Haji dan Kesalehan Sosial

advertisement
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
Pusat Dokumentasi dan Jaringan Informasi Hokum Nasional
Jl.May .Jen. Sutoyo -Cililitan- Jakarta Timur
Somber: i<OMPAJ
Subjek:
HL//(d!i/1
IHariffgl: S'E/'11/ll / IC/ ..JEPT .;;20i..S
1 S'LA /YJ
-
HA J/
Hlm/Kol : ·vi
g
Bidang:
h -s
Haji dan Kesalehan Sosial
Oleh MUHAMMAD KHOLID ASYADULLOH
S
ejak 21 Agustus lalu
jemaah calon haji
Indonesia secara
bertahap mulai terbang
menuju tanah suci Mekkah. Gelombang migrasi
religius sesaat ini seharusnya mampu melahirkan
pribadi Muslim yang bertransformasi menjadi lebih saleh secara individual
ataupun sosial.
Sarna halnya dengan peristiwa
keagamaan lain, rukun Islam kelima ini mengandung makna
simbolik-metaforis tentang harmoni hubungan vertikal manusia
dengan Tuhan (habl min Allah)
serta hubungan horizontal antarmanusia (habl min al-nas).
Sayangnya, idealitas itu tidak
selamanya terwujud dalam keseharian setelah jemaah haji kernbali ke Tanah Air. Fenomena ini
secara mudah bisa ditangkap dari
keberadaan olok-olok masyarakat yang menyebut sosok haji
mabur (terbang, Jawa) sebagai
pelesetan untukjemaah yang sekadar terbang naik pesawat ke
Mekkah. Sindiran lain adalah hajingan sebagai pelesetan "bajingan", merujuk orang yang sudah
berhaji, tetapi masih berkutat dengan kemaksiatan.
Harus diakui, masyarakat
awam di negeri ini cukup lihai
dalam mengolah berbagai kata
menjadi berbagai pelesetan yang
ternyata sangat filosofis. Apa saja
· bisajadi bahan olok-olok, termasuk masalah konsekuensi sosial
kemabruran haji atau sebaliknya.
Diksi hajingan merupakan sindiran yang secara faktual menggambarkan adanya distorsi sosial
orang yang sudah berhaji, tetapi
kelakuannya tetap seperti preman dan bajingan.
Kosakata hajingan tentu tidak
lahir secara tiba-tiba, tetapi karena ada fenomena sekitar yang
mendukungnya. Ia bisa saja lahir
karena adanya jemaah haji yang
keberangkatannya ke Mekkah dilakukan dengan cara-cara manipulasi, korupsi, hingga menyerobot kuota orang lain. Meski
sama-sama sedikit kuantitasnya,
ia juga lahir dari keberadaan sosok yang tetap banyak mel<llrukan kemungkaran, baik sebelum
maupun sesudah berhaji.
Kemungkaran sosial
Potret hajingan juga bisa dilihat dari tetap semaraknya kemungkaran sosial meski jumlah
haji selalu bertambah setiap tahun. Coba hitung berapa banyak
para koruptor di Indonesia yang
notabene sudah melaksanakan
ibadah haji, termasuk berapa pula yang terjerat dalam kasus pidana lainnya. Meski belum ada
penelitian yang serius, fakta sosiologis menunjukkan adanya
orang yang sudah berhaji terlibat
dalam ragam tindak pidana. Tentu secara kuantitas jumlah dan
persentasenya tidak banyak, tetapi keberadaan mereka secara
kualitas cukup mengganggu.
Hajingan juga bisa dirujuk pada pelaku kejahatim yang menggunakan haji sebagai ·salah satu
alat mengelabui Tuhan agar
mencuci dosa-dosanya. Lihatlah
bagaimana koruptor menggunakan hasil kejahatannya untuk
keperluan haji, selain tentu saja
sedekah, zakat, umrah, dan
lainnya. Koruptor legendaris
Gayus Tambunan, misalnya,
memberikan testimoni miris ini
di pengadilan, bahwa uang hasil
korupsinya juga digunakan untuk
mendanai "proyek akhirat'',
membiayai umrah seorang hakim yang menangani perkaranya.
Ironisnya, dalam beberapa kasus, ketidakberesan moralitas juga berusaha menyeret -seret
Mekkah untuk dijadikan tameng.
Hampir dalam setiap kasus korupsi yang melibatkan elite negeri ini, selain lari ke beberapa
negara luar negeri, ternyata ada
juga yang menggunakan Mekkah
sebagai tempat berlindung. Baik
untuk mengulur-ulur proses hukum maupun membangun citra
sebagai orang saleh yang tidak
terlibat dalam tindakan pidana
Ibadah yang tidak membawa
efek daJam kehidupan sosial ada. lah fenomena yang jamak ditemui dalam keseharian umat Islam di Indonesia. Umat begitu
rajin menunaikan ibadah untuk
mengejar balasan yang bersifat
eskatologis (surga), tetapi melupakan keharusan dampak kebaikan dalam konteks kekinian dan
"kedisinian?'. Ragam doktrin Islam yang universal dipahami dan
dilaksanakan secara personal sehingga tidak punya implikasi signifikan dalam dinamika kehidupan sosial.
Agama didistorsi
Daya tangkap jangka pendek
(myopic) terhadap doktrin Islam
semacam inilah yang oleh Asmuni MTH diistilahkan dengan religiositas casing, yaitu sikap beragama yang cenderung menampakkan ·dimensi eksoteris dalam
bentuk praktik ritual, tetapi
mengabaikan dimensi esoterisnya yang mengharuskan bukti
sosial. Model keberagamaan ini
sudah tentu tidak berefek pada
kesalehan sosial karena ia mengabaikan agama sebagai sinaran
etik-moral bagi kerja perubahan
dalam masyarakat.
Eisa jadi penafsiran serampangan tentang "sifat" Tuhan
membuat mereka semakin "berani" bermaksiat, atau bahkan
--------------------------------------------------------------------------------------
Sambungan
Sumber:
Hariffgl:
malah yakin kesalahannya tetap
diampuni Tuhan. Pendistorsi
agama seperti ini tentu sangat
berbahaya karena mereduksi nilai luhur agama, termasuk keberaniannya "mengakali" Tuhan
dalam bentuk pseudo-agamis.
Apalagi dibuat modal untuk "menyuap" Tuhan dari hasil korupsi
dalam bentuk haji, umrah, sumbangan masjid, sedekah, dan lain-lain.
Berbagai tindakan distortif dalam manasik haji ini sudah tentu
membuat hubungan kausalitas
antara ritual dan kesalehan (sosial) semakin renggang. Padahal,
meminjam istilah Ali Shariati
(1993), ritual haji sesungguhnya
dipenuhi simbol-simbol semangat kemanusiaan yang luhur
dan fundamental. Pascahaji seyogianya mampu melahirkan kebaikan yang bersifat transendental-humanis dalam dimensi yang
luas dan sarat nilai-nilai kemanusiaan yang didasari oleh spirit
ilahiyah. Sekembalinya dari Mekkah, jemaah mestinya mampu
meningkatkan kualitas amal saleh, seperti kedermawanan, kerendahhatian, dan keadilan.
Ragam motivasijemaah membuat ibadah haji dimaknai heragam oleh jemaah, bahkan ada
yang berhenti pada pemahaman
yang formalistik dan simbolistik.
Sebagian besar mampu menangkap dan mengaplikasikan nilai-nilai
kemanusiaan-isoteris
yang dikandung haji dalam kehidupan sehari-hari, tetapi ada
pula yang gaga! memahaminya.
Di situlah mengapa ada haji mabrur, haji yang sekadar mabur,
hingga haji yang kurang ajar atau
hajingan. Allah a'lam bi al-sha-
wab.
MUHAMMAD KHOLID
ASYADULLOH
Peneliti Pascasarjana UIN
Sunan Ampel, Surabaya
Hlm/Kol:
Download