5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Depresi Pascapersalinan a. Pengertian Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA, masih baik), kepribadian tetap utuh (tidak mengalami kerekatan kepribadian/spliting of personality) perilaku dapat terganggu tetapi dalam batas-batas normal (Hawari, 2008). Depresi pascapersalinan merupakan gangguan mood yang terjadi pada wanita selama periode tertentu seumur hidup yaitu dimasa nifas (Rojas et al., 2010). Menurut Cunningham dan Lenovo (2010), O'Hara dan Segre (2008) pengertian Depresi Pascapersalinan (DPP) ialah kelainan ringan dari mental dan yang timbul dalam waktu 6 minggu pascapersalinan (Gondo, 2012). Depresi pascapersalinan umumnya terjadi antara dua minggu sesudah melahirkan sampai satu tahun, dengan sebagian besar depresi terjadi antara minggu keenam sampai bulan keenam (Simkin et al., 2007). Rubin (1961), dalam Bobak et al.,(2000) menyebutkan adaptasi ibu setelah melahirkan terhadap peran barunya terdiri dari tiga fase, yaitu fase dependen (taking in), dependen-mandiri (taking hold), dan interdependen (letting-go). Pada fase dependen yang terjadi sampai hari ke dua sampai ketiga, ibu masih tergantung dengan orang lain sebagai respon terhadap kebutuhan istirahat dan makan. Pada fase dependenmandiri, ibu mulai ingin tahu tentang perawatan bayi dan dirinya sendiri, sedangkan fase interdependen merupakan fase yang penuh stres bagi ibu, 6 karena kesenangan dan memenuhi kebutuhan bayi menjadi terbagi. Ibu harus menyelesaikan peran dalam merawat anak, mengatur rumah, dan membina karir. Beberapa ibu yang sulit menyesuaikan diri terhadap peran barunya dalam merawat bayi dan memerlukan dukungan adalah ibu primipara, wanita karier, ibu yang tidak memiliki banyak keluarga dan teman, ibu berusia remaja, dan wanita yang tidak bersuami (Bobak et al., 2004). b. Gejala-gejala Depresi Pascapersalinan Untuk mencapai Kriteria depresi pascapersalinan, harus ditemukan gejala klasik depresi setidaknya selama 2 minggu. Menurut Suririnah (2008) dan Hawari (2008), gejala-gejala depresi pascapersalinan sebagai berikut: 1) Dipenuhi perasaan sedih dan depresi yang disertai dengan menangis tanpa sebab 2) Tidak memiliki tenaga atau hanya sedikit saja 3) Tidak dapat berkonsentrasi 4) Ada perasaan bersalah dan tidak berharga 5) Menjadi tidak tertarik dengan bayi atau menjadi terlalu memerhatikan dan kuatir terhadap bayinya 6) Berat badan meningkat yang disertai dengan makan yang berlebihan 7) Berat badan menurun yang disertai tidak mau makan 8) Ada perasaan takut untuk menyakiti diri sendiri atau bayinya 9) Tidak dapat tidur atau tidur yang berlebihan 10) Mengalami rasa sedih yang berkelanjutan 11) Hilangnya rasa senang, semangat dan minat, tidak suka lagi melakukan hobi, kreativitas menurun, produktivitas juga menurun. 12) Pikiran-pikiran tentang kematian, bunuh diri. Selain tanda dan gejala yang disebutkan diatas, gejala dan tanda yang juga dapat ditemui yaitu: sakit kepala, asma, nyeri punggung, adanya cairan dari vagina, dan nyeri abdomen (Marmi dkk., 2011). 7 c. Penyebab Depresi Pascapersalinan Menurut Elvira (2006) faktor-faktor risiko untuk terjadinya Depresi pascapersalinan antara lain: 1) Dukungan Sosial (terutama dari suami dan keluarga) Dukungan suami yang dimaksud disini berupa perhatian, komunikasi dan hubungan sosial yang intim, merupakan faktor yang paling bermakna menjadi pemicu terjadinya Depresi Pascapersalinan. Adapun dukungan keluarga yang dimaksud adalah komunikasi dan hubungan emosional yang baik dan hangat dengan kedua orang tua, terutama ibu. 2) Keadaan atau kualitas bayi (termasuk problem kehamilan dan kelahiran) Problem yang dialami bayi dapat menyebabkan ibu kehilangan minat untuk mengurus bayinya. Problem pada bayi tersebut antara lain adanya komplikasi kelahiran, atau lahir dengan jenis kelamin tidak sesuai harapan, atau lahir dengan cacat bawaan. 3) Kesiapan melahirkan bayi dan menjadi ibu Pada perempuan yang hamil tidak direncanakan (karena belum menikah atau pada ibu yang menikah namun sudah tidak menginginkan anak lagi karena berbagai alasan) kemungkinan depresi pascapersalinan lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang siap dan amat menantikan kelahiran bayinya. 4) Stresor psikososial Stresor psikososial adalah suatu peristiwa atau kejadian yang mengakibatkan seseorang harus melakukan penyesuaian atau adaptasi terhadap kondisi yang dialami tersebut. Ketahanan terhadap stresor mengakibatkan perbedaan reaksi yang berbeda-beda pada tiap orang. Stresor tersebut antara lain bila ia merasa tidak mempunyai sumbersumber yang cukup untuk membesarkan anaknya, harus melakukan investasi untuk kesehatan dan masa depan anak serta keluarganya, 8 mengalami problem yang belum dapat diselesaikannya. Hal-hal yang dialami itu membuat tertekan dan stress yang menyebabkan perempuan tesebut tidak dapat berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. 5) Riwayat depresi sebelumnya atau problem emosional lainnya Riwayat depresi selama kehamilan dan riwayat pernah mengalami depresi ketika anak-anak atau remaja juga dapat merupakan faktor yang berperan pada seorang perempuan pada saat ia mengalami harihari pascapersalinan. 6) Faktor hormonal Depresi pascapersalinan diduga juga terjadi kerena perubahan produksi hormon pada masa nifas. Perubahan kadar hormon progesteron, estrogen, prolaktin dan kortisol, diketahui kecil pengaruhnya terhadap depresi pascapersalinan, kerena semua perempuan yang normal juga mengalami perubahan hormon pada masa nifas. 7) Faktor budaya Peran budaya hingga kini masih terus diteliti, banyak problem kejiwaan pascapersalinan tidak terdeteksi, yang kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: keengganan ibu yang melahirkan untuk mengungkapkan perasaan sedihnya, karena perasaan tersebut dianggap akan hilang dengan sendirinya. d. Kebutuhan ibu dengan Depresi Pascapersalinan Menurut Marmi, dkk. (2011) Setelah pemulihan, ibu yang mengalami depresi pascapersalinan membutuhkan konseling psikologis dan bantuan praktis. Umunya dengan cara: 1) Berikan dukungan psikologis dan bantuan nyata (pada bayi dan asuhan di rumah) 2) Dengarkan dan berikan dukungan serta besarkan hati ibu 3) Yakinkan ibu bahwa pengalaman tersebut merupakan hal biasa dan banyak ibu lain yang mengalami hal yang sama 9 4) Bantulah ibu untuk memikirkan kembali gambaran keibuan dan bantulah pasanagn inin untuk memikirkan peran masing-masing sebagai orang tua baru 5) Jika depresinya cukup parah, pertimbangkan pemberian obat-obatan anti depresan jika ada. 2. Efikasi Diri Menurut Wallatey (2001) efikasi diri merupakan satu kesatuan arti yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris, self efficacy Konstruk tentang self efficacy diperkenalkan pertama kali oleh Bandura yang menyajikan satu aspek pokok dari teori kognitif sosial. Efficacy didefenisikan sebagai kapasitas untuk mendapatkan hasil atau pengaruh yang diinginkannya, dan self sebagai orang yang dirujuk (Putra, 2011). Menurut Bandura (1994) efikasi diri diklasifikasikan menjadi efikasi diri tinggi dan efikasi diri rendah. Efikasi diri tinggi bercirikan: tekun, bermotivasi, berdaya usaha tinggi, dan tabah dalam mengerjakan sesuatu kegiatan untuk memperoleh suatu keberhasilan. Sedangkan efikasi diri rendah bercirikan: menganggap masalah yang dihadapi terlalu sulit untuk diselesaikan, berpandangan sempit, berkeyakinan tidak memilki apa yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan, tidak tekun, sukar bangkit dari sebuah kegagalan, selalu mengamati kegagalan orang lain, aspirasi terlalu rendah dan kualitas hasil semakin menurun. Dan efikasi diri berfungsi dalam mempengaruhi kepercayaan diri dan membantu menentukan tindakan yang harus dilakukan oleh individu (Hartono, 2012). 3. Tingkat Pendidikan a. Pengertian Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, 10 serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Depdiknas, 2004). b. Jalur, Jenjang dan jenis pendidikan Didalam undang-undang no 20 tahun 2003 pada Bab VI di bagian kesatu pasal 13: jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pasal 14: jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pasal 15: jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (Depdiknas, 2004). c. Pendidikan Dasar Menurut UU no 20 tahun 2003 pasal 17 ayat (1) dan (2): Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah Menengah pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat (Depdiknas, 2004). d. Pendidikan Menengah Menurut UU no 20 tahun 2003 pasal 17 ayat (1), (2) dan (3): pendidikan menegah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menegah umum dan pendidikan menegah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat (Depdiknas, 2004). e. Pendidikan Tinggi Menurut UU no 20 tahun 2003 pasal 19 ayat (1): pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menegah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doctor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi (Depdiknas, 2004). 11 Hasil penelitian dari Sarbini dan Hidayati (2008) ibu yang tidak menyusui secara eksklusif paling banyak ditemukan pada ibu yang tingkat pendidikan lanjut sebanyak 61%. Namun dari hasil analisis statistik menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan pola pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian ini bertentangan dengan Soeparminto dan Rahayu (2002) dalam penelitian Sarbini dan Hidayati (2008) bahwa tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan ibu mempunyai pengaruh bermakna terhadap pola pemberian ASI eksklusif. 4. Pendapatan keluarga Menurut Reksoprayitno (2009) pendapatan atau income adalah uang yang diterima oleh seseorang dan perusahaan dalam bentuk gaji, upah, sewa bunga, dan laba termasuk juga beragam tunjangan, seperti kesehatan dan pensiun (Suparyanto, 2014). Pengertian Keluarga menurut Zaidin (2010) adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, dan adopsi dlam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Suparyanto, 2014). Menurut Gilarso (2008) dalam Suparyanto (2014) pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan riil dari seluruh anggota rumah tangga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga. Pendapatan keluarga merupakan balas karya atau jasa atau imbalan yang diperoleh karena sumbangan yang diberikan dalam kegiatan produksi. Secara konkritnya pendapatan keluarga berasal dari : a. Usaha itu sendiri : misalnya berdagang, bertani, membuka usaha sebagai wiraswastawan b. Bekerja pada orang lain: misalnya sebagai pegawai negeri atau karyawan c. Hasil dari pemilihan: misalnya tanah yang disewakan dan lain-lain. Pendapatan bisa berupa uang maupun barang misal berupa santunan baik berupa beras, fasilitas perumahan dan lain-lain. Pada umumnya pendapatan 12 manusia terdiri dari pendapatan nominal berupa uang dan pendapatan riil berupa barang (Suparyanto, 2014). Menurut Luciasari (1995) dalam kusumaningrum (2003) pendapatan yang rendah tidak cukup untuk membeli makanan yang dibutuhkan. Walaupun pengeluaran untuk pangan lebih dari setengah pendapatan keluarga tetapi karena pendapatan keluarga rendah maka jumlah yang dibelanjakan untuk pangan juga rendah. Daya beli yang rendah menyebabkan ketersediaan makanan tingkat keluarga juga kurang yang pada akhirnya berakibat tingkat konsumsi keluarga lebih rendah dari kecukupan. Dalam penelitian Sarbini dan Hidayati (2008) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan status pemberian ASI eksklusif. Hal ini sejalan dengan penelitian Soeparminto dan Rahayu (2002) bahwa tingkat pendapatan keluarga tidak mempunyai hubungan bermakna dengan pola pemberian ASI eksklusif. Pemberian ASI eksklusif tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, namun juga kemungkinan dipengaruhi oleh pengaruh faktor yang lain (Sarbini dan Hidayati, 2008). 5. Tradisi Tradisi (bahasa latin: traditio, “diteruskan atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan. Tradisi juga merupakan adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan di masyarakat karena adanya penilaian bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar (Siska, 2015). Pengertian kebudayaan secara umum, kata “kebudayaan” berasal dari kata san sekerta buddhayah, yaitu bentu jamak dari buddhi (budi atau akal). Dengan demikian, kebudayaan berarti hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Dalam bahasa Indonesia, terdapat pula istilah lain yang sangat tepat yakni adat atau adat-istiadat. Wujud dari kebudayaan yang disebut system 13 sosial, system sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata-kelakuan. Sebagai rangkaian akivitas manusia dalam suatu masyarakat (Noorkasiani et al., 2009). Budaya merupakan salah satu bentuk interaksi antar manusia yang sudah menjadi kebiasaan dan sulit dirubah. Budaya, norma dan adat istiadat dapat mempengaruhi perilaku manusia dalam hubungan sosial. Kebudayaan terjadi turun-temurun akibat proses internalisasi dari suatu nilai-nilai yang mempengaruhi pembentukan karakter, pola pikir, pola interaksi, dan perilaku manusia. Masyarakat Jawa hidup dalam lingkungan adat istiadat yang sangat kental. Adat istiadat ini adalah sebuah budaya dan kebiasaan yang telah turun-temurun dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa, bahkan di masyarakat terdapat keharusan untuk melalukannya (Sudarwati, 2014) Menurut Taylor dalam Syarifudin (2009) kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan adat istiadat, sedangkan menurut Selo Soemardjan Soelaeman Soemadi adalah semua hasil karya, rasa cipta, masyarakat yang berfungsi sebagai tempat berlindung, kebutuhan makanan dan minum, pakaian dan perhiasan (Khairunnisa, 2011). Menurut Swasono (1998) berdasarkan fakta yang terjadi pada masyarakat ada beberapa nilai kepercayaan yang berhubungan dengan perawatan bayi baru lahir. Mengingat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultural, maka fenomena tersebut sangat wajar terjadi (Pandiangan, 2011). Pada awal-awal masa kehidupan anak yaitu usia 0-6 bulan dimana seharusnya ASI adalah makanan utamanya yang menyehatkan, tapi masih banyak ditemukan praktik-praktik budaya ibu yang memberikan makanan selain ASI. Pada beberapa masyarakat tradisional Indonesia kita bisa melihat konsepsi budaya yang terwujud dalam perilaku berkaitan dengan pola pemberian makan pada bayi yang berbeda dengan konsepsi kesehatan 14 modern. Sehingga menimbulkan dampak negatif pada kesehatan dan pertumbuhan bayi. Disamping pola pemberian yang salah, kualitas ASI juga kurang. Hal ini disebabkan banyaknya pantangan terhadap makanan yang dikonsumsi si ibu baik pada saat hamil maupun sesudah melahirkan (Khasanah, 2011). Pada masyarakat Mandailing juga masih menggunakan adat dengan perawatan tradisional dalam perawatan bayi baru lahir, juga masih percaya dengan mitos-mitos seperti memandikan bayi dengan air dingin bisa membuat tubuh bayi lebih kuat (Daulay, 2010). 6. Dukungan Keluarga a. Pengertian Dukungan Keluarga Dukungan adalah perilaku-perilkau yang berkenaan dengan siapa yang memegang suatu posisi tertentu. Posisi mengidentifikasi status atau tempat seseorang dalam suatu sistem sosial (Rulita, 2008) Menutut Depkes RI (2005) keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Dukungan keluarga adalah sikap-sikap penuh pengertian yang ditunjukkan dalam bentuk kerja sama yang positif serta memberikan dukungan moral maupun emosional (Prasetyo, 2009). b. Bentuk Dukungan Keluarga Menurut Muhibbin (2008), bentuk dari dukungan keluarga yaitu : 1. Dukungan informasi adalah dukungan yang diberikan apabila individu tidak mampu menyelesaikan masalah dengan memberikan informasi, nasihat dan petunjuk tentang cara-cara pemecahan masalah. 2. Dukungan emosional atau psikologis adalah dukungan yang dapat berupa perhatian, mendampingi atau menemani ibu saat di rumah, pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. 3. Dukungan instrumental atau finansial adalah dukungan yang bersifat nyata atau konkrit dalam bentuk materi, uang atau dana yang bertujuan untuk meringankan individu, keperluan ibu, keperluan bayi misalnya pakaian bayi. 15 4. Dukungan penghargaan atau penilaian adalah dukungan yang berupa penilaian positif dari keluarga lewat ungkapan hormat misalnya pujian pada ibu yang menyusui Pemberian ASI yang kurang dipengaruhi oleh perilaku dalam memberikan ASI secara eksklusif, dimana perilaku seseorang terhadap objek kesehatan, ada atau tidaknya dukungan masyarakat, informasi yang didapat serta situasi yang memungkinkan ibu mengambil keputusan untuk memberikan MP-ASI secepatnya atau tidak yang berdampak pada perilaku pemberian MPASI Hal ini mungkin dikarenakan adanya faktor–faktor lain yang mempengaruhi ibu memberikan ASI adalah kurangnya informasi tentang manfaat dan keunggulan ASI, kurangnya pengetahuan ibu tentang upaya mempertahankan kualitas dan kuantitas ASI selama periode menyusui, merasa kurang modern dan menyusui dianggap cara kuno, takut hilangnya kecantikan dan tidak disayang oleh suami serta gencarnya iklan perusahaan susu botol di berbagai media masa. Mungkin juga ibu enggan menyusui bayi karena ibu mengalami lecet pada puting, air susu tidak keluar sehingga ibu memberikan susu formula dan bayi mengalami bingung puting (Anggorowati dan Nuzulia, 2013). Selain dukungan keluarga banyak faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif. Hal ini sesuai dengan teori Green (1980) yaitu ada tiga faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan, yaitu faktor predisposisi yang mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan,tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya (Anggorowati dan Nuzulia, 2013). 7. Perawatan Bayi Macam-macam perawatan bayi meliputi: a. Memberi bayi makan Bayi dapat disusui segera setelah lahir atau sekurang-kurangnya dalam empat jam setelah lahir. Pemberian makan dianjurkan setiap tiga sampai empat jam sehari. Bayi-bayi yang diberi susu ibu akan lebih sering makan daripada yang diberi susu formula karena susu ibu lebih cepat dicerna. (Bobak et al., 2004). Menurut Kemenkes RI (2010) ASI saja setelah bayi lahir sesering mungkin sedikitnya setiap 2 – 3 jam. Bila bayi 16 tertidur dibangunkan untuk menyusu. Makanan yang terbaik untuk bayi adalah ASI (Air Susu Ibu), Pemberian ASI saja pada bayi tanpa tambahan makanan/minuman lain (susu formula/kaleng, pisang, madu, teh, dll) kecuali obat, sampai usia 6 bulan. b. Menggendong dan mengatur posisi Bayi digendong dengan aman dengan menopang kepala karena bayi baru lahir tidak mampu mempertahankan posisi kepalanya tetap tegak selama beberapa detik. Setelah makan, posisikan bayi miring kanan untuk mepercepat pengosongan lambung ke usus kecil, memposisikan bayi berbaring miring di tempat tidur menyebabkan pengeluaran mucus dari mulut dan tidak menekan tali pusat. Posisi bayi diubah dari posisi satu ke sisi lain untuk membantu mengembangkan kontur tubuh yang sama di sisi kiri dan kanan serta meredakan tekanan pada bagian tubuh lain (Bobak et al., 2004). Tidurkan bayi secara terlentang atau miring (Kemenkes RI, 2010). c. Merawat tali pusat Tujuan dari perawatan ini adalah mencegah dan mengidentifikasi perdarahan atau infeksi secara dini. Perawatan tali pusat dilakukan dengan cara membersihkan tali pusat dan kulit disekitar dasar tali pusat dan setiap hari melakukan pemeriksaan untuk menemukan tanda-tanda infeksi. Popok tidak boleh menutupi tali pusat, popok yang basah dan kotor akan memeperlambat pengeringan tali pusat dan mempermudah timbulnya infeksi. Tali pusat akan lepas setelah satu minggu sampai 10 hari (Bobak et al., 2004). Menurut Kemenkes RI (2010) tidak boleh membubuhkan apapun pada pangkal tali pusat, bila tali pusat kemerahan, segera periksakan ke petugas kesehatan. d. Memandikan Mandi memiliki beberapa tujuan: 1) membersihkan seluruh tubuh bayi, 2) mengobservasi keadaan, 3) memberi rasa nyaman, dan 4) mensosialisasi orang tua, anak dan keluarga (Bobak et al., 2004). 17 Adapun cara memandikan bayi menurut Kemenkes RI (2010) yaitu Saat lahir bayi tidak boleh segera dimandikan, bayi baru boleh dimandikan paling cepat 6 jam setelah lahir, mandikan dengan air hangat di ruangan yang hangat, mandikan dengan cepat : bersihkan muka, leher, ketiak dan tali pusat dengan air dan sabun, keringkan seluruh tubuh dengan cepat menggunakan handuk atau kain kering, pakaikan baju, topi bayi dan dibungkus dengan selimut/kain kering, bayi tidak boleh dibedong terlalu ketat, jangan memandikan bayi jika bayi demam atau pilek. e. Perawatan tangan dan kaki Bersihkan dan keringkan jari-jari tangan dan kaki, jangan menggunting kuku jari tangan dan kaki segera setelah lahir. Kuku sebaiknya dibiarkan tumbuh cukup panjang sehingga kulit tidak tergunting ketika memotong kuku, kuku dapat dipotong ketika bayi sedang tertidur dan harus dijaga agar tetap pendek (Bobak et al., 2004). f. Membersihkan Genetalia Bersihkan genetalia bayi setiap hari dan setiap kali selesai berkemih dan defekasi. Untuk bayi wanita, membersihkan genetalia bias dilakukan dengan membuka labia dan mengusapnya dari pubis ke anus. Untuk bayi laki-laki yang tidak disunat, pelan-pelan tarik prepusium, hentikan jika terasa melekat. Bersihkan ujung (glan) dengan sabun dan air hangat dan lepas prepusium, prepusium harus kembali ke posisi semula untuk mencegah konstriksi dan pembengkakan (Bobak et al., 2004). 8. Proses Laktasi Laktasi adalah keseluruhan proses menyusui mulai dari ASI di produksi sampai proses bayi menghisap dan menelan ASI (Saleha, 2009). Laktasi terjadi dibawah pengaruh berbagai kelenjar endokrin, terutama hormon-hormon pada hipofisis, yaitu: Prolaktin dan Oksitosin. Pada proses laktasi terdapat dua reflek yang berperan, yaitu : Refleks prolaktin dan refleks aliran (let down reflek) yang timbul akibat perangsangan puting susu dikarenakan isapan bayi. Faktor-faktor yang meningkatkan let down adalah: melihat bayi, mendengarkan suara bayi, mencium bayi, memikirkan untuk menyusui bayi. Faktor-faktor yang 18 menghambat reflek let down adalah : stress, seperti: keadaan bingung/ pikiran kacau, takut dan cemas (Saleha, 2009). Menurut Maryunani (2012) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemberian ASI antara lain: a. Kurangnya pengetahuan ibu terhadap keunggulan ASI dan fisiologi laktasi Dengan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman ibu tentang ASI, baik dalam hal manfaat/keunggulan ASI maupun segala sesuatu yang berkaitan dengan teknis pemberian ASI atau manajemen laktasi, maka ibu akan termotivasi untuk memberikan ASI dengan cara yang benar dan dengan demikian akan meningkatkan pemberian ASI pada bayinya. b. Kurangnya persiapan fisik dan mental ibu Persiapan fisik dapat dilakukan pada saat kunjungan pertama pada saat pemeriksaan antanatal adalah dengan pemeriksaan payudara, terutama puting susu dan gizi ibu. Dalam menyusui yang paling penting daripada menyiapkan fisik (payudara) adalah menyiapkan mental atau psikologis ibu karena sikap atau keputusan ibu yang positif terhadap pemberian ASI harus dihayati ibu dalam masa kehamilan atau sebelum hamil. c. Kurangnya dukungan keluarga Menyusui bayi bukan semata-mata tanggung jawab ibu yang melahirkan bayinya saja. Menyusui bisa dikatakan sebagai hasil tim antara ibu-bayi-ayah dan keluarga. Seringkali kesulitan dalam menyusui biasanya terjadi dalam 10-14 hari pertama setelah persalinan. Payudara ibu mulai bengkak, puting susu lecet, bayi rewel dan tidak mau menyusu seringkali menyebabkan keputusasaan dari ibu dan bisa berakibat proses menyusu dihentikan terlalu dini/cepat. Disinilah peran penting suami dan keluarga dibutuhkan. Penghentian pemberian ASI merupakan faktor risiko untuk meningkatkan kecemasan dan depresi (Ystrom, 2012). Masa laktasi mempunyai tujuan meningkatkan pemberian ASI eksklusif dan meneruskan pemberian ASI sampai anak umur 2 tahun 19 secara baik dan benar serta anak mendapatkan kekebalan tubuh secara alami (Ambarwati, 2009). Menyusui memiliki manfaat yang signifikan bagi ibu dan bayi. Untuk mencapai kesehatan yang optimal dan kesejahteraan bayi yang baru lahir, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan menyusui eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan bayi (Tashakori et al., 2012). Menyusui dapat meningkatkan sekresi oksitosin, dan menyebabkan jalinan ikatan antara ibu dan bayi (Esglaf et al., 2008). Menurut Mezzacappa et al, (2005) dan Tu MT et al, (2006) menyusui juga bisa mengatur diurnal kortisol basal sekresi pada ibu pascapersalinan dan respon otonom terhadap stres (Tashakori et al., 2012). Status kesehatan ibu memiliki efek penting pada ASI, pertumbuhan, dan kesehatan umum bayi. Skrining depresi selama masa kehamilan dan setelah melahirkan tampaknya diperlukan dan harus dimasukkan ke dalam perawatan prenatal dan postnatal karena pengaruhnya terhadap keberhasilan menyusui ibu. Hal ini juga diketahui bahwa pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan memastikan hasil terbaik bagi bayi dan ibu (Fatemeh et al., 2014). 9. Teori Bandura (Social Cognitive theory, Bandura, 2004) Definisi Belajar sosial (social kognitif) adalah perilaku dibentuk melalui konteks sosial. Perilaku dapat dipelajari baik, sebagai hasil reinformecement maupun reiforcement. Pertama, Bandura berpendapat bahwa manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri, sehingga mereka bukan semata – mata tidak yang menjadi objek pengaruh lingkungan. Sifat kausal bukan dimiliki sendirian oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling mempengaruhi. Kedua, Bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan interaksi dengan orang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di mana tingkah laku itu diperoleh dan dipelihara. Bandura melukiskan : Teori Belajar Sosial berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dari segi interaksi timbal-balik yang berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkah laku, dan faktor lingkungan. Dalam proses determinisme timbal-balik itulah terletak kesempatan bagi 20 manusia untuk mempengaruhi nasibnya maupun batas-batas kemampuannya untuk memimpin diri sendiri (self-direction). Konsep tentang cara manusia berfungsi semacam ini tidak menempatkan orang semata-mata sebagai objek tak berdaya yang dikontrol oleh pengaruh-pengaruh lingkungan ataupun sebagai pelaku-pelaku bebas yang dapat menjadi apa yang dipilihnya. Manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan secara timbal balik. Menurut Bandura (1997) dalam Glanz et al.( 2002) Teori kognitif sosial menjelaskan bagaimana orang memperoleh dan mempertahankan pola perilaku tertentu, sementara juga menyediakan dasar bagi strategi intervensi. Mengevaluasi perubahan perilaku tergantung pada faktor lingkungan, orangorang dan perilaku. Dari tiga faktor yaitu lingkungan, orang dan perilaku yang terus-menerus mempengaruhi satu sama lain. Perilaku bukan hanya hasil dari lingkungan dan orang, seperti lingkungan tidak hanya hasil dari orang dan perilaku. Personal Enviromental Behavioral Gambar 2.1 Teori Bandura Sumber: Pajares (2002), overview of social cognitive theory of self-efficacy Keterangan : Personal : pendidikan dan tradisi Behavioral : perawatan bayi dan proses laktasi Enviromental : Dukungan keluarga Gambar 2.1 menjelaskan bahwa depresi pascapersalinan, pendidikan, pendapatan dan tradisi, dukungan keluarga dengan perawatan bayi dan proses laktasi memiliki interaksi timbal balik sehingga saling mempengaruhi. 21 Dukungan keluarga yang kuat baik dari segi emosional, penghargaan, instrumental, dan informatif maka akan memotivasi ibu untuk bisa melakukan perawatan pada bayinya dengan baik dan memperlancar dari proses laktasi. B. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian ini dilkukan untuk mengetahui Faktor-faktor yang berhubungan dengan Depresi Pascapersalinan Di RSIA Pertiwi Makasar. Jenis penelitian ini adalah cross sectional study, populasinya seluruh pasien pascapersalinan mulai hari ke 10, dan teknik pengambilan sampelnya dilakukan dengan cara accidential sampling. Data dianalisis secara univariat dan bivariat dengan uji chi square. Hasil temuan dapat disimpulkan terdapat hubungan antara dukungan sosial, pendidikan, jenis persalinan, dan status sosial ekonomi dengan Depresi pascapersalinan (Ibrahim, 2012). 2. Studi yang dilakukan oleh Arteche et al.(2011) ini menggunakan kuesioner skala EPDS dan GAD-Q dan sampel acak dari kedua kuesioner diwawancarai menggunakan Structured Clinical wawancara. Hasil temuan dapat disimpulkan bahwa ibu postnatal dengan depresi berpotensi mengalami kesulitan dalam pengolahan ekspresi dari wajah bayi mereka dan dapat menyebabkan kurangnya respon positif dari ibu, sehingga dapat mengurangi kualitas interaksi anatar ibu dan anak. 3. Penelitian ini dilakukan oleh Deng et al. menggunakan EPDS versi Cina dan Hamilton Depression Scale dan Dukungan Sosial Rating Scale. faktor risiko dievaluasi oleh kuesioner self-made berdasarkan wawancara sastra dikombinasikan dengan data consultation. Data dianalisis menggunakan uji t dan regresi logistik di SPSS 16.0. penelitian ini untuk mengetahui prevalensi dan menganalisis faktor-faktor risiko depresi pascapersalinan (PPD) di komunitas Tangxia, Guangzhou, perwakilan masyarakat dari proses urbanisasi di Cina. Dan hasil dapat disimpulkan insiden PPD sedikit lebih tinggi dibandingkan daerah lain di Cina. Hal ini penting untuk membedakan faktor risiko dalam konteks budaya daerah dan mengembangkan program promosi kesehatan (Deng et al., 2014). 4. Penelitian yang dilakukan Taherifard et al.(2013) bertujuan untuk mengetahui prevalensi PPD dan faktor risiko yang terkait di kota perbatasan Ilam, Iran barat. Metode yang digunakan adalah studi cross-sectional deskriptif, secara 22 keseluruhan, 197 perempuan yang menghadiri klinik Obstetrics dan Gynecology di kota perbatasan Ilam, Iran barat, secara acak direkrut. Sebuah kuesioner standar yang diselesaikan oleh seorang bidan melalui tatap muka wawancara digunakan untuk mengumpulkan data. Didapatkan hasil usia ratarata ± standar deviasi adalah 27,9 ± 5,2 tahun. Prevalensi PPD diperkirakan 34,8% (95% CI: 27,7-41,7). Sebuah perbedaan yang nyata antara skor depresi sebelum dan setelah melahirkan (P ≤ 0,001). Jenis pengiriman (P = 0,044), status sosial ekonomi rendah (P = 0,011), dan wanita yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah (P = 0,009) merupakan faktor risiko yang signifikan paling penting yang terkait dengan PPD. Analisis regresi menunjukkan bahwa ibu yang bekerja dibandingkan dengan pembantu rumah tangga yang lebih berisiko untuk PPD (OR = 2.01, 95% CI: 1,22-2,28, P = 0,003). Dari hasil dapat disimpulkan bahwa prevalensi PPD di Iran barat sedikit lebih tinggi dari tingkat yang sesuai dari laporan baik nasional maupun internasional. 5. Studi ini mengevaluasi hubungan antara depresi pascapersalinan dan gangguan pemberian ASI eksklusif dalam dua bulan pertama kehidupan. Penelitian kohort dari 429 bayi <atau = 20 hari usia empat unit pelayanan kesehatan primer di Rio de Janeiro, Brasil. Gangguan ASI eksklusif (outcome) didefinisikan sebagai pengenalan air, jenis cairan, susu, atau formula atau makanan. Pascapersalinan depression dinilai menggunakan Depression Scale Edinburgh Post-Natal. Hubungan antara variabel dinyatakan sebagai rasio prevalensi (baseline) dan rasio risiko (tindak lanjut), dengan interval masing-masing 95% confidence, diperkirakan dengan regresi Poisson dengan varians yang kuat. Anak-anak dari ibu dengan gejala depresi pascapersalinan lebih berisiko mengalami gangguan awal pemberian ASI eksklusif pada bulan-bulan pertama dan kedua tindak lanjut (RR = 1,46; 95% CI: 0,98-2,17 dan RR = 1,21; 95% CI: 1.02- 1,45, masing-masing). Mengingat ibu yang menyusui secara eksklusif pada bulan pertama, depresi pascapersalinan tidak dikaitkan dengan gangguan pemberian ASI eksklusif pada bulan kedua (RR = 1,44; 95% CI: 0,68-3,06). Hasil menunjukkan pentingnya kesehatan mental ibu untuk keberhasilan ASI eksklusif (Hasselmann et al., 2008). 23 6. Studi ini mengevaluasi bagaimana intervensi berbasis internet mempengaruhi kepuasan ibu dalam mengasuh, sentralitas bayi dan gejala depresi. Penelitian ini menggunakan desain kuasi-eksperimental dan tindakan berulang yang digunakan dengan jumlah sampel 1300 terdiri dari primipara dan multipara, penelitian ini dilakukan di dua rumah sakit bersalin. Intervensi menawarkan dukungan online untuk orangtua, menyusui dan perawatan bayi mulai dari kehamilan tengah. itu terdiri dari database informasi, forum rekan diskusi dan saran ahli. Dan didapatkan hasil ada pengaruh yang signifikan terhadap pendidikan, paritas, dukungan dan ASI eksklusif (Salonen et al., 2014). C. Kerangka Berpikir Tradisi Pendapatan keluarga Dukungan Keluarga Efikasi Diri Depresi Pasaca persalinan Peran Ibu Pascapersalinan menjalankan fungsi perawatan bayi Proses Laktasi Gambar 2.2 Kerangka berpikir Keterangan: : diteliti : tidak diteliti Tingkat Pendidikan 24 D. Hipotesis 1. Terdapat hubungan antara depresi pascapersalinan dengan peran menjalankan fungsi perawatan bayi. Depresi pascapersalinan meningkatakan kemungkinan ibu menjalankan fungsi perawatan bayi dengan kurang baik. 2. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan peran menjalankan fungsi perawatan bayi. Tingkat pendidikan yang rendah meningkatkan kemungkinan ibu menjalankan fungsi perawatan bayidengan kurang baik. 3. Terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan peran menjalankan fungsi perawatan bayi. Pendapatan keluarga yang rendah meningkatkan kemungkinan ibu menjalankan fungsi perawatan bayi dengan kurang baik. 4. Terdapat hubungan antara tradisi dengan peran menjalankan fungsi perawatan bayi. Tradisi yang negatif meningkatkan kemungkinan ibu menjalankan fungsi perawatan bayi dengan kurang baik. 5. Terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan peran menjalankan fungsi perawatan bayi. Dukungan keluarga yang lemah meningkatkan kemungkinan ibu menjalankan fungsi perawatan bayi dengan kurang baik. 6. Terdapat hubungan antara depresi pascapersalinan dengan proses laktasi. Depresi pascapersalinan meningkatakan kemungkinan proses laktasi tidak lancar. 7. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan proses laktasi. Tingkat pendidikan yang rendah meningkatkan kemungkinan proses laktasi tidak lancar. 8. Terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan proses laktasi. Pendapatan keluarga yang rendah meningkatkan kemungkinan proses laktasi tidak lancar. 9. Terdapat hubungan antara tradisi dengan proses laktasi. Tradisi yang negatif meningkatkan kemungkinan proses laktasi tidak lancar. 10. Terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan proses laktasi. Dukungan keluarga yang lemah meningkatkan kemungkinan proses laktasi tidak lancar.