BAB IV GAMBARAN UMUM KEPARIWISATAAN, SERIKAT PEKERJA PARIWISATA DAN GERAKAN SOSIAL PEKERJA HOTEL DI KABUPATEN BADUNG Pada Bab IV ini secara umum diketengahkan gambaran umum kepariwisataan, deskripsi tentang serikat pekerja pariwisata (SP Par), dan gerakan sosial pekerja hotel di Kabupaten Badung. Pada awal pembahasan dipaparkan Kabupaten Badung sebagai daerah tujuan wisata (DTW) utama di Bali, perkembangan fasilitas akomodasi/hotel di Kabupaten Badung, profil manajemen dan struktur organisasi hotel berbintang Kabupaten Badung serta hubungan kerja sama antara Unit Serikat Pekerja Pariwisata Kabupaten Badung dengan Manajemen Hotel Kabupaten Badung. Selain itu, dibahas profil dan struktur organisasi Federasi Serikat Pekerja Pariwisata (FSP Par) Kabupaten Badung serta tujuan, usaha dan program yang dijalankannya. Pada bagian akhir Bab IV ini dibahas gambaran umum gerakan sosial pekerja hotel Kabupaten Badung yang meliputi tiga periode, yakni periode Orde Baru, periode Reformasi (1998 - 2004) dan periode pasca-2005. 4.1 Gambaran Umum Kepariwisataan Kabupaten Badung 4.1.1 Kabupaten Badung sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW) Kabupaten Badung adalah salah satu dari delapan kabupaten dan satu kota di Provinsi Bali. Wilayah Kabupaten Badung secara fisik mempunyai bentuk unik, yakni menyerupai sebilah "keris" yang merupakan senjata khas masyarakat 62 63 Bali. Keunikan ini kemudian diangkat menjadi lambang daerah yang merupakan simbol semangat dan jiwa kesatria yang sangat erat hubungannya dengan perjalanan historis wilayah ini, yaitu peristiwa "Puputan Badung". Semangat ini pula yang kemudian melandasi motto Kabupaten Badung yaitu "Cura Dharma Raksaka" yang artinya kewajiban pemerintah adalah untuk melindungi kebenaran dan rakyatnya. Wilayah Kabupaten Badung terletak pada posisi 08 14'17" – 08 50'57" Lintang Selatan dan 115 05'02" – 115 15' 09" Bujur Timur, membentang di tengah-tengah Pulau Bali. Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Bali. Daerahnya meliputi Kuta dan Nusa Dua, sebuah objek wisata yang sangat terkenal. Ibu kotanya terletak di Mengwi, yakni Mangupura. Sebelumnya, ibu kota Kabupaten Badung berada di Denpasar. Namun pada tahun 1999 terjadi kerusuhan besar di mana Kantor Bupati Badung di Denpasar dibakar sampai rata dengan tanah. Kabupaten Badung mempunyai wilayah seluas 418,52 km2 (7,43% luas Pulau Bali), bagian utara daerah ini merupakan daerah pegunungan yang berudara sejuk, berbatasan dengan kabupaten Buleleng, sedangkan di bagian selatan merupakan dataran rendah dengan pantai berpasir putih dan berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia. Bagian tengah merupakan daerah persawahan dengan pemandangan yang asri dan indah, berbatasan dengan Kabupaten Gianyar dan kota Denpasar disebelah Timur, sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Tabanan. 64 Sebagaimana yang berlaku di wilayah Bali pada umumnya, Kabupaten Badung merupakan daerah berikilim tropis yang memiliki dua musim, yaitu musim kemarau (April - Oktober) dan musim hujan (November - Maret), dengan curah hujan rata-rata per tahun antara 893,4 - 2.702,6 mm. Suhu rata-rata 25 – 30 C dengan kelembaban udara rata-rata mencapai 79%. Daerah ini secara fisik berbentuk seperti sebilah keris yang merupakan senjata khas masyarakat Bali. Keunikan ini diangkat menjadi lambang daerah yang merupakan simbol semangat dan jiwa ksatria yang erat hubungannya dengan perjalanan historis wilayah ini, yaitu peristiwa "Puputan Badung". Semangat ini pula yang kemudian melandasi motto Kabupaten Badung, yaitu Cura Dharma Raksaka. Artinya, kewajiban pemerintah adalah melindungi kebenaran dan rakyatnya. Secara administratif Kabupaten Badung terbagi menjadi enam wilayah kecamatan yang terbentang dari bagian utara ke selatan yaitu Kecamatan Petang, Abiansemal, Mengwi, Kuta, Kuta Utara, dan Kuta Selatan, di samping itu, di wilayah ini terdapat 16 kelurahan, 46 desa, 369 banjar dinas, 164 lingkungan 8 banjar dinas persiapan dan 8 lingkungan persiapan. Selain lembaga pemerintahan seperti tersebut di atas, di Kabupaten Badung terdapat lembaga adat yang terdiri 120 desa adat, 523 banjar dan 523 sekaa teruna. Di Kabupaten Badung juga terdapat 1 BPLA kabupaten dan 6 BPLA kecamatan serta 1 widyasabha kabupaten dan 6 widyasabha kecamatan. Lembaga - lembaga adat ini memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan di wilayah Badung pada khususnya dan Bali pada umumnya. 65 Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga, anggota masyarakat adat ini terikat dalam suatu aturan adat yang disebut awig - awig. Keberadaan awig-awig ini sangat mengikat warganya sehingga masyarakat umumnya sangat patuh terhadap adat. Oleh karena itu, keberadaan lembaga adat ini merupakan sarana yang sangat ampuh dalam menjaring partisipasi masyarakat. Banyak program yang dicanangkan pemerintah berhasil dilaksanakan dengan baik di daerah ini berkat keterlibatan dan peran serta lembaga adat yang ada. Struktur perekonomian Kabupaten Badung didominasi dua sektor ekonomi utama, yaitu (1) sektor perdagangan, hotel, dan restoran; (2) sektor pengangkutan dan komunikasi. Kedua sektor tersebut menyumbang hampir 70 persen terhadap nilai PDRB daerah, yakni sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor utama atau paling dominan. Dari total ekspor non migas Kabupaten Badung tahun 2006 sebesar US $ 47.416.046, kontribusi terbesar disumbangkan komoditas hasil industri (US $ 26.084.513,63), disusul komoditas hasil kerajinan (US $ 19.199.176,06), dan komoditas hasil pertanian (US $ 752.020,07). Hasil industri yang terbesar adalah industri tekstil, plastik, dan sepatu. Hasil kerajinan, yakni meliputi kerajinan kayu, furniture, perak, dan bambu. Sementara itu, hasil pertanian didominasi oleh ikan hias hidup, ikan Tuna, dan udang Lobster. Besarnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Badung melalui Bandara Ngurah Rai merupakan kontribusi positif, khususnya pada usaha perhotelan. Selama tahun 2006 jumlah wisatawan yang datang langsung ke Bali sebanyak 1.260.270 orang, yakni terjadi penurunan apabila dibandingkan dengan 66 tahun 2005 yang berjumlah 1.386.448 orang. Wisatawan dari negara Asia Pasifik yang paling banyak, yaitu 731.925 orang, diikuti negara Eropa 299.054 orang; dan yang paling kecil asal Timur Tengah, yakni 6.290 orang (Badung dalam Angka, 2010). Objek wisata di Kabupaten Badung sebagian besar terdapat di Kecamatan Kuta Selatan. Selain itu, terdapat di Kecamatan Kuta Utara, Mengwi, dan Abiansemal. Objek wisata di Badung yang terbanyak adalah jenis wisata alam, disusul wisata budaya, wisata buatan, dan wisata remaja. 4.1.2 Perkembangan Fasilitas Akomodasi/Hotel Sektor pariwisata Kabupaten Badung diorientasikan pada pariwisata budaya berwawasan lingkungan, yakni pariwisata yang mengandalkan potensi budaya masyarakat dengan memelihara potensi lokal serta dijiwai oleh agama Hindu dengan mengembangkan objek daya tarik wisata dan atraksi wisata yang dikemas dalam paket wisata kota (city tour). Dalam upaya menopang kegiatan kepariwisataan, fasilitas pariwisata terus berkembang. Sebagai kota pariwisata terkemuka di Indonesia, sarana atau fasilitas kepariwisataan yang tersedia di Kabupaten Badung cukup memadai. Sebagaimana ditunjukkan dalam Grafik 4.1, di Kabupaten Badung terdapat bar 345 buah dengan kapasistas 15.350 kursi; restoran 277 buah dengan kapasitas 25.281 kursi; dan rumah makan 457 buah dengan kapasitas 27.188 kursi. 67 Grafik 4.1 Fasilitas Kepariwisataan di Kabupaten Badung Tahun 2010 Sumber: Dinas Pariwisata dan Bali dalam Angka Kabupaten Badung 2010 Sektor pariwisata merupakan industri yang sangat rentan terhadap gejolak sosial, ekonomi, politik, dan keamanan baik secara regional, nasional, maupun internasional. Hal ini dibuktikan dengan adanya terpuruknya sektor ini seiring dengan memburuknya kondisi keamanan dan iklim politik nasional. Oleh karena itu, upaya untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan kenyamanan sangat diutamakan untuk menopang sektor pariwisata budaya tersebut. Kelangsungan dan promosi pariwisata terus digalakkan karena pariwisata menjadi sektor unggulan pembangunan Kabupaten Badung. Dinamika sektor kepariwisataan Kabupaten Badung juga tercermin pada jumlah akomodasi yang tersedia, baik hotel berbintang, hotel melati maupun pondok wisata. Fasilitas akomodasi pariwisata Kabupaten Badung dapat dilihat pada Grafik 4.1 di bawah ini. 68 Grafik 4.2 Jumlah Akomodasi/Hotel Berbintang, Melati, dan Pondok Wisata di Kabupaten Badung Tahun 2009 Sumber: Dinas Pariwisata Bali 2009; Badung dalam Angka 2010 Grafik 4.2 menunjukkan bahwa jumlah hotel berbintang di Kabupaten Badung adalah 98 unit dengan 16.360 kamar, hotel melati 422 unit dengan 10.528 kamar, dan pondok wisata 322 unit dengan 1.730 kamar. Jika dilihat dari jumlah hotel berbintang pada sembilan kabupaten/kota se-Bali, maka sebagian besar hotel berbintang (98 buah atau 62,42%) berada di Kabupaten Badung sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 4.1 berikut ini. 69 Tabel 4.1 Distribusi Hotel Berbintang di Bali Tahun 2009 Kab/Kota Jumlah % Denpasar 23 14,65 Badung 98 62,42 Bangli 0 0,00 Buleleng 11 7,01 Gianyar 16 10,19 Jembrana 0 0,00 Klungkung 2 1,27 Karangasem 5 3,18 Tabanan 2 1,27 157 100,00 Sumber: Dinas Pariwisata Bali 2009; Badung Dalam Angka 2010 Perkembangan ekonomi, khususnya di sektor pariwisata antara lain tercermin pada jumlah kunjungan wisatawan. Dari data yang dikumpulkan oleh Dinas Pariwisata, tingkat hunian hotel di Kabupaten Badung pada tahun 2008 mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2008, tingkat hunian hotel berbintang mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 5,92%, yaitu dari 55,13% pada tahun 2007 menjadi 61,05% pada tahun 2008. Namun, 70 hotel nonbintang rata-rata pertumbuhannya hanya sebesar 7,18%, yaitu 34,84% menjadi 37,34%. Keberadaan hotel berbintang di Kabupaten Badung terus berkembang. Perkembangan ini tercermin pada peningkatan jumlahnya, yakni sebanyak 93 buah dengan kapasitas 15.538 kamar pada tahun 2005 menjadi 98 dengan kapasitas 16.360 kamar pada tahun 2009 (lihat Grafik 4.3 berikut ini). Grafik 4.3 Jumlah Hotel Berbintang dan Jumlah Kamarnya di Kabupaten Badung pada Tahun 2005 dan 2009 Sumber: Dinas Pariwisata Bali 2009; Badung dalam Angka 2010 Dari 98 buah hotel berbintang tersebut hanya 7,14% yang dikategorikan sebagai hotel bintang I, selebihnya adalah hotel Bintang V 27,55%, hotel bintang IV 21,43%, hotel bintang III 21,41%, dan hotel bintang II 23,47%. Komposisi jumlah hotel berbintang di Kabupaten Badung dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut ini. 71 Tabel 4.2 Fasilitas Hotel Berbintang di Kabupaten Badung Tahun 2010 No Jenis fasilitas Jumlah % 1 Hotel bintang I 7 7,14 2 Hotel bintang II 23 23,47 3 Hotel bintang III 20 20,41 4 Hotel bintang IV 21 21,43 5 Hotel bintang V 27 27,55 98 100,00 Total Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Badung 2008 4.1.3 Profil Manajemen Hotel Berbintang 4.1.3.1 Struktur Organisasi Hotel Berbintang Hotel merupakan perusahaan yang menyediakan jasa dalam bentuk penginapan serta fasilitas lain yang memenuhi syarat-syarat kenyamanan yang bertujuan komersial (Damardjati, 1991:25). Selain itu, hotel juga didefinisikan sebagai suatu bentuk usaha yang menyediakan atau menyewakan jasa akomodasi, konsumsi, dan rekreasi yang dikelola secara professional (Soenarno, 1982:22). Namun, menurut Hotel Proprietors Act dalam Sulastiyono (2001:5) hotel merupakan suatu perusahaan yang dikelola oleh pemiliknya dengan menyediakan pelayanan makanan dan minuman dan fasilitas kamar untuk tidur kepada orang 72 yang sedang melakukan perjalanan wisata yang mampu membayar dengan jumlah wajar sesuai dengan pelayanan yang diterima tanpa adanya perjanjian khusus. Dalam Surat Keputusan Menteri perhubungan RI No.PM.10/PW.301/Phb77 tentang Peraturan Usaha dan Klasifikasi Hotel dikemukakan bahwa hotel adalah suatu akomodasi yang dikelola secara komersial, disediakan bagi setiap orang untuk memperoleh pelayanan penginapan, berikut makan dan minum. Selanjutnya, dalam Surat Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomonikasi No. KM.94/PW.304/MPPT-86 Tanggal 7 Juni 1986, diberikan batasan bahwa hotel adalah suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan, makanan, dan minum serta jasa lainnya bagi umum yang dikelola secara komersial serta memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan di dalam keputusan pemerintah (dalam Sugiarto, dkk, 1996:9). Struktur organisasi hotel berbintang secara umum memiliki tiga bagian, yakni pihak pemilik (owner)/pemodal, pihak manajemen (pengelola), dan pihak pekerja/karyawan. Pemilik hotel bisa individu (perseorangan) ataupun kelompok/lembaga usaha baik pribumi maupun asing. Pihak manajemen adalah pengelola usaha yang mengkoordinasikan pekerja untuk melaksanakan roda bisnis dan pelayanan perhotelan. Secara struktural, pihak pekerja bertanggung jawab kepada pihak manajemen. Selanjutnya, pihak manajemen bertanggung jawab kepada pihak pemilik/pengusaha hotel yang bersangkutan. Sejajar dengan manajemen terdapat unit serikat kerja pariwisata sebagai representasi pekerja. Dalam hal ini antara serikat pekerja pariwisata dengan pihak manajemen 73 dijembatani oleh lembaga kerja bipartit (LKB). Lembaga kerja bipartit merupakan forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah dalam memecahkan permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan pada perusahaan guna kepentingan pengusaha dan pekerja (lihat Bagan 4.1). Bagan 4.1 Model Struktur Organisasi Hotel Berbintang dengan Lima Departemen Unit SP Pariwisata F-B Departement LKB Manajemen (Direksi) Accounting Departement Engineering Departement Pemilik (Komisaris) Room Div Department HR Dept Secara umum, struktur organisasi hotel berbintang dikepalai oleh general manajer yang dibantu oleh beberapa manajer tingkat menengah yang terbagi ke dalam beberapa departemen. Model struktur organisasi hotel berbintang beragam. Pada umumnya struktur organisasi hotel berbintang mencakup lima departemen (lihat Bagan 4.1) dan tujuh departemen (lihat Bagan 4.2) . 74 Bagan 4.2 Model Struktur Organisasi Hotel Bintang Dengan Tujuh Departemen GENERAL MANAGER DIRECTOR OF HR DIRECTOR OF MARKETING Personnel Mgr Training Mgr Chief Security Dir. of Sales RESIDENT MANAGER S/E Manager Entertain. Mgr FINANCIAL CONTROLLER DIRECTOR OF POMEC DIRECTOR OF ROOM DIV. DIRECTOR OF FB Asst. FC. Chief Engineer FO Manager Exec. HK Villa Manager Exec. Chef FB Manager Sebagaimana divisualisasikan pada Bagan 4.1 dan Bagan 4.2 di atas, departemen hotel –hotel berbintang di Bali berjumlah lima departemen, tujuh departemen sampai dengan dua belas departemen yang disesuaikan dengan besar kecilnya hotel, sistem pengelolaan, dan jumlah kamar. Departemen-departemen tersebut seperti kantor depan (front office termasuk di dalamnya reception), bagian makanan dan minuman (food and beverages), bagian penyiapan dan pemeliharaan kamar (housekeeping), bagian akuntansi (accounting), bagian rekreasi (recreation), pemasaran (marketing), bagian personalia (human resources), bagian pemeliharaan (maintenance/erginering), dan bagian pengadaan material (purchasing). Seluruh departemen tersebut dikendalikan seorang general manajer. Idealnya masing-masing pimpinan membagi wewenang dalam mengambil keputusan, yakni yang bersifat strategik adalah manajer puncak, bersifat taktis 75 manajer menengah, bersifat teknis manajer rendah, dan yang bersifat operasional adalah staf pelaksana. Pembagian pekerjaan melalui departemen departemen tersebut didasarkan atas tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sehingga memungkinkan beberapa kegiatan mengalir secara sempurna. Antardepartemen saling bersinergi. Para karyawan melaksanakan tugas sesuai departemen dan tupoksi masing-masing untuk mendukung produktivitas perusahaan. Sesuai dengan struktur organisasi perusahaan/hotel di atas, pekerja adalah orang yang bekerja pada orang lain dan mendapat upah (Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 30), khususnya orang yang mendedikasikan tenaga dan pikirannya untuk keberlangsungan bisnis perhotelan berbintang di Kabupaten Badung, baik pekerja di level staf atau yang dikenal dengan sebutan kerah biru maupun level manajemen (kerah putih). Pekerja hotel ini mengisi berbagai bagian pekerjaan yang terdapat di hotel, seperti front office,public relation, marketing, house keeping, food and beverage, engineering, human resources, security, purchasing, loundry, gardener, dan sebagainya. Pekerja hotel di Kabupaten Badung adalah semua pekerja (karyawan) hotel yang bekerja di hotel-hotel berbintang di kawasan wisata Nusa Dua dan Kuta yang terletak di Kabupaten Badung Provinsi Bali, baik itu pekerja lokal maupun pekerja asing (ekspatriat). 4.1.3.2 Hubungan Unit Serikat Pekerja Pariwisata dengan Manajemen Hotel Setiap hotel memiliki Pimpinan Unit Kerja Federasi Serikat Pekerja (PUK F SP) Pariwisata untuk mengurusi anggotanya. Dalam hal ini PUK F SP 76 Pariwisata ini mempunyai kedudukan sejajar dengan pihak manajemen hotel. Apabila ada permasalahan pekerja pihak PUK dan manajemen akan melaksanakan HI, yakni hubungan pekerja dan pengusaha merupakan partner kerja sehingga segala permasalahan harus diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai kata mufakat. Tiga pihak pelaksana hubungan industrial (HI) adalah organisasi pekerja, perusahaan, dan pemerintah. Pertama, organisasi pekerja (yakni serikat pekerja pariwisata) yang memiliki peran memperjuangkan aspirasi dan hak pekerja untuk berorganisasi, memperjuangkan hak kolektif mereka untuk mengekspresikan perasaaan-perasaan, kondisi kerja, tawar-menawar secara kolektif, dan hak-hak normatif lainnya, di samping harus bertanggung jawab terhadap partisipasi aktif para buruh/pekerja dengan kewajiban-kewajiban mereka dalam pekerjaan. Kedua, pihak perusahaan memiliki hak untuk mengembangkan bisnis sehingga menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi perusahaan, termasuk hak untuk mengatur modal. Namun, perusahaan harus pula memberikan kontribusi yang konstruktif terhadap kesejahteraan para buruh dan mengembangkan praktikpraktik manajemen yang baik dalam perusahaan. Ketiga, pihak pemerintah wajib memerankan tiga fungsi, yakni fungsi pelindung (protector), pembimbing (guide), dan penengah (arbitrator). Dalam hal ini pemerintah merupakan pelindung komunitas serta mitra dalam proses produksi. Memang seharusnya hubungan kemitraan terbangun secara internal antara perusahaan dengan (organisasi) pekerja. Hal ini lebih mencerminkan keguyuban rumah tangga perusahaan. 77 Namun kehadiran pihak ketiga (pemerintah) penting untuk menjadi katalisator apabila terjadi kebekuan hubungan keduanya. Hubungan antara perusahaan (majikan), (organisasi) para pekerja dan pemerintah pada umumnya disebut dengan istilah ‘hubungan industrial’. Hubungan tersebut meliputi seluruh isu, termasuk kondisi-kondisi kerja, upah, jam kerja, kesehatan pekerja, serikat-serikat pekerja, tunjangan kesehatan, tunjangan hari raya (THR), cuti, dan lain-lain. Dalam masyarakat Indonesia yang menegakkan prinsip demokratis, serikat pekerja berfungsi sebagai instrumen tawar-menawar secara kolektif, yang memberi kuntungan timbal balik antara pengusaha dan pekerja. Hubungan industrial di Indonesia memiliki kualitas yang spesifik dan berbeda dengan negara lain. Pola hubungan industrial model liberal kapitalis, sosialis, dan semacamnya harus ditolak. Pola hubungan industrial yang diharapkan tumbuh berkembang di negara Indonesia adalah yang memegang teguh nilai dan cara pandang orang Indonesia, yakni nilai-nilai Pancasila sehingga tercipta situasi kerja yang harmonis, dan seimbang. Fungsi beberapa pihak, yakni pihak pekerja, pihak manajemen, dan pihak pemerintah terjalin dalam prinsip kemitraan yang implikasinya: (1) hubungan antara pekerja dan perusahaan harus disesuaikan dengan prinsip gotong royong, tolong menolong, dan kekeluargaan; (2) problem-problem harus dipecahkan melalui sebuah proses konsensus atau permufakatan bulat antara perusahaan dan (organisasi) pekerja. 78 Apabila ada perselisihan antara pekerja dan pihak manajemen hotel, maka dapat diselesaikan melalui pola penyelasaian masalah tahap I, yakni pola bipartit, yakni penyesaian masalah pekerja dengan melibatkan dua pihak, yakni unit serikat pekerja pariwisata dan pihak manajemen (Bagan 4.3). Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi konsultasi dan musyawarah tentang masalah hubungan industrial di perusahaan yang anggotanya terdiri atas unsur pengusaha dan unsur pekerja. Tugas lembaga kerja bipartit (LKB) adalah sebagai forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah dalam memecahkan permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan pada perusahaan guna kepentingan pengusaha dan pekerja. Dalam upaya memecahkan masalah pekerja dan pengusaha ini, pihak LKB perlu melakukan antisipasi sebagai berikut. a. Mengetahui secara pasti hal-hal yang berkembang di kalangan pekerja. b. Melakukan antisipasi dan mencegah timbulnya masalah. c. Meningkatkan produktivitas kerja. d. Meningkatkan partisipasi aktif pekerja dalam memajukan perusahaan. Bagan 4.3 Pola Hubungan Bipartit dalam Lembaga Kerja Bipartit (LKB) e.Unit SP Par f. Manajemen Hotel 79 Lembaga kerjasama bipartit (LKS-Bipartit) merupakan salah satu lembaga yang didirikan dalam lingkup intern perusahaan sebagai salah satu wadah bagi pelaksanaan sistem hubungan Industrial Pancasila sekaligus sebagai sarana bagi penciptaan hubungan kemitraan yang sejajar antara pengusaha dan pekerja. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan, LKS-Bipartit adalah lembaga yang ada di suatu perusahaan yang merupakan wadah konsultasi, komunikasi, dan musyawarah untuk memecahkan masalah bersama yang anggotanya terdiri atas unsur pekerja dan pengusaha. Pembentukan LKS-Bipartit adalah untuk menjalankan fungsi: (1) menjamin kelancaran dan keharmonisan dalam proses produksi, menghindari sedini mungkin kesalahpahaman dan pertentangan; (2) memantapkan, meningkatkan, dan memperhatikan harkat dan martabat pekerja sebagaimana manusia seutuhnya; dan (3) mengajak pekerja berpartisipasi secara positif dalam membina dan mengembangkan eksistensi perusahaan. Menurut para informan, dalam menjalankan fungsinya tersebut, LKSBipartit bertugas menunjang, melancarkan dan mendorong : (1) terciptanya saling pengertian dan kerja sama antara pekerja dan pengusaha; (2) tegaknya eksistensi dan peranan lembaga-lembaga yang berkenaan dengan kepentingan ketenagakerjaan; (3) menampung, memahami, dan tanggap terbuka (antisipatif) terhadap kesulitan, keluhan, tuntutan, pengaduan, dan tingkah laku dari pihak pekerja maupun pengusaha; (4) menanggapi masalah-masalah yang merupakan kesulitan terhadap kelancaran usaha. Upaya perundingan bersama dan konsultasi 80 mengenai sejumlah isu dapat dilakukan melalui lembaga bipartit. Sistem pengupahan yang sifatnya relatif kompleks dapat merupakan salah satu faktor yang menempati proporsi yang signifikan dalam perselisihan industrial. Pembahasan antara pengusaha dan serikat pekerja mengenai struktur sistem pengupahan mereka dapat memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Dalam hal ini pengusaha Indonesia dihadapkan pada tantangan berkurangnya daya saing sehingga perlu menyelesaikan isu-isu produktivitas di tempat kerja. Dengan demikian kemajuan-kemajuan yang berarti dapat dicapai apabila isu-isu ini dibahas melalui dialog bipartit (Quinn, 2008:9). Hasil konsultasi, musyawarah, dan komunikasi yang dilakukan terbatas dalam lingkup perusahaan dan cakupan permasalahan yang dikaji juga khusus menyangkut permasalahan intern perusahaan yang meliputi: (1) saran, yakni merupakan hasil kesepakatan LKS-Bipartit yang ditujukan kepada pengusaha, pekerja, atau lembaga lain dalam lingkup intern perusahaan yang pelaksanaannya tidak mengikat; (2) rekomendasi, yakni merupakan hasil kesepakatan LKSBipartit yang ditujukan kepada pengusaha, pekerja, atau lembaga lain dalam lingkup intern perusahaan yang memiliki bobot atau arti penting untuk diperhatikan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan atau kebijakan; (3) memorandum, yakni merupakan hasil kesepakatan LKS-Bipartit yang pernah disampaikan kepada pengusaha, pekerja atau lembaga lain dalam lingkup intern perusahaan, tetapi belum terealisasi atau dilaksanakan sehingga perlu untuk disampaikan dan diingatkan kembali agar dapat menjadi perhatian 81 sebagai bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan atau kebijakan (Hestiyanti, Minggu, 21 Maret 2010). Selain LKS-Bipartit terdapat lembaga lain, baik formal maupun non formal yang dibentuk pekerja dan pengusaha, seperti: serikat pekerja, panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja (P2K3), koperasi karyawan, paguyuban karyawan dan sebagainya. Hubungan antara LKS-Bipartit dengan lembaga lainnya dalam lingkup intern perusahaan bersifat saling melengkapi dan mendukung (komplementer), tetapu tidak tumpang tindih (overlaping) antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, LKS-Bipartit tidak akan mencampuri urusan, tugas, dan fungsi lembaga lainnya. Hal ini terkait dengan produk LKS Bipartit yang bukan merupakan keputusan atau kesepakatan yang harus dijalankan, tetapi berwujud usulan, saran, rekomendasi dan memorandum yang ditujukan kepada pekerja, pengusaha, atau lembaga lain yang terkait. Selanjutnya, keputusan final mengenai pokok permasalahan yang sedang dibahas diserahkan sepenuhnya kepada institusi yang berwenang untuk melaksanakannya. Dengan demikian, LKS-Bipartit merupakan lembaga yang netral dan selalu menjalin kerja sama yang erat dengan lembaga lain, tetapi tidak mengambil alih hak pekerja (serikat pekerja), pengusaha, dan lembaga lain untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Walaupun tidak memiliki kewenangan untuk menghasilkan satu produk keputusan atau kebijakan yang mengikat, sebenarnya LKS-Bipartit memiliki nilai strategis dalam penciptaan hubungan industrial yang sehat dan kondusif, tetapi dengan catatan jika lembaga ini dapat diberdayakan dan benar-benar difungsikan. 82 Karakteristiknya yang dapat memasuki hampir semua segi yang terkait dengan pekerja dan pengusaha dan dengan jangkauannya yang luas menempatkan lembaga ini sebagai jembatan penghubung antarsemua unsur di dalam perusahaan dan berperan dalam memberikan sumbangan ide serta pemikiran yang sangat berarti melalui kewenangannya untuk menyampaikan saran, rekomendasi, dan memorandum sebagai langkah preventif terhadap timbulnya permasalahan hubungan industrial. Apabila proses penyelesaian masalah pada tahap I (pola bipartit) belum dapat dituntaskan, maka masalah tersebut diselesaikan melalui pola tripartit (tahap II) yang melibatkan tiga pihak, yakni penyesaian masalah pekerja dengan melibatkan tiga pihak, yakni unit serikat pekerja pariwisata setempat, pihak manajemen dan pihak pemerintah (lihat Bagan 4.4). Bagan 4.4 Pola HubuganTripartit Pemerintah Unit SP Pariwisata Manajemen Hotel Lembaga kerjasama tripartit (LKT) adalah forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah dalam rangka hubungan industrial, yang anggotanya terdiri atas unsur pengusaha, unsur pekerja, dan unsur pemerintah. Tugas pokok LKT adalah 83 memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihakpihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan hubungan industrial (HI) serta pemecahan masalah ketenagakerjaan. Dalam pelaksanaan HI, hak-hak pokok pekerja perlu dilindungi. Secara umum ada enam hak – hak pokok pekerja, yaitu sebagai berikut. 1) Hak atas pekerjaan sesuai dengan UU 1945 pasal 27 ayat 2 yang berbunyi, ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. 2) Hak atas pengupahan yang layak sesuai dengan Konvensi ILO No. 100/1995 yang telah diratifikasi dengan UU No. 87 tahun 1957 serta PP No. 8 tahun 1981. 3) Hak atas perlindungan meliputi: (a) perlindungan sosial yang tercermin dalam syarat-syarat kerja misalnya mengenai pekerja anak, pekerja orang muda, pekerja wanita, waktu kerja, waktu istirahat, dan tempat kerja (UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan); (b) perlindungan teknis yang tercermin dalam ketentuan kondisi kerja, kesehatan, dan keselamatan kerja (UU No.1 Tahun 1970). (c) Perlindungan ekonomis, perbaikan pengupahan, dan kesejahteraan pekerja (UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek dan UU No. 8 Tahun 1981) 4) Hak berorganisasi dan berserikat, termuat dalam konveksi ILO No. 98 yang telah diratifikasi di Indonesia dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 84 5) Hak untuk berunding bersama termuat dalam konvensi ILO No. 98 yang telah diratifikasi. Hak ini berpuncak pada perjanjian kerja bersama (PKB). 6) Hak mogok kerja, sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 4.2 Gambaran Umum Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Kabupaten Badung Dalam buku International Union of Foon and Allied Worker’s Association edisi 5, 1995:10-16) pekerja/buruh memiliki beberapa bentuk organisasi, yaitu serikat buruh kejuruan, federasi umum, serikat buruh industri nasional atau federasi, dan serikat buruh sekerja. Pertama, serikat buruh kejuruan merupakan jenis organisasi serikat buruh yang paling tua, para anggotanya memiliki jenis dan keterampilan yang sama. Cara kerja organisasi serikat buruh ini ada dua, yaitu (a) mengawasi bagaimana penambahan jumlah tenaga kerja dalam bidang ini dengan sistem magang ; (b) Mengawasi tingkat upah yang dibayarkan terhadap pekerjaan mereka. Kedua, federasi umum, yakni organisasi serikat buruh yang para anggotanya meliputi berbagai keterampilan yang berbeda. Organisasi serikat ini biasanya sangat kuat dan besar karena menyatukan para buruh di dalam satu payung organisasi untuk menghadapi para pemilik usaha di berbagai tempat dan tingkatan, baik lokal, regional, maupun nasional. Kemampuan mobilisasi buruh pada berbagai perusahaan atau jenis industri menyebabkan serikat jenis ini memiliki posisi tawar yang cukup kuat dalam menghadapi manajemen. 85 Ketiga, serikat buruh industri nasional atau federasi. Jenis organisasi ini menyatukan seluruh buruh di dalam suatu cabang industri tertentu, seperti serikat buruh makanan atau industri sejenis, logam, atau industri kimia. Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara buruh terampil dan buruh tidak terampil, buruh kerah putih (white color) atau kerah biru (blue color). Mereka bersatu dalam satu organisasi yang bergerak dalam satu cabang industri tertentu. Para buruh ini memiliki suatu masalah bersama yang dapat menyatukan tindakan mereka di tingkat nasional. Keempat, serikat buruh sekerja, yakni bentuk organisasi yang mengorganisasikan para buruh di dalam satu pabrik atau perusahaan yang sama. Bentuk organisasi ini memerlukan proses pengorganisasian buruh karena dapat merumuskan suatu tindakan yang memperjuangkan kepentingan mereka menghadapi perusahaan. Organisasi ini cenderung tidak terlalu besar dan biasanya juga lemah dalam menghadapi kekuatan para pemilik modal (IUF, 2005:4-10). Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Kabupaten Badung adalah organisasi pekerja yang bebas, terbuka, mandiri, demokratis, professional, dan bertanggung jawab. Organisasi pekerja pariwisata Kabupaten Badung ini merupakan kelanjutan dari Serikat Buruh Pariwisata – Federasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SB PAR-FBSI) yang didirikan pada 17 Mei 1973 (AD/ART SP Par Badung Pasal 3 dan 4). Berdirinya SP Pariwisata Badung ini merupakan implementasi dari Ratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi melalui Keppres No. 83 Tahun 1998. Keberadaan SP Pariwisata Kabupaten Badung ini juga sebagai 86 pelaksanaan hak berserikat bagi para pekerja hotel serta pekerja di sektor pelayanan umum (BUMN/BUMD, bahkan PNS dan guru). Ratifikasi konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat tersebut dipertegas kembali dengan disahkannya UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Kebijakan pemerintah ini mampu menumbuhkan kemajuan yang sangat signifikan dalam kebebasan berserikat. Pekerja hotel memiliki kebebasan untuk membentuk serikat pekerja pilihan mereka sendiri. Sehubungan dengan keberadaan SP Pariwisata Kabupaten Badung, berikut ini dipaparkan tentang struktur organisasi kepengurusan SP Pariwisata Kabupaten Badung, gambaran keanggotaannya, serta tujuan, usaha dan program yang dijalankan oleh SP Pariwisata Kabupaten Badung. 4.2.1 Struktur Organisasi Serikap Pekerja Pariwisata Sesuai dengan UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, di Kabupaten Badung telah terbentuk Pengurus Cabang Serikap Pekerja Pariwisata (PC F SP Par)– Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) pada tahun 1973. Federasi serikat pekerja pariwisata memiliki fungsi sebagai berikut. 1) Sebagai pelindung dan pembela hak-hak dan kepentingan pekerja. 2) Sebagai wadah dan wahana perjuangan untuk meningkatkan ksejahteraan pekerja beserta keluarga lahir batin. 3) Sebagai pendorong dan penggerak anggota dalam peran serta menyukseskan program pembangunan nasional. 87 4) Sebagai wadah dan wahana pembinaan serta pengembangan pekerja Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional melalui peningkatan kualitas, disiplin, etos kerja, serta produktivitas kerja (AD/ART Pasal 7). Menurut AD/ART SP Pariwisata Kabupaten Badung Pasal 24, kepengurusan serikat pekerja pariwisata tingkat cabang (kabuten/kota) sekurangkurang terdiri atas: satu orang ketua, satu orang wakil ketua, satu orang sekretaris, satu orang wakil sekretaris, dan satu orang bendahara. Serikat pekerja pariwisata (PC F SP Par) Kabupaten Badung memiliki struktur organisasi kepengurusan, yakni satu orang ketua dan empat orang wakil ketua, satu orang sekretaris dan empat orang wakil sekretaris, satu orang berdahara dan dua orang wakil bendahara. Anggota Serikat Pekerja Pariwisata Kabupaten Badung adalah warga negara Indonesia yang bekerja di lapangan pariwisata yang siap menerima dan menyetujui AD/ART F SP Pariwisata (Pasal 16 AD/ART). Anggota F SP tersebut berasal dari sub-sub sektor pariwisata sebagai berikut. 1) Subsektor perhotelan: hotel, motel, apartemen, losmen, wisma, hostel, villa, bungalow/cottage, dan sejenisnya. 2) Subsektor restoran: restoran, rumah makan, cafeteria, foodcourt, catering, dan sejenisnya. 3) Subsektor hiburan meliputi: bioskop, taman hiburan, taman kebun binatang, amusement centre, bar, pub, diskotik, night club, karaoke, bilyard, dan sejenisnya. 88 4) Subsektor biro perjalanan dan rekreasi: tour & travel/biro perjalanan, pemandu wisata, wisata bahari, wisata alam, agrowisata, dan sejenisnya. 5) Subsektor keolahragaan dan kebugaran: usaha-usaha di bidang keolahragaan, pusat kebugaran (fitness centre), salon kecantikan, golf, barber shop, panti pijat, sauna, dan sejenisnya. 6) Subsektor hospitality. 7) Sektor informal yang ada kaitannya dengan pariwisata. Sub-subsektor pariwisata yang menjadi anggota Serikat Pekerja Pariwisata Kabupaten Badung dapat dilihat pada Tabel 4.3. 89 Table 4.3 Anggota Serikat Pekerja Pariwisata Kabupaten Badung menurut Subsektor Pariwisata Kelompok/Subsektor Pariwisata Jumlah PUK 1) Hospitalit /Akomodasi) Jumlah Anggota F % 50 9411 92,96 1 108 1,07 1 95 0,94 4) Biro perjalanan dan rekreasi. 1 73 0,72 5) Keolahragaan dan kebugaran (salon 2 437 4,32 55 10.124 100% a) Hotel Berbintang b) Hotel Nonbintang 2) Restoran: restoran, rumah makan, cafeteria, foodcourt, catering, dan sejenisnya (ema restoran) 3) Hiburan meliputi: bioskop, taman hiburan, taman kebun binatang, amusement centre, bar, pub, diskotik, night club, karaoke, bilyard dan sejenisnya (water boom) kecantikan, golf, barber shop, panti pijat, sauna, dll) Total Anggota Serikat Pekerja Pariwisata Kabupaten Badung menurut subsektor pariwisata dapat dilihat pada Tabel 4.3. Federasi Serikat Pekerja Pariwisata (FSP 90 Par) Kabupaten Badung memiliki 55 PUK F SP Pariwisata dengan anggota 10.124 orang terdiri atas 55 sub sektor perhotelah (hospitality) dengan anggota 9.411 orang (92,96%), satu subsektor restoran beranggotakan 108 orang (1,07%), satu subsektor hiburan beranggotakan 95 orang (0,94%), dan satu subsektor biro perjalanan dan rekreasi beranggotakan 73 orang (0,72%), serta dua subsektor keolahragaan dan kebugaran beranggotakan 437 orang (4,32%). Tabel 4.4 Hak dan Kewajiban Anggota SP Pariwisata Badung Hak-hak Anggota (AD/ART Pasal 17) Kewajiban Anggota (AD/ART Pasal 17) 1) Hak berbicara, mengajukan pendapat dan saran untuk kemajuan organisasi. 1. Menaati anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, peraturan organisasi, serta keputusankeputusan organisasi. 2) Hak memberi suara. 2. Membela dan menjunjung tinggi nama baik organisasi. 3) Hak memilih dan dipilih. 3. Membayar uang pangkal, iuran, dan uang konsolidasi. 4) Hak membela diri dan dibela dalam sidang organisasi. 4. Turut aktif dalam melaksanakan keputusan-keputusan organisasi. 5) Hak aktif melaksanakan keputusan organisasi. 5. Menghadiri dan mengikuti rapat, pertemuan-pertemuan, serta kegiatan-kegiatan yang diadakan organisasi. 6) Hak mendapat bimbingan, perlindungan, dan pembelaan dari organisasi. - Pada Tabel 4.4 dipaparkan hak dan kewajiban anggota SP Pariwisata Kabupaten Badung. Secara individu atau kelompok, anggota SP Par memiliki hak 91 untuk menyampaikan aspirasinya serta memperoleh bimbingan, perlindunga, dan pembelaan dari organisasi apabila menemui permasalahan terkait dengan pekerjaannya. Selain itu, anggota SP Par juga memiliki kewajiban menaati anggaran dasar dan anggaran rumah tangga federasi serikat pekerja pariwisata dan melaksanakan keputusan dan program organisasi. 4.2.2 Program Serikat Pekerja Pariwisata Federasi Serikat Pekerja Pariwisata berwenang menangani masalah ketenagakerjaan, baik sosial maupun ekonomi serta mengadakan pembinaan pengembangan profesi (AD/ART Pasal 26, Ayat 1,3). Sesuai dengan wewenangnya ini, SP Pariwisata Kabupten Badung memiliki tujuan sebagai berikut. 1) Menghimpun dan mempersatukan kaum pekerja sektor pariwisata, maupun para pekerja yang menunjang industri pariwisata demi mewujudkan rasa setia kawan, serta solidaritas di antara kaum pekerja. 2) Menciptakan serta membina tata kehidupan dan penghidupan pekerja yang selaras dan serasi dengan jalan membela dan mempertahankan kepentingan kaum pekerja menuju terwujudnya tertib sosial, tertib hukum dan tertib demokrasisasi. 3) Meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarga serta memperjuangkan perbaikan nasib, syarat-syarat kerja, dan kondisi kerja menuju tercapainya kehidupan yang layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia pada umumnya. 92 4) Meningkatkan produktivitas kerja dalam rangka menyukseskan pembangunan nasional. 5) Memantapkan hubungan industrial yang harmonis guna terwujudnya ketenangan usaha (industrial harmony), demi meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan anggota. 6) Turut serta secara aktif dalam mengisi dan mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 (AD/ART Pasal 10, Ayat 1-6). Untuk mewujudkan tujuan organisasi di atas, Pengurus Cabang Federasi Serikat Pekerja (PC FSP) Pariwisata Kabupaten Badung melakukan usaha-usaha yang menunjang pengembangan organisasi dan memfasilitasi peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan anggotanya. Secara normatif, usaha Federasi SP Pariwisata Kabupaten Badung tersurat pada Pasal 11 AD/ART FSP Pariwisata Badung, yakni sebagai berikut. 1) Mengadakan usaha-usaha untuk menjamin terciptanya syarat-syarat kerja dan kondisi kerja yang layak guna mencerminkan keadilan ataupun tanggung jawab social. 2) Mengusahakan peningkatan kualitas anggota terutama dengan cara mempertinggi mutu pengetahuan, keahlian, dan keterampilan di bidang pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat/standar/kompetensi/profesi dan bersertifikasi serta pengetahuan di bidang organisasi. 3) Bekerja sama dengan badan-badan pemerintah dan swasta serta organisasi lain, baik di dalam maupun di luar negeri untuk melaksanakan usaha-usaha 93 yang tidak bertentangan dengan asas tujuan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga federasi serikat pekerja pariwisata. 4) Mengadakan usaha perkoperasian sesama anggota untuk melayani dan memenuhi kebutuhan sendiri serta usaha-usaha lain yang sah dan bermanfaat, di samping tidak bertentangan dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga federasi serikat pekerja pariwisata. Usaha-usaha PC F SP Pariwisata Kabupaten Badung di atas, yakni dilaksanakan melalui program kerja yang terbagi melalui enam bidang, yaitu sebagai berikut. 1) Bidang organisasi, yakni bagian yang melakukan pengelolan organisasi F SP Par dan jaringan pengurus unit F SP Par pada tiap-tiap unit kerja perusahaan. Di samping pembinaan organisasi, bidang organisasi ini juga mengurusi pemilihan dan pelantikan pengurus unit F SP Par pada setiap unit kerja perusahaan. 2) Bidang hubungan industrial dan perlindungan tenaga kerja, yakni bidang yang mengurusi masalah yang berkaitan dengan hubungan antara pekerja dengan pihak manajemennya serta perlindungan mereka untuk memperoleh hak-haknya sesuai dengan status dan peran pekerja yang bersangkutan. Bidang ini bertugas membina, mendampingi, dan secara aktif terlibat dalam proses penyelesaian kasus hubungan industrial Pancasila (HIP), antara pekerja dengan pihak manajemen/perusahaan. 3) Bidang kesejahteraan pekerja, yakni bagian yang mengurusi masalah kesejahteraan anggota. Di samping memperhatikan masalah kesejahteraan 94 anggotanya, bagian ini juga mengkoordinasikan kegiatan anggota dalam melaksanakan aktivitas keagamaan, bakti sosial, donor darah, serta kerja bakti untuk kebersihan lingkungan. 4) Bidang peningkatan kualitas sumber daya manusia, yakni bagian yang mengurusi upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan anggota dalam lapangan kepariwisataan. Bidang ini juga berkewajiban untuk meningkatkan pengetahuan dan skill (profesionalitas) anggota melalui pertemuan-pertemuan sosialisasi, seminar, dan pelatihan, baik yang menyangkut organisasi ketenagakerjaan maupun peningkatan skill terkait kepariwisataan. 5) Bidang administrasi, yakni bagian yang mengurusi masalah administrasi, termasuk dokumen yang terkait dengan kebutuhan anggota. 6) Bidang keuangan, yakni bagian yang mengurusi masalah keuangan, termasuk iuran anggota. 4.3 Gambaran Umum Gerakan Sosial Pekerja Hotel Kabupaten Badung Secara umum gerakan sosial pekerja hotel di Kabupaten Badung tidak terlepas dengan gerakan buruh yang terjadi secara nasional. Berikut ini dipaparkan gerakan pekerja hotel Kabupaten Badung dalam tiga masa/periode, yaitu periode Orde Baru, periode Reformasi (1998 – 2005), dan periode pasca-2005. Dalam Tabel 4.5 dideskripsikan tiga periode perjuangan pekerja hotel di Kabupaten Badung. 95 Tabel 4.5 Strategi dan Tujuan Gerakan Sosial Pekerja Hotel Kabupaten Badung Periode Periode Orde Baru Strategi Gerakan Tujuan Gerakan Gerakan tersembunyi dan fragmental. Keinginan untuk memperoleh hak bebas berserikat. Perusahaan mutlak dominan. Pemerintah cenderung perpihak pada Menentang dominasi penguasa dan pengusaha. Pengusaha. Aparat kemananan mendukung kebijakan Peningkatan kesejahteraan (upah). perusahaan untuk menekan pekerja/buruh. Memprotes PHK. Perjuangan yang diemban belum optimal. Periode Reformasi (1998 s.d. 2005) Terjadi gelombang protes, demonstrasi Menuntut kebebasan berserikat. kaum buruh yang intens secara nasional. Menuntut peningkatan upah. Buruh/pekerja memiliki posisi tawar yang Memprotes PHK. lebih kuat terhadap pengusaha. Praktek patron-klien Menuntut UMR yang layak. (majikan-buruh) Menuntut insentif kerja lembur. mulai memudar. Penguasa mulai memperhatikan posisi pekerja/buruh. Menuntut hak cuti haid/cuti tahunan. Pemerintah mulai memperhatikan HAM dan hak kesejahteraan buruh. Periode Kedudukan SP Pariwisata bertambah kuat Kesadaran hak pekerja untuk Pasca-2005 untuk menopang kegiatan gerakan sosial mendapatkan penghargaan sesuai – sekarang pekerja hotel. HAM. Peran SP Pariwisata sebagai fasilitator dan Menuntut kebebasan berserikat. mediator pekerja dengan pihak manajemen Menuntut peningkatan upah. hotel semakin kuat. Memprotes PHK. Perjuangan gerakan untuk meningkatkan Menuntut UMR yang layak. kesejahteraan pekerja, baik yang sudah ada Menuntut insentif kerja lembur. landasar normatifnya (UU, HK, kebijakan) Menuntut hak cuti. maupun yang bersifat kepentingan. Pemerintah mulai memperhatikan HAM dan hak kesejahteraan buruh. Sumber: diolah dari data primer 96 Selanjutnya, gerakan sosial pekerja di bidang pariwisata Kabupaten Badung ini berturut-turut dipaparkan sebagai berikut. 4.3.1 Periode Orde Baru Gerakan sosial pekerja hotel di Bali pada umumnya dan di Kabupaten Badung pada khususnya dalam masa Orde Baru merupakan kelanjutan dari gerakan pada masa-masa sebelumnya yang terkait dengan gerakan sosial buruh secara nasional. Pada masa Orde Baru pihak penguasa cenderung menekan buruh secara represif dengan menggunakan alat-alat negara. Pihak keamanan membela pengusaha dan memperlemah ruang gerak perjuangan kaum buruh. Hal itu dilakukan demi terciptanya stabilisasi politik, sehingga menjamin pertumbuhan investasi nasional. Pada masa Orde Baru amat sulit untuk merekrut buruh menjadi aktivis. Negara memakai seluruh aparatnya untuk mengontrol kehidupan buruh. Dalam hal ini mulai aparat di tingkat pusat sampai dengan aparat di daerah-daerah. Bahkan negara sukses memperalat aparat kuasai birokrasi yang ada di kampungkampung dan di desa-desa untuk terus memata-matai kegiatan buruh sehingga terjadi banyak penangkapan yang dilakukan oleh negara terhadap aktivis buruh. Negara melarang pendirian serikat buruh di luar serikat yang direstui oleh negara, yaitu SPSI, sehingga buruh takut untuk mendirikan serikatnya sendiri secara mandiri dan independen. Hubungan Industrial Pancasila (HIP) telah dijadikan doktrin yang harus diterima oleh buruh. Doktrin HIP itu mengajarkan bahwa hubungan buruh dan pengusaha adalah partner kerja dan segala 97 permasalahan harus diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai kata mufakat. Semua kegiatan yang dianggap tidak sesuai dengan HIP ditindak aparat. Pemikiran yang berseberangan dengan HIP dituduh merongrong kedaulatan Negara karena dianggap sudah melakukan subversi. Sesuai pendapat Gramci (dalam Sugiono, 1999:35), prinsip HIP telah dijadikan alat kekuasaan untuk mengontrol kaum buruh. Di tengah tekanan yang luar biasa, pengorganisasian massa buruh tetap dilakukan. Pengorganisasian dilakukan dengan tujuan sederhana, yaitu menstimulasi buruh agar mau dan bisa membangun serikat buruh alternatif yang independen. Hal ini diharapkan agar dengan berserikat buruh bisa membangun kekuatan untuk memperjuangkan nasibnya. Pendekatan yang dilakukan masih sangat personal, yakni dengan menemui satu per satu buruh di pondokannya masing-masing. Perjuangan kaum buruh dilakukan dengan sembunyi-sembunyi demi menghindari penangkapan oleh aparat. Kegiatan-kegiatan tersebut ternyata mampu membangkitkan militansi pada sebagian kecil buruh. Kondisi umum gerakan serikat pekerja periode Orde Baru tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung mampu membentuk solidaritas dan penguatan gerakan pekerja secara umum. Dengan dukungan SP Par, unit SP pekerja hotel mempunyai militansi yang cukup. Mereka berkumpul untuk membangun serikat pekerja alternatif yang independen di tempat kerjanya. Tentunya serikat pekerja yang terbangun pada setiap unit kerja (perusahaan) masih menjadi serikat pekerja liar sehingga semua kegiatannya harus dilakukan di bawah tanah (tidak terus terang). Konsekuensi berikutnya adalah serikat buruh 98 tersebut tidak bisa berkembang dengan baik dan belum berfungsi maksimal sebagai alat perjuangan. Namun setidaknya serikat pekerja yang dibangun secara mandiri oleh buruh ini menjadi media pembelajaran bagi buruh tentang organisasi yang demokratis. Kondisi gerakan sosial buruh secara nasional di atas juga dialami oleh pekerja hotel di Kabupaten Badung, yakni mulai lahirnya organisasi sejak tahun 1973. Ciri, pola, dan strategi gerakan sosial pekerja hotel Kabupaten Badung pada masa Orde Baru adalah sebagai berikut. 1) Gerakan sosial yang dilakukan cenderung tersembunyi, bersifat local, dan fragmental. 2) Posisi perusahaan /manajemen hotel cenderung dominan terhadap posisi tawar pekerja. 3) Pihak penguasa cenderung berpihak pada pengusaha. 4) Terdapat praktik aparat kemananan yang mendukung kebijakan perusahaan untuk menekan pekerja/buruh. 5) Output perjuangan yang diemban gerakan sosial pekerja hotel belum optimal Adapun output/tujuan gerakan sosial pekerja hotel melalui Serikat Pekerja Pariwisata Kabupaten Badung pada masa Orde Baru adalah seperti di bawah ini. 1) Keinginan untuk memperoleh hak bebas berserikat. 2) Menentang dominasi penguasa dan pengusaha. 3) Peningkatan kesejahteraan (upah, gaji). 4) Memprotes tindakan PHK yang dilakukan secara sepihak (kesewenangwenangan pihak manajemen). 99 4.3.2 Periode Reformasi (1998 - 2004) Dalam periode Reformasi, diterbitkan rangkaian hukum perburuhan, yakni paket undang-undang seperti Undang-Undang mengenai Kebebasan Berserikat No. 21 Tahun 2000, Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Rangkaian hukum perburuhan/ketenagakerjaan ini terkait dengan gerakan sosial kaum pekerja yang muncul ke permukaan. Sejak era Reformasi (1998) jumlah serikat buruh berkembang pesat dibandingkan dengan masa sebelumnya. Aksi-aksi buruh, seperti mogok kerja, menjadi hal yang biasa kita temui. Akan tetapi, keadaan itu masih belum bisa mendongkrak posisi tawar buruh terhadap negara dan modal. Kaum buruh masih menjadi silent majority, dalam konteks kebijakan ekonomi nasional yang mengatur tentang investasi dan perburuhan. Dalam setiap kebijakan pemerintah buruh masih menjadi pihak yang banyak dikalahkan oleh pemilik modal. Salah satu kebijakan yang pro pemilik modal adalah kebijakan tentang outsourcing. Modal diberikan keleluasaan lebih untuk memakai buruh outsourcing dalam proses produksi, seperti yang termuat dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, Pasal 64. Gerakan buruh, termasuk pekerja hotel Kabupaten Badung pascareformasi ini juga terkait dengan kecenderungan politik-ekonomi global. Oleh karena tekanan kapitalis global membuat negara berusaha merevisi kebijakankebijakan yang sudah ada. Kebijakan yang sudah ada dianggap masih belum ramah terhadap investasi. Di samping itu, kebijakan yang sudah ada dianggap 100 masih belum mencerminkan pola pasar bebas sehingga diperlukan perubahan agar memberi tempat bagi modal untuk berkembang dalam alam kebebasan. Di sisi lain, hak buruh, yang nota bene berkebalikan dengan kepentingan modal, menjadi lebih banyak dikesampingkan demi kepentingan modal. Dengan demikian, mau tidak mau upaya revisi tersebut menyebabkan buruh semakin tertindas. Setelah tahun 1998, pada era Reformasi, peran kontrol negara dalam persoalan-persoalan perburuhan dapat dikurangi. Salah satunya adalah dengan diterbitkannya Keppres No. 83/1998 yang memperbolehkan buruh mendirikan serikat buruh selain SPSI. Dengan keluarnya keppres tersebut membuat buruh merasa tidak ada lagi penghalang untuk membangun serikat buruh yang independen sehingga perkembangan jumlah serikat buruh menjadi sangat pesat. Kesadaran berorganisasi tumbuh subur di kalangan buruh. Tanpa harus diorganisasi lagi buruh sudah berinisiatif untuk mendirikan serikat buruh di tempatnya bekerja. Kondisi ini dimanfaatkan dengan pendirian pengurus unit kerja Federasi Serikat Pekerja Pariwisata (PUK F SP Par) di tingkat manajemen hotel. Meskipun negara tidak berperan lagi secara langsung dalam persoalanpersoalan perburuhan, tetapi masih memberi dukungan kepada pemodal lewat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada buruh. Buruh menjadi sangat lemah apabila berhadapan dengan pemodal atau pengusaha. Senjata buruh dalam berhadapan dengan modal pun lumpuh. Mogok kerja menjadi kurang mempunyai kemampuan tekan terhadap modal. Aksi turun ke jalan menjadi senjata makan tuan. Setiap kali buruh turun ke jalan, bukan simpati yang diperoleh dari publik, 101 melainkan antipati terhadap usaha buruh untuk memperjuangkan nasib. Celahcelah dalam perundang-undangan nasional dipakai oleh pemodal untuk mengkriminalkan para aktivis buruh. Dengan mudah buruh di-PHK atau status buruh diubah dari buruh tetap menjadi buruh outsourcing. Hal ini menjadi jawaban yang manjur bagi keresahan pemodal dalam menghadapi gelombang gerakan buruh. Hal ini terbukti pada banyak perusahaan yang sudah melakukan pemutihan tidak ada lagi perlawanan dari buruhnya. Akhirnya, tindakan pemutihan marak dilakukan di mana-mana. Buruh kembali ragu akan pentingnya arti serikat buruh untuk meraih kehidupan lebih baik. Di Kabupaten Badung pada masa pascareformasi muncul berbagai konflik di tengah-tengah industri pariwisata. Sedikitnya belasan kasus demo, aksi diam, aksi duduk, atau aksi unjuk rasa lainnya yang menggambarkan gejolak ketenagakerjaan di industri perhotelan di beberapa daerah tujuan wisata di Kabupaten Badung, termasuk: (1) kasus unjuk rasa karyawan Hotel Patra Jasa di Bali pada Mei 2001; (2) Hotel Kartika Plaza pada 7 Maret 2001. (3) Hotel Intan Bali dan Hotel Kupu-kupu Barung dan Amankila pada April 1999, Bali Garden Hotel, Hote La Taverna, Hotel Ananda Bungalow, dan Hotel Indra Udayana. Belasan kasus tersebut hanyalah sedikit kasus yang muncul kepermukaan dan menjadi perhatian publik. Persoalan-persoalan tersebut melibatkan sedikitnya kepentingan dua ribu karyawan yang menjadi tulang punggung industri perhotelan (Tribuwani, 2009:2). Pada periode 2004, gerakan pekerja banyak yang memprotes UU No. 13/2003 tentang Kebijakan yang Memberlakukan Praktik Buruh Kontrak dan 102 Outsourcing. Strategi aksi massa untuk menolak praktik hubungan kerja yang sangat merugikan buruh itu dilakukan oleh berbagai jaringan buruh di seluruh Indonesia. Peringatan 1 Mei selalu digunakan untuk mengangkat isu ini. Isu ini juga menyatukan buruh dari berbagai serikat dan dari berbagai sector, termasuk sektor jasa dan kerah putih yang selama ini tidak menjadi anggota jaringan. Gelombang protes, demonstrasi pekerja pariwisata/hotel yang terjadi pada era Reformasi (1998 sd 2004) di Kabupaten Badung tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yakni (a) buruh/pekerja memiliki posisi tawar yang lebih kuat terhadap pengusaha; (b) praktik praton-klien (majikan-buruh) mulai memudar; dan (c) penguasa mulai memperhatikan posisi pekerja/buruh. Apabila disimak lebih jauh, aksi unjuk rasa itu bersumber pada berbagai hal, yakni seperti berikut ini. 1) Tuntutan peningkatan kesejahteraan, yakni dalam wujud pemberian uang yang menjadi hak pekerja, peningkatan gaji, tunjangan, jasa pelayanan, THR, serta uang makan dan transport. 2) Tuntutan perbaikan manajemen hotel dalam wujud penghentian pemimpin, manajer atau pejabat teras yang tidak kompeten dan profesional, tidak berempati, perjanjian kerja sama yang lebih baik dan sesuai dengan undangundang yang berlaku, proses pengambilan keputusan dan perubahan yang transparan dan tidak sepihak akan mempengaruhi karyawan. 3) Pola dan strategi gerakan sosial pekerja pascareformasi semakin mantap. Pada intinya, perjuangan gerakan sosial mereka adalah untuk meningkatkan 103 kesejahteraan pekerja, baik yang sudah ada landasan normatifnya (UU, HK, dan kebijakan) maupun yang bersifat kepentingan 4) Gerakan sosial pekerja hotel Kabupaten Badung pada pasca reformasi (s.d. 2004) dimotivasi oleh: (a) kesadaran hak pekerja untuk mendapatkan penghargaan sesuai HAM; (b) peningkatan hak kesejahteraan buruh, yakni peningkatan upah, pemenuhan UMK; (c) memprotes PHK sepihak sebagai akibat praktik buruh kontrak dan outsourcing; (d) hak insentif kerja lembur; dan (e) hak cuti haid dan melahirkan bagi kaum pekerja perempuan. 4.3.3 Periode Pasca 2005 Pada periode 2005 – sekarang, keberadaan unit SP di setiap hotel pada khususnya, dan FSP Pariwisata Badung pada umunya tampak semakin kuat. Sebagai konsekuensi atas kedudukan dan peran SP Pariwisata Kabupaten Badung yang semakin kuat karena didukung oleh jaringan PUK F SP Pariwisata di setiap hotel, maka gerakan sosial pekerja hotel Kabupaten Badung dapat mendukung gerakan buruh secara nasional. Satu aksi besar yang sangat berhasil, yakni yang dilakukan pada 1 Mei 2006. Peristiwa ini harus dicatat dalam sejarah gerakan buruh yang berupaya membatalkan rencana pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU No. 13/2003, kebijakan yang memberlakukan praktik buruh kontrak dan outsourcing. Apabila dilihat jaringan-jaringan yang pernah ada dalam periode ini, maka dapat dikatakan bahwa dibandingkan pada periode sebelumnya, meski aktornya relatif tetap, jumlah jaringan yang terbentuk semakin menyusut. Dalam jaringan- 104 jaringan pada periode ini peran SB semakin besar, sementara peran LSM semakin berkurang. Isu upah masih terus menjadi isu jaringan, sementara isu perempuan masih tetap marginal dan sulit untuk bersinergi dengan isu yang dominan. Menurut para pengurus Federasi Serikat Pekerja Kabupaten Badung, aksi solidaritas pekerja pariwisata pasca 2005 dilatarbelakangi oleh situasi yang semakin kondusif bagi pekerja untuk memperjuangkan nasib kesejahteraan mereka. Beberapa ciri gerakan sosial pekerja pariwisata pada periode pasca 2005 – sekarang adalah sebagai berikut. 1) Pemerintah dan pengusaha (manajemen hotel) semakin memperhatikan aspek HAM dan hak kesejahteraan buruh/pekerja. 2) Kedudukan SP Par bertambah kuat untuk menopang kegiatan gerakan sosial pekerja hotel. 3) Peran SP Par sebagai fasilitator dan mediator pekerja dengan pihak manajemen hotel semakin kuat. 4) Perjuangan gerakan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, baik yang sudah ada landasan normatifnya (UU, HK, dan kebijakan) maupun yang bersifat kepentingan, termasuk: (a) menuntut kebebasan berserikat, (b) peningkatan upah, (c) memprotes PHK, (d) menuntut UMR yang layak, (e) insentif kerja lembur, serta (f) memperoleh hak cuti dan sebagaimnya. 5) Kesadaran hak pekerja untuk mendapatkan penghargaan sesuai hak asasi manusia (HAM). Gerakan sosial pekerja pariwisata di bawah FSP Pariwisata Badung pada dasarnya ingin mewujudkan posisi tawar pekerja yang semestinya, terutama jika 105 berhadapan dengan pihak manajemen hotel. Dalam hal ini SP Par bertujuan membela dan memecahkan berbagai persoalan tentang pengorganisasian buruh untuk memperbaiki nasib buruh. Pengorganisasian massa buruh penting karena untuk membangun kekuatan buruh serta meningkatkan militansi masa buruh, di samping untuk membangun media pembelajaran bagi buruh dalam suatu tatanan organisasi yang demokratis. Manurut para pengurus FSP Pariwisata Badung, penguatan organisasi FSP Pariwisata Badung masih perlu terus dilakukan. Dalam hal ini ada beberapa langkah yang (mungkin) bisa diambil oleh serikat pekerja pariwisata dalam usaha untuk meraih posisi tawar. Pertama, serikat pekerja pariwisata dapat menjamin demokratisasi dalam tubuh organisasi serikat buruh agar tetap terjaga. Dengan demikian proses sirkulasi kepemimpinan terjamin sehingga dapat menjadi landasan bagi terciptanya tatanan sosial masyarakat baru yang lebih adil. Kedua, memperkuat serikat pekerja dan partisipasi anggotanya, di samping menjadikan serikat pekerja sebagai organisasi yang mandiri serta mampu membela dan memberdayakan anggotanya. Apabila organisasi kuat, maka posisi tawar dalam memperjuangkan kesejahteraan pekerja bisa lebih optimal. Ketiga, menjalin kerja sama dengan unsur masyatakat lainnya agar dukungan dan kerja sama dengan pihak lain (LSM, masyarakat, dan ormas) bisa lebih dioptimalkan.