BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbincangan tentang sastra dan perannya sebagai salah satu alat untuk melakukan kontrol sosial telah lama terjadi. Tak dapat dipungkiri bahwa sebuah karya sastra bisa jadi memberikan efek tertentu pada cara berpikir pembacanya. Sebutlah pada tahun 1951 masyarakat Amerika dihebohkan dengan munculnya buku The Catcher in The Rye karya J.D. Salinger. Buku ini dianggap berisi hal-hal negatif yang dapat memicu tindakan buruk pada remaja. Kontroversi atas buku ini terus berjalan sehingga negara asalnya—Amerika—pun sempat melarang peredaran buku ini. Ketakutan akan dampak buruk buku ini seolah terbukti dengan adanya sederet kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang diduga terobsesi dengan buku ini. Salah satunya adalah Mark David Chapman, seorang penggemar fanatik John Lennon yang kemudian menembaknya setelah ia membaca buku tersebut. Karya sastra memiliki peran yang penting dalam masyarakat karena karya sastra merupakan refleksi atau cerminan kondisi sosial masyarakat yang terjadi di dunia sehingga karya itu menggugah perasaan orang untuk berpikir tentang kehidupan. Masalah sosial dan kejadian yang dialami, dirasakan dan dilihat oleh pengarang kemudian melahirkan ide atau gagasan yang dituangkan dalam karyanya. Sebuah karya sastra memiliki daya gugah terhadap batin dan jiwa seseorang. Selain itu juga, karya sastra merupakan media untuk mengutarakan sisi-sisi kehidupan manusia dan memuat kebenaran-kebenaran kehidupan manusia yang kadang-kadang kebenaran itu bersifat sejarah.1 Karena sifatnya yang demikian, karya sastra memiliki peran penting sebagai dokumen sosial. Memang tidak adil jika serta merta membandingkan The Catcher in The Rye dengan Saksi Mata, karena selain formatnya yang berbeda, pesan yang hendak disampaikan pun jauh berbeda. The Catcher in The Rye berbentuk novel 1 Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya, hal. 21. 1 dan berisi tentang kegelisahan seorang pemuda kelas menengah di New York. Buku ini sarat akan pesan-pesan tersirat mengenai pemberontakan—yang pada akhirnya banyak dimaknai oleh pembacanya sebagai kitab panduan untuk menjadi pemberontak. Sedangkan Saksi Mata berbentuk kumpulan cerpen yang meskipun masing-masing merupakan fragmen yang berdiri sendiri, tetapi memiliki satu tema yang kuat, yakni mengenai Insiden Dili yang terjadi pada tahun 1992. Seperti yang diakui oleh pengarangnya sendiri, secara keseluruhan, buku ini mencoba menyuarakan fakta-fakta mengenai Insiden Dili dengan cara yang subtil. Apa yang ia tuliskan berasal dari apa yang ia ketahui ketika ia bekerja sebagi pimpinan redaksi di majalah Jakarta Jakarta dan meliput Insiden Dili. Karena pada saat itu rezim yang berkuasa tidak memberi tempat pada demokrasi dan hak-hak menyampaikan pendapat—terbukti dengan dilakukannya “re-organisasi” majalah Jakarta Jakarta di kemudian hari, maka ia membalutnya dengan bahasa fiksi. Dengan latar penciptaan yang demikian, buku kumpulan cerpen Saksi Mata jadi memiliki nilai lebih, ia tak bisa sekadar dianggap sebagai buku kumpulan cerpen biasa, namun juga sekaligus sebagai dokumen sosial atas sebuah peristiwa besar pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tidak pernah dituliskan dalam sejarah resmi negara ini. Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada analisis resepsi karya sastra. Dalam analisis resepsi dibutuhkan audiens yang aktif, yaitu pembaca yang secara terus menerus mengamati. Audiens aktif merupakan hal yang penting dan utama dalam analisis resepsi. Salah satu penggagas analisis resepsi adalah Stuart Hall dengan konsep Encoding dan Decoding. Pesan tidak dianggap lagi sebagai sesuatu yang mudah dilempar oleh pengirim pesan kepada penerima pesan. Audiens yang berbeda akan menginterpretasi pesan dengan berbeda pula sesuai denga proses pemaknaan yang terjadi dalam masing-masing individu. Hall sendiri tidak menyangkal adanya efek yang ditimbulkan oleh suatu pesan. Namun melalui framework semiotik yang diperkenalkannya, semua efek pesan tetap bergantung 2 pada interpretasi atau pemaknaan atas pesan media itu sendiri.2 Analisis resepsi melihat bagaimana khalayak memberikan makna atas teks media yang ia peroleh. Berdasarkan pemahaman bahwa khalayak pada saat ini bersikap aktif dalam memaknai pesan, peneliti pun ingin mengetahui bagaimana khalayak memaknai cerpen-cerpen dalam Kumpulan Cerpen Saksi Mata. Setiap karya sastra sadar atau tidak sadar memiliki kritik sosial di dalamnya. Meskipun, dengan intensitas yang berbeda-beda. Misalnya pada masa Balai Pustaka lebih banyak berkaitan dengan adat-istiadat dan dominasi golongan tua, khususnya dalam menentukan jodoh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurgiyantoro bahwa hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga dewasa ini, boleh dikatakan mengandung unsur pesan kritik sosial walau dengan tingkat intensitas yang berbeda.3 Wujud kehidupan sosial yang dikritik dapat bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Banyak karya sastra yang bernilai tinggi yang di dalamnya menampilkan pesan-pesan kritik sosial. Namun, perlu ditegaskan bahwa karya-karya tersebut menjadi bernilai bukan lantaran pesan itu, melainkan lebih ditentukan oleh koherensi semua unsur intrinsiknya. Karya sastra merupakan wadah dari ide, gagasan, serta pemikiran seorang pengarang mengenai gejala sosial yang ditangkap dan dialami pengarang yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk karya sastra. Karya sastra banyak macamnya, diantaranya ada novel, cerpen, puisi. Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan penelitian pada karya sastra berupa kumpulan cerpen. Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi lain yang lebih panjang seperti novel. Karena singkatnya, ceritacerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, 2 Alasuutari, Pertti. 1999. Introduction: Three Phases of Reception Studies. dalam Pertti Alasuutari (ed.). Rethinking the Media Audience. The New Agenda. London: SAGE Publications, hal. 3. 3 Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 330. 3 tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang dan ceritanya bisa dalam berbagai jenis. Hal inilah yang menarik minat peneliti untuk mengetahui bagaimana kemudian cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen tersebut secara aktif dimaknai oleh khalayak yang juga menjadi bagian dari masyarakat luas. Karya sastra yang memiliki pesan tertentu, meski tidak selalu mendorong perubahan sikap khalayak mengenai suatu isu, tentunya tetap akan menimbulkan beragam pemaknaan dalam benak khalayak yang berlainan latar belakang. Khalayak akan secara aktif memiliki pandangan tersendiri mengenai sebuah karya sastra sesuai dengan latar belakang maupun pengalaman masing-masing individu. Dari penelitian ini diharapkan nantinya dapat diketahui apakah pesan sebuah karya sastra diterima oleh khalayak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pengarang, ataukah khalayak memiliki alternatif pemaknaan sendiri. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang resepsi dari masyarakat terkait dengan kumpulan cerpen Saksi Mata. Dimana khalayak akan secara aktif memiliki pandangan tersendiri mengenai cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen tersebut sesuai dengan latar belakang maupun pengalaman dari masing-masing individu. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat diketahui bagaimanakah kumpulan cerpen Saksi Mata diterima oleh khalayak serta bagaimana khalayak melakukan pemaknaan atas kumpulan cerpen tersebut. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana khalayak memaknai cerpen-cerpen dalam buku kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma? 4 C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui dan menganalisis pemaknaan khalayak terhadap buku kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma. 2. Memahami pesan dalam buku kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah kajian ilmu pengetahuan khususnya mengenai pemaknaan karya sastra oleh khalayak. 2. Manfaat Praktis Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi khalayak secara umum untuk dijadikan acuan agar dapat bersikap kritis dalam memaknai suatu pesan media. E. Kerangka Pemikiran 1. Khalayak dalam Studi Ilmu Komunikasi Sebagai makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan komunikasi untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Secara paradigmatis komunikasi dapat didefinisikan sebagai berikut: Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui media.4 4 Effendy, Onong Uchjana. 1992. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, hal. 5. 5 Secara terminologis, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain.5 Secara etimologis, istilah komunikasi berasal dari bahasa latin communication yang bersumber pada kata communis yang berarti sama, dalam arti kata sama makna. Secara terminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu penyataan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui media.6 Komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi tersebut adalah manusia. Oleh karena itu komunikasi yang dimaksud disini adalah komunikasi manusia atau sering disebut dengan komunikasi sosial. Komunikasi manusia sebagai singkatan dari komunikasi antar manusia, dinamakan komunikasi sosial karena hanya pada manusia-manusia yang bermasyarakat terjadinya komunikasi. Secara paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui media.7 Khalayak disebut juga dengan audiens. Audiens merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris audience yang berarti penonton. Dalam sebuah proses komunikasi, audiens adalah pihak yang menerima pesan atau biasa disebut juga komunikan. Akan tetapi tidak semua komunikan merupakan khalayak, karena khalayak adalah komunikan dalam proses komunikasi massa. Khalayak adalah komunikan yang mengonsumsi media massa seperti surat kabar, televisi, musik, film dan seterusnya. Istilah khalayak sangat lekat dengan kajian ilmu komunikasi atau media massa. Istilah khalayak digunakan dalam praktik operasional media massa, biasanya untuk menunjuk "orang banyak" yang menjadi sasaran media. Setiap 5 Ibid., hal. 4. Effendy, Onong Uchjana. 2002. Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 4. 6 7 Effendy, Onong Uchjana. 2004. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, hal. 4. 6 jenis media massa memiliki sasarannya masing-masing. Istilah khalayak untuk masing-masing media massa berbeda antara satu dan yang lainnya. Hal ini disesuaikan dengan karakteristik masing-masing media massa tersebut. Misalnya media massa cetak menyebut khalayaknya dengan istilah pembaca, media televisi menyebut khalayaknya sebagai pemirsa, dan media massa radio menyebut khalayaknya dengan istilah pendengar, sedangkan untuk film khalayaknya disebut penonton. Dengan demikian, khalayak secara sederhana dapat diartikan sebagai sekumpulan orang yang menjadi pembaca, pendengar, pemirsa, atau penonton pada berbagai media atau komponen lannya. Definisi tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh McQuail. McQuail mengungkapkan bahwa “audience simply refers to the readers of, viewers of, listeners to one or other media channel or of this or that type of content or performance.”8 Dalam kaitannya dengan proses komunikasi, audiens ataupun khalayak memiliki posisi sebagai sasaran atau target dari berlangsungnya proses komunikasi secara keseluruhan. Khalayak menjadi sasaran atau komunikan, dari berjalannya arus informasi yang bersumber dari komunikator. Khalayak memiliki dimensi waktu dan berada dalam keadaan tertempa media tertentu. Dikatakan berdimensi waktu karena khalayak melakukan aktifitas dalam periode waktu dalam mengakses media. Sederhananya khalayak merupakan individu yang “sedang” mengakses media. Dari sini dapat tertangkap kesan bahwa khalayak bersifat aktif. Hal ini sejalan dengan definisi khalayak yang juga dapat didefinisikan sebagai masyarakat yang menggunakan media massa sebagai sumber pemenuhan kebutuhan bermedianya.9 Bila dilihat lebih dalam, media dan khalayak memiliki hubungan yang lebih kompleks. Bukan hanya sebatas bahwa media dapat mempengaruhi khalayak. Para teoritisi media pun masih memperdebatkan konseptualisasi khalayak. Yaitu apakah khalayak merupakan masyarakat massa (mass society) 8 McQuail, Denis. 1997. Audience Analysis. California: Sage Publications Ltd, hal. 1. 9 Sari, Endang S.. 1993. Audience Research. Yogyakarta: Andi Offset, hal. 28. 7 atau komunitas (community) dan gagasan mengenai audiens pasif atau audiens aktif.10 Audiens/khalayak dalam komunikasi massa memiliki lima karakteristik sebagai berikut:11 a. Audiens/khalayak cenderung berisi individu-individu yang condong untuk berbagi pengalaman dan dipengaruhi oleh hubungan sosial di antara individu tersebut. b. Audiens/khalayak cenderung besar. Besar yang dimaksud dalam hal ini berarti tersebar ke berbagai wilayah jangkauan sasaran komunikasi massa, namun jumlahnya relatif sebab ada media tertentu yang audiens/khalayaknya mencapai ribuan dan ada yang mencapai jutaan. c. Audiens/khalayak cenderung heterogen karena berasal dari berbagai lapisan dan kategori sosial. Beberapa media tertentu memiliki sasaran tersendiri namun heterogenitasnya tetap ada. d. Audiens/khalayak cenderung anonim, yakni tidak mengenal satu sama lain. e. Audiens/khalayak secara fisik dipisahkan dari komunikator, atau dapat juga dikatakan audiens/khalayak dipisahkan oleh ruang dan waktu. 2. Analisis Resepsi Dalam tradisi penelitian khalayak, setidaknya pernah berkembang beberapa ragam penelitian diantaranya, disebut berdasarkan perjalanan historis lahirnya; effect research, uses and gratification research, literary criticsm, cultural studies dan reception analysis.12 Analisis resepsi merupakan perspektif 10 Littlejohn, Stephen W.. 2002. Theories of Human Communication. Belmont, CA: Wadsworth Thomson Learning. hal. 310. 11 Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Rajawali Pers, hal.105. 12 Jensen, Klaus Bruhn & Karl Erik Rosengen. “Five Tradition in Search of Audience”. Dalam Oliver Boyd-Barret & Chris Newbold (ed.) Approaches to A Media Reader. 1995. New York: Oxford University Press Inc, hal. 174. 8 baru dalam aspek wacana dan sosial dari teori komunikasi. Analisis resepsi merupakan salah satu fokus studi yang mengkaji khalayak aktif. Tradisi ini mengkaji khalayak sebagai penerima pesan yang aktif dalam proses pemaknaan. Konsep penting dari analisis resepsi adalah bahwa makna teks media tidak melekat pada teks media tersebut, tetapi diciptakan dalam interaksi antara khalayak dengan teks. Sebagai respon terhadap tradisi keilmuan dalam ilmu sosial analisis resepsi menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media, apakah itu kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada teori representasi dan wacana serta tidak sekedar menggunakan operasinalisasi, seperti penggunaan skala dan kategori semantik. Sebaliknya sebagai respon terhadap studi teks humanistik, analisis resepsi menyarankan baik khalayak maupun konteks dalam komunikasi massa perlu dilihat tersendiri secara sosial, dan menjadi objek analisis empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan (persepektif sosial dan diskursif) itulah yang kemudian melahirkan konsep produksi sosial terhadap makna (the social production of meaning).13 Secara umum, analisis resepsi memiliki dua premis yaitu teks media mendapatkan makna pada saat penerimaan, dan bahwa khalayak secara aktif memproduksi makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teksteks sesuai dengan posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Premis kedua, sebagai landasan penelitian, menyiratkan bahwa pesan-pesan media secara subjektif dikontruksikan khalayak secara individual, bahkan ketika media berada dalam posisi paling dominan sekalipun. Premis ini memposisikan khalayak sebagai makhluk bebas yang mempunyai kekuatan besar dalam pemaknaan atau pemberian makna terhadap pesan.14 13 Jensen, Klaus Bruhn. 1993. “Media Audiences. Reception Analysis; mass communication as the social production of meaning”. Dalam Klaus Bruhn Jensen and Jankowski, W Nicholas. 1993. A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Second Edition. London: Rotledge, hal. 137. 14 Croteau, David & William Hoynes. 2003. Media/Society: Industry, Images, and Audiences. London: Pine Forge Press, hal. 274. 9 Hal senada diungkapkan oleh McQuail yang menyatakan bahwa analisis resepsi yang termasuk dalam studi kultural (cultural studies) menekankan pada penggunaan media (media use) sebagai refleksi dari konteks sosiokultural dan sebagai suatu proses pemaknaan pesan pada produk budaya serta pengalamanpengalaman.15 Lebih lanjut, McQuail menyatakan bahwa studi resepsi berkembang dan menekankan gagasan kepada khalayak sebagai khalayak penafsir atau interpretive communities. Pada interpretive communities, teks dan pesanpesan media dimaknai dan diinterpretasikan secara bebas dan berbeda-beda oleh khalayak menurut lingkungan sosial dan budaya dimana aktivitas berbagi pengalaman-pengalaman pemaknaan terjadi. Melalui proses Decoding dan pemaknaan terhadap teks media, maka khalayak memiliki kekuatan untuk bertahan dari dominasi media massa. McQuail kemudian mengklasifikasikan penelitian resepsi sebagai studi kultural modern yang berada dalam ranah pendekatan stukturalis behavoris. Beberapa yang terkait dengan fokus dalam pengertian analisis resepsi, diantaranya: a. Teks media harus dibaca berdasarkan persepsi khalayak. Dimana persepsi tersebut tidak pasti dan tidak dapat diprediksi. Khalayak mengkontruksi makna secara bebas dan sesuai dengan latar belakang masing-masing. b. Fokus dari analisis resepsi adalah proses dalam penggunaan atau pemaknaan media. Inti dari analisis ini adalah proses-proses bagaimana khalayak membaca, memahami, memaknai teks media dan pada akhirnya hasil dari proses tersebut akan memperlihatkan bentukbentuk resepsi khalayak terhadap media yang dihadirkan. c. Media use atau penggunaan media merupakan bagian dari sistem sosial dalam interpretive communities. Pemaknaan akan media digunakan oleh khalayak untuk saling berbagi pemaknaan dengan sesama dan lingkungannya. 15 McQuail. Op.Cit., hal. 18. 10 d. Khalayak sebagai interpretive communities memiliki peran dalam pembentukan wacana dan kerangka dalam pemaknaan media di lingkungannya. e. Khalayak tak dapat dikatakan pasif dan tak dapat juga dikatakan sama atau sederajat (equal). Meskipun akan ada beberapa khalayak yang lebih aktif maupun berpengalaman. Mereka membaca, memahami, dan melakukan pemaknaan secara bebas sesuai dengan latar belakang sosio-kultur masing-masing. f. Penelitian ini dapat dikaji menggunakan metode kualitatif dan mendalam dengan mempertimbangkan konten, perilaku resepsi dan konteks keduanya.16 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa analisis resepsi memandang khalayak sebagai bagian dari interpretive communitis bersikap aktif dalam memaknai pesan media. Khalayak tidak begitu saja menerima pesan media. Khalayak juga memiliki latar belakang dan pengalaman tersendiri yang dapat memberikan pengaruh dalam proses pemaknaan. Khalayak memiliki kesempatan bebas dan terbuka dalam memaknai teks dengan caranya sendiri. 3. Proses Komunikasi Massa Proses komunikasi massa merupakan sesuatu yang rumit. Meski komponen komunikasi di dalamnya sama seperti bentuk komunikasi lainnya, namun komunikasi massa memiliki ciri khas yang membuatnya kompleks. Sebagai sebuah proses, komunikasi bersifat dinamis dan terus-menerus, serta tiaptiap komponennya saling berinteraksi. Komunikasi juga memiliki sebuah tujuan, seluruh komponen di dalamnya berfungsi secara bersama-sama guna memenuhi tujuan tersebut.17 16 Ibid., hlm. 19-20 Baran, Stanley J., Jerilyn S. McIntyre, & Timothy P. Meyer. 1984. Self, Symbol, and Society. An Introduction to Mass Communication. New York: Random House. hal. 11. 17 11 Komunikasi massa memiliki karakteristik yang membedakannya dari proses komunikasi lainnya. Perbedaan tersebut terdapat pada komponen maupun prosesnya. Berikut adalah ciri-ciri teoritis dari proses komunikasi massa:18 a. distribusi dan penerimaan konten dalam skala besar; b. aliran satu arah; c. hubungan yang asimetris antara pengirim dan penerima; d. hubungan yang tidak personal dan anonim dengan khalayak; e. hubungan dengan khalayak yang bersifat jual-beli atau diperhitungkan; f. terdapat standardisasi dan komodifikasi konten. Dari ciri-ciri di atas, tampak bahwa salah satu pembeda utama dari komunikasi massa adalah media yang dirancang untuk menjangkau banyak orang secara luas. Buku sebagai media massa tidak hanya menjangkau khalayak yang berada di satu wilayah dengan pengarang sebagai komunikator melalui produk buku cetak maupun digital. Cakupan khalayak yang sangat luas tersebut kemudian berpengaruh pada anonimitas dan khalayak pada umumnya pun tidak memiliki hubungan personal dengan komunikator. Dalam buku, pembaca hanya membaca isi buku, dan pengarang hanya menulis dan mendistribusikannya, tanpa mengidentifikasi secara spesifik siapa saja khalayaknya. 4. Pemaknaan Pesan Media Dalam proses komunikasi, pertukaran makna atau sharing of meaning merupakan salah satu aspek penting, baik dalam komunikasi interpersonal maupun komunikasi massa. Pemahaman yang berbeda tentu akan menciptakan pemaknaan yang berbeda pula. Dalam komunikasi massa, tingkatannya yang lebih kompleks membuat pemaknaannya oleh khalayak juga menjadi lebih rumit. Pertukaran makna 18 Mc.Quail, Denis. 2011. Teori Komunikasi Massa Denis Mc.Quail. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. hal. 62 12 tersebut menekankan pada sejumlah poin penting terkait kompleksitas proses komunikasi, antara lain:19 a. Kadangkala proses komunikasi berada pada tataran makna konotatif. Sementara makna konotatif akan berlainan bagi tiap-tiap orang. Pertukaran makna pada level konotatif menjadi sulit karena semua orang memiliki serangkaian pengalaman masa lalu yang berbeda. b. Ketika kita akan mengkomunikasikan sesuatu, kondisi dan situasinya harus diketahui. Seringkali standar referensi dan perbandingan juga harus dinyatakan. Misalnya kata „besar‟, akan dipahami berlainan sesuai standar perbandingan yang digunakan. c. Makna dapat disampaikan melalui bahasa selain lisan atau tulis. Mekanisme sensor manusia berjalan secara simultan untk mengenali bentu-bentuk komunikasi nonverbal yang juga memiliki makna, seperti sentuhan, kedipan, dan sebagainya. Sebuah kalimat yang disampaikan melalui telepon akan memiliki makna berbeda ketika kalimat tersebut disampaikan secara tatap muka. Tanda-tanda nonverbal dalam percakapan tatap muka akan membawa informasi yang kemudian mempengaruhi pemaknaan pesan. d. Komunikasi makna melibatkan proses Encoding dan Decoding. Encoding adalah proses menerjemahkan gagasan dalam bentuk tanda atau simbol yang akan menentukan saluran untuk pesan. Maka proses Encoding melibatkan pilihan untuk menerjemahkan gagasan di mana hal tersebut akan menimbulkan pemaknaan berlainan oleh penerima. Sementara Decoding adalah penentuan makna oleh penerima pesan. Penerima pesan harus menafsirkan sejumlah input untuk kemudian menentukan apa makna yang disampaikan. Kadangkala penerima pesan pun bisa salah dengan melakukan pemilihan yang tidak tepat atau misinterpretasi sehingga makna pun tereduksi atau justru hilang sama sekali. 19 Baran, McIntyre, & Meyer. Op.Cit., hal. 13-15 13 e. Pemaknaan juga melibatkan persepsi. Penerima pesan tidak hanya menangkap input tetapi juga memberikan label untuk kemudian menjalankan fungsi kritis dalam menginterpretasikan pesan berdasarkan label yang dibuatnya. Apabila dua orang memiliki persepsi sama, maka maknanya pun akan sama. F. Kerangka Konsep 1. Khalayak Sastra Wilbur Schramm (1954) seperti dikutip oleh McQuail, menyatakan bahwa kata khalayak telah lama diketahui sebagai istilah kolektif untuk penerima pesan dalam model sederhana proses komunikasi massa yang digunakan oleh para pelopor penelitian media.20 Lebih lanjut McQuail menyimpulkan, khalayak adalah semua orang yang benar-benar dijangkau oleh konten media tertentu atau saluran media. Khalayak dapat juga merupakan target yang dibayangkan atau kelompok penerima yang dituju. Khalayak dapat saling tumpang tindih dengan kelompok sosial yang nyata atau publik. Selain itu, khalayak media juga bukan merupakan sesuatu yang pasti kecuali setelah diketahui melalui statistik seperti rating. Khalayak juga dapat didefinisikan menurut media atau konten yang relevan. Dengan demikian, pembaca karya sastra juga merupakan khalayak dan bisa disebut sebagai khalayak sastra (literary audience). Dalam ranah komunikasi, khalayak merupakan penerima pesan media massa. Maka, khalayak sastra adalah mereka yang membaca karya sastra sebagai media massa, yakni dalam bentuk buku cetak maupun digital, artikel di media online, maupun karya sastra yang terpublikasi di surat kabar atau majalah, yang terdistribusi oleh komunikator profesional (pengarang) dan lembaganya (penerbit, media online, surat kabar, majalah). Begitu pula dalam kajian analisis resepsi, khalayak sastra adalah mereka yang menerima, menginterpretasi, dan menggunakan karya sastra sebagai produk 20 McQuail. Op.Cit., hal. 1. 14 budaya, sehingga latar belakang budaya khalayak akan sangat mempengaruhi proses pemaknaan. Dalam penelitian ini, khalayak yang menjadi subjek penelitian juga merupakan khalayak sastra, yakni mereka yang menerima pesan dari karya sastra sebagai media massa. Karena penelitian ini membahas pesan media yang spesifik, yakni cerpen-cerpen dalam Kumpulan Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma, maka tidak semua khalayak sastra dapat menjadi informan untuk penelitian ini. Khalayak sastra yang menjadi subjek penelitian ini tentu adalah mereka yang sudah pernah membaca Kumpulan Cerpen Saksi Mata, sehingga mereka dapat menjabarkan pemaknaannya mengenai teks tersebut. Sedangkan kategorisasi yang akan peneliti gunakan menyangkut pada latar belakang sosial, ekonomi, budaya, serta hal-hal lain seperti gender, kelas, dan ras. Seperti dalam penelitian-penelitian analisis resepsi yang pernah dilakukan para ahli sebelumnya, mereka juga menggunakan kategorisasi tersebut untuk dikaitkan dengan pemaknaan khalayak terhadap teks. Selain faktor-faktor yang menjadi pertimbangan peneliti seperti latar belakang sosial, peneliti juga akan mempertimbangkan praktik bermedia yang dilakukan informan sebagai salah satu faktor dasar kegiatan pemaknaan yang dilakukan khalayak. Peneliti mencoba mengamati bagaimana penggunaan karya sastra dalam kehidupan sehari-hari informan. Tidak hanya kara sastra saja, tetapi juga penggunaan media lainnya dalam kehidupan sehari-hari informan sebagai khalayak. Peneliti akan melihat bagaimana keseharian informan dengan media lain seperti surat kabar, majalah, televisi, radio, internet, musik dan lain-lain. Konsumsi media yang beragam tentunya akan membawa beragam pemaknaan dari khalayak terhadap suatu teks. 2. Decoding Decoding atau dalam bahasa Indonesia disebut pengawasandian, adalah peran penerima pesan dalam menentukan makna pada pesan yang datang dari 15 sumber atau pengirim pesan.21 Secara sederhana, proses Decoding terhadap pesan dapat dilihat pada bagan berikut ini: Gambar 1.1 Bagan Proses Encoding dan Decoding22 Bagan tersebut memperlihatkan bahwa program (teks) adalah wacana yang penuh dengan makna. Encoding dilakukan oleh komunikator dan Decoding dilakukan oleh penerima pesan. Proses-proses tersebut melibatkan berbagai macam faktor seperti kerangka pengetahuan, relasi produksi dan infrastruktur teknis. Dalam posisi yang ekuivalen atau sejajar, misalnya si pengirim pesan memiliki faktor yang sama atau sejalan dengan enerima pesan, maka penerima pesan akan menerima pesan seperti yang dimaksud oleh pengirim pesan. Dengan kata lain, pemahaman terjadi apabila pesan yang di- decode ekuivalen dengan pesan yang di-encode. Konsep Decoding tersebut diperkenalkan oleh sosioloh Inggris, Stuart Hall. Ia mengemukakan model komunikasi massa yang menyoroti pentingnya interpretasi aktif dalam kode yang relevan. Berbeda dari model-model komunikasi yang sebelumnya ada, di sini Hall memberikan peran signifikan pada decoder, begitu juga dengan encoder. 21 Baran, McIntyre, & Meyer. Op.Cit., hal. 13-15. 22 Chandler, Daniel. Semiotic for Beginners. Diperbarui: 7 Maret 2014. Terarsip di: http://visual-memory.co.uk/daniel/Documents/S4B/. Diakses: 20 Februari 2015. 16 Dalam proses Decoding, Hall menyebutkan ada tiga posisi pemaknaan yang akan ditangkap khalayak saat meresepsi suatu hal yakni posisi dominant hegemonic, negotiated, opposition. Berikut ini adalah penjelasannya: a. Dominant (hegemonic) reading: posisi pembaca dominan adalah saat khalayak memaknai pesan sesuai dengan makna pembacaan utama. Dengan kata lain, khalayak akan men-decode berdasarkan kode acuan yang di-encode oleh pembuat media, sehingga khalayak akan memaknai teks sejalan dengan makna utama yang dikehendaki oleh pembuat media. b. Negotiated reading: dalam posisi yang kedua ini khalayak sebenarnya mengetahui akan makna pembacaan yang dikehendaki oleh media atau produsen, namun mereka mencoba bernegoisasi dengan adanya maksud-maksud lain dibalik makna utama yang dibuat oleh media atau produsen. c. Oppositional („counter-hegemonic‟) reading: di posisi ini, khalayak melakukan pemaknaan yang berlawanan dari makna utama yang coba di buat oleh media atau produsen. Dalam model ini, khalayak sebenarnya sadar akan pembacaan makna utama namun mereka mencoba memaknai dengan berlawanan dan menawarkan pemaknaan alternatif terhadap media tersebut. Dengan demikian, Hall berargumen bahwa preferred reading merupakan ideologi dominan dalam media teks, tetapi tidak secara otomatis diadopsi oleh khalayak. Situasi sosial khalayak akan mengarahkan mereka untuk mengadopsi pendirian lain.23 Sebelum melakukan analisis terhadap pembacaan khalayak terhadap teks, tentunya peneliti harus mengidentifikasi preferred reading terlebih dahulu. Sejumlah ahli saat ini masih mempertanyakan cara paling tepat untuk menemukan preferred reading. Shaun Moores (1993) misalnya, ia mempertanyakan di mana 23 Chandler, Daniel. Marxist Media Theory. Diperbarui: 7 Maret 2014. Terarsip di: http://visual-memory.co.uk/daniel/Documents/marxism/marxism11.html. Diakses: 20 Februari 2015. 17 letak preferred reading, bagaimana seseorang tahu bahwa ia telah menemukannya, apakah seseorang dapat memastikan bahwa ia tidak menentukan sendiri preferred reading dalam teks, dan apakah preferred reading dapat ditemukan dalam teks. Sementara David Morley (1981) berpikir bahwa preferred reading adalah pembacaan yang sudah diperkirakan akan diproduksi oleh sebagian besar khalayak. Padahal, Justin Wren-Lewis (1983) berkomentar bahwa belum tentu pembacaan sebagian besar khalayak tersebut adalah makna esensial suatu teks.24 Perbedaan pendapat tersebut tidak terlalu berpengaruh pada penelitian ini, karena Seno Gumira Ajidarma sebagai pengarang Kumpulan Cerpen Saksi Mata sudah menyatakan secara tertulis apa preferred reading atau ideologi dominan yang ia kehendaki dalam buku Kumpulan Cerpen tersebut. Sumber tertulis tersebut dapat diakses melalui esei-esei Seno dalam bukunya yang berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Dari teks pada buku tersebut, preferred reading dalam buku Kumpulan Cerpen Saksi Mata pun dapat diketahui, dan peneliti dapat menganalisis pembacaan khalayak untuk dimasukkan dalam kategori dominan, oposisi, atau neosiasi. Setelah posisi pembacaan khalayak diketahui, selanjutnya peneliti menganalisis bagaimana posisi pembacaan tersebut terbangun. Seperti banyak penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, hal ini dilakukan dengan mengaitkan pemaknaan khalayak dengan latar belakang sosial dan faktor-faktor lainnya seperti pendidikan, ras, gender, dan pengalaman masing-masing informan sebagai khalayak. 24 Chandler, Daniel. Semiotic for Beginners. Diperbarui: 7 Maret 2014. Terarsip di: http://visual-memory.co.uk/daniel/Documents/S4B/. Diakses: 20 Februari 2015. 18 G. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Karakteristik utama dari penelitian kualitatif adalah fleksibilitas dalam perolehan data. Penelitian kualitatif memungkinkan spontanitas dan adaptasi dalam interaksi antara peneliti dengan partisipan studi.25 Hal ini terlihat misalnya dari tipe pertanyaan open-ended yang memungkinkan jawaban yang bebas dan fleksibel oleh masing-masing partisipan studi. Hubungan antara peneliti dengan partisipan studi lebih informal, tidak seperti pada penelitian kuantitatif. Partisipan studi berkesempatan untuk merespon dengan lebih terperinci. Peneliti pun dapat mengembangkan pertanyaan sesuai perkembangan penelitian. Penelitian tentang penerimaan khalayak terhadap suatu pesan biasa disebut analisis resepsi. Analisis resepsi sendiri merupakan tradisi baru dalam kajian khalayak di samping studi tentang efek, uses and gratifications, dan cultural studies. Secara garis besar, dalam analisis resepsi, makna teks bukan terletak pada teks itu sendiri. Khalayak tidak menemukan makna dalam teks tetapi dalam interaksinya dengan teks. Analisis resepsi juga melibatkan faktor kontekstual yang mempengaruhi pemaknaan khalayak terhadap teks media, seperti identitas, latar belakang sosial, dan persepsi. Karena merupakan analisis resepsi yang berfokus pada penerimaan pesan dan pemaknaan, di sini khalayak dipandang memiliki kekuatan dalam memahami pesan media. Media tidak lagi dianggap berada dalam posisi yang lebih kuat daripada khalayak. Analisis resepsi biasanya menggunakan pendekatan etnografi dalam metodenya. Seperti dinyatakan oleh Morley (1992), Seiter, Borchers, Kreutzner, dan Warth (1989) yang dikutip Denis McQuail: “Reception analysis is effectively the audience research arm of modern cultural studies, rather than an independent tradition. It strongly emphasized the role of the „reader‟ in the „Decoding‟ of media texts. It has generally had a consciously „critical‟ edge, in the terms discussed above, 25 Woodsong, Cynthia, Emily Namey, Greg Guest, Kathleen M. Macqueen, & Natasha Mack. 2005. Qualitative Research Methods: A Data Collector‟s Field Guide. Research Triangle Park, NC: Family Health International. hal. 4. 19 claiming for the audience a power to resist and subvert the dominant or hegemonic meanings offered by the mass media. It is characterized by the use of qualitative and ethnographic methods.”26 Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan melakukan penelitian etnografi yang mendalam dalam arti observasi partisipasi secara menyeluruh, karena hal tersebut mustahil dilakukan jika mengingat aktivitas membaca merupakan aktivitas yang bersifat pribadi dan tentu akan berbeda perilaku antara sedang sendirian dan sedang diamati, sehingga tidak mungkin peneliti mengamati kegiatan membaca informan sehari-hari. Dengan demikian, penelitian ini akan menggunakan metode etnografi yang telah disesuaikan dengan kebutuhan penelitian yaitu dengan cara observasi partisipasi sederhana serta menitikberatkan pada salah satu teknik penelitian dalam etnografi yang dapat memenuhi kebutuhan data peneliti, yakni wawancara mendalam. 2. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data penelitian mengenai khalayak menggunakan metode etnografi, peneliti menggunakan teknik observasi partisipan sederhana dan wawancara mendalam. Observasi partisipan sederhana bertujuan untuk membantu peneliti mengetahui perspektif populasi studi yang dalam penelitian ini merupakan subjek penelitian. Kelebihan pengumpulan data dengan observasi partisipan yakni: “Data obtained through participant observation serve as a check against participants‟ subjective reporting of what they believe and do. Participant observation is also useful for gaining an understanding of the physical, social, cultural, and economic contexts in which study participants live; the relationships among and between people, contexts, ideas, norms, and events; and people‟s behaviors and activities – what they do, how frequently, and with whom.”27 26 McQuail. Op.Cit., hal. 19. 27 Guest, Mack, Macqueen, Woodsong. Op.Cit., hal. 14. 20 Peneliti juga akan menggunakan observasi partisipan sederhana untuk memperoleh data mengenai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya khalayak beserta kesehariannya terutama dengan media dan karya sastra. Observasi partisipan sederhana dilakukan dengan mengunjungi tempat tinggal subjek penelitian, terutama untuk melihat bagaimana subjek membaca karya sastra setiap harinya. Selain tempat tinggal, alternatif lain adalah dengan mendatangi subjek di tempat di mana subjek biasa berada, misalnya di kampus bersama teman-teman subjek, kantor, atau di lokasi lain yang representatif. Dengan demikian, peneliti juga dapat mengamati bagaimana perilaku subjek dalam kesehariannya, bagaimana perannya dalam keluarga maupun masyarakat. Dalam melakukan observasi partisipan, peneliti akan menggunakan catatan lapangan (fieldnotes) guna merekam perilaku subjek secara rinci dan lengkap termasuk data diri masing-masing subjek. Peneliti tidak tinggal bersama subjek dalam waktu lama melainkan memilih waktu-waktu tertentu bersama subjek untuk melakukan pengamatan yang tidak disadari subjek karena diselingi dengan perbincangan informal yang akan mencoba menciptakan rasa nyaman antara peneliti dengan subjek. Teknik pengumpulan data selanjutnya adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam bertujuan untuk mempelajari segala sesuatu yang dapat subjek paparkan mengenai topik tertentu. Dengan teknik ini, peneliti juga dapat mengembangkan pertanyaan lanjutan (follow up questions) dari jawaban yang diungkapkan subjek. Subjek diperkenankan untuk menjawab pertanyaan secara luas sebatas masih relevan dengan pertanyaan yang diajukan. Wawancara mendalam ini digunakan untuk mengetahui bagaimana subjek melakukan Decoding terhadap ketujuh cerpen dari Kumpulan Cerpen Saksi Mata yang telah dipilih sebelumnya. Subjek akan ditanyai mengenai bagaimana tanggapannya terhadap isi cerpen-cerpen tersebut yang mengandung kritik sosial. Selain itu, peneliti juga akan meminta pandangan subjek mengenai karya-karya Seno Gumira Ajidarma secara umum dan mengapa mereka membacanya. Wawancara mendalam ini dilakukan secara informal dalam kondisi yang fleksibel sesuai kenyamanan peneliti dan subjek. Wawancara dilakukan sambil lalu dengan 21 mengobrol yang tidak terlalu kaku sehingga diharapkan subjek dapat mengutarakan pandangannya tanpa merasa sungkan. Wawancara juga dilakukan bersamaan dengan proses observasi partisipan, terutama untuk menggali ingatan subjek mengenai perilakunya di waktu lampau. Sementara untuk memperoleh data-data pendukung lainnya, peneliti melakukan studi pustaka dari literatur seperti buku, jurnal, dan internet. Data-data pendukung ini digunakan untuk memperkuat konsep dan kerangka pemikiran yang akan dibuktikan dan diterapkan melalui penelitian. Studi pustaka ini juga menjadi pondasi awal penelitian. 3. Teknik Analisis Data Analisis data kualitatif adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan hasil olahan data kualitatif yang disusun secara terinci.28 Penelitian ini menggunakan analisis data berdasarkan model analisa interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman. Analisis pada model ini terdiri atas empat komponen yang saling berinteraksi, yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi.29 Penjelasan mengenai komponen tersebut sebagai berikut: a. Pengumpulan Data Tahap pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan pengumpulan data. Pada tahap ini peneliti melakukan pengambilan data melalui wawancara. b. Pemilihan Data (Reduksi Data) 28 Moleong, Lexy J.. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. hal. 288 29 Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D. Bandung: Alfabeta, hal. 246. 22 Pemilihan data dilakukan setelah tahap pengumpulan data selesai. Pemilihan data tersebut bertujuan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti. c. Penyajian Data Penyajian data dilakukan dengan cara menganalisis data yang telah dipilih dengan menggunakan analisis deskriptif. Peneliti melakukan deskripsi terhadap data yang diperoleh sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini. d. Pengambilan Kesimpulan Tahap terakhir adalah pengambilan kesimpulan. Pada tahapan ini maka peneliti melakukan suatu kesimpulan terhadap rumusan masalah yang ada, selain itu juga peneliti memberikan saran untuk kepentingan penelitian. 4. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah khalayak yang telah membaca buku Kumpulan Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma, baik mahasiswa maupun pekerja yang berdomisli di Yogyakarta. Pemilihan informan dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu.30 Informan dalam penelitian ini adalah lima orang yang telah membaca buku Kumpulan Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma. Informan yang dipilih oleh peneliti tidak seluruhnya merupakan pembaca karya sastra yang sangat aktif dan penggemar karya-karya Seno Gumira Ajidarma, namun yang terpenting mereka semua adalah pembaca sastra yang aktif (meskipun lamban) dan telah membaca secara utuh buku Kumpulan Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma. 30 Arikunto, Suharsimi. 2006. Metode Penelitian Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 139. 23 Dengan demikian, informan mengerti isi dari cerpen-cerpen dalam buku tersebut dan peneliti dapat melakukan analisis resepsi terhadap kritik sosial pada cerpencerpen tersebut. Dalam penelitian ini informan dipilih yang memiliki latar belakang berbeda satu dengan yang lainnya. 5. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan untuk kemudahan pelaksanaan penelitian. Peneliti sendiri berdomisili di DIY. Begitu juga dengan subjek penelitian. Selain itu, dengan memilih lokasi penelitian yang sama antara peneliti dengan subjek akan menghemat biaya, tenaga, dan waktu. Peneliti juga akan lebih mudah melakukan pendekatan dengan subjek penelitian. Waktu penelitian pun bisa ditentukan secara fleksibel sesuai perjanjian dengan subjek penelitian. Akses khalayak terhadap buku bacaan dan karya sastra di DIY juga dapat dikatakan cukup baik. Terdapat sejumlah toko buku baru maupun bekas dan juga taman bacaan yang mendistribusikan buku bacaan dan karya sastra dari seluruh Indonesia bahkan dunia, dari pengarang lokal hingga internasional, penerbit indie hingga penerbit besar. DIY juga kerap menjadi tujuan utama pengarang dalam melakukan peluncuran buku maupun sekadar acara promosi lainnya. Kaum muda di DIY pun aktif dalam kegiatan sastra mulai dari komunitas kecil di kampus hingga mereka yang tergabung dalam organisasi atau klub membacasastra yang lebih terbuka. Dengan demikian khalayak sastra yang berdomisili di DIY memiliki lebih banyak kemudahan dalam memperdalam minatnya. 24