7 TINJAUAN PUSTAKA Status, Kecukupan serta Masalah Gizi Pekerja Wanita Usia Subur (WUS) Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan makanan. Untuk memperoleh status gizi yang baik, seseorang memerlukan makanan yang seimbang yaitu yang mengandung zat gizi: karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air dalam jumlah yang cukup. Keenam macam zat gizi tersebut diperlukan manusia dalam jumlah yang berbedabeda tergantung tahap atau masa perkembangan hidupnya. Kekurangan atau kelebihan salah satu atau lebih zat gizi tersebut jika berlangsung lama akan menimbulkan masalah gizi atau malnutrition (Almatsir 2002). Pada Tabel 1 dapat dilihat angka kecukupan berbagai macam zat gizi untuk wanita di Indonesia. Tabel 1 Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk wanita per orang per hari Deskripsi Berat badan (kg) Tinggi badan (cm) Energi (Kal) Protein(g) Vitamin A (μg) Vitamin D (IU) Vitamin E (mg) Vitamin C (mg) Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Vitamin B-6 (mg) Vitamin B-12 (μg) Asam Folat (μg) Vitamin K (μg) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Magnesium (mg) Fluor (mg) Besi (mg) Mangan (mg) Seng (mg) Selenium (μg) Yodium (μg) Sumber: LIPI (2004) 16-8 tahun 50 150 2 200 55 600 5 15 75 1.1 1.0 14 1.2 2.4 400 55 1 000 240 1 000 2.5 26 1.6 14 30 150 19-29 tahun 52 156 1 900 50 500 200 15 75 1.0 1.1 14 1.3 2.4 400 55 800 240 600 2.5 26 1.8 9.3 30 150 30-49 tahun 55 156 1 800 50 500 200 15 75 0.9 1.1 14 1.3 2.4 400 55 800 270 600 2.7 26 1.8 9.8 30 150 8 Sebagaimana negara yang sedang berkembang, hingga kini Indonesia masih mengalami berbagai masalah gizi, khususnya gizi kurang yang terutama dialami oleh keluarga miskin. Secara khusus, terdapat empat masalah gizi utama yang masih dihadapi Indonesia yaitu gangguan akibat kurang iodium (GAKI), anemia gizi besi (AGB), kurang vitamin A (KVA), dan kurang energi dan protein (KEP). Masalah gizi yang banyak ditemui pada kelompok WUS 18-45 tahun adalah AGB (Atmarita 2005). Pertumbuhan WUS masih dipengaruhi oleh perubahan hormonal, kognitif, serta emosi. Pada masanya ini WUS memerlukan makanan dengan zat-zat gizi yang optimal agar pembentukan butir darah merahnya cukup. Bila konsumsi makanan tidak mencukupi, sehingga gizi yang dibutuhkan pun kurang, maka status gizinya akan terganggu. Hal ini berpengaruh pula pada menurunnya kebugaran tubuhnya apalagi jika sebagai pekerja, energi yang harus dikeluarkannya cukup banyak (Almatsier 2002). Menurut PKK Depkes RI (2004), para pekerja WUS selama ini kebanyakan lebih tergiur pada makanan yang sedang ngetren, yang sebagian besar tidak mengacu pada pola makan yang mencukupi asupan zat gizi optimal Selain itu, rendahnya upah yang diterimanya sering menjadi alasan mengapa untuk makan siangnya para pekerja wanita tersebut hanya membeli makanan kecil/jajanan yang tidak akan mampu memenuhi kebutuhan gizi mereka. Kondisi ini yang membuat mereka sulit memenuhi kebutuhan zat-zat gizi mikro, terutama zat besi sehingga mengakibatkan AGB. Besi dan Interaksinya dengan Zat Gizi Mikro yang Lain Zat gizi mikro dibutuhkan dan terdapat dalam jumlah yang sangat kecil di dalam tubuh namun memiliki peranan yang penting untuk kehidupan. Di antara keenam macam zat gizi, beberapa mineral dan semua jenis vitamin digolongkan ke dalam zat gizi mikro. Termasuk ke dalam golongan mineral mikro tubuh yang telah ditetapkan angka kecukupannya di Indonesia adalah besi (Fe), seng (Zn), selenium (Se), yodium (I), Fluor (F) dan mangan (Mn). Besi (Fe) merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan. Besi merupakan elemen kunci dalam metabolisme hampir semua organisme hidup. Pada manusia, besi merupakan komponen 9 penting dari ratusan protein dan enzim. Dalam bentuk padat, besi sebagai metal atau senyawa besi. Dalam larutan, besi ada dalam bentuk ferro dan bentuk ferri. Besi dalam bentuk senyawa dengan protein membentuk hemoglobin sebagai pembawa oksigen dalam darah. Sekitar 85% besi dalam tubuh ada dalam senyawa dengan protein dan sekitar 5% ada dalam protein otot juga ada dalam sel. Semua senyawa itu sangat vital untuk pernafasan sel dimana oksigen dan karbon dioksida bertukar. Sisanya digunakan dalam enzim. Besi dapat disimpan sementara dalam suatu bentuk larut protein plasma atau bentuk tak larut dalam hati (IOM 2001-FNB; Gibson 2005). Selain pada Hb, besi juga ditemukan pada mioglobin, hemosiderin, feritin serta sejumlah protein dan enzim (misalnya, enzim sitokrom e oksidasi). Kadar total besi dalam senyawa-senyawa tersebut sekitar 15-40 persen. Mioglobin juga berfungsi untuk mengangkut oksigen. Oksigen pada mioglobin juga terikat pada Fe++. Oksigen yang telah diangkut Hb dari paru-paru ke jaringan tubuh akan diberikan ke mioglobin. Mioglobin akan memberikan oksigen tersebut ke organel sel yang mengkonsumsi oksigen yaitu mitokondria. Oksigen pada mitokondria digunakan untuk proses oksidasi sehingga dihasilkan energi. Fungsi dan Metabolisme Besi Besi mempunyai fungsi penting seperti sebagai alat angkut oksigen, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Fungsi besi dalam senyawa besi sebagai hemoglobin, myoglobin, enzim diperlukan dalam fungsi metabolisme. Besi mengangkut dan menyimpan oksigen, mengangkut elektron mitokondria dan sintesis DNA. Total besi tubuh pada manusia adalah sekitar 3.8 g, pada wanita kurang lebih 2.3 gram (Vijayaraghavan 2009), adapun menurut Almatsier (2002) besi tubuh pada manusia dewasa mencapai 3-5 gram. Sebesar 60 sampai 80 persen besi dalam tubuh manusia terdapat pada Hb. Dalam tubuh, senyawa besi dikelompokkan menjadi dua yaitu (a) senyawa fungsional (esensial) dan berhubungan dengan fungsi enzimatik atau metabolik seperti hemoglobin (Hb), mioglobin, non heme enzim, transferin dan (b) senyawa besi yang berhubungan dengan transportasi dan penyimpanan. Alur perjalanan besi dalam tubuh dapat dilihat pada Gambar 1. 10 Fe dalam saluran cerna Fe diangkut Transferin mukosa Sel mukosa usus halus: Fe pindah ke alat transport transferin reseptor Kelebihan disimpan sebagai feritin Fe dalam alat transport transferin reseptor Fe dibawa darah oleh transferin Sebagian hilang dalam keringat, kulit, urin Kelebihan disimpan sebagai feritin & hemosiderrin Hati & limfa mengeluarkan Fe dari sel darah merah dan mengikatkan ke transferin Sebagian hilang melalui sel usus halus yang dibuang Sumsum tulang mengikatkan Fe ke Hb sel darah merah Menyimpan kelebihan sebagai metalotionin Sebagian hilang melalui darah Darah mengangkut Fe sebagai Hb sel darah merah Gambar 1 Skema perjalanan Fe di dalam tubuh (Whitney & Rolfes 1999) Dalam tubuh, besi disimpan dalam bentuk feritin atau hemosiderin dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Simpanan besi ada di hati, sumsum tulang yaitu sebagai feritin dan hemosiderin. Simpanan zat besi sebagai feritin dan hemosiderin sebanyak 30%, sumsum tulang belakang 30% dan selebihnya di dalam limfa dan otot. Dari simpanan besi tersebut hingga 50 mg sehari dapat dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti pembentukan Hb (IOM-FNB 2001; Almatsier, 2002). Feritin bersirkulasi dalam darah mencerminkan simpanan besi di dalam tubuh. Pengukuran feritin didalam serum merupakan indikator penting untuk menilai status besi. Jumlah besi dalam tubuh bervariasi dari 0-1000 mg dimana 11 jumlah pada wanita lebih rendah dari pria. Pada pria dewasa simpanan besi berkisar 500-1000 mg, sedangkan pada wanita dewasa lebih rendah dan jarang melebihi 500 mg. Banyak wanita di negara sedang berkembang tidak mempunyai cadangan besi karena ketersediaan biologis rendah dan sumber besi heme dalam makanan terbatas (O’ Brien et.al, 1999). Total besi pada manusia sangat bervariasi dengan berat badan, jenis kelamin, jumlah kompartemen simpanan besi dan konsentrasi Hb. mengandung Fe ++ Hemoglobin merupakan senyawa protein heme yang . Hemoglobin adalah senyawa yang paling banyak dan sangat mudah disampel dari protein-protein heme; diperkirakan berisi lebih dari 65% besi tubuh. Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen melalui aliran darah dari paru-paru ke jaringan tubuh yang lain. Dalam keadaan normal 100 ml darah mengandung 15 gram Hb. Jumlah tersebut dapat mengangkut 0,03 gram oksigen (Gibson 2005). Metabolisme besi termasuk unik karena kecilnya pertukaran besi dengan lingkungan setiap harinya. Hal ini tergambar dari hanya 1 mg yang harus diserap tubuh untuk mempertahankan keseimbangan besi karena ekskresi. Rangkaian metabolisme besi di dalam tubuh terdiri dari lima tahap yaitu penyerapan, transportasi, pemanfaatan/pengawetan, penyimpanan dan ekskresi. Pada Gambar 2 dapat dilihat skema metabolisme besi di dalam tubuh orang dewasa. Penyerapan besi dalam tubuh terjadi di bagian atas duodenum dengan bantuan alat angkut protein khusus. Dalam bahan makanan besi terdapat dalam bentuk besi-hem (seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani) dan besi-nonheme (dalam makanan nabati). Absorpsi besi hem dapat mencapai 25%, sedangkan besi-nonhem (ion besi) hanya 5%. Agar dapat diabsorpsi besi nonhem harus berada dalam bentuk terlarut. Di dalam lambung besi nonhem diionisasi oleh asam lambung, direduksi menjadi ferro dan dilarutkan dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula dan asam amino yang mengandung sulfur. Pada suasana pH hingga 7 di dalam duodenum, sebagian besar besi dalam bentuk ferri akan mengendap, kecuali dalam keadaan terlarut seperti di atas. Besi fero larut pada pH 7 sehingga dapat diserap. Taraf penyerapan besi diatur oleh mukosa saluran cerna yang ditentukan oleh kebutuhan 12 DESQUAMASI SEL-SEL Gambar 2 Skema metabolisme besi di dalam tubuh orang dewasa (Krause & Mahan 2004) tubuh. Transferin mukosa yang dikeluarkan ke dalam empedu berperan sebagai alat angkut protein yang berbolak-balik membawa besi ke permukaan sel usus halus untuk diikat oleh transferin reseptor dan kembali ke rongga saluran cerna untuk mengangkut besi lain. Di dalam sel mukosa besi dapat mengikat apoferitin dan membentuk feritin sebagai simpanan besi sementara dalam sel. Di dalam sel mukosa apoferitin dan feritin bergabung masuk melewati membran basoteral secara difusi dan siap untuk diabsorpsi melalui transpor aktif. Penyebaran (transpor) besi dari sel mukosa ke sel-sel tubuh berlangsung lebih lambat dibandingkan penerimaannya pada saluran cerna, bergantung pada simpanan besi dalam tubuh dan kandungan besi dalam makanan. Laju transpor besi diatur oleh jumlah dan tingkat kejenuhan transferin. Besi dilepaskan dari feritin dalam bentuk ferro masuk ke plasma darah, sedangkan apoferitin yang 13 terbentuk kembali akan bergabung lagi dengan ferri hasil oksidasi di dalam sel mukosa. Setelah masuk kedalam plasma, maka besi ferro segera dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang mengikat besi yaitu transferin. Plasma darah selain menerima besi yang berasal dari penyerapan makanan, juga menerima besi dari simpanan, pemecahan hemoglobin dan sel-sel yang telah mati. Plasma juga harus mengirim besi ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin, ke sel endothelial untuk disimpan, dan ke semua sel untuk fungsi enzim yang mengandung besi. Jumlah besi yang setiap hari yang diganti (turnover) sebanyak 20-25 mg per hari, di mana hanya sekitar 1 mg yang berasal dari makanan. Banyaknya besi yang dimanfaatkan untuk pembentukan hemoglobin umumnya sebesar 20-25 mg per hari. Pada sumsum tulang yang berfungsi baik, dapat memproduksikan sel darah merah dan hemoglobin sebanyak enam kali. Besi yang berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk feritin dan hemosiderin di dalam sel parenkhim hepatic, sel retikuloendotelial sumsum tulang, hati dan limfa. Ekskresi dari besi sebanyak 0,5-1,0 mg per hari, dikeluarkan bersama-sama urin, keringat dan fases. Dapat pula besi dalam hemoglobin keluar dari tubuh melalui perdarahan, menstruasi dan saluran urin. Sisanya dibawa ke bagian tubuh lain yang membutuhkan, sedangkan kelebihan besi yang dapat mencapai 200 hingga 1.500 mg disimpan sebagai protein feritin dan hemosiderin di dalam hati (30%), sumsum tulang belakang (30%) dan selebihnya di dalam limpa dan otot. Simpanan besi dapat mencapai 50 mg per hari yang dapat dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti membuat hemoglobin (Krause & Mahan 2004) Kebutuhan, Angka Kecukupan dan Sumber Besi Faktor yang mempengaruhi kebutuhan besi adalah keasaman lambung dan bioavailabilitas termasuk pemacu dan penghambat penyerapan besi nonheme. Menurunnya keasaman lambung karena berbagai sebab, misalnya konsumsi antasida berlebihan, dapat menghambat penyerapan besi. Vitamin C dan asam organik lain merupakan pemacu penyerapan besi nonheme. Adapun fitat, polyfenol, protein nabati dan kalsium merupakan penghambat penyerapan besi nonheme (IOM-FNB 2001). 14 Angka kecukupan besi pada kelompok wanita di atas 18 tahun adalah 26 mg/hari yang didasarkan pada tingkat penyerapan 10% dan estimated average requirement (EAR) = 14.6. Estimated average requirement (EAR) adalah rata-rata level intik zat gizi harian yang diduga memenuhi kebutuhan zat gizi dari setengah populasi sehat pada kelompok umur dan jenis kelamin tertentu. Untuk wanita menopause, karena tidak ada lagi kehilangan besi akibat menstruasi sehingga kecukupan besi adalah 12 mg/hari. Pada wanita hamil, kebutuhan besi selama masa kehamilan sangat tinggi, FAO/WHO/UNU (2001) menganjurkan agar wanita hamil, khususnya trimester 2 dan 3, mendapatkan tambahan (pil) besi dengan dosis 100 mg/hari. Selama masa kehamilan (280 hari) terjadi kehilangan besi basal 250 mg, kebutuhan janin dan plasenta 315 mg dan kebutuhan untuk meningkatkan massa hemoglobin (termasuk simpanan) 500 mg atau total sekitar 1.1 gram. Adapun bagi wanita yang sedang menyusui, kecukupan besi selama masa menyusui memperhitungkan kehilangan besi akibat menstruasi serta kebutuhan untuk mempertahankan kualitas besi ASI. Jika kecukupan besi pada keadaan normal (tidak hamil) adalah 26 mg/hari. Ekskresi besi melalui ASI sekitar 0.25 mg/hari atau dibutuhkan sekitar 2.5 mg/hari jika tingkat penyerapan 10%. Oleh sebab itu, kecukupan besinya adalah 32 mg/hari (Kartono & Soekatri 2004). Makanan sumber besi antara lain daging, jeroan, ikan dan unggas yang mengandung tinggi besi heme. Adapun sumber besi non-heme adalah dari nabati kedele, kacangan, sayuran daun hijau dan rumput laut. Besi dari sumber nabati (non-heme) bioavailabilitasnya lebih rendah dibanding heme yang terdapat dalam besi dari sumber hewani (Almatsier 2002; Gibson 2005). Besi yang berasal dari sumber hewani (heme) dapat diserap (30%) lebih baik dibanding yang berasal dari sumber nabati (5%). Sumber heme (ikan, ayam dan daging) sendiri mengandung non heme (60%) dan heme (40%). Konsumsi heme mempunyai keuntungan ganda, yakni selain besinya mudah diserap (23%) dibanding besi dari non heme (2-20%), heme juga membantu penyerapan non heme. Adanya asam fitat, asam oksalat dan serat berpengaruh negatif terhadap penyerapan besi. Adapun vitamin C dapat meningkatkan penyerapan besi. Perhitungan perkiraan penyerapan besi dapat didasarkan pola konsumsi makanan 15 yaitu penyerapan besi tinggi (15%), penyerapan besi sedang (10%) dan penyerapan besi rendah (5%). Menu makanan yang porsi sumber hewaninya besar, penyerapan besinya menjadi maksimal dan sebaliknya (Gibson 2005; IOMFNB 2001). Interaksi Besi dengan Zat Gizi Mikro Lainnya Penyerapan mineral dalam usus halus dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah adanya interaksi dengan zat gizi lain. Interaksi ini dapat dalam bentuk interaksi sinergistik (saling bekerjasama/menguntungkan), antagonistik (mengurangi kerja yang lain) maupun kombinasi keduanya. Interaksi zat besi antagonistik terlihat antara zat besi dengan mineral seng dan antara zat besi dengan kalsium. Pada pemberian suplemen besi dosis tinggi bersamaan dengan seng, zat besi akan menghambat penyerapan seng. Menurut O’Brien et al. (1999), jika rasio antara besi dan seng lebih dari 2:1 akan mengakibatkan gangguan penyerapan pada unsur yang lebih sedikit. Besi dan seng saling berkompetensi pada saat transportasi karena keduanya sama-sama diangkut oleh transferin. Menurut Almatsier (2002), sintesis hem akan terganggu bila terjadi kekurangan seng, hal ini dikarenakan seng merupakan ko-faktor dari asam amino levulinik dehidrase (ALA Dehidrase). Salah satu peranan seng dalam tubuh adalah meningkatkan kekebalan, oleh karenanya kekurangan seng akan dapat meningkatkan infeksi yang pada akhirnya mengganggu metabolisme besi. Interaksi zat besi dengan tembaga (Cu) dan interaksi zat besi dengan vitamin A adalah contoh interaksi sinergistik di mana status tembaga yang cukup diperlukan untuk zat besi ke sumsum tulang untuk membentuk sel darah merah. Vitamin A bersama dengan asam folat, vitamin B12, riboflavin dan vitamin B6 diperlukan untuk produksi sel darah merah secara normal. Vitamin A bersama vitamin C dan riboflavin juga dapat mencegah anemia dengan cara meningkatkan penyerapan besi dari usus atau dengan membantu mobilisasi besi dari simpanan tubuh (Fishman, Christian & West 2000). Efek pemberian vitamin A sangat menguntungkan dalam peningkatan status besi pada penderita defisiensi anemia defisiensi zat besi. Review beberapa studi yang dilakukan MIP (2000) dalam Briawan (2008) menunjukkan bahwa penambahan vitamin A yang cukup dapat membantu pemeliharaan besi di dalam 16 plasma dan jaringan sehingga akhirnya membantu peningkatan pembentukan sel darah merah. Ekayanti (2005) dalam penelitian membuktikan bahwa penambahan vitamin A (betakaroten 10.000 IU) pada suplemen besi folat (ferro fumarat 250 mg dan asam folat 0,5 mg) dapat meningkatkan hemoglobin pekerja WUS anemik sebesar 1,31±1,23 g/dl. Angka peningkatan ini lebih tinggi dibandingkan jika tidak ditambahkan vitamin A yakni sebesar hanya 0,53±1,09 g/dl. Hasil penelitian ini mirip pula dengan penelitian Ahmed et al. (2001) di Bangladesh. Besi berinteraksi sinergis dengan vitamin B kompleks. Vitamin B12 dan asam folat diperlukan pula dalam pembentukan sel darah merah, sehingga kekurangan kedua vitamin tersebut juga dapat mengakibatkan anemia akibat penurunan produksi darah merah (anemia megaloblastik). Selama ini asam folat selalu ditambahkan pada suplemen besi untuk wanita hamil, namun penambahan vitamin B12 ke dalam suplemen besi masih jarang dilakukan. Vitamin B2 (riboflavin) berperanan dalam proses penyerapan, mobilisasi simpanan besi dan eritropoiesis. Kekurangan riboflavin dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan anemia normositik normokromik. Piridoksin merupakan kofaktor enzim untuk sintesis heme, sehingga defisiensi vitamin ini dapat menyebabkan anemia sideroblastik. Adapun thiamin, niasin dan asam pantotenat berperanan penting pada beberapa enzim yang secara tidak langsung berhubungan dengan meatabolisme besi dan eritropoiesis. Pada Gambar 3 dapat dilihat peranan vitamin pada metabolisme zat besi. Interaksi zat besi juga dapat terjadi dengan Mangan (Mn) dan Kobal (Co), yang mana penyerapan mangan yang banyak akan meningkatkan resiko defisiensi zat besi, sedangkan interaksi kekurangan kobalamin dengan zat besi dapat menyebabkan anemia pernisiosa. Zat besi juga dapat berinteraksi dengan beberapa logam berbahaya seperti aluminium (Al), timah (Pb) dan cadmium (Cd) (Crichton, 2001). 17 Kehilangan Darah (haid, pendararahan) Eritrosit darah Retikulosit Eritropoesis: Vitamin A Asam Folat Vitamin B12 Riboflavin Vitamin B6 Eritroblast ProEritroblast Fungsi Antioksidan: Vitamin E VitaminC Stem sel Sumsum Tulang Penyerapan di usus: Vitamin A Vitamin C Riboflavin Mukosa Usus Sel Retikulo endothelial (Hati, Limpa) Simpanan Besi (Feritin, hemosiderin) (dalam hati, darah) Transferin Darah Mobilisasi besi: Vitamin A Vitamin C Riboflavin Jaringan Periferal (contoh: otot, plasenta) Asupan besi Kehilangan besi di feses Gambar 3 Peranan vitamin dalam metabolisme zat besi (Hughes-Jones & Wickramasinghe 1996 dalam Fishman et al. 2000) Penentuan Status Gizi dan Status Besi Status gizi seseorang dapat dinilai melalui berbagai metode, antara lain, pemeriksanaan fisik (klinis), pemeriksaan biokimiawi (laboratoris), antropometri, studi konsumsi pangan dan studi faktor-faktor ekologi. Pemeriksanaan klinis dilakukan dengan cara mengevaluasi tanda fisik yang ditimbulkan sebagai akibat gangguan kesehatan dan penyakit gizi, sedangkan pemeriksaan laboratoris 18 dilakukan untuk mendektesi defisiensi zat gizi marjinal (batas antara kurang dan cukup), terutama bila data riwayat makanan tidak lengkap dan tidak tersedia. Kedua pemeriksaan di atas memerlukan tenaga ahli yaitu paramedis dan teknisi laboratorium. Penilaian status gizi yang paling sering dilakukan karena cukup mudah dan praktis adalah antropometri menggunakan indeks masa tubuh (IMT) dan studi konsumsi pangan menggunakan metode mengingat kembali (recall) dan kuesioner frekuensi makan (food frequency questionnaires). Indek masa tubuh (IMT) atau Body Mask Indeks (BMI) merupakan ukuran antropometri yang baik digunakan pada orang dewasa yang memberikan gambaran mengenai asupan gizi seseorang pada masa lampau. Ukuran antropometri lainnya adalah rasio lingkar pinggang-pinggul (RPP) yang menggambarkan simpanan lemak di bagian pinggang dan pinggul, dan lingkar lengan atas (LILA) yang menggambarkan simpanan lemak di dalam tubuh. IMT dapat dihitung dengan menggunakan rumus: IMT BB TB 2 di mana IMT = indeks massa tubuh dalam kg/m2 BB = Berat Badan dalam kg, dan TB = Tinggi Badan dalam m Status gizi menurut IMT untuk orang dewasa dapat dikategorikan sebagai berikut: kurus (<18.5 kg/m2), normal (18.5-25.0 kg/m2) dan gemuk (>25 kg/m2). Adapun rasio lingkar pinggang-pinggul yang ideal adalah ≤0,8 untuk wanita dewasa dan ≤ 0,9 untuk pria dewasa. Ukuran LILA menggunakan cut-off point ≤ 23,5 untuk mendeteksi adanya kekurangan energi kronis (KEK) (Gibson, 2005). Sesuai dengan rekomendasi INACG (2003), untuk mengkaji status besi dalam suatu populasi selama ini umumnya menggunakan biomarker yang memungkinkan secara rutin dilakukan di lapangan yaitu hemoglobin atau hematokrit darah. Hal ini juga sesuai dengan WHO (2008) yang menyatakan bahwa konsentrasi hemoglobin adalah indikator anemia yang paling handal di tingkat populasi. Pengukuran konsentrasi hemoglobin secara relatif mudah dan murah dilakukan, dan pengukuran ini paling sering digunakan sebagai satu 19 indikator kekurangan zat besi. Selain itu, hematokrit juga salah satu biomarker yang pada umumnya dilakukan dalam pengkajian klinis dan sering digunakan dalam survai anemia karena kesederhanaan dan kemudahan dalam penyediaan peralatan yang diperlukan. Sementara itu WHO (2005) menyatakan bahwa serum ferritin (SF) adalah indikator terbaik untuk mengukur respon suatu intervensi yang bertujuan untuk mengatasi kekurangan zat besi, sehingga harus diukur bersamaan dengan konsentrasi hemoglobin dalam evaluasi program. Namun demikian pengukuran feritin cenderung tinggi pada sampel yang mengalami infeksi sehingga tidak menggambarkan simpanan besi tubuh secara tepat. Adapun pengukuran serum transferin reseptor (STfR) lebih sesuai digunakan pada yang mengalami infeksi karena kurang begitu terpengaruh oleh kondisi infeksi. Menurut WHO (2007), pengukuran SF dikombinasikan dengan STfR memberikan pendekatan terbaik untuk mengukur status zat besi populasi. Pada umumnya konsentrasi STfR tidak naik dalam respon terhadap peradangan sehingga bila dikombinasikan dengan konsentrasi serum feritin memungkinkan untuk membedakan antara defisiensi besi dan peradangan. Keuntungan lainnya adalah jumlah zat besi dalam tubuh dapat dihitung dari rasio STfR dan SF yang diperkirakan dengan menggunakan formula Cook et al. (2003) yaitu: Fe = -[log(STfR:SF)-2.8229] / 0.1207 di mana: Fe = jumlah zat besi di dalam tubuh dalam mg/kg berat badan Log = logaritma 10 STfR = serum transferin reseptor dalam mg/lx103 SF = serum feritin dalam ug/l Penelitian pada 409 wanita berusia 20 sampai dengan 45 tahun di Amerika, rataan simpanan besi tubuhnya sebesar 4.87±4.14 mg/kg. Namun demikian analisis distribusinya menunjukkan bahwa terdapat dua populasi, 93% memiliki rataan simpanan besi tubuh sebesar 5.5±3.35 mg/kg, sedangkan sisanya 7% mengalami kekurangan besi dalam jaringan sebesar -3.87±3.23 mg/kg. Ukuran tingkat bawah (cuttoff) hemoglobin dan hematokrit untuk mendeteksi anemia pada suatu wanita usia subur yang tidak sedang hamil adalah 120 g/l dan 36% (WHO 2001, BPPK Depkes 2008). Berdasarkan konsentrasi SF, 20 ukuran relatif simpanan besi dalam tubuh termasuk kurang jika < 15 ug/l dan kelebihan (beresiko berat) jika > 150 ug/l. Namun pada yang mengalami infeksi ambang batas yang ditetapkan lebih tinggi yakni < 30 ug/l (WHO 2007). Salah satu cara untuk mengetahui ada tidaknya infeksi dalam tubuh dapat dilakukan dengan pemeriksaan laju endap darah (LED). Laju Endap Darah (LED) atau Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk darah. Proses pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah diukur dengan memasukkan darah ke dalam tabung khusus selama satu jam. Makin banyak sel darah merah yang mengendap maka makin tinggi Laju Endap Darah (LED)-nya. Tinggi rendahnya nilai pada Laju LED dipengaruhi oleh keadaan tubuh, terutama selama ada peradangan. Standar normal LED adalah 10 ml/jam pada 1 jam pertama dan 20 ml/jam pada 1 jam berikutnya atau setelah 2 jam. Seseorang yang anemia biasanya memiliki nilai LED yang tinggi. Untuk standar konsentrasi STfR, hingga kini belum ada yang baku karena tergantung kepada prosedur yang digunakan. Prosedur pengukuran STfR dalam penelitian ini mengacu kepada Erhardt (2004) yang mengemukakan bahwa nilai cut-off STfR yang dapat digunakan berdasarkan penelitiannya adalah 8.3 mg/l. Kebugaran Fisik Definisi dan Komponen Kebugaran Fisik Kebugaran fisik atau jasmani didefinisikan sebagai kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas pekerjaannya sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggang serta untuk keperluan mendadak. Kebugaran fisik dalam bahasa Inggris adalah physical fitness. Physic artinya kondisi fisik sementara fitness artinya kecocokan, keserasian serta secara lebih jauh lagi kemampuan tubuh kita untuk beradaptasi, menjaga keseimbangan proses faali dan biokimiawi tubuh dalam keadaan stres berat termasuk kerja fisik. Kebugaran fisik dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kebugaran fisik yang statis (static), dinamis (dynamice) dan keterampilan motorik (motor skills). Kebugaran fisik statis artinya ketidakadaan atau keadaan terbebas dari kecacatan atau penyakit. Kebugaran fisik dinamis atau fungsional artinya kemampuan untuk melakukan pekerjaan fisik yang berat. Adapun kebugaran fisik keterampilan motorik adalah kemampuan 21 untuk melakukan gerakan koordinasi yang kompleks. Selain pengkategorian di atas, kebugaran fisik meliputi komponen-komponen seperti daya tahan jantungparu, kekuatan otot, daya tahan otot, kelenturan, berat badan seimbang, daya ledak otot, kecepatan, kelincahan, koordinasi, dan keseimbangan (Marley 1982; Sharky 1991). Adapun Quinn (2008) sebagaimana banyak pakar lainnya menetapkan bahwa komponen kebugaran fisik yang diperlukan untuk menunjang kegiatan sehari-hari adalah daya tahan jantung-paru, daya tahan otot, kekuatan otot, kelenturan dan komposisi tubuh. Daya tahan jantung-paru (cardiovascular endurance) merupakan kemampuan untuk melakukan aktivitas yang sedang secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Hal ini merefleksikan seberapa baik jantung dan paru-paru bekerjasama untuk menyuplai oksigen ke tubuh seseorang selama melakukan kegiatan atau latihan. Daya tahan jantung-paru juga disebut kebugaran aerobik (aerobic fitness). Daya tahan otot (muscular endurance) adalah kemampuan untuk bertahan pada satu posisi tertentu pada satu periode waktu atau pada satu pergerakan yang berulang-ulang. Kekuatan otot (muscular strength) adalah kemampuan untuk menggunakan kekuatan maksimum otot sekali, seperti mengangkat beban paling berat yang bisa diangkat. Kekuatan otot seseorang dapat pada satu area tubuhnya saja, misalnya lengan tangan, sementara area lainnya seperti kakinya lemah. Kelenturan (fleksibility) adalah kemampuan untuk menggerakkan satu sendi dengan suatu gerakan menekuk, meregang dan memuntir. Kelenturan yang baik akan memberikan keleluasaan gerak tubuh tanpa mengalami cedera. Komposisi tubuh (body composition) adalah proporsi lemak dalam tubuh dibandingkan dengan tulang dan otot, ini tidak ada hubungannya dengan berat badan atau penampilan seseorang. Komposisi tubuh juga digambarkan sebagai berat badan tanpa lemak dan berat lemak. Berat badan tanpa lemak terdiri dari massa otot (40-50%) tulang (16-18%) dan organ tubuh (29-39%). Lemak badan yang berlebihan akan mengurangi komponen kebugaran lain, mengurangi kinerja, menganggu penampilan, dan akan berpengaruh negatif terhadap kesehatan secara umum. Berat lemak (body fat-BF) dinyatakan dalam persentase berat lemak badan terhadap berat badan total (%LB). Ketidakmampuan tubuh dalam 22 melakukan aktivitas sering dikaitkan dengan berat (penimbunan) lemak (Marley 1982; Quinn 2008). Pengukuran Kebugaran Fisik Kebugaran fisik sangat penting dalam menunjang aktivitas kehidupan sehari-hari para pekerja. Akan tetapi nilai kebugaran fisik tiap-tiap orang berbeda-beda sesuai dengan tugas atau profesi masing-masing. Kebugaran fisik dapat diukur secara kuantitatif dengan beberapa metode. Memperhatikan komponen kebugaran fisik, maka telah dikembangkan pula beberapa jenis pengukuran untuk mengetahui daya tahan jantung-paru, kekuatan, daya tahan dan kelenturan otot dan sebagainya. Kriteria kebugaran fisik berdasarkan daya tahan jantung-paru (cardiorespiratory endurance) paling sering dilakukan di lapangan dan paling baik dinilai dengan mengukur VO2 maksimal (VO2Maks). VO2Maks merupakan satu ukuran seberapa bugar (fit) seseorang, dengan menyatakan volume oksigen yang dikonsumsi tubuh per menit sehingga satuannya adalah ml/kg/menit (Marley 1982; Sharkey 1991; Quinn 2008.). Performa seorang pekerja sebagaimana juga seorang atlet berhubungan langsung dengan jumlah oksigen yang disuplai ke otot. Suplai oksigen ditentukan oleh seberapa sering jantung berdenyut, volume darah yang ditransportasikan oleh tiap denyutan dan jumlah oksigen di dalam darah tersebut. Juga tergantung kepada seberapa baik jaringan atau otot mengekstrak oksigen. Volume gerakan biasanya diukur dalam ml per denyut. Output jantung merupakan produk dari volume gerakan dan kecepatan jantung dan diukur dalam ml per menit. Hasilnya dikalikan dengan perbedaan konsentrasi oksigen maka didapatkan liter O2 yang diproses per menit. Jika melakukan pengukuran ini ketika seseorang bekerja pada kecepatan jantung maksimumnya, maka didapat VO2maks. Dengan bertambahnya usia akan semakin rendah nilai VO2maks-nya. Berdasarkan usia, puncak nilai VO2maks adalah pada usia 18-20 tahun (Quinn 2008). Berdasarkan kondisi dengan memperhatikan jenis kelamin dan usia, maka kriteria kebugaran fisik seseorang berdasarkan nilai VO2maks untuk wanita usia 20-29 tahun adalah sebagai berikut: bila kurang atau sama dengan 28 ml/kg/menit maka derajat kebugarannya sangat kurang, antara 28 dan 34 kurang, antara 35 dan 23 43 sedang, antara 44 dan 48 baik dan bila lebih dari 48 adalah baik sekali (RHSFNS 2008). Kebugaran fisik seseorang yang beraktivitas aktif selain dapat ditentukan melalui pengukuran kapasitas aerobik, juga melalui pengukuran komposisi tubuh, serta test pemeriksaan beberapa parameter biomarker antara lain kadar hemoglobin, serum feritin serta tekanan darah dan denyut jantung dalam keadaan istirahat (Golding 1989; Sharkey 1991). Menurut Culpepper and Francis (1987), uji kapasitas aerobik adalah salah satu cara yang paling valid dalam menilai kebugaran fisik. Kapasitas aerobik terbesar adalah tingkat di mana tubuh dapat mengkonsumsi oksigen dan paling efisien mewakili integrasi dari berbagai proses fisiologis yang menyusun sistem transportasi oksigen. Namun demikian, pengukuran langsung dari kapasitas aerobik memerlukan peralatan laboratorium yang canggih, dan menimbulkan ketidaknyamanan subjek. Untuk memperkirakan kapasitas aerobik seseorang, uji yang paling banyak digunakan selama ini adalah step test (uji naik turun bangku) karena korelasinya terhadap VO2maks cukup tinggi dengan peralatan yang mudah dan praktis dioperasikan baik untuk di dalam maupun di luar ruangan. Peralatan yang diperlukan pada uji ini adalah bangku dengan ketinggian bervariasi antara 15-50 cm atau 6-20 inch, stopwach dan pengukur denyut jantung. Protokol Uji bangku Harvard (Harvard step test-HST) merupakan salah satu uji bangku tertua yang dikembangkan oleh Harvard Fatigue Laboratory (Brouha, Graybiel, and Heath 1943). Beberapa protokol uji bangku yang muncul berikutnya banyak yang merupakan pengembangan dari HST, seperti Astrand-Ryhming (A-R) step test (Astrand 1960). Pengujian kebugaran fisik dengan Astrand-Ryhming (A-R) step test (Astrand 1960), memiliki beberapa keuntungan antara lain adalah: membutuhkan peralatan dan biaya minimal, memerlukan waktu sebentar sehingga memungkinkan untuk dikelola dengan lebih baik. Alat yang diperlukan bangku setinggi 33 cm (13 inci) untuk wanita dan 40 cm (16 inci) untuk pria, stopwatch dan metronome. Peserta diminta untuk naik-turun bangku selama 5 menit dengan frekuensi 22.5 kali per menit (dijaga stabil dengan mengikuti irama yang disetel dari metronome diset pada 90 ketuk/menit). Pada akhir menit ke lima, peserta diminta untuk tetap 24 berdiri dan denyut jantungnya segera dicek selama 15 detik sejak 15 detik pemulihan. Pengukuran denyut jantung dilakukan secara palpasi pada leher (carotid artery). Selain HST dan A-Rstep test, uji naik turun bangku lain yang cukup sering digunakan sebagai acuan adalah Queens College Step Test – QCST serta the National Young Men's Christian Association (YMCA) three minutes step test. Kedua protokol tersebut juga merupakan modifikasi dari protokol uji naik turun Bangku Harvard (Harvard Step Test) yang telah banyak diuji validitas dan reabilitasnya antara lain oleh McArdle et al. (1972), Culpepper and Francis (1987), dan Lee et al. (2008). Setiap protokol di atas bergantung pada pengamatan bahwa ada hubungan linear antara denyut jantung dan tingkat kerja. Seseorang yang bugar (fit) akan memiliki respons denyut jantung lebih rendah pada suatu tingkat kerja, dan akan menunjukkan suatu perubahan dalam detak jantung yang rendah dengan adanya perubahan tingkat pekerjaan. Seseorang yang memiliki kapasitas aerobik tinggi akan memiliki denyut jantung pasca kerja (pemulihan) yang lebih rendah, karena denyut jantung mereka tidak naik terlalu tinggi pada saat melakukan pekerjaan fisik. Anemia dan Suplementasi Zat Gizi Mikro pada Wanita Usia Subur Anemia dan Kekurangan Zat Besi Anemia secara klinis didefinisikan sebagai tidakcukupnya massa sel darah merah yang beredar di dalam tubuh. Adapun dalam kesehatan masyarakat anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin yang rendah, yakni berada di bawah ambang batas menurut umur dan jenis kelamin. Ambang batas hemoglobin untuk wanita dewasa sebesar 120 g/l; sedangkan untuk wanita hamil 110 g/l. Penyebab anemia yang paling banyak ditemui adalah akibat kekurangan zat besi. Penyebab anemia lainnya adalah adanya infeksi yang akut maupun kronis yang menyebabkan peradangan, kekurangan zat gizi mikro lain terutama asam folat, vitamin B12 dan vitamin A, serta sifat-sifat genetis yang diwariskan seperti talasemia (WHO 2007). Kekurangan zat besi adalah suatu keadaan di mana jumlah zat besi di dalam tubuh tidak cukup untuk mempertahankan fungsi fisiologis normal jaringan 25 seperti darah, otak, dan otot. Kekurangan zat besi dapat terjadi tanpa anemia jika berlangsung belum cukup lama atau jika belum cukup parah yang menyebabkan konsentrasi hemoglobin berada di bawah ambang batas. Faktor-faktor yang menyebabkan kekurangan zat besi dalam tubuh adalah rendahnya asupan zat besi dan ketersediaan biologi zat besi dalam makanan, adanya faktor penghambat zat besi dan rendahnya makanan atau zat yang memperlancar penyerapan zat besi. Kekurangan zat besi yang menyebabkan anemia gizi besi (AGB) ditandai dengan kulit pucat, lemah/letih, dan nafasnya pendek akibat kekurangan oksigen. Anemia dapat menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan menurunkan kognitif. Selain itu juga dapat menurunkan daya tahan tubuh. Kekurangan zat besi terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama terjadi kehabisan besi simpanan cadangan. Simpanan besi berkurang terlihat dari penurunan feritin dalam plasma hingga 12-15 μg/l. Hal ini dikompensasi dengan peningkatan penyerapan besi yang terlihat dari pengangkutan total iron binding capacity (TIBC). Pada tahap ini belum terlihat perubahan fungsional pada tubuh. Tahap ke dua terlihat perubahan dengan habisnya simpanan besi dan menurunnya transferin jenuh hingga kurang dari 16% dan meningkatnya protoporfirin (prekursor heme). Pada tahap ini hemoglobin di dalam darah masih berada pada 95% nilai normal. Hal ini dapat mengganggu metabolisme energi, sehingga menyebabkan menurunnya kemampuan belajar karena malas, cepat lelah, letih, lesu, pusing, menurunnya nafsu makan, karena terjadi gangguan produksi hemoglobin (defisiensi besi tanpa anemia). Tahap ke tiga terjadi anemia defisiensi besi, di sini kadar Hb total menurun hingga di bawah nilai normal. Anemia defisiensi berat ditandai oleh sel darah merah yang mengecil (mikrositosis) dan nilai Hb rendah (hipokromia) (Almatsier 2002). Pemeriksaan hitung sel darah dapat digunakan sebagai tes skrining untuk memeriksa kemungkinan adanya anemia dan tipenya. Konsentrasi hemoglobin mencerminkan pengaruh gabungan dari mekanisme yang mengontrol ukuran massa sel darah merah dan volume plasma. Sel darah merah beredar dalam darah selama sekitar 90-120 hari dan satu persen di antaranya diganti setiap hari. Pada manusia normal massa sel darah merah dikontrol oleh laju produksi sel darah merah, sebab kehilangan sel darah merah karena penuaan relatif tetap. 26 Sel-sel yang beredar di dalam aliran darah dibagi menjadi tiga jenis: sel darah putih (leukosit), sel darah merah (eritrosit), dan platelet (trombosit). Tinggi rendahnya hasil penghitungan mungkin menunjukkan adanya berbagai bentuk kelainan, penyakit atau status kesehatan seseorang. Standar normal leukosit adalah 4—10 x 103/ul, eritrosit 4.2—5.4 x 106/ul sedangkan trombosit adalah 150—400 x 103/ul (WHO, 2007). Sel darah merah meliputi mean corpuscular volume (MCV), mean corpuscular hemoglobin (MCH) dan mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC). Mean corpuscular volume (MCV) adalah ukuran atau volume rata-rata eritrosit dengan standar normal sebesar 81-90 fl. Jika eritrosit lebih besar dari biasanya (makrositik) MCV meningkat, misalnya pada anemia karena kekurangan vitamin B12. Sebaliknya MCV menurun jika eritrosit lebih kecil dari biasanya (mikrositik) seperti pada anemia karena kekurangan zat besi. Mean corpuscular hemoglobin (MCH) adalah jumlah rata-rata hemoglobin dalam eritrosit, dengan standar normal sebesar 26.0-30.6 pg. Eritrosit yang lebih besar (makrositik) cenderung memiliki MCH yang lebih tinggi. Sebaliknya, pada eritrosit yang lebih kecil (mikrositik) akan memiliki nilai MCH yang lebih rendah. Mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) adalah perhitungan rata-rata konsentrasi hemoglobin di dalam eritrosit, standar normalnya 32.0-33.9 g/l. Kadar MCHC menurun (hipokromia) ditemukan pada kondisi di mana hemoglobin abnormal diencerkan di dalam eritrosit, seperti pada anemia dan kekurangan zat besi dalam talasemia (WHO 2007). Adapun jenis anemia menurut BPPK Depkes (2008) sesuai bentuk dan warna (morfologi) sel darah merah untuk wanita adalah anemia mikrositik (MCV <96 fl), anemia normositik (MCV = 96 – 108 fl), anemia makrositik (MCV >108 fl), anemia hipokromik (MCHC <33 %), anemia normokromik (MCHC = 33–36%), anemia hiperkromik (MCHC >36 %), serta kombinasi dari jenis-jenis di atas. Anemia mikrositikhipokromik, biasanya karena kekurangan zat besi, penyakit kronis tingkat lanjut, atau keracunan timbal. Anemia normositik- normokromik biasanya karena penyakit kronis fase awal atau perdarahan akut. Anemia makrositik biasanya karena kekurangan vitamin B12. 27 Kekurangan zat besi dan anemia dapat mengurangi kapasitas kerja serta menurunkan produktivitas seseorang bahkan populasi secara keseluruhan. Secara nasional hal ini akan menjadi serius karena dapat menyebabkan terganggunya ekonomi serta terganggunya pembangunan nasional. Anemia gizi besi (AGB) dapat menurunkan kapasitas kerja fisik seseorang melalui menurunnya ketersediaan oksigen bagi jaringan. Selain itu AGB juga mengakibatkan turunnya kekebalan dan fungsi kognitif pada penderitanya (WHO 2001). Kekurangan zat besi dapat mempengaruhi aktivitas fisik melalui terutama dua jalur. Pertama, sebagai akibat turunnya kadar hemoglobin dalam darah,maka jumlah maksimum oksigen yang dapat digunakan oleh tubuh (kapasitas aerobik) juga menurun. Ke dua, sebagai akibat berkurang atau habisnya simpanan zat besi, maka jumlah oksigen yang tersedia untuk otot pun berkurang, sehingga mengurangi daya tahan dan jantung menjadi bekerja lebih keras untuk dapat menghasilkan sejumlah aktivitas yang sama. Penelitian baik pada binatang maupun manusia telah mendemonstrasikan adanya satu hubungan sebab akibat antara kekurangan zat besi dengan menurunnya kapasitas aerobik maksimum (VO2maks). Beberapa penelitian membuktikan bahwa AGB berhubungan dengan berkurangnya daya tahan pada tingkat kerja yang di bawah maksimal (Haas & Brownlie 2001). Prevalensi Anemia pada WUS di Indonesia Anemia merupakan masalah gizi yang relatif sukar ditanggulangi. Masalah ini cukup luas terjadi di masyarakat, melanda sejumlah besar anak-anak dan wanita di negara-negara yang sedang berkembang, serta menjadi satu-satunya zat gizi yang angka kekurangannya juga masih nyata dijumpai pula di negara-negara industri. Lebih dari 30% penduduk di dunia ini menderita anemia yang sebagian besar diakibatkan oleh kekurangan zat besi, serta di beberapa daerah diperburuk oleh adanya penyakit infeksi. Pada umumnya, penduduk miskin dan berpendidikan rendah merupakan golongan yang paling rawan terkena kekurangan zat besi dan mereka itu pula yang akan paling merasakan penurunan itu (WHO 2008). Menurut Usfar et al. (2009), prevalensi defisiensi besi di seluruh dunia adalah 30%, di mana di negara-negara yang sedang berkembang adalah 40-50%, 28 sedangkan di negara maju 10%. Konsekuensi utama kekurangan zat besi adalah meningkatkan risiko kelahiran prematur, meningkatkan frekuensi kematian ibu dan bayi baru lahir, penurunan perkembangan psikomotorik, serta penurunan kapasitas kerja dan produktivitas. Penyebab utama kekurangan zat besi adalah rendahnya asupan besi, rendahnya bioavailabilitas asupan besi, kenaikan kebutuhan besi, dan kecacingan serta adanya infeksi Helicobacter pylori (Hp). Kelompok penduduk yang beresiko mengalami defisiensi besi adalah bayi dan anak-anak, remaja putri, wanita usia subur, dan wanita hamil. Hasil pemetaan yang tidak lengkap pada tahun 1999 dan 2000 menyingkap secara keseluruhan bahwa prevalensi anemia pada balita masih cukup tinggi yakni berkisar antara 40-70%, dan pada WUS berkisar antara 20-40%. Kisaran angka yang cukup tinggi ini masih tetap bertahan hingga tahun 2007 sebagaimana terlihat pada Tabel 2 (Almatsir & Fallah 2004; BPPK Depkes RI 2008). Tabel 2 Perkembangan prevalensi anemia pada WUS di beberapa provinsi di Indonesia Provinsi Sumbar Lampung Sulsel Jatim Jabar Jateng Jakarta a) a) 1999 29.2 Na Na 28.7 28.9 23.4 42.5 Atmarita dan Fallah (2004); b) Tahun 2000a) 34.0 24.1 27.8 26.5 26.5 25.8 33.3 2007b) 29.8 25.9 19.7 15.6 13.4 22.8 27.6 BPPK Depkes RI (2008); Na, data tidak tersedia Penelitian tentang prevalensi anemia di Indonesia selama ini masih lebih banyak dilakukan pada kelompok wanita yang sedang hamil atau menyusui serta bayi dan balita. Adapun penelitian pada kelompok pekerja WUS masih jarang dilakukan dan kalau pun ada lebih banyak dilakukan di daerah Jawa dan Bali. Beberapa studi yang telah lama dilakukan oleh Husaini et al. (1981) di Jawa Barat Suharjo (1986) di Jawa Barat, Scholz et al. (1997) di Jakarta dan Untoro et al. (1998) di Kudus Jawa Tengah mendapatkan prevalensi anemia pada pekerja wanita berkisar antara 35.5%-50%. Adapun studi Husaini et al. (1999) melaporkan bahwa hasil studinya di Tangerang tahun 1999 menunjukkan prevalensi anemia pada pekerja wanita mencapai 69%. 29 Studi yang dilakukan oleh Mulyawati (2003) menemukan bahwa dari 72 pekerja wanita di sebuah perusahaan plywood di Jakarta ditemukan 56 orang (77.77%) menderita anemia, di mana 54 responden di antaranya tergolong usia reproduksi berkisar antara 19 sampai dengan 35 tahun (rataan 23 tahun). Prevalensi anemia pada wanita lebih besar dibandingkan dengan pria yang dikarenakan pada usia reproduksi sesuai dengan kodratnya, wanita harus mengalami haid setiap bulannya. Darah yang keluar pada waktu haid menyebabkan kehilangan zat besi 1.3 mg per hari. Ditinjau dari faktor resikonya, maka yang berpendidikan rendah mempunyai resiko menderita anemia 2.05 kali dibandingkan dengan yang berpendidikan sedang dan tinggi. Adapun Depkes RI (2004), menyatakan bahwa sekitar 50% dari 25 juta pekerja wanita di Indonesia menderita anemia gizi atau kekurangan zat besi. Data dari Direktorat Bina Gizi Masyarakat pada tahun 1997 menunjukkan prevalensi anemia pada pekerja wanita usia produktif yang berpenghasilan rendah berkisar antara 30-40%. Menurut WHO (2001), prevalensi anemia antara 20.0-39.9% sudah tergolong sebagai masalah kesehatan masyarakat pada kategori sedang. Secara umum prevalensi AGB di kalangan pekerja wanita Indonesia masih tinggi. Menurut laporan WHO (2008), prevalensi AGB di Indonesia pada wanita usia subur yang tidak hamil tahun 2006 mencapai 33% atau kategori sedang. Pada wanita yang hamil dan anak-anak ditemukan lebih tinggi lagi yakni 44.5% dan 44.3% atau kategori berat. Adapun berdasarkan hasil Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) 2007 oleh BPPK Depkes RI (2008) diketahui bahwa prevalensi anemia tahun 2007 pada wanita 19.7%, khusus pada wanita dewasa 14.8%, wanita hamil 24.5% dan anak balita 27.7%. WHO (2008) menyarankan bahwa untuk menurunkan prevalensi kekurangan zat besi pada bayi dan wanita hamil maka seharusnya wanita sudah disuplementasi sebelum hamil. Suplementasi Besi pada WUS Supplementasi besi untuk wanita hamil di Indonesia sudah dimulai pada 1974 dengan cakupan 60% selama 90 hari berturut-turut. Adapun suplementasi besi pada bayi dan anak-anak melalui sirup yang diperkaya dengan zat besi dimulai di desa-desa yang kurang berkembang di kawasan timur Indonesia pada tahun 1996. Hal yang mendasari ini disinyalir bayi dan anak-anak tidak dapat 30 memenuhi kecukupan besi melalui diet saja, kecuali jika mengkonsumsi makanan yang difortifikasi dengan zat besi. Selain itu sejak tahun 1996, pabrik-pabrik di Indonesia sudah diharuskan memberikan suplemen zat besi kepada pekerja wanita sekali per minggu, 16 minggu per tahun secara mandiri, guna meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas pekerja wanita (Kodyat et al. 1998). Namun demikian menurut Atmarita dan Fallah (2004), intervensi anemia secara nasional masih memprioritaskan ibu hamil dengan distribusi tablet besi yang cakupannya pun masih sulit dipantau. Studi Husaini et al. (1999) melaporkan bahwa di kalangan tenaga kerja, pekerja yang menderita anemia dari hasil penelitian produktivitasnya 20% lebih rendah dari pada pekerja yang sehat. Hasil penelitian yang lain menjelaskan bahwa peningkatan status gizi besi dapat meningkatkan produktivitas pekerja. Sudah lama INACG (2003) menyarankan agar para WUS yang sedang tidak hamil juga diberi suplemen berisis 60 mg besi elemental yang disertai dengan 400 µg folat sebagai usaha preventif untuk mencegah anemia dan kesulitan melahirkan pada selama dia nanti hamil. Adapun UNICEF/WHO/UNU (1999), menyarankan untuk memperbaiki status gizi WUS dengan suplementasi berbagai mineral mikro yaitu 15 macam vitamin dan mineral, tidak cukup hanya dengan suplementasi zat besi saja. Kedua suplemen tersebut sama seperti yang diberikan kepada wanita hamil. Perbedaannya hanya pada dosis pemberiannya, jika pada wanita hamil adalah dianjurkan minum setiap hari atau sekurang-kurangnya 90 hari pada saat hamil; sedangkan pada yang tidak hamil dianjurkan sekali seminggu dan setiap hari pada selama menstruasi. Pada Tabel 3 dapat dilihat komposisi kedua suplemen tersebut. Adanya hubungan linear antara kekurangan zat besi dan kapasitas kerja pada pekerja di sektor pertanian banyak dilaporkan pada penelitian-penelitian yang sudah cukup lama yakni dilakukan sebelum tahun 2000. Studi di China oleh Li et al. (1994) yang dilakukan di pabrik katun menemukan bahwa diantara 447 orang pekerja wanita terdapat 83 pekerja wanita yang tidak sedang hamil (usia 19—44 tahun) terdiagnosa kekurangan zat gizi besi. Bahkan 10 orang diantaranya mengalami anemia gizi besi (AGB) dengan kadar hemoglobin yang kurang dari 100 g/dl. Kepada 40 orang wanita tersebut kemudian diberi perlakuan dengan 31 Tabel 3 Komposisi suplemen yang dianjurkan dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan untuk WUS di Indonesia Jenis zat gizi mikro Vitamin A (μg) Vitamin D (IU) Vitamin E (mg) Vitamin C (mg) Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Vitamin B-6 (mg) Vitamin B-12 (μg) Asam Folat (μg) Besi (mg) Seng (mg) Copper (mg) Selenium (μg) Yodium (μg) Suplemen* IFA MMN — 800 — 200 — 10 — 70 — 1.4 — 1.4 — 18 — 1.9 — 2.6 400 400 60 30 — 15 — 2 — 65 — 150 AKG WUS** 19-29 tahun 30-49 tahun 500 500 200 200 15 15 75 75 1.0 0.9 1.1 1.1 14 14 1.3 1.3 2.4 2.4 400 400 26 26 9.3 9.8 2*** 2*** 30 30 150 150 * MMN, multiple micronutrients (UNICEF/WHO/UNU 1999); IFA, iron and folate acid-besi dan asam folat (INACG 2003). ** LIPI (2004) *** NRC (1989) memberikan suplemen tablet ferro sulfat yang berisi 60 mg Fe per hari dan 40 orang lainnya diberi plasebo, sedangkan tiga lainnya tidak bersedia disertakan dalam penelitian. Setelah pemberian suplemen Fe selama 12 minggu, maka pada grup perlakuan memiliki kadar hemoglobin (Hb) dan serum feritin (SF) yang meningkat (p<0.05), sedangkan Free erythrocyte protoporphyrin (FEP), Heart Rate at Work (HRW) dan Energy Expenditure at Work (EEW) turun secara nyata (p<0.01). Nilai Hb, SF, dan FEP sebelum perlakuan tidak berbeda nyata, dan setelah perlakuan perbedaan nilainya (sebelum vs sesudah intervensi) nyata antar grup (p<0.01). Selain itu, perbedaan nilai HRW dan EEW sebelum dan sesudah perlakuan juga nyata antar grup (p<0.01). Penelitian ini menjelaskan bahwa suplementasi gizi besi pada pekerja WUS selain dapat memperbaiki status besi juga memungkinkannya untuk bekerja dengan menggunakan energi yang lebih rendah atau lebih hemat energi. Studi lainnya yang mirip dengan penelitian di atas telah lebih dulu dilakukan di Colombia (Spurr et al. 1978), Guatemala (Viteri & Torun 1974), Indonesia (Basta et al. 1979; Husaini et al. 1981), Kenya (Davies et al. 1973), Sri Lanka 32 (Edgerton et al. 1981; Gardner et al, 1977), dan Philipina (Popkin 1978) serta di negara-negara lain. Dari hasil studi-studi tersebut dapat disimpulkan bahwa kapasitas kerja pada pekerja yang anemia dapat kembali normal bahkan meningkat dengan adanya suplementasi besi serta produktivitas kerja dan upah kerjanya meningkat 10-30% dibandingkan dengan sebelum menerima suplementasi. Beberapa penelitian tentang pengaruh suplementasi zat besi pada wanita tidak hamil yang dilakukan di Indonesia setelah tahun 2000 dilakukan antara lain oleh Mulyawati (2003), Baharudin (2004), Dillon (2005), Ekayanti (2005) dan Briawan (2008). Adapun di negara lain pernah dilakukan antara lain di Bangladesh (Ahmed et al. 2005) dan di Amerika (Kolb & Beard 2007). Pada studi Mulyawati (2003) di sebuah perusahaan Plywood yang berlokasi di Jakarta, dilaporkan bahwa dari 72 pekerja wanita 56 orang (77.77%) diantaranya ditemukan menderita anemia. Setelah dilakukan perlakuan yakni dengan memberikan Tablet Tambah Darah/TTD (200 mg ferro sulfat dan 0.25 mg asam folat) dengan dan tanpa 100 mg vitamin C, 1 kapsul per minggu dan 1 kapsul selama 10 hari (waktu haid), dalam jangka waktu 16 minggu; maka prevalensi anemia menurun tinggal menjadi 8.95% (6 responden). Meskipun masih dinyatakan anemia, keenam responden tersebut telah mengalami kenaikan Hb dari rata-rata 8.5 g/dl menjadi 11.9 g/dl. Dengan intervensi selama 16 minggu telah berhasil meningkatkan kadar hemoglobin dan serum ferritin secara bermakna p< 0.05 pada kelompok I (dengan vitamin C) dan kelompok II (tanpa vitamin C). Walaupun demikian, peningkatan kadar Hb, SF, dan indeks masa tubuh yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan (I dan II) dibandingkan kelompok kontrol, secara statistik tidak bermakna. Mirip dengan studi Mulyawati di atas, Baharudin (2004) dalam studinya di Aceh juga memberikan suplementasi Pil Besi dan vitamin C pada mahasiswi yang anemik. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa dengan pemberian pil besi (60 mg) saja sebanyak 2 (dua) kali seminggu selama 2 (dua) bulan dapat meningkatkan Hb secara nyata sebesar 1.72 g/dl. Adapun pemberian pil besi (60 mg) ditambah dengan vitamin C (50 mg) sebanyak 2 (dua) kali seminggu selama 2 (dua) bulan memberi pengaruh secara nyata (p=0.000) terhadap peningkatan 33 kadar Hb yang lebih tinggi (naik sebesar 3.28 g/dl) dan peningkatan kebugaran fisik mahasiswi dengan menggunakan tes Ergocycle Sepeda Monar. Ekayanti (2005) dalam penelitiannya memberikan suplementasi zat besi selama delapan minggu kepada 83 orang WUS (15-44 tahun) anemia yang bekerja di pabrik kerupuk, dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok P1 menerima zat besiasam folat (250 mg Ferro Fumarat dan 0.5 mg asam folat) dibandingkan dengan kelompok P2 menerima besi-asam folat ditambah dengan vitamin A (betakaroten 10.000 IU), dan kelompok P3 menerima besi-asam folat + kombinasi vitamin A, seng-tembaga (betakaroten 10.000 IU, seng 15 mg, dan tembaga 1.5 mg). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan kadar Hemoglobin dan hematokrit antarkelompok berbeda nyata. Peningkatan hemoglobin yang tertinggi dialami oleh kelompok P3 (1.76±0.93 g/dl), diikuti oleh P2 (1.31±1.23 g/dl) dan P1 (0.53±1.09 g/dl), demikian pula peningkatan hematokrit yang tertinggi pada kelompok P3 (4.29±2.14%) diikuti P2 dan terendah P1 (1.85±3.45%). Adapun peningkatan serum ferritin paling tinggi juga dialami oleh P3 (6.33±21.24 ng/l), ini nyata lebih tinggi (p=0.045) dibandingkan dengan P2 (1.41±14.28 ng/l), sedangkan pada P1 tidak terjadi peningkatan serum ferritin yang nyata. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyertaan pemberian kombinasi vitamin A, seng dan tembaga dalam suplementasi besi dapat membantu meningkatkan keberhasilan suplementasi besi. Studi pemberian zat besi dan vitamin (multivitamin) yang lebih baru, dilakukan pada remaja lanjut oleh Briawan (2008). Dalam penelitian ini 224 remaja berusia 17-20 tahun yang merupakan mahasiswi tingkat satu dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan secara acak. Kelompok tersebut adalah kelompok kontrol yang diberi plasebo, kelompok B-F yang diberi besi 60 mg dan folat 250 μg, serta kelompok B-MV yang diberi besi 60 mg, folat 800 μg, vitamin A 4200 μg, vitamin C 500 mg, dan vitamin B12 16.8μg. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa pemberian plasebo, besi dengan folat dan besi dengan multivitamin dapat meningkatkan kadar Hb berturut-turut sebesar 8.3 g/l; 11.2 g/l dan 10.5 g/l. Namun demikian, perbedaan peningkatan Hb antara ketiga kelompok tersebut tidak nyata (p>0,05). Suplementasi kedua kapsul tersebut berhasil meningkatkan serum ferritin lebih tinggi dibandingkan kontrol dengan 34 peningkatan SF pada kelompok kontrol 1.1 ug/l; B-F 4.2 ug/l; dan B-MV 11.0 ug/l. Adapun efek suplementasi terhadap serum transferin reseptor (STfR) adalah kelompok B-MV berhasil menurunkan STfR lebih besar dibandingkan dengan kelompok B-F dan kontrol. Perubahan STfR berturut-turut pada kontrol, B-F dan B-MV adalah 0.5 mg/l; 1.3 mg/l dan -3.8 mg/l. Perubahan STfR antar ketiga kelompok tersebut significan (p<0,05) Studi yang lebih baru suplementasi zat besi pada WUS yang tidak hamil dilakukan di negara lain yakni Amerika (Kolb & Beard 2007). Pada studi ini suplementasi zat besi diberikan kepada WUS (18-35 tahun) yang mendapatkan hasil bahwa penambahan zat besi 60 mg per hari selama empat bulan dapat meningkatkan Serum Feritin dan Hemoglobin WUS. Peningkatan Serum Feritin berhubungan dengan meningkatnya performa kognitif (p=0.001), sedangkan peningkatan Hemoglobin berhubungan dengan kecepatan menyelesaikan soal-soal pada tes kognitif (p=0.038). Penelitian Ahmed et al. (2005) di Bangladesh merupakan penelitian yang melakukan suplementasi pada wanita anemik yang tidak hamil dengan komposisi yang sesuai dengan anjuran UNICEF/WHO/UNU (1999) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2 di atas. Pada penelitian ini, remaja wanita (14-18 tahun) yang anemik, tidak sedang hamil dan masih sekolah dibagi menjadi dua grup. Grup-1 menerima suplemen besi folat (IFA) dan grup-2 menerima multimicro nutrient (MMN) sebagaimana tercantum pada Tabel 1, masing-masing dua kali per minggu selama 12 minggu. Setelah perlakuan, kedua grup mengalami kenaikan dalam hemoglobin dan serum ferritin namun perbedaan rata-rata antar grup tidak nyata. Disimpulkan bahwa suplementasi MMN dua kali per minggu selama 12 minggu secara nyata dapat meningkatkan status gizi mikro yang diukur (serum vitamin A, plasma vitamin C, asam folat sel darah merah, dan riboflavin); namun dalam meningkatkan hemoglobin darah tidak seefikasi suplementasi IFA dan disarankannya suplementasi sebaiknya diberikan lebih dari dua kali per minggu. Penelitian sebagaimana yang dilakukan oleh Ahmed et al. (2005), dan Briawan (2008) sebaiknya juga dilakukan pada pekerja WUS yang sudah menikah dan merencanakan untuk hamil sehingga pada selama kehamilannya nanti tetap 35 memiliki status gizi yang baik. Menurut Briawan (2008), sasaran program perbaikan gizi pada wanita yang tidak hamil ini dianggap strategis dalam upaya memutus simpul siklus masalah gizi (inter generation malnutrition problem) agar tidak meluas ke generasi selanjutnya.