BAB II LANDASAN TEORETIS DAN HIPPTESIS TINDAKAN 2.1

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORETIS DAN HIPPTESIS TINDAKAN
2.1 Landasan Teoretis
Pokok bahasan ini akan berkaitan dengan kalimat perintah. Penjelasan mengenai
kalimat perintah akan dibahas sebagai berikut.
2.1.1 Kalimat Perintah
2.1.2 Definisi Kalimat
Menurut Bloomfield (dalam Ba’dudu dan Herman, 2005: 48) kalimat
adalah suatu bentuk linguistis, yang tidak termasuk ke dalam suatu bentuk yang
lebih besar karena merupakan suatu konstruksi gramatikal. Hockett (dalam
Ba’dudu dan Herman, 2005: 48) menyatakan bahwa kalimat adalah suatu
konstitut atau bentuk yang bukan konstituen; suatu bentuk gramatikal yang tidak
termasuk ke dalam konstruksi gramatikal lain.
Kalimat merupakan kata-kata, kesatuan kata, membentuk satu pengertian
dan pikiran yang lengkap, dalil atau ayat yang di dalam kitab (Maulana, 2011:
196). Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai
pola intonasi final dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa
(Kridalaksana, 2009: 103).
Berdasarkan penjabaran tersebut dapat disimpulkan bahwa kalimat
merupakan
susunan
kata-kata
yang
membentuk
suatu
makna
dalam
penggunaannya sebagai bagian dari bahasa. Kalimat memiliki satu pola pemikiran
yang selesai dalam satu susunan kata-kata. Penggunaan satu ide dalam kalimat
akan memberikan kejelasan runtutan makna dan maksud dalam pemberian
informasi.
2.1.3 Ciri-ciri Kalimat
Berdasarkan definisi-definisi kalimat yang dikemukakan tersebut, kalimat
mempunyai 3 ciri (Cook dalam Ba’dudu dan Herman, 2005: 49).
1) Kalimat secara relatif dapat dipisahkan dan korpus apa saja dapat direduksi
menjadi kalimat.
2) Kalimat mempunyai pola intonasi final yang dapat membantu memisahkan
kalimat.
3) Kalimat terbentuk dari klausa. Klausa berkombinasi dalam suatu jenis
ketergantungan terpola yang mencakup kombinasi klausa yang tidak
mempunyai struktur menyeluruh dari suatu klausa tunggal.
Berdasarkan penjelasan ciri kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa
kalimat tidak dapat berdiri sendiri apabila tidak diikuti oleh penjelasan dan
permasalahan yang menjadi pokok pikiran didepannya. Kalimat memiliki
ketergantungan pola dengan pemikiran yang akan dijelaskan berikutnya. Kalimat
dapat hanya memberikan dua kata didalamnya sebagai himbauan karena
kedudukan kalimat dapat dinamakan sebagai frase.
2.1.4 Klasifikasi Kalimat
Menurut Cook (dalam Ba’dudu dan Herman, 2005: 49-50), kalimat dapat
diklasifikasikan berdasarkan 5 kriteria.
1) Berdasarkan jumlah dan jenis klausa dalam basis, kalimat diklasifikasikan
sebagai kalimat sederhana, kalimat kompleks, dan kalimat majemuk. Ciri ini
digunakan oleh Pike dan Longacre (dalam Ba’dudu dan Herman, 2005: 49)
untuk memisahkan kalimat menjadi tipe yang terdiri dari banyak klausa,
klausa sederhana, dan non-klausa.
2) Berdasarkan struktur internal klausa utama, kalimat diklasifikasikan sebagai
kalimat sempurna atau kalimat tak sempurna. Kalimat sempurna juga biasa
disebut kalimat mayor dan kalimat tak sempurna. Kalimat minor termasuk
kalimat kompletif dan kalimat seru.
3) Berdasarkan jenis responsi yang diharapkan, kalimat diklasifikasikan sebagai
kalimat pernyataan, kalimat pertanyaan dan kalimat perintah.
4) Berdasarkan sifat hubungan aktor-aksi, kalimat diklasifikasikan sebagai
kalimat aktif dan kalimat pasif.
5) Berdasarkan ada tidaknya unsur negatif dalam frasa verba, kalimat
digolongkan sebagai kalimat afirmatif dan kalimat menyangkal.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa klasifikasi
kalimat dapat dibedakan atas kalimat sederhana dan kalimat kompleks. Kalimat
sederhana biasanya hanya memberikan peristiwa cerita yang didalamnya satu arah
saja tidak timbal balik. Sedangkan pada kalimat yang kompleks penjelasan
mengenai permasalahan dituntaskan secara detail.
2.1.5 Kalimat Suruh
Berdasarkan
fungsinya
dalam
hubungan
situasi,
kalimat
suruh
mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari orang yang diajak berbicara.
Berdasarkan ciri formalnya, kalimat ini memiliki pola intonasi yang berbeda
dengan pola intonasi kalimat berita dan kalimat tanya (Ramlan, 2005: 39). Dapat
disimpulkan bahwa kalimat suruh merupakan kalimat yang hendak memberikan
informasi dan perintah yang didalamnya meminta orang lain melakukan tindakan
dan sikap yang diinginkan oleh penutur.
Menurut Ramlan (2005: 39-43). Berdasarkan strukturnya kalimat suruh dapat
digolongkan menjadi empat golongan, yaitu:
1) Kalimat Suruh yang Sebenarnya
Kalimat suruh yang sebenarnya ditandai oleh pola intonasi suruh.
Selain daripada itu, apabila P-nya terdiri dari kata verbal intransitif, bentuk
kata verbal itu tetap, hanya partikel lah dapat ditambahkan pada kata verbal itu
untuk menghaluskan perintah. S-nya yang berupa persona ke 2 boleh
dibuangkan boleh juga tidak.
2) Kalimat Suruh Persilahan
Selain ditandai oleh pola intonasi suruh. Kalimat persilahan ditandai
juga oleh penambahan kata silahkan yang diletakkan di awal kalimat. S
kalimat boleh dibuangkan.
3) Kalimat Ajakan
Sama halnya dengan kalimat persilahan dan kalimat suruh yang
sebenarnya, kalimat ajakan ini, berdasarkan fungsinya dalam hubungan situasi,
juga mengharapkan suatu tanggapan yang berupa tindakan. Hanya
perbedaannya tindakan itu di sini bukan hanya dilakukan oleh orang yang
diajak berbicara, melainkan juga oleh orang yang berbicara atau penuturnya.
Dengan kata lain tindakan itu dilakukan oleh kita.
Di samping ditandai oleh pola intonasi suruh, kalimat ini ditandai juga
oleh adanya kata-kata ajakan, ialah kata mari dan ayo, yang diletakkan di awal
kalimat. Partikel lah dapat ditambahkan pada kedua kata itu menjadi marilah
dan ayolah. S kalimat boleh dibuangkan boleh juga tidak.
4) Kalimat Larangan
Di samping ditandai oleh pola intonasi suruh. Kalimat larangan
ditandai juga oleh adanya kata jangan di awal kalimat. Partikel lah dapat
ditambahkan pada kata tersebut untuk memperhalus larangan. S kalimat boleh
dibuangkan, boleh juga tidak.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa kalimat
perintah memiliki penjenisan sesuai dengan bentuk yang ditampilkannya.
Kalimat dapat ditandai oleh intonasi yang muncul dalam penggunaannya untuk
menunjukkan sikap yang dihendaki. Ketegasan dalam kalimat memberikan
makna yang dapat dikatakan harus dilaksanakan dan cenderung lebih
menginginkan orang lain menyikapi yang dikatakan oleh penutur.
2.2 Kesantunan Berbahasa
2.2.1 Pengertian Kesantunan
Baryadi (dalam Gunarwan, 2007: 101) mengartikan kesantunan sebagai
“salah satu wujud penghormatan seseorang kepada orang lain”. Pengartian ini
tidak terlalu salah karena di dalam bahasa tertentu, misalnya bahasa Jawa,
penghormatan dan kesantunan saling berkait: untuk mengungkapkan bahwa
penutur berlaku santun, ia, di dalam bahasa Jawa, perlu menggunakan bentuk
hormat atau honorifik.
Kesantunan dapat diartikan secara pragmatis sebagai mengacu ke strategi
penutur agar tindakan yang akan dilakukan tidak menyebabkan ada perasaan yang
tersinggung atau muka yang terancam. Perilaku yang santun adalah perilaku yang
didasari oleh pertimbangan akan perasaan orang lain agar orang itu tidak
tersinggung atau mukanya tidak terancam (Gunarwan, 2007: 102).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kesantunan
merupakan suatu sikap dan tindakan yang mencerminkan rasa saling mengormati,
menghargai dan menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. Kesantunan dapat
diketahui dari cara seseorang menggunakan intonasi dan lafal yang tidak
berlebihan ketikan berkomunikasi dengan orang lain.
2.2.2 Strategi Kesantunan
Brown dan Levinson (dalam Gunarwan, 2007: 106) mengatakan bahwa ada
empat strategi utama untuk mengutarakan maksud itu, ditambah satu strategi,
yaitu strategi lebih baik tidak bertutur, seperti yang disinggung di dalam
pengantar. Tergantung kepada derajat keterancamannya, kelima strategi itu
berturut-turut adalah: (1) bertutur secara terus-terang tanpa basa basi; (2) bertutur
dengan menggunakan kesantunan positif; (3) bertutur dengan menggunakan
kesantunan negatif; (4) bertutur dengan cara samar-samar atau tidak transparan;
(5) bertutur “di dalam hati” dalam arti penutur tidak mengujarkan maksud hatinya.
Brown dan Levinson (dalam Gunarwan, 2007: 106) menjabarkan strategi
utama bertutur on record dengan kompensasi kesantunan positif itu menjadi 15
strategi yang dikelompokkan menjadi 3, yaitu: (1) mengungkapkan “kesamaan
pijaan”, misalnya dengan memperhatikan minat, keinginan, keperluan petutur;
mengungkapkan kesamaan keanggotaan dengan petutur, seperti menggunakan
pemarkah identitas yang menunjukkan bahwa penutur dan petutur termasuk ke
dalam kelompok yang sama atau mempunyai kesamaan pandangan, pendapat,
sikap, pengetahuan atau empati, semuanya diungkapkan dengan mencari
kesetujuan; menghindari ketidaksetujuan; meningkatkan kesamaan pijaan; dan
berseloroh; (2) mengungkapkan bahwa penutur dan petutur adalah kooperator,
misalnya dengan menunjukkan bahwa penutur mengetahui apa yang diinginkan
petutur, misalnya dengan menunjukkan adanya refleksivitas (menawarkan,
menjanjikan, memberikan/meminta alasan); dan (3) memenuhi apa yang
dikehendaki petutur, misalnya dengan memberikan sesuatu kepadanya (barang,
simpati, pengertian, kerja sama).
Kesantunan negatif dijabarkan oleh kedua pakar ini menjadi 10 strategi
yang dikelompokkan menjadi 5, yaitu: (1) menggunakan strategi tidak langsung
konvensional, yang intinya adalah jangan memaksa petutur untuk melakukan
sesuatu; (2) jangan berasumsi mengenai apa yang dimaui petutur, misalnya
dengan menggunakan pagar atau kalimat tanya; (3) jangan memaksa penutur,
misalnya dengan jalan memberinya opsi, antara lain dengan mengasumsikan
bahwa petutur mungkin tidak bersedia melakukan sesuatu jadi penutur perlu
bersikap pesimistik; penutur meminimalkan ancaman dengan cara: (a) mengurangi
keterpaksaan dan (b) menunjukkan hormat; (4) mengomunikasikan bahwa penutur
tidak menghendaki memaksa petutur, misalnya dengan meminta maaf (termasuk
menunjukkan keengganan), dengan memisahkan penutur dan petutur dari
keterpaksaan, yaitu dengan: (a) menghindari pronomina “saya” dan “kamu/Anda”;
(b) mengungkapkan FTA sebagai hal yang umum; formal; (5) memberikan
kompensasi bagi keinginan lain petutur, yang berasal dari muka negatif, misalnya
dengan mengatakan bahwa tindakan on record adalah tindakan terpaksa yang
merupakan “utang” penutur atau bahwa petutur tidak “berutang” kepada penutur
(Gunarwan, 2007: 107).
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa strategi
kesantuan dalam berbahasa terbagi menjadi penuturan secara langsung dan tidak
langsung yang didalamnya mempergunakan pola bahasa yang menyesuaikan
dengan situasi dan kondisi. Pemakaian bahasa yang cenderung memakai pola
meninggikan derajat pengguna bahasa tersebut tergolong menguasai pihak
pendengar.
2.3 Pragmatik
2.3.2 Pengertian Pragmatik
Pragmatik merupakan ilmu yang berkenaan dengan syarat-syarat
yang
mengakibatkan serasi atau tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi
(Sugono, 2008: 1209).
Pragmatik dalam ilmu bahasa merupakan sebuah kajian yang menarik. Di
dalam pragmatik terdapat kajian makna yang dikaitkan dengan konteks, yaitu
ketika sebuah tuturan diucapkan seseorang selalu ada hal yang melatarbelakangi
atau pun yang menjadi tujuan tuturan. Dalam percakapan individu yang satu
dengan yang lain sering harus memperhatikan hal-hal yang sifatnya berhubungan
dengan persoalan interpesonal (Wibowo, 2013:73).
Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa
yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan
pendengar,
dan
sebagai
pengacuan
tanda-tanda
bahasa
pada
hal-hal
“ekstralingual” yang dibicarakan (Verhaar, 2004: 14).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pragmatik
merupakan cabang ilmu yang mempelajarinya mengenai tingkah laku dan sikap
yang dimunculkan oleh pengguna bahasa. Gerakan dan simbol yang menunjuk
pada isyarat tertentu akan menimbulkan makna dan arti baru dalam memahami
bahasa.
2.4 Pembelajaran di Sekolah Dasar
2.4.1 Pengertian Belajar
Burton (dalam Aunurrahman, 2009: 35) merumuskan pengertian belajar
sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara
individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka
mampu berinteraksi dengan lingkungannya.
Witherington (dalam Aunurrahman, 2009: 35) mengemukakan bahwa
belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri
sebagai suatu pola baru dari reaksi berupa kecakapan, sikap, kebiasaan,
kepribadian atau suatu pengertian.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar
merupakan suatu proses mengenal hal baru dan keadaan yang ada di lingkungan
sekitar untuk diketahui fungsi dan manfaat yang ditimbulkannya. Belajar dapat
pula dimaknai sebagai pengenalan tentang kehidupan baik di dunia maupun
diakhirat dan tentang berbagai hal yang terjadi sebelum dan sesudah pengenalan
dengan permasalahan tertentu.
2.4.2 Prinsip-prinsip Belajar
Agar aktivitas yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran terarah
pada upaya peningkatan potensi siswa secara komprehensip, maka pembelajaran
harus dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar, yang bertolak dari
kebutuhan internal siswa untuk belajar. Davies (dalam Aunurrahman, 2009: 113),
mengingatkan beberapa hal yang dapat menjadikan kerangka dasar bagi
penerapan prinsip-prinsip belajar dalam proses pembelajaran, yaitu:
1) Hal apapun yang dipelajari murid, maka ia harus mempelajarinya sendiri.
Tidak seorangpun yang dapat melakukan kegiatan belajar tersebut untuknya.
2) Setiap murid belajar menurut tempo (kecepatannya) sendiri dan untuk setiap
kelompok umur, terdapat variasi dalam kecepatan belajar.
3) Seorang murid belajar lebih banyak bilamana setiap langkah segera diberikan
penguatan (reinforcement).
4) Penguasaan secara penuh dari setiap langkah-langkah pembelajaran,
memungkinkan murid belajar secara lebih berarti.
5) Apabila murid diberikan tanggung jawab untuk mempelajari sendiri, maka ia
lebih termotivasi untuk belajar, dan ia akan belajar dan mengingat lebih baik.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa prinsip belajar
pada dasarnya dimulai dari keinginan pendidik dan siswa dalam memulai proses
pembelajaran. Memberikan pengarahan dan penjelasan awal mengenai hal terjadi
juga meminta penanggungjawaban dari siswa dan guru mengenai pemahaman
yang diberikan oleh siswa.
2.4.3 Implikasi Prinsip-prinsip Belajar dalam Pembelajaran
1) Prinsip Perhatian dan Motivasi
Perhatian dan motivasi merupakan dua aktivitas yang memiliki
keterkaitan yang sangat erat. Untuk menumbuhkan perhatian diperlukan
adanya motivasi. Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar
pada umumnya meningkat jika anak memiliki motivasi yang kuat untuk
belajar.
Motivasi merupakan tenaga pendorong bagi seseorang agar memiliki
energi atau kekuatan melakukan sesuatu dengan penuh semangat. Motivasi
sebagai suatu kekuatan yang mampu mengubah energi dalam diri seseorang
dalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan tertentu. Hamalik (dalam
Aunurrahman, 2009: 114-115), mengemukakan bahwa motivasi adalah suatu
perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya
afektif (perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan). Perubahan energi di
dalam diri seseorang tersebut kemudian membentuk suatu aktivitas nyata
dalam berbagai bentuk kegiatan.
2) Prinsip Transfer dan Retensi
Berkenaan dengan proses transfer dan retensi terdapat beberapa prinsip
yaitu:
a) Tujuan belajar dan daya ingat dapat menguat retensi.
b) Bahan yang bermakna bagi pelajar dapat diserap lebih baik.
c) Retensi seseorang dipengaruhi oleh kondisi psikis dan fisik dimana proses
belajar itu terjadi.
d) Latihan yang terbagi-bagi memungkinkan retensi yang lebih baik.
e) Penelaahan bahan-bahan faktual, keterampilan dan konsep dapat
meningkatkan retensi.
f) Proses belajar cenderung terjadi bila kegiatan-kegiatan yang dilakukan
dapat memberikan hasil yang memuaskan.
g) Proses saling mempengaruhi dalam belajar akan terjadi bila bahan baru
yang sama dipelajari mengikuti bahan yang lalu.
h) Pengetahuan tentang konsep, prinsip dan generalisasi dapat diserap dengan
baik dan dapat diterapkan lebih berhasil dengan cara menghubunghubungkan penerapan prinsip yang dipelajari dengan memberikan ilustrasi
unsur-unsur yang serupa.
i) Transfer hasil belajar dalam situasi baru dapat lebih mendapat kemudahan
bila hubungan-hubungan yang bermanfaat dalam situasi yang khas dan
dalam situasi yang agak sama dapat diciptakan.
j) Tahap akhir proses belajar seyogyanya memasukkan usaha untuk menarik
generalisasi, yang pada gilirannya nanti dapat lebih memperkuat retensi
dan transfer.
3) Prinsip Keaktifan
Implikasi prinsip keaktifan atau aktivitas bagi guru di dalam proses
pembelajaran ada lima.
a) Memberi kesempatan, peluang seluas-luasnya kepada siswa untuk
berkreativitas dalam proses belajarnya.
b) Memberi kesempatan melakukan pengamatan, penyelidikan atau inquiri
dan eksperimen.
c) Memberi tugas individual dan kelompok melalui kontrol guru.
d) Memberikan pujian verbal dan non verbal terhadap siswa yang
memberikan respons terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
e) Menggunakan multi metode dan multi media di dalam pembelajaran.
4) Prinsip Keterlibatan Langsung
Implikasi prinsip keterlibatan langsung bagi guru ada empat.
a) Mengaktifkan peran individual atau kelompok kecil di dalam penyelesaian
tugas.
b) Menggunakan media secara langsung dan melibatkan siswa di dalam
praktik penggunaan tersebut.
c) Memberi keleluasaan kepada siswa untuk melakukan berbagai percobaan
atau eksperimen.
d) Memberikan tugas-tugas praktik.
5) Prinsip Pengulangan
Implikasi prinsip-prinsip pengulangan bagi guru ada empat.
a) Memilah
pembelajaran
yang
berisi
pesan
yang
membutuhkan
pengulangan.
b) Merancang kegiatan pengulangan.
c) Mengembangkan soal-soal latihan.
d) Mengimplementasikan kegiatan-kegiatan pengulangan yang bervariasi.
6) Prinsip Tantangan
Beberapa bentuk kegiatan berikut dapat dijadikan sebagai acuan bagi
guru untuk menciptakan tantangan dalam kegiatan belajar ada enam.
a) Merancang dan mengelola kegiatan inquiri dan eksperimen.
b) Memberikan tugas-tugas pemecahan masalah kepada siswa.
c) Mendorong siswa untuk membuat
kesimpulan pada setiap sesi
pembelajaran.
d) Mengembangkan bahan-bahan pembelajaran yang menarik.
e) Membimbing siswa menemukan fakta, konsep, prinsip dan generalisasi.
f) Merancang dan mengelola kegiatan diskusi.
7) Prinsip Balikan dan Penguatan
Terdapat enam jenis penguatan yang dapat dilakukan guru.
a) Penguatan verbal, yaitu penguatan yang diberikan guru berupa kata-kata
atau kalimat yang diucapkan, seperti: “bagus”, “baik”, “smart”, “tepat”,
dan sebagainya.
b) Penguatan gestural, yaitu penguatan berupa gerak tubuh atau mimik muka
yang memberi arti atau kesan baik kepada peserta didik.
c) Penguatan dengan cara mendekati, yaitu penguatan yang dilakukan guru
dengan cara menyentuh peserta didik, seperti menepuk pundak, menjabat
tangan, mengusap kepala peserta didik, atau bentuk-bentuk lainnya.
d) Penguatan dengan cara mendekati, yaitu perhatian guru terhadap perilaku
peserta didik dengan cara mendekatinya.
e) Penguatan dengan cara memberikan kegiatan yang menyenangkan.
f) Penguatan berupa tanda atau benda, yaitu memberikan penguatan kepada
peserta didik berupa simbol-simbol atau benda-benda.
Berikut adalah beberapa diantara situasi yang cocok untuk diberikan
penguatan:
a) Pada saat peserta didik menjawab pertanyaan, atau merespon stimulus guru
atau peserta didik yang lain.
b) Pada saat peserta didik menyelesaikan PR.
c) Pada saat peserta didik mengerjakan tugas-tugas latihan.
d) Pada waktu perbaikan dan penyempurnaan tugas.
e) Pada saat penyelesaian tugas-tugas kelompok dan mandiri.
f) Pada saat membahas dan membagikan hasil-hasil latihan dan ulangan.
g) Pada situasi tertentu tatkala peserta didik mengikuti kegiatan secara
sungguh-sungguh.
8) Prinsip Perbedaan Individual
Secara lebih spesifik berkenaan dengan implikasi atau penerapan prinsipprinsip perbedaan individual dalam proses pembelajaran, terdapat beberapa
hal yang perlu diperhatikan guru sebagai berikut:
a) Para siswa harus dapat dibantu untuk memahami kekuatan dan kelemahan
dirinya untuk selanjutnya mendapat perlakuan dan layanan kegiatan
belajar yang mereka butuhkan.
b) Para siswa harus terus didorong untuk mampu memahami potensi dirinya
dan untuk selanjutnya mampu merencanakan dan melaksanakan kegiatan.
c) Peserta didik membutuhkan variasi layanan, tugas, bahan dan metode yang
selaras dengan minat, tujuan dan latar belakang mereka. Hal ini terutama
disebabkan para peserta didik cenderung memilih kegiatan belajar yang
sesuai dengan pengalaman masa lampau yang mereka rasakan bermakna
untuk dirinya.
d) Para siswa harus dapat dibantu untuk memahami kekuatan dan kelemahan
dirinya serta pemenuhan kebutuhan belajar maupun bimbingan yang
berbeda dengan siswa-siswa yang lain.
e) Kesempatan-kesempatan yang tersedia untuk belajar dapat lebih diperkuat
bilamana para siswa tidak merasa terancam oleh proses yang ia ikuti serta
lingkungannya sehingga mereka memiliki keleluasaan untuk berpartisipasi
secara efektif dalam kegiatan belajar.
f) Para siswa yang telah memahami kekuatan dirinya akan lebih cenderung
memiliki dorongan dan minat untuk belajar secara lebih sungguh-sungguh.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa implikasi
prinsip belajar dalam pembelajaran merupakan bentuk penerapan pola
penyikapan diri antara siswa dan bentuk pembelajaran yang diinginkannya
kelak. Pembelajaran lebih mengedepankan kondisi siswa dan memberikan
alternatif pemecahannya dengan memberikan hal baru dan pemahaman baru
mengenai hal yang dimiliki siswa.
2.5 Penelitian yang Relevan
Ada tiga penelitian relevan yang berkaitan dengan penelitian ini.
a. Andriani, Rena Fiesty (2013) Analisis Penggunaan Kalimat Perintah Guru dalam
Proses Kegiatan Belajar-Mengajar di SD Negeri 09 Panggang, Kabupaten Jepara.
Hasil analisis wujud kalimat perintah guru dalam proses belajar-mengajar di
SD Negeri 09 Panggang, kabupaten Jepara antara lain meliputi: 1) wujud kalimat
perintah biasa yang menyatakan tuturan perintah guru memerintah siswa dengan
sederhana dengan mengharapkan suatu respon, 2) wujud kalimat perintah
permintaan yang menyatakan guru memerintah siswa dengan cara meminta,
3) wujud kalimat perintah ijin yang menyatakan tuturan guru memperkenankan
siswa berbuat sesuatu, 4) wujud kalimat perintah ajakan yang menyatakan ajakan
guru kepada siswa, 5) wujud kalimat perintah syarat yang menyatakan guru
memerintah siswa dengan suatu syarat yang diinginkan guru, dan 6) wujud
kalimat perintah larangan yang menyatakan tuturan perintah guru melarang
siswa. Klasifikasi kalimat perintah guru dalam proses belajar-mengajar di SD
Negeri 09 Panggang, kabupaten Jepara ditemukan: 1) penggunaan kata “coba”,
“tolong”, dan “silahkan” pada kalimat perintah permintaan, 2) kalimat perintah
ijin di awal kalimat menggunakan kata “ya” dan “ambillah”, 3) penggunaan
kata “ayo” pada kalimat perintah ajakan, dan 4) terdapat bentuk ingkar “jangan”
pada kalimat perintah larangan.
b. Maisyaroh, Siti Yunita (2013) Analisis Kalimat Perintah pada Artikel dalam
Majalah Tarbawi Edisi Oktober s.d. November 2012. Hasil analisis pada artikel
ditemukan 69 wujud kalimat perintah. Setiap wujud kalimat terdapat penambahan
partikel lah pada 16 kata yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut termasuk
dalam kalimat perintah. Selain itu, ditemukan kata ayo, mari, marilah, dan jangan,
yang menjelaskan bahwa kalimat tersebut merupakan wujud kalimat perintah.
Setelah menganalisis wujud kalimat perintah peneliti mengklasifikasikan menurut
jenis kalimat perintah. Jenis kalimat perintah yang ditemukan pada artikel dalam
majalah Tarbawi edisi Oktober s.d. November adalah (1) Kalimat perintah biasa;
(2) Kalimat perintah permintaan; (3) Kalimat perintah ijin; (4) Kalimat perintah
ajakan; (5) kalimat perintah syarat; (6) kalimat perintah larangan.
c. Noor, Khilyatin Ulin (2013) Pergeseran Kesantunan Positif di Kalangan Siswa
Kelas IX Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Surakarta yang Berlatar Belakang
Kebudayaan Jawa. Hasil penelitian ini terdapat 6 bentuk pergeseran kesantunan
positif yang terjadi pada tuturan di kalangan siswa kelas IX MTs N 1 Surakarta
yang dianalisis menggunakan 13 pola strategi kesantunan positif yang digunakan
di kalangan siswa kelas IX MTs N 1 Surakarta yang berlatar belakang
kebudayaan Jawa, antara lain pola memperhatikan kesukaan, keinginan, dan
kebutuhan lawan tutur; membesar-besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati
kepada lawan tutur; Menggunakan penanda identitas kelompok; Mencari
persetujuan dengan mengulang sebagian atau seluruh ujaran penutur (lawan
tutur); Menghindari ketidaksetujuan dengan pura-pura setuju atau persetujuan
yang semu (psedo agreement), menipu untuk kebaikan (white lies), pemagaran
opini (hedging opinion); Menunjukkan hal-hal yang mempunyai kesamaan
melalui basa-basi (small talk) dan praanggapan (presuppasition; Menggunakan
lelucon; Menyatakan paham atau mengerti akan keinginan
lawan
tutur;
Memberikan janji; Menunjukkan sikap keoptimisan; Melibatkan penutur dan
lawan tutur dalam aktivitas; Memberikan pertanyaan atau meminta alasan;
dan Menyatakan hubungan secara timbal balik (resiprokal). Ada beberapa faktor
pula yang mempengaruhi pergeseran kesantunan positif di kalangan siswa kelas
IX MTs N Surakarta 1 yang berlatar belakang kebudayaan Jawa dilihat dari data
yang telah dianalisis mengenai pola kesantunan dan bentuk-bentuk tuturan yang
mengalami pergesaran
kesantunan positif di kalangan siswa kelas IX MTs N
1 Surakarta yang berlatar belakang kebudayaan Jawa yaitu: (1) Jarak sosial,
(2) Konteks, (3) Keinginan untuk memuji
yang
berlebihan,
(4) Sengaja
meminta alasan, (5) Tidak ingin dirugikan, dan (6) Penolakan terhadap sesuatu.
d. Erni, Fitriana (2013) Analisis Kalimat Perintah pada Novel Perahu Kertas Karya
Dewi Lestari. Hasil penelitian mengenai kalimat perintah yang terdapat pada
novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari ditemukan 4 jenis kalimat perintah yaitu
kalimat perintah yang sebenarnya, kalimat perintah ajakan, kalimat perintah
persilahan dan kalimat perintah larangan. Setiap jenis kalimat perintah memiliki
ciri yang berbeda. 1) KPS ditandai oleh: a) intonasi perintah, verbal intransitif,
b) intonasi perintah, verbal intransitif, S kalimat tidak dihilangkan, c) intonasi
perintah, transitif, d) intonasi perintah, verbal transitif, S kalimat
tidak
dihilangkan, e) verbal transitif, f) penambahan partikel -lah untuk memperhalus
perintah, g) penambahan kata tolong untuk memperhalus perintah meliputi: (1)
kata tolong di awal kalimat, (2) S di awal kalimat, (3) S di awal, verbal
transitif. 2) KPP ditandai oleh: a) verbal intransitif, S kalimat tidak dihilangkan,
b) verbal intransitif, c) verbal transitif, S kalimat tidak dihilangkan, d) verbal
transitif, e) silahkan di akhir kalimat, S kalimat tidak dihilangkan. 3) KPA
ditandai oleh: a) intonasi perintah, ayo di awal kalimat, b) ayo di awal kalimat,
c) intonasi perintah, yuk terletak di awal kalimat, d) yuk di awal kalimat, e) yuk
di akhir kalimat meliputi: (1) intonasi perintah, verbal intransitif, (2) verbal
intransitif, (3) verbal transitif, (4) verbal intransitif, S kalimat tidak dihilangkan,
(5) verbal transitif, S kalimat tidak dihilangkan. 4) KPL ditandai oleh: a) intonasi
perintah, verbal transitif, b) verbal intransitif, c) verbal intransitif, S di awal
kalimat, d) transitif, S di awal kalimat, e) verbal transitif, S di akhir kalimat, f)
verbal transitif, S di tengah kalimat, g) verbal transitif.
e. Rahmawati, Dwi (2013) Analisis Kalimat Perintah pada Cerita Anak dalam Surat
Kabar Solopos Edisi Oktober-Desember 2012. Hasil analisis wujud
kalimat
perintah pada cerita anak dalam surat kabar cerita anak 1 berjudul “Anak
Ayam” terdapat kalimat perintah yang tegas dan kalimat larangan. Cerita anak
2 berjudul “Keluhan Sapu” terdapat kalimat perintah yang tegas dan kalimat
larangan. Cerita anak 3 berjudul “Pipit yang Malang” tidak terdapat kalimat
perintah. Cerita anak 4 berjudul “Persahabatan Fai, Serangga, dan Mentimun”
terdapat kalimat larangan. Cerita anak 5 berjudul “Jaket untuk Adik” terdapat
kalimat perintah yang tegas dan kalimat perintah yang biasa. Cerita anak 6
berjudul “Petualangan Tiga Ekor Semut” terdapat kalimat perintah yang tegas
dan kalimat larangan. Cerita anak 7 berjudul “Membuat Kerajinan Tangan”
terdapat kalimat perintah yang tegas dan kalimat larangan. Cerita anak 8 berjudul
“Boneka Ajaib” terdapat kalimat perintah yang tegas, kalimat perintah yang
biasa, dan kalimat larangan. Cerita anak 9 berjudul “Kupu-Kupu yang Sombong”
terdapat kalimat perintah yang biasa dan kalimat larangan. Cerita anak 10 berjudul
“Kugy Si Putri Duyung” terdapat kalimat perintah yang halus. Cerita anak 11
berjudul “Mata Air Ketulusan” terdapat kalimat perintah yang biasa dan larangan.
Cerita anak 12 berjudul “Hadiyah Natal Buat Mama” terdapat kalimat perintah
yang tegas, kalimat perintah yang biasa, dan kalimat perintah yang halus. Cerita
anak 13 berjudul “Semut Merah dan Kelinci” terdapat kalimat perintah yang
tegas dan kalimat perintah yang halus.
Berdasarkan penelitian relevan yang telah dijelaskan tersebut perbedaan
yang nampak dengan penelitian yang akan dilakukan kali ini yaitu memberikan
penjelasan mengenai penggunaan kalimat perintah dalam aktivitas pembelajaran
yang diberikan oleh guru dan efek yang ditimbulkannya. Kesantunan berbahasa
menjadi hal yang dilihat paling utama dalam analisis yang dilakukan dalam
penelitian ini. Sedangkan kajian pragmatik merupakan analisis yang menitik
beratkan pada kondisi sikap dan tindakan yang dipahami oleh siswa berdasarkan
beberapa kalimat perintah yang dimunculkan dalam analisis yang diberikan.
2.6 Kerangka Berpikir
Bagan 1 Kerangka Berpikir
Kalimat Perintah
Penjenisan Kalimat Perintah
Analisis
Kesantunan Berbahasa
1.
Kajian Pragmatik
Hasil yang diharapkan
Guru lebih memilih penggunaan kalimat perintah yang tepat dalam aktivitas
pembelajaran.
2.
Guru dapat meningkatkan kesantunan berbahasa yang dimilikinya untuk
mengetahui dan memahami efek yang ditimbulkan dari penggunaan kalimat
perintah.
3.
Siswa akan lebih memahami penggunaan kalimat perintah yang diberikan
oleh guru.
Pada kerangka berpikir dijelaskan mengenai kesantunan berbahasa dalam
penggunaan kalimat perintah. Dalam pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru di
kelas dapat dilihat bahwa guru sering menggunakan kalimat perintah sebagai petunjuk
atau penjelas tugas yang akan dilakukan oleh siswa. Penjelasan tersebut kadang tidak
disadari oleh guru bahwa kata-kata yang diucapkannya cenderung memiliki rasa
memaksakan kepada siswa untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya.
Penggunaan bahasa yaitu bentuk tutur dapat sangat sensitif di pikiran dan hati
siswa jika tidak dilakukan pemilahan secara mendalam mengenai fungsi dan
manfaatnya. Efek yang dapat terjadi yaitu siswa tidak merasakan kenyamanan dalam
pembelajaran, ketakutan dalam menerima tugas yang diberikan guru dan cenderung
tidak memiliki ruang terbuka untuk mengekspresikan diri.
Kajian pragmatik dilakukan untuk melihat sikap dan tindakan yang
dimunculkan dari penggunaan kalimat perintah. Kalimat perintah yang menunjukkan
kesantunan dalam berbahasa dan yang kurang memiliki kesantunan dalam berbahasa
cenderung akan berdampak pada diri siswa. Pola pikir siswa nantinya akan kurang
kreatif dan kurang dapat mengevaluasi dirinya karena terpaku pada satu tindakan
yang benar yaitu yang diberikan perintah oleh gurunya.
Download