BAB II PENGATURAN TENTANG UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERADILAN DI INDONESIA 2.1 Cita Hukum Keadilan Undang - Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Pancasila sebagai cita hukum dan sumber tertib hukum nasional Indonesia. Terdapat kaitan dan saling mempengaruhi antara pokok-pokok pikiran cita hukum (rechts idee) dan hukum dasar negara. Pokok-pokok pikiran merupakan dari dan akan memberi isi serta menjiwaiacita hukum dan asas-asas hukum yang akan terwujud dalam hukum dasar negara dan selanjutnya akan menjadi fundamen dari antara hukum yang berlaku. 1 Pancasila merupakan “sumber dari segala sumber hukum” yang berarti pemerintah menetapkan bahwa dalam pengertiannya tersebut Pancasila berfungsi sebagai cita hukum yang menjadi landasan atau pedoman bagi semua peraturan perundang-undang di Negara Republik Indonesia. 2 Pandangan hidup bangsa Indonesia telah di rumuskan secara padat dalam bentuk kesatuan rangkaian lima sila yang dinamakan Pancasila, sengaja di tempatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan kefalsafahan yang mendasari dan menjiwai penyusunan ketentuan- ketentuan yang tercantum dalam undang - undang dasar itu. Pancasila melandasi dan menjiwai kehidupan kenegaraan di Indonesia, termasuk kegiatan menentukan dan melaksanakan politik hukumannya. 1 Marwah M Diah, 2003, Restrukturisasi BUMN di Indonesia, Trivatitasi atau Rerporatisasi, Penerbit Literata, Jakarta, hal 30 2 Ibid. hal. 35 1 2 Sehubungan dengan itu, penyusunan dan penerapan tata hukum di Indonesia sejak berlakunya Undang-undang Dasar itu harus dilandasi oleh Pancasila. 3 Dalam dinamika proses-proses kemasyarakatan, Pancasila diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan, juga pada bidang kehidupan hukum. Penerapan atau realisasi Pancasila pada bidang kehidupan hukum itu menumbuhkan ketentuanketentuan hukum yang dijiwai atau diwarnai oleh Pancasila. 4 Dalam prakteknya, pada sistem hukum nasional pelaksanaan Pancasila sebagai cita hukum yang berfungsi sebagai tolak ukur regulatif yaitu fungsi sebagai penguji apakah suatu hukuman positif itu asli atau tidak. Sejalan dengan itu juga hukum secara langsung diarahkan untuk mewujudkan keadilan sosial yang memberikan kepada masyarakat sebagai kesatuan dan masing-masing warga masyarakat kesejahteraan (materil dan spirituil) yang merata dalam keseimbangan yang proporsional Penegakan keadilan melalui kekuasaan kehakiman merupakan salah satu tujuan dan prinsip Negara. Peraturan perundang-undangan tentang kekuasaan kehakiman (sejak Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sampai dengan yang terakhir Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009) menyatakan bahwa peradilan dilakukan “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa keadilan di Indonesia berdasarkan Ilahiah, yang dapat diartikan bahwa keadilan yang sebenarnya adalah keadilan yang berasal dari Tuhan, baik langsung maupun tidak langsung. Menurut kepercayaan dan keyakinan Agama, Tuhan telah mengatur seluruh sistem kehidupan berdasarkan timbangan yang adil 3 Arif Sidharta,2008, Filsafat Hukum Pancasila, Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, hal 16 4 Marwah M Diah,Op cit hal. 18 3 dan keteraturan alam dengan segala isinya adalah bukti keadilan Tuhan yang dapat diamati oleh akal manusia. Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 24 Undang-undang Dasar 1945 dan undang-undang tentang kekuasaan kehakiman, bahwa kekuasaan kehakiman adalah salah satu dari tiga kekuasaan dalam negara yang khusus menegakan keadilan berdasarkan hukum yang berlaku. Undang-undang tersebut menjamin kemandirian hakim dalam memutuskan perkara tanpa campur tangan pihak lain, baik eksekutif maupun legislatif. Meskipun demikian seorang hakim harus memutuskan sesuai dengan apa yang dipandang adil oleh hukum, yang dalam hal ini dia terikat pada hukum materiil dan hukum acara yang ada. Persoalan pokok mengenai keadilan (justice), juga dapat dilihat dari hubungannya norma-norma hukum (legal justice), moral (moral justice) dan sosial (social justice). Keadilan menurut hukum dapat dilihat dari peraturan perundangundangan yang berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang mencerminkan keadilan hukum negara dalam bentuk formal. Adil atau tidaknya suatu peraturaan perundang-undangan atau putusan hakim ditentukan oleh keadilan menurut moral dan keadilan sosial. Moral justice adalah keadilan berdasarkan moralitas, yang hanya dimiliki oleh manusia dan dengan itu manusia berusaha hidup lebih baik dalam masyarakat. Di dunia Barat, sebagian orang seperti para teolog Kristen berpendapat bahwa moralitas berasal dari Tuhan, sementara para pengikut Utilitarianisme menyatakan moralitas berasal dari pemikiran dan perasaan manusia. Menurut kelompok ini yang 4 selalu menilai manfaat yang dapat diambil dari segala sesuatu, moralitas ditentukan oleh kebahagiaan hidup yang ditimbulkannya. Dalam kajian hukum Barat, hukum dan moralitas mempunyai kaitan erat, tetapi hukum tidak sama dengan moralitas, hukum mengikat semua orang sebagai warga negara, tetapi moralitas hanya mengikat orang sebagai individu. Disisi lain hukum tidak menuntut berbuat kebaikan atau memberikan bantuan yang merupakan kewajiban moral. Sebenarnya hukum yang baik berasal dari moralitas yang baik dan moralitas yang baik melahirkan hukum yang baik. Di Indonesia secara teoritis hukum tidak seharusnya bertentangan dengan moralitas bangsa Indonesia. Hukum tertinggi negara adalah Undang-undang Dasar 1945, yang dimulai dengan pernyataan “Berkat rahmat Tuhan (Allah) pada hakekatnya mengandung pengakuan terhadap agama sebagai sumber moralitas utama dalam kehidupan bangsa Indonesia. Agama yang menetapkan tentang norma-norma baik dan buruk, benar dan tidak benar, adil dan tidak adil, mengatur tentang cara menimbang, memberi, dan menerima, membagi, bertransaksi, memberikan kesaksian, menyelenggarakan pemerintahan dan sistem peradilan, dan lain-lain. Meskipun demikian, merupakan hal yang salah jika hanya dilihat pada keadilan struktur dasar, sosial dalam cara yang tidak lansung ini. Hal yang patut diketahui ialah sistem hukum sebenarnya secara mendalam dan langsung menaruh perhatian kepada hal-hal dasar tersebut seperti kebebasan politik, mendapatkan kesempatan yang sama, pembagian sumber daya dan pemeliharaan kesejahteraan warga negara. Dengan kata lain, sistem hukum harus merupakan cerminan dari filsafat masyarakat tentang keadilan. Bagi para pengikat Utilitarianisme, desain 5 dasar suatu masyarakat seharusnya mengambil manfaat yang dapat diambil dari segala sesuatu. Jika kebebasan politik dipandang tidak akan produktif, kebebasaan tersebut harus ditarik. Seperti pada keadilan moral, bagi Utilitarianisme, keadilan sosial adalah segala yang meningkatkan manfaat. Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa selain melindungi segenap bangsa dan tanah air Indonesia, pemerintah Indonesia jaga ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam pidatonya di dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan bahwa” kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economishe democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan social. 5 Selanjutnya dalam sidang sebelumnya dinyatakan oleh Mohammad Yamin bahwa kesejahteraan rakyat yang menjadi dasar Negara Indonesia merdeka ialah keadilan masyarakat dan keadilan sosial. Kemerdekaan menurut Soepomo keadilan sosial adalah sesuatu yang luhur seperti yang dipahami oleh masyarakat. Beranjak dari uraian diatas, keadilan adalah suatu konsep yang menyeluruh, tetapi keadilan sosial adalah distribusi manfaat-manfaat yang diterima dan bebanbeban melalui suatu masyarakat sebagaimana merupakan hasil dari institusi-institusi sosial utama sistem-sistem kepemilikan dan organisasi-organisasi publik. Keadilan ini berhubungan dengan permasalahan –permasalahan seperti peraturan mengenai 5 Safroedin Bahar,1992 et al, Risalah Sidang, Badan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara, Jakarta, hal 67-68 6 upah dan keuntungan alokasi perumahan, peraturan kesehatan dan manfaat kesejahteraan dan sebagainya. Aristoteles menyatakan keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Kemudian Aristoteles membuat formulasi tentang apa yang disebut keadilan, Ia membedakannya dalam dua jenis keadilan yaitu keadilan kolektif dan keadilan distributif. Berbeda dengan keadilan distributif yang membutuhkan distribusi atas penghargaan, sedangkan keadilan kolektif didasarkan pada transaksi (sundallagamata) baik sukarela maupun tidak. Salah satu pendukung keadilan sosial lainnya adalah Theory of justice dari John Rawls yang berpendapat bahwa keadilan adalah sebuah lembaga kebajikan soasial yang pertama sebagai kebenaran dari sebuah sistem pemikiran, percaya bahwa eksistensi suatu masyarakat sangat bergantung kepada pengaturan formal melalui hukum serta lembaga-lembaga pendukungnya. Bila pada awalnya pembahasaanya mengenai keadilan terbatas pada dunia filosofi Anglo Amerika yang disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai logika dan bahasa, John Rawls kemudian menyegarkan kembali minat kepada pertanyaan-pertanyaan yang substantif dari filsafat politik. Secara sederhana, persoalan pokok tentang arti keadilan dikaitan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang menjadikan masyarakat adil? dan bagaimana keadilan sosial dihubungkan dengan upaya individu mencari kehidupan yang baik ?. Rawls yang mengajarkan mengenai prinsip-prinsip keadilan, terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana di kemukakan Hume, Bentham dan Mill. Gagasan instusi darimana Rawls mulai mengembangkan teorinya adalah 7 sederhana tetapi dalam, yaitu setiap orang memiliki rasa keadilan yang tidak diganggu gugat, bahkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan tidak dapat mengesampingkannya. Dengan kata lain, upaya pencarian kesejahteraan sosial tidak seyogyanya merusak kehidupan individu dengan membatasi hak dasar dan yang menjadi haknya. Rawls sangat prihatin dengan prospek kehidupan seseorang yang seringkali di rusak oleh cara-cara yang bersifat tidak mempunyai nilai moral, seperti mempersoalkan kelas, kesukuan dan jenis kelamin dapat meningkatnya manfaat social, hal-hal tersebut melanggar perasaan terhadap rasa adil (fairness). Rawls percaya bahwa intuisi tentang kebajikan sosial tidak dapat ditentukan. Permasalahan akan makin timbul, jika difokuskan pada gagasan keadilan prasudural (procedural justice), yang berusaha membangun suatu tata cara yang dalam struktur meliputi moral yang ideal tentang keadilan, jika tugas dikerjakan dengan baik dipastikan hasilnya akan adil apapun prosudurnya yang digunakan. Prosudur yang digunakan oleh Rawls dalam mengembangkan teori keadilan adalah dengan mengadilkan suatu posisi awal (original position) suatu situasi hipotesis dimana orang-orang yang berkemampuan sama memutuskan untuk sepakat bekerjasama sosial, tanpa mengetahui bagaimana kedudukan didalam masyarakat. Kedudukan tersebut memberikan suatu modal yang berisi norma moral yang dalam sebagaimana dikatakan Rawls: Purity of heart, if one could affain, would be to see clearly and to act with grace and selt-command from this point of view6 6 John Rawls,Op.cit, hal 210-225 8 Model yang dikembangkan oleh Rawls mengenai purity of heart mempunyai dua bagian. Bagian pertama melukiskan orang dalam situasi hipotesis memilih prinsip untuk hidup bersama. Dibayangkan sebagai individu yang rasional mempunyai minat baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama memiliki kapasitas yang sama dan mempunyai kebutuhan yang akan dapat di penuhi lebih efektif dengan kerja sama. Bagian kedua dari models Ralws adalah ketidak pedulian yang terselubung (veil of ignarance), yang memastikan bahwa para pihak tidak mengetahui dimana kedudukan dalam masyarakat baru yaitu menurut kelas, suku atau jenis kelamin. Selubung adalah bagian yang penting sekali dari konsepsi Rawls mengenai moral seseorangyang mematuhi “kemurnian hati “dalam bentuk sikap yang layak dan bermoral terhadap proyek orang lain. Menurut gagasan Rawls, keadilan sosial dipertanyakan sehingga orang-orang yang benar (Real people) seharusnya senantiasa berusaha untuk memilih tanpa prasangka kearah kepentingan sendiri. Menurut Rawls perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana harus memberikan ukuran dan keseimbangan yang disebut keadilan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditukar lagi, karena keadilan menjamin stabilitas hidup manusia. Peraturan-peraturan diperlukan untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan. Hukum baru akan di taati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan, lebih lanjut Rawls mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan dan kesejahteraan. 7 Konsepsi keadilan John Rawl membuka peluang yang sama bagi semua warga negara untuk berpartisipasi dalam politik dan pemerintahan. Kebebasan hak 7 John Rawls,, Ibid hal 210-225 9 warganegara untuk tidak mematuhi atau menolak suatu peraturan atau hukum yang menurut keyakinan suara hatinya bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat pada umumnya. Dengan demikaian, konsepsi ini menjamin hak warganegara untuk melakukan perubahan terhadat peraturan perundang-undangan atau hukum yang tidak adil dalam suatu negara, akan tetapi tuntutan perubahan harus menurut undangundang. Menurut praktek keadilan pidana di Indonesia, upaya hukum Peninjauan Kembali telah mengalami pergeseran, seakan meninggalkan tujuannya yang hakiki, itulah yang terjadi sekarang dalam praktek yaitu pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum terhadap putusan bebas dari Mahkamah Agung. Praktek penerapan ketentuan terhadap upaya hukum Peninjauan Kembali perlu dikaji secara mendalam dari sudut hukum pidana. 2.2. Sistem Peradilan Pidana dan Hukum Acara Pidana. Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat dipandang sebagai tanggung jawab secara persial dari pihak tertentu. Hal itu karena ada keterkaitan berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu sistem peradilan pidana itu sendiri. Istilah sistem peradilan pidana dalam berbagai referensi digunakan sebagai dasar pedoman dari criminal justice system. Dalam Block’s Raw Dictionary difinisi criminal justice system disebutkan sebagai “The system typically has three components : law enforcement (police, sheriffs, marshals), The judreal process (judges, prosecutors, defense lawyers) and corrections (prison officials, probation officers, parole officers).8 Pengertian tersebut lebih menekankan pada “komponen” 8 Bryan A Garner,1999, Black’s Law Dictionary,Seventh Edition, West Group, St.Paul Minn, hal 381 10 dalam sistem penegakan hukum yang terdiri dari Polisi, Jaksa/Penuntut Umum, Hakim, Advokat dan Lembaga Pemasyarakatan. Disamping itu pengertian diatas juga menekankan kepada fungsi komponen untuk “menegakkan hukum pidana” yaitu fungsi penyelidikan, proses peradilan dan pelaksanaan pidananya. Berbeda dengan pengertian Black’s Law Dictionary diatas, pengertian sistem peradilan pidana seperti dikemukakan oleh Muladi, bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana sebagai materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. 9 Pengertian yang dikemukakan Muladi tersebut, disamping memberi penekanan pada suatu “jaringan” peradilan juga menekankan adanya penggunaan hukum pidana oleh jaringan dalam melaksanakan tugasnya secara menyeluruh, baik hukum pidana substantif, hukum acara pidana maupun hukum penitensier untuk mencapai tujuan jaringan tersebut, sedangkan dalam pengertian Black’s Law Dictionary terlihat lebih menekankan pada kelembagaannya (komponen). Pemahaman pengertian “sistem” dalam pendapat yang lain menurut Gordon B.Davis sebagaimana dikutif Muladi dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system, dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system, dalam arti gagasangagasan yang merupakan susunan yang teratur satu sama lain berada dalam ketergantugan.10 Dari pemahaman tersebut, pengertian “sistem” dalam sistem 9 Muladi, Op cit, hal 4 10 Op.cit hal 15 11 peradilan pidana meliputi keterpaduan bekerjanya elemen-elemen pendukung peradilan pidana maupun gagasan-gagasan yang tersistematis. Difinisi yang lain seperti dikemukakan Remington dan Ohlin sebagaimana dikutif oleh Romli Atmasasmita, bahwa Criminal Justice system dapat diartikan sebagai pemakaian sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundangundangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang disiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya. 11 Pengertian tersebut memberi pemahaman bahwa sistem peradilan pidana merupakan proses interaksi secara terpadu antara peraturan peraturan perundang-undangan pidana, praktek administrasi yang dijalankan lembaga peradilan pidana dan pelaksanaannya. Dari pengertian diatas, oleh Hagan seperti dikutip Romli Atmasasmita, membedakan pengertian antara Criminal justice system dan criminal justice process. Menurut Hagan, Criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang dihadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan Criminal justice system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. 12 Peradilan pidana sebagai “proses” menurut pengertian Hagan, didalamnya terdapat pentahapan penanganan oleh komponen-komponen terkait yang masing - masing memberikan suatu 11 keputusan hingga ada penentuan status hukum bagi Romli Atmasasmita, 1996, Sistim Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung, hal 14 12 Ibid, hal 14 12 tersangka/terdakwa. Sedangkan peradilan pidana sebagai “sistem” didalamnya terdapat keterkaitan hubungan keputusan yang dibuat setiap komponen terkait dalam prosesnya kearah suatu tujuan. Dari definisi-definisi tersebut diatas terlihat adanya beberapa penekanan, yaitu : Pertama, adanya sistem dari suatu proses yang merupakan proses pelaksanaan tanggung jawab yang terdapat dalam suatu lembaga peradilan. Jadi terdapat tahapan-tahapan yang bertujuan secara sistematis dalam melaksanakan peradilan pidana. Kedua, adanya fungsi komponen-komponen yang berperan menjalankan proses tersebut. Komponen-komponen tersebut dengan mengambil batasan yang diberikan Mardjono Reksodipoetro, bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. 13 Jadi komponen dimaksud adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka Advokat sudah selayaknya menjadi bagian komponen didalamnya. Apabila dilihat dari fungsi masing-masing komponen tersebut, yaitu kopolisian yang berfungsi melakukan tugas penyidikan, kejaksaan bertugas melakukan fungsi penuntutan, pengadilan yang berfungsi melakukan tugas mengadili, advokat berfungsi melakukan tugas mendampingi dan memberikan jasa bantuan hukum terhadap tersangka terdakwa/terpidana, serta fungsi lembaga 13 Mardjono Reksodipoetro,1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), PidatoPengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum pada Universitas Indonesia, Jakarta (Selanjutnya disebut Murdjono Reksodipoetro I), hal 1 13 pemasyarakatan yang bertugas menjalankan putusan penghukuman dan pemasyarakatan narapidana, urutan tersebut menunjukkan rangkaian proses yang harus dilalui dari suatu sistem yang bekerja untuk suatu tujuan tertentu. Ketiga, adanya penekanan bagaimana tiap-tiap komponen menjalankan tugasnya. Meskipun setiap komponen peradilan pidana dalam menjalankan tugasnya sebagai institusi yang berdiri sendiri dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda, namun dalam menjalankan fungsinya tersebut semua komponen harus bekerja secara terpadu. Keterpaduan tersebut diharapkan untuk menjalin kerja antar komponen secara terkait, sehingga terlaksana seluruh tahap dalam proses peradilan pidana yang sinergis guna mencapai tujuan yang tertentu. Keempat, adanya tujuan dari proses bekerjanya komponen-komponen dalam sistem tersebut. Tujuan disini dipandang sebagai tujuan secara keseluruhan atas hasil kerjanya seluruh komponen. Oleh karenanya pemahaman tiap-tiap komponen dari seluruh tahapan mengenai tujuan tersebut menjadi penting dan menjadi peran yang sangat besar dalam mewujudkan tujuan atas proses yaitu dalam rangka penanggulangan kejahatan. Terkait dengan pemahaman atas tujuan dari sistem peradilan pidana, oleh Alan Coffey sebagaimana dikutip Mardjono Reksodipoetro, dikemukakan bahwa : peradilan pidana hanya dapat berfungsi secara sistematis apabila setiap sistem tersebut mengingat akan tujuan yang hendak dicapai oleh keseluruhan bagian lainnya. Dengan kata lain, sistem tersebut tidak akan sistematis jika hubungan antara Polisi dan Penuntut Hukum, Polisi dengan Pengadilan, Penuntut Hukum dengan Lembaga Kemasyarakatan, Lembaga kemasyarakatan dan hukum, dan seterusnya, tidak harmonis. Diabaikannya hubungan fungsional diantara bagian-bagian tersebut menyebabkan sistem peradilan pidana rentan terhadap perpecahan (Fragmentasi) dan tidak efektif. 14 14 Mardjono Reksodipoetro, 1983, Bahan Bacaan Wajib Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana, Riset Dokumentasi Hukum UI, Jakarta (selanjutnya disebut Mardjono Reksodipoetro III, hal 82 14 Pemahaman diatas menegaskan bahwa proses bekerjanya peradilan pidana baru dapat terbentuk sebagai suatu proses yang sistematis apabila ada pemahaman yang sama diantara komponen-komponen peradilan pidana tentang tujuan sistem peradilan pidana. Apabila tidak terciptanya pemahaman yang sama diantara komponen peradilan pidana berpotensi akan terfragmentasi dan berjalan sendirisendiri sehingga akan menyebabkan penegakan hukum dengan menggunakan sistem ini tidak akan berhasil dengan baik. Oleh Mardjono Reksodipoetro, tujuan sistem peradilan dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. 2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. 3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 15 Atas tujuan tersebut Mardjono Reksodipoetro mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga kemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu integrited criminal justice system. 16 Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan oleh Mardjono Reksodipoetro diperkarakan akan terdapat tiga kerugian, yaitu : 1. Kesukaran menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan 2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masingmasing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana) 3. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.17 15 Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 15 16 Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 15 17 Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 15 15 Dirangkaikannya istilah “integrated” terhadap Criminal justice system, menurut Muladi dipandang sebagai suatu keputusan yang berlebihan (overbodig), sebab tidak ada sistem yang tidak terintegrasi atau terpadu. .18 Hal itu apabila ditarik dari pengertian system menurut Muladi, karena dalam istilah system seharusnya sudah terkandung keterpaduan (integration and coordination) 19 Keterpaduan tersebut didasarkan atas indikator-indikator sebagai berikut: 1. Berorientasi pada tujuan (purposive behaviour) 2. Menyeluruh dari pada sekedar penjumlahan bagian-bagiannya (wholism) 3. Sistem selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar (openness) 4. Operasionalisasi bagian-bagiannya menciptakan sistem nilai tertentu (transpormation) 5. Antar bagian sistem harus cocok satu sama lain (interrelatedness) 6. Adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu (control mechanism). 20 Meskipun demikian Muladi setuju apabila penyebutan istilah tersebut diarahkan untuk lebih memberi tekanan agar integrasi dan koordinasi lebih diperhatikan, sebab fragmentasi dalam sistem peradilan pidana nampaknya merupakan disturbing issue. 21 Kiranya pelaksanaan sistem peradilan pidana yang tidak dilakukan secara terintegrasi dan koordinasi dengan baik, menurut pandangan para ahli hukum dimungkinkan tercipta fragmentasi yang dapat menghambat tercapainya tujuan sistem tersebut dalam penegakan hukum. Adanya wewenang diskresi yang dapat memicu timbulnya fragmentasi dalam sistem peradilan pidana tersebut. Jika tidak ada rasa saling pengertian dan kerjasama diantara sub sistem18 Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 15 19 Muladi, Op.cit, hal 1 20 Muladi, Op.cit, hal 119 21 Muladi, Op.cit, hal 1 16 sistem peradilan pidana, dapat menimbulkan berbagai kecurigaan yang tidak perlu, dan juga dapat berdampak negatif terhadap pencapaian tujuan sistem peradilan pidana. Keserempakan dan keselarasan sebagai kandungan makna-makna dari sinkronisasi sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem, menurut Muladi dapat bersifat : Sinkronisasi struktural (structural syncronization), yaitu keserempakan dan keselarasan dalam administrasi peradilan pidana (the administration of justice) dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum dapat pula sinkronisasi substansial (substansial syncronization), yaitu keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dalam hukum positif, dan dapat pula bersifat sinkronisasi kultural (cultural sincronization), yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 22 Pendapat yang lain sehubungan dengan tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana dikemukakan oleh Herbert L Packer, bahwa : a pragmatic approach to the central question of what the criminal law is good for would require both a general assessment of whether the criminal proses is a highspeed or a lows peed instrument of social control and a series of specific aesessment of its fitnes for handling particular kinds of anti social behaviour. 23 Menurut packer, bahwa suatu pendekatan pragmatis atas pertanyaan mendasar mengenai tujuan baik dari adanya hukum pidana memerlukan suatu penyelidikan secara umum tentang apakah suatu proses pidana merupakan suatu kendali sosial yang memiliki kecepatan tinggi atau rendah dari penyelidikan lanjutan dan bersifat khusus mengenai kemampuannya untuk mengantisipasi perilaku anti sosial. 22 Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 15 23 Herbert L Packer, 1986, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford University Press, Stanford, California, hal 152 17 Satu-satunya cara untuk melaksanakan tugas tersebut diatas menurut Packer adalah dengan mengabstraksi kenyataan dan membangun sebuah model. One way to do this kind of job is to abstract from reality, to build a model. 24 Model yang hendak dibangun adalah : 1. It has considerable utility as an index of current value choices........about how the system actually operates (yang memiliki kegunaan sebagai indeks dari suatu pilihan nilai masa kini tentang bagaiman suatu sitem diimplementasikan) 2. The kind of model that might emerge from an attempt to cut loose from the law on the books and to describe, as accurately as possible, what actually goes on in the real life (sebuah model yang terbentuk dari usaha untuk membedakan secara tajam hukum dalam buku teks dan menuangkan seakurat mungkin apa yang sedang terjadi dalam kehidupan nyata sehari-sehari). 3. The kind of model we need is one that permits us to recognize explicifly the value choice that underlie the details of criminal process (sebuah model yang dapat dipergunakan untuk mengenali secara eksplisit pilihan nilai yang melandasi rincian suatu proses pidana). 25 Bentuk model yang cocok untuk mencapai hal diatas menurut Packer adalah model-model normatif, dan dari beberapa model normatif yang ada, tidak akan lebih dari dua model saja yang cocok, yaitu the due process model dan the crime control model, 26 Terhadap model-model yang dibangun Packer tersebut, Muladi berpendapat terdapat kelemahan atas model-model itu, yaitu : 1. Crime control model, sebagaimana di gambarkan oleh John Griffiths sebagai model yang bertumpu pada the proposition that the repression of criminal conduct is by for the most important function to be performed by the criminal 24 Ibid, hal 152 25 Ibid, hal 152-153 26 Ibid 18 process. 27 Model ini berpandangan tindakan yang bersifat represif sebagai terpenting dalam melaksanakan proses peradilan pidana. Menurut Muladi, model ini merupakan bentuk asli dari adversarymodel dengan ciri-ciri penjahat dilihat sebagai musuh masyarakat yang harus dibasmi atau diasingkan, efisiensi, ketertiban umum berada diatas segalanya, tujuan pemidanaan adalah pengasingan. 28 2. Due process model, menurut Muladi tidak sepenuhnya meguntungkan, sebab meskipun model ini diliputi oleh the concept of the individual and the complementary concept of limitation on official power dan bersifat anti outhoritarian values, namun tetap berada dalam kerangka adversary model.29 Konsep due process model menempatkan individu pada kedudukan yang istimewa dan pembatasan kekuasaan aparat dan bersifat anti nilai-nilai kepatuhan yang mutlak. Dalam pandangan Muladi, hal tersebut jelas tidak sesuai dengan falsafah Pancasila, yang melihat pelaku tindak pidana baik sebagai mahluk individual maupun sebagai mahluk sosial. 30 3. Family model, dari Griffiths dinilai juga kurang memadai, karena masih terlalu offender oriented, padahal disisi lain masih terdapat korban (the victim of crime) yang memerlukan perhatian serius. 31 Atas penilaian tersebut menurut Muladi, dengan mendasarkan diripada konsep equal justice, model yang sesuai dengan sistem peradilan pidana Indonesia 27 Muladi, Op.cit, hal 5 28 Muladi, Op.cit, hal 5 29 Muladi, Op.cit, hal 5 30 Muladi, Op.cit, hal 5 31 Muladi, Op.cit, hal 5 19 adalah model yang realistik yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan. 32 Model tersebut oleh Muladi disebut sebagai model keseimbangan, yaitu model yang bertumpu pada konsep daad dader strafrecht tersebut terlihat belum terakomodir dalam hukum acara pidana yang berlaku saat ini, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), yang bertumpu pada konsep dader strafrecht yang lebih memberi penekanan pelaku tindak pidana. Keberpihakan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana pada pelaku tindak pidana, terlihat dari sepuluh asas yang terkandung didalamnya, yaitu : 1. Perlakuan yang sama dimuka hukum tanpa diskriminasi apapun 2. Praduga tak bersalah 3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi 4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum 5. Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan 6. Peradilan yang bebas dilakukan dengan cepat dan sederhana 7. Peradilan yang terbuka untuk umum 8. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis) 9. Hak seseorang tersangka untuk diberitahukan tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya 32 Muladi, Op.cit, hal 5 20 10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan. 33 Penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana di Indonesia yang sampai saat ini masih berlandaskan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana, memang dirasakan belum mewakili berbagai kepentingan sebagai salah satu contoh mengenai kepentingan korban dalam proses peradilan pidana yang diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum, juga masih ada perbedaan menjolok dengan kepentingan pelaku tindak pidana. Oleh karenanya tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan pidana sebagaimana dikemukakan Mardjono Reksodipoetro yaitu antara lain menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan, agaknya tidak akan terlaksana secara baik. Dalam literatur pengertian Sistem Peradilan Pidana merujuk pada konsep hukum yang bukan sekedar ketentuan normatifnya saja. Termasuk didalamnya dasar teori, filosofi dan konsepnya. Sementara pengertian hukum acara pidana merujuk pada hanya ketentuan normatifnya saja. Konkritnya hukum acara pidana adalah pasal-pasal ketentuan prosedural yang dirumuskan dalam undang – undang yang mengatur tentang acara peradilan pidana, oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sistem peradilan pidana adalah hukum acara pidana dalam arti yang luas, sementara hukum acara pidana saja adalah sistem peradilan dalam arti sempit. 34 Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, karena merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana 33 Mardjono Reksodipoetro III, Op.cit, hal 11-12 34 Luhut NP Pangaribuan, 2013, Hukum Acara Pidana, Surat Resmi Advokat di Pengadilan, Penerbit Papas Sinar Sinanti, Jakarta, hal 13 21 badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. 35 Hukum acara pidana itu sangat penting gunanya dalam mewujudkan hukum pidana. Dengan demikian hukum pidana baru bisa dilaksanakan dengan adanya pengaturan hak – hak dan kewajiban, yaitu kewajiban para penegak hukum serta hak – hak dan kewajiban tersangka atau terdakwa. Apabila hukum acara pidana berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan hukum pidana sudah barang tentu didalam mewujudkan fungsi tersebut diperlukan perangkat pelaksana penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan advokat. Para penegak hukum itu didalam melaksanakan tugasnya tidak boleh menyimpang dari asas – asas hukum acara pidana. 36 Fungsi hukum acara pidana sebagai kumpulan ketentuan – ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil, berarti memberikan kepada hukum acara ini suatu hubungan yang mengabdi terhadap hukum materiil. 37 Dengan terdapatnya kata – kata “ yang mengabdi pada hukum materiil” bahwa jelas hukum acara pidana itu sangat erat hubunganya dengan hukum pidana sebagaimana dikatakan oleh R. Wirjono Prodjodikoro. Sedangkan menurut R. Soesilo menyatakan bahwa pengertian hukum acara pidana atau hukum pidana formal adalah kumpulan peraturan – peraturan hukum yang memuat ketentuan – ketentuan mengatur soal – soal sebagai berikut : 35 R.Wirjono Prodjodikoro, 1970, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Penerbit Sumur Bambung, hal 13 36 C.Djisman Samosir,2013, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, Penerbit Nuansa Aula, Bandung, Mei 2013, hal 8-9 37 SM.Amin, 1976, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Penerbit Pradnya Paramita, hal 15 22 a. Cara bagaimana harus diambil tindakan – tindakan kalau ada sangkaan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimana mencari kebenaran – kebenaran tentang tindak pidana apa yang telah dilakukan. b. Setelah ternyata bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan siapa dan cara bagaimana harus mencari, menyelidiki dan menyidik orang – orang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, cara menangkap, menahan, dan memeriksa orang itu. c. Cara bagaimana mengumpulkan barang – barang bukti, memeriksa, menggeledah badan dan tempat – tempat lain serta menyita barang – barang bukti itu untuk membuktikan kesalahan tersangka. d. Cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana. e. Oleh siapa dan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana itu harus dilaksanakan sebaiknya atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelengggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh putusan hakim dan cara bagaimana isi putusan itu harus dilaksanakan. 38 Adapun van Bemmelen mengemukan pengertian dengan menggunakan istilah ilmu hukum acara pidana, yaitu mempelajari peraturan – peraturan yang diciptakan oleh negara karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang – undang pidana : a. Negara melalui alat – alatnya menyidik kebenaran. b. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu. c. Mengambil tindakan – tindakan yang perlu atau menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya. d. Mengumpulkan bahan – bahan bukti ( bewijs material ) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa kedepan hakim tersebut. e. Hakim memberi putusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan unntuk itu menjatuhkan pidana atas tindakan tak tertib. f. Aparat hukum tidak melawan putusan tersebut. 38 R. Soesilo, 1982, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum, Bogor, Politika, hal 3 23 g. Akhirnya melaksanakan putusan tentang pidana dan tindakan tak tertib. 39 Sedangkan L.J Apeldoorn mengatakan bahwa hukum acara pidana adalah cara bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana materiil. 40 Kemudian Yan Pramadya Puspa memberikan batasan atau pengertian hukum acara pidana adalah ketentuan – ketentuan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum pidana harus ditegakkan atau dilaksanakan dengan baik, seandainya terjadi pelanggaran dan dengan cara bagaimanakah negara menyesuaikan hak pidana atau hak menghukumnya kepada si pelanggar hukum (terdakwa) seandainya terjadi pelangggaran hukum pidana. Pihak negara diwakili oleh Penuntut Umum atau Jaksa, dimana Jaksa harus menuntut (mengajukan) tuntutan perkara itu dimuka pengadilan. 41 Sementara itu Soesilo Yuwono menyebutkan bahwa hukum acara pidana adalah ketentuan – ketentuan hukum yang memuat tentang : a. Hak dan kewajiban dari mereka yang tersangkut dalam proses pidana. b. Tata cara dari suatu proses pidana. c. Tindakan apa yang dapat dan wajib dilakukan untuk mengenakan pelaku tindak pidana. d. Bagaimana tatacaranya menghadapkan orang melakukan tindak pidana kedepan pengadilan. e. Bagaimana tatacaranya melakukan pemeriksaan didepan pengadilan terhadap orang yang didakwa melakukan tindak pidana, serta f. Bagaimana tatacaranya untuk melaksanakan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. 42 yang didakwa 39 Andi Hamzah, 1983,Pengantar Hukum acara pidana Indonesia, Graha Indonesia, Jakarta, hal 17 40 L.J Van Apeldoorn, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal 335 41 Yan Pradnya Puspa, 1977, Kamus Hukum (Edisi Lengkap), Aneka, Semarang, hal 441-442 24 Dalam perkembangannya pendapat R. Wirjono Prodjodikoro sebagaimana dikemukakan didepan, ternyata banyak dikritik dan bahkan terjadi kecenderungan sudah ditinggalkannya, karena kenyataannya dalam perkembangannya sekarang bahwa hukum acara pidana tidak hanya terbatas untuk melaksanakan hukum pidana saja dan tidak pula semata – mata dari sudut pandang negara. Adnan Buyung Nasution misalnya melihat perumusan hukum acara pidana diadakan terbatas hanya melaksanakan ketentuan hukum pidana saja sangatlah sempit dan tidak aktual sesuai perkembangan zaman. Pandangan yang sempit demikian menurutnya akan membawa konsekuensi bahwa suatu hukum acara pidana hanya akan berorientasi pada punishment semata seolah – olah apabila semakin banyak orang yang dimasukkan ke penjara maka sistem peradilan pidana itu semakin berhasil. Padahal fungsi hukum acara pidana seharusnya lebih daripada itu. Hukum acara pidana diadakan untuk menegakkan keadilan melalui penerapan hukum pidana memberantas kejahatan dan mencegah kejahatan sekaligus. Dengan demikian maka hukum acara pidana akan berorientasi pada kesisteman, suatu sistem untuk menegakkan keadilan memberantas kejahatan dan mencegah kejahatan. 43 Oleh karena itu dalam undang – undang tentang kekuasaan kehakiman menentukan bahwa setiap putusan pengadilan pidana selalu harus dimulai dengan irah – irah “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “ Dalam perkembangan sistem peradilan pidana yang mutakhir diperkenalkan konsep in-rem yaitu suatu konsep yang memisahkan “ hasil kejahatan “ dan 42 Soesilo Yuwono,1982, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP (Sistem dan Prosudur), Alumni, Bandung, hal 5 43 Luhut MP Pangaribuan, Op cit hal 14 25 pelakunya dimana “ hasil kejahatan “ itu dapat diproses secara berdiri sendiri sekalipun pelakunya belum dinyatakan bersalah. Konsep in-rem ini disebut juga dengan civil assets for feiture sebagai konsep tambahan, konsep justice collaborator dan perlindungan terhadap saksi yang bekerjasama ( whistle blower ) juga sudah diberlakukan. Pembuktian terbalik yang tidak dikenal dalam tindak pidana umum juga telah dianut dalam tindak pidana pencucian uang. Dalam tindak pidana korupsi disebut sebagai beban pembuktian terbalik terbatas, artinya terdakwa berhak untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah tetapi kewajiban Jaksa/Penuntut Umum membuktikan surat dakwaannya tetap ada. Semua hal ini diadakan untuk mencapai tujuan sistem peradilan pidana yang menegakkan keadilan melalui penerapan hukum pidana, memberantas kejahatan dan mencegah kejahatan sekaligus. 2.3 Sejarah Hukum Perkembangan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Sebagai Upaya Hukum Luar Biasa Di Indonesia Pada zaman Hindia Belanda Lembaga Peninjauan Kembali ( herzeining ) terdapat dalam Reglement Op de Strafvordering ( RSv ) Staatblad Nomor 40 jo 57 pada 1847 Khususnya dalam titel 18, Pasal 365 sampai dengan Pasal 360 Reglement Op de Strafvordering adalah merupakan hukum acara pidana yang diberlakukan pada Raad Van Justitie dimasa Hindia Belanda yaitu peradilan yang berlaku bagi golongan Eropa. Dimana lembaga herzeining yang terdapat dalam RSv (Reglement Op De Strafvordering ) tersebut tidak berlaku pada Landraad, peradilan untuk golongan Bumi Putra. 26 Pasal 356 Reglement Op de Strafvordering ( RSv ) herziening dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan ( Veroordeling ) yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde ) dengan alasan : 1. Atas dasar kenyataan bahwa dalam berbagai putusan terdapat pernyataan yang telah dinyatakan terbukti, ternyata bertentangan satu dengan yang lainya. 2. Atas dasar pada waktu pemeriksaan di pengadilan, tidak diketahui dan tidak mungkin diketahui baik berdiri sendiri maupun sehubungan dengan bukti-bukti yang telah diajukan. Apabila keadaan itu diketahui maka hasil pemeriksaan akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima, atau terhatap perkara itu akan ditetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Alasan-alasan tersebut dapat diajukan dalam suatu permohonan Peninjauan Kembali, bila dalam suatu putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap suatu perbuatan yang didakwa telah dinyatakan terbukti, tetapi tidak ada suatu pemidanaan.44 Pasal 357 RSv menyebutkan, upaya hukum Peninjauan Kembali dapat diajukan dengan suatu permohonan ke Mahkamah Agung oleh Jaksa Agung ( door den procureur general ) atau seorang terpidana yang dijatuhi hukuman pidana dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan melaui kuasa 44 H. Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana. Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Jakarta, Hal 289. 27 khusus untuk keperluan tersebut45. Ternyata bahwa meskipun dalam RSv permohonan herziening boleh diajukan oleh Jaksa Agung, namun hanyalah terhadap putusan menghukum terdakwa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi walaupun RSv memberi kemungkinan kepada negara mengajukan herziening , namun tetap ditujukan untuk kepentingan terpidana, bukan untuk kepentingan pihak lain, misalnya : negara atau korban atau yang lainnya. Hal ini membuktikan bahwa latar belakang dan jiwa dibentuknya lembaga Peninjauan Kembali didalam RSv ialah se-mata-mata untuk kepentingan terpidana dan bahwa lembaga kejaksaan bukan lembaga yang semata-mata mengejar orang untuk dimasukkan kepenjara, melainkan mempunyai fungsi yang sama dengan lembaga penegak hukum lainnya, antara lain Pengadilan, Advocat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Bilamana keadilan terpidana telah dirampas oleh putusan hakim yang salah atau sesat, maka lembaga kejaksaan ikut bertanggung jawab untuk memulihkan hak-hak dan keadilan terpidana yang telah dirampas tersebut. Demikianlah jiwa atau rasio dari ketentuan bahwa Jaksa Agung diberi hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan pemidanaan.46 Jiwa Lembaga Peninjauan Kembali yang diatur dalam RSv tersebut ternyata kemudian ditransfer atau dipindahkan kedalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 1980 maupun Peraturan Mahkamah Agung sebelumnya yaitu PERMA Nomor 1 tahun 1969.47 Setelah kemerdekaan ketentuan Peninjauan Kembali baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana “Pertama Kali” 45 46 M Yahya Harahap, Op.cit, hal 613-614 H.Adam Chazawi, 2010, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Penegakan Hukum Dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, , Halaman 14-15.(selanjutnya disebut H.Adam Chazawi II) 47 Anonim, Kumpulan Surat Edaran Mahkamah Agung Dalam Kurun Waktu 40 Tahun 28 terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969. Adapun dasar pertimbangan dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung, sebagaimana terdapat dalam ketentuan : Menimbang dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut yaitu : 1. Lembaga Peninjauan Kembali menjadi kebutuhan hukum yang mendesak terbukti banyaknya permohonan Peninjauan Kembali itu diajukan ke Pengadilan Negeri atau langsung ke Mahkamah Agung. 2. Untuk mengisi kekosongan hukum dan bersifat sementara sebelum adanya undang-undang yang mengatur tentang Peninjauan Kembali tersebut. 3. Dikeluarkannya peraturan tersebut, dengan maksud menambah hukum acara Mahkamah Agung dengan hukum acara pidana Peninjauan Kembali yang telah terdapat dalam undang-undang Nomor : 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung dimana dalam Pasal 31 nya menyatakan : terhadap putusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dimintakan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan undang-undang. Pasal 15 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohonkan Peninjauan Kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan undang-undang.48 Dari ketentuan-ketentuan tersebut Mahkamah Agung nampaknya belum memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus permintaan Peninjauan Kembali, berhubung tidak terdapat hukum acaranya, sebagai aturan pelaksanaannya. 48 Undang-Undang Nomor19 tahun 1964 tentang ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman 29 Kemudian setelah Reglement Of The Straf Vordering terbitlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969 sebagai upaya untuk melengkapi hukum acara Mahkamah Agung. Dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969 ketentuan khusus mengenai Peninjauan Kembali perkara pidana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4, sedangkan Pasal 5 dan Pasal 6 memuat ketentuan mengenai putusan Peninjauan Kembali dijatuhkan, baik PK perdata maupun PK pidana.49 Dimana dalam Pasal 3 nya dirumuskan sebagai berikut : 1. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang mencolok. 2. Apabila dalam putusan itu terdapat keterangan-keterangan yang dianggap terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan. 3. Apabila terdapat keadaan-keadaan baru sehingga menimbulkan pertimbangan mendalam bahwa apabila keadaan keadaan itu diketahui pada waktu sidang yang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana, melepaskan dari segala tuntutan atas dasar bahwa perbutan yang dituduhkan itu tidak merupakan tindak pidana, tidak dapat diterimanya perkara yang diajukan oleh jaksa kepada pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan. 4. Apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang dituduhkan telah dinyatakan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan. Sedangkan ketentuan Pasal 4 nya 49 dirumuskan sebagai berikut : Anonim, Kumpulan Surat Edaran, Op.cit, hal 796-800 30 1. Permohonan Peninjauan Kembali suatui putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan atau Jaksa Agung. 2. Permohonan Peninjauan Kembali suatu putusan pidana tidak dibatasi dengan suatu jangkla waktu. 3. Permohonan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan sejelasjelasnya alasan yang diajukan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan pengadilan tingkat pertama yang telah memutus perkaranya. 4. Apabila pemohon tidak dapat menulis maka ia diperbolehkan menguraikan permohonannya secara liasan di hadapan ketua pengadilan tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan itu. 5. Ketua pengadilan itu selekas-lekasnya mengirimkan surat permohonan atau catatan tentang permohonan lisan itu beserta berkas perkaranya kepada Ketua Mahkamah Agung disertai pertimbangannya. 6. Mahkamah Agung akan memberi putusan setelah mendengar pendapat Jaksa Agung.50 Dari ketentuan tersebut ternyata, Jaksa Agung boleh mengajukan permintaan Peninjauan Kembali karena Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 meniru pada Reglement of The Strafvordering tersebut. Namun pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Agung bukan perkecualian dari asas Peninjauan Kembali yang ditujukan bagi kepentingan terpidana. Artinya meskipun Jaksa Agung diperbolehkan mengajukan Peninjauan Kembali , namun tetap dalam koridor untuk kepentingan terpidana pirnsip Peninjauan Kembali hanya boleh diajukan terhadap putusan pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap sebagai perwujudan dari prinsip 50 Anonim, Surat Edaran, Op.cit, hal 796-800 31 pokok Peninjauan Kembali hanya untuk menegakkan kepentingan terpidana tetap dipertahankan oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969. Ternyata Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969 tidak berumur panjang, karena pada tanggal 30 Nopember 1971 telah dicabut dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1971. Alasan dicabutnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969 karena nampaknya timbul reaksi dari parlemen ( Dewan Perwakilan Rakyat) pada waktu itu terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969, yang dikembalikan kepada pertanyaan apakah Mahkamah Agung itu berwenang untuk mengeluarkan peraturan dan apakah soal Peninjauan Kembali tidak semestinya menjadi objek dari perundang-undangan. Waktu itu pula diadakan suatu pendekatan dengan Mahkamah Agung yang akhirnya Uitmonden (dituangkan ) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1971, tanggal 30 Nopember 1971 tersebut, yang diktumnya sebagai berikut : 1. Mencabut kembali Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969 (beserta surat edaran Nomor 18 tanggal 23 Oktober 1969 ) 2. Mengenai permohonan-permohonan Peninjauan Kembali yang dialamatkan kepada Mahkamah Agung berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969 Jo berdasarkan Surat Edaran Nomor 18 tahun 1969 telah ditahan di kepaniteraan Pengadilan Negeri, supaya pemohonpemohonnya dipanggil dan diberitahukan. Sekedar mengenai putusan pengadilan perdata bahwa mereka dapat mengajukan gugatan request civil menurut cara gugatan biasa dengan berpedoman pada peraturan Burgerlijk Rechtvordering sedangkan yang mengetahui putusan pengadilan pidana tidak dapat dilayani karena belum ada undangundangnya.51 51 H. Oemar Seno Adji,1981, Herziening, Ganti Rugi, Suap Perkembangan Delik, Erlangga, Jakarta, 1981, Hal 28-29 32 Sejak dicabut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969, oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1971, terjadi kekosongan hukum mengenai lembaga Peninjauan Kembali perkara pidana sampai keluarnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 pada tanggal 1 Desember 1980. Dimana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 ini jauh lebih lengkap dari pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969. Putusan Mahkamah Agung mengenai permohonan “Herziening” (Peninjauan Kembali ) terhadap putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 Undangundang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 belum diikuti oleh tuntutan ganti rugi, yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan sesudah dijatuhkan putusan mengenai permohonan “Herziening” (Peninjauan Kembali ) tersebut yang di dimana dalam hukum acara negara lain itu sudah ada peraturannya.52 Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980, syarat materiil mengajukan Peninjauan Kembali dicantumkan dalam Pasal 9, sementara syarat formilnya dicantumkan dalam Pasal 10. Ketentuan Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung tersebut mengatur hal-hal sebagai berikut : 1. Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang mengandung pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, atas dasar alasan : 52 Oemar Sono Adji, Ibid, hal 52 33 a. Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaankeadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan. b. Apabila terdapat suatu keadaan sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung : pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan lain yang lebih ringan. 2. Atas dasar alasan yang sama Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa terbukti itu diikuti oleh suatu ketentuan pemidanaan. Dalam ketentuan Pasal 10 dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 dirumuskan sebagai berikut : 1. Permohonan Peninjauan Kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan. 2. Permohonan diajukan secara tertulis, dengan menyebutkan sejelasjelasnya alasan yang diajukan sebagai dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau diajukan langsung ke Mahkamah Agung. 34 3. Apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia mengajukan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan tersebut atau seorang hakim yang ditunjuk olehnya yang akan membuat catatan tentang permohonan itu. 4. Pengadilan itu selekas-lekasnya mengirimkan surat permohonan atau catatan tentang permohonan lisan itu beserta berkas-berkas perkaranya kepada Ketua Mahkamah Agung. Kalau diperhatikan ternyata syarat formil untuk mengajukan Peninjauan Kembali dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 adalah sama. Namun syarat materiil menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 menyebutkan 3 (tiga) alasan yaitu : 1. Terdapatnya keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, namun saling bertentangan. 2. Terdapat keadaan baru 3. Putusan yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan terbukti, namun tidak diikuti suatu pemidanaan. Alasan karena adanya putusan yang memperlihatkan suatu kekhilafan hakim, tidak terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980. Dimana syarat materiil dalam mengajukan Peninjauan Kembali dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 ini adalah mengambil oper dari Reglement op de Strafvordering. Adapun pihak-pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali , baik dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 maupun dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 adalah sama yaitu : 35 - Terpidana - Pihak yang berkepentingan atau - Jaksa Agung, terhadap putusan pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 sifatnya sementara dengan tujuan utama untuk mengatasi kesalahan negara yang telah terlanjur menghukum Sengkon Bin Yakin dan Karta Bin Salam yang kemudian terbukti tidak bersalah. 53 Sifat sementara ini dikarenakan hukum acara mengenai Peninjauan Kembali tidak lagi seharusnya dibuat dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung, melainkan harus melalui undang-undang. Namun dalam keadaan yang sangat mendesak Mahkamah Agung mengulangi lagi, kembali mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung sebagaimana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 yang sudah dicabut karena mendapat reaksi dari pihak parlemen. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 dikeluarkan dengan mengacu pada Pasal 21 Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok –pokok Kekuasaan Kehakiman. 54 H.Oemar Seno Adji sebagai Ketua Mahkamah Agung waktu itu menyatakan bahwa Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 merupakan ketentuan previsoris, temporer, transitor dan diterapkan untuk kebutuhan pada saat itu, untuk kemudian menyediakan tempatnya bagi perundang-undangan kelak, sebagai 53 Hadari Djenawi Taher, 1982, Bab Tentang Herzeining Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, Hal 20. 54 H.Adami Chazawi II, Op.cit,hal 21 36 pelaksanaan dari ketentuan Pasal 21 undang-undang pokok kehakiman, (Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970). 55 Satu bulan setelah diberlakukan dengan menggunakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tersebut, pada tanggal 31 januari 1981 Sengkon dan Karta dibebaskan oleh Mahkamah Agung melalui putusan Peninjauan Kembali atas permohonan yang diajukan oleh Jaksa Agung. Bahwa sebenarnya sebelum dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980, Pasal 1 Desember 1980, kuasa hukum Senglon dan Karta telah pernah mengajukan permintaan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang mempidana Sengkon dan Karta, menyusul tertangkap dan dipidanya pembunuhnya Sulaiman Bin Nazir dan istrinya yang sebenarnya. Akan tetapi permintaan Peninjauan Kembali tersebut oleh Mahkamah Agung dinyatakan tidak dapat diterima, karena pada waktu itu belum ada dasar hukumnya56. Peristiwa kasus Sengkon dan Karta itu pula yang menjiwai lembaga Peninjauan Kembali dalam Bab XVIII Bagian Kedua, Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP.57 Memperlihatkan deskripsi ketentuan peraturan-peraturan yang dikemukakan tersebut diatas pada dasarnya terdapat “ tali kesinambungan “ yang tidak terputus dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal dasarnya Peninjauan Kembali yang diatur dala Pasal 263 KUHAP. Pada 263 KUHAP merupakan kelanjutan yang “ditransfer “ dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 dimana kedua Peraturan 55 H.Oemar Seno Adji, Op.cit, hal 52 56 H. Oemar Seno Adji, Ibid, hal 55 57 Hadari Djenawi Tahir, Op.cit. hal 5 37 Mahkamah Agung itu bersumber dari ketentuan Pasal 356 dan Pasal 357 RSv (Reglement op de Strafvordering ) yaitu persamaan dari peraturan-peraturan tersebut, mengenai : 1. Bahwa putusan perkara pidana yang dapat diajukan Peninjauan Kembali hanya terbatas meliputi “ putusan pemidanaan “ saja, dimana disebutkan : - Dalam Pasal 356 RSv disebut putusan yang berisi pemidanaan - Dalam peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 disebut putusan pidana yang tidak mengandung pembebasan dari semua tuduhan. - Dalam Peraturan Mahkamah Agung 1980 disebut putusan pidana yang mengandung pemidanaan. - Dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP disebut “ kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum “. 2. Alasan-alasan Peninjauan Kembali sama bahwa alasan Peninjauan Kembali sedang diatur dalam Pasal 263 ayat 2 dan ayat 3 KUHAP, redaksi dan substansinya pada dasarnya sama persis seperti yang diatur dalam Pasal 356 RSv, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 maupun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980. Letak perbedaanya dari peraturan yang mengatur Peninjauan Kembali tersebut diatas adalah mengenai “pihak atau obyek” yang dapat atau berhak mengajukan Peninjauan Kembali , yaitu : 38 1. Dalam KUHAP, yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali hanya terbatas “terpidana” atau “ahli warisnya” sedangkan penuntut umum tidak dicantumkan sebagai pihak yang dapat mempersiapkan Peninjauan Kembali . 2. Dalam RSv maupun Peraturan-Peratuaran Mahkamah Agung tersebut, Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali , bahkan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 maupun Peraturan Mahkamah Agung itu yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali meliputi pula pihak yang berkepentingan58. 58 M Yahya Harahap. Op.cit,hal 646-647 39