BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterlibatan masyarakat dalam politik dan pemerintahan merupakan hal yang esensial dalam negara demokrasi. Menilik terminologi demokrasi yaitu pemerintahan rakyat, demokrasi tidak akan terwujud tanpa partisipasi masyarakat dalam proses politik di negaranya. Hak berpolitik pun merupakan hak dasar warga negara. Namun tidak semua warga negara menggunakan haknya untuk terlibat aktif dalam proses politik. Tolak ukur partisipasi politik suatu negara terlihat dari jumlah warga negara yang menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum (Pintor dkk, 2015:75). Data dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance menunjukan bahwa angka partisipasi masyarakat Indonesia dalam setiap pemilihan umum selalu mengalami perubahan, bahkan tidak jarang mengalami penurunan. Data tersebut menyebutkan pada Pemilihan Umum Legislatif 2009 tingkat partisipasi masyarakat hanya mencapai 70.99%, menurun dari tahun 2004 yaitu 84.09%. Masalah partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara demokrasi lainnya. Center for the Study of the American Electorate seperti ditulis CNN, mencatat hanya 57,5% masyarakat yang menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2012, lebih rendah dibandingkan dengan pemilihan umum sebelumnya di tahun 2008 dan 2004. Para ilmuwan menaruh perhatian pada partisipasi anak muda dalam politik karena jumlahnya yang signifikan dalam angka partisipasi politik dalam suatu negara. Dalam Technology and Politics: Incentives for Youth Participation Shanto Iyengar dan Simon Jackman mengatakan “No other group is as disengaged from elections as youth”. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kelompok anak muda dikhawatirkan semakin berjarak dengan proses politik. Hal ini ditandai dengan berkurangnya ikatan dengan masyarakat, minimnya 1 ketertarikan dan pengetahuan mengenai isu politik, hingga tumbuhnya sinisme di kalangan anak muda akan demokrasi. Di Indonesia, aktivitas anak muda dalam bidang politik pernah memberi kontribusi bagi sejarah bangsa. Misalnya saat peristiwa reformasi tahun 1998. Saat itu, gerakan mahasiswa mencapai puncaknya dengan ikut andil menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Pasca reformasi, peran aktif anak muda Indonesia dalam politik mengalami penurunan. Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos) Indonesia dan Perkumpulan Pamflet di lima kota di Indonesia menunjukkan bahwa partisipasi politik anak muda berusia 15-30 tahun masih rendah. Hanya 49,8 persen responden mempunyai partisipasi politik yang tinggi. Pada Pemilihan Umum 2014, Badan Pusat Statistik mencatat bahwa anak muda di usia 17-30 tahun yang memilih mencapai 55 juta jiwa, 14 juta diantaranya merupakan pemilih pemula. Sebuah artikel dalam situs berita Tempo pada 6 April 2014 menyebutkan bahwa jumlah tersebut setara dengan 30 persen dari total daftar pemilih tetap di Komisi Pemilihan Umum. Tahun 2014 merupakan titik krusial peralihan generasi sehingga aspirasi anak muda menjadi penting dan menentukan dalam perkembangan politik di Indonesia. Kondisi tersebut dianggap menjadi tantangan bagi berbagai pihak untuk membangun kesadaran anak muda pada politik dan menjadi pemilih yang cerdas. Pemilihan Umum 2014 juga menarik untuk ditinjau karena media baru berperan lebih signifikan dibandingkan dengan Pemilihan Umum 2009. Apalagi menurut Jimmi Kembaren (Direktur Indeks Digital) dalam situs berita Tempo pada 22 Juni 2014, kebanyakan pengguna media sosial merupakan pemilih pemula pada Pemilihan Umum 2014. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa paparan dalam mengakses informasi dan kekuatan teknologi berubah dengan cepat dalam lima tahun terakhir dan memiliki peran penting dalam iklim politik Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan penggunaan internet dan catatan penjualan ponsel tercepat di dunia. Menurut survei yang dilakukan oleh UNICEF dan Kementrian Komunikasi dan Informasi tahun 2 2014 menemukan setidaknya 30 juta anak-anak dan remaja di Indonesia merupakan pengguna internet dan media digital menjadi pilihan utama saluran komunikasi yang mereka gunakan. Cara anak muda Indonesia dalam mengartikulasikan kebutuhan, aspirasi dan aktivisme di ruang publik pun telah bergeser. Pada tahun-tahun awal setelah perubahan rezim, aktivitas politik anak muda terlihat dalam bentuk demonstrasi massa yang dipimpin mahasiswa mengenai isu-isu kebijakan. Meskipun saat ini “turun ke jalan” masih dianggap sebagai cara dalam menunjukkan sikap politik, anak muda menambahkannya dengan penggunaan media baru. Pemanfaatam media baru dalam aktivitas politik misalnya dengan menandatangani petisi, ikut serta dalam kampanye online, dan memberikan pendapat mengenai isu politik di media sosial. Menurut Kahne dan Middaugh (2012:52-53), penggunaan media baru oleh anak muda untuk terlibat dalam politik disebut dengan istilah participatory politic atau politik partisipatif. Politik partisipatif tidak sama dengan aktivitas politik tradisional karena bersifat interaktif, dipengaruhi oleh lingkaran pertemanan, dan tidak ditentukan oleh instistusi politik tradisional seperti partai politik. Ketika media tradisional seperti stasiun televisi, surat kabar, dan situs berita dianggap sarat kepentingan politik, media baru menjadi sebuah alternatif yang memungkinkan individu untuk lebih bebas dalam aktivitas politiknya. Melalui media baru anak muda menemukan ruang mereka untuk berkarya, berbagi informasi, dan berdialog. Fakta ini memperlihatkan bahwa pendekatan melalui media baru dapat menjembatani kesenjangan anak muda dengan politik. Penelitian menegaskan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara penggunaan media digital dan partisipasi politik dan pengetahuan mengenai politik, setidaknya selama kampanye pemilu berlangsung (Dimitrova dkk, 2014:96). Berartinya peran anak muda dalam politik, mendorong munculnya gerakan-gerakan yang bertujuan memberikan pendidikan politik bagi anak muda. Di Amerika Serikat, terdapat gerakan Rock The Vote. Gerakan ini mengampanyekan pentingnya anak muda menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Rock The Vote merevolusi penggunaan budaya populer, 3 musik, seni, dan teknologi untuk menginsipirasi anak muda terlibat dalam kegiatan politik. Gerakan ini kemudian diadopsi oleh beberapa negara termasuk Indonesia. Rock The Vote Indonesia (RTVI) diinisiasi oleh Center for Election and Political Party, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia. Untuk menjalankan misinya yaitu meningkatkan partisipasi anak muda dalam proses politik, RTVI bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, Kementerian Dalam Negeri dan jaringan CEPP di berbagai universitas di seluruh Indonesia. RTVI menyebutkan bahwa model pendidikan pemilih muda yang digunakan dalam kegiatannya bersifat non-konvensional. Mereka lebih banyak berfokus pada keaktifan peserta melalui diskusi-diskusi yang difasilitasi oleh tutor-tutor yang berstatus mahasiswa. Gerakan dengan tujuan serupa muncul di Indonesia dengan nama Ayo Vote. Ayo Vote adalah sebuah inisiatif untuk mengajak anak muda Indonesia berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dimulai dengan pemilu yang diadakan tahun 2014. Gerakan ini lahir sebagai respon bahwa masih banyak jumlah anak muda Indonesia yang bersikap acuh tak acuh terhadap sistem perpolitikan dan bertujuan untuk mengajak anak muda menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Umum 2014. Dengan memberikan informasi politik dasar, Ayo Vote berupaya mendorong anak muda untuk tidak apatis dan berpartisipasi dalam proses politik di Indonesia dimulai dari cara yang sederhana. Berbeda dengan Rock The Vote Indonesia yang kegiatannya dikelola oleh akademisi dan dilaksanakan di universitas-universitas, kegiatan yang dilakukan Ayo Vote lebih beragam. Ayo Vote memanfaatkan media baru dengan menawarkan one-stop portal, di www.ayovote.com, sebuah wadah untuk menyosialisasikan proses pemilu, edukasi publik tentang partai politik, calon legislatif, terutama kandidat presiden dan wakil presiden serta didukung dengan media sosial yaitu Facebook, Twitter, dan YouTube. Pada Pemilihan Legislatif 2014, Ayo Vote meluncurkan microsite bernama Kepoin Caleg yang bertujuan membantu anak muda mengenal calon legislatif sebelum memilih. 4 Selain kampanye melalui media baru, Ayo Vote juga mengadakan kegiatan offline. Kegiatan tatap muka langsung wujudnya beragam, antara lain Ngomongin Politik yaitu diskusi mengenai politik yang menghadirkan beberapa narasumber, Kampung Politik yaitu event yang mempertemukan partai politik peserta pemilu dengan calon pemilih yang diadakan di pusat perbelanjaan, serta seminar dan workshop di kampus dan sekolah. Dalam mendorong anak muda ikut serta pada Pemilihan Umum 2014, Ayo Vote memulai kegiatannya sejak akhir tahun 2012 setelah terinspirasi dari peran aktif anak muda dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Meskipun kegiatan yang dilakukan Ayo Vote berkaitan dengan isu politik, Ayo Vote menyebut kampanyenya bersifat independen, non-partisan dan tidak berpihak ke partai atau menggiring anak muda untuk memilih kandidat tertentu. Dengan jumlah anak muda yang mencapai 30 persen dari keseluruhan pemilih, kampanye yang bertujuan untuk mendorong anak muda berpartisipasi pada Pemilihan Umum 2014 semestinya dikelola secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan sumber daya yang ada karena pemilih muda akan memberi pengaruh signifikan pada Pemilihan Umum 2014. Pengelolaan kampanye secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan sumber daya yang ada disebut dengan istilah manajemen kampanye (Venus, 2004: 26). Banyaknya anak muda yang bersikap apatis terhadap politik membuat pendekatan politik terhadap anak muda juga harus dilakukan dengan memahami cara berpikir mereka. Apalagi pemilih muda umumnya belum mempunyai preferensi dalam pemilu sebelumnya dan dianggap belum punya ikatan kuat dengan partai tertentu. Hal tersebut menjadi peluang dan tantangan bagi Ayo Vote dalam manajemen kampanyenya. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti menilai bahwa manajemen kampanye sosial yang dilakukan oleh gerakan Ayo Vote dalam mendorong partisipasi anak muda dalam politik terutama pada Pemilihan Umum 2014 menarik untuk ditinjau dari segi akademis. 5 B. Rumusan Masalah Bagaimana manajemen kampanye sosial yang dilakukan oleh gerakan Ayo Vote dalam mendorong partisipasi anak muda Indonesia pada Pemilihan Umum 2014? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui manajemen kampanye sosial yang dilakukan gerakan Ayo Vote dalam mendorong partisipasi anak muda Indonesia pada Pemilihan Umum 2014. D. Manfaat Penelitian 1. Dapat memperkaya kajian komunikasi khususnya mengenai manajemen kampanye sosial dalam mendorong partisipasi politik anak muda serta dijadikan referensi bagi pihak-pihak yang akan melakukan penelitian. 2. Sebagai dokumentasi, masukan dan bahan evaluasi untuk gerakan Ayo Vote serta gerakan lain yang memiliki tujuan serupa. E. Kerangka Pemikiran 1. Tinjauan Umum Kampanye Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena kampanye tidak hanya menarik perhatian para akademisi, tetapi juga masyarakat umum. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya jumlah keberhasilan kampanye yang meningkat, kualitas kampanye yang pernah dilaksanakan, hingga proses modernisasi masyarakat yang semakin membutuhkan paparan informasi (Klingemann dan Rommele, 2002:1). Pada tahun 1940-an hingga 1950-an, kepercayaan pada keberhasilan kampanye masih terbatas. Meskipun pada saat itu perbedaan antara propaganda dan kampanye mulai ditegaskan. Pada tahun 1944 Lazarsfed melakukan sebuah riset sebagai respon atas propaganda yang dilakukan oleh media massa. Riset tersebut sekaligus mengembangkan konsep pemuka pendapat (opinion leader) danaliran dua-langkah komunikasi. Hasil riset menunjukkan bahwa pemuka 6 pendapat memiliki pengaruh lebih besar dari media massa, berbeda dengan asumsi para teoritikus propaganda pada waktu itu. Memasuki tahun 1960-an, beberapa kampanye berhasil dilakukan di antaranya kampanye konservasi energi di beberapa negara, kampanye melawan kanker di Amerika, hingga kampanye mengenai kesadaran akan AIDS. Perkembangan media elektronik terutama televisi pada tahun 1970-an memberi imbas dalam kegiatan kampanye. Pelaksana kampanye dapat menjangkau publik yang lebih luas dan membidik pesan pada audiens yang spesifik. Hal tersebut menjadi permulaan kampanye yang dilakukan secara profesional dengan mempertimbangkan strategi dan komunikasi yang ditargetkan (Klingemann dan Rommele, 2002:3). Menurut Rogers dan Storey dalam Venus (2004:7), kampanye adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu. Pfau dan Parrot dalam Venus (2004:8) berpendapat bahwa kampanye adalah suatu proses yang dirancang secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. Kampanye komunikasi dimaksudkan untuk menghasilkan hasil tertentu dalam jumlah individu sasaran yang relatif besar, dalam waktu tertentu, dan melalui kegiatan komunikasi yang terorganisir (Littlejohn dan Foss, 2009:87). Merujuk beberapa definisi kampanye tersebut, setiap aktivitas kampanye komunikasi harus mengandung setidaknya empat hal yaitu tindakan kampanye yang ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu, jumlah khalayak sasaran yang besar, biasanya dipusatkan dalam kurun waktu tertentu, dan melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisasi (Venus, 2004:7). Larson (1992:280) membagi jenis kampanye menjadi product-oriented campaigns, candidate-oriented campaigns, dan ideological or cause-oriented campaigns. Product-oriented campaigns merupakan kampanye yang berorientasi pada produk dan digunakan dalam kegiatan promosi komersil, candidate-oriented campaigns atau politically-oriented campaigns adalah 7 kampanye yang berorientasi pada kandidat untuk kepentingan politik dan dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik seperti kampanye pemilu dan kampanye penggalangan dana bagi partai politik, sedangkan dalam ideological or cause-oriented campaigns atau juga disebut dengan kampanye sosial, bukan produk maupun kandidat yang dipromosikan, melainkan pelaku kampanye meminta audiens untuk terlibat atau mengubah perilaku. Kampanye sosial berorientasi pada tujuan-tujuan bersifat khusus dan seringkali berdimensi pada suatu perubahan sosial, kampanye ini bertujuan untuk menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik terkait. Larson (1992:281) berpendapat bahwa kampanye tidak hanya serangkaian pesan yang dikirimkan kepada khalayak, tetapi juga membuat positioning akan sebuah produk, kandidat maupun pemikiran di benak audiens. Kampanye umumnya dirancang untuk berkembang dari waktu ke waktu. Kampanye memiliki tahap untuk menarik perhatian audiensnya, mempersiapkan hingga mendorong mereka untuk bertindak. Sebuah kampanye akan mendramatisasi produk, kandidat, atau suatu pemikiran untuk mengundang audiens berpartisipasi untuk mewujudkan tujuan kampanye tersebut, baik melalui aksi nyata maupun dukungan simbolik. Larson menambahkan bahwa kampanye akan menggunakan teknologi komunikasi untuk mencapai target audiens. Sebuah kampanye yang berhasil harus mengedukasi dan mendorong audiensnya untuk bertindak. Untuk mencapai hal tersebut, kampanye harus menetapkan suatu tujuan yang jelas, menyusun suatu strategi untuk mencapai tujuan tersebut dan menggunakan berbagai taktik untuk mewujudkan strategi. Sejalan dengan Larson, Chris Rose (2005:4) beranggapan bahwa kampanye adalah komunikasi yang memiliki maksud, artinya pelaku harus mengetahui mengapa ia berkomunikasi, apa tujuannya berkomunikasi, dan apa yang ia ingin orang lain lakukan. 8 2. Kampanye Sosial Kampanye sosial bertujuan menyelesaikan masalah-masalah sosial melalui perubahan perilaku publik. Melalui kampanye sosial, publik disadarkan akan adanya suatu masalah di lingkungan sosialnya hingga didorong untuk mengambil sikap yang bertujuan menyelesaikan permasalahan tersebut. Sulistyaningtyas (2006:68) mempertegas pengertian kampanye sosial sebagai aktivitas penyadaran dan pengembangan publik untuk terus bersentuhan dan terlibat isu-isu sosial. Cakupan kampanye sosial menjadi sangat luas karena selama tujuan kampanye adalah untuk mengurangi masalah sosial yang ada, maka kampanye tersebut dapat disebut sebagai kampanye sosial. Keberhasilan program kampanye sosial dapat ditinjau dari berbagai hal, antara lain; input, lebih melihat pada bagaimana “produk” kampanye tersebut didistribusikan; output, bagaimana “produk” tersebut dipergunakan; outcome, melibatkan pengukuran efek akhir dari komunikasi. Pengukurannya adalah kognitif (perubahan pada tingkat pemikiran atau kesadaran), afektif (perubahan dalam sikap dan opini), dan konatif (perubahan dalam perilaku) (Sulistyaningtyas, 2006:72). Chris Rose merumuskan model kampanye berikut ini: Problem Awareness Concern Att Urgency Anger Action Bagan 1.1 Model Kampanye Menurut Chris Rose (2005:11). 9 Melalui model tersebut, Rose menjelaskan bahwa kampanye dimulai dari adanya masalah. Masalah tersebut digiring kepada target yang tepat dengan tujuan menimbulkan kesadaran dan kepedulian terhadap masalah tersebut. Kepedulian terhadap masalah akan mendorong target kampanye melihat urgensi masalah tersebut, merasa terganggu dengannya, hingga pada akhirnya memutuskan mengambil tindakan. Sedangkan Ostergaard (2002:149) dalam Public Information Campaigns and Opinion Research berpendapat bahwa sebuah kampanye dimulai dengan adanya problem dan mencapai tujuan ketika problem tersebut berkurang atau terselesaikan. Ketika menganalisa sebuah problem, perlu diingat bahwa sebagian besar masalah sosial muncul dari banyak faktor sehingga dalam tahap pelaksanaan kampanye, konten kampanye harus dikonstruksi sedemikian rupa untuk dapat mempengaruhi aspek knowledge, attitude, dan skills dari publik sasaran. Ketiga aspek tersebut dapat membawa dampak pada terjadinya perubahan perilaku publik. Tahapan ini dituangkan dalam bagan model kampanye seperti berikut: Problem Campaign Attitudes Knowledge Skills Att Behavior Reduced Problem Bagan 1.2 Model Kampanye Menurut Ostergaard (2002:149). 3. Kampanye Sebagai Komunikasi Terencana G.R. Miller seperti yang disampaikan Stiff dan Mongeau (2003:4) mendefinisikan komunikasi persuasif sebagai pesan yang ditujukan untuk membentuk, memperkuat atau mengubah tanggapan dari orang lain. Kampanye 10 secara sistematis berupaya menciptakan tempat tertentu dalam pikiran khalayak mengenai gagasan yang ditawarkan, kampanye berlangsung dalam berbagai tahap mulai dari menarik perhatian khalayak, menyiapkan khalayak untuk bertindak, hingga akhirnya mengajak mereka untuk melakukan suatu tindakan, kampanye mendramatisasi gagasan yang disampaikan dan mengundang khalayak untuk terlibat secara simbolis atau praktis agar mencapai tujuan kampanye (Venus, 2004:29). Aspek-aspek tersebutlah yang membuat kampanye termasuk dalam komunikasi persuasif. Sebagai bentuk komunikasi persuasif, sebuah kampanye selayaknya harus dilakukan dengan terencana, tidak sembarangan, serta melalui pengelolaan yang sistematis, efektif, dan efisien. Sesuai dengan definisi kampanye bahwa kampanye ditandai dengan adanya aktivitas komunikasi yang terencana, memiliki publik sasaran, memiliki pesan untuk mempengaruhi khalayak, mengangkat suatu isu spesifik, serta dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Wilson dan Ogden (2006:12-13) merumuskan sepuluh langkah yang digunakan dalam dalam perencanaan dan implementasi komunikasi. Sepuluh langkah tersebut adalah sebagai berikut : a. Background Perencanaan dimulai dengan riset untuk untuk mencari informasi mengenai lingkungan eksternal, produk atau program, hingga tren atau opini yang sedang berkembang. Latar belakang juga berisi penggambaran publik sasaran yang terpengaruh oleh masalah yang diangkat. b. Situation analysis Analisis situasi berisi penjelasan mengenai situasi terkini dan tantangan atau kesempatan yang dihadapi sesuai dengan riset yang telah dilakukan. Analisis situasi juga memuat persoalan yang mungkin dihadapi. c. Core problem/opportunity Bagian ini menjelaskan masalah termasuk konsekuensi yang dihadapi apabila masalah tersebut tidak diselesaikan. d. Goal and objectives 11 Sasaran biasanya berbentuk satu kalimat berisi sasaran akhir sebuah kampanye. Sedangkan tujuan berisi beberapa hal yang ingin dicapai untuk mewujudkan sasaran akhir kampanye tersebut. e. Key publics and messages Bagian ini memuat siapa publik sasaran sebuah kampanye termasuk deskripsi dari publik sasaran tersebut misalnya keterangan demografi, psikografi, motivasi diri, hingga pihak yang mempengaruhi dirinya. Selain itu, pesan dari sebuah kampanye pun harus secara jelas ditentukan dalam bagian ini. Pesan dapat didukung oleh kalimat fakta, testimonial, contoh, dan lain-lain. f. Strategies and tactics Strategi berisi pendekatan yang dipakai dalam menyampaikan pesan kampanye kepada publik melalui saluran yang spesifik untuk mendorong suatu tindakan. Sedangkan pada taktik terdapat media komunikasi yang digunakan dalam strategi. g. Calendar Bagian ini merupakan langkah dalam menentukan secara strategis kapan kegiatan dalam kampanye harus dilakukan. h. Budget Pendanaan dalam kampanye harus disesuaikan dengan publik dan strategi. Hal ini akan menentukan pula biaya yang harus dikeluarkan dalam setiap taktik. Bagian ini juga harus memuat sumber pendanaan kampanye serta total biaya kampanye. i. Communication confirmation Tabel konfirmasi komunikasi berisi logika dari setiap rencana dalam kampanye. Tabel ini berfungsi untuk memeriksa apakah strategi dan taktik yang diterapkan sesuai dengan publik sasaran, pesan, dan apakah perencanaan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. j. Evaluation criteria and tools Bagian ini berisi ukuran spesifik untuk menentukan tingkat kesuksesan dari kampanye sekaligus cara mengukurnya. 12 Kampanye bertujuan mencapai perubahan pada publik sasaran melalui pesan yang disampaikannya. Pesan merupakan inti dari sebuah kampanye karena melalui pesanlah sebuah gagasan disampaikan pada publik. Ketidakmampuan pelaku kampanye mengonstruksi pesan sesuai dengan publik sasaran merupakan awal dari kegagalan sebuah kampanye. Rice dan Atkin (2012:8-9) membagi tipe pesan kampanye menjadi tiga. Tipe pesan kampanye akan membedakan batas suatu kampanye dan target audiensnya karena tipe pesan yang dipakai tergantung pada tingkat pengetahuan dan sikap dari target audiens. Tipe pesan tersebut adalah: a. Awareness Messages Kampanye yang menggunakan tipe pesan ini akan terbatas pada menginformasikan khalayak apa yang harus dilakukan, menentukan siapa yang harus melakukannya, dan memberi petunjuk kapan dan dimana sesuatu harus dilakukan. b. Instruction Message Tipe pesan ini menyediakan informasi bagaimana melakukan suatu tindakan yang bertujuan menambah pengetahuan dan ketrampilan. Apabila tujuan kampanye mengubah perilaku yang kompleks, pesan dalam kampanye berisi instruksi yang mendetail bagi audiens. c. Persuasion Message Di samping menyadarkan dan mengedukasi audiens, sebuah kampanye perlu menyampaikan pesan mengapa audiens harus mengubah perilaku ataupun menghindari perilaku tertentu. Tipe pesan persuasif bertujuan mempengaruhi audiens untuk mengubah perilakunya. Bagaimana kampanye dilaksanakan dan hasil yang akan dicapai juga sangat bergantung pada publik sasaran. Publik merupakan titik tolak bagi setiap kegiatan kampanye dalam menentukan pesan dan media kampanye. Publik atau disebut juga dengan khalayak didefinisikan oleh McQuail dan Windahl dalam Venus (2004:98) sebagai sejumlah besar orang yang pengetahuan, sikap, dan perilaku akan diubah melalui kegiatan kampanye. Sedangkan Muhtadi (2008:37) berpendapat bahwa publik bukan berarti umum. 13 Publik adalah kumpulan orang-orang yang memiliki minat dan kepentingan yang sama terhadap suatu isu. Grunig (2012:137) membagi publik menjadi dua kategori, publik aktif dan publik pasif. Publik aktif adalah mereka yang tertarik dengan sebuah isu dan berpotensi mencari informasi lebih lanjut. Publik pasif adalah mereka yang tidak sadar akan keberadaan suatu isu dan cenderung tidak tertarik terhadap isu tersebut. Mengidentifikasi publik sasaran dengan baik akan memudahkan pelaku kampanye menentukan strategi persuasif untuk menjangkau publik sasarannya. Selain pesan dan publik sasaran, hal yang penting diperhatikan dalam sebuah kampanye adalah saluran kampanye. Schramm dalam Venus (2004:84) mengartikan saluran kampanye sebagai perantara apapun yang memungkinkan pesan-pesan sampai kepada penerima. Menurut Varey dalam Venus (2004:90), dalam memilih media sebagai saluran kampanye hendaknya mempertimbangkan aspek-aspek berikut dan menentukan aspek mana saja yang perlu menjadi pertimbangan di antaranya; jangkauan yaitu jumlah orang yang memberi perhatian tertentu dalam batas geografis tertentu dan merupakan bagian dari seluruh populasi, tipe khalayak yaitu profil dari orang yang potensial dan memberi perhatian tertentu, seperti nilai, gaya hidup, dll, ukuran khalayak yaitu seberapa banyak orang yang terhubung, biaya yaitu ongkos produksi dan pembelian media, tujuan komunikasi yaitu apa yang dapat dicapai dan respon apa yang dibutuhkan, waktu yaitu skala waktu untuk respon yang dikehendaki, hubungan dengan penggunaan media lain dan sebagainya, keharusan pembelian media yaitu waktu penyiaran yang terjual melalui penawaran yang kompetitif dan membutuhkan pemesanan selama beberapa minggu sebelumnya, batasan atau aturan yaitu pengaturan untuk mencegah masuknya produk-produk atau hal-hal tertentu dari media tertentu, aktivitas pesaing yaitu kapan, dimana, dan kenapa bersaing dengan penyedia jasa periklanan, serta kebiasaan publik sasaran menggunakan media yang juga berpengaruh dalam pemilihan saluran komunikasi. Sebagai contoh, di awal kemunculannya televisi pernah dianggap lebih efektif dibandingkan radio dan 14 surat kabar karena dapat menjangkau publik yang lebih luas. Kini di era media baru, website dan media sosial menjadi saluran kampanye yang paling sering dimanfaatkan. Pelaku kampanye juga harus mempertimbangkan karakteristik publik sasarannya. Untuk mencapai hasil yang maksimal tentu dapat dengan menggunakan seluruh saluran kampanye yang potensial, menggabungkan, dan mengombinasikannya. 4. Manajemen Kampanye Klingemann dan Rommele (2002:3) menyebutkan bahwa keberhasilan dan kegagalan suatu kampanye sangat dipengaruhi oleh fase perencanaan, implementasi, dan evaluasi kampanye dengan pedoman ilmiah yang ada. Dalam fase perencanaan terdapat proses mengembangkan dan menyusun kampanye, dalam fase implementasi atau pelaksanaan termasuk di dalamnya memutuskan apa yang harus dilakukan dalam kampanye, kapan, dan bagaimana itu dilakukan, dan fase evaluasi menentukan apakah tujuan kampanye telah tercapai. Sejalan dengan Klingeman dan Rommele, Solomon dan Cardillo (1985:66-67) berpendapat bahwa planning, implementation dan evaluation merupakan elemen penting dalam mewujudkan sebuah kampanye komunikasi yang efektif. Littlejohn dan Foss (2009:87) membagi tiga fase pokok kampanye menjadi planning, implementation dan evaluation.Venus (2004:26) juga menyebutkan bahwa kegiatan kampanye meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Tahapan tersebut kemudian dibakukan dengan istilah manajemen kampanye. Manajemen kampanye yaitu proses pengelolaan kegiatan kampanye secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan sumber daya yang ada guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kumar dan Reinartz (2014:4) memaparkan tahapan manajemen kampanye sebagai berikut: 1. Planning (Perencanaan) Merupakan proses strategis dimana keputusan diambil dan mendefinisikan maksud dan tujuan kampanye. 15 2. Development (Pengembangan) Proses taktis menciptakan tawaran kampanye, memilih dukungan dan desain, memilih media, dan memilih pelanggan. 3. Execution (Eksekusi) Proses operasional dalam menjalankan kampanye di media yang dipilih dan mengendalikan semua aspek terkait. 4. Analysis (Analisis) Proses evaluasi dari hasil kampanye dari sudut tujuan kampanye. Campaign Management Campaign Planning Campaign Execution Analysis & Control & Development Setting objectives Implementation & Measuring & Strategies Coordination campaign results Identifying Monitoring & Response Analysis customer fine-turning segments Developing Profile Analysis communication strategy Developing the offer Campaign Budget Testing Bagan 1.3 Campaign Management Process (Kumar dan Reinartz, 2014:5) 16 Berdasarkan bagan proses manajemen kampanye di atas, Kumar dan Reinartz (2014:5) membagi proses kampanye menjadi tiga yaitu perencanaan dan pengembangan kampanye, eksekusi kampanye, dan analisis dan kontrol. Ketiga proses tersebut kemudian dijabarkan langkah-langkahnya seperti tertera dalam bagan di atas. Proses manajamen kampanye oleh Kumar dan Reinartz tersebut lebih merujuk kepada kampanye produk. Secara umum, proses manajemen kampanye oleh Kumar dan Reinartz (2014:5) memiliki fase yang serupa dengan manajemen kampanye menurut Venus (2004:143-219), dengan penjabaran fase perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi menjadi poin-poin sebagai berikut: 1. Perencanaan Perencanaan kampanye merupakan peta perjalanan kampanye. Fungsi sebuah perencanaan dalam kampanye adalah menciptakan keteraturan dan kejelasan arah tindakan. Perencanaan kampanye membuat pelaku kampanye melihat semua komponen secara menyeluruh dan berpikir mengenai efek kampanye dalam jangka panjang hingga kegiatan-kegiatan yang dihasilkan tetap terstruktur dan fokus pada tujuan kampanye. Dalam perencanaan kampanye, tahap-tahap yang harus dilalui adalah : a. Analisis masalah Analisis masalah yaitu pengumpulan informasi yang berhubungan dengan permasalahan yang hendaknya dilakukan secara objektif dan terstruktur untuk menghindari pemecahan masalah yang tidak tepat. b. Penyusunan tujuan Penyusunan tujuan kampanye penting dilakukan agar kampanye memiliki arah yang terfokus pada pencapaian tujuan tersebut. Tujuan kampanye hendaknya bersifat realistis. c. Identifikasi dan segmentasi sasaran Publik sasaran merupakan hal penting dalam kampanye. Identifikasi dan segmentasi sasaran dilakukan untuk lebih mengenali publik sasaran agar pesan kampanye sesuai dengan karakteristik publik sasaran tersebut. 17 d. Menentukan pesan Pesan kampanye merupakan sarana yang akan membawa publik sasaran mengikuti apa yang menjadi tujuan kampanye. Pada tahap perencanaan pesan, yang pertama dilakukan adalah membuat tema kampanye yaitu ide utama sebagai induk dari berbagai pesan kampanye. Setelah itu dilakukan pengelolaan pesan berupa pernyataan spesifik dengan ruang lingkup tertentu yang di dalamnya terkandung tema kampanye. e. Strategi dan taktik Strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang akan diterapkan dalam kampanye. Strategi kemudian dituangkan ke dalam bentuk yang lebih konkret yaitu taktik. Taktik mengidentifikasikan dan menghubungkan program kampanye dengan sasaran melalui media komunikasi tertentu, taktik juga meyakinkan sasaran melalui kekuatan pesan komunikasi hingga membuat publik sasaran berpikir, percaya, dan bertindak, sesuai dengan tujuan program kampanye. f. Alokasi waktu dan sumber daya Dalam tahap ini, pelaku kampanye menentukan rentang waktu kampanye dan kegiatan yang akan dilakukan dalam kurun waktu tersebut serta mengidentifikasi sumber daya yang dibutuhkan. g. Evaluasi dan tinjauan Evaluasi berperan penting untuk mengetahui sejauh mana pencapaian yang dihasilkan kampanye. Hasil evaluasi dari program yang dilakukan dapat menjadi tinjauan untuk program kampanye berikutnya. Rose (2005:67) mengilustrasikan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan kampanye dalam Campaign Planning Star yang terdiri dari ambition, actors, obstacles and players, social weather conditions, communication desires, dan campaign assets. Rose mengungkapkan, pelaku kampanye harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam merencanakan sebuah kampanye. 18 a. Ambition : apa yang ingin dicapai dalam hal perubahan (baik untuk masalah secara langsung, dan dalam hal mengubah potensi, atau konteks, untuk meningkatkan kemungkinan perubahan jangka panjang). b. Actors, obstacles and player : analisis situasi dari aktor, hambatan, dan pemain atau pemegang peranan dalam isu yang berhubungan dengan kampanye. c. Social weather conditions : bagaimana hal-hal berubah dalam masyarakat dan bagaimana kita berpikir mereka akan berubah di masa depan. d. Communication desires : apa yang ingin dikomunikasikan sebagai individual atau organisasi. e. Campaign assets : sarana yang digunakan untuk melaksanakan kampanye baik sosial, material, keuangan, intelektual dan sumber daya lainnya, termasuk kapasitas intelijen dan alat-alat kampanye khusus. Ambition : what we want to achieve (objective) Campaign assets Actors, Obstacles Interests Campaign concept Communication desires Social weather conditions – how change is happening Bagan 1.4 Campaign Planning Star (Rose, 2005:67). 2. Pelaksanaan Tahap pelaksanaan kampanye merupakan penerapan dari konstruksi rancangan program yang telah ditetapkan sebelumnya. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam tahap pelaksanaan meliputi : 19 a. Realisasi unsur-unsur pokok kampanye, terdiri atas perekrutan dan pelatihan personel kampanye, mengonstruksi pesan, menyeleksi penyampai pesan kampanye, dan menyeleksi saluran kampanye. b. Menguji coba rencana kampanye, hal ini diperlukan untuk uji coba terhadap suatu rancangan yang dilakuan untuk menyusun strategi yang paling sesuai untuk situasi yang dihadapi serta untuk memperoleh gambaran tentang respon awal publik sasaran terhadap pesan kampanye. c. Pemantauan pelaksanaan, dilakukan agar segala tindakan kampanye tidak keluar dari arah yang ditetapkan. d. Pembuatan laporan kemajuan, dalam laporan kemanjuan umumnya dimuat berbagai data dan fakta tentang berbagai hal yang telah dilakukan selama masa kampanye. Menurut Hallahan (2011:3), selama fase implementasi manajer kampanye harus memantau kemajuan untuk memastikan proyek/hasil yang dicapai dan tenggat waktu terpenuhi, menjamin kualitas pesan kampanye dengan memastikan pesan tersebut sesuai dengan yang diterima praktek dan prinsip-prinsip umum komunikasi yang efektif, serta memilih media tertentu berdasarkan kesesuaian media dan efisiensi untuk mencapai hasil yang diinginkan dibandingkan dengan semua pilihan lainnya. Fairley dan Balkwill (2011:12) mengungkapkan, pelaksanaan kampanye dapat berbeda dari perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Berdasarkan kutipan “No campaign plan survives first contact with the opponent” menunjukan bahwa perencanaan kampanye hanya dapat bertahan hingga kontak pertama dengan lawan. Artinya, selalu ada penyesuaian rencana setelah kampanye dilaksanakan. Maka dari itu pelaku kampanye perlu melakukan “Plan, Act, and Evaluate” terus menerus untuk menyesuaikan rencana dengan kondisi yang berubah-ubah. 3. Evaluasi Evaluasi adalah komponen terakhir dalam kampanye berisi upaya sistematis untuk menilai berbagai aspek yang berkaitan dengan proses pelaksanaan dan pencapaian tujuan kampanye. Menurut Solomon dan Cardillo 20 (1985:66) terdapat dua jenis evaluasi dalam kampanye yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. a. Evaluasi Formatif Evaluasi formatif adalah evaluasi untuk meninjau proses perencanaan dan pelaksanaan kampanye. Riset formatif penting dalam proses perencanaan kampanye karena membantu dalam membuat, menguji, dan memperbaiki pesan kampanye dan membantu pelaku kampanye memahami apakah kampanye telah menjangkau publik sasaran, serta mengetahui dampak dari setiap media kampanye yang digunakan. b. Evaluasi Sumatif Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang bertujuan untuk mengukur apakah tujuan kampanye tercapai sesuai dengan objektif yang telah ditentukan sebelumnya. Menurut Coffman (2002:13) terdapat empat jenis evaluasi yaitu: a. Formative : Evaluasi yang dilakukan untuk menilai kekuatan dan kelemahan strategi kampanye sebelum atau selama pelaksanaan. b. Process : Evaluasi yang dilakukan untuk memeriksa pelaksanaan kampanye dan bagaimana kegiatan terlaksana. Mengukur usaha dan output langsung kampanye, misalnya apa dan berapa banyak yang dicapai. c. Outcome : Bertujuan mengukur efek dan perubahan yang dihasilkan dari kampanye. Menilai hasil dalam publik sasaran atau masyarakat yang datang sebagai hasil dari strategi dan kegiatan kampanye. d. Impact : Mengukur perubahan pada masyarakat atau hasil jangka panjang yang dicapai sebagai hasil dari efek kampanye pada perilaku individu dan keberlanjutan perilaku ini. Gregory (2004:140) mengemukakan lima alasan penting mengapa evaluasi perlu dilaksanakan, yaitu evaluasi dapat memfokuskan usaha yang dilakukan, evaluasi menunjukan keefektifan pelaksana kampanye dalam merancang dan mengimplementasikan programnya, evaluasi memastikan efisiensi biaya, evaluasi membantu pelaksana untuk menetapkan tujuan secara realistis, jelas dan terarah, dan evaluasi membantu pertanggungjawaban pelaku kampanye. 21 Poin utama dari penjelasan di atas adalah bahwa dalam sebuah kampanye umumnya terdiri dari tiga tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Dalam tahap perencanaan, pelaku kampanye harus mempersiapkan rancangan yang berisi analisis, tujuan, publik, pesan, strategi, taktik, waktu, sumber daya, dan evaluasi yang akan digunakan sebagai peta pelaksanaan kampanye. Dalam tahap pelaksanaan, pelaku kampanye harus memastikan bahwa realisasi kegiatan kampanye telah sesuai dengan rencana yang telah dibuat tanpa mengabaikan penyesuaian yang perlu dilakukan sesuai dengan kenyataan di lapangan. Dalam tahap evaluasi, penilaian terhadap implementasi kampanye dilakukan. Tidak hanya setelah kampanye berakhir, evaluasi kampanye juga dapat dilakukan ketika kampanye masih berlangsung untuk memastikan agar kampanye berjalan dengan fokus. 5. Anak Muda dan Partisipasi Politik Anggapan bahwa anak muda memiliki pengaruh besar di masyarakat membuat kajian mengenai anak muda kerap dilakukan. Kajian-kajian tersebut umumnya menilik hubungan anak muda dengan berbagai hal seperti psikologi, kesehatan, media, budaya populer, hingga politik. Meskipun begitu, definisi anak muda sendiri masih dimaknai beragam. Dalam bahasa Inggris dikenal kata youth dan young people untuk istilah anak muda. Di Indonesia, anak muda memiliki beberapa padanan kata yaitu pemuda dan kaum muda. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan, pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun. Sedangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan anak muda sebagai orang yang berusia 15 sampai 24 tahun. Pengertian ini digunakan untuk tujuan statistik dan tidak berarti menyalahkan definisi lain yang dimiliki oleh negara anggotanya. UNESCO, badan khusus PBB yang menangani masalah pedidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan menyebutkan bahwa anak muda dipahami sebagai masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa yang ditandai dengan 22 kemandirian dan kesadaran akan saling ketergantungan sebagai anggota masyarakat. Anak muda merupakan sebuah istilah yang dimaknai lebih dari sebuah batasan usia. Istilah anak muda dapat berubah seiring dengan perubahan keadaan demografi, ekonomi, sosial dan budaya. Pendapat ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Wyn dan White (1997:3) bahwa definisi anak muda dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, budaya, dan ekonomi sebuah masyarakat dan juga ditentukan oleh gender, kelas, kasta, ras, tingkat pendidikan, atau etnisitas seseorang. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, anak muda memang dapat dimaknai beragam sesuai dengan konteks serta kondisi dimana anak muda berada. Selain ada pada masa transisi usia, anak muda berada pada masa mempelajari nilai-nilai yang terdapat pada masyarakat agar mengetahui nilai dan norma yang harus diikuti. Dalam hubungan sosial, fase anak muda ditandai dengan hubungan ke masyarakat yang lebih luas. Hubungan ini menempatkan anak muda dalam struktur sosial yang lebih besar. Widada dan Hasibuan (2008:110-111) berpendapat bahwa pemuda baik dari perspektif sosiologis, biologis, politik, demografis dan historis memiliki makna yang signifikan. Kalangan muda dianggap memiliki posisi strategis dalam perkembangan bangsa. Dari perspektif sosiologis, keberadaan anak muda merupakan kelompok sosial yang menduduki peran dan posisi intermediasi antargenerasi. Ditinjau dari perspektif biologis, kalangan muda merupakan fase pertumbuhan biologis yang sangat menentukan. Kualitas Human Development Index (HDI) anak muda dapat menjadi salah satu indikator bagaimana kualitas sebuah bangsa ke depan. Dilihat dari perspektif politik, anak muda memiliki karakter dinamika pemikiran politik yang dinamis, responsif, dan memiliki sensitivitas terhadap fase perubahan politik. Proses pembelajaran dan pengalaman berinteraksi dengan kehidupan politik yang telah, sedang, dan akan dialami oleh anak muda dapat melahirkan dorongan perubahan politik yang luar biasa. Dilihat dari segi demografis, saat ini jumlah anak muda di Indonesia merupakan yang terbesar dari kelompok usia yang lain. Kondisi demografis ini dapat menjadi potensi dalam mendorong pembangunan. Terakhir, ditinjau dari 23 perspektif historis, setiap fase perubahan sejarah di berbagai belahan dunia tidak lepas dari peran anak muda. Selain memiliki pengaruh signifikan, anak muda dilihat sebagai orang yang pada masa mendatang akan memiliki peran dalam masyarakat. Hal tersebut menegaskan bahwa anak muda memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek di masyarakat. Di Indonesia, studi terhadap anak muda dilakukan melihat jumlahnya yang besar dan perkembangannya dari segi demografis. Anak muda di Indonesia sebagai negara demokrasi, melahirkan perubahan yang dramatis dalam kehidupan sosial. Sepanjang abad dua puluh, anak muda menjadi agen dari protes sosial yang mengarah pada transformasi sosial dan politik di Indonesia (Nilan dan Parker, 2013:16). Namun meskipun dianggap memiliki pengaruh dalam masyarakat, John Munci dalam Mayers (2007:39) menyebutkan bahwa ketika istilah anak-anak dan dewasa dimaknai secara netral, istilah anak muda sering dikaitkan dengan gambaran kebebasan yang tidak terkontrol, tidak bertanggung jawab, kevulgaran, kelalaian, dan ketidakdewasaan. Stigma yang cenderung negatif pada anak muda juga terjadi berkaitan dengan isu politik. Anak muda kerap dianggap apatis isu politik bahkan Iyengar dan Jackman (2003:1) berpendapat bahwa kelompok anak muda merupakan kelompok yang paling berjarak dari peristiwa pemilihan umum. Menurut keduanya, hal ini dipengaruhi oleh dua jenis faktor: siklus kehidupan dan lingkungan politik anak muda. Pada masa muda terjadi banyak transisi dalam siklus kehidupan yang menyita perhatian. Misalnya berpindah tempat tinggal, mulai mengenal hubungan di luar keluarga, pengalaman kuliah hingga proses mencari pekerjaan. Faktor kedua yaitu lingkungan politik yang pada umumnya anak muda dianggap belum memiliki keterikatan dengan perjanjian politik. Studi mengenai anak muda dan politik yang telah dilakukan banyak menyoroti bentuk partisipasi politik mereka sebagai warga negara. Partisipasi politik mengacu pada berbagai kegiatan yang dirancang untuk mempengaruhi pemerintah. Termasuk semua bentuk 24 keterlibatan warga dalam mengungkapkan pendapat politik mereka pada pengambil keputusan politik. Budiarjo (2008:367) dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik medefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Partisipasi politik mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan contacting dan lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau suatu gerakan sosial. Sedangkan menurut Surbakti (2007:180) partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Di negara yang menganut sistem demokrasi, partisipasi politik dari masyarakat merupakan wujud dari paham bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Namun faktanya tidak semua warga negara ikut serta dalam proses politik. Terdapat beragam faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi seseorang dalam proses politik, di antaranya adalah kesadaran politik dan kepercayaan seseorang pada pemerintah dan sistem politik (Surbakti, 2007:185). Partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat umumnya terdorong oleh keyakinan bahwa tindakannya tersebut mempunyai efek politik. Sebagai contoh, kepentingan masyarakat dapat tersalurkan atau mempengaruhi suatu kebijakan. Nimmo (2000:131) menjabarkan tipe partisipasi politik menjadi dua yaitu partisipasi dalam pemilihan umum dan partisipasi bukan dalam pemilihan umum yang dijabarkan sebagai berikut: 1. Partisipasi dalam pemilihan umum, terdiri dari: a. Identifikasi dengan partai politik b. Pandaftaran untuk memilih c. Pemberian suara dalam pemilihan umum d. Pengambilan bagian dalam kampanye 2. Partisipasi bukan dalam pemilihan umum, terdiri dari: a. Mengikuti informasi tentang politik b. Masuk organisasi kepentingan umum dan politik 25 c. Menghubungi perjabat pemerintah Partisipasi politik yang rendah dianggap sebagai tanda bahwa banyak masyarakatnya yang tidak menaruh perhatian pada proses politik di negaranya. Bentuk partisipasi politik yang paling mudah diukur adalah perilaku warga negara dalam pemilihan umum, antara lain melalui perhitungan presentase orang yang menggunakan hak pilihnya (voter turnout) dibandingkan dengan jumlah seluruh warga negara yang berhak memilih (Budiarjo, 2008:375). Namun angka partisipasi pemilihan umum bukan semata-mata menjadi tolak ukur partisipasi politik di suatu negara. Nimmo (2000:146) menjelaskan bahwa keterlibatan seseorang dalam politik dipengaruhi oleh peluang resmi, sumber daya sosial, komunikasi politik, susunan tanggapan, dan motivasi personal. Peluang resmi merupakan ketentuan dan perundang-undangan konstitusional lainnya yang mempengaruhi seseorang berpartisipasi dalam politik, misalnya ketentuan pemilihan umum dan pemilihan anggota parlemen. Komunikasi politik berisi pesan tentang politik yang menerpa individu. Sumber daya sosial berkaitan dengan kelas sosial seseorang yang menentukan kategori pekerjaan, pendapatan, hingga pendidikan. Susunan tanggapan berkaitan dengan pertimbangan untuk mengambil bagian atau tidak. Motivasi personal berkaitan dengan alasan individu untuk perperan serta dalam politik. Nimmo (2000:146) menggambarkan hal-hal yang berpengaruh terhadap partisipasi politik ke dalam bagan berikut: Peluang resmi Sumber daya sosial Proses Komunikasi politik Interpretasi Susunan tanggapan Personal Motivasi personal Bagan 1.5 Pengaruh Terhadap Partisipasi Politik Menurut Nimmo (2000:146). 26 Partisipasi politik erat kaitannya dengan kesadaran politik. Hanya saja seseorang tidak dilahirkan dengan kepercayaan, nilai, dan penghargaan terhadap politik dengan sendirinya. Hal tersebut diperoleh melalui proses belajar politik atau disebut juga dengan sosialisasi politik. Nimmo (2000:101) memaparkan dua tipe pengalaman yaitu belajar langsung dan tidak langsung. Melalui belajar langsung, orang memperoleh orientasi politik dengan: 1) meniru pikiran, perasaan, dan tindakan orang yang mengadakan hubungan dengan dirinya, seperti ketika seorang anak mengikuti pilihan politik orang tuanya: 2) mengantisipasi apa yang diharapkan orang lain dalam situasi tertentu: 3) pendidikan langsung, seperti ketika seorang mahasiswa belajar politik di kelas kewarganegaraan: 4) pengalaman langsung, seperti ketika anak muda terlibat langsung dalam suatu kampanye. Sedangkan belajar tidak langsung adalah cara yang dihasilkan dari pengalaman personal dengan pengganti orang, objek, atau peristiwa bukan dari pengalaman langsung dengan orang, tempat, atau objek. Masih menurut Nimmo (2000:110) terdapat dua saluran utama komunikasi interpersonal yang membantu seseorang belajar politik, yaitu keluarga dan lingkungan yang terdiri atas kelompok sebaya. Selain dua saluran utama tersebut, sekolah dan media massa juga memiliki peran dalam pendidikan politik. Meskipun berbagai studi tidak sepakat mengenai bagaimana eratnya asosiasi antara penggunaan media massa dan tingkat pengetahuan politik, yang menjadi konsensus ialah bahwa terpaan media massa, dalam hal ini televisi dan surat kabar, mempunyai hubungan positif dengan jumlah informasi tentang politik yang dimiliki oleh anak muda. Kembali ke hubungan anak muda dan politik, Wring, Weinstein, dan Henn (2002:168) menyebutkan bahwa riset-riset yang pernah dilakukan selalu menunjukkan bahwa persentase anak muda yang menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum selalu lebih kecil dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih tua. Fenomena ini memperkuat pandangan bahwa anak muda cenderung memiliki kesadaran politik yang rendah terlihat dari tingkat partisipasi politiknya. 27 Saat ini bentuk partisipasi politik semakin beragam seiring dengan perkembangan media baru. Bentuk partisipasi politik yang sederhana seperti memberikan pendapat tentang isu politik kini dapat dilakukan secara online. Meskipun masih sedikit studi yang meneliti bagaimana media baru benar-benar digunakan untuk kepentingan politik, praktik penggunaan media baru sebagai sarana berpartisipasi dalam politik telah berjalan. Kahne dan Middaugh (2012:52-53) menamai fenomena penggunaan media baru oleh anak muda untuk terlibat dalam politik disebut dengan istilah participatory politic atau politik partisipatif. Politik partisipatif tidak sama dengan aktivitas politik tradisional karena bersifat interaktif, dipengaruhi oleh lingkaran pertemanan, dan tidak ditentukan oleh instistusi politik tradisional seperti partai politik. Penggunaan media baru oleh anak muda dapat menjadi jawaban pada kekhawatiran menurunnya partisipasi politik dan bentuk aktivitas politik tradisional di kalangan anak muda. Internet dapat memfasilitasi anak muda untuk berpartisipasi dalam politik dengan pendekatan yang baru. Anak muda dapat membuat kontennya sendiri, berinteraksi dalam jaringan sosial yang lebih luas, hingga lebih mudah dalam berbagi informasi dan pendapat mengenai isu politik (Vissers dan Stolle, 2014:940). Tidak mengesampingkan bentuk partisipasi politik tradisional, bentuk-bentuk dari partisipasi politik melalui media baru ini membuat anak muda bisa merasakan bahwa mereka dapat mempengaruhi keputusan politik dengan cara yang lebih efektif. F. Kerangka Konsep Penelitian ini hendak mengkaji manajemen kampanye sosial yang bertujuan untuk mendorong partisipasi politik anak muda khususnya dalam pemilihan umum. Menurut Rogers dan Storey dalam Venus (2004:7), kampanye adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu. Kampanye komunikasi dimaksudkan untuk menghasilkan hasil tertentu dalam jumlah 28 individu sasaran yang relatif besar, dalam waktu tertentu, dan melalui kegiatan komunikasi yang terorganisir (Littlejohn dan Foss, 2009:87). Maka dari itu, manajemen kampanye merupakan titik awal agar sebuah kampanye mencapai tujuan. Littlejohn dan Foss (2009:87) membagi tiga fase pokok kampanye menjadi planning, implementation dan evaluation. Seluruh proses pengelolaan kegiatan kampanye yang terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan sumber daya yang ada guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan disebut dengan istilah manajemen kampanye. Secara singkat, dalam tahap perencanaan, pelaku kampanye harus mempersiapkan rancangan yang berisi analisis, tujuan, publik, pesan, strategi, taktik, waktu, sumber daya, dan evaluasi yang akan digunakan sebagai peta pelaksanaan kampanye. Dalam tahap pelaksanaan, pelaku kampanye merealisasikan unsur-unsur pokok kampanye, melakukan pengawasan, hingga membuat laporan kegiatan kampanye. Dalam tahap evaluasi, penilaian terhadap implementasi kampanye dilakukan, baik terhadap proses maupun hasil kampanye. Dalam mengelola kampanye pelaku kampanye harus memperhatikan publik sasaran dan tujuan kampanye. Dalam penelitian ini, peneliti memutuskan untuk melihat kampanye Ayo Vote sebagai kampanye sosial dilihat dari tujuan kampanyenya. Pada kampanye sosial, bukan produk maupun kandidat yang dipromosikan, melainkan pelaku kampanye meminta audiens untuk terlibat atau mengubah perilaku. Kampanye sosial berorientasi pada tujuan-tujuan bersifat khusus dan seringkali berdimensi pada suatu perubahan sosial, kampanye ini bertujuan untuk menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik terkait. Maka dari itu, berdasarkan tujuan Ayo Vote yaitu mengajak anak muda untuk berpartisipasi politik dengan memberikan suara dalam pemilihan umum, konsep kampanye sosial dirasa sesuai digunakan dalam penelitian ini. Partisipasi politik menurut Budiarjo (2008:367) adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, 29 antara lain dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Partisipasi dalam politik sendiri menurut Nimmo (2000:131) terdiri atas dua tipe yaitu partisipasi dalam pemilihan umum dan partisipasi bukan dalam pemilihan umum. Partisipasi dalam pemilihan umum yang diteliti paling luas adalah pengambilan bagian dalam pemilihan umum dengan pemberian suara. Sedangkan partisipasi politik sendiri dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya peluang resmi, sumber daya sosial, komunikasi politik, susunan tanggapan, dan motivasi personal (Nimmo, 2000:146). Faktor-faktor tersebut akan saling berpengaruh dalam mendorong seseorang untuk terlibat dalam politik. Anak muda sebagai publik sasaran dari kampanye yang dilakukan Ayo Vote, dimaknai sebagai masa transisi antara anak-anak dan dewasa. Publik sasaran adalah titik tolak dalam sebuah kampanye karena akan membimbing pelaku kampanye dalam menentukan pesan dan saluran kampanye. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan, pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun. Keunikan anak muda sebagai publik sasaran kampanye ini kembali lagi pada pandangan bahwa anak muda adalah kelompok yang apatis terhadap isu politik. Padahal, Widada dan Hasibuan (2008:110-111) berpendapat bahwa anak muda dianggap memiliki posisi strategis dalam perkembangan bangsa. Anak muda berada dalam fase memasuki hubungan masyarakat yang lebih luas dan menempatkan anak muda dalam struktur sosial yang lebih besar. Hal ini akan berhubungan dengan keterlibatan anak muda dalam politik, karena menurut Nimmo (2000:110) terdapat dua saluran utama komunikasi interpersonal yang membantu seseorang belajar politik, yaitu keluarga dan lingkungan yang terdiri atas kelompok sebaya. Selain dua saluran utama tersebut, sekolah dan media massa juga memiliki peran dalam pendidikan politik. Kampanye Ayo Vote dilatarbelakangi oleh adanya anak muda yang masih apatis dalam proses politik di Indonesia. Padahal, anak muda Indonesia 30 memiliki posisi yang sangat strategis pada Pemilihan Umum 2014. Dengan jumlahnya yang besar, anak muda dapat menjadi penentu kemenangan partai politik atau kandidat. Di sinilah letak peran pendidikan politik untuk menyediakan informasi yang membantu anak muda menyadari perannya dalam politik dan menentukan sikapnya berkaitan dengan partisipasi politik. Peran pendidikan politik itulah yang diambil oleh Ayo Vote melalui kampanyenya. Berdasarkan konsep di atas, penelitian ini menekankan fokus pada ketiga tahap dalam manajemen kampanye yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dengan memperhatikan tujuan dan publik sasaran kampanye dalam melihat fenomena penelitian. Tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi menggunakan acuan penjabaran dari Venus (2004:143-219). Penelitian ini hendak melihat apakah kampanye Ayo Vote melewati tahap-tahap dalam manajemen kampanye tersebut demi mencapai kampanye yang efektif. Kerangka konsep penelitian ini dijabarkan dalam bagan berikut: 31 Kampanye Ayo Vote Publik sasaran : Anak muda Tujuan : Partisipasi politik Manajemen Kampanye Perencanaan 1. Analisis masalah 2. Penyusunan tujuan 3. Identifikasi dan segmentasi sasaran 4. Menentukan pesan 5. Strategi dan taktik 6. Alokasi waktu dan sumber daya 7. Evaluasi dan tinjauan Pelaksanaan 1. Realisasi unsur-unsur pokok kampanye, terdiri atas: perekrutan dan pelatihan personel kampanye, mengonstruksi pesan, menyeleksi penyampai pesan kampanye, dan menyeleksi saluran kampanye. 2. Menguji coba rencana kampanye 3. Pemantauan pelaksanaan 4. Pembuatan laporan kemajuan Evaluasi 1. Evaluasi Formatif 2. Evaluasi Sumatif Bagan 1.6 Kerangka Konsep Penelitian. 32 G. Metodologi 1. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengambil pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif menyajikan satu gambar yang terperinci tentang satu situasi khusus, keadaan sosial, atau hubungan (Silalahi, 2010:27). Penelitian deskriptif dimaksudkan sebagai upaya eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena sosial, tanpa mempersoalkan hubungan antarvariabel dan sekedar melukiskan atau menggambarkan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti (Faisal, 2007:18). Penelitian deskriptif dinilai mampu menjawab permasalahan dalam penelitian ini untuk menjelaskan manajemen kampanye sosial yang dilakukan Ayo Vote dalam mendorong partisipasi anak muda Indonesia pada Pemilihan Umum 2014. Metode penelitian yang digunakan merupakan metode studi kasus. Studi kasus merupakan tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif (Faisal, 2007:22). Menurut Yin (2003:11), studi kasus digunakan untuk melacak peristiwa-peristiwa kontemporer, bila peristiwa-peristiwa yang bersangkutan tidak dapat dimanipulasi. Studi kasus digunakan bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why. Studi kasus lazimnya dihubungkan dengan penyelidikan intensif terhadap sebuah lokasi, organisasi atau kampanye (Holloway dan Daymon, 2008:161). Maka dari itu, metode studi kasus sesuai digunakan untuk menggali objek dalam penelitian ini yaitu kampanye yang dilakukan gerakan Ayo Vote. 2. Objek Penelitian Lokus dari penelitian ini adalah sebuah gerakan bernama Ayo Vote yang memiliki tujuan untuk mengajak anak muda Indonesia berpartisipasi pada Pemilihan Umum 2014. Lokus tersebut menarik bagi peneliti karena Ayo Vote merupakan gerakan pertama di Indonesia yang memfasilitasi pendidikan politik melalui one-stop portal dengan target yang cukup spesifik yaitu anak muda. 33 Objek penelitian adalah manajemen kampanye meliputi proses perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi dari kegiatan yang dilakukan gerakan Ayo Vote dalam mendorong partisipasi anak muda pada Pemilihan Umum 2014 baik Pemilihan Umum Legislatif maupun Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Lingkup waktu untuk objek penelitian ini dibatasi sejak perencanaan kampanye Ayo Vote dilakukan hingga pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada Oktober 2014. Lingkup tersebut dipilih karena penelitian ini fokus pada kampanye Ayo Vote dalam mendorong partisipasi anak muda pada Pemilihan Umum 2014, meskipun gerakan Ayo Vote terus berjalan setelah pemilihan umum berlangsung. 3. Teknik Pengumpulan Data Menurut Yin (2003:101) terdapat enam jenis sumber data yang dapat digunakan dalam penelitian studi kasus, yaitu: dokumen, catatan arsip, wawancara, pengamatan langsung, pengamatan berperanserta, dan bukti fisik. Tidak semua sumber data harus digunakan dalam sebuah penelitian. Namun studi kasus yang baik akan menggunakan semakin banyak jenis sumber data. Jenis sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Wawancara Salah satu sumber penting dalam penelitian studi kasus adalah wawancara, yaitu mengumpulkan informasi secara lisan maupun tulisan dari narasumber (Yin, 2003:106). Dalam penelitian studi kasus, informan dapat merekomendasikan seseorang yang dirasa sesuai untuk diwawancarai (Yin, 2003:107). Cara ini mengadopsi teknik snowball sampling yaitu teknik penentuan sampel yang dilakukan dengan mendapatkan partisipan melalui partisipan yang lain (Holloway dan Daymon, 2008:251). Dalam penelitian ini, wawancara akan dilakukan dengan melibatkan informan yang memiliki peran dalam kegiatan kampanye Ayo Vote yaitu : 1. Pingkan Irwin sebagai Pemimpin Umum Ayo Vote 2. Disna Harvens sebagai Redaktur Ayo Vote 3. Dini Apriliana sebagai Relawan Ayo Vote 34 4. Adelia Anjani Putri sebagai Relawan Ayo Vote 5. Usep Hasan S. sebagai perwakilan dari Perludem (mitra Ayo Vote) Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan lewat tatap muka dan surat elektronik berdasarkan dengan pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya. b. Dokumen Menurut Yin (2003:101) dokumen informasi relevan untuk penelitian studi kasus. Dokumen dapat berupa surat-surat, memorandum, agenda kegiatan, kesimpulan rapat, pengumuman resmi, laporan peristiwa, dokumen administratif organisasi, hasil penelitian dan evaluasi komunitas, serta kliping artikel yang muncul di massa. Dokumen yang akan digunakan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah data-data tertulis yang dapat menjelaskan fenomena yang akan diteliti dan relevan dengan tema penelitian baik dari buku, jurnal, situs, surat kabar, dan arsip dari gerakan Ayo Vote seperti dokumen yang terkait dengan proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dari kegiatan yang dilakukan, artikel di www.ayovote.com, pengamatan pada akun media sosial Ayo Vote di Twitter, Facebook, dan YouTube, tulisan mengenai Ayo Vote di media massa dan dokumentasi acara-acara yang telah diadakan Ayo Vote. Berbagai data tersebut kemudian diidentifikasi dan dipelajari untuk mendapatkan informasi yang sesuai kebutuhan. 4. Teknik Analisis Data Analisis data terdiri atas pengujian, pengkatagorian, pentabulasian, ataupun pengombinasian kembali bukti-bukti untuk menunjuk proposisi awal suatu penelitian (Yin, 2005:133). Dalam penelitian ini teknik analisis data yang akan digunakan adalah penjodohan pola (pattern matching) yaitu data yang telah dikategorikan akan dicari kesesuaian pola antara data yang terkumpul atau yang didasarkan atas empiri dengan proposisi yang dibuat sebelumnya (Yin, 2012:16). 35 Kampanye yang dilakukan gerakan Ayo Vote dilakukan dalam bentuk online dan offline. Kampanye online dilakukan Ayo Vote melalui website www.ayovote.com dan media sosial Twitter, Facebook, dan YouTube. Sedangkan kampanye offline merupakan event tatap muka langsung yang dilakukan Ayo Vote berupa diskusi, seminar maupun lokakarya (workshop). Namun keduanya merupakan suatu kesatuan dan tidak dilakukan secara terpisah. Proses analisis data dimulai dengan reduksi data penelitian. Data yang diperoleh dari dokumen dan wawancara akan dipilih dan dipilah hingga menghasilkan data yang relevan dengan proses manajemen kampanye. Data tersebut diturunkan ke dalam tahapan yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Data serta analisis yang dihasilkan akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis guna memudahkan pemahaman hasil penelitian. Kesimpulan penelitian akan ditarik setelah melakukan analisis pada data yang telah dikategorikan dan dideskripsikan sesuai dengan kerangka pemikiran yang dibuat sebelumnya. 36