KIAI DAN HUKUM KELUARGA KIAI DAN HUKUM KELUARGA: Kajian Sosiologis atas Peran Kiai terhadap Konstruksi Keluarga Sakinah pada Masyarakat Mohamad Ikrom Dosen Syari’ah STAIN Jember Abstrak Di dalam sebuah pernikahan, terdapat satu cita-cita yang ingin dicapai yaitu membangun keluarga sakinah. Namun adakalanya di dalam keluarga terdapat permasalahan-permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara internal oleh masing-masing pasangan, dan di sinilah terdapat satu peranan yang dilakukan oleh Kiai yang menjadi panutan masyarakat. Tulisan hasil penelitian singkat ini mencoba mengulas peranan kiai sebagai sebuah kajian sosiologis di dalam menyelesaikan permasalahan keluarga, baik penyelesaian secara internal, eksternal, dan obyektif. Dan tulisan ini juga mencoba untuk mengetahui bagaimana peranan kiai dalam mengkonstruksi pemikiran masyarakat dalam membentuk keluarga sakinah. Keyword : Kiai, Keluarga Sakinah, Eksternalisasi, Obyektifitas, Internalisasi Pendahuluan Kiai merupakan tokoh berpengaruh dalam masyarakat. Sosok kiai menempati posisi yang sangat stategis dalam dinamika kehidupan sosial.1 Peran yang dimainkan seorang kiai cukup, bahkan sangat signifikan dalam pembentukan karakter konstruksi sosial. Kiai merupakan panutan keagamaan yang paling otentik,2 sumber ilmu, petunjuk, bahkan—sebagian orang memahaminya—sebagai cerobong terkabulnya hajat. Salah satu peran dan tangung jawab kiai adalah mengawal eksistensi kebudayaan. Pengejawantahannya, tidak lain dengan menjaga 1 Sebagaimana digambarkan dalam Hadits yang diriwayatkan Imam ahmad:” Sesungguhnya perumpamaan ulama di bumi itu bagaikan bintang di langit yang diambil oleh manusia di kegelapan darat dan laut”. Bagi masyarakat, khususnya pedesaan, sosok ulama, tidak lain adalah ulama itu sendiri. Lebih lanjut, lihat, Zainal Arifin Toha, Runtuhnya Singgasana Kiai,NU, Pesantren dan Kekuasaan: Pencarian Tak Kunjung Usai Cet.II (Yogyakarta: Kutub, 2003),172. 2 Mujammil Qomar, NU “liberal”, (Bandung: Mizan, 2002), 88. Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 29 Muhammad Ikrom ruh atau nafas dari kebudayaan itu sendiri.3 Sementara ruh dari kebudayaan itu adalah nilai etik-moral kemanusiaan, yang terkait dan berkelindan dengan ajaran agama, salah satunya: hukum keluaraga (lebih khusus konstruksi keluaraga) Konfigurasi kiai dalam realitas sosial kemasyarakatan yang selama ini mapan, tampaknya harus terusik dengan semakin meningkatnya perceraian pada hampir seluruh wilayah di Nusantara ini. Tulisan hasil penelitian singkat ini menguji keabsahan kiai dalam mengemban tanggung jawab sosialnya. Lebih jauh, tulisan yang berbasis sosiologi hukum keluarga ini diharapkan mampu mencarikan arah baru kontruksi sosial, yang selama ini dinilai rapuh; mengalami krisis multi-dimensional.4 Untuk mengefektifkan penelitian dengan waktu yang sangat singkat ini (sekitar lima hari), penulis melakukan penelitian di daerah kelahiran yang juga merupakan kota munculnya pesantren pertama di Nusantara: Ponorogo. Meski tidak mampu mewakili seluruh wilayah di Nusantara, namun hasil pembahasan ini diharapkan mampu memberi gambaran tentang peran kiai dalam hukum keluarga pada wilayah lain di Nusantara ini. Konfigurasi Kiai di Tengah Dinamika Sosial Masyarakat Dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan selalu mencetak elit lokal dalam setiap cabang kehidupannya.5 Elit lokal merupakan posisi puncak dalam struktur sosial. Sosok yang bertahta dalam posisi ini bukanlah tercipta dengan sendirinya. Terwujudnya penokohan ini merupakan hasil “ijtihad” sosial. Kiai, dengan kharisma dan pengetahuan keagamaan yang dimilki, telah mengantarkan tokoh kharismatik ini pada posisi tersebut; elit lokal. Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan kiai sebagai alim ulama Islam. Sementara Zamakhsari Dhofier menyatakan; kiai adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang mengajarkan kitab-kitab pada santrinya.6 Menurut Mukti Ali, kiai 3 4 Ibid.173. Titus Dkk. Living Issues in Philosophy, (terj.)M. Rasyidi (Jakart: Bulan Bintang, 1984), 436. 5 Haryanto, Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar (Yogyakarta: PLOD dan JIP Universitas Gajah Mada, 2005), 66-67. 6 Zamaksyari Dhofier, Tradisi…hlm 55. 30 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 KIAI DAN HUKUM KELUARGA bukan hanya memimpin pesantren, tetapi juga memiliki pesantren. 7 Pradjarta Dirjosanjoto menyimpulkan bahwa sosok kiai adalah ahli agama yang mengajarkan ilmu agama, baik dalam pesantren, rumah, maupun langgar.8 Sebutan ulama, sering kali digunakan untuk menunjuk kiai. Ulama dalam Islam telah menjadi kategori umat yang khas dan merujuk pada budaya ke-Islaman yang humanistik. Namur harus dicatat, bahwa ulama tidak sama dengan pendeta-pendeta dalam tradisi Agama Kristen, atau tradisi agama lain. Islam tidak mengenal kependetaan yang menjadi perantara manusia dengan Tuhan.9 K.H. Sahal Mahfud10 mengutarakan, kiai merupakan pemimpin umat dan menjadi sumber rujukan dalam memberikan legitimasi terhadap tindakan umat. Kiai berarti juga elit agama. Ia memiliki kewenangan dan kemampuan untuk mengajarkan ilmu agama Islam terhadap masyarakat.11 Lebih lanjut, Azzumardi Azra12 menuturkan, kiai dalam wilayah pengajaran memiliki kesamaan dengan guru. Pembeda keduanya hanya pada wilayah kultural yang berbeda: kiai berada dalam wilayah pendidikan tradisional pada masyarakat santri, sedangkan guru mengajar di wilayah modern. Keduanya sama-sama mereproduksi narasi agung: agama dan negara. Dalam “Runtuhnya Singgasana Kiai”, Zainal Arifin Thoha mengilustrasikan; di mata masyarakat, keberadaan kiai dianggap membawa maslahah dan barraca. Kiai Bukan hanya merupakan tokoh panutan sosial dalam kehidupan kiai, melainkan juga tokoh panutan ilmu (rijal al-‘ilm) yang bersedia mengajar dan mewariskan pengetahuannya setiap waktu; juga merupakan tokoh panutan agama (rijal ad-din) yang menajadi tempat bertanya. Sedangkan di mata penguasa, keberadaan kiai 7 Lihat, A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Yakarta: Bulan Bintang, 1991), 9 8 Lihat Pradjarta Dirjo Sanjot, Memelihara Amat, Kiai Pesantren, kiai Langgar Jawa (Yogyakarta: LKiS,1999), 55. 9 Alhaji Adeleke Dirisu Ajijola, “Problem Ulama” dalam Charlez Khuzman (ed) Wacana Islam LiberalPemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2001), 402. 10 Sahal Mahfud, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994), 355. 11 Bambang Purwoko, “Perilaku Politik Elit dalam Dinamika Politik Lokal”, dalam Focus Group,.1 12 Azzumardi Azra, “Kesalehan Kiai Jawa: Perspektif Kekuasaan” Pengantar dalam Zainudin Maliki, Agama Priyai Makna Agama di Tangan Elit Penguasa (Pustaka Marwah, 2004), Xiv. Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 31 Muhammad Ikrom selain dianggap penasihat dan penyambung lidah penguasa, sekaligus juga dianggap sebagai (tokoh) oposisi yang berbahaya bagi kelestarian kekuasaan.13 Kaidah fiqhiyyah tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah” merupakan pedoman bagi kiai untuk membina dan mengupayakan kebaikan pada masyarakat dalam setiap sendi kehidupan. Kiai berusaha sungguh-sungguh menjadi pemimpin diri, keluarga, dan bagi masyarakatnya.14 Bersama lokomotif kiprahnya (baca; pesantren), kiai bukan hanya membangun tradisi ilmiah, tetapi juga membangun budaya yang memposisikan masyarakat tidak hanya sekedar menjadi objek, melainkan menjadi subjek yang kelak secara bersama-sama menyusun “stategi kebudayaan”.15 Manfred Ziemek, seorang peneliti Jerman, menuturkan; Kiai (kharismatik) dengan pesantrennya, telah mampu menunjukkan peranannya dalam pembangunan desa atau daerah, hubungannya dengan perubahan sosial.16 Teori dan capaian penelitian yang mengukuhkan kiai sebagai elit lokal berpengaruh kuat, dipertanyakan kembali oleh realitas tersebut. Konstruksi keluarga sakinah yang selama ini berkiblat pada kiai, berubah abu-abu oleh rapuhnya konstruksi keluarga dalam masyarakat—yang berkonsekuensi terhadap tingginya angka perceraian. Fenomena ini kemudian menjadi landasan untuk memantik pertanyaan mendasar: seberapa jauh peran dan pengaruh sang Pemimpin umat (baca; kiai) dalam membangun konstruksi sosial—dalam konteks ini, konsep keluarga sakinah? Konsep Keluarga Sakinah Sakinah merupakan visi utama dari sebuah ikatan “suci” perkawinan. Ia merupakan sebuah terminologi yang mudah dilafadhkan, namun susah direalisasikan. Ulama tafsir menyatakan bahwa sakinah dalam Surat ar-Rum (30:21) adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga--dimana masing-masing pihak (suami-isteri)--menjalankan perintah Allah, s.w.t, dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Dari suasana al-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan 13 Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana…,293. Ibid, 294. 15 Lihat lebih lanjut, Maman Imanulhaq Faqih, “Pesantren dan Budaya Lokal” dalam Jurnal Kalimah: Jalinan Kreatif Agama dan Budaya, Edisi 1. tahun 1. Juni 2008. 16 Sebagaimana dikutip oleh Zainal Arifn Thoha. Runtuhnya Singgasana…, 24. 14 32 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 KIAI DAN HUKUM KELUARGA menyayangi (al-mawaddah), sehingga rasa bertanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi.17 Ada lima pilar untuk membentuk keluarga sakinah diantaranya sebagai berikut; pertama, dalam keluarga itu ada mawaddah dan rahmah Q.S.30:21). Mawaddah adalah jenis cinta membara, yang menggebu-gebu. Sedangkan rahmah adalah jenis cinta yang lembut, siap berkorban dan siap melindungi kepada yang dicintai. Mawaddah saja kurang menjamin kelangsungan rumah tangga. Ssebaliknya, rahmah, lama kelamaan menumbuhkan mawaddah. Kedua, hubungan antara suami isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan yang memakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna, Q.S. 2:187). Fungsi pakaian ada tiga, yaitu menutup aurat, melindungi diri dari panas dingin, dan perhiasan. Suami terhadap istri dan sebaliknya harus menfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika istri mempunyai suatu kekurangan, suami tidak menceriterakan kepada orang lain, begitu juga sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau membawa ke dokter, begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil membanggakan suami, suami juga harus tampil membanggakan isteri, jangan terbalik di luaran tampil menarik orang banyak, di rumah "nglombrot" menyebalkan. Ketiga, suami istri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut (ma`ruf), tidak asal benar dan hak, Wa`asyiruhunna bil ma`ruf (Q.S.4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus memperhatikan nilai-nilai ma`ruf. Hal ini terutama harus diperhatikan oleh suami isteri yang berasal dari kultur yang menyolok perbedaannya. Keempat, memiliki kecenderungan kepada agama, yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda, sederhana dalam belanja, santun dalam bergaul dan selalu introspeksi. Kelima, adanya faktor yang mendatangkan kebahagiaan keluarga, yakni suami/isteri yang setia (saleh/salehah), anak-anak yang berbakti, lingkungan sosial yang sehat, dan dekat rizkinya.18 Prinsip menuju keluarga sakinah yaitu pernikahan harus dipandang sebagai perjanjian yang berat (mitsaqan ghalidha), yang menuntut suami istri memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. Setiap anggota keluarga (suami dan istri) adalah pemimpin dalam kedudukannya masing17 18 Ibid. http://tentang-pernikahan.com/article/articleindex.php?Aid=883&cid=2. Akses tanggal 29 Januari 2010. Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 33 Muhammad Ikrom masing, dan Allah akan memintakan pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu. Sebuah keluarga harus dikemudikan secara adil. Artinya, meletakkan semua fungsi itu secara memadai.19 Konstruksi Sosial-Keluaraga: Peran dan Pengaruh Kiai dalam Konstruksi Keluarga Sakinah Untuk melihat pengaruh kiai dalam konstruksi keluarga, penulis menggunakan teori konstruksi sosial yang digagas Peter L. Berger dan rekannya Thomas Luckman.20 Maksud besar teori ini adalah menggambarkan proses di mana melalui tindakan dan interaksinya, manusia menciptakan secara terus-menerus sebuah kenyataan yang dimiliki bersama, yang dialami, secara faktual obyektif, tetapi penuh makna secara subyektif. Terkait dengan realitas sosial, setidaknya ada tiga teori yang mempunyai pandangan yang berbeda, yaitu teori fakta sosial, teori definisi sosial, dan teori konstruksi sosial. Teori fakta sosial beranggapan bahwa tindakan dan persepsi manusia ditentukan oleh masyarakat dan lingkungan sosialnya. Norma, struktur, dan institusi sosial menentukan individu manusia dalam arti luas. Segala tindakan, pemikiran, penilaian, dan cara pandang terhadap apa saja (termasuk peristiwa yang dihadapi) tidak lepas dari struktur sosialnya. Ia adalah penyambung lidah atau corong struktur sosialnya. Jadi, realitas dipandang sebagai sesuatu yang eksternal, objektif, dan ada. Ia merupakan kenyataan yang dapat diperlakukan secara objektif karena realitas bersifat tetap dan membentuk kehidupan individu dan masyarakat. Sementara itu, teori definisi sosial beranggapan sebaliknya. Manusialah yang membentuk perilaku masyarakat. Norma, struktur, dan institusi sosial dibentuk oleh individu-individu yang ada di dalamnya. Manusia benar-benar otonom. Ia bebas membentuk dan memaknakan realitas, bahkan menciptakan-nya. Wacana-wacana (discourses) ia ciptakan sesuai dengan kehendaknya. Jadi, realitas dipandang sebagai sesuatu yang internal, subjektif, dan nisbi. Ia merupakan kenyataan subjektif yang bergerak mengikuti dinamika makna subjektif individu. 19 http://www.slideshare.net/road_to_khilafah/menuju-keluarga-sakinah. Akses tanggal 29 Januari 2010. 20 Lihat Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, ter. Hasan Basari (Jakarta:LP3ES, 1990), 2865. 34 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 KIAI DAN HUKUM KELUARGA Kedua teori itu dipandang sangat ekstrem dan masing-masing sangatlah kasual. Teori fakta sosial menafikan eksistensi individu yang mempunyai pikiran, rencana, cita-cita, dan kehendak. Individu seolah sebagai kapas yang geraknya tergantung pada angin sosial. Sebaliknya, teori definisi sosial sangat menonjolkan subjek individu, yang menafikan struktur sosial. Padahal, sebagai makhluk sosial, individu sangat membutuhkan perilaku sosial: penghargaan, prestise, dan kedudukan atau jabatan sosial. Menyadari kelemahan kedua teori itu, muncullah teori konstruksi sosial. Teori yang dikembangkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann tersebut berpandangan bahwa realitas memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia memengaruhinya melalui proses internalisasi yang mencerminkan realitas yang subjektif. Dengan demikian, masyarakat sebagai produk manusia, dan manusia sebagai produk masyarakat, yang keduanya berlangsung secara dialektis: tesis, antitesis, dan sintesis. Dialektika itu sekaligus menandakan bahwa masyarakat tidak pernah sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk. Manusia sebagai individu sosial pun tidak pernah stagnan selama ia hidup di tengah masyarakatnya. Secara teknis, tesis utama Berger dan Luckmann adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Ia bukan realitas tunggal yang statis dan final, melainkan merupakan realitas yang bersifat dinamis dan dialektis. Realitas bersifat plural ditandai dengan adanya relativitas seseorang ketika melihat kenyataan dan pengetahuan. Masyarakat adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia juga produk masyarakat. Seseorang atau individu menjadi pribadi yang beridentitas kalau ia tetap tinggal dan menjadi entitas dari masyarakatnya. Proses dialektis itu, menurut Berger dan Luckmann mempunyai tiga momen, yaitu eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi. Berger dan Luckmann menyatakan "realitas terbentuk secara sosial" dan sosiologi ilmu pengetahuan (sociology knowlwdge) harus menganalisa proses bagaimana hal itu terjadi. Realitas kehidupan seharihari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi sebagaimana realitas sosial mempenga- Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 35 Muhammad Ikrom ruhinya melalui proses internalisasi.21 Berger dalam teorinya mendefinisikan kebudayaan sebagai totalitas produk manusia. Artinya, kebudayaan bukan hanya dipahami sebagai sesuatu yang berwujud material dan non-material saja, tetapi juga berupa refleksi atas isi kesadaran manusia yang dijadikan sebagai pedoman atau alat interpretasi dalam keseluruhan tindakan manusia. Di dalamnya terdapat sisi obyektif dan sisi subyektif kebudayaan. Refleksi di dalam isi kesadaran tersebut merupakan seperangkat kognisi, sedang aspek material dan non-material adalah kelakuan dan produk kelakuan. Gagasan teori konstruksi sosial dengan demikian berbeda dengan gagasan antropologi fungsional yang melihat refleksi isi kesadaran hanya sekedar ide yang berada di luar kepala individu dan bersifat memaksa.22 Berger dan Luckmann lebih mengedepankan pandangan dialektik ketika melihat hubungan antara manusia dan masyarakat; manusia menciptakan masyarakat demikian pula masyarakat menciptakan manusia yang dikenal dalam istilah eksternalisasi, obyektivikasi dan internalisasi. Cara kerja teori tersebut akan penulis paparkan dalam anlisis penelitian sebagai berikut; Eksternalisasi: Kiprah Kiai dalam Dinamika Sosial-Keluarga pada Masyarakat Eksternalisasi adalah usaha ekspresi diri manusia ke dalam dunia luar, baik kegiatan mental maupun fisik. Momen itu bersifat kodrati manusia. Ia selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Ia ingin menemukan dirinya dalam suatu dunia, dalam suatu komunitas. Dan, itulah yang membedakannya dengan binatang. Sejak lahir, bahkan sejak masa foetal, binatang sudah menyelesaikan masa perkembangannya. Tetapi, perkembangan manusia, supaya bisa disebut manusia, belum selesai pada waktu dilahirkan. Ia perlu berproses dengan cara berinteraksi dengan lingkungan dan mereaksinya terus-menerus baik fisik maupun nonfisik, sampai ia remaja, dewasa, tua, dan mati. Artinya, selama hidup manusia selalu menemukan dirinya dengan jalan mencurahkan dirinya dalam dunia. Sifat belum selesai itu dilakukan terus-menerus dalam rangka menemukan dan membentuk eksistensi diri. Interaksi sosial yang terjalin diantara berbagai elemen masyarakat 21 Margaret. M Poloma, Sosiologi Kontemporer Terj. Tim Penerjemah Yasogama, Cet ke-(Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2000), 303. 36 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 KIAI DAN HUKUM KELUARGA Ponorogo meniscayakan beragam informasi yang diterima individu masyarakat. Kemudian, informasi tersebut akan menjadi sebentuk sumber pengetahuan masyarakat. Bervariannya latar belakang ekonomi, pendidikan, dan kultur keluarga semakin memperkaya sumber pengetahuan yang mengalir pada institusi dasar masyarakat: keluarga.23 Salah satu arus informasi—yang cukup kuat—dan masuk dalam institusi keluarga adalah interaksi anggota keluarga dengan elit lokal: kiai. Interaksi yang terbangun, seperti yang dituturkan Zumri,24 terbangun melalui sosialisasi yang bersifat formal (seperti pengajian rutin setiap Ahad Pon, pengajian Jama’ah Yasin, pengajian pernikahan, Pengajiian Pitonpiton, Pengajian Lahiran, dan lain-lain) ataupun interaksi dalam forum yang tidak formal (seperti momen sowan kepada kiai, komunikasi setelah shalat berjama’ah di masjid, komunikasi saat Jagong, dan lain-lain) meniscayakan adanya informasi yang sarat makna (khususnya terkait dengan konstruksi keluarga) dari seorang kiai kepada masyarakat. Proses sosial yang terjadi dari interaksi antara individu masyarakat dengan kiai inilah yang menjadi sorotan objek penelitian ini. Interaksi antara kiai dan masyarakat dipandang sebagai proses eksternalisasi dalam konstruksi keluarga. Masing-masing dari kedua elemen masyarakat (kiai dan masyarakat/santri) saling mengekspresikan diri masing-masing dalam wadah interaksi sosial. Intensitas hubungan ini berkonsekuensi semakin kayanya informasi tentang nilai sakinah dalam keluarga yang diterima masyarakat. Proses inilah yang dalam teori Berger dan Luckmann disebut sebagai proses eksternalisasi. Obyektifikasi: Keluarga Sakinah Sebagai Kenyataan Obyektif Objektivikasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasilnya berupa realitas objektif yang terpisah dari dirinya. Bahkan, realitas objektif yang dihasilkan berpotensi untuk berhadapan (bahkan mengendalikan) dengan si penghasilnya. Misalnya, dari kegiatan eksternalisasi manusia menghasilkan alat demi kemudahan hidupnya: cangkul untuk meningkatkan pengolahan pertanian atau bahasa untuk melancarkan komunikasi. Kedua produk itu diciptakan untuk menghadapi dunia. Setelah dihasilkan, kedua produk itu menjadi realitas yang objektif (objektivikasi). Ia menjadi dirinya sendiri, 23 Zumri, Wawancara, Desa Joresan, Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo, 29 Januari 2010 24 Ibid. Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 37 Muhammad Ikrom terpisah dengan individu penghasilnya. Bahkan, dengan logikanya sendiri, ia bisa memaksa penghasilnya. Realitas objektif cangkul bisa menentukan bagaimana petani harus mengatur cara kerjanya. Ia secara tidak sadar telah didikte oleh cangkul yang diciptakannya sendiri. Begitu juga bahasa. Cara berpikir manusia akhirnya ditentukan oleh bahasa yang diciptakannya sendiri. Bahkan, mereka bisa bersengketa dan perang karena bahasa. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif individual. Realitas objektif menjadi kenyataan empiris, bisa dialami oleh setiap orang dan kolektif. Dalam penelitian ini, kiai memiliki sejumlah konsep yang kemudian terkumpul menjadi teori untuk mewujudkan konstruksi keluarga sakinah. Teori terebut, Menurut K. Masduki Bashori25 selalu diupayakan untuk ditransformasikan pada masyarakat. Transformasi nilai yang diupayakan, baik melaui ceramah ataupun uswah hasanah (baca: percontohan baik) dari kiai ini kemudian menjadi sebuah kenyataan obyektif. Kiat-kiat untuk membangun keluarga sakinah seolah telah terpisah dari masyarakat, bahkan kiai. Nilai sakinah yang digambarkan kiai, sebagaimana dituturkan oleh Kiai Nurul Hamdi26 sebagai tatanan keluarga yang saling menghormati; mengerti peran dan tanggung jawab dalam keluarga; mengedepankan musyawarah; berbicara sopan dengan yang anggota keluarga lain telah menjadi kenyataan obyektif dalam masyarakat. Karena obyektifitasnya, nilai itu bisa menjadi tolak ukur kekuatan konstruksi keluarga sakinah dalam masyarakat. Secara perlahan dan alamiah, nilai sakinah dalam keluarga benarbenar menjadi sebuah kenyataan obyektif. Masyarakat memandang nilai sakinah tersebut sebagai nilai “yang di luar”. Bidayati27 menuturkan, hanya dengan upaya seriuslah institusi keluarga mampu menyerap dan membumikan nilai-nilai sakinah dalam kehidupan rumah tangga. Proses inilah yang kemudian disebut sebagai obyektifikasi. 25 Seorang kiai terkemuka di Desa Semanding Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo (wawancara: 29 Januari 2010) 26 Seorang kiai terkemuka di Desa Joresan Kecamatan Mlaraka Kabupaten Ponorogo (wawancara: 29 Januari 2010) 27 Informan penelitian (anggota jama’ah Pengajian Ahad Pon) di desa Joresan Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo (wawancara: 29 Januari 2010). 38 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 KIAI DAN HUKUM KELUARGA Internalisasi: Penyerapan Kembali Obyektifitas Konsep Sakinah oleh Masyarakat Internalisasi adalah penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran subjektif sedemikian rupa sehingga individu dipengaruhi oleh struktur sosial atau dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, dan sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi itu, manusia menjadi produk masyarakat. Salah satu wujud internalisasi adalah sosialisasi. Bagaimana suatu generasi menyampaikan nilai-nilai dan norma-norma sosial (termasuk budaya) yang ada kepada generasi berikutnya. Generasi berikut diajar (lewat berbagai kesempatan dan cara) untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai budaya yang mewarnai struktur masyarakatnya. Generasi baru dibentuk oleh makna-makna yang telah diobjektivikasikan. Generasi baru mengidentifikasi diri dengan nilainilai tersebut. Mereka tidak hanya mengenalnya tetapi juga mempraktikkannya dalam segala gerak kehidupannya. Berger dan Luckmann berpandangan bahwa realitas tidak dibentuk secara ilmu, juga tidak diturunkan oleh Tuhan. Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan dikonstruksi manusia. Pemahaman itu menyiratkan bahwa realitas berpotensi berwajah ganda dan plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, tingkat pendidikan, lingkungan atau pergaulan sosial tertentu akan menafsirkan atau memaknakan realitas berdasarkan konstruksi-nya masing-masing. Misalnya, peristiwa demonstrasi mahasiswa yang marak di Indonesia pada tahun 1997 dimaknai atau ditafsirkan berbeda-beda oleh beberapa kelompok atau kalangan. Kelompok tertentu mengonstruksi demonstrasi mahasiswa sebagai tindakan anarkis, di luar batas, mengganggu ketenteraman masyarakat, dan sebagai alat permainan elit politik tertentu. Tetapi, pada saat yang bersamaan, kelompok lain mengonstruksi demonstrasi mahasiswa sebagai tindakan untuk memperjuangkan nasib rakyat, dan berjuang tanpa pamrih demi kepentingan rakyat. Kedua konstruksi yang berbeda tersebut dilengkapi dengan legitimasi tertentu, sumber kebenaran tertentu, bahwa yang mereka katakan dan mereka percayai itu adalah benar adanya, dan mempunyai dasar atau bukti yang kuat. Selain plural, realitas (sebagai produk konstruksi) juga bersifat dinamis. Demonstrasi mahasiswa (sebagai produk dari konstruksi sosial) selalu terjadi dalam dialektika sosial. Menyorot penelitian ini, internalisasi nilai sakinah dalam keluarga memiliki keragaman hasil; berbeda dari satu individu masyarakat dengan Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 39 Muhammad Ikrom lainnya. Loyalitas masyarakat terhadap kiai mempengaruhi kekuatan peran kiai dalam konstruksi keluarga sakinah. Maimunah dan Zumri,28 sebagai salah satu masyarakat santri yang begitu ta’dhim (baca: hormat; loyal) kepada Kiai Nurul Hamdi benar-benar berusaha keras untuk mnerjemahkan teori untuk membengun keluarga sakinah yang didakwahkan kiai dalam rumah tangganya. Teori kiai yang telah menjadi kenyataan obyektif dalam masyarakat benar-benar menjadi referensi utama dalam bangunan rumah tangganya. Dalam konteks keluaraga sejenis ini, konfigurasi kiai di tengah dinamika kehidupan sosial begitu benar-benar mapan. Posisi strategis seperti ini mengantarkan kiai sebagai elit lokal yang diperhitungkan ketokohannya. Dalam konteks seperti ini pengaruh kiai dalam konstruksi keluarga sakinah benar-benar nyata. Berbeda dengan Maimunah, Giyatno dan Jepun (bukan nama asli)29 warga yang mengakhiri sejarah keluarganya dengan perceraian itu menuturkan, intensitas interaksinya dengan kiai memang tidak begitu inten. Ia juga mengakui tidak memiliki loyalitas tinggi terhadap kiai. Dalam hal internalisasi nilai sakinah, ia menuturkan tidak begitu serius untuk membumikan konsep sakinah yang didakwahkan kiai. Semakin kecil ke-ta’dhiman seseorang terhadap seorang kiai, maka semakin juga upaya pembumian teori keluarga sakinah yang didakwahkan kiai. Peneliti melihat, memang ada faktor yang menyebabkan kuat atau tidaknya pengaruh kiai dalam konstruksi sosial-keluarga. Faktor terkuat adalah kultur yang ada pada masyarakat. Kultur masyarakat santri; kawasan “Islami”, selalu menghasilkan masyarakat yang memiliki loyalitas tinggi terhadap kiai. Hal ini linear pula dengan pengaruh kiai dalam konstruksi keluarga sakinah. Sedangkan masyarakat di daerah abangan, memiliki kecenderungan semakin rendanhnya loyalitas masyarakat pada kiai. Konsekuensinya, pengaruh kiai atas konstruksi keluarga sakinah juga melemah. Sedangkan faktor ekonomi dan pendidikan tidak memiliki pengaruh signifikan dalam konstruksi keluarga sakinah pada masyarakat. 28 Informan penelitian (anggota jama’ah Pengajian Ahad Pon) di desa Joresan Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo (wawancara: 30 Januari 2010) 29 Informan penelitian di Desa Semanding Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo (wawancara: 30 Januari 2010) 40 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 KIAI DAN HUKUM KELUARGA Penutup Kiai dipandang sebagai tokoh yang memiliki kapabilitas tinggi dalam menafsirkan (hukum) agama. Kemampuan lebih (Jawa: linuih) kiai inilah yang menjadi potensi besar untuk mengkonstruk sosial-keluarga. Penelitian ini menguji teori kemapanan kiai sebagai elit lokal. Hasil pembahasan ini diharapkan mampu merekomendasikan arah baru konstruksi sosial-keluarga yang lebih kokoh dan sakinah. Untuk melacak dinamika persoalan hukum keluarga, dalam konteks ini keluarga sakinah, peneliti menggunakan teori konstruksi sosial Berger dan Luckman. Capaian penelitiannya adalah: eksternalisasi (yang tercermin dalam dinamika sosial; interaksi kiai dan santri; dan kiprah dakwah kiai terkait konsep keluarga sakinah), obyektifikasi (momen ketika nilai sakinah menjadi kenyataan obyektif), dan internalisasi (penyerapan nilai sakinah oleh individu masyarakat) selalu bergerak simultan membentuk realitas sosial. Loyalitas masyarakat terhadap kiai menentukan kuat-lemahnya peran kiai dalam konstruksi keluarga. Semakin besar loyalitas masyarakat terhadap masyarakat, semakin kuat pula pengaruh kiai dalam konstruksi keluarganya, begitu juga sebaliknya. Faktor kultur daerah (abangan dan santri) memiliki pengaruh signifikan atas besar kecilnya pengaruh kiai dalam masyarakat. Semakin “santri” kultur masyarakat, semakin besar pula pengaruh kiai dalam konstruksi sosial-keluarga, begitu pula sebaliknya. Daftar Pustaka Alhaji Adeleke Dirisu Ajijola, “Problem Ulama” dalam Charlez Khuzman (ed) Wacana Islam LiberalPemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2001). Ali, Mukti, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991). Azra, Azzumardi, “Kesalehan Kiai Jawa: Perspektif Kekuasaan” Pengantar dalam Zainudin Maliki, Agama Priyai Makna Agama di Tangan Elit Penguasa (Pustaka Marwah, 2004). Berger, Peter L. dan Luckmann, Thomas, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, ter. Hasan Basari (Jakarta:LP3ES, 1990). Berger, Peter L., Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, ter. Hartono (Jakarta: LP3ES, 1991). Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 41 Muhammad Ikrom Faqih, Maman Imanulhaq, “Pesantren dan Budaya Lokal” dalam Jurnal Kalimah: Jalinan Kreatif Agama dan Budaya, Edisi 1. tahun 1. Juni 2008. Haryanto, Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar (Yogyakarta: PLOD dan JIP Universitas Gajah Mada, 2005). Mahfudh, Sahal, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994). Poloma, Margaret. M., Sosiologi Kontemporer Terj. Tim Penerjemah Yasogama, Cet ke-1 (Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2000). Qomar, Mujammil, NU “liberal” (Bandung: Mizan, 2002). Ritzer, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta: Rajawali Press, 1985). Sanjot, Pradjarta Dirjo, Memelihara Amat, Kiai Pesantren, Kiai Langgar Jawa (Yogyakarta: LKiS,1999). Sukanto, Soerjono dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet.18 (Jakarta: Raja Grafindo, 1994). Titus Dkk. Living Issues in Philosophy, terj. M. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984). Toha, Zainal Arifin, Runtuhnya Singgasana Kiai,NU, Pesantren dan Kekuasaan: Pencarian Tak Kunjung Usai (Yogyakarta: Kutub, 2003). 42 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013