BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Audit Internal 2.1.1. Pengertian Menurut Sawyer “Internal auditing is an independent appraisal function established within an organization to examine and evaluate its activities as a service to organization” (Internal audit adalah suatu fungsi penilaian independen yang dibentuk dalam suatu organisasi untuk mengkaji dan mengevaluasi aktivitas organisasi sebagai bentuk jasa yang diberikan bagi organisasi). 2.1.2. Pengertian Menurut IIA (Institute of Internal Auditor) “Internal auditing is an independent, objective assurance and consulting activity designed to add value and improve an organization’s operations. It helps an organization accomplish its objective by bringing a systematic, disciplined approach to evaluate and improve the effectiveness of risk management, control, and governance process”. (Internal audit adalah suatu aktivitas independen, yang memberikan jaminan keyakinan serta konsultasi yang dirancang untuk memberikan suatu nilai tambah serta meningkatkan kegiatan operasi organisasi. Internal auditing membantu organisasi dalam usaha mencapai tujuannya dengan cara memberikan suatu pendekatan disiplin yang sistematis untuk mengevaluasi dan meningkatkan 16 17 keefektivan manajemen resiko, pengendalian dan proses pengaturan dan pengelolaan organisasi). 2.1.3. Pengertian Menurut AICPA (American Institute of Certified Public Accountants) “Internal control comprises the plan of organization and all of the coordinated methods and measures adopted within a business to safeguad its cassets, chek the accuracy and realibility of its accounting data,promate operational efficieny, and encourage adhrence to prescribed manegerial policies”. (Pengawasan Intern meliputi susunan organisasi dan semua metode serta ketentuan yang terkoordinir dan dianut dalam perusahaan untuk melindungi harta benda miliknya, memeriksan kecermatan dan seberapa jauh data akuntansi dapat dipercaya, meningkatkan efisiensi usaha dan mendorong ditaatinya kebijaksanaan perusahaan yang telah digariskan). 2.2. Evolusi dari Audit Internal Menurut Boynton (2005) di dalam bukunya “Modern Auditing”, Audit Internal telah berevolusi menjadi aktifitas profesional tinggi yang membentang sampai penaksiran terhadap efisiensi dan efektifitas di seluruh fase dari operasi perusahaan, baik finansial dan nonfinansial. Auditor internal memiliki tanggungjawab utama untuk menemukan fraud keuangan pada WorldCom. Kini, banyak perusahaan mempunyai depertemen audit internal, direksi/manajer dari fungsi audit internal mungkin mempunyai status sebagai manajemen senior, dan 18 audit internal mempunyai tanggungjawab pelaporan secara langsung kepada dewan direksi atau komite auditnya. Bagian dari Foreign Corrupt Practices Act (Keputusan untuk Praktik Korupsi Luar Negeri) tahun 1977 menambahkan perhatian pada audit internal. Keputusan ini menghendaki perusahaan – perusahaan untuk memelihara sistem pengendalian internal yang efektif. Subyek perusahaan pada keputusan ini disadari secara cepat bahwa fungsi audit internal yang diperluas menghasilkan jaminan terbaik dari kepatuhan. Oleh karena itu, anggaran untuk audit internal sangatlah besar, disamping itu ukuran dan kualitas dari departemen audit internal terus bertambah secara signifikan. Perkembangan dan pentingnya audit internal untuk suatu perusahaan dibarengi dengan bertambahnya pengakuan profesional bagi auditor internal. Institute of Internal Auditors (IIA) dibentuk pada tahun 1941, dan anggotanya sekarang kira – kira mencapai 70.000 auditor internal di 120 negara. Pada tahun 1972, untuk pertama kalinya IIA menyelenggarakan pengujian sertifikasi bagi auditor internal. Pengujian itu memerlukan waktu selama dua hari dan terdiri dari empat bagian : 1. Peran dari auditor internal dalam tata kelola (governance), risiko (risk), dan pengendalian (control) 2. Pengadaan sebuah perjanjian penugasan (engagement) audit internal 3. Analisis bisnis dan teknologi informasi 4. Kemampuan manajemen bisnis 19 Untuk menjadi seorang auditor internal bersertifikasi (CIA), individu tersebut harus lulus dari ujian dan memiliki pengalaman kerja minimum selama dua tahun sebagai auditor internal atau setaranya. Kriteria untuk pengalaman audit internal termasuk pengalaman di akuntansi publik. Untuk mendapatkan sertifikat CIA, seorang individu harus mengikuti standar praktik dan kode etik dari IIA serta memenuhi persyaratan pendidikan profesional yang berkelanjutan. CIA tidak perlu diizinkan oleh badan pemerintah. 2.3. Tata Kelola (Governance) Sesuai Standar Internasional untuk Praktik Profesional Audit Internal (“Standar”), lingkup aktivitas audit internal di antaranya adalah Tata Kelola (governance). Pada Standar 2110 yang mengatur tentang Tata Kelola disebutkan bahwa aktivitas audit internal harus menilai dan membuat rekomendasi yang sesuai untuk meningkatkan proses tata kelola organisasi dalam rangka pemenuhan tujuan-tujuan sebagai berikut: a) Mempromosikan etika dan nilai-nilai yang pantas di dalam organisasi. b) Memastikan manajemen dan akuntabilitas kinerja yang efektif. c) Mengkomunikasikan informasi risiko dan pengendalian ke area-area yang terkait di dalam organisasi. d) Mengkoordinasikan kegiatan Dewan serta mengkomunikasikan informasi di antara mereka, auditor eksternal dan internal, dan manajemen. 20 Selanjutnya IIA memberikan panduan lebih rinci sebagai berikut: 1. Peran audit internal sebagaimana tercantum dalam Definisi Internal Audit meliputi pula tanggung jawab untuk mengevaluasi dan memperbaiki proses tata kelola sebagai bagian dari fungsi pemastian (assurance). 2. Istilah tata kelola memiliki beragam definisi tergantung pada berbagai keadaan lingkungan, struktural, dan budaya, serta kerangka hukum. Standar mendefinisikan Tata Kelola sebagai: “Kombinasi proses dan struktur yang diterapkan oleh Dewan untuk menginformasikan, mengarahkan, mengelola, dan memantau kegiatan organisasi dalam rangka pencapaian tujuan.” CAE dapat menggunakan definisi yang berbeda untuk tujuan audit apabila organisasi telah mengadopsi kerangka atau model tata kelola yang berbeda. 3. Secara global, terdapat berbagai model tata kelola yang telah diterbitkan oleh organisasi lain serta badan regulator tertentu. Sebagai contoh, Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan tata kelola sebagai: “… satu set hubungan antara manajemen perusahaan, dewan, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan menyediakan struktur bagi penetapan tujuan perusahaan dan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan serta pemantauan kinerjanya.” The Australian Securities Exchange Corporate Governance Council mendefinisikan tata kelola sebagai: “. … sistem dimana perusahaan diarahkan dan dikelola. Ini mempengaruhi bagaimana tujuan perusahaan ditetapkan dan dicapai, bagaimana risiko dipantau dan dinilai, dan bagaimana kinerja dioptimalkan”. Dalam banyak kasus, ada indikasi bahwa tata kelola adalah 21 sebuah proses atau sistem, dan tidak bersifat statis. Apa yang membedakan pendekatan dalam Standar adalah penekanan khusus di Dewan dan kegiatan tata kelola mereka. 4. Kerangka kerja dan prasyarat bagi tata kelola dapat bervariasi antara organisasi satu dengan yang lain tergantung jenis organisasi dan regulasi terkait. Contohnya perusahaan publik, organisasi nirlaba, asosiasi, pemerintahan, lembaga akademik, perusahaan swasta, komisi, dan bursa efek akan dapat memiliki tata kelola yang berbeda-beda. 5. Demikian pula, desain organisasi dan praktik prinsip-prinsip tata kelola yang efektif juga dapat bervariasi tergantung pada kompleksitas, ukuran, dan siklus kematangan hidup organisasi, struktur pemangku kepentingan, persyaratan hukum dan budaya, dan lain-lain. 6. Sebagai konsekuensi dari desain dan struktur tata kelola yang bervariasi tersebut, CAE harus bekerja dengan Dewan dan manajemen eksekutif, untuk menentukan bagaimana tata kelola harus didefinisikan untuk tujuan audit. 7. Audit internal merupakan bagian integral dari kerangka tata kelola organisasi. Posisi mereka yang unik dalam organisasi memungkinkan auditor internal untuk mengamati dan menilai secara formal struktur tata kelola, desain, serta efektivitas operasionalnya, dengan tetap independen. 8. Hubungan antara tata kelola, manajemen risiko, dan pengendalian internal harus dipertimbangkan. Masalah tersebut dibahas dalam PA 2110 - 2. Sedangkan PA 2110-3 membahas penilaian tata kelola. 22 2.4. Manajemen Risiko (Risk Management) 2.4.1. Pengertian Menurut Smith, 1990 Manajemen Resiko didefinisikan sebagai proses identifikasi, pengukuran, dan kontrol keuangan dari sebuah resiko yang mengancam aset dan penghasilan dari sebuah perusahaan atau proyek yang dapat menimbulkan kerusakan atau kerugian pada perusahaan tersebut. 2.4.2. Pengertian Menurut Clough dan Sears, 1994 Manajemen risiko didefinisikan sebagai suatu pendekatan yang komprehensif untuk menangani semua kejadian yang menimbulkan kerugian. Menurut William, et.al.,1995,p.27 Manajemen risiko juga merupakan suatu aplikasi dari manajemen umum yang mencoba untuk mengidentifikasi, mengukur, dan menangani sebab dan akibat dari ketidakpastian pada sebuah organisasi. Dorfman, 1998, p. 9 Manajemen risiko dikatakan sebagai suatu proses logis dalam usahanya untuk memahami eksposur terhadap suatu kerugian. Tindakan manajemen resiko diambil oleh para praktisi untuk merespon bermacam-macam resiko. Responden melakukan dua macam tindakan manajemen resiko yaitu mencegah dan memperbaiki. Tindakan mencegah digunakan untuk mengurangi, menghindari, atau mentransfer resiko pada tahap awal proyek konstruksi. Sedangkan tindakan memperbaiki adalah untuk mengurangi efek-efek ketika resiko terjadi atau ketika resiko harus diambil (Shen, 1997). 23 Manajemen resiko adalah sebuah cara yang sistematis dalam memandang sebuah resiko dan menentukan dengan tepat penanganan resiko tersebut. Ini merupakan sebuah sarana untuk mengidentifikasi sumber dari resiko dan ketidakpastian, dan memperkirakan dampak yang ditimbulkan dan mengembangkan respon yang harus dilakukan untuk menanggapi resiko (Uher,1996). 2.4.3. Pendekatan Manajemen Risiko Pendekatan sistematis mengenai manajemen risiko dibagi menjadi 3 stage utama, yaitu (Soeharto, 1999): 1. Identifikasi resiko 2. Analisa dan evaluasi resiko 3. Respon atau reaksi untuk menanggulangi resiko tersebut 2.4.4. Manfaat Manajemen Risiko Manfaat yang diperoleh dengan menerapkan manajemen resiko antara lain (Mok et al., 1996) berguna untuk mengambil keputusan dalam menangani masalah-masalah yang rumit seperti hal – hal berikut : a. Memudahkan estimasi biaya. b. Memberikan pendapat dan intuisi dalam pembuatan keputusan yang dihasilkan dalam cara yang benar. c. Memungkinkan bagi para pembuat keputusan untuk menghadapi resiko dan ketidakpastian dalam keadaan yang nyata. 24 d. Memungkinkan bagi para pembuat keputusan untuk memutuskan berapa banyak informasi yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah. e. Meningkatkan pendekatan sistematis dan logika untuk membuat keputusan. f. Menyediakan pedoman untuk membantu perumusan masalah. g. Memungkinkan analisa yang cermat dari pilihan-pilihan alternatif. Menurut Darmawi, (2005, p. 11) Manfaat manajemen risiko yang diberikan terhadap perusahaan dapat dibagi dalam 5 (lima) kategori utama yaitu : a. Manajemen risiko mungkin dapat mencegah perusahaan dari kegagalan. b. Manajemen risiko menunjang secara langsung peningkatan laba. c. Manajemen risiko dapat memberikan laba secara tidak langsung. d. Adanya ketenangan pikiran bagi manajer yang disebabkan oleh adanya perlindungan terhadap risiko murni, merupakan harta non material bagi perusahaan itu. e. Manajemen risiko melindungi perusahaan dari risiko murni, dan karena kreditur pelanggan dan pemasok lebih menyukai perusahaan yang dilindungi maka secara tidak langsung menolong meningkatkan public image. Manfaat manajemen risiko dalam perusahaan sangat jelas, maka secara implisit sudah terkandung didalamnya satu atau lebih sasaran yang akan dicapai manajemen risiko antara lain sebagai berikut ini (Darmawi, 2005, p. 13). a. Survival b. Kedamaian pikiran c. Memperkecil biaya 25 d. Menstabilkan pendapatan perusahaan e. Memperkecil atau meniadakan gangguan operasi perusahaan f. Melanjutkan pertumbuhan perusahaan g. Merumuskan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap karyawan dan masyarakat. 2.5. Pengendalian (Control) 2.5.1. Pengertian Menurut George E. Bennett Sistem pengecekan internal bisa didefinisikan sebagai koordinasi dari sistem akun – akun dan prosedur perkantoran yang berkaitan sehingga seorang karyawan selain mengerjakan tugasnya sendiri juga secara berkelanjutan mengecek pekerjaan karyawan yang lain untuk hal – hal tertentu yang rawan kecurangan. Pada tahun 1949 laporan khusus berjudul “Kontrol Internal – Elemen-elemen Sistem yang Terkoordinasi dan Pentingnya Kontrol bagi Manajemen dan Akuntan Independen”, oleh Komite Prosedur Audit Lembaga Amerika untuk Akuntan Publik Bersertifikat (AICPA) memperluas definisi kontrol internal menjadi : Kontrol internal berisi rencana organisasi dan semua metode yang terkoordinasi dan pengukuran – pengukuran yang diterapkan di perusahaan untuk mengamankan aktiva, memeriksa akurasi dan keandalan data akuntansi, meningkatkan efisiensi operasional, dan mendorong ketaatan terhadap kebijakan manajerial yang tetap ditetapkan. Definisi ini mungkin lebih luas daripada pengertian yang kadang – kadang disebutkan untuk istilah 26 – istilah tersebut. Jadi sistem kontrol internal melampaui hal – hal tersebut yang secara langsung terkait dengan fungsi departemen akuntansi dan keuangan. 2.5.2. Pengertian Menurut COSO Committee of Sponsoring Organization of The Treadway Commission (COSO) pada tahun 1992 mengeluarkan definisi tentang pengendalian internal. Definisi COSO tentang pengendalian intern sebagai berikut: Internal control is process, affected by entility’s board of directors, management and other personnel, designed to provide reasonable assurance regarding the achievement of objectives in the following categories: a. Effectiveness and efficiency of operations b. Realibillty of Financial Reporting c. Compliance with Applicable laws and regulations Atau terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut : sistem pengendalian internal merupakan suatu proses yang melibatkan dewan komisaris, manajemen, dan personil lain, yang dirancang untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga tujuan berikut ini: a. Efektivitas dan efisiensi operasi b. Keandalan pelaporan keuangan c. Kepetuhan kerhadap hukum dan peraturan yang berlaku). COSO memandang pengendalian internal merupakan rangkaian tindakan yang mencakup keseluruhan proses dalam organisasi. Pengendalian internal 27 berada dalam proses manajemen dasar, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan. Pengendalian bukanlah sesuatu yang ditambahkan dalam proses manajemen tersebut, akan tetapi merupakan bagian integral dalam proses tersebut. Komponen pengendalian intern menurut COSO adalah : 1. Lingkungan pengendalian (control environment). Faktor-faktor lingkungan pengendalian mencakup integritas, nilai etis, dan kompetensi dari orang dan entitas, filosofi manajemen dan gaya operasi, cara manajemen memberikan otoritas dan tanggung jawab serta mengorganisasikan dan mengembangkan orangnya, perhatian dan pengarahan yang diberikan oleh dewan direksi. 2. Penaksiran risiko (risk assessment). Mekanisme yang ditetapkan untuk mengindentifikasi, menganalisis, dan mengelola risiko-risiko yang berkaitan dengan berbagai aktivitas di mana organisasi beroperasi. 3. Aktivitas pengendalian (control activities). Pelaksanaan dari kebijakankebijakan dan prosedur-prosedur yang ditetapkan oleh manajemen untuk membantu memastikan bahwa tujuan dapat tercapai. 4. Informasi dan komunikasi (information and communication). Sistem yang memungkinkan orang atau entitas, memperoleh dan menukar informasi yang diperlukan untuk melaksanakan, mengelola, dan mengendalikan operasinya. 5. Pemantauan (monitoring). Sistem pengendalian internal perlu dipantau, proses ini bertujuan untuk menilai mutu kinerja sistem sepanjang waktu. Ini dijalankan melalui aktivitas pemantauan yang terus-menerus, evaluasi yang terpisah atau kombinasi dari keduanya. 28 2.5.3. Pengertian Menurut Ramlie R. Mertawidjaja Menurut Ramlie R. M (1980), dalam perusahaan besar, aspek akunting dari pengendalian oleh manajemen sebagaimana telah diuraikan di muka, harus dipusatkan di bawah pertanggung jawaban seorang pejabat controller, atau sering juga disebut comptroller, dengan kualifikasi sebagai berikut : a. Memiliki pengetahuan yang luas mengenai semua prinsip dan prosedur akunting b. Telah cukup terlatih dalam bidang – bidang lain perusahaan c. Memiliki pengetahuan umum mengenai bidang industri perusahaan tempat ia bekerja d. Mempunyai pengetahuan terperinci mengenai perusahaan tempat ia bekerja e. Mengerti fungsi – fungsi manajemen f. Telah biasa menghadapi masalah – masalah yang menyangkut produksi, distribusi, manajemen kepegawaian, dan permodalan g. Cukup cakap dalam menganalisa dan menyimpulkan data akunting dan data lainnya. Seorang controller menduduki posisi sebagai staf pimpinan. Ia memberikan nasihat – nasihat kepada pimpinan perusahaan, akan tetapi kecuali di dalam departemennya, ia tidak memiliki garis wewenang atas operasi perusahaan. Controller bertanggung jawab atas pekerjaan perkantoran di semua bagian perusahaan; termasuk di dalamnya adalah pekerja kesekretariatan dan pekerja lain, serta aktivitas seperti pengiriman surat dan komunikasi lainnya. Ia memiliki wewenang fungsional atas aktivitas pencatatan pada departemen – departemen 29 lain. Misalnya, ia dapat menetapkan pencatatan akunting yang harus dijalankan pada suatu cabang perusahaan di mana para pegawai akuntingnya berada langsung di bawah pengendalian manajer cabang. Fungsi controller berbeda antara satu perusahaan dan perusahaan lainnya. Pada suatu perusahaan ruang lingkup aktivitasnya mungkin luas, sedangkan pada perusahaan lainnya mungkin sangat terbatas. Controller ini biasanya bertanggung jawab atas perencanaan dan bekerjanya seluruh pekerjaan akunting, serta penyusunan dan interpretasi atas laporan keuangan, dan laporan – laporan lainnya. Ia beserta para asistennya mempersiapkan atau membantu dalam penyusunan standar – standar biaya, perkiraan penjualan, anggaran, dan rencana – rencana penanaman modal. Ia melakukan pengukuran pelaksanaan standar atau anggarannya, dan menerbitkan laporan – laporan serta pendapatnya mengenai pelaksanaan tersebut kepada semua tingkat manajemen. Ia harus memperoleh keyakinan bahwa prosedur – prosedur yang ada telah diikuti secara efektif didalam pencapaian tujuan – tujuan manajemen. Ia juga bertanggung jawab atas semua laporan yang diperlukan oleh badan – badan pemerintah, dan untuk hal – hal yang berhubungan dengan masalah perpajakan. Pada umumnya ia bertanggung jawab atas pengendalian dan melindungi segenap aktivitas perusahaan. Kewajiban – kewajiban ini menyangkut penciptaan dan pemeliharaan atas pengendalian intern dan pemeriksaan intern. Tergantung pada status dan sifat pertanggung jawabannya dalam perusahaan, controller harus melaporkan hasil pekerjaannya kepada direktur keuangan ataupun kepada bendahara. Dalam suatu perusahaan mungkin pula 30 controller menjabat sebagai direktur keuangan atau bahkan sebagai anggota kelompok manajemen tingkat atas. Apabila ia dibebani semua pengendalian manajemen, maka pertanggung jawabannya akan lebih luas lagi dan tidak terbatas hanya kepada pertanggung jawaban yang berhubungan dengan masalah akunting saja. 2.5.4. Prinsip Pengendalian Internal Prinsip umum pengendalian internal harus senantiasa digunakan sebagai dasar dalam membuat rancangan prosedur – prosedur akunting dalam menjalankan perusahaan. Suatu sistem pengendalian intern yang kuat dapat disusun apabila perusahaan sudah cukup besar. Apabila dalam suatu perusahaan hanya mimiliki sedikit pegawai dengan kualiatas yang cukup, maka pengendalian internalnya akan menjadi lemah, sehingga manajemen perlu memberikan lebih banyak perhatian yang bersifat langsung. Hal - hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut : 1. Struktur Organisasi. Struktur organisasi perlu dirancang sedemikian rupa, sehingga pegawai dapat dimanfaatkan sebaik – baiknya dan sekalian dapat pula meningkatkan pengendalian internal melalui suatu pembagian kerja yang selaras menurut divisi – divisi yang ada dalam perusahaan. Tidak baik jika hanya satu orang pegawai saja dibebani tugas yang lengkap atas setiap transaksi perusahaan ataupun lingkaran operasi perusahaan. Sedikitnya harus ada dua orang pegawai yang dilibatkan di dalamnya, sehingga pada titik 31 pengecekan tertentu pekerjaan mereka dapat diperiksa. Contoh mengenai hal ini yaitu mengenai perkiraan pengendalian dan buku tambahan. Apabila terjadi suatu kesalahan yang tidak disengaja, maka ketidak sesuaian pada titik pengecekan akan mengundang perhatian atas kesalahan tersebut, sehingga penyebabnya dapat ditemukan lalu diperbaiki. Apabila seorang pegawai melakukan suatu kecurangan, ketidak – sesuaian pada titik pengecekan akan mengarah kepada pembuktian kecurangan itu. Dan apabila sampai dapat terjadi persekongkolan antara beberapa orang pegawai dengan tujuan yang kurang baik, sedangkan tindak – tanduknya itu tidak dapat diperiksa melalui prosedur yang telah ditetapkan, maka sistem perusahaan yang bersangkutan perlu diperbaiki kembali. Beberapa cara pengendalian manajemen misalnya internal auditing, akan dapat menjalankan tugasnya untuk melakukan penilaian kembali sistem pengendalian internal guna menetapkan apakah sistem ini sesuai dengan rancangan dan berfungsi menurut rencananya. 2. Pemeliharaan pertanggung jawaban. Pemeliharaan atas pertanggung jawaban atau pertanggung jawaban yang berjalan harus dipisahkan dari akunting untuk pertanggung jawaban tersebut. Misalnya, seorang pegawai yang menerima uang kontan dari langganan sebagai pembayaran hutangnya tidak boleh membukukannya sendiri ke dalam perkiraan – perkiraan buku besar piutang. Bila pegawai tersebut seorang yang dibayar menurut sistem penggajian insentif, maka ia 32 jangan dijadikan satu – satunya pegawai yang melaporkan kuantitas dan kualitas pekerjaan yang telah diselesaikannya. 3. Peralatan mekanik. Peralatan mekanik harus diadakan menurut rencana dan setiap formulir harus dirancang demikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan guna menjaga kekayaan perusahaan semaksimal mungkin. Misalnya, register kas sangat membantu dalam menjaga uang tunai. Mesin – mesin pembukuan dapat membantu terjaminnya kebenaran pencatatan, dan mesin hitung mekanik serta mesin sejenis lainnya dapat diandalkan kebenaran data kuantitatif yang diberikannya. Ruangan kasir yang tersendiri dan diberi ruji besi serta ruang penyimpanan uang yang terkunci dapat mencegah pencurian. Setiap formulir harus dirancang demikian rupa, sehingga kelengkapannya dapat menciptakan pengecekan secara otomatis atas data yang disajikan. Formulir yang sudah bernomor urut (prenumbered forms), blanko pengecekan, order pembelian, dan formulir tertentu lainnya juga merupakan alat pengendalian dan memungkinkan menetapkan tanggung jawab setiap orang yang tersangkut dalam penggunaannya. Semua formulir tersebut harus tersimpan baik sampai penggunaannya. 4. Prosedur – prosedur. Semua prosedur dalam perusahaan harus dirancang sedemikian rupa, sehingga memudahkan pengecekan atas pekerjaan seorang pegawai dalam hubungan dengan tugas pegawai lainnya. Keharusan mencantumkan dua tanda tangan di atas check dan wesel dan persetujuan berganda atas setiap 33 transaksi penting sangat membantu pula dalam menciptakan pengendalian intern suatu perusahaan. Bukti – bukti pelengkap harus diberi tanda atau diperforasi untuk mencegah penggunaan berulang kali suatu dokumen tersebut untuk maksud – maksud yang tidak jujur misalnya dalam hal pembayaran uang atau pengiriman barang. Lakukanlah invetarisasi berkala atas semua barang dagangan, perlengkapan, peralatan, dan barang perusahaan lainnya untuk mengecek kebenaran pertanggungan jawab pegawai yang bersangkutan, atau untuk keperluan lainnya. Atur agar setiap pegawai mengambil kesempatan untuk cuti tahunan dan selama pegawai bersangkutan menjalani cutinya, serahkan fungsinya kepada orang lain, yang juga akan mengecek pekerjaan rekannya yang sedang cuti itu. Hindarkan penyimpangan – penyimpangan dari rutin pekerjaan yang telah berjalan tanpa melakukan penilaian atau pengaruhnya terhadap pengendalian internal. 5. Pemahaman atas sistem. Cara bekerjanya prosedur – prosedur yang telah dirancang harus dijelaskan kepada pegawai yang tersangkut di dalamnya sampai diperoleh keyakinan bahwa mereka memahami benar prosedur – prosedur tersebut. Setiap pegawai harus mengerti tugasnya, wewenangnya, dan pertanggung jawabannya menurut prosedur – prosedur yang telah ditentukan. Tahunya pegawai bahwa di dalam perusahaan ada pengendalian intern, dan bahwa manajemen sangat memperhatikan agar semua kebijaksanaan dan prosedur 34 dituruni sebagaimana mestinya, akan membantu dalam menacegah terjadinya kecerobohan atau kelalaian dan ketidakjujuran halangan mereka. 6. Pegawai yang cakap. Pegawai yang mempunyai kualitas bekerja yang baik, cukup terlatih, dan berpengalaman harus ditempatkan pada posisi yang berhubungan erat dengan pengendalian intern. Masing – masing posisi memerlukan keahlian yang berlainan serta tingkat – tingkat kemampuan. Setiap kebutuhan tersebut harus dipenuhi agar sistem pengendalian intern perusahaan dapat berjalan efektif. 7. Penilaian kembali dan penaksiran. Pengendalian yang dirancang dengan sangat berhati – hati pun perlu dinilai kembali secara berkala dan harus dilakukan penaksiran atasnya agara diperoleh keyakinan bahwa pengendalian tersebut berjalan sesuai rencana dan berfungsi dnegan baik. Hal ini merupakan fungsi manajemen yang terus – menerus, dan di dalam perusahaan besar pertanggungjawawaban ini biasanya sering didelegasikan kepada internal auditor. 2.5.5. Tujuan Pengendalian Internal Pengendalian intern dalam suatu perusahaan dilakukan agar tujuan perusahaan dapat dicapai dan penyelewengan dapat dihindari. Dalam pengendalian aktivitas perusahaan yang telah dilakukan oleh suatu unit usaha dalam hal yang menghasilkan sesuatu dapat dibandingkan dengan apa yang telah dihasilkan. Dengan adanya suatu perencanaan kita dapat mengetahui apakah 35 pengkoordinasian kegiatan-kegiatan telah dapat menghasilkan sesuatu yang baik dan memuaskan sesuai dengan waktu pekerjaan yang telah ditetapkan dapat dicapai. Dengan demikian kegiatan dalam perusahaan harus diarahkan untuk menjamin adanya koordinasi dan kontinuitas kegiatan dari perusahaan. Jadi secara umum pengendalian berarti mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu menerapkan tindakan-tindakan korektif, sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana. Pengendalian intern menekankan tujuan yang hendak dicapai oleh perusahaan dan bukan pada unsur-unsur yang membentuk sistem tersebut. Dengan demikian, pengertian pengendalian intern tersebut diatas berlaku baik dalam perusahaan yang mengolah informasi secara manual, dengan mesin pembukuan maupun dengan komputer. 2.5.6. Pentingnya Pengendalian Internal Kerugian yang menimpa banyak perusahaan di Amerika Serikat akibat ketidak jujuran pegawainya diperkirakan terus meningkat sampai mencapat jutaan dolar dalam setahun. Memang tidak mungkin mengestimasi kerugian mereka dari tahun ke tahun akibat kecerobohan dan kurang baiknya pemanfaatan waktu, akan tetapi banyak indikasi menunjukkan bahwa jumlahnya sangatlah mengejutkan. Berkenaan dengan prinsip pengendalian internal dalam akunting dan dalam pengendalian manajemen lainnya maka kerugian – kerugian tersebut kiranya dapat dihentikan. Ketidak jujuran pegawai yang tidak kentara sangat merugikan perusahaan, lebih merugikan daripada pegawai yang curang akan tetapi tertangkap 36 dan bahkan dihukum. Apabila pegawai yang melakukan kecurangan tidak segera dideteksi, ia akan cenderung melakukan kecurangan – kecurangan lainnya, dan dapat mengakibatkan melemahnya karakter / moral di antara para pegawai. Manajemen perusahaan harus memiliki tanggung jawab yang serius atas para pegawainya, agar mereka tetap bersikap jujur, yaitu dengan menciptakan dan memelihara sistem pengendalian internal sebagaimana seharusnya. Auditor internal mungkin tidak sepenuhnya memahami sistem operasi, dan kalaupun mereka memahami, mereka mungkin tidak bisa menilainya secara objektif. Tetapi auditor internal dididik untuk bisa mengevaluasi sistem kontrol secara objektif. Hal ini masih bisa dipahami dan diperiksa auditor internal. Pengetahuan ini merupakan “pintu masuk” bagi auditor internal. Metode tersebut merupakan bagian dari sistem operasi yang bersifat teknis dan mungkin berada di luar pemeriksaan audit. Tetapi auditor internal yang profesional akan menghadapi hanya sedikit kesulitan dalam mengevaluasi sistem kontrol produksi yang dirancang untuk melihat apakah produksi mencapai tujuannya. Lebih lanjut, jika klien memandang mereka sebagai wakil manajemen tingkat tinggi – seseorang yang mengetahui apa yang diperhatikan dan dikhawatirkan, seseorang yang memahami kebijakan umum dan prosedur yang ditetapkan manajemen puncak, seseorang yang memiliki pengalaman dalam memeriksa kontrol atas beberapa kegiatan operasi lainnya di perusahaan, seseorang yang mungkin bisa berbagi pemahaman mengenai kontrol internal, seseorang yang mungkin bisa memberi tahu celah kelemahan dan tidak melakukan inspeksi mendadak yang tidak disukai – maka klien akan mulai 37 menghargai auditor interal sebagai rekan kerja dan bukan polisi, konsultan bisnis yang konstruktif dan bukan sebuah ancaman, evaluator yang berorientasi manajemen dan bukan seorang pencari kesalahan. 2.5.7. Hubungan Presedur Akunting dan Pengendalian Internal Di dalam perusahaan akuntan termasuk staf tetapi dalam fungsinya ia tidak memiliki wewenang operasi atau pertanggung jawaban. Ia menghimpun semua informasi yang diterimanya dari bagian – bagian lain di dalam organisasi. Ia mencatat, membuat ikhtisar – ikhtisar, dan menganalisa data tersebut, lalu melaporkan hasil analisanya kepada pegawai manajemen yang berkepentingan. Dalam menjalankan tugasnya itu, akuntan memperbandingkan hasil – hasil operasi yang dilaporkan oleh pegawai bagian yang berlainan itu dan mengecek persesuaiannya pada titik pengendalian tertentu. Ia meneliti dan melaporkan pos – pos tertentu yang memerlukan perhatian manajemen, akan tetapi ia tidak dapat memberikan perintah kepada pegawai pelaksana atau memaksakan diri melakukan pengendalian secara pribadi. Pencatatan akunting harus mengikuti struktur organisasi perusahaan. Pemeliharaan atas barang perusahaan harus ditetapkan terpisah dari akunting, dan wewenangnya harus pula dipisahkan. Pertanggung jawaban dari berbagai pegawai harus sering dipertanyakan atau diingatkan, sehingga gambaran akunting dapat mengukur kelengkapan pertanggung jawaban tersebut. Hal ini akan menciptakan jalan ke arah pengendalian, tetapi bukan merupakan pengendalian itu sendiri. Perlu digaris bawahi, bahwa pengendalian hanya dapat diuji oleh manusia, bukan 38 berdasarkan gambaran yang diberikan akunting perusahaan. Namun demikian, anggota manajemen yang bertanggung jawab untuk menguji pengendalian, akan sangat dibantu oleh kelayakan pencatatan dan laporan akunting. Kemungkinan pengendalian tersebut dapat dijelaskan dan ditunjukkan oleh akuntan kepada manajemen, bahkan dengan cara “mendesak” manajemen supaya memanfaatkannya. Untuk menjaga agar pencatatan selalu jelas dan efektif, maka akuntan harus dapat memahami aktivitas – aktivitas fisik perusahaan, sifat dan pemanfaatan semua barang perusahaan. Ia harus mengerti hasil – hasil produksinya, kegunaannya, dan saluran distribusinya. Ia harus menggunakan akal sehatnya dalam menciptakan pencatatan dan laporan akunting dan harus menguji kegunaan bagi perusahaan dengan jalan membandingkannya terhadap biaya. Akuntan harus memiliki suatu tingkat kebebasan yang cukup besar dalam mengelola pencatatan, sehingga catatan – catatan tersebut akan benar – benar menggambarkan fakta – fakta tentang hidup perusahaan. Pencatatan tersebut harus menunjang tujuan manajemen, akan tetapi tidak boleh dimanipulasi hanya untuk mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan oleh manajemen saja. Akuntan tidaklah dapat menciptakan suatu situasi, atau merubah suatu suatu situasi tertentu sesuai dengan keinginannya; ia hanya berusaha melaporkan situasi tersebut secermat mungkin. Seringkali terdapat suatu kecenderungan pada manajemen untuk tidak menyukai atau menaruh prasangka kepada orang yang menyusun suatu laporan dalam keadaan perusahaan tidak menguntungkan. Bila demikian halnya, maka 39 akan terdapat kemungkinan timbulnya usaha untuk merubah laporan tersebut agar menyajikan gambaran yang lebih baik dan tidak memusatkan perhatian untuk memperbaiki situasi yang tidak menguntungkan itu sendiri. Prosedur – prosedur yang berhubungan dengan akunting sering dapat menciptakan cara untuk menguji berjalannya suatu pengendalian. Berbagai persetujuan, tanda tangan berganda atas cek dan dokumen penting lainnya, merusak dokumen – dokumen pelengkap untuk menghidarkan terjadinya dua kali pembayaran, pemberian nomor urut terlebih dahulu atas formulir – formulir adlaah merupakan alat penguji pengendalian. 2.6. Hubungan Internal Auditor dalam Industri Perbankan 2.6.1 Maksud dan Tujuan Audit Bank Menurut Teguh Pudjo Muljono (1994), pada awalnya maksud dan tujuan audit yaitu untuk mengetahui kekayaan yang diinvestasikan oleh para pemilik modal apakah mengalami perkembangan atau kemunduran. Dengan semakin besar dan semakin kompleknya suatu kegiatan bank, maka konsepsi dari audit itu sendiri juga mengalami perkembangan, sehingga maksud dan tujuan yang akan dicapainya juga mengalami perkembangan pula. Tujuan audit yang pokok adalah untuk memberikan jasa kepada manajemen yang bersifat protektif dan konstruktif. Sifat protektif daripada kegiatan audit dapat berupa antara lain : 1. Pengamanan atas harta kekayaan bank, dalam pengertian di sini tentu termasuk pula pengamanan atas aset / aktiva / harta bank itu sendiri, atas pendapatan bank dalam segala bentuk yang seharusnya diterima dalam 40 jumlah dan waktu yang semestinya. Biaya – biaya upah yang dibayarkan apakah telah sesuai juga dalam jumlah dan waktu yang semestinya, juga apakah hutang – hutang telah ditetapkan dalam jumlah dan waktu yang semestinya pula. Unsur waktu ketepatannya sangat penting karena bank sebagai pedagang uang, dengan terlambatnya suatu pendapatan bank akan rugi bunga selama jangka waktu tersebut dikalikan dengan nominalnya. Jadi sifat pengamanan di sini yaitu berupa kegiatan pencegahan (preventive) dalam mengamankan harta kekayaan bank yang bersangkutan. 2. Penjagaan harta kekayaan lebih bersifat aktif oleh karena itu lebih cocok dikatakan sebagai upaya penjagaan harta kekayaan dalam bentuk represif. 3. Dipatuhinya kebijakan manajemen yang telah ditetapkan untuk menghindarkan penyimpangan - penyimpangan, baik dilakukan oleh pihak internal maupun pihak eksternal. Perlu kiranya diperhatikan disini bahwa pengertian penyimpangan tidak selalu berupa penyimpangan dan ada unsur – unsur kriminalitasnya (unsur pidananya), misalnya target yang ditetapkan dalam anggaran tidak dapat dicapai, kalau di bawah batas toleransi terendah (lower tolerance limit) tentu akan berupa penyimpangan yang kurang baik (unfavorable). 4. Bentuk lain dari sifat protektif ini yaitu menjaga kebenaran dan ketepatan data administrasi / management information system. Data administrasi yang benar dan tepat mempunyai arti yang sangat penting bagi bank, mengingat semua kegiatan perbankan berupa kegiatan administrasi (clerical works) sedangkan kegiatan yang berupa fisik sangat kecil. Di samping itu data 41 administrasi yang tepat dan benar ini tentu akan merupakan umpan balik yang sangat berharga dalam penjagaan dan pengamanan harta kekayaan bank. 5. Menilai apakah pengendalian internal (internal control) yang diterapkan dalam bank yang bersangkutan telah memadai atau tidak. Apabila diperhatikan lebih lanjut dari sifat audit yang berupa protektif ini ada 2 (dua) aspek yang tersangkut di dalamnya, yaitu usaha - usaha protektif dalam bentuk fisik. Memang idealnya auditor bank langsung menangani 2 (dua) aspek tersebut, namun apabila bank yang bersangkutan telah memiliki satuan satuan pengamanan yang memadai, maka fungsi pengamanan auditor dapat diarahkan ke bidang administratif (clerical works) saja. Tetapi walaupun demikian antara auditor dan satuan pengaman tersebut harus terdapat koordinasi dan program kerja yang seirama, serta adanya pembagian tugas dan tanggung jawab yang tegas di antara kedua – duanya. Sifat dari tujuan bank auditing yang lain yaitu dalam bentuk penyampaian jasa – jasa yang konstruktif kepada manajemen, antara lain berupa : 1. Penyampaian umpan balik untuk usaha perbaikan (corective action) atas penyimpangan – penyimpangan yang ditemukan selama pelaksanaan audit tersebut. Tujuan pemeriksaan ini erat kaitannya dengan penjagaan dan pengamanan harta bank, agar jangan sampai dirugikan. 2. Mendorong dicapainya target yang telah ditetapkan, hal ini dapat terlaksana karena dalam audit (operational audit / management audit) pihak bank auditor akan memeriksa / membuat evaluasi atas berbagai kegiatan manajemen bank yang bersangkutan antara lain Bank Environment Analysis 42 maupun Variance Analysis. Dari hasil evaluasi di sini akan diperoleh informasi apakah terdapat unfavorable variance dalam pelaksanaan anggaran bank yang bersangkutan? Kalau memang terdapat, auditor akan dapat memperingatkan manajemen bank yang bersangkutan untuk memacu usahanya / meningkatkan efisiensi usahanya untuk menghilangkan unfavorable variance yang ada tersebut. 3. Dari hasil auditnya juga akan diketahui strenghtness, opportunities, weaknesses, dan threats (titik – titik kekuatan, kesempatan, kelemahan, dan ancaman yang ada). Dari data / informasi inilah auditor yang bersangkutan dapat membuat rekomendasi kepada manajemen bank bagaimana untuk mempertahankan kekuatan – kekuatan yang telah dimiliki dari para pesaingnya. Rekomendasi untuk memanfaatkan opportunities / peluang – peluang usaha yang terbuka bagi bank yang bersangkutan dan rekomendasi untuk menyelesaikan / mengatasi berbagai kelemahan yang ditemukan agar jangan sampai menimbulkan kerugian – kerugian bagi bank, serta rekomendasi untuk menghindarkan ancaraman – ancaman yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kerugian pula bagi bank. 4. Dari berbagai saran tersebut tentunya akan memberikan dampak positif yaitu untuk meningkatkan profitability dan efektivitas / efisiensi usaha bank yang bersangkutan. Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan / audit tersebut tidaklah semata – mata ditujukan untuk mencari kesalahan seseorang / manajemen saja, tetapi mempunyai jangkauan yang lebih luas yaitu dalam bentuk penyampaian jasa – 43 jasa protektif dan konstruktif. Kesimpulan lain yang dapat diambil yaitu bahwa audit merupakan kegiatan yang diperlukan secar terus menerus walaupun dalam bank tersebut tidak terdapat penyimpangan – penyimpangan, tetapi audit tetap diperlukan untuk penyampaian jasa – jasa konstruktif dan protektif kepada manajemen bank. 2.6.2. Sasaran Audit Bank Menurut Teguh (1994), audit mencakup tiga ruang lingkup yaitu bidang finansial, bidang bank operation / bank performance, bidang bank management / bank policy. Mengingat dalam praktek antara ketiga jenis sasaran tadi agak sulit pemisahannya maka tata cara dan prosedur pemeriksaannya akan digabung menjadi suatu rangkaian investigasi untuk sekaligus dapat mengambil manfaat dari tiga ruang lingkup audit di atas yang satu sama lainnya akan mempunyai hubungan yang sangat erat. Di lain pihak apabila sasaran Bank Auditing ini ditinjau dari sudut kegiatan perbankan maka dapat dipisahkan juga menjadi lima ruang lingkup yaitu: 1. Audit bidang perkreditan. 2. Audit bidang jasa – jasa, dana, perdagangan luar negeri. 3. Audit bidang jasa – jasa, dana, perdagangan dalam negeri. 4. Audit bidang akuntansi. 5. Audit bidang – bidang personalia, sekretariat, perlengkapan. Teguh Pudjo Muljono (1994) juga membahas tentang Dimensi Auditor Bank di dalam bukunya ”Bank Auditing”, berikut ini adalah kutipannya : 44 A. Organisasi Auditor Bank Apabila dianalogikan layaknya sebuah kapal maka fungsi auditor adalah sebagai navigator yang akan menunjukkan arah kapal ke arah tujuan yang benar, sedangkan keputusan tetap ada pada nakhoda. Begitu juga di dalam dunia perbankan, auditor tidak mempunyai wewenang eksekutif untuk mengambil kebijaksanaan / keputusan yang menyangkut kegiatan bank yang bersangkutan dan wewenang untuk mengambil keputusan tetap ada pada manajemen bank yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan agar auditor tetap dapat melaksanakan tugasnya secara objektif dan independen, oleh karena itu ia harus bebas dari pekerjaan operasional yang rutin. Melihat adanya kekhususan tentang fungsi auditor maka kedudukan auditor dalam suatu organisasi perbankan sebaiknya merupakan suatu jalur karier yang terpisah dengan kegiatan perbangkan dan bertanggung jawab langsung kepada Dewan Komisaris yang mewakili para pemegang saham, dengan demikian tugas – tugas yang dilaksanakan oleh auditor betul – betul dapat memungkinkan untuk bertindak secara objektif dan independen seperti yang diharapkan. Sebagai konsekuensi maka para auditor tidak akan berpindah jalur ke karier sebagai banker tetapi sepanjang masa kerjanya tetap akan menjadi auditor, terkecuali kalau yang bersangkutan pindah pekerjaan. Model ini sudah tentu hanya dapat dipraktekkan pada organisasi bank yang cukup besar dan organisasinya pun telah terbina secara mantap. Keuntungan lain dari model organisasi ini, seluruh jenjang jabatan dalam bank tersebut dapat memungkinkan 45 diperiksa oleh auditor yang bersangkutan tanpa adanya kekhawatiran kariernya akan terancam. Kedudukan auditor dalam organisasi bank yang lainnya dapat berlangsung di bawah tanggung jawab Dewan Direksi Bank yang bersangkutan. Dalam model seperti ini ruang lingkup auditor tersebut sudah tentu terbatas, karena yang bersangkutan tidak lagi dapat melakukan fungsinya secara objektif dan independen terhadap manajemen puncak (top management) bank yang bersangkutan. Dalam bentuk ini maka sasaran audit hanya akan terbatas pada tingkat jabatan di bawah Direksi atau kegiatan dari cabang – cabang bank yang ada saja. B. Tanggung Jawab Auditor Atas Tindak Kecurangan Masalah lain yang perlu diperhatikan dalam organisasi auditor disini yaitu tanggung jawab auditor terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi. Pada dasarnya suatu penyimpangan adalah produk dari lemahnya sistem pengawasan yang ada. Hal tersebut sudah dimaklumi bahwa pengawasan pada hakekatnya merupakan salah satu fungsi dari manajemen. Oleh karena itu terjadinya penyimpangan tersebut merupakan tanggung jawab oknum yang bersangkutan serta tanggung jawab dari manajemen yang membawahinya. Andai kata auditor bank selama menjalankan tugasnya sudah melaksanakan norma – norma Pemeriksaan / Standar Audit yang berlaku pada bank yang bersangkutan, maka auditor akan bebas dari segala sanksi. Sebaliknya apabila auditor lalai dalam melaksanakan norma – norma Pemeriksaan / Standar Audit yang berlaku dan terjadi suatu penyimpangan yang menimbulkan kerugian bagi bank yang 46 bersangkutan, maka sudah sepantasnyalah apabila auditor juga harus mendapatkan sanksi atas kelalaiannya dalam menjalankan tugas tersebut. C. Kualifikasi Auditor Bank Melihat betapa beratnya tugas seorang auditor baik ditinjau secara moril maupun materiil, maka sebaiknya untuk menjabat sebagai Auditor bank perlu dituntut suatu kualifikasi yang tinggi, baik mengenai kecakapan teknisnya maupun moralitasnya. Secara konkrit auditor dituntut harus mempunyai pengetahuan yang lengkap dan up to date mengenai Banking Operation yang berlaku. Ia juga dituntut pengetahuan yang memadai tentang akuntansi dan hukum, begitu pula pengetahuan tentang ekonomi moneter dan pengetahuan manajemen serta pengetahuan – pengetahuan teknis lainnya yang erat hubungannya dengan kegiatan perbankan. Sedangkan syarat – syarat moralitas yang diperlukan auditor harus mempunyai dedikasi dan loyalitas pada profesinya yang cukup tinggi, di samping itu juga dituntut sifat – sifat kreatif, kritis, supel tetapi dapat memegang prinsip. D. Kode Etik Auditor Bank Agar kualifikasi auditor yang ada tersebut dapat terpelihara, maka perlu adanya kode etik Auditor bank. Telah kita pahami semuanya bahwa seorang Auditor bank dalam melaksanakan tugasnya sehari – hari akan selalu berhubungan dengan individu maupun kelompok individu, serta dihadapkan pula dengan berbagai permasalahan yang cukup rumit baik yang bersifat teknis maupun yang bersifat non teknis. Hal – hal yang bersifat teknis mungkin akan 47 mudah dipecahkan bila mendasarkan diri pada panduan audit (Audit Manual) yang telah ada. Lain halnya dengan masalah – masalah yang non teknis yang sulit untuk digeneralisasikan, karena menyangkut masalah – masalah yang bertalian dengan sikap mental, emosi, faktor – faktor psikologis, moral, karakter dan lain – lain yang satu sama lainnya akan mengalami perubahan – perubahan pada setiap situasi dan kondisi yang berbeda. Faktor – faktor non teknis disini ternyata pada situasi dan kondisi tertentu akan dapat mempengaruhi hasil kerja dari Auditor bank tersebut. Oleh karena itu untuk menjaga keserasian dan kelancaran tugas di satu pihak dan dalam menjaga kualitas kerjanya di lain pihak, dipandang perlu adanya suatu ketentuan yang mengatur sikap mental dan moral Auditor Bank selama menjalankan tugasnya guna mempertahankan standar yang tinggi mengenai kecakapan teknisnya, moralitasnya dan integritasnya. Auditor bank pelu dituntut melaksanakan kode etik yang cukup berat karena beberapa alasan berikut : 1. Bank beroperasi atas asas kepercayaan. Kepercayaan atas dana yang dititipkan kepada bank. Kepercayaan data – data keuangan milik masyarakat yang dikelola oleh bank yang bersangkutan dan lain – lain. Begitu pula kepercayaan dari bank kepada para nasabah yang memperoleh kredit dan seterusnya. Untuk memelihara tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi pelu juga dituntut karakter yang tinggi dari para pengelola bank termasuk para Auditor bank. 48 2. Adanya ketentuan perundang – undangan yang mengatur mengenai rahasia perbankan untuk melindungi para nasabah bank seperti pada butir pertama di atas. 3. Sebagai suatu pernyataan / jaminan kepada para pemakai laporan Auditor bank bahwa profesi tersebut akan memberikan perlindungan atas berbagai kepentingan. Kode etik ini merupakan pernyataan para profesional sebagai imbalan atas kepercayaan para pemakai laporan kepada Auditor bank dimana yang bersangkutan akan menerima dengan sadar kewajibannya untuk bertindak menggunakan cara – cara yang akan memberikan manfaat. 2.6.3. Sejarah dari Standar Internal Audit Bank merupakan suatu lembaga yang menjalankan kegiatan usaha yang memiliki karakter yang unik dibanding usaha lainnya. Bank adalah lembaga intermediasi yang mempertemukan pemilik dana dan pengusaha dana, bergantung kepada kepercayaan dan dana masyarakat, baik dari dalam maupun luar negeri sehingga bank harus memberi prioritas utama dalam pengamanan dana masyarakat karena dana yang dititipkan masyarakat lebih besar dari modal yang disetor oleh pemilik bank (Tjukria dalam Endang, 2010). Menurut Bank Indonesia (1999), peran audit intern dalam industri perbankan dan perusahaan terbuka, yang keduanya berkaitan dengan dana masyarakat sangat diandalkan oleh para stakeholder yaitu pemegang saham, komisaris, nasabah, manajemen dan pemerintah. Audit intern oleh stakeholder dituntut untuk membantu dalam menjaga keamanan dana para investor, memastikan keandalan laporan keuangan, 49 meningkatkan efektivitas pengendalian internal, dan membantu komisaris (komite audit) dalam melakukan pengawasan (oversight) serta mendorong organisasi mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan Basel Committee (2001) yang menyatakan bahwa bank harus mempunyai fungsi internal audit yang permanen disesuaikan dengan volume dan sifat dari aktivitas bisnisnya. Di dalam penelitian Endang (2010) dijelaskan bahwa sebagai suatu profesi, audit intern dalam melaksanakan fungsinya diatur dengan standar yang merupakan suatu pedoman. Bagi auditor intern yang bekerja pada sektor publik, biasanya diatur dengan pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintahan yang bersangkutan. Sebagai contoh, auditor internal pemerintah di Amerika Serikat (US) diatur dengan Government Auditing Standards (the Yellow Book) yang dikeluarkan oleh General Accounting Office. Auditor internal pemerintah di Inggris (UK) diatur dengan the HM Treasury’s Government Internal Audit Standards. Di Kanada, auditor internal pemerintah diatur dengan Comprehensive Auditing Manual yang dikeluarkan oleh the Office of the Auditor General. Sementara itu, bagi auditor intern yang bekerja pada sektor privat biasanya tidak terdapat pengaturan yang wajib harus diikuti sebagaimana halnya pada sektor publik. Dalam hal ini, prinsip-prinsip yang berlaku secara umum adalah prinsipprinsip profesi yang dikeluarkan oleh organisasi auditor intern yang telah diakui kredibilitasnya secara internasional, yaitu IIA (Setyo Wibowo, 2006). Berdasarkan data per April 2006 (dikutip dari Setyo Wibowo dalam Endang, 50 2010) IIA berpusat di US dan memiliki 90 cabang, 246 afiliasi, serta lebih dari 122.000 anggota yang tersebar di 160 negara. IIA mengeluarkan pedoman mengenai audit intern yang tertuang dalam the Professional Practices Framework (PPF). PPF ini mencakup Standards, Ethics, Practices Advisories dan Development and Practices Aids. Standards for the Professional Practices of Internal Auditing (SPPIA) yang merupakan bagian dari PPF telah menjadi standar acuan internasional dalam pelaksanaan fungsi audit internal sejak tahun 1978 dan merupakan pedoman yang wajib dilaksanakan oleh anggota IIA dan Certified Internal Auditor (CIA). Revisi terakhir dilakukan pada tahun 2003 yang berlaku mulai 1 Januari 2004. Standar dalam PPF yang terdiri Standar Atribut (Attribute Standards), Standar Kinerja (Performance Standards), dan Standar Penerapan (Implementation Standards) merupakan suatu kriteria dimana kegiatan departemen internal audit dievaluasi dan diukur. Standar ini diharapkan dapat mencerminkan praktik audit intern yang seharusnya dilakukan dan berlaku bagi semua profesi internal auditor. Pelaksanaan fungsi audit intern bank di Indonesia mengacu pada standar minimal yang wajib diterapkan yaitu Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank (SPFAIB) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) pada tahun 1999. SPFAIB disusun dengan mengacu pada SPPIA, namun sejak diterbitkan pada tahun 1999 sampai dengan saat ini SPFAIB belum pernah direview atau direvisi untuk mengakomodasi perkembangan fungsi audit intern sebagaimana telah dilakukan pada SPPIA. Pada umumnya bank-bank di Indonesia mempunyai departemen internal audit yang besarnya disesuaikan dengan volume atau aktivitas bisnisnya 51 sedangkan di luar negeri, untuk bank-bank yang berskala kecil sering kali fungsi audit intern dilakukan oleh pihak luar (outsourcing). Namun demikian pelaksanaan fungsi audit intern tetap harus dilakukan mengacu pada standarstandar yang ada dalam SPPIA. Bagi bank-bank di Indonesia yang berskala internasional (mempunyai cabang di luar negeri), standar yang harus diacu untuk pelaksanaan fungsi audit internalnya tidak hanya SPFAIB, tetapi juga harus mengacu pada standar profesi yang diakui secara internasional, yaitu SPPIA. Meskipun penerapan SPPIA sifatnya bukan mandatory bagi internal auditor yang bukan anggota IIA, namun penilaian kualitas dan kinerja internal audit masih didasarkan pada kesesuaiannya pada SPPIA. Disamping kuantitas jumlah internal auditor (ukuran besar kecilnya departemen internal audit, kualitas (kompetensi) auditor berupa pemahaman terhadap kode etik, standar, teknik dan pengetahuan yang diperlukan dalam aktivitas audit akan mempengaruhi pelaksanaan fungsi audit intern. Di antara salah satu kriteria kompetensi tersebut akan diuji melalui program sertifikasi profesi internal auditor. Hal ini ditegaskan dalam IIA (2004) interpretasi dari standar atribut 1230, yang antara lain menyebutkan bahwa untuk menunjukkan tingkat kecakapan internal auditor diwujudkan dengan melalui sertifikasi profesi yang sesuai. Sertifikasi internal auditor dapat dikategorikan dalam sertifikasi tingkat nasional dan tingkat internasional. Sertifikasi tingkat nasional antara lain Qualified Internal Auditor (QIA) yang diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan Internal Auditor (YPIA) dan Sertifikasi Profesi Audit Intern Bank oleh Badan Sertifikasi Nasional. 52 Sedangkan tingkat internasional antara lain Certified Internal Auditor (CIA), Certified Information System Auditor (CISA), Certified Banking Auditor (CBA) dan Certified Fraud Examiner (CFE). Walaupun tidak bersifat mandatory, beberapa perusahaan menyediakan anggaran biaya untuk melakukan sertifikasi untuk meningkatkan kompetensi staf di departemen internal audit sehingga diharapkan pelaksanaan fungsi audit intern dapat lebih efektif. Sebagai suatu profesi, internal audit juga mempunyai organisasi profesional. Organisasi profesional adalah suatu organisasi non-profit untuk suatu profesi tertentu yang bertujuan melindungi individu secara profesional maupun kepentingan publik. Organisasi profesional dapat memelihara atau mendorong anggotanya untuk melakukan praktik sesuai dengan standar. Saat ini organisasi profesional internal audit di tingkat internasional adalah The Institute of Internal Auditor (IIA), sedangkan untuk tingkat nasional ada beberapa organisasi profesi antara lain Asosiasi Auditor Internal (AAI), Forum Komunikasi Satuan Pengawasan Intern (FKSPI), Ikatan Auditor Perbankan Indonesia (IAPI). Penelitian berupa studi empiris mengenai tingkat kesesuaian pelaksanaan SPPIA masih terbatas. Pada umumnya penelitian yang ada berupa studi kasus pelaksanaan fungsi audit intern dalam satu perusahaan, sedangkan penelitian dengan studi empiris yang berkaitan dengan kesesuaian pelaksanaan fungsi audit intern bank di Indonesia dengan SPPIA belum pernah dilakukan. Penelitian berkaitan dengan kesesuaian pelaksanaan fungsi audit intern bank dengan SPPIA pernah dilakukan oleh James G. Johnston pada tahun 1982 yang meneliti mengenai kesesuaian penerapan internal audit bank pada bank-bank di Amerika 53 Serikat terhadap penerapan standar profesi internal auditor yang dikeluarkan tahun 1978 dan hubungannya dengan atribut bank. Dalam contoh kasus konkrit London and General Bank yang dikutip dari buku Cases and Materials in Company Law karangan L.S Sealy (No. 2), (1885, 2 B. 673), seorang auditor diminta untuk membayar kepada Official Receiver of the London and General Bank, yang perkaranya sedang diputuskan, sejumlah dividen tertentu yang dibayarkan atas dasar tidak dinyatakannya cadangan piutang tak tertagih dengan benar dalam neraca yang telah disertifikasi oleh auditor. Jika saja cadangan tersebut telah dibuat dengan benar, dividen yang dibayarkan tidak akan pernah dinyatakan. Dalam menyanggah sidang pengadilan dan pembelaan bahwa auditor tidak dapat dipersalahkan terhadap salah satu dari dividen tersebut, sidang banding menyatakan : Seorang auditor … tidak terikat untuk melakukan lebih dari melaksanakan perhatian dan keahlian yang wajar dalam memberikan pertanyaan – pertanyaan dan investigasi. Ia bukan seorang penjamin … Begitu yang saya tangkap dari tugas seorang auditor : ia harus jujur – bahwa ia harus tidak memberikan pernyataan atas apa yang ia anggap tidak benar, serta ia harus bertindak hati – hati dan dengan keahlian yang wajar sebelum ia yakin bahwa apa yang ia nyatakan adalah benar. Selama bertahun – tahun auditor internal telah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari transaksi – transaksi yang mencurigakan di dalam catatan – catatan keuangan. Hal ini berubah dengan perubahan ke arah audit 54 operasional. Keinginan untuk menunjukkan sisi konstruktif dari audit internal mengakibatkan kurang diberikannya perhatian pada kecurangan. Akhirnya gunung berapi bisnis pun meletus. Dalam aliran laharnya yang menghanguskan sejumlah perusahaan terdapat kecurangan – kecurangan besar seperti Equity Funding and National Student Marketing. Kewajiban para eksekutif perusahaan, anggota dewan, dan auditor eksternal menjadi semakin berat. perhatian pun mulai mengarah ke auditor internal – yang disebut-sebut sebagai “mata dan telinga dari manajemen.” Tanggung jawab auditor internal untuk mencegah dan mendeteksi penyelewengan telah dikaji ulang. Ia harus dinyatakan secara khusus. Hal ini bersamaan dengan dikeluarkannya Standards for the Professional Practice of Internal Auditing (Standar) pada tahun 1978. Dalam Standar 280, IIA menyatakan tanggung jawab berikut ini : Saat ini, Standar 1210.A2 (yang sekarang menjadi 1220) mencantumkan aspek Due Professional Care [Kecermatan dan Kesaksamaan Profesinal] sehubungan dengan tanggung jawab dari auditor internal dalam mendeteksi terjadinya kecurangan. Statement on Internal auditing Standards No. 3 memperluas tanggung jawab auditor internal yang berkenaan dengan kecurangan. Kesimpulan utama dari Pernyataan tersebut adalah : A. Pencegahan kecurangan Pencegahan kecurangan ini merupakan tanggung jawab manajemen. Auditor internal bertanggung jawab untuk memeriksa dan mengevaluasi 55 kecukupan dan efektivitas langkah – langkah tindakan yang telah diambil oleh manajemen untuk memenuhi kewajiban tersebut. B. Deteksi kecurangan Auditor internal sebaiknya memiliki cukup pemahaman tentang kecurangan untuk dapat mengidentifikasikan adanya indikasi bahwa kecurangan mungkin telah terjadi. Jika dideteksi adanya kelemahan signifikan dalam kontrol, pengujian tambahan yang dilakukan oleh auditor internal hendaknya meliputi pengujian yang diarahkan menuju identifikasi dari indicator – indicator kecurangan yang lain. Auditor internal tidak diharapkan untuk memiliki pengetahuan yang sama dengan seseorang yang tanggung jawab utamanya adalah untuk mendeteksi dan melakukan investgasi atas kecurangan. Begitu pula prosedur – prosedur audit sendiri, meskipun telah dilaksanakan dengan kesaksamaan profesional, tidak menjamin bahwa kecurangan akan terdeteksi. C. Investigasi kecurangan. Investigasi kecurangan dapat dilakukan oleh atau melibatkan partisipasi dari auditor internal, pengacara, investigator, petugas keamanan, dan ahli – ahli yang lain dari luar maupun dari dalam organisasi. Auditor internal hendaknya menentukan fakta – fakta yang berhubungan dengan seluruh investigasi kecurangan untuk : 1. Menentukan apakah kontrol perlu diimplementasikan atau diperkuat. 2. Merancang pengujian audit untuk membantu mengungkapkan eksistensi dari kecurangan – kecurangan yang serupa di masa yang akan datang. 56 3. Membantu memenuhi tanggung jawab auditor internal untuk memelihara pemahaman yang cukup mengenai kecurangan. Auditor bidang keuangan biasanya berhadapan dengan angka – angka, terkadang ia berhadapan pula dengan proses – proses manajemen. Auditor internal yang berorientasi pada manajemen berhadapan secara ekstensif dengan orang lain. Untuk memperoleh informasi yang mereka butuhkan dan untuk memastikan adanya tindakan perbaikan untuk temuan – temuan audit mereka, auditor internal harus mengembangkan dan memelihara hubungan baik dengan kliennya. Namun demikian, auditor internal dapat terombang – ambing oleh sasaran yang saling bertentangan dan tujuan yang benar – benar saling berlawanan. Masalah ini adalah masalah yang cukup rumit : (1) Di satu sisi, untuk mendapatkan kerja sama dari klien, namun di sisi lain, harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya kecurangan dan ketidakefisienan dan untuk mengungkapkannya ketika hal tersebut memang terbukti. (2) Di satu sisi, untuk mendapatkan keyakinan dari manajer operasional; namun di sisi lain, untuk mencatat adanya temuan – temuan penyimpangan di dalam sebuah laporan yang akan diberikan kepada atasan manajer tersebut. (3) Di satu sisi, digaji oleh direktur utama (CEO), namun di sisi lain, ia memberikan laporan kepada dewan komisaris akan adanya kelalaian di dalam perusahaan yang menjadi tanggung jawab penuh dari CEO tersebut. 57 2.6.4. Dampak dari Hubungan Auditor dengan Klien (Auditee) Berikut ini merupakan sebuah analogi yang dikutip dari buku Sawyer (2003) mengenai perbedaan sudut pandang antara auditor internal dengan kliennya (auditee) : Hubungan antara staf dengan karyawan lini secara inheren cenderung akan menemui konflik. Aspek dari kebanyakan staf operasi itu sendiri tidak disukai oleh karyawan lini. Staf biasanya memiliki usia lebih muda dan pada umumnya memiliki pendidikan formal yang lebih baik, lebih individualistis, sering kali menggunakan mode pakaian yang kasual untuk bisnis, serta memilih memberikan laporan kepada eselon yang lebih tinggi daripada karyawan lini. Menjadi seorang spesialis di bidangnya, para staf tersebut yakin bahwa jawaban yang diberikan adalah jawaban satu – satunya. Para staf cenderung meremehkan kesulitan yang dihadapi oleh para karyawan lini jika mereka diminta untuk melakukan sesuatu yang merupakan hasil pemikiran dari staf tersebut, sedangkan para karyawan lini mungkin merasa bahwa mereka harus menunjukkan kelemahan – kelemahan yang terjadi untuk membuktikan dirinya kepada manajemen senior. Pada akhirnya, mereka tidak harus mengimplementasikan rekomendasi yang telah mereka berikan. Dalam kondisi seperti ini, para karyawan lini kemungkinan akan memandang seorang staf dengan rasa benci. Aspek dari staf itu sendiri hanyalah satu alasan untuk kebencian; karyawan lini juga memiliki alasan untuk takut kepada staf. Mereka takut terlibat seperti tidak memiliki pemikiran untuk perbaikan. Mereka takut bahwa perubahan yang diusulkan 58 dapat merusak rutinitas yang mereka sukai dan kebersamaan yang telah ada. Mereka takut bahwa metode – metode yang direvisi dapat mengungkapkan ketidakefisienan dan/atau praktik – praktik terlarang. Dengan kata lain, mereka takut menghadapi perubahan. Aspek ini akan dibahas kemudian dengan lebih terinci. Dapat dianalogikan dalam hal ini auditor internal adalah staf dan para karyawan lini dalam artian ini adalah semua klien yang kemungkinan akan memandang auditor internal dengan cara pandang yang sama seperti mereka memandang seorang staf. Penelitian Mints dalam buku Sawyer (2003), mengumpulkan banyak bukti mengenai pentingnya pelaksanaan audit tanpa rasa permusuhan. Studi yang dilakukan meliputi pengujian – pengujian audit di mana beberapa tim audit menggunakan gaya yang dingin, superior, dan tanpa perasaan sedangkan beberapa tim yang lain menggunakan pendekatan yang partisipatif dan berdasarkan atas kerja sama tim. Setelah audit dilaksanakan, para klien diminta untuk mengevaluasi gaya dari setiap auditor – auditor tadi. Studi riset tersebut menunjukkan, bahwa hubungan yang buruk dapat menggagalkan sasaran audit sedangkan hubungan yang baik dapat membantu untuk mencapai sasaran audit tersebut. Seorang auditor yang menggunakan gaya yang “dingin dan berjarak” melaksanakan audit yang secara profesional dan dilihat dari segi teknis adalah sangat baik. Hal ini ditunjukkan oleh pekerjaan yang imajinatif dan memiliki potensi memberikan keuntungan. Namun, delapan bulan setelah audit selesai, organisasi yang beroperasi belum juga 59 mengimplementasikan rekomendasi audit. Para orang – orang operasional ternyata diam – diam tidak menyukai metode yang digunakan oleh auditor tersebut. Di sisi lain, di audit berikutnya (dimana digunakan pendekatan yang kooperatif) kontroler dari divisi yang diaudit memanggil direktur audit dan memberikan pujian seraya mengatakan bahwa para orang - orang operasional sangat antusias untuk mengimplementasikan saran - saran yang diberikan. Direktur audit yakin bahwa perbedaan gaya yang digunakan sangat berpengaruh atas dua hasil berbeda ini. Auditor internal sebaiknya tidak memiliki pemikiran bahwa status tinggi yang dimilikinya di dalam organisasi akan melindunginya dari dampak akibat hubungan auditor / klien yang buruk. Macher melaporkan studi tentang penyebab dilakukan pemecatan atau diminta untuk mengundurkan diri terhadap dua puluh satu (21) orang eksekutif. Alasan utama yang disebutkan adalah hubungan dengan orang lain yang buruk. Sedangkan tiga faktor yang paling sering disebukan adalah “tidak sensitif dengan perasaan orang lain”, “dingin / menjauhkan diri”, dan “mengingkari kepercayaan”. Sepertinya tidak diragukan lagi bahwa pekerjaan audit internal yang cerdas dan imajinatif saja, tidaklah cukup untuk memastikan perbaikan dari operasi. Klien harus berkeinginan untuk mengimplementasikan rekomendasi – rekomendasi audit. Oleh karena itu, gaya melakukan audit dapat menjadi sama pentingnya dengan kompetensi di bidang teknis. 60 2.6.5. Saran – saran untuk Memperbaiki Hubungan Auditor dengan Klien Hubungan antara auditor dengan klien dapat membaik jika auditor, yang ahli di bidang kontrol, menghargai perbedaan yang terjadi di antara kontrol yang diperintahkan dan kontrol yang ditentukan sendiri. Prinsip dari kontrol yang ditentukan sendiri mengharuskan agar sebuah kelompok staf tidak akan pernah menjadi instrumen dari penetuan kebijakan atau menjadi penghubung di mana prosedur – prosedur kontrol yang dikembangkan oleh eselon – eselon tingkat atas mengalir ke bawah sampai kepada para manajer dan karyawan operasional. Sebaliknya, auditor internal hendaknya bertindak dan dianggap sebagai sebuah saran untuk menyampaikan alasan dari prosedur – prosedur yang dibutuhkan. Auditor internal hendaknya membantu para manajer mengontrol diri mereka sendiri. Bantuan ini termasuk memberikan informasi kepada para karyawan operasional ketika mereka keluar batas, tetapi juga termasuk membantu mereka kembali ke jalur yang benar dan memotivasi mereka agar ingin melakukannya. Auditor internal berada di tengah – tengah. Di satu sisi, auditor internal berada di antara kontrol dari manajemen senior dan pada sisi lain juga sebagai pihak – pihak yang dikontrol. Cara auditor internal bertindak sebagai penyangga yang bermanfaat atau sebuah kekuatan yang mengikis dapat menentukan perbedaan antara suatu audit yang efektif dan tidak efektif. Menurut Sawyer (2003), ada beberapa hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan bagi auditor internal untuk menjalin hubungan yang baik dengan kliennya (auditee), yaitu umpan balik dari klien, sikap yang konsultatif kepada klien, pertimbangan 61 dampak audit, sudut pandang manajemen, dan cara menghadapi lawan yang tidak bersahabat. 2.6.5.1 Umpan Balik dari Klien Sebelum auditor internal dapat memperbaiki citra mereka di dalam organisasi, auditor internal harus mengetahui bagaimana cara orang lain memandang mereka. Ferrier dalam Sawyer (2003) mengusulkan adanya suatu penelaahan terhadap auditor internal oleh klien sebagai satu langkah yang dapat ditempuh ke arah peningkatan hubungan anatara klien dengan auditor. Melaporkan hasil dari umpan balik tersebut kepada auditor internal maupun manajemen senior akan membantu untuk memastikan akuntabilitas dari fungsi audit internal itu sendiri. Pelaporan umpan balik dapat memberikan keuntungan – keuntungan seperti : a. Suatu cara untuk menilai kinerja dari audit internal. b. Suatu cara untuk memperbaiki audit di masa depan dengan mengetahui bidang – bidang di dalam audit internal yang masih dapat ditingkatkan lagi. c. Suatu jalan untuk mendorong terciptanya hubungan yang harmonis dengan klien melalui suasana partisipatif yang lebih mendalam. d. Suatu cara untuk memperkecil konflik – konflik yang terjadi akibat dari sindrom “mereka dan kami” di mana klien terus berada dalam posisi bertahan terhadap para “mata – mata manajemen.” e. Suatu jalan untuk menyampaikan kepada klien beberapa masalah dan kendala yang dihadapi oleh auditor dalam mengevaluasi kenerja dari pihak lain. 62 Diharapkan melalui cara ini akan dihasilkan apresiasi yang lebih baik, dan perkenalan yang lebih dekat dengan fungsi audit internal. 2.6.5.2. Sikap yang Konsultatif kepada Klien (Auditee) Menurut Sawyer sebuah penyelesaian perilaku yang disukai untuk karyawan lini dan staf, dan begitu pula hubungan klien dengan auditor, adalah pengadopsian sikap yang konsultatif daripada sikap yang mengatur. Jika para staf spesialis, termasuk di antaranya auditor internal, ingin berhasil dalam mencapai sasaran mereka, mereka harus menunjukkan bahwa pengetahuan dan usaha yang mereka lakukan dapat memberikan keuntungan bagi para karyawan operasional. Dapat diambil kesimpulan bahwa partisipasi akan berhasil sedangkan pembebanan tidak akan berhasil untuk mencapai sasaran. Auditor internal harus menekankan peranan mereka yang konstruktif dan partisipatif kepada para manajer operasional. Hal ini menuntut adanya metode – metode yang inovatif dan berkelanjutan untuk menyampaikan pesan di atas kepada para karyawan operasional. Pentingnya persepsi yang tepat dari klien disorot dalam Comptroller General sebuah pernyataan yang dibuat oleh Elmer B. Staats pada tanggal 25 Juli 1978, yang disampaikan dalam sebuah komite kongres sehubungan dengan Inspector General (IG) Act tahun 1978. Saat ini, hubungan ganda antara auditor dan konsultan telah mendapatkan banyak perhatian. Dugaan akan hilangnya independensi dari auditor telah mengangkat kepala mereka. Akan tetapi, auditor internal yang piagam auditnya adalah untuk memberikan nilai tambah bagi organisasi hampir dipastikan tidak 63 dapat beroperasi hanya dalam kapasitasnya untuk memberikan assurance saja. Tidak dapat dihindari, auditor akan mengobservasi praktik – praktik yang perubahannya dapat menghemat biaya dari perbaikan operasional. Mengabaikan potensi keuntungan atas nilai ini adalah suatu tindakan yang tidak tepat. Konsekuensinya, auditor harus memasukkan mereka bersama – sama dengan temuan – temuang assurance yang mereka lakukan. Hal ini adalah sebuah konsultasi, namun bagaimanapun auditor dapat memberikan serangkaian rekomendasi untuk menghindari mereka bertidak di dalam kapasitas manajerial. Klien dapat dan akan memilih rekomendasi terbaik yang diterima atau, dengan studi lebih lanjut dari situasi tersebut, mengembangkan perluasan tindakan yang akan lebih meningkatkan lagi pengungkapan dari auditor. Sikap konsultatif ini dapat dan hendaknya dilaksanakan dengan bantuan dari klien. Usaha gabungan tersebut tidak hanya akan menjadi lebih efektif dan kemungkinan lebih efisien, namun sikap ini juga akan memastikan kepentingan dan dukungan dari klien karena kepemilikan bersama dari potensi perbaikan operasi. Prosedur ini tidak melanggar sebuah pendekatan independen sejauh klien menjadi pengambil keputusan yang terakhir dalam penentuan perubahan – perubahan yang akan dilaksanakan. 2.6.5.3. Pertimbangan Dampak Audit Auditor internal yang memerlukan kerja sama harus merancang pendekatan mereka dengan saksama. Mereka harus menyadari bahwa terdapat 64 dampak – dampak perilaku yang nyata dalam tiga langkah audit yang berbeda, yaitu : antisipasi audit, pelaksanaan audit, dan pelaporan audit. Antisipasi dari audit dan misteri yang berkenaan dengannya dapat diatasi dengan langkah – langkah positif dari sisi auditor internal. Mereka dapat menjaga audit – audit mendadak dalam jumlah seminim mungkin, membatasi mereka hanya pada aktivitas – aktivitas seperti penanganan kas dan surat – surat berharga yang dapat dinegosiasikan atau di mana terdapat kecurigaan akan adanya kecurangan. Mereka dapat memberikan informasi terlebih dahulu kepada klien, menjelaskan proses – proses audit yang akan dilaksanakan, dan bagaimana cara melakukan persiapannya. Mereka dapat mejelaskan kepada klien tentang hasil – hasil yang postif dari audit dan keuntungan – keuntungan yang dapat dapat diharapkan oleh klien, Jarvis dalam Sawyer (2003) menjelaskan sebuah pendekatan yang telah digunakan dalam sebuah bank multicabang. Sebuah pasal dirancang untuk memberikan para karyawan kantor cabang sebuah pandangan ‘terkapsul’ dari hal – hal apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh auditor internal dan membuat mereka lebih santai dengan kehadiran auditor yang akan mengaudit kinerja mereka. Burnett dalam Sawyer (2003) memandang hubungan auditor / klien dilihat dari dua segi motivasi, yaitu rasa takut dan penghargaan. Dalam hubungan ini, klien memiliki rasa takut akan kehilangan pekerjaannya, menerima evaluasi yang buruk, dan hal – hal yang tidak diketahui – audit yang misterius. Auditor internal dapat mengatasi ketakutan ini dengan menjelaskan proses – proses audit dan melenyapkan misteri yang terdapat di dalamnya. Mereka dapat mengatasi 65 ketakutan terhadap evaluasi yang buruk atau kehilangan pekerjaan dengan menunjukkan keadilan dan objektivitas serta dengan menempatkan semua temuan dalam perspektifnya masing – masing, memberikan keseimbangan antara hal – hal yang buruk dengan yang baik; dan juga dengan memberikan pujian bagi staf klien atas kontribusi – kontribusi yang mereka berikan bagi proses audit. Untuk memberikan penghargaan, auditor hendaknya mempertimbangkan “Hierarchy of Needs” (Hierarki Kebutuhan) dari Maslow (1954). Para manajer operasional mungkin telah memenuhi kebutuhan mereka akan kebutuhan pokok, rasa aman, dan harta benda. Seorang manajer perlu untuk memuaskan kebutuhannya sendiri terhadap kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan dan aktualisasi diri. Jawabannya adalah untuk menjual temuan sebelum laporan dikeluarkan dan untuk mendokumentasikannya dalam sebuah kerangka kerja yang menunjukkan pemahaman tentang kebutuhan – kebutuhan, motivasi, serta gaya manajemen dan menguraikan bantuan dari pihak klien di dalam audit. Dengan memahami gaya dari manajemen, auditor dapat menilai permasalahan – permasalahan mana yang harus digali dan mana yang dapat dikurangi penekanannya. Ketika seorang manajer berorientasi pada rincian, auditor dapat membuang – buang waktu dalam mengaudit rinciannya. Ketika seorang manajer berorientasi jangka panjang, rincian – rincian tadi perlu untuk ditelaah. Begitu pula, ketika temuan – temuan dihubungkan dengan gaya manajemen, akan lebih mudah untuk diterima oleh klien. 66 2.6.5.4. Sudut Pandang Manajemen Selama pelaksanaan audit, auditor internal hendaknya mengambil pendekatan manajerial terhadap penyimpangan – penyimpangan. Auditor internal harus mengurangi penekanan untuk temuan – temuan yang tidak signifikan, mencari penyebab – penyebab untuk temuan yang signifikan, dan bekerja dengan manajer operasional untuk memperbaiki kelemahan – kelemahan yang ditemukan. Auditor internal harus selalu ingat bahwa orang – orang operasional biasanya memiliki pemahaman yang baik atas apa yang sedang terjadi. Apa pun pemikiran perbaikan yang mungkin dimiliki oleh auditor, ada kemungkinan hal tersebut telah dipertimbangkan pula oleh orang – orang operasional. Hubungan yang terjadi akan meningkat dengan sangat pesat jika auditor internal dengan terbuka menerima pemikiran – pemikiran ini, menyaringnya melalui pengalaman mereka sendiri, dan kemudian menyajikannya sebagai sebuah hasil kerja sama tim antara auditor dengan klien. Selama fase pelaporan, seharusnya tidak ada lagi temuan penyimpangan yang dilaporkan secara formal tanpa melalui pembahasan secara menyeluruh dengan manajemen operasional. Tidak ada kelemahan yang dilebih – lebihkan. Tidak ada temuan – temuan kecil yang muncul dalam laporan akhir. Pujian untuk pencapaian – pencapaian luar biasa yang telah dilakukan oleh klien juga hendaknya memiliki tempat di dalam laporan yang diterbitkan. 67 2.6.5.5. Cara Menghadapi Lawan yang Tidak Bersahabat Tanpa memandang seluruh niatan baik yang ada di dunia ini, auditor internal akan tetap dapat menghadapi sikap yang tidak bersahaat. Auditor dapat mencoba untuk menyajikan sudut pandang mereka secara wajar dan logis, akan tetapi klien tetap tidak akan mengubah pendiriannya, tidak mau mendengarkan, tidak mau percaya, dan sepenuhnya negatif. Konfrontasi – konfrontasi seperti ini memang sering terjadi. Konfrontasi ini dapat terjadi berulang kali, selama orang tetap menjadi orang. Hal ini adalah sindrom peikiran yang tertutup, dan tidak ada kunci untuk membukanya. Perlawanan dari klien ini dapat dicerminkan dalam beberapa cara : a. Manajemen klien tidak berkenan untuk menghadiri pertemuan, namun mengirimkan individu yang jabatannya rendah sebagai perwakilannya. b. Manajer klien mempertanyakan seluruh aktivitas audit sebagi sesuatu yang tidak berguna dan tidak tepat. Auditor dipaksa untuk memberikan alasan atas setiap tindakan dan di beberapa kasus menghadapi penolakan untuk bekerja sama atau menerima aktivitas tersebut. c. Klien menuduh auditor mengganggu pekerjaan yang dilakukan dalam bidang yang diaudit. Setiap pengujian atau tindakan audit lainnya harus disetujui oleh klien dengan maksud untuk menghilangkan gangguan. d. Klien menolak untuk membahas temuan – temuan interim, mengatakan kepada auditor bahwa mereka “sendirian” dan “sebaiknya mengatakan hal yang benar” karena jika tidak mereka akan “diadukan” kepada manejemen puncak. 68 e. Manajer klien memandang rendah dan menertawakan temuan – temuan potensial sebagai sesuatu yang tidak material dan tidak signifikan terhadap operasi klien. f. Klien menuduh auditor telah melakukan sesuatu yang tidak layak namun menolak untuk memberikan bukti sehubungan dengan tuduhan tersebut. g. Manajemen klien menolak untuk berpartisipasi dalam pertemuan akhir namun mengirimkan perwakilan yang tidak penting dan hanya mendengarkan tanpa memberikan komentar. Sawyer (2003) memberikan anjuran – anjuran berikut ini yang mungkin dapat berguna untuk menghadapi situasi – situasi tersebut : a. Memilih waktu yang tepat. Jangan mencoba membuka pemikiran yang tertutup untuk berunding ketika pemiliknya sedang marah, lelah, atau kacau pikirannya. b. Jangan pernah mengambil posisi yang terkunci rapat. Yang terjadi hanyalah menyegel pikiran yang tertutup dari kemungkinan untuk ditembus. c. Jangan mengandalkan logika. Logika tidak akan pernah dapat membuka sebuah pemikiran yang tertutup. Jika masuk logika, maka tidak dapat digolongkan sebagai sebuah pemikiran yang tertutup. d. Jangan pernah memojokkan diri sebagai auditor internal. Jangan pernah mengambil posisi di mana tidak dapat mundur dengan terhormat. e. Hindari penggunaan kekuatan dan gunakan persuasi. f. Sejak awal, cari titik yang dapat disetujui bersama. Perlawanan adalah hal yang tidak berguna, sedangkan persetujuan adalah tuas pembuka. Harus 69 terdapat sesuatu yang dapat disetujui oleh auditor dan klien, bahkan jika anda tidak menyetujui hal tersebut. g. Undang klien untuk menjelaskan posisi mereka, dengar dan coba untuk memahaminya – benar-benar mendengarkan. Auditor internal seharusnya juga tidak menutup pikirannya sendiri. h. Lakukan usaha secara aktif untuk menempatkan diri anda di dalam posisi klien (auditee). Auditor internal sebaiknya mencoba untuk memahami klien dengan tulus. i. Bantu klien (auditee) untuk pembenaran. Hal inilah yang paling diinginkan oleh sebuah pemikiran yang tertutup. Ketika auditor internal memahami di mana posisi mereka, dan telah menempatkan diri di posisi klien, cobalah untuk membuat klien merasakan posisi yang dinginkan auditor internal sehingga mereka sendiri juga merasa ingin untuk meraihnya. Ketika semua jalan tidak berhasil, ketika penyimpangan atau kelemahan yang terjadi sudah serius, ketika risikonya cukup besar dan perbaikannya tidak dapat ditawar – tawar lagi, auditor internal harus mengingat tanggung jawab mereka dan membawa permasalahan ke wewenang yang lebih tinggi. Bom waktu dari risiko – risiko potensial pada organisasi harus segera dijinakkan. Tetapi akan lebih baik jika pertama kali mencoba cara – cara persuasif. Auditor internal harus ingat bahwa satu hari nanti mereka harus kembali berhadapan dengan pikiran tertutup itu lagi. 70 2.7. Standar Umum Auditor Internal Pelaksanaan fungsi audit intern bank di Indonesia mengacu pada standar minimal yang wajib diterapkan yaitu Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank (SPFAIB) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) pada tahun 1999. SPFAIB disusun dengan mengacu pada SPPIA, namun sejak diterbitkan pada tahun 1999 sampai dengan saat ini SPFAIB belum pernah direview atau direvisi untuk mengakomodasi perkembangan fungsi audit intern sebagaimana telah dilakukan pada SPPIA. Standar yang mengatur peran dan fungsi auditor internal dijelaskan secara implisit dalam SPFAIB, sehingga peneliti tidak bisa mendapatkan kriteria peran auditor internal sesungguhnya seperti yang diharapkan untuk penelitian ini. Berdasarkan pertimbangan tersebut peneliti menggunakan standar baku yang disusun oleh IIA (Institute of Internal Auditors) dan berlaku secara internasional. Dalam standar nomor 2100 yang ditetapkan berdasarkan IIA, peran auditor internal mencakup tiga hal yaitu tata kelola (governance), manajemen risiko (risk management), dan pengendalian (control) Berikut ini merupakan sebagian dari standar yang nantinya digunakan sebagai landasan pembuatan kuisioner bagi responden (auditee). 2100 Ruang lingkup Kerja (Nature of Work) Aktivitas audit internal harus mengevaluasi dan berkontribusi untuk perbaikan tata kelola (governance), manajemen risiko (risk management), dan proses pengendalian (control processes) menggunakan pendekatan yang sistematis dan disiplin. 71 Dalam Pedoman Standar Sistem Pengendalian Intern bagi Bank Umum bagian III halaman 5, dijelaskan bahwa Pengendalian Intern Bank terdiri dari lima elemen utama yang satu sama lain saling berkaitan, yaitu : 1. Pengawasan oleh Manajemen dan Kultur Pengendalian (Management Oversight and Control Culture), 2. Identifikasi dan Penilaian Risiko (Risk Recoqnition and Assessment), 3. Kegiatan Pengendalian dan Pemisahan Fungsi (Control Activities and Segregation of Duties), 4. Sistem Akuntansi, Informasi dan Komunikasi (Accountancy, Information and Communication), 5. Kegiatan Pemantauan dan Tindakan Koreksi Penyimpangan/Kelemahan (Monitoring Activities and Correcting Deficiencies). 2110 Tata Kelola (Governance) Dalam Pedoman Standar Sistem Pengendalian Intern bagi Bank Umum, hal ini tercakup secara implisit di dalam elemen pertama yaitu Pengawasan oleh Manajemen dan Kultur Pengendalian (elemen nomor 1, halaman 6). Aktivitas audit internal harus menilai dan membuat rekomendasi yang sesuai untuk perbaikan proses tata kelola dalam pencapaiannya pada tujuan – tujuan berikut : • Mempromosikan etika dan nilai yang sesuai di dalam organisasi; 72 • Memastikan kinerja manajemen dan akuntabilitas organisasi yang efektif; • Mengkomunikasikan informasi risiko dan pengendalian untuk area – area terkait di dalam organisasi; • Mengkoordinasikan aktivitas dan mengkomunikasikan informasi antara dewan, auditor eksternal dan internal, dan manajemen. 2110.A1 Aktivitas audit internal harus mengevaluasi rancangan, implementasi, dan efektifitas dari etika – etika organisasi berkaitan dengan tujuan, program, dan aktivitas. 2110.A2 Aktivitas audit internal harus menilai apakah tata kelola teknologi informasi dari organisasi mendukung strategi dan tujuannya. 2120 – Manajemen Risiko (Risk Management) Dalam Pedoman Standar Sistem Pengendalian Intern bagi Bank Umum, hal ini tercakup secara implisit di dalam elemen kedua yaitu Identifikasi dan Penilaian Risiko (elemen nomor 2, halaman 8). Aktivitas audit internal harus mengevaluasi keefektifan dan kontribusi untuk perbaikan proses manajemen risiko. Menentukan apakah proses manajemen risiko telah efektif adalah hasil keputusan dari penilaian auditor internal berdasarkan : • tujuan organisasi mendukung dan sejalan dengan misi organisasi; • risiko yang signifikan telah teridentifikasi dan dinilai; 73 • Tanggapan risiko yang sesuai telah dipilih yang meluruskan risiko dengan hasrat risiko organisasi. • Informasi risiko yang relevan telah ditangkap dan dikomunikasikan secara tepat waktu lintas organisasi, staf, manajemen, dan dewan yang memungkinkan untuk menjalankan tanggung jawab mereka. Aktivitas internal audit mungkin mengumpulkan informasi untuk mendukung penilaian ini selama beberapa penugasan (engagement). Hasil dari engagement ini, ketika dilihat bersama, menghasilkan pemahaman tentang proses manajemen risiko dari organisasi dan efektifitasnya. Proses manajemen risiko diawasi sepanjang aktivitas manajemen yang berlangsung, evaluasi terpisah, atau keduanya. 2120.A1 Aktivitas audit internal harus mengevaluasi pembongkaran risiko berkaitan dengan tata kelola, operasi, dan sistem informasi organisasi sehubungan dengan : • Reliabilitas dan integritas dari informasi keuangan dan opersional; • Efektifitas dan Efisiensi dari operasi dan program; • Penjagaan asset; dan • Kesesuaian dengan hukum, peraturan, kebijakan, prosedur, dan kontrak. 74 2120.A2 Aktivitas audit internal harus mengevaluasi potensi dari keterjadian kejahatan (fraud) dan bagaimana organisasi mengelola risiko fraud. 2120.C1 Selama konsultasi penugasan (engagement), auditor internal harus menyampaikan risiko konsisten dengan tujuan engagement dan mengingatkan untuk keberadaan risiko yang signifikan. 2120.C2 Auditor internal harus menggabungkan pengetahuan tentang risiko yang diperoleh dari konsultasi engagement ke dalam evaluasi mereka dari proses manajemen risiko organisasi. 2120.C3 Ketika membantu manajemen dalam membangun atau memperbaiki proses manajemen risiko, auditor internal harus menahan diri dari mengasumsikan beberapa tanggung jawab manajemen dengan risiko manajemen sebenarnya. 2130 – Pengendalian (Control) Dalam Pedoman Standar Sistem Pengendalian Intern bagi Bank Umum, hal ini tercakup secara implisit di dalam elemen ketiga, keempat dan kelima yaitu Kegiatan Pengendalian dan Pemisahan Fungsi (elemen nomor 3, halaman 10), Sistem Akuntansi, Informasi dan Komunikasi (elemen nomor 4, halaman 14), serta Kegiatan Pemantauan dan Tindakan Koreksi Penyimpangan/Kelemahan (elemen nomor 5, halaman 18). 75 Aktivitas audit internal harus membantu organisasi dalam memelihara pengendalian yang efektif dengan mengevaluasi efektifitas dan efisiensi mereka dan dengan mempromosikan perbaikan terus menerus (continuous improvement). 2130.A1 Aktivitas audit internal harus mengevaluasi kecukupan dan efektifitas pengendalian dalam menanggapi risiko pada tata kelola, operasi, dan sistem informasi organisasi sehubungan dengan : • Reliabilitas dan integritas dari informasi keuangan dan opersional; • Efektifitas dan Efisiensi dari operasi dan program; • Penjagaan asset; dan • Kesesuaian dengan hukum, peraturan, kebijakan, prosedur, dan kontrak. 2130.C1 Auditor internal harus menggabungkan pengetahuan tentang pengendalian yang diperoleh dari konsultasi engagement ke dalam evaluasi mereka dari proses pengendalian organisasi.