang memuat ketentuan – ketentuan mengatur soal – soal sebagai berikut :
35
R.Wirjono Prodjodikoro, 1970, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Penerbit Sumur Bambung, hal 13
36
C.Djisman Samosir,2013, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, Penerbit Nuansa Aula, Bandung,
Mei 2013, hal 8-9
37
SM.Amin, 1976, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Penerbit Pradnya Paramita, hal 15
22
a.
Cara bagaimana harus diambil tindakan – tindakan kalau ada
sangkaan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimana
mencari kebenaran – kebenaran tentang tindak pidana apa yang telah
dilakukan.
b.
Setelah ternyata bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan siapa
dan cara bagaimana harus mencari, menyelidiki dan menyidik orang –
orang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, cara
menangkap, menahan, dan memeriksa orang itu.
c.
Cara bagaimana mengumpulkan barang – barang bukti, memeriksa,
menggeledah badan dan tempat – tempat lain serta menyita barang –
barang bukti itu untuk membuktikan kesalahan tersangka.
d.
Cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap
terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana.
e.
Oleh siapa dan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana itu harus
dilaksanakan sebaiknya atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa
hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara
bagaimana mempertahankan atau menyelengggarakan hukum pidana
materiil, sehingga memperoleh putusan hakim dan cara bagaimana isi
putusan itu harus dilaksanakan. 38
Adapun
van Bemmelen mengemukan pengertian dengan menggunakan
istilah ilmu hukum acara pidana, yaitu mempelajari peraturan – peraturan yang
diciptakan oleh negara karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang – undang
pidana :
a.
Negara melalui alat – alatnya menyidik kebenaran.
b.
Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.
c.
Mengambil tindakan – tindakan yang perlu atau menangkap si pelaku
dan kalau perlu menahannya.
d.
Mengumpulkan bahan – bahan bukti ( bewijs material ) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim
dan membawa terdakwa kedepan hakim tersebut.
e.
Hakim memberi putusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang
dituduhkan kepada terdakwa dan unntuk itu menjatuhkan pidana atas
tindakan tak tertib.
f.
Aparat hukum tidak melawan putusan tersebut.
38
R. Soesilo, 1982, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP
Bagi Penegak Hukum, Bogor, Politika, hal 3
23
g.
Akhirnya melaksanakan putusan tentang pidana dan tindakan tak
tertib. 39
Sedangkan L.J Apeldoorn mengatakan bahwa hukum acara pidana adalah
cara bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana
materiil. 40
Kemudian Yan Pramadya Puspa memberikan batasan atau pengertian hukum
acara pidana adalah ketentuan – ketentuan hukum yang mengatur dengan cara
bagaimana tertib hukum pidana harus ditegakkan atau dilaksanakan dengan baik,
seandainya terjadi pelanggaran dan dengan cara bagaimanakah negara menyesuaikan
hak pidana atau hak menghukumnya kepada si pelanggar hukum (terdakwa)
seandainya terjadi pelangggaran hukum pidana. Pihak negara diwakili oleh Penuntut
Umum atau Jaksa, dimana Jaksa harus menuntut (mengajukan) tuntutan perkara itu
dimuka pengadilan. 41
Sementara itu Soesilo Yuwono menyebutkan bahwa hukum acara pidana
adalah ketentuan – ketentuan hukum yang memuat tentang :
a.
Hak dan kewajiban dari mereka yang tersangkut dalam proses pidana.
b.
Tata cara dari suatu proses pidana.
c.
Tindakan apa yang dapat dan wajib dilakukan untuk mengenakan
pelaku tindak pidana.
d.
Bagaimana tatacaranya menghadapkan orang
melakukan tindak pidana kedepan pengadilan.
e.
Bagaimana tatacaranya melakukan pemeriksaan didepan pengadilan
terhadap orang yang didakwa melakukan tindak pidana, serta
f.
Bagaimana tatacaranya untuk melaksanakan putusan pengadilan yang
sudah berkekuatan hukum tetap. 42
yang
didakwa
39
Andi Hamzah, 1983,Pengantar Hukum acara pidana Indonesia, Graha Indonesia, Jakarta, hal 17
40
L.J Van Apeldoorn, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal 335
41
Yan Pradnya Puspa, 1977, Kamus Hukum (Edisi Lengkap), Aneka, Semarang, hal 441-442
24
Dalam perkembangannya pendapat R. Wirjono Prodjodikoro sebagaimana
dikemukakan didepan, ternyata banyak dikritik dan bahkan terjadi kecenderungan
sudah ditinggalkannya, karena kenyataannya dalam perkembangannya sekarang
bahwa hukum acara pidana tidak hanya terbatas untuk melaksanakan hukum pidana
saja dan tidak pula semata – mata dari sudut pandang negara. Adnan Buyung
Nasution misalnya melihat perumusan hukum acara pidana diadakan terbatas hanya
melaksanakan ketentuan hukum pidana saja sangatlah sempit dan tidak aktual sesuai
perkembangan zaman. Pandangan yang sempit demikian menurutnya akan membawa
konsekuensi bahwa suatu hukum acara pidana hanya akan berorientasi pada
punishment semata seolah – olah apabila semakin banyak orang yang dimasukkan ke
penjara maka sistem peradilan pidana itu semakin berhasil. Padahal fungsi hukum
acara pidana seharusnya lebih daripada itu. Hukum acara pidana diadakan untuk
menegakkan keadilan melalui penerapan hukum pidana memberantas kejahatan dan
mencegah kejahatan sekaligus. Dengan demikian maka hukum acara pidana akan
berorientasi pada kesisteman, suatu sistem untuk menegakkan keadilan memberantas
kejahatan dan mencegah kejahatan. 43 Oleh karena itu dalam undang – undang tentang
kekuasaan kehakiman menentukan bahwa setiap putusan pengadilan pidana selalu
harus dimulai dengan irah – irah “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa “
Dalam perkembangan sistem peradilan pidana yang mutakhir diperkenalkan
konsep in-rem yaitu suatu konsep yang memisahkan “ hasil kejahatan “ dan
42
Soesilo Yuwono,1982, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP (Sistem dan Prosudur),
Alumni, Bandung, hal 5
43
Luhut MP Pangaribuan, Op cit hal 14
25
pelakunya
dimana “ hasil kejahatan “ itu dapat diproses secara berdiri sendiri
sekalipun pelakunya belum dinyatakan bersalah. Konsep in-rem ini disebut juga
dengan civil assets for feiture sebagai konsep tambahan, konsep justice collaborator
dan perlindungan terhadap saksi yang bekerjasama ( whistle blower ) juga sudah
diberlakukan.
Pembuktian terbalik yang tidak dikenal dalam tindak pidana umum juga telah
dianut dalam tindak pidana pencucian uang. Dalam tindak pidana korupsi disebut
sebagai beban pembuktian terbalik terbatas, artinya terdakwa berhak untuk
membuktikan bahwa ia tidak bersalah tetapi kewajiban Jaksa/Penuntut Umum
membuktikan surat dakwaannya tetap ada. Semua hal ini diadakan untuk mencapai
tujuan sistem peradilan pidana yang menegakkan keadilan melalui penerapan hukum
pidana, memberantas kejahatan dan mencegah kejahatan sekaligus.
2.3 Sejarah Hukum Perkembangan Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Sebagai Upaya Hukum Luar Biasa Di Indonesia
Pada zaman Hindia Belanda Lembaga Peninjauan Kembali ( herzeining )
terdapat dalam Reglement Op de Strafvordering ( RSv ) Staatblad Nomor 40 jo 57
pada 1847 Khususnya dalam titel 18, Pasal
365 sampai dengan Pasal
360
Reglement Op de Strafvordering adalah merupakan hukum acara pidana yang
diberlakukan pada Raad Van Justitie dimasa Hindia Belanda yaitu peradilan yang
berlaku bagi golongan Eropa. Dimana lembaga herzeining yang terdapat dalam RSv
(Reglement Op De Strafvordering ) tersebut tidak berlaku pada Landraad, peradilan
untuk golongan Bumi Putra.
26
Pasal 356 Reglement Op de Strafvordering ( RSv ) herziening dapat diajukan
terhadap putusan pemidanaan ( Veroordeling ) yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap ( in kracht van gewijsde ) dengan alasan :
1.
Atas dasar kenyataan bahwa dalam berbagai
putusan terdapat pernyataan yang telah dinyatakan terbukti, ternyata
bertentangan satu dengan yang lainya.
2.
Atas dasar pada waktu pemeriksaan di pengadilan,
tidak diketahui dan tidak mungkin diketahui baik berdiri sendiri
maupun sehubungan dengan bukti-bukti yang telah diajukan. Apabila
keadaan itu diketahui maka hasil pemeriksaan akan berupa putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
Penuntut Umum tidak dapat diterima, atau terhatap perkara itu akan
ditetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Alasan-alasan tersebut
dapat diajukan dalam suatu permohonan Peninjauan Kembali, bila
dalam suatu putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap
suatu perbuatan yang didakwa telah dinyatakan terbukti, tetapi tidak
ada suatu pemidanaan.44
Pasal 357 RSv menyebutkan, upaya hukum Peninjauan Kembali dapat
diajukan dengan suatu permohonan ke Mahkamah Agung oleh Jaksa Agung
( door den procureur general ) atau seorang terpidana yang dijatuhi hukuman pidana
dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan melaui kuasa
44
H. Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana. Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Jakarta, Hal 289.
27
khusus untuk keperluan tersebut45. Ternyata bahwa meskipun dalam RSv
permohonan herziening boleh diajukan oleh Jaksa Agung, namun hanyalah terhadap
putusan menghukum terdakwa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi
walaupun RSv memberi kemungkinan kepada negara mengajukan herziening ,
namun tetap ditujukan untuk kepentingan terpidana, bukan untuk kepentingan pihak
lain, misalnya : negara atau korban atau yang lainnya. Hal ini membuktikan bahwa
latar belakang dan jiwa dibentuknya lembaga Peninjauan Kembali didalam RSv ialah
se-mata-mata untuk kepentingan terpidana dan bahwa lembaga kejaksaan bukan
lembaga yang semata-mata mengejar orang untuk dimasukkan kepenjara, melainkan
mempunyai fungsi yang sama dengan lembaga penegak hukum lainnya, antara lain
Pengadilan, Advocat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Bilamana keadilan
terpidana telah dirampas oleh putusan hakim yang salah atau sesat, maka lembaga
kejaksaan ikut bertanggung jawab untuk memulihkan hak-hak dan keadilan terpidana
yang telah dirampas tersebut. Demikianlah jiwa atau rasio dari ketentuan bahwa
Jaksa Agung diberi hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan
pemidanaan.46
Jiwa Lembaga Peninjauan Kembali yang diatur dalam RSv tersebut ternyata
kemudian ditransfer
atau dipindahkan kedalam Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) Nomor 1 tahun 1980 maupun Peraturan Mahkamah Agung sebelumnya
yaitu PERMA Nomor 1 tahun 1969.47 Setelah kemerdekaan ketentuan Peninjauan
Kembali baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana “Pertama Kali”
45
46
M Yahya Harahap, Op.cit, hal 613-614
H.Adam Chazawi, 2010, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Penegakan Hukum
Dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, , Halaman 14-15.(selanjutnya disebut
H.Adam Chazawi II)
47
Anonim, Kumpulan Surat Edaran Mahkamah Agung Dalam Kurun Waktu 40 Tahun
28
terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969. Adapun dasar
pertimbangan dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung, sebagaimana terdapat dalam
ketentuan : Menimbang dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut yaitu :
1. Lembaga Peninjauan Kembali menjadi kebutuhan hukum yang mendesak
terbukti banyaknya permohonan Peninjauan Kembali itu diajukan ke
Pengadilan Negeri atau langsung ke Mahkamah Agung.
2. Untuk mengisi kekosongan hukum dan bersifat sementara sebelum
adanya undang-undang yang mengatur tentang Peninjauan Kembali
tersebut.
3. Dikeluarkannya peraturan tersebut, dengan maksud menambah hukum
acara Mahkamah Agung dengan hukum acara pidana Peninjauan Kembali
yang telah terdapat dalam undang-undang Nomor : 13 Tahun 1965
tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah
Agung dimana dalam Pasal 31 nya menyatakan : terhadap putusan
Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat
dimintakan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung sesuai dengan
ketentuan yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 15 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohonkan Peninjauan
Kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan
undang-undang.48
Dari ketentuan-ketentuan tersebut Mahkamah Agung nampaknya belum
memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus permintaan Peninjauan
Kembali, berhubung tidak terdapat hukum acaranya, sebagai aturan pelaksanaannya.
48
Undang-Undang Nomor19 tahun 1964 tentang ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman
29
Kemudian setelah Reglement Of The Straf Vordering terbitlah Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 tahun 1969 sebagai upaya untuk melengkapi hukum acara
Mahkamah Agung.
Dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969 ketentuan khusus
mengenai Peninjauan Kembali perkara pidana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4,
sedangkan Pasal 5 dan Pasal 6 memuat ketentuan mengenai putusan Peninjauan
Kembali dijatuhkan, baik PK perdata maupun PK pidana.49 Dimana dalam Pasal 3
nya dirumuskan sebagai berikut :
1. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim
atau suatu kekeliruan yang mencolok.
2.
Apabila dalam putusan itu terdapat keterangan-keterangan yang dianggap
terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan.
3. Apabila
terdapat
keadaan-keadaan
baru
sehingga
menimbulkan
pertimbangan mendalam bahwa apabila keadaan keadaan itu diketahui
pada waktu sidang yang masih berlangsung, putusan yang akan
dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana, melepaskan dari
segala tuntutan atas dasar bahwa perbutan yang dituduhkan itu tidak
merupakan tindak pidana, tidak dapat diterimanya perkara yang diajukan
oleh jaksa kepada pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana
lain yang lebih ringan.
4. Apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang dituduhkan telah
dinyatakan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa
pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan.
Sedangkan ketentuan Pasal 4 nya
49
dirumuskan sebagai berikut :
Anonim, Kumpulan Surat Edaran, Op.cit, hal 796-800
30
1. Permohonan Peninjauan Kembali suatui putusan pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh terpidana
atau pihak yang berkepentingan atau Jaksa Agung.
2. Permohonan Peninjauan Kembali suatu putusan pidana tidak dibatasi
dengan suatu jangkla waktu.
3. Permohonan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan sejelasjelasnya alasan yang diajukan dasar permohonan itu dan dimasukkan di
kepaniteraan pengadilan tingkat pertama yang telah memutus perkaranya.
4. Apabila pemohon tidak dapat menulis maka ia diperbolehkan
menguraikan permohonannya secara liasan di hadapan ketua pengadilan
tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan itu.
5. Ketua pengadilan itu selekas-lekasnya mengirimkan surat permohonan
atau catatan tentang permohonan lisan itu beserta berkas perkaranya
kepada Ketua Mahkamah Agung disertai pertimbangannya.
6. Mahkamah Agung akan memberi putusan setelah mendengar pendapat
Jaksa Agung.50
Dari ketentuan tersebut ternyata, Jaksa Agung boleh mengajukan
permintaan Peninjauan Kembali karena Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
1969 meniru pada Reglement of The Strafvordering tersebut. Namun pengajuan
Peninjauan Kembali oleh Jaksa Agung bukan perkecualian dari asas Peninjauan
Kembali yang ditujukan bagi kepentingan terpidana. Artinya meskipun Jaksa Agung
diperbolehkan mengajukan Peninjauan Kembali , namun tetap dalam koridor untuk
kepentingan terpidana pirnsip Peninjauan Kembali hanya boleh diajukan terhadap
putusan pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap sebagai perwujudan dari prinsip
50
Anonim, Surat Edaran, Op.cit, hal 796-800
31
pokok Peninjauan Kembali hanya untuk menegakkan kepentingan terpidana tetap
dipertahankan oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969.
Ternyata Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969 tidak berumur
panjang, karena pada tanggal 30 Nopember 1971 telah dicabut dengan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1971. Alasan dicabutnya Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 tahun 1969
karena nampaknya timbul reaksi dari parlemen
( Dewan Perwakilan Rakyat) pada waktu itu terhadap Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 tahun 1969, yang dikembalikan kepada pertanyaan apakah Mahkamah
Agung itu berwenang untuk mengeluarkan peraturan dan apakah soal Peninjauan
Kembali tidak semestinya menjadi objek dari perundang-undangan. Waktu itu pula
diadakan suatu pendekatan dengan Mahkamah Agung yang akhirnya Uitmonden
(dituangkan ) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1971, tanggal 30
Nopember 1971 tersebut, yang diktumnya sebagai berikut :
1. Mencabut kembali Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969
(beserta surat edaran Nomor 18 tanggal 23 Oktober 1969 )
2. Mengenai
permohonan-permohonan
Peninjauan
Kembali
yang
dialamatkan kepada Mahkamah Agung berdasarkan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 tahun 1969 Jo berdasarkan Surat Edaran Nomor 18 tahun
1969 telah ditahan di kepaniteraan Pengadilan Negeri, supaya pemohonpemohonnya dipanggil dan diberitahukan. Sekedar mengenai putusan
pengadilan perdata bahwa mereka dapat mengajukan gugatan request
civil menurut cara gugatan biasa dengan berpedoman pada peraturan
Burgerlijk
Rechtvordering
sedangkan
yang
mengetahui
putusan
pengadilan pidana tidak dapat dilayani karena belum ada undangundangnya.51
51
H. Oemar Seno Adji,1981, Herziening, Ganti Rugi, Suap Perkembangan Delik, Erlangga, Jakarta,
1981, Hal 28-29
32
Sejak dicabut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969, oleh
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1971, terjadi kekosongan hukum
mengenai lembaga Peninjauan Kembali perkara pidana sampai keluarnya Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 pada tanggal 1 Desember 1980. Dimana
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 ini jauh lebih lengkap dari pada
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969.
Putusan
Mahkamah
Agung
mengenai
permohonan
“Herziening”
(Peninjauan Kembali ) terhadap putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 Undangundang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 belum diikuti oleh
tuntutan ganti rugi, yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan sesudah
dijatuhkan putusan mengenai permohonan “Herziening” (Peninjauan Kembali )
tersebut yang di dimana dalam hukum acara negara lain itu sudah ada peraturannya.52
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980, syarat materiil
mengajukan Peninjauan Kembali dicantumkan dalam Pasal
9, sementara syarat
formilnya dicantumkan dalam Pasal 10.
Ketentuan Pasal
9 Peraturan Mahkamah Agung tersebut mengatur hal-hal
sebagai berikut :
1. Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana
yang mengandung pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap, atas dasar alasan :
52
Oemar Sono Adji, Ibid, hal 52
33
a. Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaankeadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama
lain bertentangan.
b. Apabila
terdapat
suatu
keadaan
sehingga
menimbulkan
persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada
waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan
akan mengandung :

pembebasan terpidana dari tuduhan,

pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan
yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana,

pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk
menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau

penerapan ketentuan-ketentuan lain yang lebih ringan.
2. Atas dasar alasan yang sama Mahkamah Agung dapat meninjau
kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang
dituduhkan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa
terbukti itu diikuti oleh suatu ketentuan pemidanaan.
Dalam ketentuan Pasal 10 dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
1980 dirumuskan sebagai berikut :
1. Permohonan Peninjauan Kembali suatu putusan pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa
Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan.
2. Permohonan diajukan secara tertulis, dengan menyebutkan sejelasjelasnya alasan yang diajukan sebagai dasar permohonan itu dan
dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan
atau diajukan langsung ke Mahkamah Agung.
34
3. Apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia mengajukan
permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan tersebut
atau seorang hakim yang ditunjuk olehnya yang akan membuat
catatan tentang permohonan itu.
4. Pengadilan itu selekas-lekasnya mengirimkan surat permohonan atau
catatan
tentang permohonan
lisan itu beserta berkas-berkas
perkaranya kepada Ketua Mahkamah Agung.
Kalau diperhatikan ternyata syarat formil untuk mengajukan Peninjauan
Kembali dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1980 dengan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 adalah sama. Namun syarat
materiil menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 menyebutkan 3
(tiga) alasan yaitu :
1. Terdapatnya keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, namun saling
bertentangan.
2. Terdapat keadaan baru
3. Putusan yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan terbukti,
namun tidak diikuti suatu pemidanaan.
Alasan karena adanya putusan yang memperlihatkan suatu kekhilafan hakim,
tidak terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980. Dimana
syarat materiil dalam mengajukan Peninjauan Kembali dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 1980 ini adalah mengambil oper dari Reglement op de
Strafvordering.
Adapun pihak-pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali , baik
dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 maupun dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 adalah sama yaitu :
35
-
Terpidana
-
Pihak yang berkepentingan atau
-
Jaksa Agung, terhadap putusan pemidanaan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 sifatnya sementara
dengan tujuan utama untuk mengatasi kesalahan negara yang telah terlanjur
menghukum Sengkon Bin Yakin dan Karta Bin Salam yang kemudian terbukti tidak
bersalah. 53
Sifat sementara ini dikarenakan hukum acara mengenai Peninjauan Kembali
tidak lagi seharusnya dibuat dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung, melainkan
harus melalui undang-undang. Namun dalam keadaan yang sangat mendesak
Mahkamah Agung mengulangi lagi, kembali mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung sebagaimana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 yang sudah
dicabut karena mendapat reaksi dari pihak parlemen. Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1980 dikeluarkan dengan mengacu pada Pasal
21 Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok –pokok Kekuasaan Kehakiman. 54
H.Oemar Seno Adji sebagai Ketua Mahkamah Agung waktu itu menyatakan
bahwa Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 merupakan ketentuan
previsoris, temporer, transitor dan diterapkan untuk kebutuhan pada saat itu, untuk
kemudian menyediakan tempatnya bagi perundang-undangan kelak, sebagai
53
Hadari Djenawi Taher, 1982, Bab Tentang Herzeining Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, Alumni, Bandung, Hal 20.
54
H.Adami Chazawi II, Op.cit,hal 21
36
pelaksanaan dari ketentuan Pasal
21 undang-undang pokok kehakiman, (Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970). 55
Satu bulan setelah diberlakukan dengan menggunakan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 1980 tersebut, pada tanggal 31 januari 1981 Sengkon dan
Karta dibebaskan oleh Mahkamah Agung melalui putusan Peninjauan Kembali atas
permohonan yang diajukan oleh Jaksa Agung.
Bahwa sebenarnya sebelum dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1980, Pasal
1 Desember 1980, kuasa hukum Senglon dan Karta
telah pernah mengajukan permintaan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang
mempidana Sengkon dan Karta, menyusul tertangkap dan dipidanya pembunuhnya
Sulaiman Bin Nazir dan istrinya yang sebenarnya. Akan tetapi permintaan
Peninjauan Kembali tersebut oleh Mahkamah Agung dinyatakan tidak dapat
diterima, karena pada waktu itu belum ada dasar hukumnya56.
Peristiwa kasus Sengkon dan Karta itu pula yang menjiwai lembaga
Peninjauan Kembali dalam Bab XVIII Bagian Kedua, Pasal
263 sampai dengan
Pasal 269 KUHAP.57 Memperlihatkan deskripsi ketentuan peraturan-peraturan yang
dikemukakan tersebut diatas pada dasarnya terdapat “ tali kesinambungan “ yang
tidak terputus dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal
dasarnya Peninjauan Kembali yang diatur dala Pasal
263 KUHAP. Pada
263 KUHAP merupakan
kelanjutan yang “ditransfer “ dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969
dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 dimana kedua Peraturan
55
H.Oemar Seno Adji, Op.cit, hal 52
56
H. Oemar Seno Adji, Ibid, hal 55
57
Hadari Djenawi Tahir, Op.cit. hal 5
37
Mahkamah Agung itu bersumber dari ketentuan Pasal
356 dan Pasal
357 RSv
(Reglement op de Strafvordering ) yaitu persamaan dari peraturan-peraturan tersebut,
mengenai :
1.
Bahwa putusan perkara pidana yang dapat diajukan Peninjauan
Kembali hanya terbatas meliputi “ putusan pemidanaan “ saja, dimana
disebutkan :
- Dalam Pasal 356 RSv disebut putusan yang berisi pemidanaan
- Dalam peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 disebut
putusan pidana yang tidak mengandung pembebasan dari semua
tuduhan.
- Dalam Peraturan Mahkamah Agung 1980 disebut putusan pidana yang
mengandung pemidanaan.
- Dalam Pasal
263 ayat 1 KUHAP disebut “ kecuali putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum “.
2.
Alasan-alasan Peninjauan Kembali sama bahwa alasan Peninjauan
Kembali sedang diatur dalam Pasal
263 ayat 2 dan ayat 3 KUHAP,
redaksi dan substansinya pada dasarnya sama persis seperti yang diatur
dalam Pasal
356 RSv, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
1969 maupun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980.
Letak perbedaanya dari peraturan yang mengatur Peninjauan Kembali
tersebut diatas adalah mengenai “pihak atau obyek” yang dapat atau berhak
mengajukan Peninjauan Kembali , yaitu :
38
1. Dalam KUHAP, yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali hanya
terbatas “terpidana” atau “ahli warisnya” sedangkan penuntut umum
tidak dicantumkan sebagai pihak yang dapat mempersiapkan Peninjauan
Kembali .
2. Dalam RSv maupun Peraturan-Peratuaran Mahkamah Agung tersebut,
Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali ,
bahkan dalam Pasal
21 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970
maupun Peraturan Mahkamah Agung itu yang dapat mengajukan
Peninjauan Kembali meliputi pula pihak yang berkepentingan58.
58
M Yahya Harahap. Op.cit,hal 646-647
39
Download