BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbincangan tentang sastra dan perannya sebagai salah satu alat untuk
melakukan kontrol sosial telah lama terjadi. Tak dapat dipungkiri bahwa sebuah
karya sastra bisa jadi memberikan efek tertentu pada cara berpikir pembacanya.
Sebutlah pada tahun 1951 masyarakat Amerika dihebohkan dengan munculnya
buku The Catcher in The Rye karya J.D. Salinger. Buku ini dianggap berisi hal-hal
negatif yang dapat memicu tindakan buruk pada remaja. Kontroversi atas buku ini
terus berjalan sehingga negara asalnya—Amerika—pun sempat melarang
peredaran buku ini. Ketakutan akan dampak buruk buku ini seolah terbukti
dengan adanya sederet kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang
diduga terobsesi dengan buku ini. Salah satunya adalah Mark David Chapman,
seorang penggemar fanatik John Lennon yang kemudian menembaknya setelah ia
membaca buku tersebut.
Karya sastra memiliki peran yang penting dalam masyarakat karena karya
sastra merupakan refleksi atau cerminan kondisi sosial masyarakat yang terjadi di
dunia sehingga karya itu menggugah perasaan
orang untuk berpikir tentang
kehidupan. Masalah sosial dan kejadian yang dialami, dirasakan dan dilihat oleh
pengarang kemudian melahirkan ide atau gagasan yang dituangkan dalam
karyanya. Sebuah karya sastra memiliki daya gugah terhadap batin dan jiwa
seseorang. Selain itu juga, karya sastra merupakan media untuk mengutarakan
sisi-sisi kehidupan manusia dan memuat kebenaran-kebenaran kehidupan manusia
yang kadang-kadang kebenaran itu bersifat sejarah.1 Karena sifatnya yang
demikian, karya sastra memiliki peran penting sebagai dokumen sosial.
Memang tidak adil jika serta merta membandingkan The Catcher in The
Rye dengan Saksi Mata, karena selain formatnya yang berbeda, pesan yang
hendak disampaikan pun jauh berbeda. The Catcher in The Rye berbentuk novel
1
Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya, hal. 21.
1
dan berisi tentang kegelisahan seorang pemuda kelas menengah di New York.
Buku ini sarat akan pesan-pesan tersirat mengenai pemberontakan—yang pada
akhirnya banyak dimaknai oleh pembacanya sebagai kitab panduan untuk menjadi
pemberontak. Sedangkan Saksi Mata berbentuk kumpulan cerpen yang meskipun
masing-masing merupakan fragmen yang berdiri sendiri, tetapi memiliki satu
tema yang kuat, yakni mengenai Insiden Dili yang terjadi pada tahun 1992.
Seperti yang diakui oleh pengarangnya sendiri, secara keseluruhan, buku ini
mencoba menyuarakan fakta-fakta mengenai Insiden Dili dengan cara yang subtil.
Apa yang ia tuliskan berasal dari apa yang ia ketahui ketika ia bekerja sebagi
pimpinan redaksi di majalah Jakarta Jakarta dan meliput Insiden Dili. Karena pada
saat itu rezim yang berkuasa tidak memberi tempat pada demokrasi dan hak-hak
menyampaikan pendapat—terbukti dengan dilakukannya “re-organisasi” majalah
Jakarta Jakarta di kemudian hari, maka ia membalutnya dengan bahasa fiksi.
Dengan latar penciptaan yang demikian, buku kumpulan cerpen Saksi Mata jadi
memiliki nilai lebih, ia tak bisa sekadar dianggap sebagai buku kumpulan cerpen
biasa, namun juga sekaligus sebagai dokumen sosial atas sebuah peristiwa besar
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tidak pernah dituliskan dalam sejarah resmi
negara ini.
Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada analisis resepsi karya
sastra. Dalam analisis resepsi dibutuhkan audiens yang aktif, yaitu pembaca yang
secara terus menerus mengamati. Audiens aktif merupakan hal yang penting dan
utama dalam analisis resepsi. Salah satu penggagas analisis resepsi adalah Stuart
Hall dengan konsep Encoding dan Decoding. Pesan tidak dianggap lagi sebagai
sesuatu yang mudah dilempar oleh pengirim pesan kepada penerima pesan.
Audiens yang berbeda akan menginterpretasi pesan dengan berbeda pula sesuai
denga proses pemaknaan yang terjadi dalam masing-masing individu. Hall sendiri
tidak menyangkal adanya efek yang ditimbulkan oleh suatu pesan. Namun melalui
framework semiotik yang diperkenalkannya, semua efek pesan tetap bergantung
2
pada interpretasi atau pemaknaan atas pesan media itu sendiri.2 Analisis resepsi
melihat bagaimana khalayak memberikan makna atas teks media yang ia peroleh.
Berdasarkan pemahaman bahwa khalayak pada saat ini bersikap aktif
dalam memaknai pesan, peneliti pun ingin mengetahui bagaimana khalayak
memaknai cerpen-cerpen dalam Kumpulan Cerpen Saksi Mata.
Setiap karya sastra sadar atau tidak sadar memiliki kritik sosial di
dalamnya. Meskipun, dengan intensitas yang berbeda-beda. Misalnya pada masa
Balai Pustaka lebih banyak berkaitan dengan adat-istiadat dan dominasi golongan
tua, khususnya dalam menentukan jodoh. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Nurgiyantoro bahwa hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya
hingga dewasa ini, boleh dikatakan mengandung unsur pesan kritik sosial walau
dengan tingkat intensitas yang berbeda.3 Wujud kehidupan sosial yang dikritik
dapat bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Banyak karya
sastra yang bernilai tinggi yang di dalamnya menampilkan pesan-pesan kritik
sosial. Namun, perlu ditegaskan bahwa karya-karya tersebut menjadi bernilai
bukan lantaran pesan itu, melainkan lebih ditentukan oleh koherensi semua unsur
intrinsiknya.
Karya sastra merupakan wadah dari ide, gagasan, serta pemikiran seorang
pengarang mengenai gejala sosial yang ditangkap dan dialami pengarang yang
kemudian dituangkan ke dalam bentuk karya sastra. Karya sastra banyak
macamnya, diantaranya ada novel, cerpen, puisi. Dalam penelitian ini peneliti
memfokuskan penelitian pada karya sastra berupa kumpulan cerpen. Cerita
pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif
fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan
karya-karya fiksi lain yang lebih panjang seperti novel. Karena singkatnya, ceritacerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot,
2
Alasuutari, Pertti. 1999. Introduction: Three Phases of Reception Studies. dalam Pertti
Alasuutari (ed.). Rethinking the Media Audience. The New Agenda. London: SAGE
Publications, hal. 3.
3
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
hal. 330.
3
tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih
panjang dan ceritanya bisa dalam berbagai jenis.
Hal inilah yang menarik minat peneliti untuk mengetahui bagaimana
kemudian cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen tersebut secara aktif dimaknai
oleh khalayak yang juga menjadi bagian dari masyarakat luas. Karya sastra yang
memiliki pesan tertentu, meski tidak selalu mendorong perubahan sikap khalayak
mengenai suatu isu, tentunya tetap akan menimbulkan beragam pemaknaan dalam
benak khalayak yang berlainan latar belakang. Khalayak akan secara aktif
memiliki pandangan tersendiri mengenai sebuah karya sastra sesuai dengan latar
belakang maupun pengalaman masing-masing individu. Dari penelitian ini
diharapkan nantinya dapat diketahui apakah pesan sebuah karya sastra diterima
oleh khalayak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pengarang, ataukah khalayak
memiliki alternatif pemaknaan sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang resepsi dari masyarakat terkait dengan kumpulan cerpen Saksi
Mata. Dimana khalayak akan secara aktif memiliki pandangan tersendiri
mengenai cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen tersebut sesuai dengan latar
belakang maupun pengalaman dari masing-masing individu. Dengan adanya
penelitian ini, diharapkan dapat diketahui bagaimanakah kumpulan cerpen Saksi
Mata diterima oleh khalayak serta bagaimana khalayak melakukan pemaknaan
atas kumpulan cerpen tersebut.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: Bagaimana khalayak memaknai cerpen-cerpen dalam buku kumpulan
cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma?
4
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui dan menganalisis pemaknaan khalayak terhadap buku
kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.
2. Memahami pesan dalam buku kumpulan cerpen Saksi Mata karya
Seno Gumira Ajidarma.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah kajian
ilmu pengetahuan khususnya mengenai pemaknaan karya sastra oleh
khalayak.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi khalayak secara
umum untuk dijadikan acuan agar dapat bersikap kritis dalam
memaknai suatu pesan media.
E. Kerangka Pemikiran
1. Khalayak dalam Studi Ilmu Komunikasi
Sebagai
makhluk
hidup
dalam
kehidupan
sehari-hari
manusia
membutuhkan komunikasi untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Secara
paradigmatis komunikasi dapat didefinisikan sebagai berikut:
Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat,
atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui
media.4
4
Effendy, Onong Uchjana. 1992. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, hal. 5.
5
Secara terminologis, komunikasi berarti proses penyampaian suatu
pernyataan oleh seseorang kepada orang lain.5 Secara etimologis, istilah
komunikasi berasal dari bahasa latin communication yang bersumber pada kata
communis yang berarti sama, dalam arti kata sama makna. Secara terminologis
komunikasi berarti proses penyampaian suatu penyataan yang dilakukan oleh
seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau mengubah sikap, pendapat
atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui media.6
Komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan
sesuatu kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi tersebut adalah
manusia. Oleh karena itu komunikasi yang dimaksud disini adalah komunikasi
manusia atau sering disebut dengan komunikasi sosial. Komunikasi manusia
sebagai singkatan dari komunikasi antar manusia, dinamakan komunikasi sosial
karena hanya pada manusia-manusia yang bermasyarakat terjadinya komunikasi.
Secara paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh
seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat,
atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui media.7
Khalayak disebut juga dengan audiens. Audiens merupakan kata serapan
dari Bahasa Inggris audience yang berarti penonton. Dalam sebuah proses
komunikasi, audiens adalah pihak yang menerima pesan atau biasa disebut juga
komunikan. Akan tetapi tidak semua komunikan merupakan khalayak, karena
khalayak adalah komunikan dalam proses komunikasi massa. Khalayak adalah
komunikan yang mengonsumsi media massa seperti surat kabar, televisi, musik,
film dan seterusnya.
Istilah khalayak sangat lekat dengan kajian ilmu komunikasi atau media
massa. Istilah khalayak digunakan dalam praktik operasional media massa,
biasanya untuk menunjuk "orang banyak" yang menjadi sasaran media. Setiap
5
Ibid., hal. 4.
Effendy, Onong Uchjana. 2002. Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 4.
6
7
Effendy, Onong Uchjana. 2004. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, hal. 4.
6
jenis media massa memiliki sasarannya masing-masing. Istilah khalayak untuk
masing-masing media massa berbeda antara satu dan yang lainnya. Hal ini
disesuaikan dengan karakteristik masing-masing media massa tersebut. Misalnya
media massa cetak menyebut khalayaknya dengan istilah pembaca, media televisi
menyebut khalayaknya sebagai pemirsa, dan media massa radio menyebut
khalayaknya dengan istilah pendengar, sedangkan untuk film khalayaknya disebut
penonton. Dengan demikian, khalayak secara sederhana dapat diartikan sebagai
sekumpulan orang yang menjadi pembaca, pendengar, pemirsa, atau penonton
pada berbagai media atau komponen lannya. Definisi tersebut sesuai dengan yang
diungkapkan oleh McQuail.
McQuail mengungkapkan bahwa “audience simply refers to the readers of,
viewers of, listeners to one or other media channel or of this or that type of
content or performance.”8 Dalam kaitannya dengan proses komunikasi, audiens
ataupun khalayak memiliki posisi sebagai sasaran atau target dari berlangsungnya
proses komunikasi secara keseluruhan. Khalayak menjadi sasaran atau
komunikan, dari berjalannya arus informasi yang bersumber dari komunikator.
Khalayak memiliki dimensi waktu dan berada dalam keadaan tertempa
media tertentu. Dikatakan berdimensi waktu karena khalayak melakukan aktifitas
dalam periode waktu dalam mengakses media. Sederhananya khalayak merupakan
individu yang “sedang” mengakses media. Dari sini dapat tertangkap kesan bahwa
khalayak bersifat aktif. Hal ini sejalan dengan definisi khalayak yang juga dapat
didefinisikan sebagai masyarakat yang menggunakan media massa sebagai
sumber pemenuhan kebutuhan bermedianya.9
Bila dilihat lebih dalam, media dan khalayak memiliki hubungan yang
lebih kompleks. Bukan hanya sebatas bahwa media dapat mempengaruhi
khalayak. Para teoritisi media pun masih memperdebatkan konseptualisasi
khalayak. Yaitu apakah khalayak merupakan masyarakat massa (mass society)
8
McQuail, Denis. 1997. Audience Analysis. California: Sage Publications Ltd, hal. 1.
9
Sari, Endang S.. 1993. Audience Research. Yogyakarta: Andi Offset, hal. 28.
7
atau komunitas (community) dan gagasan mengenai audiens pasif atau audiens
aktif.10
Audiens/khalayak dalam komunikasi massa memiliki lima karakteristik
sebagai berikut:11
a. Audiens/khalayak cenderung berisi individu-individu yang condong
untuk berbagi pengalaman dan dipengaruhi oleh hubungan sosial di
antara individu tersebut.
b. Audiens/khalayak cenderung besar. Besar yang dimaksud dalam hal ini
berarti tersebar ke berbagai wilayah jangkauan sasaran komunikasi
massa, namun jumlahnya relatif sebab ada media tertentu yang
audiens/khalayaknya mencapai ribuan dan ada yang mencapai jutaan.
c. Audiens/khalayak cenderung heterogen karena berasal dari berbagai
lapisan dan kategori sosial. Beberapa media tertentu memiliki sasaran
tersendiri namun heterogenitasnya tetap ada.
d. Audiens/khalayak cenderung anonim, yakni tidak mengenal satu sama
lain.
e. Audiens/khalayak secara fisik dipisahkan dari komunikator, atau dapat
juga dikatakan audiens/khalayak dipisahkan oleh ruang dan waktu.
2. Analisis Resepsi
Dalam tradisi penelitian khalayak, setidaknya pernah berkembang
beberapa ragam penelitian diantaranya, disebut berdasarkan perjalanan historis
lahirnya; effect research, uses and gratification research, literary criticsm,
cultural studies dan reception analysis.12 Analisis resepsi merupakan perspektif
10
Littlejohn, Stephen W.. 2002. Theories of Human Communication. Belmont, CA:
Wadsworth Thomson Learning. hal. 310.
11
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Rajawali Pers, hal.105.
12
Jensen, Klaus Bruhn & Karl Erik Rosengen. “Five Tradition in Search of Audience”.
Dalam Oliver Boyd-Barret & Chris Newbold (ed.) Approaches to A Media Reader. 1995.
New York: Oxford University Press Inc, hal. 174.
8
baru dalam aspek wacana dan sosial dari teori komunikasi. Analisis resepsi
merupakan salah satu fokus studi yang mengkaji khalayak aktif. Tradisi ini
mengkaji khalayak sebagai penerima pesan yang aktif dalam proses pemaknaan.
Konsep penting dari analisis resepsi adalah bahwa makna teks media tidak
melekat pada teks media tersebut, tetapi diciptakan dalam interaksi antara
khalayak dengan teks.
Sebagai respon terhadap tradisi keilmuan dalam ilmu sosial analisis resepsi
menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media, apakah itu
kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada teori representasi dan
wacana serta tidak sekedar menggunakan operasinalisasi, seperti penggunaan
skala dan kategori semantik. Sebaliknya sebagai respon terhadap studi teks
humanistik, analisis resepsi menyarankan baik khalayak maupun konteks dalam
komunikasi massa perlu dilihat tersendiri secara sosial, dan menjadi objek analisis
empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan (persepektif sosial dan diskursif) itulah
yang kemudian melahirkan konsep produksi sosial terhadap makna (the social
production of meaning).13
Secara umum, analisis resepsi memiliki dua premis yaitu teks media
mendapatkan makna pada saat penerimaan, dan bahwa khalayak secara aktif
memproduksi makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teksteks sesuai dengan posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Premis kedua, sebagai
landasan penelitian, menyiratkan bahwa pesan-pesan media secara subjektif
dikontruksikan khalayak secara individual, bahkan ketika media berada dalam
posisi paling dominan sekalipun. Premis ini memposisikan khalayak sebagai
makhluk bebas yang mempunyai kekuatan besar dalam pemaknaan atau
pemberian makna terhadap pesan.14
13
Jensen, Klaus Bruhn. 1993. “Media Audiences. Reception Analysis; mass communication
as the social production of meaning”. Dalam Klaus Bruhn Jensen and Jankowski, W Nicholas.
1993. A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Second Edition.
London: Rotledge, hal. 137.
14
Croteau, David & William Hoynes. 2003. Media/Society: Industry, Images, and Audiences.
London: Pine Forge Press, hal. 274.
9
Hal senada diungkapkan oleh McQuail yang menyatakan bahwa analisis
resepsi yang termasuk dalam studi kultural (cultural studies) menekankan pada
penggunaan media (media use) sebagai refleksi dari konteks sosiokultural dan
sebagai suatu proses pemaknaan pesan pada produk budaya serta pengalamanpengalaman.15 Lebih lanjut, McQuail menyatakan bahwa studi resepsi
berkembang dan menekankan gagasan kepada khalayak sebagai khalayak penafsir
atau interpretive communities. Pada interpretive communities, teks dan pesanpesan media dimaknai dan diinterpretasikan secara bebas dan berbeda-beda oleh
khalayak menurut lingkungan sosial dan budaya dimana aktivitas berbagi
pengalaman-pengalaman pemaknaan terjadi. Melalui proses Decoding dan
pemaknaan terhadap teks media, maka khalayak memiliki kekuatan untuk
bertahan dari dominasi media massa. McQuail kemudian mengklasifikasikan
penelitian resepsi sebagai studi kultural modern yang berada dalam ranah
pendekatan stukturalis behavoris. Beberapa yang terkait dengan fokus dalam
pengertian analisis resepsi, diantaranya:
a. Teks media harus dibaca berdasarkan persepsi khalayak. Dimana
persepsi tersebut tidak pasti dan tidak dapat diprediksi. Khalayak
mengkontruksi makna secara bebas dan sesuai dengan latar belakang
masing-masing.
b. Fokus dari analisis resepsi adalah proses dalam penggunaan atau
pemaknaan media. Inti dari analisis ini adalah proses-proses
bagaimana khalayak membaca, memahami, memaknai teks media dan
pada akhirnya hasil dari proses tersebut akan memperlihatkan bentukbentuk resepsi khalayak terhadap media yang dihadirkan.
c. Media use atau penggunaan media merupakan bagian dari sistem sosial
dalam interpretive communities. Pemaknaan akan media digunakan
oleh khalayak untuk saling berbagi pemaknaan dengan sesama dan
lingkungannya.
15
McQuail. Op.Cit., hal. 18.
10
d. Khalayak sebagai interpretive communities memiliki peran dalam
pembentukan wacana dan kerangka dalam pemaknaan media di
lingkungannya.
e.
Khalayak tak dapat dikatakan pasif dan tak dapat juga dikatakan sama
atau sederajat (equal). Meskipun akan ada beberapa khalayak yang
lebih aktif maupun berpengalaman. Mereka membaca, memahami, dan
melakukan pemaknaan secara bebas sesuai dengan latar belakang
sosio-kultur masing-masing.
f. Penelitian ini dapat dikaji menggunakan metode kualitatif dan
mendalam dengan mempertimbangkan konten, perilaku resepsi dan
konteks keduanya.16
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa analisis resepsi memandang
khalayak sebagai bagian dari interpretive communitis bersikap aktif dalam
memaknai pesan media. Khalayak tidak begitu saja menerima pesan media.
Khalayak juga memiliki latar belakang dan pengalaman tersendiri yang dapat
memberikan pengaruh dalam proses pemaknaan. Khalayak memiliki kesempatan
bebas dan terbuka dalam memaknai teks dengan caranya sendiri.
3. Proses Komunikasi Massa
Proses komunikasi massa merupakan sesuatu yang rumit. Meski
komponen komunikasi di dalamnya sama seperti bentuk komunikasi lainnya,
namun komunikasi massa memiliki ciri khas yang membuatnya kompleks.
Sebagai sebuah proses, komunikasi bersifat dinamis dan terus-menerus, serta tiaptiap komponennya saling berinteraksi. Komunikasi juga memiliki sebuah tujuan,
seluruh komponen di dalamnya berfungsi secara bersama-sama guna memenuhi
tujuan tersebut.17
16
Ibid., hlm. 19-20
Baran, Stanley J., Jerilyn S. McIntyre, & Timothy P. Meyer. 1984. Self, Symbol, and
Society. An Introduction to Mass Communication. New York: Random House. hal. 11.
17
11
Komunikasi massa memiliki karakteristik yang membedakannya dari
proses komunikasi lainnya. Perbedaan tersebut terdapat pada komponen maupun
prosesnya. Berikut adalah ciri-ciri teoritis dari proses komunikasi massa:18
a. distribusi dan penerimaan konten dalam skala besar;
b. aliran satu arah;
c. hubungan yang asimetris antara pengirim dan penerima;
d. hubungan yang tidak personal dan anonim dengan khalayak;
e. hubungan dengan khalayak yang bersifat jual-beli atau diperhitungkan;
f. terdapat standardisasi dan komodifikasi konten.
Dari ciri-ciri di atas, tampak bahwa salah satu pembeda utama dari
komunikasi massa adalah media yang dirancang untuk menjangkau banyak orang
secara luas. Buku sebagai media massa tidak hanya menjangkau khalayak yang
berada di satu wilayah dengan pengarang sebagai komunikator melalui produk
buku cetak maupun digital. Cakupan khalayak yang sangat luas tersebut kemudian
berpengaruh pada anonimitas dan khalayak pada umumnya pun tidak memiliki
hubungan personal dengan komunikator. Dalam buku, pembaca hanya membaca
isi buku, dan pengarang hanya menulis dan mendistribusikannya, tanpa
mengidentifikasi secara spesifik siapa saja khalayaknya.
4. Pemaknaan Pesan Media
Dalam proses komunikasi, pertukaran makna atau sharing of meaning
merupakan salah satu aspek penting, baik dalam komunikasi interpersonal
maupun komunikasi massa. Pemahaman yang berbeda tentu akan menciptakan
pemaknaan yang berbeda pula.
Dalam komunikasi massa, tingkatannya yang lebih kompleks membuat
pemaknaannya oleh khalayak juga menjadi lebih rumit. Pertukaran makna
18
Mc.Quail, Denis. 2011. Teori Komunikasi Massa Denis Mc.Quail. Edisi 6. Jakarta:
Penerbit Salemba Humanika. hal. 62
12
tersebut menekankan pada sejumlah poin penting terkait kompleksitas proses
komunikasi, antara lain:19
a.
Kadangkala proses komunikasi berada pada tataran makna konotatif.
Sementara makna konotatif akan berlainan bagi tiap-tiap orang.
Pertukaran makna pada level konotatif menjadi sulit karena semua
orang memiliki serangkaian pengalaman masa lalu yang berbeda.
b.
Ketika kita akan mengkomunikasikan sesuatu, kondisi dan situasinya
harus diketahui. Seringkali standar referensi dan perbandingan juga
harus dinyatakan. Misalnya kata „besar‟, akan dipahami berlainan
sesuai standar perbandingan yang digunakan.
c.
Makna dapat disampaikan melalui bahasa selain lisan atau tulis.
Mekanisme sensor manusia berjalan secara simultan untk mengenali
bentu-bentuk komunikasi nonverbal yang juga memiliki makna,
seperti sentuhan, kedipan, dan sebagainya. Sebuah kalimat yang
disampaikan melalui telepon akan memiliki makna berbeda ketika
kalimat tersebut disampaikan secara tatap muka. Tanda-tanda
nonverbal dalam percakapan tatap muka akan membawa informasi
yang kemudian mempengaruhi pemaknaan pesan.
d.
Komunikasi makna melibatkan proses Encoding dan Decoding.
Encoding adalah proses menerjemahkan gagasan dalam bentuk tanda
atau simbol yang akan menentukan saluran untuk pesan. Maka proses
Encoding melibatkan pilihan untuk menerjemahkan gagasan di mana
hal tersebut akan menimbulkan pemaknaan berlainan oleh penerima.
Sementara Decoding adalah penentuan makna oleh penerima pesan.
Penerima pesan harus menafsirkan sejumlah input untuk kemudian
menentukan apa makna yang disampaikan. Kadangkala penerima
pesan pun bisa salah dengan melakukan pemilihan yang tidak tepat
atau misinterpretasi sehingga makna pun tereduksi atau justru hilang
sama sekali.
19
Baran, McIntyre, & Meyer. Op.Cit., hal. 13-15
13
e.
Pemaknaan juga melibatkan persepsi. Penerima pesan tidak hanya
menangkap input tetapi juga memberikan label untuk kemudian
menjalankan
fungsi
kritis
dalam
menginterpretasikan
pesan
berdasarkan label yang dibuatnya. Apabila dua orang memiliki
persepsi sama, maka maknanya pun akan sama.
F. Kerangka Konsep
1. Khalayak Sastra
Wilbur Schramm (1954) seperti dikutip oleh McQuail, menyatakan bahwa
kata khalayak telah lama diketahui sebagai istilah kolektif untuk penerima pesan
dalam model sederhana proses komunikasi massa yang digunakan oleh para
pelopor penelitian media.20
Lebih lanjut McQuail menyimpulkan, khalayak adalah semua orang yang
benar-benar dijangkau oleh konten media tertentu atau saluran media. Khalayak
dapat juga merupakan target yang dibayangkan atau kelompok penerima yang
dituju. Khalayak dapat saling tumpang tindih dengan kelompok sosial yang nyata
atau publik. Selain itu, khalayak media juga bukan merupakan sesuatu yang pasti
kecuali setelah diketahui melalui statistik seperti rating.
Khalayak juga dapat didefinisikan menurut media atau konten yang
relevan. Dengan demikian, pembaca karya sastra juga merupakan khalayak dan
bisa disebut sebagai khalayak sastra (literary audience). Dalam ranah komunikasi,
khalayak merupakan penerima pesan media massa. Maka, khalayak sastra adalah
mereka yang membaca karya sastra sebagai media massa, yakni dalam bentuk
buku cetak maupun digital, artikel di media online, maupun karya sastra yang
terpublikasi di surat kabar atau majalah, yang terdistribusi oleh komunikator
profesional (pengarang) dan lembaganya (penerbit, media online, surat kabar,
majalah). Begitu pula dalam kajian analisis resepsi, khalayak sastra adalah mereka
yang menerima, menginterpretasi, dan menggunakan karya sastra sebagai produk
20
McQuail. Op.Cit., hal. 1.
14
budaya, sehingga latar belakang budaya khalayak akan sangat mempengaruhi
proses pemaknaan.
Dalam penelitian ini, khalayak yang menjadi subjek penelitian juga
merupakan khalayak sastra, yakni mereka yang menerima pesan dari karya sastra
sebagai media massa. Karena penelitian ini membahas pesan media yang spesifik,
yakni cerpen-cerpen dalam Kumpulan Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira
Ajidarma, maka tidak semua khalayak sastra dapat menjadi informan untuk
penelitian ini. Khalayak sastra yang menjadi subjek penelitian ini tentu adalah
mereka yang sudah pernah membaca Kumpulan Cerpen Saksi Mata, sehingga
mereka dapat menjabarkan pemaknaannya mengenai teks tersebut.
Sedangkan kategorisasi yang akan peneliti gunakan menyangkut pada latar
belakang sosial, ekonomi, budaya, serta hal-hal lain seperti gender, kelas, dan ras.
Seperti dalam penelitian-penelitian analisis resepsi yang pernah dilakukan para
ahli sebelumnya, mereka juga menggunakan kategorisasi tersebut untuk dikaitkan
dengan pemaknaan khalayak terhadap teks.
Selain faktor-faktor yang menjadi pertimbangan peneliti seperti latar
belakang sosial, peneliti juga akan mempertimbangkan praktik bermedia yang
dilakukan informan sebagai salah satu faktor dasar kegiatan pemaknaan yang
dilakukan khalayak. Peneliti mencoba mengamati bagaimana penggunaan karya
sastra dalam kehidupan sehari-hari informan. Tidak hanya kara sastra saja, tetapi
juga penggunaan media lainnya dalam kehidupan sehari-hari informan sebagai
khalayak. Peneliti akan melihat bagaimana keseharian informan dengan media
lain seperti surat kabar, majalah, televisi, radio, internet, musik dan lain-lain.
Konsumsi media yang beragam tentunya akan membawa beragam pemaknaan
dari khalayak terhadap suatu teks.
2. Decoding
Decoding atau dalam bahasa Indonesia disebut pengawasandian, adalah
peran penerima pesan dalam menentukan makna pada pesan yang datang dari
15
sumber atau pengirim pesan.21 Secara sederhana, proses Decoding terhadap pesan
dapat dilihat pada bagan berikut ini:
Gambar 1.1
Bagan Proses Encoding dan Decoding22
Bagan tersebut memperlihatkan bahwa program (teks) adalah wacana yang
penuh dengan makna. Encoding dilakukan oleh komunikator dan Decoding
dilakukan oleh penerima pesan. Proses-proses tersebut melibatkan berbagai
macam faktor seperti kerangka pengetahuan, relasi produksi dan infrastruktur
teknis. Dalam posisi yang ekuivalen atau sejajar, misalnya si pengirim pesan
memiliki faktor yang sama atau sejalan dengan enerima pesan, maka penerima
pesan akan menerima pesan seperti yang dimaksud oleh pengirim pesan. Dengan
kata lain, pemahaman terjadi apabila pesan yang di- decode ekuivalen dengan
pesan yang di-encode. Konsep Decoding tersebut diperkenalkan oleh sosioloh
Inggris, Stuart Hall. Ia mengemukakan model komunikasi massa yang menyoroti
pentingnya interpretasi aktif dalam kode yang relevan. Berbeda dari model-model
komunikasi yang sebelumnya ada, di sini Hall memberikan peran signifikan pada
decoder, begitu juga dengan encoder.
21
Baran, McIntyre, & Meyer. Op.Cit., hal. 13-15.
22
Chandler, Daniel. Semiotic for Beginners. Diperbarui: 7 Maret 2014. Terarsip di:
http://visual-memory.co.uk/daniel/Documents/S4B/. Diakses: 20 Februari 2015.
16
Dalam proses Decoding, Hall menyebutkan ada tiga posisi pemaknaan
yang akan ditangkap khalayak saat meresepsi suatu hal yakni posisi dominant
hegemonic, negotiated, opposition. Berikut ini adalah penjelasannya:
a. Dominant (hegemonic) reading: posisi pembaca dominan adalah saat
khalayak memaknai pesan sesuai dengan makna pembacaan utama.
Dengan kata lain, khalayak akan men-decode berdasarkan kode acuan
yang di-encode oleh pembuat media, sehingga khalayak akan
memaknai teks sejalan dengan makna utama yang dikehendaki oleh
pembuat media.
b. Negotiated reading: dalam posisi yang kedua ini khalayak sebenarnya
mengetahui akan makna pembacaan yang dikehendaki oleh media
atau produsen, namun mereka mencoba bernegoisasi dengan adanya
maksud-maksud lain dibalik makna utama yang dibuat oleh media
atau produsen.
c. Oppositional („counter-hegemonic‟) reading: di posisi ini, khalayak
melakukan pemaknaan yang berlawanan dari makna utama yang coba
di buat oleh media atau produsen. Dalam model ini, khalayak
sebenarnya sadar akan pembacaan makna utama
namun mereka
mencoba memaknai dengan berlawanan dan menawarkan pemaknaan
alternatif terhadap media tersebut.
Dengan demikian, Hall berargumen bahwa preferred reading merupakan
ideologi dominan dalam media teks, tetapi tidak secara otomatis diadopsi oleh
khalayak. Situasi sosial khalayak akan mengarahkan mereka untuk mengadopsi
pendirian lain.23
Sebelum melakukan analisis terhadap pembacaan khalayak terhadap teks,
tentunya peneliti harus mengidentifikasi preferred reading terlebih dahulu.
Sejumlah ahli saat ini masih mempertanyakan cara paling tepat untuk menemukan
preferred reading. Shaun Moores (1993) misalnya, ia mempertanyakan di mana
23
Chandler, Daniel. Marxist Media Theory. Diperbarui: 7 Maret 2014. Terarsip di:
http://visual-memory.co.uk/daniel/Documents/marxism/marxism11.html.
Diakses:
20
Februari 2015.
17
letak
preferred
reading,
bagaimana
seseorang
tahu
bahwa
ia
telah
menemukannya, apakah seseorang dapat memastikan bahwa ia tidak menentukan
sendiri preferred reading dalam teks, dan apakah preferred reading dapat
ditemukan dalam teks. Sementara David Morley (1981) berpikir bahwa preferred
reading adalah pembacaan yang sudah diperkirakan akan diproduksi oleh
sebagian besar khalayak. Padahal, Justin Wren-Lewis (1983) berkomentar bahwa
belum tentu pembacaan sebagian besar khalayak tersebut adalah makna esensial
suatu teks.24
Perbedaan pendapat tersebut tidak terlalu berpengaruh pada penelitian ini,
karena Seno Gumira Ajidarma sebagai pengarang Kumpulan Cerpen Saksi Mata
sudah menyatakan secara tertulis apa preferred reading atau ideologi dominan
yang ia kehendaki dalam buku Kumpulan Cerpen tersebut. Sumber tertulis
tersebut dapat diakses melalui esei-esei Seno dalam bukunya yang berjudul Ketika
Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara.
Dari teks pada buku tersebut, preferred reading dalam buku Kumpulan
Cerpen Saksi Mata pun dapat diketahui, dan peneliti dapat menganalisis
pembacaan khalayak untuk dimasukkan dalam kategori dominan, oposisi, atau
neosiasi. Setelah posisi pembacaan khalayak diketahui, selanjutnya peneliti
menganalisis bagaimana posisi pembacaan tersebut terbangun. Seperti banyak
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, hal ini dilakukan dengan mengaitkan
pemaknaan khalayak dengan latar belakang sosial dan faktor-faktor lainnya
seperti pendidikan, ras, gender, dan pengalaman masing-masing informan sebagai
khalayak.
24
Chandler, Daniel. Semiotic for Beginners. Diperbarui: 7 Maret 2014. Terarsip di:
http://visual-memory.co.uk/daniel/Documents/S4B/. Diakses: 20 Februari 2015.
18
G. Metode Penelitian
1. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Karakteristik utama dari
penelitian kualitatif adalah fleksibilitas dalam perolehan data. Penelitian kualitatif
memungkinkan spontanitas dan adaptasi dalam interaksi antara peneliti dengan
partisipan studi.25 Hal ini terlihat misalnya dari tipe pertanyaan open-ended yang
memungkinkan jawaban yang bebas dan fleksibel oleh masing-masing partisipan
studi. Hubungan antara peneliti dengan partisipan studi lebih informal, tidak
seperti pada penelitian kuantitatif. Partisipan studi berkesempatan untuk merespon
dengan lebih terperinci. Peneliti pun dapat mengembangkan pertanyaan sesuai
perkembangan penelitian.
Penelitian tentang penerimaan khalayak terhadap suatu pesan biasa disebut
analisis resepsi. Analisis resepsi sendiri merupakan tradisi baru dalam kajian
khalayak di samping studi tentang efek, uses and gratifications, dan cultural
studies. Secara garis besar, dalam analisis resepsi, makna teks bukan terletak pada
teks itu sendiri. Khalayak tidak menemukan makna dalam teks tetapi dalam
interaksinya dengan teks. Analisis resepsi juga melibatkan faktor kontekstual yang
mempengaruhi pemaknaan khalayak terhadap teks media, seperti identitas, latar
belakang sosial, dan persepsi. Karena merupakan analisis resepsi yang berfokus
pada penerimaan pesan dan pemaknaan, di sini khalayak dipandang memiliki
kekuatan dalam memahami pesan media. Media tidak lagi dianggap berada dalam
posisi yang lebih kuat daripada khalayak. Analisis resepsi biasanya menggunakan
pendekatan etnografi dalam metodenya. Seperti dinyatakan oleh Morley (1992),
Seiter, Borchers, Kreutzner, dan Warth (1989) yang dikutip Denis McQuail:
“Reception analysis is effectively the audience research arm of modern
cultural studies, rather than an independent tradition. It strongly
emphasized the role of the „reader‟ in the „Decoding‟ of media texts. It has
generally had a consciously „critical‟ edge, in the terms discussed above,
25
Woodsong, Cynthia, Emily Namey, Greg Guest, Kathleen M. Macqueen, & Natasha Mack.
2005. Qualitative Research Methods: A Data Collector‟s Field Guide. Research Triangle Park,
NC: Family Health International. hal. 4.
19
claiming for the audience a power to resist and subvert the dominant or
hegemonic meanings offered by the mass media. It is characterized by the
use of qualitative and ethnographic methods.”26
Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan melakukan penelitian
etnografi yang mendalam dalam arti observasi partisipasi secara menyeluruh,
karena hal tersebut mustahil dilakukan jika mengingat aktivitas membaca
merupakan aktivitas yang bersifat pribadi dan tentu akan berbeda perilaku antara
sedang sendirian dan sedang diamati, sehingga tidak mungkin peneliti mengamati
kegiatan membaca informan sehari-hari. Dengan demikian, penelitian ini akan
menggunakan metode etnografi yang telah disesuaikan dengan kebutuhan
penelitian yaitu dengan cara observasi partisipasi sederhana serta menitikberatkan
pada salah satu teknik penelitian dalam etnografi yang dapat memenuhi kebutuhan
data peneliti, yakni wawancara mendalam.
2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data penelitian mengenai khalayak menggunakan
metode etnografi, peneliti menggunakan teknik observasi partisipan sederhana dan
wawancara mendalam. Observasi partisipan sederhana
bertujuan untuk
membantu peneliti mengetahui perspektif populasi studi yang dalam penelitian ini
merupakan subjek penelitian. Kelebihan pengumpulan data dengan observasi
partisipan yakni:
“Data obtained through participant observation serve as a check against
participants‟ subjective reporting of what they believe and do. Participant
observation is also useful for gaining an understanding of the physical,
social, cultural, and economic contexts in which study participants live;
the relationships among and between people, contexts, ideas, norms, and
events; and people‟s behaviors and activities – what they do, how
frequently, and with whom.”27
26
McQuail. Op.Cit., hal. 19.
27
Guest, Mack, Macqueen, Woodsong. Op.Cit., hal. 14.
20
Peneliti juga akan menggunakan observasi partisipan sederhana untuk
memperoleh data mengenai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya khalayak
beserta kesehariannya terutama dengan media dan karya sastra. Observasi
partisipan sederhana dilakukan dengan mengunjungi tempat tinggal subjek
penelitian, terutama untuk melihat bagaimana subjek membaca karya sastra setiap
harinya. Selain tempat tinggal, alternatif lain adalah dengan mendatangi subjek di
tempat di mana subjek biasa berada, misalnya di kampus bersama teman-teman
subjek, kantor, atau di lokasi lain yang representatif. Dengan demikian, peneliti
juga dapat mengamati bagaimana perilaku subjek dalam kesehariannya,
bagaimana perannya dalam keluarga maupun masyarakat.
Dalam melakukan observasi partisipan, peneliti akan menggunakan catatan
lapangan (fieldnotes) guna merekam perilaku subjek secara rinci dan lengkap
termasuk data diri masing-masing subjek. Peneliti tidak tinggal bersama subjek
dalam waktu lama melainkan memilih waktu-waktu tertentu bersama subjek untuk
melakukan pengamatan yang tidak disadari subjek karena diselingi dengan
perbincangan informal yang akan mencoba menciptakan rasa nyaman antara
peneliti dengan subjek.
Teknik pengumpulan data selanjutnya adalah wawancara mendalam.
Wawancara mendalam bertujuan untuk mempelajari segala sesuatu yang dapat
subjek paparkan mengenai topik tertentu. Dengan teknik ini, peneliti juga dapat
mengembangkan pertanyaan lanjutan (follow up questions) dari jawaban yang
diungkapkan subjek. Subjek diperkenankan untuk menjawab pertanyaan secara
luas sebatas masih relevan dengan pertanyaan yang diajukan. Wawancara
mendalam ini digunakan untuk mengetahui bagaimana subjek melakukan
Decoding terhadap ketujuh cerpen dari Kumpulan Cerpen Saksi Mata yang telah
dipilih sebelumnya. Subjek akan ditanyai mengenai bagaimana tanggapannya
terhadap isi cerpen-cerpen tersebut yang mengandung kritik sosial. Selain itu,
peneliti juga akan meminta pandangan subjek mengenai karya-karya Seno Gumira
Ajidarma secara umum dan mengapa mereka membacanya. Wawancara
mendalam ini dilakukan secara informal dalam kondisi yang fleksibel sesuai
kenyamanan peneliti dan subjek. Wawancara dilakukan sambil lalu dengan
21
mengobrol yang tidak terlalu kaku sehingga diharapkan subjek dapat
mengutarakan pandangannya tanpa merasa sungkan. Wawancara juga dilakukan
bersamaan dengan proses observasi partisipan, terutama untuk menggali ingatan
subjek mengenai perilakunya di waktu lampau.
Sementara untuk memperoleh data-data pendukung lainnya, peneliti
melakukan studi pustaka dari literatur seperti buku, jurnal, dan internet. Data-data
pendukung ini digunakan untuk memperkuat konsep dan kerangka pemikiran
yang akan dibuktikan dan diterapkan melalui penelitian. Studi pustaka ini juga
menjadi pondasi awal penelitian.
3. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Analisis data bertujuan
untuk menyederhanakan hasil olahan data kualitatif yang disusun secara terinci.28
Penelitian ini menggunakan analisis data berdasarkan model analisa interaktif
yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman. Analisis pada model ini terdiri
atas empat komponen yang saling berinteraksi, yaitu: pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi.29 Penjelasan
mengenai komponen tersebut sebagai berikut:
a.
Pengumpulan Data
Tahap pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan
pengumpulan data. Pada tahap ini peneliti melakukan pengambilan
data melalui wawancara.
b.
Pemilihan Data (Reduksi Data)
28
Moleong, Lexy J.. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. hal. 288
29
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D. Bandung: Alfabeta, hal.
246.
22
Pemilihan data dilakukan setelah tahap pengumpulan data selesai.
Pemilihan data tersebut bertujuan untuk mendapatkan data yang
sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti.
c.
Penyajian Data
Penyajian data dilakukan dengan cara menganalisis data yang telah
dipilih dengan menggunakan analisis deskriptif. Peneliti melakukan
deskripsi terhadap data yang diperoleh sesuai dengan rumusan
masalah yang diajukan dalam penelitian ini.
d.
Pengambilan Kesimpulan
Tahap terakhir adalah pengambilan kesimpulan. Pada tahapan ini
maka peneliti melakukan suatu kesimpulan terhadap rumusan
masalah yang ada, selain itu juga peneliti memberikan saran untuk
kepentingan penelitian.
4. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah khalayak yang telah membaca buku
Kumpulan Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma, baik mahasiswa
maupun pekerja yang berdomisli di Yogyakarta. Pemilihan informan dalam
penelitian ini dengan menggunakan teknik purposive sampling. Teknik purposive
sampling dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata,
random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu.30 Informan
dalam penelitian ini adalah lima orang yang telah membaca buku Kumpulan
Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma. Informan yang dipilih oleh
peneliti tidak seluruhnya merupakan pembaca karya sastra yang sangat aktif dan
penggemar karya-karya Seno Gumira Ajidarma, namun yang terpenting mereka
semua adalah pembaca sastra yang aktif (meskipun lamban) dan telah membaca
secara utuh buku Kumpulan Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.
30
Arikunto, Suharsimi. 2006. Metode Penelitian Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 139.
23
Dengan demikian, informan mengerti isi dari cerpen-cerpen dalam buku tersebut
dan peneliti dapat melakukan analisis resepsi terhadap kritik sosial pada cerpencerpen tersebut. Dalam penelitian ini informan dipilih yang memiliki latar
belakang berbeda satu dengan yang lainnya.
5. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan untuk kemudahan
pelaksanaan penelitian. Peneliti sendiri berdomisili di DIY. Begitu juga dengan
subjek penelitian. Selain itu, dengan memilih lokasi penelitian yang sama antara
peneliti dengan subjek akan menghemat biaya, tenaga, dan waktu. Peneliti juga
akan lebih mudah melakukan pendekatan dengan subjek penelitian. Waktu
penelitian pun bisa ditentukan secara fleksibel sesuai perjanjian dengan subjek
penelitian.
Akses khalayak terhadap buku bacaan dan karya sastra di DIY juga dapat
dikatakan cukup baik. Terdapat sejumlah toko buku baru maupun bekas dan juga
taman bacaan yang mendistribusikan buku bacaan dan karya sastra dari seluruh
Indonesia bahkan dunia, dari pengarang lokal hingga internasional, penerbit indie
hingga penerbit besar. DIY juga kerap menjadi tujuan utama pengarang dalam
melakukan peluncuran buku maupun sekadar acara promosi lainnya. Kaum muda
di DIY pun aktif dalam kegiatan sastra mulai dari komunitas kecil di kampus
hingga mereka yang tergabung dalam organisasi atau klub membacasastra yang
lebih terbuka. Dengan demikian khalayak sastra yang berdomisili di DIY
memiliki lebih banyak kemudahan dalam memperdalam minatnya.
24
Download