konsep etika belajar siswa menurut al

advertisement
KONSEP ETIKA BELAJAR SISWA
MENURUT AL-GHAZALI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh
HUSNUL KHULUQ
NIM: 206011000047
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
ABSTRAK
Husnul Khuluq, NIM: 206011000047, Konsep Etika Belajar Siswa Menurut
Al-Ghazali
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses
pemberdayaan manusia menuju akil baligh (kedewasaan), baik secara fisik,
mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diembannya
sebagai seorang hamba (‘abd) dihadapan Khaliq-nya dan sebagai pemelihara
(khalifah) pada alam semesta. Dengan demikian, fungsi utama pendidikan adalah
mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dan keahlian (skill) yang
diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah
masyarakat (lingkungan), sebagai tujuan akhir dari pendidikan.
Sesuai dengan karakteristik masalah yang diangkat dalam skripsi ini maka
dalam penulisannya, penulis menggunakan Metode Riset kualitatif, yaitu
menekankan analisanya pada data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan kualitatif penulis
gunakan untuk menganalisis pemikiran Al-Ghazali tentang konsep etika belajar
siswa. Maka dengan sendirinya penganalisaan data ini lebih difokuskan pada
Penelitian Kepustakaan (Library Research), yakni dengan membaca, menelaah
dan mengkaji buku-buku dan sumber tulisan yang erat kaitannya dengan masalah
yang dibahas.
Adapun dalam pembahasannya penulis menggunakan metode deskriptif
karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan bukan angka-angka.
Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu tetapi
hanya menggambarkan apa adanya tentang sesuatu variabel, gejala atau keadaan.
Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa
yang diteliti. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data
untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin
berasal dari naskah atau dokumen lainnya.
Hasil penelitian yang penulis temukan terkait dengan konsep etika belajar
menurut Al-Ghazali mempunyai empat konsep etika belajar siswa, yaitu 1) diri
sendiri, yang meliputi aspek fisik dan psikis berupa aspek keimanan, akhlak,
aqliyah, sosial dan jasmaniyah; 2) terhadap guru yang menekankan guru harus
dianggap sebagaimana kita menganggap orang tua kita sendiri; 3) memilih
pelajaran yang terdiri atas ilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah; dan 4) memilih
teman belajar yang terbaik dalam hal ketakwaan. Keempat konsep etika belajar
siswa Al-Ghazali tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan, akan tetapi merupakan
satu kesatuan yang utuh untuk membentuk kepribadian siswa yang paripurna
sehingga ia dapat berhasil dalam proses belajarnya meraih ilmu yang bermanfaat
tidak saja hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Konsep etika belajar menurut AlGhazali tersebut selalu relevan dengan perkembangan zaman dunia pendidikan,
baik di Indonesia maupun di belahan dunia manapun. Dan karenanya konsep etika
belajar siswa yang dikemukakan Al-Ghazali sangat urgent pengejawentahannya
bagi kemajuan dunia pendidikan.
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahiim
Segala puja dan puji bagi Allah SWT sebagai pagar penjaga nikmat-Nya,
zat yang Maha Menggenggam segala sesuatu yang ada dan tersembunyi di balik
jagad semesta alam, zat yang Maha Meliputi segala sesuatu yang terfikir maupun
yang tidak terfikir. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan bagi seluruh Umat Islam yang
terlena maupun terjaga atas sunnahnya.
Alhamdulillahirrabbil‘aalamiin,
penulis
mengucapkan rasa
syukur
kepada Allah SWT atas segala rahmat dan pertolongan-Nya, sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan. Karena tanpa rahmat pertolongan-Nya tidaklah mungkin
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini berjudul “Konsep Etika Belajar Siswa Menurut Al-Ghazali.”
Penulis gunakan untuk memenuhi persyaratan kelulusan yang ditempuh di
Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Penulis tertarik mengangkat karya tulis
ini karena berbekal dari pendidikan merupakan jembatan bagi anak yang akan
menghubungkan kehidupan dalam keluarga dengan kehidupan masyarakat kelak.
Melalui sekolah inilah seorang anak kelak diharapkan menjadi orang dewasa
sebagai seorang warga negara dan warga masyarakat yang baik dan produktif.
Lebih dari itu, sebagai manusia, para siswa pun memiliki tanggung jawab sebagai
khalifah di muka bumi untuk melaksanakan tugas kekhalifahannya dengan sebaikbaiknya serta bersosialisasi dengan etika-etika dan norma-norma yang berlaku di
lingkungan masyarakat sekitarnya sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak.
Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, penulisan skripsi ini tidak
akan terselesaikan bila tanpa bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, baik
secara moril maupun materil. Sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta dukungannya,
sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada :
ii
1.
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2.
Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Drs. Sapiudin Shiddiq, M.A, Dosen Penasehat Akademik Jurusan Pendidikan
Agama Islam, angkatan 2005. Serta Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah yang telah mengarahkan,
mendidik, membimbing, dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat untuk
penulis.
4.
Prof. Dr. H. Moh. Ardani, selaku Dosen Pembimbing skripsi, yang tidak
pernah menutup pintu keluasan waktunya untuk membimbing dan
memberikan semangat dan arahan dalam penulisan skripsi ini.
5.
Ibunda penulis (Siti Choiriyah) dan Ayahanda penulis (alm. R. Ibnu Mukti)
tercinta, atas tirakat suci, doa dan air mata tersebunyi bagi kehidupan penulis,
terima kasih, semoga pintu Rahman dan Rahim-Nya selalu terbuka untuk
pengorbananmu, Amin. Kakanda penulis (Kuni Masrochati dan Khotib AlUmam) dan Adinda penulis (Fathul Bari) atas semua persembahan dari surga
ini. Seluruh keluarga; Kakek (almarhum) dan nenek (almarhum), serta
keluarga besar, terima kasih atas doa yang terucap.
6.
Dr. Halimi, M.Ag yang telah memberikan dukungan kepada penulis baik
secara moral maupun material, penulis ucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya.
7.
Abu Khaer, terima kasih atas support dan pengorbanannya. I’m so sorry, if I
always disturb your actifity especially time of your sleep.!!
8.
Teman-teman seperjuangan, FORMAL (Forum Komunikasi Alumni dan
Santri Lirboyo), teman-teman Watu Congol, sesepuh dan jama’ah Mushalla
Al-Taqwa, teman-teman Majlis Ceria Al-Fikriyah, juga teman-teman yang
lain tanpa mengurangi rasa hormat penulis yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu. Hanya ucapan terima kasih yang selalu terurai yang bisa penulis
sampaikan.
iii
9.
Seseorang yang memberikan inspirasi terbesar, Yoyo dan semua personel
PADI, Armand Maulana dan Dewa Budjana, thank you for spirit. Temanteman Komunitas Anak Jalanan (ANJAL Community). Teman-teman Anak
Kaki Lima Gunung (Anka 5G). Teman-teman Slanker Rawamangun. Temanteman HERS Radio. Teman-teman Milanisti Club dan komunitas lain yang
penulis pernah numpang ngopi. I perfect your struggle.
10. Kawan-kawan seperjuangan Pendidikan Agama Islam Non-Reg angkatan
2006, I miss you full.
11. Staff Perpustakaan Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan, dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
atas pelayanannya.
12. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan
kepada penulis baik secara moral maupun material, penulis ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.
Jakarta, 9 Desember 2010
Husnul Khuluq
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................... ..i
KATA PENGANTAR .................................................................................. .ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ .v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………..1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………..4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………...5
D. Tinjauan Pustaka ……………………………………………….6
E. Metode Penelitian ……………………………………………...9
F. Sumber Data Penulisan ………………………………………..10
BAB II
KAJIAN TEORI
A. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM .............................................11
1. Pengertian Pendidikan Islam.................................................. 11
2. Dasar Pendidikan Islam ......................................................... 15
3. Tujuan Pendidikan Islam ....................................................... 19
4. Metode Pendidikan Islam ...................................................... 21
5. Ruang Lingkup Pendidikan Islam .......................................... 25
6. Tanggung Jawab Pendidikan Islam ........................................ 26
B. Konsep Etika .......................................................................... 27
1. Pengertian Etika .................................................................... 27
2. Ruang Lingkup Etika ............................................................. 29
3. Perbedaan Antara Etika dengan Akhlak ................................. 30
C. Konsep Belajar .......................................................................
1. Pengertian ............................................................................. 34
2. Ciri-ciri Belajar ..................................................................... 35
D. Etika Belajar Siswa Menurut Tokoh Pendidikan Islam........... 37
iii
BAB III BIOGRAFI AL-GHAZALI
1. Sejarah Ringkas Al-Ghazali................................................... 42
2. Karya-karya Al-Ghazali......................................................... 46
3. Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali................................ 47
BAB IV ANALISIS ETIKA BELAJAR SISWA MENURUT AL-GHAZALI
A. Konsep Etika Belajar Siswa.......................................................... 50
1. Konsep Etika Belajar Siswa dengan Diri Sendiri.................... 50
2. Konsep Etika Belajar Siswa dengan Guru .............................. 54
3. Konsep Etika Belajar Siswa dalam Memilih pelajaran ........... 57
4. Konsep Etika Belajar Siswa dalam Memilih Teman............... 60
B. Relevansi Etika Belajar Siswa Al-Ghazali dalam Masyarakat
Pendidikan Modern ........................................................................... 64
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan .................................................................................. 72
Saran ........................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 74
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses
pemberdayaan manusia menuju akil baligh (kedewasaan), baik secara fisik,
mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang
diembannya sebagai seorang hamba (‘abd) dihadapan Khaliq-nya dan sebagai
pemelihara (khalifah) pada alam semesta. Dengan demikian, fungsi utama
pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dan
keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan
untuk terjun ke tengah masyarakat (lingkungan), sebagai tujuan akhir dari
pendidikan.
Tujuan akhir pendidikan agama Islam adalah pencapaian tujuan yang
diisyaratkan oleh Al-Qur’an, yaitu serangkaian upaya yang dilakukan oleh
seorang pendidik dalam membantu (membina) anak didik menjalankan
fungsinya di muka bumi, baik pembinaan pada aspek material maupun
spiritual. Dengan pencapaian tujuan tersebut, diharapkan anak didik akan
mampu menjadi makhluk dwi dimensi yang integral dan utuh. 1 Dengan
perkembangan dua dimensi tersebut diharapkan anak didik dapat bermanfaat
1
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), cet. I, h. 107
1
2
bagi kehidupannya dan kehidupan sosialnya. Dan bila hal ini terjadi, akan
berimplikasi pada kebahagiannya di dunia maupun di akhirat.
Dengan demikian, pendidikan idealnya merupakan suatu proses di
dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun komunitas manusia.
Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang
dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan ekploitasi. Disinilah letak tujuan
dari paedagogik, yaitu membebaskan manusia secara konprehensif dari ikatanikatan yang terdapat di luar dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang
mengikat kebebasan seseorang.
Pandangan paedagogisme tersebut memang mempunyai segi-segi
positif yang sangat menghormati perkembangan anak, namun juga
mempunyai berbagai kelemahan karena anak seakan-akan diisolasikan dari
kehidupan bersama di dalam masyarakat. Paedagogisme melahirkan child
centered education yang cenderung melupakan bahwa anak hidup di dalam
suatu masyarakat tertentu dan mempunyai cita-cita hidup bersama yang
tertentu pula. Dengan kata lain, child centered education telah melahirkan
romantisme pendidikan yang berpusat kepada kepentingan anak (child needs).
Hal ini akan memberikan reaksi terhadap pendidikan yang tidak melihat
kepada hakikat anak sebagai makhluk manusia yang hidup di dalam dunianya
sendiri sehingga perlu memperoleh perlakuan-perlakuan khusus di dalam
proses mendewasakannya.2
Di sisi lain, pendidikan merupakan elemen yang sangat signifikan
dalam menjalankan roda kehidupan. Karena dari sepanjang perjalanan
manusia, pendidikan merupakan barometer untuk mencapai pematangan nilainilai kehidupan. Oleh karena itu, pemerintah melalui UU RI SISDIKNAS No.
20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 menyatakan:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman
2
H.A.R. Tilaar, Ed., Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia,
Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), h. 19-20
3
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab .3
Dengan demikian, dalam usaha mengoptimalkan seluruh potensi yang
dimiliki, siswa tidak hanya memanfaatkan kemampuan intelektualnya saja,
tetapi juga mengoptimalkan kemampuan beretika dalam kehidupan sehari-hari
mereka sehingga bisa dimanfaatkan untuk berinteraksi dengan orang lain,
terutama berinteraksi dengan guru.
Oleh karena itu, peran orang tua dan guru agama di sekolah sangatlah
penting agar akhlakul karimah tertanam dalam diri anak. Namun pada
sekolah-sekolah menengah umum yang notabene pelajaran agama Islamnya
memiliki persentasi yang amat kecil, kurang berperan dalam menciptakan
situasi yang kondusif dan meningkatkan keyakinan dan amalan agama. Hal
tersebut tersinyalir dengan adanya berbagai bentuk pelanggaran ajaran-ajaran
Islam, misalnya berani menentang perintah sang guru, berperilaku tidak sopan,
tawuran, aksi corat-coret, kurangnya kesadaran tentang kedisiplinan, dan
sebagainya.
Upaya untuk memperbaiki keadaan sebagaimana tersebut di atas,
terkait erat dengan proses pembelajaran, di mana guru sebagai salah satu
faktor yang ikut menunjang terwujudnya tujuan pendidikan secara optimal.
Indikasi ke arah faktor penunjang tercapainya tujuan tersebut adalah dengan
adanya interaksi yang baik antara guru dan siswa dan terjalinnya hubungan
yang
saling
mempengaruhi
untuk
merealisasikan
rencana-rencana
pembelajaran yang telah digariskan sebelumnya dalam rangka pencapaian
tujuan pendidikan siswa secara optimal.
Dalam konsep agama Islam, tujuan pendidikan ialah pembentukan
akhlak. Hal ini sesuai dengan makna tersirat yang tercantum dalam Al-Qur’an:
    
3
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI
Tentang Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), h. 8-9
4
Dan sesungguhnya kamu (ya Muhammad) benar-benar berbudi
pekerti yang agung/luhur. (Q.S. Al-Qolam: 68)
Demikian juga dari hadits Nabi SAW:
Aku diutus untuk menyempurnakan kebaikan budi pekerti.4
Terhadap dua dalil nash di atas, ”Hujjat al-Islam” Al-Ghazali
mengatakan bahwa: “Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu
pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan
jiwanya.”
5
Dari pernyataan di atas, jelaslah bahwa Al-Ghazali menghendaki
keluhuran ruhani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang
kuat, merupakan tujuan utama dari pendidikan bagi kalangan manusia muslim,
karena akhlak adalah aspek fundamental dalam kehidupan seseorang,
masyarakat maupun suatu negara.
Sebagai kelanjutan logis dari metode didaktik-metodik dengan konsep
pendidikan paedagogis. Di mana siswa (peserta didik) dipandang dan
diperlakukan sebagai pihak yang sepenuhnya bergantung pada guru, maka
tidak boleh tidak, guru adalah segalanya. Untuk itu, penghormatan dan
beretika kepada guru menjadi amat penting diperlukan.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas masalah ini dalam
sebuah skripsi dengan judul "Konsep Etika Belajar Siswa menurut AlGhazali".
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar permasalahan tidak melebar, maka pada penulisan skripsi ini
dibatasi hanya pada konsep etika belajar siswa yang sesuai dengan pendapat
Al-Ghazali dan orang-orang yang terkait dengannya. Yang dimaksud etika
4
5
Imam Malik ibn Anas, Al-Muwaththo’, (Darul Hadits), Juz 2, h. 690
Al-Ghazali, Mizan al-'Amal, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1989 M), cet. I, h. 143
5
belajar siswa di sini adalah etika siswa kepada guru baik di lingkungan kelas
maupun di luar kelas (kehidupan sehari-hari).
Agar penulisan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi
permasalahan pada hal sebagai berikut:
1. Pembahasan dibatasi hanya dalam tata-cara beretika yang bekenaan
dengan situasi belajar dalam proses pendidikan.
2. Penulisan skripsi ini membahas etika siswa dalam belajar yang semestinya
dilakukan dalam kerangka pendidikan universal berdasarkan pendapat AlGhazali yang terdapat dalam karya-karyanya, terkait dengan masalah
pendidikan.
Adapun masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah etika belajar siswa menurut Al-Ghazali?
2. Bagaimana mengaplikasikannya dalam proses pembelajaran siswa seharihari?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dilaksanakannya penulisan ini dimaksudkan untuk
mengetahui tata cara beretika belajar siswa yang baik menurut Al-Ghazali
sehingga dapat dipahami, diteladani dan direalisasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Di antara tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Tujuan keagamaan, maksudnya beramal untuk kehidupan akhirat, yakni
dari pengetahuan konsep etika belajar menurut Al-Ghazali yang
dipaparkan dan sesuai dengan sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan AlHadits, diharapkan agar pembaca, terutama bagi mereka yang berstatus
siswa/mahasiswa dapat merealisasikannya, baik di dalam kelas maupun di
luar kelas sehingga berfungsi dalam proses belajar-mengajar, penerimaan
materi ajar dan pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dalam
kehidupa riil, serta mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan ilmiah, yang bersifat keduniawiaan, yakni bertujuan agar pembaca,
terutama mereka yang berstatus siswa/mahasiswa dapat memahami makna
6
etika belajar yang sesuai dengan tuntunan agama, sehingga dapat
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Mengembangkan khazanah pengetahuan keislaman di lingkungan institusi
pendidikan tinggi Islam.
2. Mengetahui bagaimana pandangan Al-Ghazali terhadap etika belajar siswa
yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
3. Memberikan sumbangsih pemikiran tentang konsep dan teoritis tentang
etika belajar yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an dan Al-Hadits, serta
menambah khazanah kepustakaan dalam mengkaji dan memahami salah
satu dari konsep pemikiran Al-Ghazali.
4. Sebagai bahan perbandingan dan masukan bagi para peserta didik dalam
memilih teori dan tata cara belajar yang baik.
5. Sebagai salah satu bentuk karya ilmiah yang dapat dijadikan bahan
referensi oleh para akademisi dalam pembuatan tugas karya ilmiahnya.
Tujuan dan manfaat di atas, lebih menekankan kepada fungsi manusia
sebagai khalifah di muka bumi untuk melaksanakan tugas kekhalifahannya
dengan sebaik-baiknya, serta bersosialisasi dengan etika dan norma yang
berlaku di lingkungan masyarakat sekitarnya sebagai bekal kehidupan di
akhirat kelak.
D. Tinjauan pustaka
1. Analisis teori
Kegiatan belajar mengajar dikatakan sebagai suatu sistem
intruksional yang didalamnya terdapat seperangkat komponen yang saling
bergantung antara yang satu dengan yang lain. Komponen-komponen
tersebut meliputi tujuan, metode, bahan atau materi pelajaran, alat atau
media dan evaluasi.
Belajar mengajar merupakan suatu kegiatan yang bernilai edukatif.
Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dengan anak
7
didik. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar
mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam pendidikan agama Islam tujuan yang hendak dicapai ialah
menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan
pemupukan pengetahuan, pengamalan serta penghayatan peserta didik
tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus
berkembang dalam
hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan
bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang
lebih tinggi.6
Oleh karena itu, pendidikan di sekolah itu sebenarnya adalah
bagian dari pendidikan dalam keluarga yang sekaligus juga merupakan
lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Dan kehidupan di sekolah adalah
merupakan jembatan bagi anak yang akan menghubungkan kehidupan
dalam keluarga dengan kehidupan masyarakat kelak. Melalui sekolah
inilah seorang anak kelak diharapkan menjadi orang dewasa sebagai
seorang warga negara dan warga masyarakat yang baik dan produktif. 7
Hal di atas sebagaimana nasihat yang disampaikan Al-Ghazali
kepada muridnya:
Hai anak! Ilmu yang tidak disertakan dengan amal itu namanya
gila, dan amal tanpa ilmu itu akan sia-sia. Dan ketahuilah bahwa
semata-mata ilmu saja tidak akan menjauhkan maksiat di dunia ini,
dan tidak akan membawa kepada taat dan kelakpun di akhirat tiada
akan memeliharamu (menjagamu, menghindarkan) daripada neraka
8
jahannam.
Jadi, antara ilmu dan amal harus seimbang dan saling melengkapi,
searah dan setujuan maksudnya. Dengan kata lain, ilmu haruslah amaliah
dan amal haruslah ilmiah, sehingga dapat tercapai keharmonisan antara
6
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Komptensi;
Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), cet. Ke-3,
h. 135
7
M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet.1,
h. 28
8
Al-Ghazali, Ayyuha al-Walad, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1994 M), cet. I, h. 104
8
ilmu dan amal yang nantinya dapat direalisasikan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Kerangka berfikir
Keharmonisan antara ilmu dengan amal merupakan tuntutan ajaran
Islam yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk perilaku atau
aturan-aturan positif yang sesuai dalam proses belajar mengajar dengan
tetap mengedepankan konsentrasi, bersopan-santun dan menciptakan
suasana belajar-mengajar yang harmonis dengan tetap memperhatikaan
kemuliaan, kehormatan dan kewibawaan guru, sehingga dapat mencapai
hasil belajar berupa penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap atau
tingkah laku yang diinginkan, sehingga dapat direalisasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Berangkat dari sini, penulis mencoba mengkaji dan
membahas konsep etika belajar yang baik, dalam hal ini mengacu kepada
pemikiran Al-Ghazali.
Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111M) adalah seorang teolog
muslim, faqih dan sufi abad pertengahan. Hanya sedikit tokoh dalam
sejarah intelektual Islam yang memiliki pengaruh sekuat dan seberagam
Abu Hamid Al-Ghazali.9 Beliau juga salah satu ulama yang mengupas
masalah pendidikan dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar.
Apabila pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan tersebut dibandingkan
dengan pendidikan modern di Indonesia, nampaknya masih ada
relevansinya, karena masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi nilainilai
(agama)
dan
norma-norma
(susila)
pergaulan
dan
sosial
kemasyarakatan, bahkan dalam dunia pendidikan modern sekalipun, di
Indonesia masih memperhatikan dan mengembangkan nilai dan norma
tersebut.
9
Eva Y, N, Femmy S., Jarot W., Poerwanto, Rofik S., Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam
Modern, (Bandung: Mizan, 2001), h. 111
9
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini bersifat Kualitatif. Riset kualitatif memproses
pencarian gambaran data dari konteks kejadian secara langsung sebagai
upaya melukiskan peristiwa sepersis kenyataannya, yang berarti membuat
pelbagai kejadiannya seperti merekat dan melibatkan perspektif yang
partisipatif di dalam pelbagai kejadian, serta menggunakan penginduksian
dalam menjelaskan gambaran fenomena yang diamatinya. 10 Dengan
demikian, pendekatan kualitatif menekankan analisanya pada data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamati. Pendekatan kualitatif penulis gunakan untuk menganalisis
pemikiran Al-Ghazali tentang konsep etika belajar siswa. Maka dengan
sendirinya penganalisaan data ini lebih difokuskan pada Penelitian
Kepustakaan (Library Research), yakni dengan membaca, menelaah dan
mengkaji buku-buku dan sumber tulisan yang erat kaitannya dengan
masalah yang dibahas.
Sedangkan dipilihnya metode deskriptif karena data yang
dikumpulkan berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Penelitian
deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu tetapi hanya
menggambarkan apa adanya tentang sesuatu variabel, gejala atau
keadaan.11 Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi
kunci terhadap apa yang diteliti. Dengan demikian, laporan penelitian akan
berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan
tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah atau dokumen lainnya.
2. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
10
Septiawan Santana K, Menulis Ilmiah; Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2007), ed. 1, h. 29-30
11
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 234
10
a. Studi dokumenter, yaitu studi yang dilakukan dengan mempelajari
sumber-sumber informasi milik objek yang ditulis secara langsung
tanpa perantara penulis lainnya.
b. Studi kepustakaan, yaitu studi yang dilakukan dengan mempelajari
literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan
mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan seperti teks book,
jurnal ataupun artikel yang memiliki relevansi dengan penelitian ini
guna mendapatkan landasan teoritis.
3. Teknik analisis data
Teknik analisa data yang digunakan adalah analisis dekriptif yang
bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang tepat mengenai obyek
penelitian dengan tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis.12 Analisis
data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data secara sistimatis
dan diformulasikan sedemikian rupa hingga diperoleh kesimpulan yang
komprehensif.
F. Sumber data penulisan
Untuk mendapatkan data-data yang valid maka diperlukan sumber data
penelitian yang valid pula. Dalam penelitian ini ada dua sumber data yaitu:
1. Sumber Data Primer.
Yang dimaksud data primer adalah data yang diperoleh secara
langsung dari obyek yang diteliti.
2. Sumber Data Sekunder
Yang dimaksud data sekunder adalah data-data yang mendukung data
primer, yaitu buku-buku atau sumber-sumber lain yang relevan dengan
penelitian ini.
12
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, h. 234
11
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Konsep Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Secara bahasa, dalam bahasa Indonesia, kata ”pendidikan” berasal
dari kata ”didik”. Kata didik dan mendidik berarti adalah memelihara dan
memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran.1 Pengertian ini memberi kesan bahwa kata pendidikan
lebih mengacu pada cara mendidik.
Selain kata pendidikan, dalam bahasa Indonesia terdapat pula kata
”pengajaran” yang berasal dari kata ”ajar”. Sebagaimana terdapat dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ajar berarti petunjuk yang diberikan
kepada orang supaya diketahui (diturut). Sedangkan pengajaran berarti
proses, cara, perbuatan mengajar atau mengajarkan.2
Masih dalam arti kebahasan, dijumpai pula kata tarbiyah dalam
bahasa Arab, kata ini sering digunakan oleh para ahli pendidikan Islam
untuk menerjemahkan kata “pendidikan” dalam bahasa Indonesia. Selain
kata tarbiyah, terdapat pula kata ta’lim yang berarti pengajaran. Abuddin
Nata mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam dari sudut etimologi
(ilmu akar kata) sering menggunakan istilah ta’lim dan tarbiyah yang
berasal dari kata állama dan rabba yang banyak digunakan dalam Al1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), Edisi III, cet. Ke 4, h. 263
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 17
12
Qur’an. Jadi, konotasi kata tarbiyah mengandung arti memelihara,
membesarkan dan mendidik sekaligus mengandung arti mengajar
(’allama).3
Sedangkan secara istilah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan.4
Sementara itu, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 dinyatakan bahwa pendidikan adalah:
”Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”5
Beberapa ahli pendidikan mendefinisikan pendidikan, sebagai
berikut:
a. Menurut M. Arifin bahwa: “Pendidikan adalah usaha orang dewasa
secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadiannya
serta kemampuan dasar anak didik, baik dalam pendidikan formal
maupun non formal.”6
b. SA. Branata, dkk, bahwa “Pendidikan ialah usaha yang sengaja
diadakan, baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung,
untuk
membantu
kedewasaan.”
3
anak
dalam
perkembangannya
mencapai
7
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. Ke-
1, h. 5
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 263
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI
Tentang Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), h. 5
6
M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan
Keluarga; Sebagai Pola Pengembangan Metodologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), cet. ke. 4, h.
14
7
M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet.1,
h. 6
5
13
c. Jalaluddin dan Abdullah Idi, bahwa ”Pendidikan adalah suatu kegiatan
yang sadar akan tujuan. Dengan demikian tujuan merupakan salah satu
hal yang penting dalam kegiatan pendidikan, karena tidak saja akan
memberikan arah ke mana harus dituju, tetapi juga memberikan
ketentuan yang pasti dalam memilih materi (isi), metode, alat, evaluasi
dalam kegiatan yang dilakukan.8
Berdasarkan pengertian pendidikan yang dikemukakan para ahli di
atas, dapat disimpulkan pendidikan berarti usaha yang dilakukan untuk
menanamkan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat serta
mewariskannya kepada generasi setelahnya untuk dikembangkan dalam
kehidupan yang merupakan suiatu proses pendidikan untuk melestarikan
hidupnya.
Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan
mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama
sekali, mustahil seseorang atau suatu kelompok manusia dapat hidup
berkembangan sejalan dengan cita-cita untuk maju, sejahtara dan bahagia
menurut pandangan hidup mereka sendiri, karena pada dasarnya manusia
secara individual memiliki naluri sosial (homo socius) sebagai makhluk
yang
bermasyarakat,
saling
tolong
menolong
dalam
rangka
mengembangkan kehidupannya di segala bidang. 9
Islam secara bahasa berasal dari kata salama yang berarti
kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan diri, ketaatan dan
kepatuhan. 10 Sedangkan Islam dalam pengertian yang lebih luas adalah
agama yang identik dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad
8
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan Pendidikan,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), cet. Ke-1, h. 119
9
Drs. Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), cet. Ke.
4, h. 2
10
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2005), Ed. 6, h. 49
14
SAW yang termaktub dalam Al-Quran dan yang dalam pelaksanaannya
dicontohkan oleh Nabi Muhammad selama hidupnya. 11
Muhammad Daud Ali mengatakan bahwa Islam merupakan satu
sistem akidah dan syariat serta akhlak yang mengatur hidup dan kehidupan
manusia dalam berbagai hubungan. Agama Islam tidak hanya mengatur
hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat termasuk dengan
diri manusia itu sendiri tetapi juga dengan alam sekitarnya yang kini
terkenal dengan istilah lingkungan hidup.12
Jadi, pendidikan Islam yang dimaksudkan di sini adalah suatu
proses pewarisan dan pengembangan budaya manusia yang bersumber dan
berpedomankan ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an
dan terjabarkan dalam sunnah Rasul dan bermula sejak Nabi Muhammad
SAW menyampaikan ajaran tersebut kepada umatnya.
Kesimpulan di atas secara garis besar memiliki kesamaan dengan
pendapat Nur Uhbiyati yang menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah
“suatu sistem pendidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang
dibutuhkan oleh hamba Allah. Oleh karena Islam mempedomani seluruh
aspek kehidupan manusia muslim baik duniawi maupun ukhrawi”. 13
Dengan demikian, makin jelaslah bahwa semua cabang ilmu
pengetahuan yang materiil bukan Islamis, termasuk ruang lingkup
pendidikan Islam juga, setidaknya menjadi penunjangnya. Pendidikan
Islam tidak menganut sistem tertutup melainkan terbuka terhadap tuntutan
kehidupan manusia, baik itu di bidang ilmu pengetahuan maupun tuntutan
pemenuhan kebutuhan rohaniah, karena meluasnya tuntutan hidup
manusia sendiri. Pendidikan adalah studi tentang sistem dan proses
kependidikan yang bertujuan untuk mencapai suatu produk kependidikan
yang dilaksanakan secara teoritis maupun praktis.
11
Dra. Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), cet.
Ke. 7, h. 12
12
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam..., h. 51
13
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), cet. Ke-2,
h. 13
15
Oleh karenanya, dari sisi teoritis, pendidikan Islam adalah
merupakan konsep berfikir yang bersifat mendalam dan terperinci tentang
masalah kependidikan yang bersumberkan pada ajaran Islam dari segala
rumusan-rumusan tentang konsep dasar, pola, sistem, tujuan, metoda dan
materi (substansi) kependidikan disusun menjadi ilmu yang bulat. Dengan
demikian
terlihat
bagaimana
Islam
memandang
pada
masalah
kependidikan yang mungkin dapat teraplikasi melalui proses yang sesuai
dengan kaidah-kaidah ilmu pendidikan pada umumnya yang tidak terbatas
atau terbuka, sehingga akan nampak dalam teori pendidikan Islam
terkandung nilai-nilai ilmiah paedagogis yang absah dalam dunia ilmu
pengetahuan, khususnya dalam dunia ilmu pendidikan. 14
2. Dasar Pendidikan Islam
Guna meneruskan dan mengekalkan nilai-nilai kebudayaan dari
sebuah masyarakat dan agar pendidikan dapat melaksanakan fungsinya
sebagai agent of culture serta memberi manfaat untuk manusia itu sendiri,
maka diperlukan acuan pokok yang mendasarinya. Dasar pendidikan Islam
secara garis besar ada 3 (tiga) yaitu: Al-Quran, Al-Sunnah dan PerundangUndangan yang berlaku di Negara ini.
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang telah diwahyukan-Nya
kepada Nabi Muhammad SAW bagi seluruh umat manusia, Al-Qur’an
merupakan petunjuk yang lengkap (hudan lin-nas) meliputi seluruh
aspek kehidupan manusia yang universal. Keuniversalannya ajarannya
mencakup ilmu pengetahuan yang tinggi dan sekaligus merupakan
mulia yang esensinya tidak dapat dimengerti kecuali bagi orang yang
berjiwa suci dan berakal cerdas.
Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang memiliki
perbendaharaan luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan umat
manusia. Ia merupakan sumber pendidikan yang terlengkap, baik itu
pendidikan pendidikan kemasyarakatan (sosial), moral (akhlak),
14
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam..., h. 16
16
maupun spiritual (kerohanian), serta material (kejasmanian) dan alam
semesta. Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolut dan utuh.
Eksistensi tidak akan pernah mengalami perubahan. Kemungkinan
perubahan hanya sebatas interpretasi manusia terhadap teks ayat yang
menghendaki kedinamisan pemaknaannya sesuai dengan konteks
zaman, situasi, kondisi dan kemampuan manusia dalam melakukan
interpretasi. Ia merupakan pedoman normatif-teoritis bagi pelaksanaan
pendidikan Islam yang memerlukan penafsiran lebih lanjut bagi
operasional pendidikan Islam lebih lanjut.15
Penurunan Al-Qur’an yang dimulai dengan ayat-ayat yang
mengandung konsep pendidikan dapat menunjukan bahwa tujuan AlQur’an yang terpenting adalah mendidik manusia melalui metode yang
bernalar serta sarat dengan kegiatan meneliti, membaca, mempelajari,
dan observasi ilmiah terhadap manusia sejak manusia masih dalam
bentuk segumpal darah dalam rahim Ibu, sebagaimana firman Allah
SWT berikut ini:
            
           
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan tuhanmulah yang maha pemurah, yang
mengajarkan dengan Qalam, yang mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-’Alaq: 1-5).16
b. As-Sunnah
Hadits merupakan jalan atau cara yang pernah dicontohkan
Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan kehidupannya melaksanakan
15
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), cet. Ke-1, h. 95-96
16
Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pengadaan
Kitab Suci Al-Quran DEPAG, 1995), h. 1079
17
dakwah Islam. Contoh yang diberikan beliau dapat dibagi kepada tiga
bagian. Pertama, hadits qauliyat yaitu yang berisikan ucapan,
pernyataan dan persetujuan Nabi Muhammad SAW. Kedua, hadits
fi’liyat yaitu yang berisi tindakan dan perbuatan yang pernah dilakukan
Nabi. Ketiga, hadits taqririyat yaitu yang merupakan persetujuan Nabi
atas tindakan dan peristiwa yang terjadi.
Kesemua contoh yang telah ditunjukkan Nabi merupakan
acuan dan sumber yang dapat digunakan umat Islam dalam seluruh
aktifitas kehidupannya. Hal ini disebabkan, meskipun secara umum
bagian terbesar dari syari’ah Islam telah terkandung dalam Al-Qur’an,
namun muatan hukum yang terkandungbelum mengatur berbagai
dimensi aktivitas kehidupan ummat secara terperinci dan analitis.
Untuk itu diperlukan keberadaan hadits Nabi sebagai penjelas
dan penguat hukum-hukum dalam Al-Qur’an sekaligus sebagai
pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspeknya.
Dari sini dapat dilihat bagaimana posisi dan fungsi hadits Nabi sebagai
sumber pendidikan Islam yang utama setelah Al-Qur’an.17
Dalam dunia pendidikan, Rasulullah SAW, seperti dalam
hadits, menyerukan untuk menuntut ilmu pengetahuan sebagai bekal
dalam pendidikan dengan sabdanya: “Menuntut ilmu adalah suatu
kewajiban atas setiap muslim.”18
Mencermati hadits di atas menunjukan bahwa penguasaan ilmu
pengetahuan sangat penting untuk dijadikan sebagai bekal dalam
memasuki dunia yang penuh dengan problematika kehidupan, bahkan
untuk mempersiapkan diri memasuki kehidupan yang lebih kekal dan
abadi, yaitu kehidupan akhirat.19
Rasulullah SAW adalah sosok pendidik yang agung dan
pemilik metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik.
17
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 97-98
Al-Ghazali, Ihya’ ’Ulum al-Din, (Surabaya: al-Hidayah, t.t), Juz I, h. 9
19
Muhammad Atyhiyah Al-Abrasy, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Jogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1996), h. 5
18
18
Beliau dapat memperhatikan manusia sesuai dengan kebutuhan,
karakteristik, dan kemampuan akalnya, terutama jika berbicara dengan
anak-anak. Beliau sangat memahami kondisi naluriah setiap orang
sehingga beliau mampu menjadikan mereka suka cita, baik material
maupun spiritual. Beliau senantiasa mengajak setiap orang untuk
mendekati Allah SWT dan syari’at-Nya sehingga terperiharalah fitrah
manusia melalui pembinaan diri setahap demi setahap, penyatuan
kecenderungan hati, dan pengarahan potensi menuju derajat yang lebih
tinggi.
c. Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
1) UUD 1945, pasal 29
Ayat 1, berbunyi:
Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Ayat 2, berbunyi:
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut
agamanya dan kepercayaanya
Pasal 29, UUD 1945 ini memberikan jaminan kepada
warga negara RI untuk memeluk agama dan beribadat sesuai
dengan agama yang dipeluknya bahkan mengadakan kegiatan
yang dapat menunjang bagi pelaksanaan ibadat. Dengan demikian,
pendidikan Islam yang searah dengan bentuk ibadat yang
diyakininya diizinkan dan di jamin oleh negara.
2) Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 disebutkan
bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
19
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab
3. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam ditinjau dari segi historis memiliki
dinamika seirama dengan kepentingan dan perkembangan masyarakat di
mana pendidikan itu dilaksanakan. Contoh sederhana bahwa tujuan
pendidikan Islam pada masa Rasulullah SAW berbeda jauh dengan tujuan
pendidikan Islam pada masa modern sekarang ini. Perkembangan inilah
yang menyebabkan tujuan pendidikan Islam secara khusus mengalami
perkembangan dinamika seirama dengan perkembangan zaman, namun
tanpa melepaskan diri pada nilai-nilai ilahiah dan tujuan umumnya, yaitu
sebagai bagian dari suatu ibadat. Akibat dinamikanya ini, para ahli muslim
mencoba untuk memberikan definisi khusus terhadap pendidikan Islam.
Antara lain adalah Muhammad Fadhil Al-Jumaly yang memberikan
batasan bahwa tujuan pendidikan Islam itu adalah membina kesadaran atas
diri manusia itu sendiri dan atas sistem sosial yang Islami. Sikap dan rasa
tanggung jawab pribadinya, sosialnya, juga terhadap alam ciptaan-Nya
serta kesadarannya untuk mengembangkan dan mengelola alam ini bagi
kepentingan kelangsungan hidup makhluk-Nya dan bagi kepentingan serta
20
kesejahteraan umat manusia. Dan yang penting lagi ialah terbinanya
ma’rifat kepada Allah Pencipta alam semesta dengan beribadah kepadaNya dengan cara mentaati perintah-Nya dan menjauhi segala laranganNya.20
Dalam versi yang lain, Ibn Khaldun menyebutkan bahwa tujuan
pendidikan Islam berupaya bagi pembentukan aqidah/keimanan yang
mendalam. Menumbuhkan dasar-dasar akhlak karimah melalui jalan
agamis yang diturunkan untuk mendidik jiwa manusia serta menegakkan
akhlak yang akan membangkitkan kepada perbuatan yang terpuji. Upaya
ini sebagai perwujudan penyerahan diri kepada Allah pada tingkat
individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.21
Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20
Tahun 2003 disebutkan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab .22
Dari berbagai rumusan di atas, terdapat beberapa tujuan yang asasi
bagi pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
a. Tujuan umum, yakni tidak dapat dicapai kecuali setelah melalui proses
pengajaran, pengalaman, penghayatan dan keyakinan akan kebenaran.
b. Tujuan akhir, yaitu insan kamil yang mati dan akan menghadap
Tuhannya merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan Islam.
Dalam arti bahwa mati dalam keadaan muslim merupakan ujung dari
takwa sebagai akhir dari proses hidup yang pasti berisikan kegiatan
pendidikan.
20
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 105
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 106
22
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI
Tentang Pendidikan..., h. 8
21
21
c. Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik
diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu
kurikulum pendidikan formal.
d. Tujuan operasional yaitu tujuan praktis yang hendak dicapai dengan
sejumlah kegiatan pendidikan tertentu, yang menuntut kemampuan dan
keterampilan tertentu yang lebih ditonjolkan pada sifat penghayatan
dan kepribadian.23
Jelaslah bahwa tujuan pendidikan Islam lebih berorientasi kepada
nilai-nilai luhur dari Tuhan yang harus diinternalisasikan ke dalam diri
individu anak didik melalui proses pendidikan.
4. Metode Pendidikan Islam
Dari segi bahasa, metode berasal dari dua kata, yaitu kata “meta”
yang berarti melalui dan kata “hodos” yang berarti jalan, dengan demikian
metode berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan
tertentu.24
Jalan mencapai tujuan ini bermakna ditempatkan pada posisi
sebagai cara untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang
diperlukan bagi pengembangan ilmu atau tersistematisasikannya. Dengan
pengertian tersebut berarti metode lebih memperlihatkan sebagai alat
untuk mengolah dan mengemban suatu gagasan.
Selanjutnya jika kata metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan
Islam, dapat berarti bahwa metode sebagai jalan untuk menanamkan
pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadi
obyek dan sasaran, yaitu pribadi Islami. Selain itu metode dapat pula
berarti sebagai cara untuk memahami, menggali dan mengembangkan
ajaran Islam sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman. Demikianlah ilmu pendidikan Islam merangkum metodologi
pendidikan Islam yang tugas dan fungsinya adalah memberikan cara
23
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 112
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet.
Ke-1, h. 91
24
22
sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dan ilmu pendidikan
tersebut.
Ada beberapa metode dalam pendidikan Islam yang dikemukakan
para ahli, di antaranya ialah:
a. Metoda Mutual Education
Yaitu suatu metoda mendidik secara berkelompok yang pernah
dicontohkan oleh Nabi, misalnya dicontohkan Nabi sendiri dalam
mengajarkan shalat dengan mendemonstrasikan cara-cara shalat yang
baik. Nabi juga menganjurkan shalat secara berjamaah dengan pahala
yang berlipat 27 kali. Dengan cara berkelompok inilah maka proses
mengetahui dan memahami ilmu pengetahuan lebih efektif oleh karena
satu sama lain dapat saling bertanya dan saling mengoreksi bila satu
sama lain melakukan kesalahan.
b. Metode Instruksional
Yaitu metode yang bersifat mengajar tentang ciri-ciri orang
yang beriman dan bersikap serta bertingkah laku agar mereka dapat
mengetahui bagaimana seharusnya mereka bersikap dan bertingkah
dalam kehidupan sehari-hari.
c. Metode Bercerita
Yaitu dengan cara mengisahkan peristiwa sejarah hidup
manusia
masa
lampau
yang
menyangkut
ketaatannya
atau
kemungkarannya dalam hidup terhadap perintah Tuhan yang
dibawakan oleh Nabi atau Rasul yang hadir di tengah mereka.
d. Metode Bimbingan dan Penyuluhan
Metode ini tertuang dalam Al-Qur’an untuk membimbing dan
menasehati manusia sehingga dapat memperoleh kehidupan batin yang
tenang, sehat serta terbebas dari segala bentuk kesulitan hidup yang
dihadapi atas dasar iman dan takwanya kepada Yang Maha
Menjadikan.
23
e. Metode Pemberian Contoh dan Teladan
Metode yang cukup besar dalam mendidik anak adalah metode
pemberian contoh dan teladan. Allah telah menunjukkan bahwa contoh
keteladanan dari kehidupan Nabi Muhammad adalah mengandung
nilai paedagogis bagi manusia (para pengikutnya).
f. Metode Diskusi
Metode diskusi juga diperhatikan oleh Al-Qur’an dalam
mendidik dan mengejar manusia dengan tujuan lebih memantapkan
pengertian dan sikap pengetahuan mereka terhadap suatu masalah.
Perintah Allah dalam hal ini adalah agar kita mengajak ke jalan yang
benar dengan hikmah dan mauidzoh yang baik dan membantah mereka
dengan berdiskusi dengan cara yang lebih baik. Suatu diskusi baru
dapat berjalan dengan baik bila dilakukan dengan persiapan beserta
bahan-bahannya yang cukup jelas, dengan pembicaraan yang
berlangsung secara rasional tidak didasarkan atas luapan emosi dan
lebih mementingkan pada kesimpulan rasional daripada kepentingan
egoistis pribadi peserta.
g. Metode Soal-Jawab
Metode soal-jawab sering digunakan oleh Rasulullah SAW dan
para Nabi dalam mengajarkan agama kepada umatnya. Bahkan para
ahli pikir dan filosofpun banyak mempergunakan metode soal-jawab
ini. Oleh karenanya, metode ini adalah yang paling tua dalam dunia
pendidikan dan pengajaran di samping metode ceramah. Namun
efektifitasnya lebih besardaripada metode-metode yang lain, karena
dengan soal-jawab, pengertian dan pemahaman seseorang dapat lebih
dimantapkan, sehingga segala bentuk kesalah pahaman, kelemahan
daya tangkap terhadap pelajaran dapat dihindari
h. Metode Pemberian Perumpamaan
Mendidik
dengan
menggunakan
metode
pemberian
perumpamaan atau metode imtsal tentang kekuasaan Tuhan dalam
menciptakan hal-hal yang hak dan hal-hal yang bathil, misalnya
24
sebagai yang digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya sebagai
berikut:
        
           
           
          
    
Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka
mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka
arus itu membawa buih yang mengambang. dan dari apa
(logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat
perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus
itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang
benar dan yang bathil. adapun buih itu, akan hilang sebagai
sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat
kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan. (Q.S. Ar-Ra’d: 17)
i. Metode Motivasi
Yaitu
dorongan
cara
memberikan pelajaran dengan
(motivasi)
untuk
memperoleh
memberikan
kegembiraan
bila
mendapatkan sukses dalam kebaikan, sedangkan bila dalam keadaan
tidak sukses karena tidak mau mengikuti petunjuk yang benar maka
akan mendapat kesusahan. Metode ini juga disebut sebagai metode
targhieb dan tarhieb (hadiah dan ancaman). Yang memberikan
dorongan untuk selalu berbuat baik dalam hal-hal yang bersifat positif.
j. Metode Taubat dan Ampunan
Metode taubat dan ampunan yaitu cara membangkitkan jiwa
dan rasa frustasi kepada kesegaran hidup dan optimisme dalam belajar
seseorang
dengan
memberikan
kesempatan
bertaubat
dari
25
kesalahan/kekeliruan
yang telah lampau yang diikuti dengan
pengampunan atas dosa dan kesalahannya. Dengan cara demikian
orang akan mengalami katarisasi (pembersihan batin) sehingga
memungkinkan timbulnya sikap dan perasaan mampu untuk berbuat
yang lebih baik diiringi dengan optimisme dan harapan-harapan hidup
di masa depannya. Metode ini banyak dipergunakan dalam proses
counseling yang diterapkan dalam client-centered.25
5. Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Nur Uhbiyati mengatakan bahwa ruang lingkup pendidikan Islam
adalah mencakup segala bidang kehidupan manusia di dunia di mana
manusia mampu memanfaatkan sebagai tempat menanam benih-benih
amaliah yang buahnya akan dipetik di akhirat nanti, maka pembentukan
sikap dan nilai-nilai amaliah Islamiah dalam pribadi manusia baru dapat
efektif bilamana dilakukan melalui proses kependidikan yang berjalan di
atas kaidah-kaidah ilmu pengetahuan kependidikan.26
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ruang
lingkup materi pendidikan Islam meliputi kegamaan, kemasyarakatan, seni
budaya dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian materi pendidikan Islam
yang diberikan di sekolah berperan untuk pengembangan potensi
kreatifitas peserta didik dan bertujuan untuk mewujudkan manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Allah swt, cerdas, terampil, memiliki etos
kerja yang tinggi. Berbudi pekerti luhur, mandiri dan bertanggung jawab
terhadap dirinya, agama, bangsa dan negara.
Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat bertolak belakang dengan
ilmu pendidikan non-Islam. Pengembangan pendidikan Islam adalah
upaya mengembangkan sebuah sistem pendidikan alternatif yang lebih
baik dan relatif dapat memenuhi kebutuhan umat Islam dalam
25
26
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam..., h, 110-125
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam..., h 16
26
menyelesaikan semua problematika kehidupan yang mereka hadapi seharihari.
6. Tanggung Jawab Pendidkan Islam
Secara umum, menurut Samsul Nizar, mengutip dari Hadari
Nawawi, bahwa yang bertanggung jawab atas maju mundurnya
pendidikan –termasuk pendidikan Islam- terdapat pada pundak keluarga,
sekolah dan masyarakat. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh
dan saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Ketiganya harus
mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana yang memberikan
motivasi, fasilitas edukatif, wahana pengembangan potensi yang ada pada
diri peserta didik dan mengarahkannya untuk mampu bernilai efektifefisien sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zamannya serta
memberikan bimbingan dan perhatian yang serius terhadap kebutuhan
moral-spiritual peserta didiknya. Bimbingan yang dimaksud meliputi
pengembangan potensi anak didik, transformasi ilmu pengetahuan dan
kecakapan lainnya serta membangkitkan motif-motif yang ada semaksimal
mungkin.27
Di samping ketiga unsur di atas, menurut Samsul Nizar, ada satu
lagi yang ikut bertanggung jawab atas terlaksananya pendidikan Islam,
yaitu manusia itu sendiri, sebagai subyek dan obyek langsung pendidikan.
Tanpa kesadaran dan tumbuhnya nilai tanggung jawab pada dirinya
mustahil pendidikan Islam mampu memainkan peranannya secara
maksimal. Untuk itu, di samping ketiga unsur di atas, diperlukan kesiapan
dan tanggung jawab yang besar pada diri peserta didik sebagai hamba
Allah yang siap melaksanakan amanat-Nya di muka bumi.28
Beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh unsur-unsur di atas
dalam upayanya mengentarkan peserta didik muslim kepada tujuan ilahi
yang agung, menjadikannya sebagai salah satu kekuatan penentu berhasil
27
28
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 124
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 125
27
atau tidaknya pendidikan Islam sebagai pioner pembangunan peradaban
umat, terutama di era modern saat ini.
Oleh karenanya, kesemua unsur tersebut harus mampu bersatu
secara padu dan utuh, dengan tanpa melepaskan diri dari ruh akidah
Islamiah.
Kesemua
ini
menurut
Islam,
akan
dimintai
pertanggungjawabannya oleh Allah kelak di akhirat, atas upaya dan
tugasnya dalam mengantarkan peserta didik muslim ke arah tujuan
pendidikan Islam secara maksimal.
B. Konsep Etika
1. Pengertian Etika
a. Pengertian Etika menurut Bahasa
Secara etimologi, kata etika berasal dari bahasa Latin "ethicus",
yang berarti kesusilaan atau moral. Maksudnya adalah tingkah laku
yang ada kaitannya dengan norma-norma social, baik yang sedang
berjalan maupun yang akan terjadi. Di samping itu terdapat pendapat
bahwa kata etika berasal dari bahasa Yunani, "ethos" artinya watak
kesusilaan.29 Etika seringkali juga dikaitkan dengan moral. Hal ini
dikarenakan kata moral selalu mengacu pada tindakan yang baik atau
yang buruk yang dilakukan oleh manusia. Moral berasal dari bahasa
Latin "mores", jamak dari "mos" yang berarti kebiasaan.30 Dalam
bahasa Arab disebut "akhlak" artinya budi pekerti. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak).31
Memperhatikan beberapa pengertian etimologi dari pendapat di
atas menunjukkan bahwa etika sama artinya dengan moral atau akhlak,
29
Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2008), h. 23
30
Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1992), h. 26
31
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 309
28
yang berarti adat kebiasaan, kesusilaan, budi pekerti, norma atau
peraturan hidup. Dengan demikian secara garis besar, etika tidak
mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia
seharusnya berbuat atau bertindak
Ada pendapat yang membedakan arti kata etika dan moral
maupun akhlak dalam pemakaiannya, yaitu sebagaimana yang
dikemukakan oleh Rosmaria Sjafariah Widjajanti sebagai berikut:
"biasanya
orang
menggunakan
kata
morality
untuk
menunjukkan tingkah lakunya sendiri, sedangkan ethic
menunjuk kepada penyelidikan tentang tingkah laku pada
umumnya”.32
Dengan demikian, apabila akan membahas persoalan etika
siswa dalam belajar maka berarti mengkaji nilai-nilai dan normanorma yang hendaknya dilakukan oleh siswa dalam bersikap dan
bertingkah laku.
b. Pengertian Etika menurut Istilah
Secara terminologi, ada beberapa pendapat yang memberikan
pengertian tentang etika, antara lain sebagai berikut:
Menurut Ahmad Amin etika adalah ilmu yang menjelaskan arti
baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh
seorang manusia kepada yang lainnya, menyatakan tujuan yang harus
dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan
jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.33 Hamzah Ya'qub
menyatakan bahwa etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik
dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia
sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.34 Hasbullah Bakry
menjelaskan bahwa etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang
32
Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika..., h. 25
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (terj). Prof. K.H. Farid Ma'ruf, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1995), cet. ke-8, h. 3
34
Hamzah Ya'qub, Etika Islam; Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar),
(Bandung: CV. Diponegoro, 1996), cet. ke-7, h. 12
33
29
baik dan mana yang buruk dengan melihat perbuatan manusia sejauh
yang dapat diketahui oleh akal pikiran.35
Dari beberapa batasan pengertian tersebut di atas, tampak
sekali, walaupun mengemukakan dalam bahasa yang berbeda, namun
pada prinsipnya sama antara yang satu dengan yang lainnya saling
melengkapi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki dengan meliputi
berbagai aspek, yaitu tentang baik dan buruk, tentang apa dan
bagaimana perbuatan dan tujuan manusia, mengandung nilai-nilai dan
norma-norma yang dapat dijadikan peraturan hidup dalam kehidupan
manusia.
2. Ruang Lingkup Etika
Lapangan penelitian etika memiliki cakupan yang sangat luas
sehingga pembahasannya memerlukan pembagian. Oleh karena itu lingkup
persoalan etika dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Etika deskriptif, yaitu ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan etika
yang berusaha untuk membuat deskripsi yang secermat mungkin
tentang yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik, yang
berlaku atau yang ada di dalam masyarakat. Etika deskriptif ini hanya
melukiskan tentang nilai dan tidak memberikan penilaian.
b. Etika normatif, yaitu etika yang berkaitan ddengan penyelesaian
ukuran-ukuran kesusilaan yang dianggap benar yang dilaksanakan oleh
seseorang atau sekelompok orang. Dalam arti bahwa etika normatif
menjelaskan tentang tindakan-tindakan yang seharusnya terjadi atau
yang semestinya dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.
Dengan demikian etika normatif tidak menggambarkan norma yang
ada melainkan menentukan benar atau tidaknya tingkah laku atau
anggapan moral yang ada di dalam masyarakat.
c. Etika praktis, yaitu etika yang mengacu pada pengertian sehari-hari,
yakni persoalan etis yang dihadapi seseorang ketika berhadapan
dengan tindakan nyata yang harus diperbuat dalam tindakannya sehari35
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Wijaya, 1978), cet. 5, h. 63
30
hari. Dengan kata lain bahwa etika praktis sama dengan etika terapan
yang membicarakan masalah-masalah kesusilaan yang kongkrit.
d. Etika individual dan etika sosial.
Etika individual adalah etika yang
bersangkutan dengan manusia
sebagai perseorangan saja. Sedangkan etika sosial adalah etika yang
membicarakan hubungan antar perorangan dengan sekumpulan
masyarakat. Sehingga dapat dipahami bahwa etika individual
berhubungan dengan sikap atau tingkah laku perbuatan dari
perseorangan. Sedangkan etika sosial berhubungan dengan tingkah
laku yang dilakukan oleh perseorangan sebagai bagian kesatuan yang
lebih besar.36
3. Perbedaan Antara Etika dengan Akhlak
Banyak orang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak.
Persamaan itu memang ada karena keduanya membahas masalah baik
buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat
ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu
dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang
dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha
mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan karena pandangan masingmasing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran
(kriteria) yang berlainan. Setiap golongan mempunyai konsepsi sendirisendiri.37
Sebagai cabang dari filsafat, maka etika bertitik tolak dari akal
pikiran, tidak dari agama. Di sinilah letak perbedaannya dengan etika
Islam yang lebih dikenal dengan akhlak.
Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak ialah suatu ilmu pengetahuan
yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan
ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran agama Islam sesuai dengan fitrah dan
akal pikiran yang lurus.
36
37
13
Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika..., h. 44-52
Hamzah Ya'qub, Etika Islam; Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar)..., h.
31
Etika Islam (Akhlak) berbeda dengan teori etika menurut beberapa
aliran filsafat. Perbedaan yang mencolok antara etika Islam dengan teoriteori etika dalam berbagai aliran filsafat terdapat dalam menentukan
konsep nilai yang paling fundamental, yakni kebaikan.
Dalam pandangan filsafat terdapat aliran-aliran etika yaitu, Pertama,
hedonisme adalah doktrin etis yang memandang kesenangan sebagai
kebaikan yang paling utama dan kewajiban seseorang ialah mencari
kesenangan sebagai tujuan hidupnya. Kedua, idealisme memandang
bahwa cita-cita adalah sasaran yang harus dikejar dalam tindakan. Ketiga,
naturalisme menilai baik dan tidak baiknya perbuatan seseorang ditilik
dari adanya kesesuaian dengan naluri manusia, baik naluri lahir maupun
batin
sebagai
titik
tolak
kebahagiaan.
Keempat
ultilitarianisme
berpedoman bahwa kebaikan dari suatu perbuatan dapat dilihat pada
sumbangannya untuk kebahagiaan hidup manusia. Kelima, vitalisme
memandang bahwa yang dinilai baik adalah orang kuat yang mampu
melaksanakan keinginannya agar dirinya ditaati oleh orang lain. Keenam,
perfectionisme dari Plato dan Aristoteles menetapkan kebaikan dalam
kaitan dengan pengembangan berbagai kemampuan manusia. Kebahagiaan
hanya bernilai jika kemampuan-kemampuan kita berfungsi dengan baik.
Dalam etika Islam, ukuran kebaikan dan ketidakbaikan bersifat mutlak;
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits Nabi Muhammad Saw. 38 Sedangkan M.
Yatimin menambahkan satu aliran lagi, yakni aliran teologi, yang
menyatakan bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan
manusia
didasarkan
atas
ajaran
Tuhan.
Segala
perbuatan
yang
diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang dilarang
Tuhan itulah yang buruk.39
38
Sudarsono, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), Cet.
ke-2, h. 39-41
39
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006), h. 86-87
32
Untuk menghilangkan kesamaran antara etika Islam dengan etika
filsafat, Hamzah Ya'qub mengemukakan karakteristik etika Islam, yakni
sebagai berikut:
a. Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku
yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
b. Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran
baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah (Al-Qur'an)
dan ajaran Rasul-Nya (Sunnah).
c. Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh
seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.
d. Dengan ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan fitrah
manusia (manusiawi) maka Etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh
seluruh manusia.
e. Etika Islam mengatur akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan
manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah menuju keridlaanNya. Dengan melaksanakan Etika Islam niscaya akan selamatlah
manusia dari pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan yang keliru dan
mnyesatkan.40
Untuk lebih jelasnya, berikut perbedaan antara Etika Islam dengan
etika Barat dalam tabel:
NO
TINJAUAN
1.
SUMBER
2.
SIFAT
40
14
ETIKA ISLAM
(AKHLAK)
Wahyu, yakni ketentuan
yang berdasarkan petunjuk
Al-Qur'an
dan
Hadits,
dengan kata lain akhlak
berasal dari Allah
Mutlak, absolut dan tidak
dapat diubah. Namun di sisi
lain akhlak menerima ajaran
yang bersifat rasional, lokal
ETIKA BARAT
Pendapat
akal
pikiran
(rasio),
produk
rasio.
Dengan kata lain etika barat
berasal dari manusia.
Terbatas dan dapat diubah.
Mengingat sumber Etika
Barat adalah akal pikiran
yang dimiliki oleh manusia
Hamzah Ya'qub, Etika Islam; Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar)..., h.
33
3.
TUJUAN
4.
PERAN
dan kultural jika memang
etika Barat itu sesuai dengan
akhlak
sehingga
ajaran
Islam itu dapat hadir dan
diterima
oleh
seluruh
lapisan
sosial.
Dengan
demikian,
hal
itu
menunjukkan bahwa Islam
sangat
toleran
dan
akomodatif
terhadap
berbagai produk pemikiran.
Universal
dan
komprehensif,
karena
patokannya bukan pada
pemikiran manusia yang
berbeda-beda.
Akhlak bertujuan untuk
kebahagiaan
dunia dan
akhirat.
Akhlak memiliki peran
terhadap etika Barat, moral
dan
susila
yakni
memberikan
batas-batas
umum dan universal agar
apa yang dijabarkan dalam
etika tidak bertentangan
dengan nilai-nilai luhur dan
tidak membawa manusia
menjadi sesat.
yang berlainan/berbeda dan
terbatas.
Sedangan etika Barat hanya
bertujuan
untuk
kebahagiaan dunia.
Peran etika Barat terhadap
akhlak adalah mengabarkan
dan
mengoperasionalkan
ketentuan
akhlak
yang
terdapat dalam Al-Qur'an.
Karena etika bersumber
pada akal pikiran, dengan
demikian diterimanya hasil
pemikiran manusia oleh
Islam menunjukkan bahwa
etika diterima oleh akhlak
Islam sebagai sarana untuk
menjbarkan ajaran akhlak
yang terdapat dalam wahyu.
Demikianlah Etika Islam yang dimaksud dalam pembahasan skripsi ini
yakni akhlak atau perilaku serta atau aturan-aturan positif sesuai dengan ajaran
Islam yang mesti dilakukan terutama oleh siswa dalam proses belajar
mengajar.
34
C. Konsep Belajar
1. Pengertian Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, belajar adalah 1. berusaha
memperoleh kepandaian atau ilmu; 2. berlatih; 3. berubah tingkah laku
atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.41
Sedangkan secara terminologi, belajar dapat diartikan sebagai
suatu proses perubahan tingkah laku akibat adanya interaksi antara
individu dengan lingkungannya. Secara umum, menurut Mardiyanto,
belajar adalah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan untuk
mengadakan perubahan di dalam diri seseorang yang mencakup perubahan
tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan keterampilan dan
sebagainya.42 Selanjutnya Syaiful Bahri Djamarah menyatakan bahwa
belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam
interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut aspek kognitif, afektif
dan psikomotor.43
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa belajar merupakan proses
penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari proses
pembelajaran serta perubahan tingkah laku akibat adanya interaksi antara
individu dengan lingkungannya untuk dapat tumbuh dan berkembang
secara baik dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan etika belajar adalah
serangkaian upaya pembentukan perilaku yang mengandung nilai-nilai dan
norma-norma yang dapat dijadikan peraturan hidup, terutama dalam
proses belajar baik dalam proses penguasaan pengetahuan atau
keterampilan serta tercapainya perubahan tingkah laku akibat adanya
interaksi antara individu dengan lingkungannya untuk dapat tumbuh dan
berkembang secara baik.
41
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 17
Mardiyanto, Psikologi Pendidikan; Landasan Bagi Pengembangan Strategi Pembelajaran,
(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), cet. I, h. 35
43
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), ed. 2, h. 13
42
35
2
Ciri-ciri Belajar
Mengingat bahwa hakikat belajar adalah perubahan tingkah laku,
maka ada beberapa perubahan tertentu yang dimasukkan ke dalam ciri-ciri
belajar, yaitu:
a. Perubahan yang terjadi secara sadar
Hal ini berarti individu yang belajar akan menyadari terjadinya
perubahan
itu
atau
sekurang-kurangnya
individu
merasakan
telahterjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya. Misalnya ia
menyadari
bahwa
pengetahuannya
bertambah,
kecakapannya
bertambah, kebiasaannya bertambah.
b. Perubahan dalam belajar bersifat fungsional
Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri individu
berlangsung terus menerus dan tidak statis. Suatau perubahan yang
terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna
bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya. Misalnya, jika
seorang anak belajar menulis maka ia akan mengalami perubahan dari
tidak menulis menjadi dapat menulis . disamping itu, dengan
kecakapan menulis yang telah dimilikinya ia dapat memperoleh
kecakapan-kecakapan lain. Misalnya, dapat menulis surat, menyalin
catatan-catatan, mengerjakan soal-soal dan sebagainya.
c. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu selalu bertambah
dan tertuju untuk memperoleh suatu yang lebih baik dari sebelumnya.
Dengan demikian, makin banyak usaha belajar yang dilakukan, makin
banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang
bersifat aktif artinya bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan
sendirinya melainkan karena usaha individu sendiri. Misalnya,
perubahan tingkah laku karena proses kematangan yang terjadi dengan
sendirinya karena dorongan dari dalam, tidak termasuk perubahan
dalam pengertian belajar.
36
d. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara
Perubahan yang bersifat sementara (temporer) yang terjadi hanya
untuk beberapa saat saja, seperti berkeringat, keluar air mata, menangis
dan sebagainya tidak dapat digolongkan sebagai perubahan dalam
pengertian belajar. Perubahan yang terjadi karena proses belajar
bersifat menetap atau permanen. Ini berarti bahwa tingkah laku yang
terjadi setelah belajar akan bersifat menetap. Misalnya kecakapan
seorang anak dalam memainkan piano setelah belajar tidak akan hilang
melainkan akan terus dimiliki dan bahkan makin berkembang bila
terus dipergunakan atau dilatih.
e. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah
Dalam hal ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena
ada tujuan yang akan dicapai. Perubahan belajar terarah pada
perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari. Misalnya seseorang
yang belajar mengetik sebelumnya sudah menetapkan apa yang
mungkin dapat dicapai dengan belajar mengetik atau tingkat
kecakapan mana yang akan dicapainya. Dengan demikian, perbuatan
belajar yang dilakukan senantiasa terarah pada tingkah laku yang telah
ditetapkan.
f. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
Perubahan yang diperoleh individu setelah melalui suatu proses belajar
meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku tingkah laku. Jika
seseorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami
perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap kebiasaan,
keterampilan, pengetahuan dan sebagainya. Misalnya, jika seorang
anak telah belajar naik sepeda maka perubahan yang paling tampak
adalah dalam keterampilan naik sepeda itu. Akan tetapi, ia telah
mengalami perubahan-perubahan lainnya seperti pemahaman tentang
cara kerja sepeda, pengetahuan tentang jenis-jenis sepeda, pengetahuan
tentang alat-alat sepeda, cita-cita untuk memiliki sepeda yang lebih
37
bagus, kebiasaan membersihkan sepeda dan sebagainya. Jadi, aspek
perubahan yang satu berhubungan erat dengan aspek lainnya.44
D. Etika Belajar Menurut Tokoh Pendidikan Islam
Muhammad Yusuf Musa menyebutkan bahwa Ibnu Miskawaih dalam
bukunya Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A'raq menguraikan pengartian moral
atau akhlak adalah:
Suatu sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan
45
tanpa pertimbangan.
Asal sikap mental itu adakalnya dari watak dan ada pula dari kebiasaan
dan latihan. Dengan demikian sangatlah penting menegakkan akhlak yang benar
dan sehat. Sebab dengan landasan tersebut akan melahirkan perbuatan-perbuatan
baik tanpa kesulitan.
Karena pentingnya akan pembinaan akhlak, Ibnu Miskawaih memberikan
perhatian yang besar terhadap etika mulia yang harus dibina dengan menekankan
pada pembentukan jiwa terlebih dahulu yang mencakup daya dan kemampuan
yang ada pada anak, yaitu daya berfikir, daya marah dan daya keinginan. Hal ini
sesuai dengan analisis Muhammad Yusuf Musa terhadap pemikiran Ibnu
Miskawaih yang menyatakan bahwa:
,
,
,
Jiwa memiliki tiga daya. Pertama adalah daya berfikir daya mengamati
hakekat sesuatu, kedua adalah daya yang berkaitan dengan sifat marah,
44
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar..., h. 15-17
Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam wa Shilatuha bi al-Falsafat alIghroqiyyah, (Kairo: al-Khoniji, 1963), Cet. ke. 3, h. 85
45
38
sifat berani dan sifat-sifat lainnya dan ketiga adalah daya keinginan yang
akan menimbulkan kepuasan inderawi dan hal-hal lainnya.46
Dengan daya berfikir, siswa dilatih dengan baik terutama pada
perkembangan akal serta sistematika berfikirnya sehingga pada akhirnya dapat
menguasai segala ilmu pengetahuan baik yang bersifat ukhrawi maupun yang
bersifat duniawi sehingga menjadi dasar untuk berbuat, bertindak dan bertingkah
laku. Daya yang berkaitan dengan emosi atau marah, berani dan kendali diri
diterapkan untuk meminimalisir serta mengarahkan daya marah dan sifat berani
yang dimilikinya. Sedangkan dengan daya yang menimbulkan kepuasan inderawi,
anak-anak dididik dalam hal adab makan, minum, berpakaian dan lain-lain.
Dengan demikian Ibnu Miskawaih menerangkan adanya tiga pokok dasar
dalam pembentukan kejiwaan seseorang. Pertama, daya berfikir. Daya berfikir
harus dimiliki setiap siswa karena dengan daya tersebut ia akan berusaha untuk
mencapai kebenaran dan ingin terlepas dari semua bentuk kesalahan dan
kebodohan. Kedua, daya yang berkaitan dengan emosi dan sikap berani, dalam
arti sikap berani yang dapat mengendalikan kekuatan amarahnya dengan akal
untuk maju. Orang yang memiliki etika yang baik biasanya memiliki kecerdasan
emosional dan sikap pemberani, karena dapat menunjang
dirinya untuk
mewujudkan sikap-sikap mulia, suka menolong, cerdas, dapat mengendalikan
jiwanya, suka menerima saran dan kritik orang lain, penyantun dan memiliki
perasaan kasih dan cinta. Ketiga, daya yang menimbulkan kepuasan inderawi,
yaitu sifat dasar manusia yang menginginkan kebebasan beraktualsasi untuk
meraih kepuasan-kepuasan tertentu. Orang yang memiliki daya tersebut dapat
menimbulkan sifat-sifat pemurah, pemalu, sabar, toleransi, sederhana, suka
menolong, cerdik dan tidak rakus. Daya yang menimbulkan kepuasan tersebut
merupakan suatu potensi yang diberikan Allah, dibawa oleh manusia sejak lahir
yang menurut tabiatnya cenderung kepada kebaikan dan mendorong manusia
untuk berbuat baik.
46
Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam wa Shilatuha bi al-Falsafat alIghroqiyyah..., h. 85
39
Orang yang memiliki etika baik dapat bergaul dengan masyarakat secara
luwes karena dapat melahirkaan sifat saling mencintai dan tolong-menolong.
Etika yang baik bukanlah semata-mata teori yang muluk-muluk, melainkan etika
baik yang timbul sebagai tindak-tanduk manusia yang bersumber dari hati. Etika
baik merupakan sumber dari segala perbuatan yang sewajarnya sehingga suatu
perbuatan yang terlihat merupakan gambaran dari sifat-sifat yang tertanam dalam
jiwa.
Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa konsep etika belajar siswa
menurut Ibnu Miskawaih terbagi menjadi tiga hal, yaitu:
1.
Daya berfikir, siswa dilatih dengan baik terutama pada perkembangan akal
serta sistematika berfikirnya sehingga pada akhirnya dapat menguasai segala
ilmu pengetahuan baik yang bersifat ukhrawi maupun yang bersifat duniawi
2.
Daya yang berkaitan dengan emosi atau marah, berani dan kendali diri
diterapkan untuk meminimalisir serta mengarahkan daya marah dan sifat
berani yang dimilikinya menuju sikap dan perilaku yang positif
3.
Daya yang menimbulkan kepuasan inderawi, yaitu sifat dasar manusia yang
menginginkan kebebasan beraktualsasi untuk meraih kepuasan-kepuasan
tertentu. Orang yang memiliki daya tersebut dapat menimbulkan sifat-sifat
pemurah, pemalu, sabar, toleransi, sederhana, suka menolong, cerdik dan
tidak rakus
Al-Farabi juga mengemukakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam
upaya pembentukan etika bagi siswa sebagai berikut:
.
,
.
,
,
40
,
.
.
Al-Farabi mengawali kupasan tentang tata cara pembentukan etika
dengan uraian-uraian yang hendaknya diketahui dan dipercayai oleh
siswa. Al-Farabi berpendapat bahwa seorang siswa hendaknya memulai
pengetahuannya tentang adanya zat (tuhan) yang menciptakan dan
mengatur alam beserta isinya, sekaligus menjadi sebab wujudnya alam
tersebut. Kedua, seorang siswa wajib mempercayai adanya wahyu. Hal ini
mengingat bahwa manusia memiliki tingkatan akal dan kemampuan yang
saling berbeda. Maka solusi yang memungkinkan adalah harus ada orang
yang mampu untuk menerima wahyu dalam hatinya sehingga tidak ada
orang lain yang dapat menandinginya agar ia bisa menyampaikan wahyu
yang telah diturunkan kepadanya. Dan bagi seorang siswa hendaknya ia
mengikuti nabi yang membawa wahyu tersebut serta menjalankaan
petunjuknya. Ketiga, seorang siswa hendaknya mengetahui bahwa ilmu
yang bersifat primer wajib tertanam dalam tabiatnya namun harus
disertai dengan niat.47
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas terlihat jelas Al-Farabi
memandang bahwa konsep etika belajar siswa ialah suatu upaya pendidikan agar
siswa mengetahui dan meyakini akan adanya tuhan yang mencipta dan mengatur
alam raya ini. Al-Farabi juga memberikan ruang yang cukup luas bagi siswa
untuk mempelajari ilmu yang dibutuhkan bagi dirinya maupun lingkungannya
dengan tetap memprioritaskan untuk mempelajari ilmu-ilmu yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan Al-Sunnah, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Al-Farabi
juga menekankan untuk bersifat inklusif dalam menerima ilmu pengetahuan dari
manapun datangnya dan menolak sama sekali sikap fanatik terhadap seseorang
ataupun kelompok tertentu. Sebab akidah Islam mengajarkan umatnya untuk
mencari kebenaran tanpa harus membatasi diri dengan kelompok atau seseorang
selain meneladani sikap Rasul dalam segenap tingkah lakunya. Di sinilah
kelebihan teori Al-Farabi yang sangat menghargai arti perbedaan karena berbeda
tidaklah identik dengan bertentangan.
47
Ahmad Syamsyuddin, Al-Farabi; Hayatuhu, Atsaruhu, Falsafatuhu, (Beirut, Dar alKutub al-Ilmiyah, 1990), Cet. ke. 1, h. 140
41
Al-Farabi juga menekankan bahwa etika belajar siswa hendaknya bersendi
pada nilai ibadah, mengingat bahwa niat adalah unsur terpenting dalam aktifitas
dan tindakan manusia. Itulah sebabnya Rasulullah senantiasa mengaitkan amal
dengan niat karena niat adalah sikap batin yang memberikan nilai dan arti bagi
aktifitas lahir.
Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa konsep etika belajar siswa
menurut Al-Farabi terbagi menjadi tiga hal, yaitu:
1. Aspek keimanan.
2. Aspek keteladanan
3. Aspek pengetahuan
Pandangan Al-Farabi tersebut apabila dilaksanakan sebaik-baiknya, maka
akan terwujudlah norma-norma dan nilai yang positif yang akan mempengaruhi
keberhasilan di dalam proses pendidikan dan pengajaran.
BAB III
BIOGRAFI AL-GHAZALI
A. Sejarah Ringkas Al-Ghazali
Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad, mendapat gelar imam
besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul Islam dan mendapatkan julukan (laqab)
”Zainuddin”.1 Dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M. di suatu kampung
bernama Ghazalah, Thusia suatu kota di Khurasan, Persia. Ia keturunan Persia
dan mempunyai hubungan dengan raja-raja Saljuk yang memerintah daerah
Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwaz. Abu Hamid Al-Ghazali
(1058-1111 M) adalah seorang teolog muslim, faqih dan sufi abad
pertengahan. Hanya sedikit tokoh dalam sejarah intelektual islam yang
memiliki pengaruh sekuat dan seberagam Abu Hamid Al-Ghazali.2
Ayahnya adalah seorang fakir yang saleh. Bekerja hanya sebagai
seorang pemintal benang wol. Bila ada waktu luang ia suka mengunjungi para
ulama dan menuntut ilmu, seringkali mengabdikan dirinya untuk membantu
Ulama, berbuat baik dan memberikan nafkah kepada Ulama. Dan apabila ia
mendengar pembicaraan Ulama iapun menangis serta merendahkan diri dan
berdoa kepada Allah swt agar dikaruniai anak dan menjadikannya sebagai
anak yang berilmu agama dan pandai membimbing. Akan tetapi sebelum ia
menyaksikan jawaban atas do’anya itu, beliau meninggal dunia ketika anak1
Yusuf Qardhawi, Pro Kontra Pemikiran Al-Ghazali, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997),
h. 9
2
Eva Y, N, Femmy S., Jarot W., Poerwanto, Rofik S., Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam
Modern, (Bandung: Mizan, 2001), h. 111
42
43
anaknya (Muhammad Al-Ghazali dan adiknya Ahmad) masih kecil-kecil.3
Sebelum meninggal, beliau menyerahkan kedua anak itu kapada salah seorang
sahabatnya. Kedua anak itu kemudian mendapat bimbingan berbagai cabang
ilmu pengetahuan. Bimbingan ini berlangsung sampai harta warisan ayahnya
yang dititipkan kepada sahabatnya itu habis untuk biaya pendidkan dirinya
dan saudaranya. Untuk melanjutkan pendidiknnya itu, sang guru yang
sederhana ini menyarankan kepada Al-Ghazali dan saudaranya agar
melanjutkaan pendidikannnya di sebuah sekolah di kotanya. Dan merekapun
melanjutkan pelajarannya pada sekolah tersebut tanpa dipungut biaya. 4
Di madrasah tersebut Al-Ghazali belajar berbagai ilmu seperti ilmu
fiqh, tasawuf, dan lain-lain. Kepada Yusuf An-Nassaj seorang sufi terkenal di
masanya. Selain itu ia belajar pula kepada seorang faqih yang masih berada di
kotanya yaitu Ahmad ibn Muhammad Ar-Razaqani. Terutama tentang
yurisprudensi (fiqh) dan selanjutnya pergi ke Jurjan dan belajar kepada AbuNasr Al-Isma’ili.5
Setelah itu, Al-Ghazali pergi ke Nisapur untuk belajar kepada seorang
ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juawaini, Imam Al-Haramain (w.
478 H/1085 M). Dari beliau ini ia belajar ilmu kalam, ilmu ushul dan ilmu
pengetahuan agama lainnya. Al-Ghazali memang orang yang cerdas dan
sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang
jernih hingga Al-Juwaini sempat memberi predikat beliau itu sebagai orang
yang memiliki ilmu sangat luas bagaikan laut dalam nan menenggelamkan
(Bahrun Mughriq).6
Setelah Al-Juwaini meninggal dunia tahun 478 H/ 1085 M, Al-Ghazali
pergi ke kota Nishapur. Al-Ghazali mendatangi majlis menteri Nizham AlMulk. Majlis ini merupakan tempat pertemuan para ilmuan. Dalam majlis ini
3
Sulaiman Dunya, Al-Haqiqatu fi Nazhari Al-Ghazali, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971),
cet. Ke-3, h. 18
4
Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali Sang Sufi Sang Filosof, alih bahasa oleh Ahmad
Rofi’ ‘Utsmani, (Bndung: Pustaaka, 1987), cet. Ke-1, h. 8
5
Abu al-Wafa al-Ganimi at-Taftazani, Sufi dari Zaman-ke Zaman, alih bahasa oleh
Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1997), cet. Ke-2, h. 148
6
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Menurut Al-Ghazali, alih bahasa oleh Dr.
Z.S. Nainggolan, M.A. dan Drs. Hadri Hasan, M.A., (Jakarta: Dea Press, 2000), h. 25
44
keunggulan Al-Ghazali tampak menonjol. Akhirnya pada tahun 488 H (1091
M) ia diangkat oelh Nizham al-Mulk sebagai guru besar di Perguruan AlNizhamiah di Baghdad. Di sini ia mendapat banyak murid. Di perguruan AlNizhamiah Al-Ghazali menjabat sebagai guru besar selama empat tahun.7
Dan pada tahun itu pula Al-Ghazali dilanda keragu-raguan, skeptis
terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (ilmu tentang hukum, teologi dan ilmu
filsafat), kegunaan pekerjaannya dan karya-karya yang dihasilkannya sehingga
ia menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu, AlGhazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah
Nizamiyah. Akhirnya ia meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus.
Selama kira-kira dua tahun Al-Ghazali di kota ini, ia melakukan uzlah,
riyadhah dan mujahadah. Kemudian ia pindah ke Bait al-Maqdis, Palestina
untuk melaksanakan ibadah serupa, setelah itu tergerak hatinya untuk
menunaikan ibadah haji dan menziarahi makam Rasulullah. Sepulang dari
tanah suci, Al-Ghazali mengunjungi kota kelahirannya, Thus; di sini pun ia
tetap berkhalwat. Keadaan skeptis Al-Ghazali berlangsung selama 10 tahun.
Dan pada periode itulah, ia menulis karyanya yang terbesar Ihya' 'Ulum al-Din
(Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).8
Karena desakan penguasa Seljuk, Al-Ghazali mengajar kembali pada
madrasah Nizhamiyah di Naisabur. Jabatan inipun ia terima tetapi hanya
bertahan selama 2 tahun saja. Setelah itu ia pun kembali lagi ke Thus untuk
mendirikan madrasah bagi para fuqaha dan sebuah zawiyah atau khanaqah
untuk para mutasawwifin.
Setelah mengabdikaan diri untuk ilmu pengetahuan, berkarya dan
mengajar, pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111M, beliau
menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pangkuan saaudaranya,
Ahmad Mujiduddin dalam usia 55 tahun di tempat kelahirannya. Beliau
meninggalkan 3 orang anak perempuan dan seoraang anak laki-laki bernama
7
8
78-79
Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali Sang Sufi Sang Filosof..., h. 9
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), cet. 1, h.
45
Hamid yang telah meninggal dunia ketika masih kecil. Karena itulah beliau
sering disebut dengan sebutan Abu Hamid.
Ketenaran Al-Ghazali tidak terbatas hanya pada masanya saja, tetapi
sampai sekarangpun masih diakui oleh masarakat pencinta ilmu. Ia memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ulama dan pemikir lainnya. Sehingga
tidak mengherankan jika kemudian ia mendapat gelar Hujjah al-Islam dan
dianggap sebagai Pembaharu Abad V Hijriyah. Banyak ulama yang memuji
serta menyanjungnya, di antaranya:
1. Imam al-Haramain, salah satu gurunya, mengatakan, ”Al-Ghazali adalah
lautan ilmu yang luas.”
2. Imam Muhammad ibn Yahya, seorang murid Al-Ghazali berkata, ” AlGhazali adalah Imam Syafi’i yang kedua.”
3. Abu al-Hasan Abd al-Ghafir al-Farisi, salah seorang ulama yang hidup
semasa dengannya mengatakan, ”Al-Ghazali adalah Hujjatul Islam dan
hujjah bagi seluruh umat Islam. Ia adalah imam dari semua tokoh agama.
Mata manusia tidak pernah melihat orang yang setara dengannya dalam
kefasihan lisan, kehebatan berbicara dan kepandaian ilmunya serta
karakternya.”
4. Ibnu Najjar berkata, ” Al-Ghazali adalah imam bagi seluruh para fuqaha.
Disepakati sebagai insan rabbani bagi umat Islam, mujtahid pada masanya
serta kenyataanruang dan waktunya.”
5. Abu al-Abbas al-Mursi, seorang tokoh sufi mengatakan, ”Aku bersaksi
bahwa Al-Ghazali telah mencapai derajat shiddiqin.”.
6. Ibn Katsir, pengarang kitab al-Bidayah wa al-Nihayah, mengatakan, ” AlGhazali menguasai berbagai cabang ilmu secara baik. Ia memiliki karya
tulis di berbagai bidang. Ia termasuk cendikiawan kaliber dunia dalam
semua hal yang dibicarakannya. Ia telah menjadi tokoh pada masa muda,
bahkan mengajar di al-Nadzamiyah dalam usia 34 tahun.”,
7. Ibn al-Imad al-Hambali dalam kitabnya Al-Syadzarat, mengatakan, ”AlImam Zainuddin, Hujjatul Islam, Abu Hamid adalah salah seorang tokoh
yang telah menyusun berbagai karangan, memiliki hafalan kuat,
46
kecerdasan luar biasa dan amat dalam ilmunya. Ringkasnya, seseorang
tidak mungkin dapat menemukan orang yang sepadan dengannya.”.9
Ketenaran Al-Ghazali seolah menembus ruang dan waktu, bahkan
hingga sampai sekarangpun masih diakui oleh masarakat, terutama para
pencinta ilmu. Tidak heran kalau buah pikirannya menjadi bahan pendidikan
dan penelitian di mana-mana, khususnya diperguruan-perguruan tinggi.
B. Karya-karya Al-Ghazali
Al-Ghazali selain mahir berbicara juga amat produktif menulis. Karya
tulisnya relative banyak, baik berupa buku atau risalah dalam berbagai bidang
ilmu: tasawuf, teologi, filsafat, logika, fiqih dan lain-lain. Karya tulisnya yang
paling terkenal luas adalah Ihya’ Ulumuddin, kitab yang mengupas –
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah serta dengan semangat tasawuf- masalah
ilmu, akidah ibadat, muamalat, keajaiban hati, akhlak dan latihan jiwa.
Dan di antara buku-bukunya adalah:
1. Maqashid al-Falasifah (Tujuan-tujuan para Filsuf), sebagai karangannya
yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafat
2. Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pikiran para Filsuf), kitab ini dikarang
sewaktu beliau berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan.
Dalam buku ini, Al-Ghazali mengecam filsafat dan para filsuf dengan
keras.
3. Mi'yar Al-'Ilmi (Kriteria Ilmu-ilmu)
4. Ihya' Ulum Al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), kitab ini
merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangnya selama beberapa
tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara kota Damaskus, Yerusalem,
Hijaz dan Thus yang berisikan paduan antara fiqh, tasawuf dan filsafat.
5. Al-Munqiz Min Al-Dlalal (Penyelamat dari Kesesatan), kitab ini
merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al-Ghazali sendiri dan
merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan
mencapai Tuhan.
9
Yusuf Qardhawi, Pro Kontra Pemikiran Al-Ghazali..., h. 10-12
47
6. Al-Ma'arif Al-'Aqliah (Pengetahuan yang rasional)
7. Misykat Al-Anwar (Lampu yang bersinar banyak), kitab ini berisikan
pembahasan tentang akhlak dan tasawuf
8. Minhaj Al-'Abidin (Jalan Mengabdikan Diri kepada Tuhan).
9. Al-Iqtishad fi Al-I'tiqad (Moderasi dalam Aqidah).
10. Ayyuha Al-Walad
11. Al-Mustashfa
12. Fatihat Al-Kitab
13. Iljam Al-'Awwam 'An Al-'Ilm Al-Kalam
14. Mizan Al-'Amal10
Adapun pemikiran pendidikan Al-Ghazali termuat dalam tiga buku
karangannya, yaitu Ayyuha Al-Walad dan Ihya’ ‘Ulum Al-Din. Dan buku Ihya
‘Ulumuddin menyebutkan bagaimana Al-Ghazali mendapatkan hakikat
pengetahuan dalam pandangannya sebagai pemenuhan intelektual dan
spiritualnya. selain itu pula buku tersebut tampaknya merupakan kerangka
metodologis dari epistimologi ilmu pengetahuan dalam pandangan Al-Ghazali
dan juga mengandung pesan-pesan moral dalam upaya melatih anak untuk
mempunyai akhlak yang baik.
C. Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Pendidikan menurut Al-Ghazali ialah menghilangkan akhlak yang
buruk dan menanamkan akhlak yang baik.11 Jadi pendidikan itu adalah suatu
proses kegiatan yang sistematis untuk melahirkan perubahan-perubahan yang
progresif pada tingkah laku manusia.
Selanjutnya pemikiran Al-Ghazali tentang tujuan pendidikan tertuang
dalam kitabnya yang berjudul "Mizan al-‘Amal", yang menyatakan bahwa:
10
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam..., h. 78-79
Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin
Press, 1997, cet. 1, h. 86
11
48
Tujuan murid/siswa dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan
pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya.12
Dari pernyataan di atas, jelaslah bahwa Al-Ghazali menghendaki
keluhuran ruhani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang
kuat, merupakan tujuan utama dalam pendidikan bagi kalangan manusia
muslim, karena akhlak adalah aspek fundamentalis dalam kehidupan
seseorang, masyarakat maupun suatu Negara. Kemudian ia memberikan
nasihat kepada muridnya:
.
,
,
:
,
Hai anak! Ilmu yang tidak disertakan dengan amal itu namanya gila,
dan amal tanpa ilmu itu akan sia-sia dan ketahuilah bahwa sematamata ilmu saja tidak akan menjauhkan maksiat di dunia ini, dan tidak
akan membawa kepada taat dan kelakpun di akhirat tiada akan
memeliharamu (menjagamu, menghindarkan) daripada neraka
jahannam.13
Jadi antara ilmu dan amal harus seimbang dan saling melengkapi,
searah dan setujuan maksudnya atau dengan kata lain, ilmu haruslah amaliah
dan amal haruslah ilmiah, sehingga dapat tercapai keharmonisan antara ilmu
dan amal.
Al-Ghazali
melukiskan
tujuan
pendidikannya
sesuai
dengan
pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kemudian
ia meletakkan metode ilmu yang menurut pendapatnya sesuai bagi tujuan dan
sasaran pendidikan. Maka ia mengadakan pembagian ilmu-ilmu, diberikan
nilainya dan diterangkan faedah-faedahnya bagi murid. Kemudian menyusun
dan
mengaturnya
menurut
kepentingan
dan
manfaatnya.
Kemudian
diterangkan dasar-dasar yang harus dilalui guru sesuai dengan ilmu-ilmu itu
pada waktu melaksanakan tugas mengajar dan mendidik supaya dapat
melaksanakan tugas ini dengan jalan yang paling sempurna. Demikianlah Al12
13
104
Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1989 M), cet. I, h. 143
Al-Ghazali, Ayyuha al-Walad, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1994 M), cet. I, h.
49
Ghazali melukiskan metode mengajar secara umum dan dimaksudkan untuk
membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan
takwa.14
Dengan memperhatikan uraian Al-Ghazali di atas maka menjadi jelas
bahwa sesungguhnya dia menghendaki tujuan pendidikan harus mendekati
dua batas akhir, yaitu kesempurnaan manusia yang tujuannya adalah
mendekatkan diri kepada Allah dan kesempurnaan manusia yang berakhir
pada kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Keutamaan dengan melalui
ilmu membuat manusia itu bahagia di dunia dan pendekatan kepada Allah
akan mengantarkan ia untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak.
Dengan demikian pendapat Al-Ghazali dalam pendidikan pada
umumnya sesuai dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu tujuan-tujuan agama
dan akhlak yang ditandai dengan watak religius dan moralitas yang tampak
jelas pada sasaran-sasaran dan jalan-jalannya dengan tidak mengabaikan halhal yang bersifat keduniawiaan.
14
Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Gazali dan Plato; Dalam Aspek Pendidikan, alih bahasa
oleh H.M Mochtar Zoerni, BA dan Baihaki Shafiuddin, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD,
1986.), h. 14
BAB IV
ANALISIS ETIKA BELAJAR SISWA MENURUT AL-GHAZALI
Sebagai tokoh yang besar dalam agama, Al-Ghazali termasuk salah
seorang terpenting dalam pemikiran agama (hujjat al-Islam). Al-Ghazali selain
sebagai sufi dan filosof, beliau juga seorang yang ahli dalam dunia pendidikan.
Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai konsep tentang pendidikan, yang salah
satunya adalah konsep tentang etika belajar siswa. Konsep etika belajar siswa itu
meliputi:
A. Konsep Etika Belajar Siswa
1. Etika Belajar dengan Diri Sendiri
Etika dalam pandangan Al-Ghazali adalah:
Suatu kondisi jiwa yang menjadi sumber lahirnya perbuatanperbuatan secara wajar mudah tanpa memerlukan
pertimbangan dan pikiran.1
Dari konsep dasar ini maka untuk menilai baik buruk suatu
perbuatan etika belajar siswa tidak bisa dilihat dari aspek lahiriahnya saja,
1
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulûm al-Dîn, (Surabaya: Al-Hidayah, t.t ), Juz 3, h. 56
50
51
namun juga harus dilihat dari unsur kejiwaannya. Oleh karena itu
perbuatan lahir harus dilihat dari motif dan tujuan melakukannya.
Al-Ghazali mempergunakan istilah siswa dengan beberapa kata,
seperti Al-Shobiy (anak), al-Muta’allim (pelajar), dan Tholibul ‘Ilmi
(penuntut ilmu pengetahuan). Oleh karena itu, siswa dapat diartikan orang
yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani sejak awal
terciptanya dan merupakan obyek utama dari pendidikan dalam arti luas.
Kemudian, terkait dengan etika belajar siswa Al-Ghazali
mengatakan bahwa:
Sesungguhnya tubuh itu bukannya sekaligus diciptakan oleh
Allah dalam keadaan sempurna, tetapi kesempurnaan inipun
dapat diperoleh sedikit demi sedikit. Ia dapat menjadi kuat dan
kokoh setelah mengalami evolusi pertumbuhan, mendapatkan
makanan dan lain-lain. Hal yang demikian ini tidak berbeda
sedikitpun dengan halnya jiwa. Ia mula-mula serba kurang,
namun begitu ia dapat menerima hal-hal yang akaan
menyempurnakannya. Jalan untuk menyempurnakannya itu ialah
dengan memberikan didikan budi pekerti luhur, akhlak yang
mulia serta mengisinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang
bermanfaat.2
Berdasarkan pernyataan Al-Ghazali di atas, etika belajar siswa
pada diri sendiri menurut Al-Ghazali bahwa unsur kehidupan ada dalam
diri siswa dan dilengkapi dengan fitrah maka siswa itu mengalami
perkembangan dan perubahan-perubahan dalam dua aspek, yaitu:
a. Aspek
fisik,
aspek
fisik yang
memiliki potensi-potensi dan
kemampuan-kemampuan tenaga fisik yang bila benar dan baik
pengembangannya, maka akan menjadi kecakapan dan keterampilaan
kerja untuk memanfaatkan karunia Allah di bumi dan di langit ini,
2
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulûm al-Dîn…, h. 59
52
sebagai sarana untuk beribadah kepada-Nya (pengabdian pada Yang
Maha Pencipta).
b. Aspek psikis yang mengandung potensi-potensi yang tidak terhitung
jumlahnya,
yang
bila
benar
dan
baik
pendidikan
maupun
pengembangannya, maka akan terbentuklah manusia yang berfikir
ilmiah, berkarya ilmiah dan bersikap ilmiah dalam rangka mencari
kebenaran yang hakiki, demikian pula akan terbentuklah manusia yang
berakhlak mulia, berkepribadian kuat dan bertakwa kepada Allah SWT
(Tuhan Pencipta manusia beserta fitrahnya).
Dari konsep dasar ini maka untuk menilai baik buruk suatu
perbuatan etika belajar siswa tidak bisa dilihat dari aspek lahiriahnya saja,
namun juga harus dilihat dari unsur kejiwaannya. Oleh karena itu,
perbuatan lahir harus dilihat dari motif dan tujuan melakukannya.
Dengan demikian, menurut Al-Ghazali, peserta didik atau siswa
merupakan orang yang menjalani pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan, yaitu kesempurnaan unsur jasmaniyah dan ruhaniyah dengan
mendekatkan diri pada Allah dan kebahagian di dunia dan di akhirat, maka
jalan untuk mencapainya diperlukan belajar dan belajar itu juga termasuk
ibadah, juga suatu keharusan bagi peserta didik untuk menjahui sifat-sifat
dan hal-hal yang tercela.
Dari pembahasan etika belajar siswa kepada diri sendiri menurut
Al-Ghazali di atas, tujuan belajar menurut Al-Ghazali harus mengarah
kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlaq, dengan titik penekanannya
pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah. Dan bukan hanya
untuk mencapai kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan
dunia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Ghazali bahwa:
,
,
53
Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada
masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya
sedangkan untuk kepentingan akhirat adalah mendekatkan diri
kepada Allah ’azza wajalla. Dan bukan untuk mencapai
kedudukan yang tinggi, mendapatkan kemegahan dunia,
sewenang-wenang terhadap kaum yang bodoh dan mengadakan
perdebatan dengan ulama.3
Sehingga dengan demikian, salah satu yang sangat penting untuk
lebih diutamakan dalam meningkatkan etika belajar siswa pada diri sendiri
menurut Al-Ghazali adalah pentingnya penanaman dasar-dasar pendidikan
akhlaq yang baik yang sesuai dengan akal pikiran dan syariat yang
dilakukan secara berangsur-angsur, serta adanya latihan-latihan dan
pembiasaan sehingga berkembang menuju kesempurnaan. Dan dalam
prosesnya harus dilakukan sebelum siswa dapat berfikir logis dan
memahami hal-hal yang abstrak serta belum sanggup menentukan mana
yang baik dan yang buruk, dan mana yang salah dan benar.
Selain hal tersebut dalam
konsep
pendidikan Al-Ghazali
menganjurkan agar pendidikan keimanan mengenai aqidah harus
didisiplinkan siswa sejak dia masih dini supaya dia dapat menghafal,
memahami, beri’tikad, mempercayai, kemudian membenarkan sehingga
keimanan pada siswa akan hadir secara sedikit-demi sedikit hingga
sempurna, kokoh dan menjadi fundamen dalam berbagai aspek
kehidupannya dan bisa mempengaruhi segala perilakunya mulai pola pikir,
pola sikap, pola bertindak, dan pandangan hidupnya.
Dalam konteks pendidikan Islam, Muhammad ‘Athiyah al-Ibrasyi
misalnya menegaskan bahwa etika belajar siswa pada diri sendiri sejatinya
merupakan ruh pendidikan Islam karena pendidikan Islam merupakan
3
Al-Ghazali, Mizan al-'Amal, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1989 M), cet. I, h. 143
54
pendidikan yang berjiwa budi pekerti dan akhlak yang bertujuan untuk
mencapai akhlak yang sempurna bagi para penuntut ilmu.4
Abdullah Nasih Ulwan juga menyatakan bahwa etika belajar siswa
pada diri sendiri merupakan serangkaian sendi moral, keutamaan tingkah
laku dan naluri yang wajib dilakukan anak didik, dibiasakan dan
diusahakan sejak kecil.5
Masalah moral secara normatif seharusnya sudah implisit dalam
setiap program pendidikan, atau dengan kalimat lain meskipun dalam
setiap satuan pelajaran telah disisipkan pendidikan moral, namun
konseptualisasi sistem pendidikan moral secara khusus tetap diperlukan
guna memberikan arah atau panduan kepada pelaku pendidikan dalam
menjalankan sistem pendidikan moral.
Dengan demikian, kajian tentang etika belajar siswa pada diri
sendiri secara spesifik bukan suatu hal yang mengada-ada dan tumpang
tindih (overlapping) dengan konsep etika belajar siswa pada diri sendiri
secara umum.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan etika belajar
siswa pada diri sendiri menurut Al-Ghazali adalah terbentuknya moral dan
jasmani yang baik pada anak didik sesuai landasan agama. Adapun tujuan
akhir dari etika pada diri adalah mencapai kebahagiaan utama.
2. Etika Belajar dengan Guru
Imam Al-Ghazali dalam kitab Bidayah al-Hidayah menjelaskan
konsep etika belajar siswa terhadap guru sebagai berikut:
,
:
,
,
,
,
4
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. H.
Bustami dan Johar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1970) h. 1
5
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan
Jiwa, Terj. Khalilullah Ahmad Masykur (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1990) h. 169
55
,
,
,
,
,
,
Memulai memberi hormat dan salam kepada gurunya, sedikit bicara
di hadapan gurunya, tidak membicarakan yang tidak ditanyakan
gurunya dan tidak bertanya sebelum mohon izin terlebih dahulu,
tidak mengatakan di hadapan gurunya: ”Si Anu bilang yang
bertentangan dengan yang Anda (ustadz) bilang.”, tidak
menunjukkan sikap seolah-olah bertentangan dengan pendapat
gurunya karena merasa yang paling benar dibandingkan gurunya,
tidak bertanya kepada teman sebangku ketika guru sedang
menjelaskan, tidak menoleh ke kiri atau ke kanan di hadapan
gurunya bahkan ia harus duduk dengan tenang, diam dan sopan
mirip di waktu shalat, tidak memperbanyak pertanyaan ketika
gurunya sedang konsentrasi fikiran memecahkan suatu masalah
ilmu, berdiri apabila gurunya sedang berdiri sebagai penghormatan,
tidak mengikuti gurunya ketika meninggalkan majlis dengan
pelbagai pertanyaan, tidak menghadang gurunya di tengah jalan
dengan maksud bertanya tetapi menanti sampai gurunya berada di
rumahnya, tidak menyakiti gurunya dengan dugaan buruk karena
perbuatannya kelihatan secara dzohiri sebagai perbuatan tercela
sebab gurunya tahu akan rahasia-rahasia yang tersembunyi sebagai
hakikat perbuatannya itu.6
Dari uraian di atas, banyak cara yang dapat dilakukan seorang siswa
dalam rangka beretika terhadap seorang guru ketika belajar menurut AlGhazali, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Memulai memberi hormat dan salam kepada gurunya
2. Sedikit bicara di hadapan gurunya
3. Tidak membicarakan yang tidak ditanyakan gurunya
4. Tidak bertanya sebelum mohon izin terlebih dahulu
6
79
Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1988 M), cet. I, h.
56
5. Tidak mengatakan di hadapan gurunya: ”si anu bilang
yang
bertentangan dengan yang anda (ustadz) bilang.”
6. Tidak menunjukkan sikap seolah-olah bertentangan dengan pendapat
gurunya karena merasa yang paling benar dibandingkan gurunya
7. Tidak bertanya kepada teman sebangku ketika guru sedang
menjelaskan, tidak menoleh ke kiri atau ke kanan di hadapan gurunya
bahkan ia harus duduk dengan tenang, diam dan sopan mirip di waktu
shalat
8. Tidak memperbanyak pertanyaan ketika gurunya sedang konsentrasi
fikiran memecahkan suatu masalah ilmu
9. Berdiri apabila gurunya sedang berdiri sebagai penghormatan
10.Tidak mengikuti gurunya ketika meninggalkan majlis dengan pelbagai
pertanyaan
11.Tidak menghadang gurunya di tengah jalan dengan maksud bertanya
tetapi menanti sampai gurunya berada di rumahnya
12.Tidak menyakiti gurunya dengan dugaan buruk karena perbuatannya
kelihatan secara dzohiri sebagai perbuatan tercela sebab gurunya tahu
akan rahasia-rahasia yang tersembunyi sebagai hakikat perbuatannya
itu
Etika belajar siswa menurut Imam Al-Ghazali dalam pernyataan di
atas, menganggap guru sebagai orang tua kedua, yaitu orang yang
mendidik murid-muridnya untuk menjadi lebih baik. Sebagaimana wajib
hukumnya mematuhi kedua orang tua, maka wajib pula mematuhi perintah
para guru selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syari’at
agama.
Oleh karena itu, seorang siswa wajib berbuat baik kepada guru
dalam arti menghormati, memuliakan dengan ucapan dan perbuatan,
sebagai balas jasa atas kebaikan yang diberikannya. Siswa berbuat baik
dan berakhlak mulia atau bertingkah laku kepada guru dengan dasar
pemikiran sebagai berikut:
57
1. Memuliakan dan menghormati guru termasuk satu perintah agama.
2. Guru adalah orang yang sangat mulia.
3. Guru adalah orang yang sangat besar jasanya dalam memberikan ilmu
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan mental kepada siswa.
4. Dilihat dari segi usia, maka pada umumnya guru lebih tua dari pada
muridnya, sedangkan orang muda wajib menghormati orang yang
lebih tua.
Peran guru dalam pandangan Al-Ghazali menjadi sangat menonjol
karena rasio manusia tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya tanpa
adanya pembimbing yang dapat membantu serta mengarahkan ke mana
tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Oleh karena itu, dalam proses
belajar siswa harus mendapat bimbingan yang ketat dari guru. Al-Ghazali
dengan demikian meminggirkan rasio atau paling tidak meminimalisir
fungsi rasio yang semestinya digunakan dalam landasan etis kehidupan
pembelajaran siswa.
Alhasil, terlihat jelas dalam sistem pemikiran Al-Ghazali bahwa
aql akan tersesat jika tidak dibimbing secara terus-menerus oleh guru.
Oleh karena itu, para murid harus mempercayakan kepada guru mengenai
urusan-urusannya ibarat pasien yang harus tunduk kepada dokter. AlGhazali menjelaskan bahwa apapun yang disarankan oleh sang guru
kepada murid, murid harus tunduk dengan mengesampingkan pendapat
pribadinya, karena kesalahan gurunya (syaikh) adalah lebih bermanfaat
baginya daripada putusannya sendiri. Meskipun benar karena pengalaman
akan menampakkan detail-detail yang barangkali asing, sekalipun begitu
akan sangat berguna.7
3. Etika Belajar dalam Memilih Pelajaran
Pandangan Al-Ghazali tentang etika belajar siswa dalam memilih
materi pelajaran dapat dilacak dari pendapatnya mengenai jalan untuk
7
Amin Abdullah, Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, penerj. Hamzah, (Bandung:
Mizan, 2002), h.82
58
mencapai kebaikan sejati. Menurutnya untuk dapat beretika dengan baik
dan mencapai tujuan etika tidak ada jalan lain bagi seorang siswa kecuali
dengan ilmu dan amal. Adapun dalam kitab “Ihya’ Ulum al-Din”, AlGhazali menyebutkan bahwa:
.
,
.
.
,
Ketahuilah.! Bahwasannya ilmu itu terbagi dua, yakniilmu
mukasyafah dan ilmu mu’amalah. Ilmu mukasyafah adalah ilmu
batin yang menjadi puncak dari semua pengetahuan. Kedua
adalah ilmu mu’amalah yakni ilmu mengenai keadaan hati.
a. Ilmu Mukasyafah
Ilmu mukasyafah yaitu ilmu yang sesuatu daripadanya dituntut
menyingkap sesuatu yang diketahui. Ilmu mukasyafah ini menyangkut
masalah-masalah metafisik yang membicarakannya hanya dengan
rumuz dan isyarat atas jalan perumpamaan dan global.8
Ilmu
mukasyafah individu dapat juga dikatakan sebagai sain esoteris
mengenai rahasia-rahasia transenden yang disebutkan dalam al-Qur’an
yang tidak dapat dicapai oleh masyarakat awam. Oleh karena itu
manusia harus dicegah untuk menekuni rahasia-rahasia ini dan sebagai
gantinya mereka didorong untuk mencari subyek-subyek yang
dibolehkan hukum Islam.9
b. Ilmu Muamalah
Ilmu Muamalah adalah ilmu yang daripadanya dituntut
mengetahui serta mengamalkannya. Ilmu Muamalah terbagi kepada
ilmu lahir yakni ilmu mengenai amalan anggota badan dan ilmu batin
yakni ilmu mengenai amalan-amalan hati. Ilmu yang berjalan atas
anggota- anggota badan menjadi adat dan ibadat. Sedangkan bagian
8
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din…, Juz I, h. 31-32
S. Waqar Ahmad Hussain, Sistem Pembangunan Masyarakat Islam, diterjemahkan oleh
Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983), h. 100
9
59
batin yang berhubungan dengan keadaan hati dan akhlak jiwa terbagi
menjadi tercela dan terpuji.10 Dengan kata lain ilmu Muamalah adalah
ilmu mengenai keadaan hati yang mengajarkan nilai-nilai mulia dan
melarang tindakan yang melanggar kesusilaan pribadi dan etika sosial
syari’ah.
Fathiyah Hasan Sulaiman menyimpulkan gradasi materi
pendidikan akhlak dari karya-karya Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
1. Urutan pertama: al-Qur’an al-karim dan ilmu-ilmu agama seperti
fiqh, sunnah dan tafsir.
2. Urutan kedua ilmu-ilmu bahasa, seperti ilmu Nahwu, serta
artikulasi huruf dan lafal karena ilmu tersebut melayani agama.
3. Urutan ketiga ilmu yang termasuk kategori ilmu wajib kifayah.
4. Urutan keempat ilmu yang berkaitan dengan budaya, sejarah serta
sebagian cabang filsafat, seperti matematika, logika dan lain
sebagainya.11
Disamping ilmu sarana kedua mencapai kebaikan moral dan
tujuan moral adalah amal. Menurut Al-Ghazali amal adalah
penyempurna ilmu untuk mencapai tujuan yang semestinya. Amal
dalam konteks ini adalah mengekang nafsu jiwa mengontrol amarah
dan menekankan pertimbanagan sehingga benar-benar tunduk terhadap
akal.12
Konsep etika belajar siswa dalam memilih pelajaran diperkuat
oleh Hasyim Asy’ari ketika menjelaskan etika belajar penuntut ilmu
hendaknya mendahulukan pelajaran yang wajib, yaitu:
1. Ilmu Tauhid tentang hal-hal yang berhubungan dengan dzat Tuhan
(Hakikat Tuhan/ Tauhid).
10
S. Waqar Ahmad Hussain, Sistem Pembangunan Masyarakat Islam…, h. 94
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran Dalam Pendidikan, terj. Ahmad Hakim dan
Imam Aziz (Jakarta: P3M,1990), hal. 28
12
Majid Fakhry, Etika dalam Islam (Ethical Theories In Islam), (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar bekerja sama dengan Pusat Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta: 1995), h.
127
11
60
2. Ilmu tentang sifat-sifat wajib bagi Tuhan yang dua puluh dan sifatsifat mustahil-Nya.
3. Ilmu Fiqih yang membahas tata cara ibadah, seperti thaharah,
shalat, dan puasa
4. Ilmu tentang sikap dan tingkah laku serta maqam-maqam (tingkat
kedudukan) ibadah dan hal-hal yang memengaruhi jiwa manusia
baik pengaruh negatif maupun positif.
Emile Durkheim berbeda dengan konsep etika belajar siswa
dalam memilih pelajaran sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
Imam Al-Ghazali dan Hasyim Asy’ari di atas.
Gagasan Emile Durkheim tentang etika belajar siswa lebih
difokuskan pada memilih materi pendidikan yang rasional yang tidak
memasukan unsur-unsur agama di dalamnya. Etika belajar siswa
bukan sekedar sistem perilaku yang menjadi kebiasaan melainkan
suatu sistem perilaku yang ditetapkan oleh aturan-aturan yang menjadi
kesepakatan bersama. Dalam hal ini etika didasarkan pada beberapa
unsur sebagaimana telah dikemukakan oleh Durkheim. Unsur-unsur
tersebut adalah semangat disiplin, ikatan pada kelompok dan
otonomi.13
4. Etika Belajar Siswa dalam memilih Teman Belajar
Tidak kalah pentingnya seorang siswa dapat berakhlakul karimah
dalam belajar dengan teman sebayanya di sekolah. Teman sebaya
merupakan teman sepergaulan yang seumur dalam usianya. Dalam
pergaulan seorang siswa dengan teman sebayanya sangat diperlukan
adanya kerjasama, saling pengertian dan saling menghargai. Pergaulan
yang dijalin dengan kerajasama yang baik dapat memecahkan berbagai
kesulitan yang dihadapi, karena sangat banyak masalah-masalah yang
tidak dapat diselesaikan oleh siswa itu sendiri tanpa adanya kerja sama
dengan orang lain.
13
Majid Fakhry, Etika dalam Islam…, h.127
61
Untuk menciptakan kerja sama yang baik dalam pergaulan
hendaknya janganlah seseorang merasa lebih baik dari yang lainnya
walaupun terhadap diri sendiri. Kalau kerja sama itu terjalin baik dalam
pergaulan tak ubahnya seperti suatu bangunan yang mana didalamnya
semua unsur saling keterkaitan dan kuat menguatkan.
Pergaulan
yang
ditopang
dengan
saling
pengertian
akan
menimbulkan kehidupan yang tenang dan tenteram. Dengan adanya saling
pengertian maka akan terbina rasa saling kasih mengasihi dan tolong
menolong, sehingga apabila yang satu merasa sakit, maka yang lain ikut
merasakannya.
Pergaulan
yang
dilandasi
oleh
saling
menghargai
akan
menimbulkan rasa setia kawan yang akrab dan kerukunan yang mantap,
serta tidak akan timbul rasa curiga mencurigai, rasa dendam, saling jelek
menjelekkan,
cela
mencela,
sehingga
terhindar
percecokan
dan
perkelahian antar pelajar.
Berdasarkan hal tersebut, Imam Al-Ghazali dalam Bidayah alHidayah menjelaskan konsep etika belajar siswa dalam memilih teman,
yaitu:
.
,
,
.
,
.
.
:
,
,
Apabila engkau mencari teman untuk dijadikan rekan dalam
belajar serta sahabat dalam masalah keagamaan dan
keduniawiaan maka hendaklah menetapi lima kriteria: Pertama,
memiliki akal cerdas, karena tidak ada nilai positif dalam
memilih teman yang bodoh. Kedua, berakhlak terpuji, maka
janganlah engkau mencari teman yang berperilaku buruk.
Ketiga, baik, maka janganlah engkau berteman kepada orang
yang fasik dan seringkali melakukan perbuatan maksiat.
62
Keempat, tidak tamak akan keduaniawiaan, karena hal itu
merupakan racun yang mematikan. Kelima, jujur, maka
janganlah engkau mencari teman yang sangat pendusta karena
engkau pun akan tertipu olehnya.14
Etika belajar siswa terhadap teman dalam mempererat ukhuwah
Islamiyah
sebagaimana
dijelaskan
oleh
Imam
Al-Ghazali
yang
berlandaskan tuntunan Nabi Muhammad, di ringkas oleh Ayuhan Asmara
dalam beberapa point berikut:
1. I’tisham bi Hablillah (perpegang teguh pada tali Allah). Maksudnya,
tanpa pertolongan Allah SWT mustahil ukhuwah dapat diwujudkan
2. Ta’lif al-Qulub (menyatukan hati), terhadap sesama muslim tidak pilih
kasih
3. Sikap tasamuh (toleransi) yaitu tengang rasa, penuh maaf, dan bersedia
mendengarkan pendapat orang lain
4. Musyawarah, yakni tolong menolong mempersatukan segenap potensi
umat untuk menegakan kebenaran
5. Ta’awun, yakni tolong menolong memepersatukan potensi umat untuk
menegakkan kebenaran
6. Takaful al-Ijtima’, yakni rasa kebersamaan dan solidaritas sosial
7. Istiqomah, yakni teguh pendirian, berjalan di atas jalan yag benar,
disiplin, dan bertangung jawab.15
Dikalangan dunia pendidikan Islam di Indonesia, contoh ukhuwah
Islamiyah harus dibudayakan oleh semua komponen kependidikan, tidak
hanya antar siswa, sehingga kehidupan kampus akan terasa sangat sejuk,
damai, penuh persaudaraan. Bila ini terwujud maka amanah al-Qur’an dan
as-sunnah menjadi realitas dan sudah pasti manfaat besar akan didapat
kampus yang menerapkan ukhuwah Islmiyah sebagai potensi menuju citacita.
14
Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah..., h. 80-82
Ayuhan
Asmara,
Merajut
Islamiyah,http://www.umj.ac.id/main/artikel/index.php?detail=20100922143210,
tanggal 10 Desember 2010 pukul 8.00 WIB.
15
Ukhuwah
diakses pada
63
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa etika
belajar siswa menurut Al-Ghazali mempunyai empat konsep etika belajar
siswa, yaitu 1) diri sendiri, yang meliputi aspek fisik dan psikis berupa
aspek keimanan, akhlak, aqliyah, sosial dan jasmaniyah; 2) terhadap guru
yang menekankan guru harus dianggap sebagaimana kita menganggap
orang tua kita sendiri; 3) memilih pelajaran yang teridiri atas ilmu
mukasyafah dan ilmu mu’amalah; dan 4) memilih teman belajar yang
terbaik dalam hal ketakwaan. Keempat konsep etika belajar siswa AlGhazali tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan, akan tetapi merupakan satu
kesatuan yang utuh untuk membentuk kepribadian siswa yang paripurna
sehingga ia dapat berhasil dalam proses belajarnya meraih ilmu yang
bermanfaat tidak saja hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.
64
D. Relevansi Etika Belajar Siswa Al-Ghazali dalam Masyarakat Pendidikan
Modern
Ismail Razi Al-Faruqi mengatakan bahwa inti masalah yang dihadapai
umat Islam dewasa ini adalah masalah pendidikan dan tugas terberatnya adalah
memecahkan masalah tersebut. Keberhasilan dan kegagalan suatu proses
pendidikan secara umum dapat dilihat dari outputnya, yakni orang-orang yang
menjadi produk pendidikan. Apabila sebuah proses pendidikan menghasilkan
orang-orang yang bertanggungjawab atas tugas-tugas kemanusiaan dan tugasnya
kepada tuhan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi orang
lain, pendidikan tersebut dapat dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila outputnya
adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan tugas hidupnya, pendidikan
tersebut dianggap gagal.16
Ciri-ciri utama dari kegagalan proses pendidikan ialah manusia-manusia
produk pendidikan itu lebih cenderung mencari kerja dari pada menciptakan
lapangan kerja sendiri. Kondisi demikian terlihat dewasa ini, sehingga lahir
berbagai budaya yang tidak sehat bagi masyarakat luas. Di berbagai media masa
telah banyak diungkapkan mengenai rendahnya mutu pendidikan nasional kita.
Keadaan ini mengundang para cendekiawan mengadakan penelitian yang
berkaitan dengan mutu pendidikan. Berbicara mengenai mutu pendidikan
masalahnya menjadi sangat komplek. Oleh karena itu dapat disadari bahwa
peningkatan mutu pendidikan tidak dapat lepas dari proses perubahan siswa di
dalam dirinya. Perubahan yang dimaksud mencakup dalam pengetahuan, sikap,
dan psikomotor.
Berangkat dari kondisi pendidikan kita, seperti telah dikemukakan di atas,
tampak pemikiran Al-Ghazali sangat relevan untuk dicoba diterapkan di
Indonesia, yang secara gamblang menawarkan pendidikan akhlak yang paling
diutamakan. Untuk lebih jelasnya, sumbangan pemikiran Al-Ghazali bagi
16
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab,
(Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 69
65
pengembangan dunia pendidika Islam khususnya, dan pendidikan pada umumnya.
Dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan
Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali, diketahui dengan jelas
bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu:
a. Tercapainya kesempurnaan insan yang bermuara pada pendekatan
diri kepada Allah
b. Kesempurnaan insan yang bermuara pada kebahagiaan dunia
akhirat.
Pendapat al-Ghazali tersebut disamping bercorak religius yang merupakan
ciri spesifik pendidikan Islam, cenderung untuk membangun aspek sufistik.
Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai
sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Dengan demikian, modal kebahagiaan dunia
dan akhirat itu tidak lain adalah ilmu.
Secara implisit, Al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah
membentuk insan yang paripurna, yakni insan yang tahu kewajibannya, baik
sebagai hamba Allah maupun sebagai sesama manusia. Dalam sudut pandang
ilmu pendidikan Islam, aspek pendidikan akal ini harus mendapat perhatian serius.
Hal ini dimaksudkan untuk melatih pendidikan akal manusia agar berfikir dengan
baik sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Adapun mengenai pendidiakn
hati seperti dikemukakan Al-Ghazali merupakan suatu keharusan hagi setiap
insan.17
Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi
berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia dalam
upaya membentuk manusia paripurna, berbahagia di dunia dan akhirat kelak. Hal
ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh Al-Ghazali memiliki koherensi
yang dominan dengan upaya pendidikan yang melibatkan pembentukan seluruh
aspek pribadi manusia secara utuh.
17
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Menurut Al-Ghazali, alih bahasa oleh
Nainggolan, Hadri Hasan, (Jakarta: Dea Press, 2000), h. 12
66
2. Materi pendidikan Islam
Imam
Al-Ghazali
telah
mengklasifikasikan
meteri
(ilmu)
dan
menyusunnya sesuai dengan kebutuhan anak didik. Dengan mempelajari
kurikulum tersebut, jelaslah bahwa hal ini merupakan kurikulum atau materi yang
bersifat universal, yang dapat dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan.
Hanya saja al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak
didik.
Yang menarik adalah hingga hari ini pendidikan Islam di negara kita
masih jauh terbelakang, dalam arti bahwa pendidikan Islam hari ini masih
membedakan antara ilmu agama (Islam) dan ilmu umum. Hal inilah yang
akhirnya menimbulkan beberapa polemic yang kemudian memunculkan upayaupaya untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan atu modernisasi Islam yang
pada prinsipnya hendak membangun kembali semangat umat Islam untuk selalu
modern, maju, progressif dan terus melakukan perbaikan bagi diri dan
masyarakatnya tanpa harus mengabaikan sisi ketakwaan kepada Sang Pencipta.18
Untuk menghilangkan kesan dikotomi ilmu, dewasa ini lembaga
pendidikan tinggi Islam milik pemerintah seperti Madrasah Aliyah meningkatkan
lembaganya ke tingkat lebih tinggi yakni ke tingkat Internasional. Jadi relevansi
pandangan Al-Ghazali dengan kebutuhan pengembangan dunia pendidikan Islam
dewasa ini sangan bertautan dengan tuntutan saat ini, baik dalam pengertian
spesifik maupun secara umum. Secara spesifik, misalnya pengembangan studi
akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat disayangkan bila materi ini di
kemudian hari menjadi hilang di lembaga-lembaga pendidikan.
Dengan demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali tentang
pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali
tentang Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu
agama dan ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara umum umat
Islam jauh tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah
18
68-74
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab…, h.
67
satu akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi
seperti itu.
3. Metode pendidikan Islam
Pandangan Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode barang
kali tidak ditemukan, namun secara umum ditemukan dalam karya-karyanya.
Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan
hafalan dan pemahaman,
kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan
pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang
penguatan akidah. 19
Pendidikan agama kenyataannya lebih sulit dibandingkan dengan
pendidikan lainnya karena pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan
menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu, usaha
Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan
menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa
kebenaran akal atau rasio bersifat sempurna, maka agama bagi murid dijadikan
pembimbing akal.
Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari
metode pendidikan lebih luas daripada apa yang telah dikemukakan di atas.
Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat
berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu, membina dan
melatih fisik dan psikis siswa itu sendiri sebagai penggunaan metode pendidikan.
Azyumardi Azra dalam pengantar karya ilmiah Armai Arif Reformulasi
Pendidikan Islam, mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin
dengan baik manakala antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang
komunikatif.20 Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan yang tepat
sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan
koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini.
19
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), h. 75
20
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Ciputat: CRSD Press, 2007), h. x
68
Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam AlGhazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.
Berdasarkan uraian di atas, berikut ini akan dikemukakan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Keutuhan pribadi Al-Ghazali dapat diketahui dengan memahami hasil
karyanya disemua bidang dan disiplin ilmu yang telah diselaminya dan
bukan pada satu segi saja misalnya segi tasawuf, dengan demikian kesan
Al-Ghazali hanya sebagai sufi yang skeptis, hanya bergerak di bidang
ruhani dan perasaan jiwa.
2. Pendidikan Islam menurut imam Al-Ghazali adalah sarana perekayasaan
sosial bagi umat Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk
menuju kesempurnaan hidup manusia hingga mencapai insan kamil yang
bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan kesempurnaan manusia
yang bertujuan meraih kebahagiaan didunia dan di akhirat kelak.
Pencapaian lesempurnaan hidup melalui proses pendidikan juga
merupakan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri.
3. Materi pendidikan Islam menurut al-Ghazali yang berdasarkan al-Quran
dan as-Sunnah ialah berasaskan berbagai ilmu pengetahuan sebagai sarana
yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya, sehingga ia mendekatkan
diri secara kualitatif kepada-Nya. Dan dengan begitu sipenuntut ilmu
dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak.
Namun di satu sisi, pembagian al-Ghazali terhadap ilinu menjadi yang
fardhu ‘ain dipelajari dan fardhu kifayah, ilmu agama dan ilmu umum,
mendapatkan kritikan tajam. Menurut Fazlurrahman pembagian ilmu menjadi
religius dan intelektual “merupakan pembedaan paling malang yang pernah di
buat dalam sejarah intelektual Islam”. Memang sarjana Muslim tidak menolak
ilmu intelektual tetapi kemunduran Islam, salah satu sebabnya adalah “pengabaian
ilmu intelektual”. 21
21
Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung :
Mizan,1997), h. 247
69
Mahdi Ghulsyani juga menolak pembagian ilmu al-Ghazali. Karena
“klasifikasi ini bisa menyebabkan miss-konsepsi bahwa ilmu non agama terpisah
dari Islam, dan ini tidak sesuai dengan prinsip universalitas Islam sebagai
rahmat bagi seluruh alam”.22 Demikian juga, Amin Abdullah mengkritik
pendapat al-Ghazali tentang kewajiban adanya mursyid (pembimbing moral) bagi
seorang yang ingin menempuh pendidikan akhlak dalam kaitannya dengan
tasawuf.23 Pemikiran rasional modem cenderung menolak posisi murid yang
menurut al-Ghazali “seperti mayat di tangan orang yang memandikan” atau “ilmu
tanpa guru, maka gurunya adalah Syetan.” Al Ghazali mengungkapkannya
dengan bahasa:
Guru sebagai sosok yang memberi manfa’at yang menyebar lebih agung
daripada murid yang hanya membawa manfa’at kepada diri sendiri.24
Hal lain yang perlu dikritisi terhadap konsep pendidikan menurut Imam alGhazali berkenaan dengan etika Contextual Teaching Learning (CTL). Amin
Abdullah mengungkapkan tentang perbedaan dan persamaan teori etika antara dua
tokoh filosof besar Al-Ghazali dan Imanuel Kant serta konsukuensikonsekuensinya. Al-Ghazali dan Kant sama-sama menganggap bahwa etika lebih
unggul atas metafisika. Dari studi yang cermat atas pemikiran filsafat mereka,
dapat diketahui bahwa Al-Ghazali dan Kant memiliki jalur utama yang sama.
Bahkan rangkaian kronologis dalam cara mereka meletakkan ide-ide utama
mereka sama.
Al-Ghazali berangkat dengan Tahafut al-Falasifah ketika mengkritik
metafisika dan berakhir dengan Ihya’-nya ketika membangun etika mistiknya,
sedangkan Kant memulai dengan Kritik Der Reinen Vernuft untuk mengkritik
metafisika spekulatif-dogmatik dan berakhir dengan Metaphysik der Sitten dan
karya-karya terkait lainnya untuk mengkontruksikan bangunan utama teori etika
22
Mahdi Gulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur'an, (Bandung Mizan 1986), h. 44-45
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1995), h. 31
24
Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiayah; 1989), h. 34
23
70
rasionalnya. Al-Ghazali dan Kant juga sepakat dalam menekankan keunggulan
etika atas metafisika.25
Selain itu, ada juga perbedaan-perbedaan di antara mereka yang berasal
dari pendekatan metodologis terhadap masalah. Al-Ghazali menggunakan metode
hipotesis, sementara Kant memanfaatkan metode analitis. Al-Ghazali tidak
memiliki konsepsi yang “teliti” terhadap ilmu-ilmu rasional. Karena Al-Ghazali
lebih menekankan pada ilmu-ilmu agama, sedangkan bagi Kant keduanya (Ilmuilmu agama dan ilmu-ilmu rasional) adalah penting.26
Contoh yang menonjol dari kerancuan sikap Al-Ghazali terhadap ilmuilmu rasional adalah konsepsinya mengenai hukum kausalitas. Konsepsinya
begitu kabur karena dia menderita “ketegangan teologis” yang serius. Dia
mempertahankan kedaulatan Tuhan atas seluruh fenomena alamiah dan fenomena
moral dan menggarisbawahi kehendak mutlak Tuhan. Sedangkan Kant, dapat
menguraikan ketegangan teologis ini tanpa harus menghilangkan kontak dengan
esensi dasar pengalaman keagamaan, untuk tidak menggunakan terma teologi
spekulatif.27
Penetapan Al-Ghazali dalam wilayah etika jauh lebih menonjol. Jika Kant,
melalui penerapan fungsi konstritutif akal budi, dengan mudah dapat merumuskan
hubungan antara keutamaan dan kebahagiaan sebagai hubungan kausal yang di
dalamnya peran subyek aktif dominan, Al-Ghazali tidak dapat melihatnya dari
perspektif serupa.
Dari sudut pandang teologis Al-Ghazali, ide tentang akhlaq atau etika hanya
terkungkung dalam ruang lingkup terbatas dari ide normatif. Akhlaq tidak lebih
dari wacana tentang baik dan buruk yang semata-mata berdasarkan perspektif
teologis. Sebaliknya, Kant dapat mengatasi kesulitan ini. Baginya, moralitas atau
etika bukanlah tanpa tatanan. Dia dengan jelas berkata bahwa pada esensinya
25
Amin Adullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah
(Bandung; Mizan: 2002), h. 120
26
Amin Adullah, Antara Al-Ghazali dan Kant…,h. 121
27
Amin Adullah, Antara Al-Ghazali dan Kant…,h. 122
71
moralitas merupakan hukum. Bahkan, ia adalah hukum universal yang mengikat
seluruh manusia rasional. 28
Etika
mistik
(religius)
Al-Ghazali
hanya
dimaksudkan
untuk
menyelamatkan nasib individu di akhirat dan perhatian tertingginya adalah
melihat Tuhan. Dia tidak memiliki konsepsi mengenai kehidupan sosial secara
umum, dan ini dapat dicapai hanya melalui penyucian hati dan hidup menyendiri.
Sedangkan etika filosofis mencoba menemukan prinsip dasar yang tertanam
dalam setiap budaya akan memiliki nilai dan manfaat yang besar untuk mereduksi
potensi konflik sosial dan ketegangan internal dalam diri kita.
Akhirnya penulis mengungkapkan bahwa untuk menyelamatkan manusia
dari keadaan terperangkap dalam keterpecahan kepribadian memerlukan adanya
kerja sama antara “etika wahyu” Al-Ghazali dan “etika rasional” Kant.
28
Amin Adullah, Antara Al-Ghazali dan Kant…,h. 123
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Etika belajar siswa menurut al-Ghazali mempunyai empat konsep etika
belajar siswa, yaitu 1) diri sendiri, yang meliputi aspek fisik dan psikis berupa
aspek keimanan, akhlak, aqliyah, sosial dan jasmaniyah; 2) terhadap guru
yang menekankan guru harus dianggap sebagaimana kita menganggap orang
tua kita sendiri; 3) memilih pelajaran yang teridiri atas ilmu mukasyafah dan
ilmu mu’amalah; dan 4) memilih teman belajar yang terbaik dalam hal
ketakwaan. Keempat konsep etika belajar siswa al-Ghazali tersebut tidak
dapat dipisah-pisahkan, akan tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh untuk
membentuk kepribadian siswa yang paripurna sehingga ia dapat berhasil
dalam proses belajarnya meraih ilmu yang bermanfaat tidak saja hanya di
dunia, tetapi juga di akhirat.
B. Saran
1. Pendidikan agama Islam sebagai suatu sistem hendaklah diinterpretasikan
sebagai satu kesatuan yang utuh dan bulat terdiri atas berbagai komponen
yang saling menunjang, tidak dipisah-pisahkan.
2. Untuk memahami sistem pendidikan agama Islam yang baik dan benar
hendaknya merujuk pada acuan nilai yang mendasarinya yaitu Al-Qur’an
dan As-Sunnah supaya terhindar dari kekeliruan.
72
73
3. Disamping penelaahan terhadap nilai acuan tersebut, diperlukan acuan
lainnya seperti para pemikir pendidikan muslim. Oleh karena itu,
pemikiran Al-Ghazali mengenai pendidikan Islam hendaknya dapat
dijadikan sandaran bagi pengembangan pendidikan baik pendidikan yang
bersendikan agama maupun non agama. Bahkan Al-Ghazali tidak
membedakan sama sekali ilmu-ilmu itu, karena baginya ilmu adalah alat
untuk mencapai keridloan Allah.
4. Upaya
untuk
mengaktualisasikan
pemikiran
Al-Ghazali
mengenai
pendidikan hendaknya diambil dari rujukannya yang asli untuk menjaga
orisinalitas pemikiran tersebut.
5. Pemikiran
Al-Ghazali
ini
hendaknya
dijadikan
rujukan
bagi
pengembangan ilmu pendidikan dimasa sekarang dan yang akan datang,
terutama
pengembangan pendidikan bagi masyarakat Islam yang
berkualitas tidak pernah dapat mencapai ukuran berhasil.
6. Kepada para siswa, etika Al-Ghazali memang benar ditujukan untuk
melatih jiwa dengan berlandaskan zuhud guna mencapai ridho Allah, akan
tetapi, bukankah Al-Qur’an juga mengajarkan bahwa kita harus hidup di
dunia dengan sejahtera dan di akhirat pun kita harus hidup sejahtera. Jalan
yang terbaik adalah, siswa harus mampu menjalankan etika belajar dengan
syari’at agama tanpa harus melupakan realitas kebutuhan biologis manusia
untuk hidup sejahtera di muka bumi ini.
74
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Komptensi;
Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006, Cet. ke-3
Abdullah, M. Amin, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, penerj.
Hamzah, Bandung: Mizan, 2002
_____, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1995
Abdullah, M. Yatimin, Pengantar Studi Etika, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006
Al-Abrasyi, Muhammad Atyhiyah, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam,
Jogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996
_____, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. H. Bustami dan Johar Bahry
Jakarta: Bulan Bintang, 1970
Al-Ghazali, Ayyuha al-Walad, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1994 M, Cet. I
_____, Bidayah al-Hidayah, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1988 M, Cet. I
_____, Ihya’ ’Ulum al-Din, Surabaya: al-Hidayah, t.t., Juz I
_____, Mizan al-'Amal, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1989 M, Cet. I
Al-Nawawi, Yahya ibn Syaraf Al-Din, Al-Arba’in Al-Nawawiyyah, Surabaya: AlHidayah, t.t.
Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ganimi, Sufi dari Zaman-ke Zaman, alih bahasa
oleh Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, Bandung: Pustaka, 1997, Cet. ke-2
Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), (terj). Prof. K.H. Farid Ma'ruf, Jakarta: Bulan
Bintang, 1995, Cet. ke-8
Ardani, Moh., Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Ciputat: PT. Mitra
Cahaya Utama, 2008
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, Ciputat: CRSD Press, 2007
75
Arifin, M., Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah
dan Keluarga; Sebagai Pola Pengembangan Metodologi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1978, Cet. ke. 4
Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 2007
Asmara,Ayuhan,MerajutUkhuwahIslamiyah,http://www.umj.ac.id/main/artikel/in
dex.php?detail=20100922143210, diakses pada tanggal 10 Desember 2010
Ali, Muhammad Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2005, Ed. 6
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu,
Bandung : Mizan,1997
Bakry, Hasbullah, Sistematika Filsafat, Jakarta: Wijaya, 1978, Cet. 5
Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan
Kitab Suci Al-Quran DEPAG, 1995
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2005, Edisi III, Cet. ke 4
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah
RI Tentang Pendidikan, Jakarta: Departemen Agama RI, 2006
Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, Ed. 2
Djatnika, Rachmat, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1992
Dunya, Sulaiman, Al-Haqiqatu fi Nazhari Al-Ghazali, Mesir: Dar al-Ma’arif,
1971, Cet. ke-3
Eva Y, N, Femmy S., Jarot W., Poerwanto, Rofik S., Ensiklopedi Oxford, Dunia
Islam Modern, Bandung: Mizan, 2001
Fakhry, Majid, Etika dalam Islam (Ethical Theories In Islam),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Pusat Studi Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta: 1995
Gulsyani, Mahdi, Filsafat Sains menurut Al-Qur'an, Bandung: Mizan 1986
Hussain, S. Waqar Ahmad, Sistem Pembangunan Masyarakat
diterjemahkan Anas Mahyudin Bandung: Pustaka, 1983
Islam,
76
Imam Malik ibn Anas, Al-Muwaththo’, Darul Hadits, Juz 2
Ihsan, Fuad, Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005, Cet. ke.
4
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan
Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, Cet. ke-1
Madjidi, Busyairi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: AlAmin Press, 1997, Cet. 1
Mardiyanto, Psikologi Pendidikan; Landasan Bagi Pengembangan Strategi
Pembelajaran, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009, Cet. I
Musa, Muhammad Yusuf, Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam wa Shilatuhu bi alFalsafat al-Ighroqiyyah, Kairo: Al-Khoniji, 1963, Cet. Ke-3
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, Cet. 1
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997,
Cet. ke-1
Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001, Cet. I
Qardhawi, Yusuf, Pro Kontra Pemikiran Al-Ghazali, Surabaya: Risalah Gusti,
1997
Rusn, Abidin Ibnu, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998
Sabri, M. Alisuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005,
Cet.1
Santana, Septiawan K, Menulis Ilmiah; Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2007, Ed. 1
Sudarsono, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka Cipta, 1991,
Cet. ke-2
Sulaiman, Fathiyah Hasan, Al-Gazali dan Plato; Dalam Aspek Pendidikan, alih
bahasa oleh H.M Mochtar Zoerni, BA dan Baihaki Shafiuddin, Singapura:
Pustaka Nasional PTE LTD, 1986
77
_____, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan, terj. Ahmad Hakim dan Imam Aziz ,
Jakarta: P3M,1990
_____, Sistem Pendidikan Menurut Al-Ghazali, alih bahasa oleh Dr. Z.S.
Nainggolan, M.A. dan Drs. Hadri Hasan, M.A., Jakarta: Dea Press, 2000
Thobroni, Pendidikan yang Menghormati Guru dan Murid (Refleksi Maulid Nabi),
http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/pendidikan-yang-menghormatiguru-dan-murid-refleksi-maulid-nabi/, diakses tanggal 11 Desember 2010
Tilaar, H.A.R., Ed., Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia,
Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999
Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet.
ke-2
Ulwan, Abdullah Nasih, Pendidikan Anak Menurut Islam: Pemeliharaan
Kesehatan Jiwa, Terj. Khalilullah Ahmad Masykur Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 1990
Widjajanti, Rosmaria Sjafariah, Etika, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2008
Ya'qub, Hamzah, Etika Islam; Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar),
Bandung: CV. Diponegoro, 1996, Cet. ke-7
Zaqzuq, Mahmud Hamdi, Al-Ghazali Sang Sufi Sang Filosof, alih bahasa oleh
Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, Bandung: Pustaaka, 1987, Cet. ke-1
Zainuddin, M., Paradigma Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab,
Malang: UIN Malang Press, 2008
Download