DARI REDAKSI Indonesia Terang Saat ini masih ada 12.659 desa tertinggal di Indonesia – sebagian besar berada di wilayah Timur, yang belum memeroleh listrik dari PLN. Untuk itu pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), meluncurkan Program Indonesia Terang (PIT) pada 2016, yang menargetkan agar 10.300 desa tertinggal tersebut memeroleh akses terhadap listrik pada 2019. Program ini adalah bagian dari target pemerintah untuk menyediakan akses listrik secara merata melalui pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. Menariknya, salah satu strategi dalam implementasi program ini adalah memaksimalkan pemanfaatan energi setempat yang erat kaitannya dengan energi terbarukan yang, menurut Kementerian ESDM, menyimpan potensi lebih dari 300.000 MW. Namun, pemanfaatannya hingga kini masih sekitar 5 persen. Untuk mewujudkan potensi dan meningkatkan pemanfaatannya, pemerintah telah menetapkan bahwa pada 2050 diharapkan sumber energi terbarukan akan lebih banyak digunakan daripada sumber energi dari fosil. Upaya ini dmulai pada awal 2014, ketika DPR mengesahkan Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan target untuk energi terbarukan dalam bauran energi sebesar 23 persen pada 2025 dan kemudian 31 persen pada 2050. Oleh karena itu kebijakan difokuskan pada penambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis energi terbarukan dan peningkatan penyebaran bahan bakar nabati (BBN). Seorang pakar memerkirakan bahwa kapasitas produksi BBN di Indonesia sekitar 5,6 juta kilo liter dengan rencana tambahan kapasitas sekitar 3,1 juta kilo liter. Ini pun masih dapat ditingkatkan, karena produktivitas Indonesia masih lebih rendah dari negara seperti Malaysia. pertumbuhan energi terbarukan kita tertinggal jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Selain itu sumber energi terbarukan, dari segi biaya, merupakan pilihan yang tepat untuk meningkatkan akses terhadap energi di daerah pedesaan. Zymla (2012) memerkirakan bahwa biaya operasional generator disel di daerah pedesaan berkisar antara Rp.3.000 – 9.000/kWh. Sedangkan satu pembangkit listrik tenaga surya 100 kW di sebuah pulau di kawasan Timur Indonesia hanya menghabiskan biaya Rp.2.800/kWh. Banyak kendala dalam pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia. Salah satunya adalah investasi yang mahal, selain masalah letak geografis. Namun, lambat atau cepat, energi jenis ini harus dikembangkan. Karena energi fosil akan berkurang jumlahnya. Bahkan habis. Tantangannya adalah Indonesia harus memilih jenis energi baru dan terbarukan yang paling pas untuk dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Benar, sulit dan mahal pada awalnya. Namun harus dilakukan untuk Indonesia terang benderang. Aries R. Prima Pemimpin Redaksi Secara ekonomi, pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan dapat membantu mengurangi kebergantungan Indonesia terhadap impor bahan bakar fosil, walaupun pangsa pasar dan Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung IKPT, WIJAYA KARYA dan JASA MARGA 2 EDITORIAL Tantangan Pengembangan Energi Terbarukan Indonesia Menurut berbagai sumber, Indonesia menyimpan potensi besar untuk mengembangkan energi terbarukan, mengingat sumberdaya yang tersedia berlimpah. Namun, hingga kini, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Diperkirakan baru 3 hingga 5 persen yang dimanfaatkan dari total penggunaan energi. Biaya riset dan investasi yang mahal yang menyebabkan harga dari energi terbarukan tidak bisa bersaing dengan harga energi fosil bersubsidi, kerap dituding sebagai biang keladi pengembangan energi ini berjalan lambat. Belum lagi harga minyak yang rendah saat ini, akibat peningkatan produksi shale oil besar-besaran. Di sisi lain, jika Indonesia tidak mulai mengembangkannya, ancaman krisis energi segera muncul di depan mata. Untuk itu perlu dicari formulasi dan kebijakan yang tepat agar Indonesia bisa mengembangkan energi terbarukan dengan sumberdaya yang tersedia. Walaupun tetap saja harus dipilih yang benar-benar bisa direalisasikan sesuai kebutuhan. Kerja sama lintas sektoral juga dibutuhkan, terutama yang menyangkut pembiayaan dan riset. di wilayahnya. Tentunya tidak semua daerah bisa membangun PLTA jenis ini. Karena benar-benar tergantung pada ketersediaan aliran air. Pun begitu dengan pengembangan pembangkit listrik tenaga bayu (angin). Baru dilakukan dengan kapasitas kecil dan terbatas. Angin di Indonesia tidak cukup kuat untuk menggerakan kincir yang besar untuk menghasilkan listrik yang besar. Itu pun hanya bisa dilakukan untuk daerah-daerah tertentu di wilayah Timur Indonesia. Yang sudah agak ‘serius’ dilakukan adalah pengembangan bahan bakar nabati (BBN). Itu pun masih ada kontroversi antara mengembangkan tanaman untuk energi atau untuk pangan. Hal ini harus secara hati-hati ditangani, jangan sampai lahan untuk tanaman pangan berubah fungsi menjadi lahan untuk tanaman penghasil energi. Ini akan menimbulkan persoalan baru di kemudian hari. Untuk itulah diperlukan kerja sama lintas sektoral agar pengembangan energy terbarukan dapat mencapai hasil yang maksimal tanpa mengorbankan hal lain yang juga penting untuk ketahanan nasional. Keberhasilan pengembangan energi terbarukan juga bergantung kepada visi pemerintah serta kesungguhan upaya yang dilakukan. Kita juga bisa mencontoh keberhasilan Denmark dengan pembangkit listrik tenaga anginnya, atau Maroko dengan pembangkit listrik tenaga surya terkonsentrasi. Dengan posisi berada di ekuator, panas matahari bisa diandalkan sebagai sumber energi pembangkit listrik di Indonesia. Teknologi sudah banyak tersedia, tinggal dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Jika belum bisa dilakukan secara penuh, masih bisa dilakukan dengan sistem hybrid: menggunakan PLTS dan generator disel bergantian. Yang sudah banyak dilakukan di beberapa daerah di Indonesia adalah pembangkit listrik tenaga air microhydro atau minihydro yang walaupun kapasitasnya tidak besar namun mampu mencukupi kebutuhan listrik Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung IKPT, WIJAYA KARYA dan JASA MARGA 3 Energi Terbarukan (lanjutan) Dr. Ir. Pekik Argo Dahono Pengajar di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, ITB Secara umum, sumber energi utama di bumi ini adalah energi matahari, panas bumi, nuklir, dan pasang-surut air laut. Energi angin, air, ombak, biomasa, dan bahkan energi fosil, semuanya berasal dari energi matahari. Energi fosil adalah energi matahari yang dikumpulkan oleh pohon-pohonan dan ditabung oleh bumi ini selama jutaan tahun. Memang menggunakan hasil tabungan selama jutaan tahun ini lebih mudah, murah dan memberikan kepastian dibandingkan dengan harus bekerja lagi mengumpulkan energi matahari. Namun karena proses menabungnya butuh waktu sangat lama, tabungan tersebut akan habis jika kita menggunakannya seperti saat ini. Sampai saat ini tidak ada yang tahu berapa jumlah sebenarnya dari energi fosil yang tersimpan di bumi ini. Akan tetapi semua tahu bahwa jumlahnya terbatas dan bisa habis, maka energi fosil tidak masuk dalam kategori energi terbarukan. Nuklir merupakan energi baru tetapi bukan energi terbarukan, karena bahan utama yang dipakai (uranium) jumlahnya terbatas. Walaupun penggunaan energi nuklir tidak menghasilkan polusi udara yang membahayakan, akan tetapi kemungkinan bocornya radiasi nuklir menyebabkan banyak masyarakat awam menolaknya. Walaupun, menurut para ahli, peluang kecelakaan pembangkit nuklir jaman sekarang jauh lebih kecil dibandingkan dengan peluang kejatuhan meteor. Ketakutan akan berubahnya pengembangan energi nuklir menjadi senjata nuklir juga terlalu mengada-ada, karena teknologi yang dipakai sama sekali berbeda. sehingga menjadi hujan dan akhirnya menjadi sumber air di tempat yang tinggi. Perlunya lahan yang besar dan rusaknya lingkungan menyebabkan pembangkit listrik tenaga air tidak lagi bisa diandalkan. Yang bisa kita harapkan dari tenaga air saat ini tinggal pembangkit listrik skala mini (kurang dari 10 MW) dan skala mikro (di bawah 100 kW). Tenaga atau energi air masuk kategori sumber energi terbarukan karena tidak akan pernah habis. Biomasa dan biofuel masuk kategori sumber energi terbarukan karena tidak akan pernah habis. Sayangnya diperlukan lahan yang sangat besar untuk memanfaatkan energi ini. Agar tidak mengganggu kebutuhan pangan, harus digunakan lahan-lahan yang tidak produktif untuk menanam tanaman demi kebutuhan energi ini. Selain itu kita bisa memanfaatkan sisa-sisa hasil pertanian atau perkebunan sebagai sumber energi. Akan tetapi karena hanya sisa, volumenya tidak bisa diandalkan keberadaannya. Walaupun Indonesia nampaknya luas, sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan. Sehingga luas lahan yang bisa dimanfaatkan untuk tanaman, sebenarnya, sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduknya. teknologi yang cocok untuk Indonesia.*** Panas bumi merupakan sumber energi yang sangat menjanjikan untuk Indonesia. Dari potensi yang ada, kurang dari lima persen yang sudah dimanfaatkan. Hambatan utama dari penggunaan panas bumi adalah letaknya yang biasanya berada di hutan lindung atau jauh dari pusat beban. Akan tetapi, melihat potensinya, panas bumilah sumber energi yang paling potensial untuk menggantikan energi fosil, khususnya untuk Indonesia. Panas bumi masuk dalam sumber energi terbarukan karena diperkirakan tidak akan pernah habis atau minimal tidak membutuhkan waktu yang sangat lama. Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) memanfaatkan energi matahari yang menguapkan air laut atau sungai Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung IKPT, WIJAYA KARYA dan JASA MARGA 4 Energi Terbarukan Dr. Ir. Pekik Argo Dahono Pengajar di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, ITB Sebagai negara yang berada di equator, potensi energi angin atau bayu di Indonesia tidak terlalu besar. Kecepatan angin di Indonesia tidak terlalu besar kecuali di beberapa wilayah Timur Indonesia. Arah dan kecepatan angin terlalu sering berubah, sehingga tidak bisa menggunakan kincir angin kapasitas besar. Masalah utama dari pemanfaatan energi angin adalah keberadaannya yang susah diprediksi sehingga tidak bisa diandalkan. Sedangkan potensi energi matahari atau tenaga surya sangat besar di Indonesia. Pemanfaatan tenaga surya yang utama adalah dengan menggunakan sel surya (photovoltaic) dan solar thermal. Pada sel surya, energi matahari langsung diubah menjadi listrik. Pada solar thermal, panas matahari dikumpulkan dengan menggunakan cermin untuk memanaskan cairan atau fluida. Cairan atau fluida panas selanjutnya digunakan untuk memutar turbin dan generator listrik. Saat ini di Indonesia belum ada pembangkit listrik tenaga surya berbasis solar thermal. Masalah utama dari penggunaan tenaga surya adalah hanya ada di siang hari. Pada saat ini, belum ada teknologi yang cukup andal dan efisien untuk memanfaatkan tenaga ombak dan pasang surut air laut. Melihat luas lautan yang ada, seharusnya Indonesia mempunyai potensi yang cukup besar. Diharapkan pemerintah mau mendanai penelitian tenaga laut. Kita tidak mungkin mengandalkan negara maju karena hanya sedikit negara yang mempunyai lautan luas. Melihat berbagai potensi yang ada di negara ini, sumber listrik yang bias diandalkan untuk menggantikan energi fosil adalah nuklir dan panas bumi. Pembangkit listrik ini bias digunakan sebagai pembangkit yang memasok kebutuhan dasar (base load). PLTA digunakan untuk memenuhi beban puncak. harus diintegrasikan sehingga antardaerah bisa berbagi sumber. Jika sudah diintegrasikan, tenaga surya dan angin bias lebih banyak dimanfaatkan karena saat energy terbarukan ini tidak tersedia, kebutuhan di daerah itu bias didatangkan dari daerah lain. Jika sudah diintegrasikan, pembangkit tidak lagi harus berada di pusat beban. Panas bumi yang jauh dari pusat beban bias lebih dimanfaatkan. Jika semua energi terbarukan bias dimanfaatkan, suatu saat Indonesia mungkin menjadi eksportir energi listrik berbasis energy terbarukan yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan denan ekspor energi fosil. Jika bidang telekomunikasi mempunyai palapa ring yang menyatukan Indonesia, mestinya bidang kelistrikan juga mempunyai palapa ring listrik. Adanya palapa ring listrik memungkinkan pembangunan yang merata. Tidak mungkin suatu daerah bias maju jika tidak tersedia sumber energi yang memadai. Jika energi terbarukan bias termanfaatkan dengan baik, energy fosil yang kita punyai bias kita gunakan untuk tujuan lain yang lebih bermanfaat. Memang integrasi system kelistrikan di seluruh Indonesia memerlukan biaya yang sangat mahal. Akan tetapi ini bukanhal yang tidak mungkin dan harus dimulai dari sekarang. Insinyur Indonesia harus menciptakan sendiri teknologi yang cocok untuk Indonesia.*** Pembangkit listrik tenaga surya dan angin tidak bias menjadi andalan karena keberadaannya yang tidak menentu tidak bias menjadi andalan. Demikian pula pembangkit listrik berbasis biomasa atau biofuel. Jika dimungkinkan, system kelistrikan di Indonesia Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung IKPT, WIJAYA KARYA dan JASA MARGA 5 Bahan-bahan Bakar Nabati dan Potensi Produksinya di Indonesia Dr. Ir. Tatang Hernas Soerawidjaja Pengajar di Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Dewasa ini, bangsa Indonesia menghadapi 2 tantangan utama di sektor energi, pertama, meningkatkan penyediaan listrik untuk mendukung seluruh sektor perekonomian dan kedua, meredam impor bahan bakar minyak (BBM) maupun minyak bumi mentah yang volumenya terus membesar akibat, di satu sisi, meningkatnya kegiatan transportasi, industri, maupun penyediaan listrik dan, di sisi lain, terus menurunnya produksi (lifting) minyak bumi di dalam negeri. Peningkatan produksi dan pemanfaatan bahan bakar nabati atau BBN, yaitu bahan bakar cair yang berasal dari sumber-sumber nabati (hayati) dan bersifat serupa sehingga dapat dicampurkan ke dalam BBM, merupakan cara yang paling efektif untuk menjawab kedua tantangan utama tersebut. Dunia kini mengenal 2 kategori BBN, yaitu BBN oksigenat (beroksigen) dan BBN biohidrokarbon (hidrokarbon terbarukan). Sesuai dengan namanya, BBN oksigenat mengandung atom-atom oksigen dan, karenanya, memiliki dua sifat utama yaitu, hanya bisa dicampurkan ke dalam BBM padanannya sampai kadar beberapa puluh persen-volume saja (karena pada kadar lebih besar akan mengharuskan modifikasi mesin pengguna) dan keberadaan atau pencampurannya ke dalam BBM membuat emisi mesin (kendaraan) lebih bersih dibanding jika hanya berbahan bakar BBM murni. Di lain pihak, BBN biohidrokarbon sama sekali tidak mengandung atom-atom oksigen dan terdiri atas hidrokarbon-hidrokarbon dalam kelas yang sama dengan hidrokarbon-hidrokarbon di dalam BBM padanannya tetapi berasal atau terbuat dari sumber daya nabati (definisi ilmiah sejati dari BBM sebenarnya adalah bahan bakar hidrokarbon cair asal/basis fosil). Oleh karena wujud komponen-komponennya ini, maka BBN biohidrokarbon bisa dicampurkan ke dalam BBM padanannya pada kadar berapa saja, bahkan sampai kadar 100 %-volume (alias murni) sekalipun, tanpa mengharuskan dilakukannya modifikasi pada mesin pengguna. Karena kebebasan level pencampurannya ini, di dalam bahasa Inggris, BBN biohidrokarbon disebut drop-in biofuels. plus) sedang biodiesel adalah padanan solar atau minyak diesel. Bioetanol diproduksi dari bahan berkarbohidrat, terutama yang bergula dan/atau berpati, sedangkan biodiesel diproduksi dari minyaklemak nabati. BBN biohidrokarbon belum lagi diproduksi dan digunakan di Indonesia, sehingga relatif masih belum banyak dikenal. Kelas-kelas utama BBN biohidrokarbon adalah minyak diesel hijau (green diesel), bensin nabati (biogasoline), dan bioavtur (jet biofuel, BBN untuk mesin pesawat terbang jet). Dewasa ini, ketiga BBN biohidrokarbon tersebut diproduksi dari minyak-lemak nabati. Seperti tersurat dalam paragraf di atas, minyak-lemak nabati merupakan bahan mentah premium (premium raw material) untuk pembuatan aneka jenis BBN, seperti biodiesel, minyak diesel hijau, bensin nabati, dan bioavtur. Di dalam kaitan ini, Indonesia memiliki posisi sangat unggul, karena minyak kelapa sawit merupakan salah satu bahan mentah terbaik untuk produksi keempat jenis BBN tersebut dan negeri ini sekarang merupakan penghasil dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di seluruh dunia. Bumi Indonesia juga dikaruniai aneka pohon/tumbuhan darat lain yang potensial untuk didayagunakan sebagai penghasil minyak-lemak nabati serta dikembangkan ke dalam bentuk perkebunan yang diharapkan dapat mulai secara komersial memasok minyak-lemak nabati selain sawit bagi industri BBN nasional pada paruh kedua dekade 2020-an. Pohon-pohon penghasil potensial minyak-lemak yang direkomendasikan untuk dikembangkan adalah kelapa, pongam, nyamplung, nimba dan karet. Indonesia juga sangat beruntung karena merupakan negara tropik bergaris-pantai terpanjang di dunia, sehingga memiliki lahan potensial terbesar untuk budidaya mikroalga, yaitu tumbuhan renik perairan yang kemampuan menghasilkan minyak-lemaknya berlipat-lipat kali pohon kelapa sawit sekalipun. Melalui upaya penelitian dan pengembangan (R & D) yang tekun dan sistematik, produksi komersial minyak-lemak nabati berbasis budidaya mikroalga diperkirakan bisa mulai memasok bahan mentah bagi industri BBN di sekitar tahun 2030.*** Bioetanol dan biodiesel adalah dua BBN oksigenat paling utama dan keduanya sekarang telah dikenal baik oleh industri bahan bakar cair di Indonesia. Bioetanol adalah padanan bensin (premium/pertamax/pertamax- Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung IKPT dan WIJAYA KARYA 6 INFO RINGAN Kisah Dua Negara Aries R. Prima – Engineer Weekly Nama Maroko mungkin tidak terlalu dikenal sebagai negara penghasil energi. Namun beberapa tahun ke depan negara yang terkenal dengan pegunungan Atlas ini akan dikenal sebagai negara adidaya energi surya. Ya, negeri ini sedang mebangun pembangkit listrik tenaga surya terbesar di dunia seluas 30 kilometer persegi di wilayah luar kota Ouarzazate, di pinggiran gurun Sahara, yang akan menyalurkan listrik untuk lebih dari 1 juta rakyatnya pada tahun 2018. “Negara ini memiliki posisi yang baik untuk mendapatkan keuntungan dari langkah awal untuk memulai pembangunan pembangkit listrik tenaga surya, ketika kekuatan regional lainnya baru mulai berpikir lebih serius tentang program energi terbarukan mereka sendiri,” ujar Inger Andersen, Wakil Presiden Regional Bank Dunia untuk Timur Tengah dan Afrika Utara. Tahap pertama, yang dikenal sebagai Noor I akan segera aktif. Pembangkit listrik 160 MW ini merupakan yang pertama dari tiga tahap yang direncanakan dari sebuah proyek pembangkit listrik tenaga surya di provinsi Ouarzazate. penangkap energi, dan dapat menyimpan energi senilai tiga jam dalam garam cair. Negeri Berangin Lain halnya dengan Denmark. Negara di wilayah skandinavia ini, menurut data 2015, memproduksi 42 persen listriknya dari tenaga angin. Jumlah ini merupakan komposisi tertinggi yang bisa dicapai oleh sebuah negara. Pada 2015, untuk pertama kalinya, Denmark mampu mematikan pembangkit listrik pusat yang besar selama ehari penuh dan menggantikan pasokan listriknya dari pembangkit listrik tenaga angin dan sumber energi terbarukan lainnya. Target yang ambisius telah dicanangkan untuk penggunaan energi terbarukan ini. Pada 2020, pembangkit listrik tenaga angin akan memasok sebesar 50 persen dari kebutuhan listrik total, dan pada 2050 ditargetkan 100 persen. Tidak seperti negara di sekelilingnya, Maroko bukan penghasil bahan bakar fosil, karena itu sekitar 97 persen kebutuhan energinya diimpor dari negara lain. Ketika semua proyek pembangunan ini selesai, PLTS terkonsentrasi ini akan memiliki kapasitas energi lebih dari 500 MW. Pembangkit listrik tenaga surya terkonsentrasi (CSP) bekerja dengan cara berbeda dari sel surya atau photovoltaic array. CSP menggunakan banyak cermin untuk menangkap energi matahari dan mengubah air menjadi uap untuk menggerakkan turbin. Noor I memiliki sekitar 2 mil persegi cermin Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung IKPT, WIJAYA KARYA dan JASA MARGA 7 Engineer Weekly Pelindung: A. Hermanto Dardak, Heru Dewanto Penasihat: Bachtiar Siradjuddin Pemimpin Umum: Rudianto Handojo, Pemimpin Redaksi: Aries R. Prima, Pengarah Kreatif: Aryo Adhianto, Pelaksana Kreatif: Gatot Sutedjo,Webmaster: Elmoudy, Web Administrator: Zulmahdi, Erni Alamat: Jl. Bandung No. 1, Menteng, Jakarta Pusat Telepon: 021- 31904251-52. Faksimili: 021 – 31904657. E-mail: [email protected] Engineer Weekly adalah hasil kerja sama Persatuan Insinyur Indonesia dan Inspirasi Insinyur.