KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF ILMU

advertisement
KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF ILMU KEDOKTERAN
Kematian menjadi suatu fenomena yang selalu menarik untuk dibicarakan karena setiap
manusia pasti akan mengalaminya. Kematian merupakan bagian mutlak dalam sejarah manusia.
Meskipun fenomena kematian telah akrab dengan manusia, namun bukan hal yang mudah untuk
menentukan kapan kematian itu benar-benar terjadi sehingga memunculkan banyak keraguan
tentangnya. Di sisi lain juga memunculkan pertanyaan apakah kematian itu datang secara tibatiba atau ada tahapan-tahapan tersendiri yang dialami seseorang yang secara umum dapat
dipahami sebagai suatu proses menjelang kematian? Untuk menjelaskan persoalan ini ada
baiknya akan penulis kemukakan hasil observasi yang dilakukan oleh Elisabeth Kubler-Ross atas
orang-orang yang berada dalam proses menjelang kematian mereka dalam bukunya On Death
and Dying (1998).
Menurut Elisabeth Kubler-Ross (1998 : 48-134) terdapat lima tahapan yang dialami
seseorang ketika menjelang kematiannya. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
Tahap
Pertama
:
Penyangkalan
dan
Pengasingan
Diri
Reaksi pertama dari mereka yang menyadari bahwa penyakit mereka benar-benar akan
membawa pada kematian adalah suatu shock (keterkejutan) yang hebat. Setelah perlahan-lahan
mengatasi keterkejutan itu, biasanya mereka menyangkal, “Tidak, bukan aku, itu tidak mungkin
benar!” Penyangkalan awal ini berlaku, baik bagi mereka yang langsung diberitahu pada
permulaan sakit maupun bagi mereka yang menyimpulkannya sendiri. Penyangkalan, sekurangkurangnya penyangkalan parsial, dilakukan hampir oleh semua pasien, tidak hanya selama tahaptahap pertama menderita sakit atau setelah konfrontasi, tetapi sikap ini setiap kali muncul
kembali
pada
tahap-tahap
berikutnya.
Sebagaimana kita tidak dapat menatap matahari sepanjang waktu, kita pun tidak dapat
menghadapi kematian sepanjang waktu dengan hati yang pasrah.
Untuk sementara waktu pasien dapat mempertimbangkan kemungkinan kematiannya
dengan nalar, tetapi pada kesempatan lain dia menyingkirkan pertimbangan tersebut dan
menggantikannya dengan perjuangan untuk mempertahankan kehidupannya. Penyangkalan
biasanya menjadi pertahanan sementara dan akan segera disusul dengan sikap menerima,
meskipun tidak sepenuhnya. Fungsi penyangkalan sebagai suatu penahan setelah mengetahui
berita tak tersangka-sangka yang sangat mengejutkan itu. Penyangkalan ini membantu pasien
untuk menyadari diri atau menguasai diri sepenuhnya dan sesuai dengan perkembangan waktu
memunculkan sikap lain untuk mempertahankan diri secara tidak terlalu radikal.
Tahap Kedua : Marah Kalau tahap pertama yang berupa penyangkalan tidak dapat
dipertahankan lagi, maka biasanya diganti dengan perasaan marah, gusar, cemburu dan benci.
Pada tahap kemarahan ini, pasien menjadi sulit diatasi, baik oleh keluarga maupun oleh tenaga
medis. Sebab kemarahan ini terjadi di segala penjuru dan diproyeksikan kepada lingkungannya
yang seringkali dengan cara sembarangan tanpa alasan yang memadai pada saat-saat yang tidak
terduga. Para dokter dianggap tidak becus, mereka dicap tidak tahu pemeriksaan dan usaha mana
yang diperlukan, serta diet mana untuk diterapkan. Sering kali para perawat menjadi sasaran
kemarahan pasien. Mereka dianggap menahan pasien terlalu lama di rumah sakit atau tidak
menghormati berbagai keinginan pasien sesuai dengan kedudukan khususnya. Pendek kata, pada
tahapan ini, apa pun yang dilihat pasien akan menimbulkan keluhan dan kemarahan.
Tahap Ketiga: Tawar-Menawar Tahap ketiga ini tidak terlalu dikenal namun sebenarnya
sangat menolong pasien. Mungkin pasien tidak terlalu menyadari apa yang dilakukannya, tetapi
tahap ini sangat membantu pasien, meskipun hanya untuk sementara waktu. Bila pasien
menyadari bahwa dia tidak mampu lagi menghadapi kenyataan yang sangat menyedihkan pada
awal periode dan mengambil sikap marah terhadap orang lain serta memberontak kepada Tuhan
pada tahap kedua, boleh jadi dia kemudian mencoba mengupayakan jalan damai dengan
membuat suatu jenis perjanjian yang dirasa dapat menunda kejadian yang tidak diharapkan.
Keinginan pasien ini hampir selalu merupakan upaya untuk memperpanjang hidup. Kemudian
keinginan ini diperlembek dengan memohon berkurangnya hari-hari yang penuh penderitaan
atau dirasa tidak enak. Tawar-menawar merupakan usaha untuk menunda kematian dan dalam
tawar-menawar ini si pasien menjanjikan imbalan “hidup dengan lebih baik”, bahkan memberi
batas waktu bagi dirinya sendiri. Tawar-menawar biasanya dilakukan secara rahasia di hadapan
Tuhan, atau di sela-sela pembicaraan, atau di ruang imam, atau orang yang dipercaya dalam
hidup rohaninya.
Tahap Keempat: Depresi Bila pasien tidak mampu lagi menghindari penyakitnya, bila dia
terpaksa menjalani pembedahan atau masuk rumah sakit untuk perawatan, bila dia mulai
mempunyai symptom lain atau menjadi lemah dan kurus, maka dia tidak dapat tersenyum lagi.
Muncullah pada saat itu suatu perasaan kehilangan. Perasaan kehilangan ini mungkin
berhubungan langsung dengan penyakitnya. Mungkin pula perasaan kehilangan ini berhubungan
dengan akibat sakitnya. Tetapi yang paling terasa sebagai suatu kesedihan adalah kedukaan yang
mendalam karena dia harus bersiap-siap untuk berpisah dengan dunia seluruhnya untuk selamalamanya. Dia bersedih karena harus berpisah dengan orang-orang yang dicintainya, yang
menjadi pusat perjuangan hidupnya, dengan peran yang dimainkan di dalam kehidupan keluarga
maupun di masyarakatnya. Pada tahap ini, kalau dia diberi kesempatan untuk mengungkapkan
kesedihannya, akan lebih mudah bagi dia untuk menerima nasibnya dengan pasrah. Dia akan
berterima kasih kepada orang-orang yang dengan setia mendampinginya tanpa memberikan
nasehat untuk tidak bersedih. Pada tahapan ini, umumnya pasien lebih banyak berdiam diri.
Tahap Kelima: Menerima dan Pasrah Kalau seorang pasien sudah mempunyai cukup
waktu—misalnya tidak mengalami kematian mendadak—dan telah dibantu di dalam mengolah
langkah-langkah sebelumnya, dia akan sampai kepada tahap ketika dia tidak lagi merasa depresi
maupun marah terhadap „nasib‟nya. Dia akan selalu dapat mengekspresikan perasaan yang
sebelumnya, kecemburuannya terhadap mereka yang masih sehat, kemarahannya terhadap
mereka yang tidak harus menghadapi akhir hidupnya dengan segera. Dia akan mulai belajar
untuk menerima segala kehilangan orang-orang dan tempat yang berarti baginya yang segera
datang. Pada tahap ini si pasien merasa capek dan lemah. Dia sering tertidur. Namun tidurnya
tersebut berbeda dengan kebutuhan tidur selama waktu depresi dan duka. Tidur ini bukan
dimaksudkan untuk menghindari, atau sebagai kesempatan untuk istirahat dari rasa sakit, rasa
tidak enak atau rasa terganggu. Kegiatan tidur ini bukanlah suatu keputusasaan atau sikap
menyerah yang tanpa harapan atau sikap “aku sudah tidak bisa melawan lagi”, meskipun kadangkadang ungkapan macam itu terucap pula. Saat penerimaan ini tidak selalu berarti bahagia pula.
Tahap ini hampir kosong dari perasaan. Seolah-olah rasa sakit telah tiada, perjuangan sudah
selesai, dan tiba saatnya untuk “istirahat terakhir sebelum perjalanan panjang yang segera
dimulai.”
Apa yang telah dikemukakan oleh Elisabeth Kubler-Ross tersebut—sebagaimana yang
diakuinya sendiri—bukanlah sesuatu yang mutlak terjadi pada setiap orang. Namun secara
umum seseorang yang akan mengalami kematian sebagai akhir dari proses penderitaan akibat
penyakit yang menjangkitinya akan mengalami tahapan-tahapan semacam itu. Hal ini memang
lebih bersifat psikologis. Tetapi kondisi psikologis seseorang ketika dia mengetahui bahwa suatu
penyakit telah menjangkitinya akan sangat mempengaruhi cepat atau lambatnya kesembuhan
yang akan dia dapatkan. Sehingga hal ini juga akan mempengaruhi cepat atau lambatnya proses
kematian yang akan dia alami.
Penjelasan di atas memberikan jawaban atas persoalan seputar tahapan-tahapan yang
dialami seseorang menjelang kematian. Berkaitan dengan kematian itu sendiri, Tabrani Rab
(1985 : 1-2) mengatakan terdapat empat penyebab terjadinya kematian pada diri manusia yaitu :
berhentinya pernapasan, matinya jaringan otak, tidak berdenyutnya jantung, serta adanya
pembusukan
pada
jaringan
tertentu
oleh
bakteri.
Selanjutnya muncul persoalan lebih jauh yakni tentang kapan saatnya dinyatakan bahwa
seseorang telah mengalami kematian. Meskipun kematian merupakan hal yang fenomenal di
tengah kehidupan manusia, namun bukan hal yang mudah untuk memutuskan bahwa seseorang
telah mengalami kematian.
Pada masa lampau—menurut ahli sejarah berkebangsaan Perancis, Philippe Aries—orang
yang akan meninggal dunia secara resmi pamit kepada orang-orang yang dicintainya. Tetapi di
sisi lain saat kematian itu sering kali tidak pasti, sehingga bila seseorang sedang mengalami
kondisi tertentu yang secara umum dianggap mati, muncul keraguan apakah dia benar-benar
telah mengalami kematian. Maka sering kali peti jenazah dilengkapi dengan berbagai peralatan
teknis seperti selang untuk bernapas atau bel, sehingga orang yang dengan tidak sengaja dikubur
hidup-hidup dapat memberi tanda kepada orang lain (Shannon, 1995 : 56). Hal ini menunjukkan
betapa pada masa itu sangat sulit untuk menentukan kondisi kematian bagi seseorang, sehingga
menimbulkan keragu-raguan apakah seseorang itu telah benar-benar mati atau belum.
Lalu, di masa sekarang mudahkah untuk menentukan bahwa kematian telah dialami
seseorang? Ternyata tidak. Kemajuan ilmu dan teknologi telah menghasilkan berbagai peralatan
canggih dalam dunia kedokteran. Pengandaian yang sudah cukup lama dianut oleh banyak orang
bahwa, kematian dapat ditetapkan ketika jantung berhenti berdenyut dan pernafasan sudah tidak
ada lagi, pada masa sekarang ini sudah tidak bisa dijadikan tolok ukur. Dengan bantuan life
support system, orang yang pada masa lampau dianggap telah mati, bisa diyakinkan masih hidup,
atau setidaknya diperpanjang masa kehidupannya. Namun benarkah dia hidup atau hanya ilusif
belaka yang ditimbulkan oleh life support system itu. Boleh jadi, orang yang bernapas di
hadapan kita dengan bantuan life support system itu hanyalah mayat, yakni mayat yang bernapas.
Tentu hal ini akan menimbulkan persoalan tersendiri, apa tindakan yang harus diambil terhadap
mayat yang seperti itu? Maka terasa perlu adanya definisi yang bisa diterima secara universal
sebagai
tolok
ukur
untuk
menentukan
bilakah
seseorang
dinyatakan
telah
mati.
Robert M. Veatch dalam bukunya Death, Dying and the Biological Revolution, sebagaimana
yang dikutip oleh Shannon (1995 :58-60), mengemukakan empat pendekatan untuk
mendefinisikan kematian.
Empat
pendekatan
tersebut
adalah
sebagai
berikut
:
Pertama, berkaitan dengan jantung dan paru. Definisi ini mencerminkan pengertian tradisional
tentang kehidupan dan kematian. Karena napas dan darah merupakan bahan yang menandakan
kehidupan. Maka bila pernapasan dan aliran darah tidak terjadi lagi berarti kematian telah
menjadi kenyataan. Tetapi hal ini akan menjadi kabur karena pemakaian respirator.
Kedua, berkenaan dengan pemisahan tubuh dan jiwa. Definisi ini dilatarbelakangi oleh
perspektif filosofis dan religius. Manusia dipahami sebagai kesatuan tubuh dengan jiwa.atau
kesatuan tubuh dan bentuk. Jiwa atau bentuk menjiwai tubuh atau materi. Dari kondisi itu maka
tersusunlah makhluk unik yang disebut manusia. Kematian berlangsung bila dua unsur ini
dipisahkan. Kematian diartikan sebagai terputusnya kesatuan tubuh dengan jiwa. Definisi ini pun
menimbulkan
persoalan,
yakni
kapan
saat
terputusnya
kesatuan
itu.
Ketiga, kematian otak. Definisi ketiga berasal dari kriteria untuk koma ireversibel yang
ditetapkan oleh sebuah panitia ad hoc pada Harvard Medical School tahun 1968. Kriteria ini
adalah tidak sanggup menerima rangsangan dari luar dan tidak ada reaksi atas rangsangan, tidak
ada gerak spontan atau pernapasan, tidak ada refleks; dan situasi ini diteguhkan oleh
electroencephalogram (EEG). Menurut pandangan ini, otak adalah tempat terjadinya kematian,
karena otak adalah organ yang mengatur semua sistem organ lain dan merupakan dasar bagi
kehadiran sosial seseorang di dunia. Dengan kematian otak atau ketidaksanggupannya yang
ireversibel untuk berfungsi, maka prasyarat biologis bagi keberadaan seseorang sudah tersingkir.
Kematian seluruh otak (batang otak, cortex dan neocortex) berarti kematian manusia, karena
tanpa organ ini bagi manusia tidak mungkin mempertahankan integrasi biologisnya dan karena
itu
juga
integrasi
sosialnya.
Keempat, kematian neocortex. Bisa terjadi, khususnya dalam kasus koma ireversibel, bahwa
hanya batang otak seseorang yang masih aktif. Karena batang otak ini menjalankan sistem saraf
kita yang spontan, bisa saja orang itu masih spontan bernapas dan jantungnya masih berdenyut.
Menurut definisi ketiga tadi orang itu belum mati. Definisi keempat mencari jalan keluar dari
situasi ini dengan hanya menganggap neocortex sebagi dasar bagi definisi kematian. Neocortex
dipilih karena tampaknya merupakan prasyarat biologis bagi kesadaran dan kesadaran diri, yang
menandai manusia sebagai ciri khasnya.
Ilmu kedokteran modern telah mengembangkan cara yang lebih baik untuk menentukan
saat kematian, di antaranya dengan merekam kegiatan otak dengan menggunakan alat yang
disebut electroencephalogram (EEG). Bila gambar EEG kelihatan datar, berarti semua aktivitas
otak dianggap telah berhenti, maka orang yang bersangkutan dinyatakan mati. Tetapi, seringkali
orang dalam keadaan demikian masih bisa dihidupkan lagi, misalnya dalam kasus hypothermia
atau overdosis obat. Reanimation dan resuscitation dewasa ini sering dilakukan. Dalam dunia
kedokteran dikenal adanya kematian klinis, yakni keadaan yang di situ kegiatan pernafasan,
jantung dan reaksi otak kelihatan berhenti, tetapi resuscitation tidak dikesampingkan. Waktu
untuk resuscitation umumnya lima menit, dan di dalam kasus istimewa seperti hypothermia
diberi waktu tiga puluh menit. Tetapi lewat dari waktu itu akan terjadi kerusakan otak secara
total dan diikuti dengan kematian bilologis, yakni saat ketika sekurang-kurangnya otak sudah
kehilangan fungsinya secara permanen dan tidak dapat dihidupkan kembali. Kematian biologis
bersifat definitif: kehilangan fungsi vital dan rusaknya semua organ dan jaringan yang tidak
dapat direparasi lagi.
Dalam konteks Indonesia, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) telah
mengeluarkan pernyataan tentang mati. Dalam pernyataan tersebut dikemukakan antara lain
bahwa dalam tubuh manusia ada tiga organ penting yang selalu dilihat dalam penentuan
kematian seseorang yaitu jantung, paru-paru, dan otak—khususnya batang otak (Kabanga‟,
2002 : 160).
Jantung merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan
kematian seseorang. Bila jantung berhenti maka akan mengakibatkan berhentinya pernapasan.
Bila jantung berhenti bekerja maka pengedaran darah ke seluruh tubuh tidak akan berjalan dan
pada gilirannya seluruh organ manusia menjadi kaku. Kemudian paru-paru, oksigen dan
anoksemia bagian inilah yang menerimanya. Maka bila paru-paru ini berhenti bekerja, tidak ada
lagi yang menarik oksigen masuk ke dalam tubuh manusia, sementara oksigen merupakan
kebutuhan vital manusia untuk dapat bernapas. Otak dan segala syarafnya—menurut Soemiatno
(1986 : 467)—sangat peka terhadap kekurangan oksigen dan anoksemia. Di sinilah terdapat
hubungan yang erat antara otak dan paru-paru. Bila otak/batang otak mati, maka segala
syarafnya tidak dapat lagi bekerja secara otomatis, dan dengan demikian secara total tidak lagi
dapat berfungsi.
Gunawan dalam bukunya Memahami Etika Kedokteran (1992 : 46), mengutip PP No. 18
Tahun 1981, Bab 1 Pasal 1g yang menyebutkan bahwa meninggal dunia adalah keadaan insani
yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan dan atau
denyut jantung seseorang telah berhenti. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Sunatrio
menegaskan bahwa seseorang dinyatakan mati bila fungsi spontan pernapasan (paru-paru) dan
jantung telah berhenti secara pasti atau telah terbukti terjadi kematian batang otak (Sunatrio,
1987 : 132). Menurut Pontifical Academy of Sciences 1995, seseorang dinyatakan mati bila
secara ireversibel (berhentinya fungsi spontan secara total) dan dia kehilangan semua
kemampuan untuk memadukan dan mengkoordinasikan fungsi fisis dan mental tubuh (Sunatrio,
1987 : 140).
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa dalam perspektif ilmu kedokteran, kematian
terjadi bilamana fungsi spontan pernapasan (paru-paru) dan jantung telah berhenti secara pasti
(ireversibel) atau otak, termasuk di dalamnya batang otak, telah berhenti secara total. Dengan
demikian, kematian berarti berhentinya bekerja secara total paru-paru dan jantung atau otak pada
suatu makhluk.Namun demikian, selama proses meninggal dunia tetap berlangsung dalam
konteks teknologis, berbagai definisi ini akan tetap diperdebatkan. Banyaknya definisi tentang
mati memunculkan kesan yang tak terelakkan, yakni seolah-olah mati dari waktu ke waktu selalu
mengalami perubahan. Sementara di pihak lain, proses kematian sejak manusia pertama hingga
kini tidak pernah berubah sampai berakhirnya sejarah manusia. Maka sudah sewajarnya definisi
mati juga tidak berubah-ubah.
Download