HUBUNGAN GENDER DENGAN KETERLIBATAN ORANG TERDEKAT DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PADA PROGRAM PROVIDER INITIATED TESTING AND COUNSELING (PITC) DI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran PITRA SEKARHANDINI G0006213 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka. Surakarta, Pitra Sekarhandini G0006213 PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul : Hubungan Gender dengan Keterlibatan Orang Terdekat dalam Pengambilan Keputusan pada Program Provider Initiated Testing and Counseling (PITC) di Surakarta Pitra Sekarhandini, NIM/Semester : G0006213/VII, Tahun 2010 Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari Selasa, 26 Januari 2010 Pembimbing Utama Nama : Ari N. Probandari, dr., MPH NIP : 19751221 200501 2 001 ................................... Pembimbing Pendamping Nama : Eti Poncorini P., dr., MPd NIP : 19750311 200212 2 002 ................................... Penguji Utama Nama : Vicky Eko N.H., dr., MSc., Sp.THT-KL NIP : 19770914 200501 1 001 ................................... Penguji Pendamping Nama : Prof. Bhisma Murti, dr., MPH., MSc., PhD NIP : 19551021 199412 1 001 ................................... Surakarta, Ketua Tim Skripsi Sri Wahjono, dr., M.Kes NIP. 19450824 197310 1 001 Dekan FK UNS Prof. Dr. H. A. A. Subiyanto, dr., MS NIP. 19481107 197310 1 003 ABSTRAK Pitra Sekarhandini, G0006213, 2010. HUBUNGAN GENDER DENGAN KETERLIBATAN ORANG TERDEKAT DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PADA PROGRAM PROVIDER-INITIATED TESTING AND COUNSELING (PITC) DI SURAKARTA, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara gender dengan keterlibatan orang terdekat pada pengambilan keputusan pada program PITC. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitian adalah pasien TB positif atau suspek TB yang dirujuk ke klinik PITC. Teknik pengambilan sampling menggunakan total sampling selama MeiNovember 2009. Keterlibatan orang terdekat dalam pengambilan keputusan dinilai metode Visual Analog Scale. Responden diminta memberi nilai 1-10 (nilai 1 sama sekali tidak membutuhkan pertimbangan orang lain dan nilai 10 pasti membutuhkan pertimbangan orang lain). Data dianalisis dengan menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16 for Windows dengan uji statistik ”Mann-Whitney test”. Sebanyak 2 dari 44 sampel (34 laki-laki dan 10 perempuan) dieksklusi karena mengalami hambatan berkomunikasi. Uji Mann-Whitney menunjukkan nilai p sebesar 0.067 dengan median laki-laki dan perempuan masing-masing 2,00 dan 6,00. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa ketergantungan perempuan pada pertimbangan orang terdekat dalam pengambilan keputusan tes HIV lebih besar daripada laki-laki. Perlu dilakukan pendekatan khusus berdasarkan gender pada program PITC. Kata Kunci : gender, keterlibatan orang terdekat, PITC ABSTRACT Pitra Sekarhandini, G0006213, 2010. RELATIONSHIP BETWEEN GENDER AND DEPENDENCY IN DECISION MAKING IN HAVING HIV TEST ON PROVIDER-INITIATED TESTING AND COUNSELING (PITC) PROGRAM IN SURAKARTA, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta. The aim of this study is to investigate the relationship between gender and dependency in decision making in HIV testing within PITC program. An observational analytic study with cross-sectional approach was conducted in Lung Clinic at Surakarta. All TB diagnosed and TB suspect patients during MayNovember 2009 who have risk of HIV-infection were participated. Dependency in decision making was measured by Visual Analog Scale method. Patients were asked to give value between 1-10 (1 for no need of consideration from closest person; 10 for absolute need of consideration from closest person) Data was analyzed by counting “Mann-Whitney” using SPSS 16.0 for Windows. There were 44 samples (34 men; 10 women). Two samples were excluded. MannWhitney test showed p values 0.067. Median for men and women respectively 2.00 and 6.00. Women are more dependent than men in making decision of having HIV test. PITC program should consider the gender-based counseling activities. Keywords : gender, dependency in decision making, PITC PRAKATA Penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan berkah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Gender dengan Keterlibatan Orang Terdekat dalam Pengambilan Keputusan pada Program Provider-Initiated Test and Counseling (PITC) di Surakarta”. Penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik atas bantuan, bimbingan, saran, dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. A. A. Subiyanto, dr., MS., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Sri Wahjono, dr., M. Kes., selaku Ketua Tim Skripsi FK UNS 3. Ari N. Probandari, dr. MPH, selaku Pembimbing Utama yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan bimbingan dalam penelitian dan penulisan naskah skripsi ini. 4. Eti Poncorini P., dr., M.Pd., selaku Pembimbing Pendamping yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan bimbingan dalam penelitian dan penulisan naskah skripsi ini. 5. Vicky Eko N.H. , dr., M.Sc., Sp.THT-KL, selaku Penguji Utama yang telah memberikan bimbingan, kritik, dan saran demi kesempurnaan penulisan naskah skripsi ini. 6. Prof. Bhisma Murti, dr., MPH., M.Sc., PhD, selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan bimbingan, kritik, dan saran demi kesempurnaan penulisan naskah skripsi ini. 7. Seluruh staf Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat yang telah membantu proses penelitian. 8. Orang tua, keluarga, dan teman-teman 2006 yang telah memberikan dukungan penuh pada seluruh proses pembuatan skripsi ini Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kebaikan penulisan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia kedokteran pada umumnya dan pembaca pada khususnya. Surakarta, 15 Januari 2010 Pitra Sekarhandini DAFTAR ISI PRAKATA…………………………………………………….........………..…. vi DAFTAR ISI…………………………………………….…………..............…. vii DAFTAR TABEL……………………………………………………..................ix DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………................. x BAB I PENDAHULUAN……………………………………………................. 1 A. B. C. D. Latar Belakang Masalah……………………………………...…...… Perumusan Masalah…………………………………………..…….. Tujuan Penelitian……………………………………………..……... Manfaat Penelitian………………………………………..….……... 1 2 3 3 BAB II LANDASAN TEORI………………………...………………………... 4 A. Tinjauan Pustaka………………………………...…………….…….. 4 B. Kerangka Pemikiran………………………...……………………..... 11 C. Hipotesis……………………...…………………………………….. 11 BAB III METODE PENELITIAN…....………………………………............... 12 A. B. C. D. E. F. G. H. Jenis Penelitian………...……………………………………………. 12 Lokasi Penelitian…...……………………………………………….. 12 Subjek Penelitian...………………………………………………….. 12 Teknik Sampling………...………………………………………….. 14 Identifikasi Variabel Penelitian…………………………...………… 14 Definisi Operasional Variabel………………………...…………….. 14 Instrumen Penelitian dan Cara Pengambilan Data...……………….. 15 Teknik Analisis Data…………………………...…………………... 17 BAB IV HASIL PENELITIAN………………………...……………………… 18 A. Karakterisitk Data……………………...…………………………… 18 B. Analisis Data………………………...……………………………… 18 BAB V PEMBAHASAN…………………...……………………………….….. 20 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN…...…………………….………............... 25 A. Simpulan………………..………………….…………………......... 25 B. Saran………………..……………….……………………….....….. 25 DAFTAR PUSTAKA……...……………..…………………………............…. 26 LAMPIRAN DAFTAR TABEL TABEL 1 Hasil uji statistik perbedaan mean dan median keterlibatan orang terdekat dalam pengambilan keputusan pada program PITC pada kelompok pasien laki-laki dan perempuan DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Hasil uji statistik LAMPIRAN 2 Grafik Boxplot Perbedaan Median Laki-laki dan Perempuan LAMPIRAN 3 Kuesioner Penelitian LAMPIRAN 4 Informed Consent BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peningkatan jumlah kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) di Indonesia termasuk yang tercepat di kawasan Asia. Total kasus yang terjadi di Indonesia dari 1 Januari 1987 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah 17699 kasus dengan 3586 kasus berakhir pada kematian (Ditjen PPM&PL Depkes RI, 2009). Surveilans HIV merupakan salah satu cara untuk mengetahui status HIV masyarakat. Pengetahuan yang luas tentang status HIV memperluas akses perawatan, dukungan, dan pengobatan HIV, serta menawarkan kesempatan kepada orang-orang yang hidup dengan penderita HIV/AIDS untuk mendapatkan informasi bagaimana mencegah penularan HIV (WHO, 2007). Dalam surveilans HIV dibutuhkan suatu pendekatan yang dapat mempermudah penemuan kasus di masyarakat. Salah satu pendekatan yang ditawarkan baru-baru ini adalah Provider-Initiated Testing and Counseling (PITC). Program PITC ini merupakan suatu bentuk surveilans HIV yang diintegrasikan ke dalam layanan kesehatan sebagai sebuah layanan kesehatan baku. Layanan kesehatan yang disarankan untuk memiliki program ini antara lain klinik antenatal, klinik IMS, dan klinik khusus TB (WHO, 2007). Pada klinik TB, program PITC ini terdiri atas berbagai macam kegiatan, yaitu konseling pre-tes dan post-tes, pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan status HIV, pendampingan bagi pasien HIV positif atau HIV negatif tapi memiliki risiko tinggi, dan pengobatan TB serta HIV yang diderita. Penerimaan terhadap tes HIV dipengaruhi oleh karakteristik sosioekonomi, akses ke tempat layanan kesehatan, status kesehatan, perilaku berisiko tinggi tertular HIV, pengetahuan tentang HIV, dan stigma yang berkaitan dengan HIV . Karakteristik sosio-ekonomi berkaitan dengan jenis kelamin, salah satunya (Weiser et al., 2006). Laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik yang berbeda dalam mengambil keputusan. Posisi perempuan dalam status masyarakat, pada kebudayaan tertentu, lebih lemah daripada laki-laki. Rendahnya pendidikan yang didapatkan, keterbatasan sosio-ekonomi, dan stigma yang terbentuk dalam masyarakat membuat perempuan lebih tergantung pada keluarga dan pasangannya dalam membuat suatu keputusan (du Guerny dan SjÖberg, 1993). Keterlibatan orang terdekat dalam pengambilan keputusan inilah yang menjadi perhatian dalam penelitian ini. Selanjutnya, penulis mencoba meneliti adakah perbedaan keterlibatan orang terdekat dalam pengambilan keputusan pada pasien laki-laki dan perempuan, dengan melihat kaitannya dengan pembicaraan terlebih dahulu dengan pasangan sebelum melakukan tes HIV. B. Perumusan Masalah Adakah hubungan gender dengan keterlibatan orang terdekat dalam pengambilan keputusan pada program Provider-Initiated Testing and Counseling (PITC) di Surakarta? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan gender dengan keterlibatan orang terdekat dalam pengambilan keputusan pada program Provider-Initiated Testing and Counseling (PITC) di Surakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Menjelaskan hubungan gender dengan keterlibatan orang terdekat dalam pengambilan keputusan pada program Provider-Initiated Testing and Counseling (PITC) di Surakarta. 2. Manfaat Aplikatif Menjadi kajian evaluasi bagi BBKPM Surakarta dalam perencanaan pendekatan program PITC berdasar pada gender. BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Provider-Initiated HIV Counseling and Test AIDS (Acquires Immunodeficiency Syndrome) diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Syndrome). Tuberkulosis paru di Indonesia merupakan infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada penderita HIV. Kekebalan tubuh yang menurun memudahkan infeksi kuman TB. Tuberkulosis juga merupakan penyebab kematian tersering pada penderita AIDS. Departemen Kesehatan memperkirakan 11-50% pasien HIV/AIDS meninggal karena penyakit TB (Depkes, 2007). Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosae. Penularan terjadi melalui udara dari droplet infeksi (Alsagaff, dkk, 2004). Indonesia termasuk salah satu negara dengan masalah TB terbesar ketiga di dunia setelah India dan Cina dengan prevalensi tidak terlalu tinggi dan tidak menyebar merata di seluruh wilayah (Depkes, 2007). Provider-Initiated HIV Counseling and Test merupakan salah satu bentuk tes HIV yang terintegrasi dengan sebuah layanan kesehatan. WHO (2007) menjelaskan pelaksanaan PITC pada berbagai epidemi HIV. Indonesia merupakan negara yang tergolong epidemi HIV rendah. PITC pada epidemi HIV rendah diintegrasikan ke berbagai layanan kesehatan, yaitu klinik Infeksi Menular Seksual (IMS), layanan kesehatan pada populasi berisiko tinggi, rumah bersalin, klinik antenatal, dan layanan pengobatan Tuberkulosis. Provider-Initiated Counseling and Test merupakan suatu rangkaian pencegahan, tes, pengobatan, perawatan, dan dukungan bagi penderita HIV/AIDS. Menurut prosedur pelaksanaan PITC di BBKPM Surakarta, rangkaian ini diawali dari penemuan penyakit, kondisi, atau infeksi oportunis. Seseorang mulai dicurugai terjangkit HIV jika saat datang ke layanan kesehatan memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1) memiliki faktor risiko HIV (pengguna narkoba jarum suntik, pekerja seks, orang bertato, orang yang suka berganti-ganti pasangan seksual, mempunyai riwayat IMS, dan mempunyai riwayat transfusi darah) ; 2) memiliki gejala klinis HIV (kandidiasis oral, riwayat diare kronis, dan berat badan yang menurun secara drastis). Pasien yang memiliki ciri tersebut kemudian dirujuk ke sub-bagian PITC untuk nantinya diberikan konseling tentang HIV/AIDS. Proses konseling pre-tes dilakukan oleh seorang konselor yang telah ditunjuk. Konseling pre-tes bertujuan untuk memberikan informasi kepada suspek penderita HIV tentang HIV/AIDS dan penanganannya. Suspek penderita HIV ditawarkan untuk melakukan tes HIV untuk mengetahui status HIV-nya. Pasien berhak untuk menolak tes yang ditawarkan. Dalam setiap surveilans HIV di lokasi pelayanan kesehatan, dibutuhkan pernyataan setuju dari pasien yang bersangkutan (informed consent) secara pribadi. Pernyataan tersebut tidak harus berupa tulisan, komunikasi verbal pun dianggap sah dalam mendapatkan informed consent (WHO, 2007). Pasien juga berhak menolak program PITC yang ditawarkan. Setelah mendapatkan informed consent dari pasien berupa verbal dan tertulis, petugas laboratorium yang telah ditunjuk akan mengambil sampel darah pasien. Tes ini bersifat rahasia, hasil dari pemeriksaan darah hanya diketahui oleh konselor dan pasien. Pemeriksaan darah di PITC dapat ditunggu dalam beberapa menit. Konseling post-tes dilakukan setelah ada hasil pemeriksaan darah. Konselor bertugas membacakan hasil tes dan memberikan informasi lebih lengkap tentang status HIV penderita, perawatan, pengobatan, dan dukungan yang akan diberikan oleh layanan kesehatan tersebut. PITC di Indonesia baru dijadikan proyek uji coba, belum menjadi kebijakan nasional. Di Surakarta, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) ditunjuk sebagai layanan kesehatan penyedia PITC. Dalam hal ini, BBKPM merupakan layanan kesehatan khusus penyakit paru yang menyediakan klinik khusus tuberkulosis. Berikut ini alur pelayanan PITC di BBKPM Surakarta Alur pelayanan PITC BBKPM Surakarta Pasien TB dengan risiko HIV KIE TB-HIV/AIDS Konseling pretest HIV/ADIS Menolak konseling HIV/AIDS Menerima tes HIV Menolak tes HIV HIV + Konseling posttest HIV/AIDS & pengobatan ART-TB HIV Pengobatan TB dan pengawasan ketat Pengobatan TB dan pengawasan / KIE ketat untuk pasien risiko tinggi HIV/AIDS BBKPM Surakarta memberlakukan pendampingan baik bagi pasien TB dengan HIV positif maupun pasien TB suspek HIV. Pasien yang menolak program PITC yang ditawarkan, tetap mendapat konseling dan pendampingan karena memiliki risiko penularan penyakit. Pasien yang bersedia mengikuti program PITC tetap akan mendapat perawatan penyakit tuberkulosis yang diderita. 2. Gender Gender merupakan hasil konstruksi sosial budaya. Gender dibedakan dari jenis kelamin berdasarkan maknanya. Jenis kelamin hanya membedakan laki-laki dan perempuan dari sifat biologisnya, sedangkan gender membedakan laki-laki dan perempuan lebih luas lagi. Gender menekankan pada sikap, karakteristik, dan bagaimana cara individu berinteraksi dengan lainnya dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki relatif lebih memiliki sifat maskulin dan perempuan memiliki sifat feminin (Rao Gupta, 2000). Dalam masyarakat, laki-laki memegang peranan penting dalam keluarga. Laki-laki diserahkan tanggung jawab untuk menopang keadaan ekonomi keluarga, sedangkan wanita hanya mempunyai kewajiban untuk mengurus anak dan rumah tangga. Pemasukan finansial keluarga bergantung pada pekerjaan laki-laki, bukan wanita. Dapat dikatakan wanita memiliki ketergantungan ekonomi terhadap laki-laki (du Guerny dan SjÖberg, 1993). Ketergantungan wanita atas laki-laki membuat status wanita di masyarakat lebih rendah, lebih tidak mempunyai kuasa untuk memutuskan sesuatu. Ketidaksetaraan gender dalam pelayanan kesehatan merugikan pihak perempuan dalam mengakses dan memanfaatkan layanan kesehatan. Akses perempuan pada layanan kesehatan tidak lebih baik daripada laki-laki (Standing, 1997). Namun, meningkatkan akses perempuan kepada pelayanan kesehatan bukan berarti dapat menyetarakan posisi perempuan terhadap laki-laki dalam memperoleh layanan kesehatan. Ada faktor lain yang membuat perempuan sulit mengakses dan memanfaatkan layanan kesehatan, antara lain, kemampuan membayar, pertimbangan dalam mengambil keputusan yang dipengaruhi oleh suami atau keluarga, dan stigma yang terbentuk di masyarakat terhadap penyakit tertentu. 3. Gender dan keterlibatan orang terdekat dalam berpartisipasi dalam tes dan konseling HIV Tes HIV, bagi laki-laki maupun wanita, secara tidak langsung menimbulkan kecurigaan terhadap pasangan dan perilaku seksualnya dan membuat mereka mengakui bahwa perilakunya sangat berisiko. Saat mendiskusikan tes HIV dengan pasangan, seseorang menjadi khawatir karena takut jika pasangannya mengetahui status HIV dirinya akan mengancam hubungan mereka. Dalam mengambil keputusan untuk menjalani konseling dan tes HIV, wanita mempertimbangkan banyak hal, diantaranya, keadaan anakanaknya setelah mereka mengetahui status HIV dirinya, hubungan pernikahan dengan suaminya, hubungan mereka dengan keluarga besarnya, dan bagaimana mereka dipandang atau diperlakukan oleh komunitasnya. Suami dan orang tua memegang peranan penting dalam kehidupan dan pengambilan keputusan seorang wanita (Nyblade dan Field,2001) Penelitian yang dilakukan oleh Maman, Mbwambo, dkk (2001) menyatakan bahwa perbedaan gender mempengaruhi penerimaan tes dan konseling HIV sukarela, dimana laki-laki memutuskan secara independen partisipasinya dalam tes dan konseling HIV, sedangkan perempuan merasa harus mempertimbangkan bersama pasangannya. Hal ini yang akan menjadi hambatan dalam akses tes dan konseling HIV. Wanita lebih takut mengetahui status HIV dirinya dan lebih khawatir saat membicarakan dengan pasangan dibanding laki-laki. B. Kerangka Pemikiran Status sosio-ekonomi dan budaya Gender Usia Laki-laki/ Perempuan Perbedaan status di masyarakat Ketergantungan terhadap orang lain Keterlibatan orang terdekat Pengambilan keputusan Tidak diteliti C. Hipotesis Keterlibatan orang terdekat pada perempuan dalam pengambilan keputusan lebih besar dibanding pada laki-laki pada program PITC di Surakarta. Tingkat Pendidikan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian observasional analitik dengan pendekatan potong lintang (cross sectional) B. Lokasi Penelitian Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta sebagai penyedia layanan PITC C. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah semua pasien suspek TB dan pasien TB dengan risiko HIV yang datang ke BBKPM Surakarta. Adapun kriteria inklusi subjek penelitian adalah : a. Pasien suspek TB dengan risiko HIV b. Pasien dengan diagnosis TB dengan risiko HIV Pasien suspek TB adalah pasien dengan gejala klinis khas TB, yaitu batuk berdahak lebih dari tiga minggu (kadang disertai darah), nyeri dada, sesak nafas, demam, berat badan dan nafsu makan menurun, serta berkeringat di malam hari. Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, ditemukannya basil tahan asam dalam pemeriksaan dahak mikroskopis – sewaktu, pagi, sewaktu (SPS), dan foto thoraks (pemeriksaan radiologis) (Alsagaff dkk., 2004). Pasien dengan risiko HIV adalah pasien atau pasien dengan pasangan yang memiliki faktor risiko HIV, antara lain: 1) Pengguna narkoba jarum suntik 2) Pekerja seks (wanita, pria termasuk waria, dan lelaki suka lelaki) 3) Berganti-ganti pasangan 4) Riwayat Infeksi Menular Seksual (IMS) 5) Jenis pekerjaan yang berisiko tinggi, misalnya orang yang karena pekerjaannya berpindah-pindah tempat (supir, pelaut), migran, tuna wisma, dan pekerja bar atau salon 6) Riwayat transfusi darah dan produk darah (Depkes RI, 2007). Kriteria tersebut mengikuti pedoman prosedur PITC yang dikembangkan di dalam proyek uji coba serta dari pedoman internasional (Tuberculosis Coalition Technical Assistance, 2006). Subjek akan dieksklusi dari penelitian jika mengalami hambatan dalam berkomunikasi secara verbal dan/ atau menolak berpartisipasi dalam penelitian. Sampel penelitian adalah semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi yang datang ke BBKPM Surakarta dari tanggal 1 Mei 2009 sampai dengan 30 November 2009. D. Teknik Sampling Teknik sampling yang dipakai adalah total sampling. Jumlah sampel adalah banyaknya pasien yang memenuhi kriteria inklusi yang datang ke BBKPM Surakarta dari tanggal 1 Mei 2009 sampai dengan 30 November 2009. E. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel terikat : Keterlibatan orang terdekat 2. Variabel bebas : Gender F. Definisi Operasional Variabel 1. Variabel terikat : Keterlibatan orang terdekat dalam pengambilan keputusan Definisi :Perlunya pembicaraan dulu dengan pasangan atau orang terdekat sebelum melakukan PITC Alat ukur : kuesioner Cara ukur : Pasien diminta memilih skala 1-10, angka 1 menunjukkan bahwa pasien sama sekali tidak membutuhkan pembicaraan dengan orang terdekat dalam mengambil keputusan pada program PITC, sedangkan angka 10 menunjukkan bahwa pasien sangat membutuhkan pembicaraan dengan orang terdekat dalam mengambil keputusan pada program PITC. Skala 2. : interval (1-10) Variabel bebas : Gender Definisi : karakteristik sosio-budaya laki-laki perempuan, dalam penelitian ini diwakili oleh jenis kelamin dan Alat ukur : kuesioner Cara ukur : memilih salah satu dari jenis kelamin sesuai dengan jenis kelamin pasien. Skala : nominal (laki-laki dan perempuan) G. Instrumen Penelitian dan Cara Pengambilan Data Penelitian ini akan menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan tertutup. Kuesioner akan diujicobakan pada 15 orang pasien yang tidak termasuk dalam sampel penelitian untuk dinilai validitas dan reliabilitasnya. Kuesioner akan direvisi jika perlu. Kuesioner akan diwawancarakan oleh asisten penelitian yang telah dilatih sebelumnya. Sebelum wawancara, terlebih dahulu dilakukan informed consent oleh petugas konselor yang menawarkan PITC secara verbal kemudian dilanjutkan secara tertulis. Pasien memiliki hak untuk menolak maupun berhenti berpartisipasi dalam penelitian. Penelitian ini adalah bagian dari penelitian yang lebih besar, yaitu Faktor Penentu Penerimaan Pasien Tuberkulosis (TB) terhadap tes HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada program Provider Initiated Testing and Counseling (PITC) di Surakarta. Skema pengambilan data Pasien memenuhi kriteria inklusi Informed consent PITC oleh petugas PITC G. Teknik Analisis Data Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara gender dengan keterlibatan orang terdekat dalam penerimaan pasien terhadap program PITC adalah Mann-Whitney. Data yang diperoleh akan dianalisis dalam bentuk uji statistik parametrik dengan memakai Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16.0 for Windows. BAB IV HASIL PENELITIAN A. Karakteristik Data Penelitian tentang hubungan gender dengan keterlibatan orang terdekat dalam pengambilan keputusan pada program Provider-Initiated Testing and Counseling (PITC) telah dilaksanakan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat dari tanggal 1 Mei 2009 sampai dengan 30 November 2009. Penelitian ini melibatkan 44 pasien program PITC sebagai sampel dan 2 sampel dieksklusi karena kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk berkomunikasi secara verbal dan tidak memenuhi persyaratan data. Dari total sampel sebanyak 42 pasien, terdapat 32 pasien laki-laki dan 10 pasien perempuan. B. Analisis Data Hubungan gender dengan keterlibatan orang terdekat dalam pengambilan keputusan pada program Provider-Initiated Testing and Counseling (PITC) dianalisis dengan menghitung nilai mean. Pasien laki-laki menunjukkan nilai rata-rata 3,69 dan pasien perempuan menunjukkan nilai 5,60 dengan p sebesar 0,098 . Distribusi data dianalisis menggunakan tes Kolmogorov-Smirnov. Didapatkan hasil bahwa data penelitian tidak memiliki distribusi data normal dengan p sebesar 0,000 untuk laki-laki dan 0,070 untuk kelompok perempuan. Data tidak dapat diuji dengan uji statistik parametrik. Data kemudian diuji menggunakan uji statistik nonparametrik. Dari uji median, didapatkan hasil, median pasien laki-laki berada pada nilai 2,00 dan median pasien perempuan berada pada nilai 6,00 . Uji Mann-Whitney menunjukkan nilai p sebesar 0,067. Tabel 1. Hasil uji statistik perbedaan mean dan median keterlibatan orang terdekat dalam pengambilan keputusan pada program PITC pada kelompok pasien laki-laki dan perempuan. Jenis Kelamin N Mean Median SD Laki-laki 32 3,69 2,00 ± 3,02 Perempuan 10 5,60 6,00 ± 3,44 MannWhitney p 99,00 0,067 Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keterlibatan orang terdekat dalam pengambilan keputusan pada program Provider-Initiated Test and Counseling (PITC) kelompok perempuan lebih besar dibanding dengan kelompok laki-laki dengan mempertimbangkan nilai rata-rata dan median dari masing-masing kelompok. BAB V PEMBAHASAN Provider-Initiated Test and Counseling (PITC) sebagai pendekatan surveilans HIV yang menitikberatkan pada penemuan kasus HIV dari penelusuran penyakit oportunis yang menyertai geajala HIV/AIDS. Di Indonesia, proyek percontohan program PITC memanfaatkan klinik TB Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Surakarta, untuk penemuan dan penanganan kasus TB-HIV. Program PITC diawali dari penemuan kasus TB positif dan suspek TB, kemudian dilanjutkan dengan penelusuran infeksi HIV dari gejala klinis pasien. Jika pasien memiliki riwayat klinis yang mengarah pada ko-infeksi TB-HIV, pasien akan dirujuk ke klinik PITC untuk melakukan pre-konseling sampai penawaran program PITC untuk mengobati ko-infeksi TB-HIV tersebut. Pasien berhak menerima atau menolak program PITC yang ditawarkan. Banyak faktor yang dapat mempengatuhi pengambilan keputusan, salah satunya adalah faktor gender. Data yang didapatkan dari penelitian tentang hubungan gender dengan keterlibatan orang terdekat dalam pengambilan keputusan dalam program Provider-Initiated Test and Counseling (PITC) menunjukkan bahwa kebutuhan perempuan untuk melibatkan orang terdekat dalam pengambilan keputusan lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Rata-rata skor perempuan, dari 1-10, berada pada angka 5,60 ± 3,44 untuk kebutuhan akan pertimbangan orang terdekatnya, seperti keluarga atau pasangan. Sedangkan rata-rata skor lakilaki berada pada angka 3,69 ± 3,02. Hal ini menunjukkan perbedaan kemandirian (independency) antara lakilaki dan perempuan. Perempuan dapat dikatakan kurang mandiri dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan laki-laki. Ketidakmandirian perempuan dalam mengambil keputusan bisa dipengaruhi oleh rendahnya pengetahuan, minimnya akses informasi, ketergantungan sosioekonomi perempuan terhadap laki-laki (du Guerny dan SjÖberg, 1993). Menurut Maman dan Mwambo (2001), perempuan lebih sulit dalam memutuskan untuk menjalankan tes HIV karena harus mempertimbangkan berbagai aspek telebih dahulu. Perempuan lebih membutuhkan pertimbangan pasangannya terlebih dahulu dalam memutuskan untuk menjalankan tes HIV dibanding laki-laki. Perempuan juga mengkhawatirkan reaksi pasangannya. Mereka takut jika keputusan untuk menjalankan tes HIV tersebut dapat mempengaruhi hubungannya dengan pasangan, karena tes HIV identik dengan hubungan yang tidak sehat. Bagi perempuan yang sudah menikah, keputusan yang terjadi pada hidupnya, terutama untuk masalah kesehatan reproduksi, melibatkan pertimbangan pasangannya (male-centered decision-making). Berbeda dengan laki-laki yang dapat secara mandiri mengambil keputusan tanpa melibatkan pasangan karena merasa memiliki kekuasaan penuh atas dirinya dan pasangannya menolak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut (Speizer, et al, 2005) Pada dasarnya, setiap manusia memiliki otonomi untuk memutuskan apa yang akan terjadi pada dirinya. Namun otonomi ini dibatasi ruang lingkupnya oleh kondisi sosial dan budaya yang membedakan manusia menjadi laki-laki dan perempuan serta karakteristik yang terbentuk. Laki-laki, oleh kondisi sosial dan budaya, dibentuk menjadi sosok yang mandiri dalam mengambil keputusan. Sedangkan perempuan membutuhkan pertimbangan orang lain dalam mengambil keputusan (Maharani, 2003). Menurut Rao Gupta (2000), ketidakmandiriran kelompok perempuan dalam pengambilan keputusan bisa disebabkan oleh rendahnya pendidikan, ketergantungan ekonomi, dan stigma yang terjadi di masyarakat. Ketergantungan ekonomi perempuan terhadap laki-laki merupakan faktor utama yang mejadi penyebab dalam ketidaksetaraan status sosial (Furuta dan Salway, 2006). Lakilaki diberikan tanggung jawab penuh, oleh masyarakat, untuk memberi nafkah keluarga yang dipimpin, sedangkan wanita hanya diberi tanggung jawab untuk mengurus keseharian rumah tangga. Pemasukan rumah tangga, kebanyakan, berasal dari laki-laki, sehingga perempuan berada dalam posisi bergantung secara ekonomi (economically-dependent). Kondisi seperti inilah yang menyebabkan status perempuan seolah-olah berada di bawah status laki-laki dan tidak memiliki kekuatan, sehingga dalam pengambilan suatu keputusan, perempuan bergantung pada pertimbangan pasangannya atau orang terdekat lainnya (du Guerny dan SjÖberg, 1993). Bahkan, beberapa perempuan tidak menyadari hak-haknya dalam rumah tangga dan tidak mengerti tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam rumah tangga (Maharani, 2003). Ketergantungan ekonomi juga menyebabkan perempuan tidak mendapat kesempatan yang sama seperti laki-laki untuk mendapatkan pendidikan. Minimnya akses terhadap pendidikan ini berpengaruh terhadap kurangnya informasi tentang kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi. Pendidikan, dalam hal ini, mempengaruhi pola pikir seseorang, membuka akses seluas-luasnya terhadap informasi. Akses terhadap informasi kesehatan membentuk pola pikir yang mengarah pada paradigma sehat, dimana seseorang mendatangi sebuah layanan kesehatan bukan hanya untuk mencari pengobatan atas penyakitnya, tapi berusaha mencegah dirinya dari penyakit dan kesakitan. Karakteristik sosio-budaya yang dijabarkan di atas membentuk suatu kondisi yang menyebabkan perempuan tidak lebih mandiri daripada laki-laki dalam membuat suatu keputusan. Namun, hasil penelitian ini tidak dapat menggambarkan kondisi masyarkat sesungguhnya. Kemandirian dalam membuat keputusan tetap dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, status sosio-ekonomi dan budaya yang berlaku. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain: 1. Peneliti tidak mengendalikan variabel luar, seperti tingkat pendidikan, dan status ekonomi 2. Peneliti tidak mengukur status sosio-ekonomi dan budaya dari tiap pasien yang dapat mempengaruhi pola pikirnya 3. Keterbatasan waktu dan jumlah sampel penelitian BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat tentang hubungan gender dengan keterlibatan orang terdekat dalam pengambilan keputusan pada program Provider-Initiated Testing and Counseling (PITC) di Surakarta dari bulan Mei hingga November 2009 dapat disimpulkan bahwa keterlibatan orang terdekat dalam pengambilan keputusan oleh perempuan lebih besar dari laki-laki (p = 0,067). B. Saran 1. Perlu dilakukan pendekatan yang berbeda antara pasien laki-laki dengan perempuan dengan memperhatikan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya tiap pasien pada saat pre-konseling program PITC. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap pengaruh gender dengan pengambilan keputusan pada program PITC dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan pendekatan wawancara yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Alsagaff H., Wibisono M.J., Winariani (eds). 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2004. Surabaya: Gramik FK UNAIR,pp: 17-18. Ditjen PPM&PL Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009 Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. http://spiritia.or.id (diakses 6 September 2009) Ditjen PP&PL Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Kebijakan Nasional Kolaborasi TB/HIV. (diakses 4 Agustus 2009) du Guerny, Jacques dan SjÖberg, Elisabeth. 1993. Inter-relationship between gender relation and the HIV/AIDS epidemic: some possible considerations for policies and programs. AIDS 1993, 7:1027-1034 Family Health International. Service Delivery Models for HIV Counseling and Testing. www.fhi.org/NR/rdonlyres/.../ModelsofCT2pager122706.pdf. (diakses 1 Juli 2009) Furuta M, Salway S. 2006. Women’s position within the household as a determinant of maternal health care use in Nepal. International Family Planning Perspectives, 2006, 32(1) : 17-27 Health Development Agency. 2004. Improving patient access to health services: a national review and case studies of current approaches. www.hda.nhs.uk (diakses 28 september 2009) Maharani S.D. 2003. Peran perempuan dalam hubungan antar gender tinjauan filsafat moral terhadap otonomi manusia. Jurnal Filsafat, April 2003, Jilid 33 Nomor1 Mahendradhata, Ahmad R.A., Lefèvre P., et al. 2008. Barriers for introducing HIV testing among tuberculosis patients in Jogjakarta, Indonesia: a qualitative study. BMC Public Health 2008, 8:385 Maman S., Mbwambo J., et al. 2001. HIV and partner violence: Implications for HIV Voluntary Counseling and Testing programs in Dar es Salaam Tanzania. The Population Council Inc. Nyblade L., Field-Nguer M.L..2001. Women, communities, and the Prevention of Mother-to-Child Transmission of HIV: Issues and findings from community research in Botswana and Zambia. International Center for Research on Women. Odhiambo J., Kizito W., Njoroge A., et al. 2008. Provider-initiated HIV testing and counseling for TB patients and suspects in Nairobi, Kenya. Int J Tuberc Lung Dis 12(3):S63-S68 Rao Gupta G, Ph.D. 2002. Gender, Sexuality, and HIV/AIDS: The What, the Why, and the How. International Center for Research on Women. Sandstorm R., Lohman H, Bramble J.D., 2003. Health Services : Policy and systems for therapists. Upper Saddle River, New Jersey : Prentice Hall, Inc. Speizer I.S., Whittle L., Carter M. 2005. Gender relations and reproductive decision making in Honduras. International Family Planning Perspectives, 2005, 31(3) : 131-139 Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. 2006. International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. UNAIDS/WHO Working Group on Global HIV/AIDS/STI Surveillance and TB/HIV Working Group of the Global Partnership to Stop HIV. 2004. Guidelines for HIV surveillance among tuberculosis patients. WHO/HTM/TB/2004.339 (diakses 5 Mei 2009) Weiser S.D., Heisler M., Leiter K., et al. 2006. Routine HIV testing in Botswana: A population-based study on attitudes, practices, and human right concerns. PLoS Med 3(7): e261. World Health Organization. 2008. Promoting the implementation of collaborative TB/HIV activities through public-private mix and partnerships. WHO/HTM/TB/2008.408 (diakses 5 Mei 2009) World Health Organization / Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). 2007. Guidance on provider-initiated HIV testing and counseling in health facilities. WC 503.1 (diakses 6 September 2009)