11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep DM 2.1.1 Definisi DM

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep DM
2.1.1 Definisi
DM merupakan sekumpulan kelainan heterogen ditandai oleh hiperglikemia
dimana terjadi penurunan kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin atau
terhentinya produksi insulin oleh pankreas (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut IDF
(2013), DM adalah suatu penyakit kronis yang terjadi ketika tubuh tidak dapat
memproduksi cukup insulin atau tidak dapat menggunakan insulin secara efektif.
Menurut ADA (2005), DM merupakan sekumpulan penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya. DM tipe 2 merupakan kondisi yang diakibatkan oleh
kerusakan sel Beta Pankreas secara progresif yang melatarbelakangi terjadinya
resistensi insulin (Serrano & Gutierrez, 2009).
Hiperglikemia merupakan keadaan dimana kadar glukosa darah mengalami
peningkatan diatas normal. Peningkatan kadar glukosa darah dikatakan DM
apabila hasil pengukuran kadar glukosa plasma puasa ≥140 mg/dl (SI : 7,8
mmol/L) atau kadar glukosa sewaktu ≥200 mg/dl (SI : 11,1 mmol/l) pada satu kali
pemeriksaan atau lebih. Tingginya kadar glukosa darah tersebut dapat
menyebabkan berbagai komplikasi metabolik akut maupun kronis (Smeltzer &
Bare, 2002).
11
12
2.1.2 Komplikasi
Menurut IDF (2013), pasien DM berisiko terhadap ketidakmampuan atau
kecacatan dan masalah kesehatan yang mengancam nyawa. Peningkatan kadar
glukosa darah secara konsisten dapat menimbulkan penyakit yang serius pada
jantung dan pembuluh darah, mata, ginjal, dan saraf. Pasien DM juga berisiko
mengalami infeksi. Menjaga kadar glukosa darah, tekanan darah dan kolesterol
dalam batas normal dapat mencegah atau memperlambat terjadinya komplikasi
DM.
Komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua yaitu komplikasi metabolik akut dan
komplikasi vaskular jangka panjang. Komplikasi metabolik akut disebabkan oleh
perubahan konsentrasi glukosa plasma yang terjadi relatif cepat dan akut meliputi
Hiperglikemia Hiperosmolar Koma Nonketotik (HHNK), Diabetic Ketoasidosis
(DKA), dan Hipoglikemia. Sedangkan, komplikasi vaskular jangka panjang dapat
berupa mikroangiopati (retinopati, nefropati, neuropati) dan makroangiopati
(atherosklerosis) (Price & Wilson, 2002). Adapun komplikasi-komplikasi tersebut
antara lain:
a. Hiperglikemia Hiperosmolar Koma Nonketotik (HHNK)
HHNK merupakan komplikasi metabolik akut DM yang sering terjadi pada
pasien DM tipe 2. Hiperglikemia yang terjadi akibat defisiensi insulin secara
relatif tanpa disertai dengan ketosis. Hal ini menyebabkan hiperosmolaritas,
diuresis osmotik dan dehidrasi berat dengan kadar glukosa darah >600 mg/dl.
Pasien dapat mengalami penurunan kesadaran bahkan kematian apabila tidak
13
mendapat
penanganan.
Penanganan
HHNK
adalah
dengan
rehidrasi,
penggantian elektrolit dan insulin regular (Price & Wilson, 2002).
b. Diabetic Ketoasidosis (DKA)
Penurunan kadar insulin yang sangat rendah akan menimbulkan hiperglikemia,
glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis, peingkatan
oksidasi asam lemak bebas disertai dengan pembentukan badan keton
(asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Hal ini menyebabkan peningkatan
beban ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria dapat
menyebabkan
diuresis
osmotik,
dehidrasi,
dan
kehilangan
elektrolit.
Kehilangan cairan dan elektrolit berlebih dapat menyebabkan hipotensi, syok,
koma, sampai meninggal. Penanganan DKA meliputi perbaikan kekacauan
metabolik akibat kekurangan insulin, pemulihan cairan dan elektrolit,
pengobatan keadaan yang mempercepat terjadinya ketoasidosis (Price &
Wilson, 2002).
c. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi apabila kadar glukosa darah <70 mg/dl, sering terjadi
akibat kelebihan pemberian terapi insulin ataupun terlambat makan. Gejala
yang muncul disebabkan oleh pelepasan epinefrin (keringat dingin, gemetar,
sakit kepala dan palpitasi), kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku tidak
sesuai, sensori yang tumpul dan koma). Kejadian hipoglikemia yang sering
terjadi dan dalam waktu yang lama, dapat menimbulkan kerusakan otak
permanen
bahkan
kematian.
Penatalaksanaannya
dengan
pemberian
karbohidrat baik secara oral maupun intravena (Smeltzer & Bare, 2002).
14
d. Makroangiopati diabetik
Secara
histopatologi
pembuluh
darah
pasien
DM
akan
mengalami
aterosklerosis yang dapat menyumbat pembuluh darah. Insufisiensi Insulin
menyebabkan gangguan biokimia pada sel tubuh termasuk pembuluh darah.
Gangguan ini berupa penimbunan sorbitol dalam intima pembuluh darah,
hiperlipoproteinemia, dan kelainan pembekuan darah. Bila penyumbatan
terjadi pada arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi pembuluh
darah perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan ganggren pada
ekstremitas serta insufisiensi serebral/stroke. Bila yang terkena adalah arteri
Koronaria dan Aorta maka dapat menimbulkan angina dan infark miokardium
(Price & Wilson, 2002).
e. Gangguan pada Kehamilan
Perempuan yang hamil dengan DM cenderung mengalami abortus spontan,
Intra Uterine Fetal Death/IUFD, ukuran janin besar, bayi lahir prematur
dengan kejadian sindrom distres/gangguan pernafasan yang tinggi serta
malformasi janin. Hal tersebut diatas dapat diatasi dengan pengontrolan kadar
glukosa darah selama kehamilan (Price & Wilson, 2002).
f. Mikroangiopati
Menurut Price & Wilson (2002), mikroangiopati merupakan masalah (lesi)
spesifik DM pada pembuluh darah mikro, kapiler serta otot-otot kulit. Masalah
tersebut terjadi karena penimbunan glikoprotein pada daerah lesi. Adapun
komplikasi-komplikasi yang terjadi antara lain:
15
1) Retinopati
Retinopati merupakan lesi yang terjadi pada arteriola retina dengan manifestasi
klinis berupa mikroaneurisma (pelebaran vaskular kecil) dari arteriola retina.
Terbentuk neovaskular, mudah pendarahan, timbul jaringan parut sehingga
dapat menyebabkan kebutaan.
2) Nefropati
Manifestasi dini nefropati adalah berupa proteinuria dan hipertensi. Penurunan
fungsi nefron yang terus berlanjut, dapat menimbulkan insufisiensi ginjal dan
uremia.
3) Neuropati
a) Pengertian
Menurut National Diabetes Information Clearinghouse di Amerika (2013),
neuropati DM merupakan sekumpulan gangguan saraf yang disebabkan oleh
DM (Dyck et al, 2013). Neuropati DM dapat menyerang semua saraf tubuh
seperti saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal (Smeltzer & Bare,
2002). Menurut American Collage of Foot and Ankle Surgeon (2013),
neuropati DM yang terjadi pada lengan, tangan, tungkai, dan kaki maka disebut
dengan diabetic peripheral neuropati (DPN). Menurut ADA (2013), DPN
berupa
sensorimotor
neuropathy,
merupakan
kerusakan
saraf
yang
mengkibatkan gejala kesemutan, nyeri, mati rasa, atau kelemahan pada kaki
dan tangan.
Salah satu gangguan yang terjadi pada DPN adalah gangguan pada saraf
sensorik atau neuropati sensorik. Neuropati sensorik akan mempengaruhi
16
kemampuan tubuh untuk merasakan
rangsangan sensorik (Quan, 2014).
Sensasi sensorik disebut juga sensasi protektif karena merupakan sensasi yang
digunakan tubuh sebagai alarm bila terdapat ancaman terhadap cidera. Lost of
Protective Sensation (LOPS) atau kehilangan sensasi protektif menyebabkan
tubuh mudah mengalami cidera tanpa dirasakan atau disadari, baik dari
ancaman trauma fisik maupun suhu. Pasien neuropati yang kehilangan sensasi
protektif akan merasakan kaki atau tangannya seperti sedang menggunakan
kaos kaki atau sarung tangan dan berisiko mengalami diabetic foot (Veves,
Guirini & Logerfo, 2002).
b) Patofisiologi
Patogenesis terjadinya neuropati DM merupakan mekanisme vaskuler atau
metabolik atau keduanya (Brunner & Suddart, 2002). Hiperglikemia kronis
akibat kekurangan insulin menyebabkan gangguan pada aktivitas jalur poliol
(glukosa-sorbitol-fruktosa). Peningkatan aktivitas jalur poliol berupa aktivasi
enzim aldose-reduktase. Enzim ini akan merubah glukosa menjadi sorbitol,
kemudian sorbitol dimetabolisme lagi menjadi fruktosa oleh sorbitol
dehidrogenase. Salah satu kemungkinan dampak dari penimbunan sorbitol dan
fruktosa adalah terjadinya hipertonik intrasel saraf sehingga mengakibatkan
edema saraf.
Peningkatan sintesis sorbitol mengakibatkan terhambatnya mioinositol masuk
ke dalam sel saraf. Mioinositol merupakan bahan utama membran fosfolipid
dan juga komponen dari vitamin B. Mioinositol berperan dalam transmisi
impuls, transport elektrolit dan sekresi peptida. Penurunan mioinositol dan
17
penimbunan sorbitol akan menimbulkan stres osmotik. Stres osmotik dapat
merusak mitokondria dan memicu stimulasi PK-C. Aktivasi PK-C dapat
menekan fungsi NA-K-ATP-ase sehingga kadar Natrium intraselular
meningkat. Akibatnya, mioinositol terhambat masuk ke dalam sel dan
mengganggu transduksi sinyal pada saraf (Subekti, 2009).
Gangguan jalur poliol juga menyebabkan penurunan ko-faktor NADPH
(Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Hidroxide) saraf yang
berperan dalam metabolisme oksidatif. NADPH merupakan ko-faktor penting
untuk glutathion dan Nitric Oxide Synthase (NOS). Penurunan ko-faktor ini
dapat menurunkan kemampuan saraf untuk memproduksi Nitric Oxide (NO)
dan menangkal radikal bebas (Subekti, 2009).
Hiperglikemia kronis juga menyebabkan terbentuknya AGEs yang dapat
merusak semua protein tubuh termasuk sel saraf karena sifat toksiknya.
Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, sintesis dan fungsi NO akan
menurun. Hal ini mengakibatkan kemampuan dilatasi pembuluh darah
menurun sehingga aliran darah yang membawa nutrisi dan oksigen menuju
saraf juga menurun (Subekti, 2009). Penimbunan sorbitol dan fruktosa,
penurunan mioinositol serta penurunan suplai oksigen dan nutrisi pada saraf
dapat menyebabkan kerusakan pada saraf atau neuropati (Price & Wilson,
2002).
Hiperglikemia kronis dapat merangsang produksi radikal bebas oksidatif yang
disebut Reactive Oxygen Species (ROS). ROS dapat menyebabkan apoptosis
18
pada neuron dan sel Schwann yang berujung pada kerusakan saraf dan
gangguan hantaran impuls. ROS juga dapat merusak lapisan endotel pembuluh
darah dan menetralisasi NO sehingga mengakibatkan kemampuan dilatasi
pembuluh darah menurun. Kelainan mikrovaskuler yang ditimbulkan dapat
berupa penebalan membrana basalis, trombosis pada arteriol intraneural dan
stasis
aksonal,
peningkatan
agregasi
trombosit
dan
berkurangnya
deformabilitas eritrosit, peningkatan resistensi vaskuler, pembengkakan dan
demielinisasi saraf akibat iskemia akut (Subekti, 2009).
c) Faktor Risiko Neuropati
Neuropati DM disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor. Faktor-faktor
tersebut diantaranya: faktor metabolik (hiperglikemia, lamanya mengidap DM,
hiperlipidemia, dan rendahnya kadar insulin darah), faktor neurovaskuler
(gangguan pada pembuluh darah yang memberikan oksigen serta nutrisi untuk
saraf), faktor autoimun yang berhubungan dengan terjadinya peradangan pada
saraf, cidera mekanik pada saraf seperti pada carpal tunel syndrome, faktor
genetik yang dapat meningkatkan resiko gangguan pada saraf, dan gaya hidup
seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol (Dyck et al, 2013).
d) Manifestasi Klinis
Neuropati DM yang terjadi pada bagian perifer seperti kaki disebut dengan
Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN). DPN umumnya mengenai bagian
distal serabut saraf, berawal dari saraf jari-jari kaki ekstremitas bawah.
Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan distribusi yang simetris dan
secara progresif dapat meluas ke arah proximal (Brunner & Suddart, 2002).
19
Menurut American Collage of Foot and Ankle Surgeons (2013), kerusakan
saraf yang terjadi meliputi saraf sensorik (kemampuan merasakan nyeri, suhu
dan sensasi), saraf motorik (kekuatan dan tonus otot), dan saraf autonom
(fungsi tubuh yang tidak disadari seperti berkeringat sehingga kulit menjadi
kering dan pecah-pecah). Pada DM tipe II gejala dapat berkembang setiap saat
dan sering terjadi sangat awal.
Menurut ADA (2013), gejala klinis DPN adalah perasaan geli, gatal dan terasa
seperti ada banyak jarum di kaki, terjadi peningkatan sensitivitas dan nyeri
(perasaan seperti ditusuk, ditekan, terbakar, terasa seperti sedang menggunakan
sarung tangan atau kaos kaki, dan kadang kaki/tangan terasa sangat dingin atau
panas) terutama saat malam hari, terjadi penurunan sensitivitas (berkurangnya
kemampuan merasakan panas, dingin, nyeri, lepuh, dan agen cidera) dan
kelemahan pada otot kaki dan tangan, merasa goyah ketika berdiri. Selain itu
juga terjadi perubahan bentuk pada tulang dan otot kaki atau terdapat luka yang
susah sembuh pada tangan atau kaki. Pasien yang mengalami peningkatan
sensitivitas terhadap nyeri umumnya mengalami gangguan sensori ringan,
namun pada gangguan sensori yang lebih berat pasien dapat mengalami
penurunan sensitivitas sampai mati rasa (Tesfaye, 2004). Penurunan
sensitivitas dapat meningkatkan risiko terkena diabetic foot (Smeltzer & Bare,
2002).
e) Pemeriksaan/Pengukuran Sensasi Protektif
Menurut Boulton et al (2008) dalam jurnal yang berjudul Comprehensive Foot
Examination and Risk Assessment menyatakan, ada lima pemeriksaan yang
20
dapat digunakan untuk mengetahui LOPS. Pemeriksaan tersebut diantaranya
adalah tes sensasi vibrasi menggunakan Biothensiometer, 128-Hz Tuning Forks
atau garpu tala, pinprick sensation, reflek ankle, dan 10-g monofilament.
Pemeriksaan dengan Biothensiometer dilakukan dengan memberikan getaran
pada bagian kaki seperti pada ibu jari kaki. Kemampuan merasakan getaran
yang diatur pada alat kemudian akan terekam dan terbaca dari 0-50 volt.
Kondisi neuropati ditunjukkan dengan hasil rekaman 30-40 volt. Pemeriksaan
dengan 128-Hz Tuning Forks atau garpu tala dilakukan dengan memberikan
getaran pada kedua bagian tulang besar pada ibu jari kaki. Kondisi abnormal
terjadi apabila pasien kehilangan sensasi vibrasi namun pemeriksa masih dapat
merasakan getaran tersebut. Pada garpu tala juga terdapat skala getaran dari 08. Pinprick sensation
dilakukan dengan memberikan tekanan yang cukup
dengan disposable pin pada bagian dorsal dari hallux, bagian proximal jari
kaki. Pasien yang tidak mampu merasakan tekanan tersebut dinyatakan
mengalami penurunan sensasi protektif.
10-g monofilament atau Semmes-Weinstein monofilament dengan kekuatan 10g
merupakan alat yang paling sering digunakan untuk mengetahui kehilangan
sensasi protektif (Veves, Guirini & Logerfo, 2002). Penggunaan monofilamen
sebagai alat pemeriksaan sensasi sensorik sudah luas di seluruh dunia.
Monofilament
juga
merupakan
salah
satu
alat
pemeriksaan
yang
direkomendasikan oleh ADA, karena bersifat mudah, murah, cepat untuk
mengetahui resiko diabetic foot (Boulton et al, 2008).
21
Monofilamen terbuat dari benang nilon yang di dibuat khusus sehingga
memberikan tekanan dengan kekuatan berbeda. Total ada 24 monofilamen
yang telah terkalibrasi. Pasien yang tidak mengalami neuropati akan dapat
merasakan 3,61 monofilament (setara dengan 0,4 g kekuatan linier),
ketidakmampuan merasakan 4,17 monofilament (setara dengan 1 g kekuatan
linier) dinyatakan telah mengalami neuropati, dan ketidakmampuan merasakan
5,07 monofilament (setara dengan 10 g kekuatan linier) dinyatakan telah
mengalami neuropati yang parah dan kehilangan sensasi protektif (Bowker &
Pfeifer, 2008). Pemeriksaan kemudian dilakukan pada 20 lokasi kaki dengan
menekankan monofilament hingga menekuk dan dalam posisi terlentang
dengan mata tertutup pasien diinstruksikan untuk merasakan dan menyebut
lokasi penekanan. Ketidak mampuan merasakan tekanan pada 1-20 lokasi
pemeriksaan dinyatakan mengalami kehilangan sensasi protektif (Veves,
Guirini & Logerfo, 2002).
Menurut Matthew et al (2006) dalam jurnal yang berjudul Diabetic peripheral
neuropathy: How reliable is a homemade 1-g monofilament for screening?,
dikatakan bahwa monofilamen dapat dibuat sendiri di rumah (homemade).
Dokter atau tenaga kesehatan dapat menggunakan alat ini untuk pemeriksaan
DPN. Monofilamen dapat dibuat dari benang pancing merk “South Bend” no
M-1425 yang memiliki kekuatan 25 lb, berdiameter 0,02 inci (500 microns)
kemudian dipotong menjadi beberapa ukuran (4 cm untuk tekanan 10 g, dan 8
cm untuk tekanan 1 g). dalam mendeteksi dan mendiagnosis DPN.
Pemeriksaan dengan monofilamen buatan sendiri ini sangat spesifik untuk
22
DPN (Matthew, 2006). Prosedur pemeriksaan sensasi protektif menggunakan
10-g monofilament dapat dilihat pada Lampiran 4.
f) Penatalaksanaan
Menurut National Diabetes Information Clearinghouse of America (2009),
penatalaksanaan DPN
meliputi kontrol glukosa darah, mengatasi nyeri,
perawatan kaki. Kontrol terhadap kadar glukosa darah dilakukan dengan lima
pilar penatalaksanaan DM sangat penting untuk mencegah kerusakan
saraf/neuropati yang lebih parah.
Nyeri yang terjadi pada DPN diatasi dengan agen farmakologis maupun
nonfarmakologis. Agen farmakologis oral yang umumnya diberikan seperti
golongan tricyclic antidepressants (amitriptyline, imipramine, dan desipramine
berupa norpramine dan pertofrane), Antidepressants tipe lain (duloxetine atau
cymbalta), venlafaxine, bupropion atau wellbutrin, paroxetine atau paxil, dan
citalopram atau celexa. Anticonvulsants (pregabalin atau lyrica, gabapentin
atau gabarone, neurontin, carbamazepine, dan lamotrigine atau lamictal), dan
Opioids and opioidlike drugs (controlled-release oxycodone dan tramadol)
yang bekerja seperti antidepresan. Agen farmakologis topikal yang dapat
diberikan adalah capsaicin krim dan lidokain patch (lidoderm dan lidopain).
Penggunaan nitrat dalam bentuk sprai dan patch dianjurkan untuk mengatasi
nyeri DPN. Beberapa studi menganjurkan penggunaan alpha-lipoic acid,
antioksidan dan minyak bunga mawar dapat mengatasi gejala DPN serta
memperbaiki fungsi saraf pada beberapa pasien.
23
Penatalaksanaan nonfarmakologis dapat berupa penggunaan alat (Bed Cradle)
yang dapat menjaga kaki dan tangan yang sensitif dari sentuhan linen atau
selimut. Akupuntur, biofeedback, dan terapi fisik lainnya terbukti dapat
membantu mengurangi nyeri pada beberapa pasien. Terapi seperti electrical
nerve stimulation, terapi magnetik, dan terapi laser atau sinar juga mungkin
dapat mengatasi nyeri namun masih perlu penelitian lebih lanjut.
Perawatan kaki merupakan hal yang spesial pada kasus DPN dimana kaki
merupakan organ yang panjang dan biasanya paling pertama terkena DPN.
Perawatan kaki yang dianjurkan adalah menjaga kaki agar tetap sehat (bersih,
kering, dan lembab), observasi rutin terhadap masalah (potongan, lepuhan,
kemerahan, bengkak, dan adanya kalus) setiap hari, memotong kuku sesuai
bentuk jari, menghaluskan kuku bila runcing, dan selalu menggunakan alas
kaki yang pas agar terhindar dari cidera.
2.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia oleh
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) (2011), menentukan patokan
dalam penyaringan dan diagnosis DM berdasarkan kadar glukosa darah sebagai
berikut:
24
Tabel 2.1 Kadar Glukosa Darah Sebagai Patokan Dalam Penyaringan dan Diagnosis DM
JENIS PEMERIKSAAN
SAMPEL
DARAH
1
Kadar glukosa darah sewaktu
(mg/dl)
Kadar glukosa darah puasa
(mg/dl)
2
Plasma Vena
Darah Kapiler
Plasma Vena
Darah Kapiler
BUKAN
DM
BELUM
PASTI DM
DM
3
4
5
<100
<90
<100
<90
100-199
90-199
100-125
90-99
≥200
≥200
≥126
≥100
Sumber: Suyono dkk, 2013:22.
Menurut the Exspert Commite on Diagnosis and Clasification of Diabetes Melitus
di Amerika Serikat (1997), selain pemeriksaan kadar glukosa darah, pemeriksaan
yang juga digunakan untuk mendiagnosa DM adalah:
a. Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa darah yang menunjukkan seseorang mengalami DM adalah
apabila kadar glukosa plasma puasa ≥ 7 mmol/L (126 mg/dl), kadar glukosa
plasma sewaktu ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dl), dan kadar glukosa plasma 2 jam
PP ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dl)
b. Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c)
HbA1c merupakan molekul hemoglobin yang memiliki glukosa terikat pada
strukturnya. Prosentase dari rerata kadar gula darah sebagai indikasi
pengontrolan kadar glukosa darah selama rentang usia sel darah merah atau 2-3
bulan. HbA1c normal adalah ≤ 7 %.
c. C-Peptida
C-Peptida merupakan bentuk tidak aktif proinsulin yang dilepaskan untuk
menghasilkan molekul insulin aktif. Pengukuran ini dilakukan untuk
mengetahui kemampuan sel beta dalam memproduksi insulin, sehingga dapat
25
dibedakan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2. Pada DM tipe 2, kadar c-peptida
umumnya normal atau mengalami peningkatan (Brashers, 2008).
2.1.4 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan DM dibagi menjadi tujuan jangka pendek dan jangka
panjang. Tujuan jangka pendek adalah untuk menghilangkan keluhan/gejala DM
dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat. Tujuan jangka panjangnya adalah
untuk mencegah penyulit baik makroangiopati maupun mikroangiopati yang dapat
terjadi serta mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka dilakukan usaha untuk memperbaiki masalah
metabolik seperti ketidakseimbangan kadar glukosa darah, lipid, tekanan darah
dan berat badan (Suyono dkk, 2013).
Masalah dasar DM tipe 2 adalah adanya faktor genetik, resistensi insulin,
insufisiensi sel beta pankreas. Dalam penatalaksanaannya lebih diutamakan pada
penatalaksanaan nonfarmakologis (program diit dan aktifitas/olahraga), setelah itu
baru menggunakan obat-obatan (farmakologis). Pada keadaan kegawatan (HHNK,
stress dan DM dengan infeksi) penatalaksanaan farmakologi dapat langsung
diberikan tanpa melupakan nonfarmakologi (Suyono dkk, 2013).
Menurut Smeltzer & Bare (2002), terdapat lima komponen dasar penatalaksanaan
DM diantaranya perencanaan makan (diet), latihan fisik (olahraga), pemantauan,
terapi obat dan penyuluhan/edukasi.
26
a. Perencanaan makan (Diet)
Pada prinsipnya, tujuan penatalaksanaan diit adalah untuk memberikan semua
unsur makanan esensial (vitamin dan mineral), mencapai dan mempertahankan
BB yang sesuai, memenuhi kebutuhan energi, mengusahakan kadar glukosa
darah mendekati normal dengan cara yang aman dan praktis, menurunkan
kadar lemak darah bila meningkat (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut Hartanto
(2010), kadar kolesterol total darah normal antara 140-200 mg/dl, dengan kadar
low density lipoprotein (LDL) ≤ 130 mg/dl, dan kadar high density lipoprotein
(HDL) ≥ 40 mg/dl (HDL >25% kolesterol total).
Jumlah kalori yang dibutuhkan tubuh pasien DM disesuaikan dengan tahap
pertumbuhan, status gizi, umur, tingkat stres, dan aktifitas fisik untuk
mempertahankan BB yang sesuai. Berdasarkan konsensus PERKENI (2006),
ditetapkan standar komposisi makanan yang dianjurkan dalam menu seimbang
untuk pasien DM meliputi karbohidrat (60-70%), protein (10-15%) dan lemak
(20-25%). Komposisi tersebut dibagi menjadi tiga porsi makan besar yaitu
makan pagi 20%, siang 30%, sore 25% dan dua sampai tiga porsi makan ringan
sebesar 10-15%. Hal ini disesuaikan dengan kebiasaan (jumlah dan waktu yang
terjadwal) makan pasien. Jumlah kandungan kolestrol yang dianjurkan adalah
<300 mg/hari dari sumber lemak tak jenuh, jumlah kandungan serat ± 25
g/hari, diutamakan jenis serat larut. Konsumsi garam dibatasi untuk yang
menderita hipertensi, pemanis (sukrosa) masih diperbolehkan sampai 5%
kalori (Manjoer Arif, 2001; Suyono dkk, 2013). Konsumsi alkohol pada pasien
27
DM tidak dibatasi dengan ketat namun tidak boleh berlebihan karena dapat
menyebabkan hipoglikemia (Smeltzer & Bare, 2002).
b. Latihan Fisik (Olahraga)
Permasalahan pada DM tipe 2 adalah kurang sensitifnya respon reseptor
terhadap insulin (resistensi insulin). Masalah tersebut menyebabkan insulin
tidak mampu membantu transfer glukosa ke dalam sel. Permeabilitas membran
sel meningkat dengan olahraga oleh karena kontraksi otot memiliki sifat seperti
insulin atau insulin-like effect. Hal ini menyebabkan berkurangnya resistensi
insulin dan meningkatnya sensitifitas insulin sehingga kebutuhan insulin
berkurang. Respon ini tidak menetap dan hanya terjadi setiap kali berolahraga,
maka dari itu olah raga harus dilakukan secara terus menerus atau
berkelanjutan (Suyono dkk, 2013).
Pelepasan insulin pada orang normal menurun selama latihan fisik sehingga
hipoglikemia dapat dihindarkan. Namun berbeda dengan pasien yang mendapat
terapi insulin. Hipoglikemia dapat terjadi karena insulin yang diberikan tidak
mampu meningkatkan ambilan glukosa selama latihan fisik. Menurut Widianti
(2010), tidak dianjurkan untuk meneruskan berolahraga bila kadar glukosa
darah <100 mg/dl. Apabila kadar glukosa darah lebih dari 250 mg/dl (14
mmol/L) disertai adanya keton dalam urin maka tidak dianjurkan untuk
melakukan latihan. Sekresi glukagon, growth hormone dan katekolamin juga
meningkat selama latihan apabila kadar glukosa darah tinggi. Peningkatan ini
akan merangsang hati meningkatkan pelepasan glukosa sehingga kadar glukosa
darah juga meningkat (Smeltzer & Bare, 2002).
28
Menurut Suyono dkk (2013), latihan jasmani dianjurkan dilakukan secara
teratur (3-4 kali seminggu) selama 30 menit, sifatnya sesuai CRIPE
(Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance training). Latihan
fisik yang dilakukan hendaknya mencapai zona sasaran/target heart rate yaitu
75-85 persen denyut nadi maksimal (220-umur) dan disesuaikan dengan
kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Target Heart Rate (THR) untuk
olahraga ringan-sedang adalah antara 60 persen-70 persen MHR (Maximum
Heart Rate). Berjalan kaki selama 30 menit merupakan olahraga ringan,
berjalan cepat selama 20 menit merupakan olahraga sedang, dan jogging
merupakan olahraga berat.
Tahapan dalam pelaksanaan latihan fisik juga penting untuk diperhatikan.
Diawali dengan pemanasan (warm up) selama 5-10 menit bertujuan untuk
menyiapkan tubuh (menaikkan suhu tubuh dan denyut nadi secara bertahap)
untuk latihan inti dan mengurangi risiko cidera. Dilanjutkan dengan latihan inti
(conditioning) agar latihan benar-benar bermanfaat dengan cara memenuhi
target heart rate. Pendinginan (cooling down) selama 5-10 menit hingga
denyut nadi mendekati denyut saat istirahat. Tujuannya untuk mencegah
penimbunan asam laktat, nyeri otot, dan pusing akibat darah yang
terkonsentrasi pada otot yang aktif. Peregangan (stretching) dilakukan diakhir
untuk melemaskan dan melenturkan otot-otot yang masih tegang.
29
Menurut Novitasari (2012) olahraga baik dilakukan untuk mengontrol kadar
glukosa darah dan menngendalikan berat badan. Selain senam, berikut adalah
olahraga yang dapat dilakukan :
Tabel 2.2 Contoh Olahraga yang Bisa Dilakukan Selain Senam
Jenis olahraga
Lama latihan
Jalan kaki santai
Berenang
Bersepeda
Jogging
Sumber: Novitasari, 2012:43
30 menit
30 menit
30 menit
30 menit
Intensitas
53 m / menit
15 m / menit
266 m / menit
114 m / menit
Jumlah kalori yang
dikeluarkan
56
181
113
136
Manfaat berolahraga pada pasien DM adalah pertama, gula darah dapat
dikontrol terutama pada DM tipe 2 dimana dengan olahraga teratur dapat
menurunkan resistensi insulin dan meningkatkan sensitivitas insulin. Kedua,
menurunkan kadar LDL (Low Density Lipoprotein) dan meningkatkan kadar
HDL (High Density Lipoprotein) sehingga dapat menurunkan resiko
atherosklerosis. Ketiga, dapat mengontrol berat badan dan menurunkan resiko
penyakit jantung koroner. Keempat, memperbaiki gejala muskuloskeletal
seperti kesemutan, gatal-gatal, linu/nyeri sendi. Kelima, meningkatkan kualitas
hidup dengan perbaikan kondisi glukosa darah, kardio-respirasi sehingga
cemas dan depresi berkurang. Keenam, mencegah terjadinya DM bagi yang
memiliki riwayat dan beresiko (Novitasari, 2012).
Latihan fisik (olahraga) dapat juga disertai dengan latihan fisik yang lain
seperti senam kaki diabetes. Sesuai dengan prinsip dasar pengelolaan kaki
diabetik dengan tujuan yaitu untuk pencegahan dan rehabilitasi, senam kaki
diabetik merupakan salah satu tindakan pencegahan disamping tindakan
30
perawatan kaki, dan penggunaan sepatu diabetes. Tindakan rehabilitasi
bertujuan untuk mengembalikan fungsi ambulasi (Widianti, 2010).
c. Pemantauan
Pemantauan merupakan hal penting dalam keberhasilan penatalaksanaan DM.
Pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri dapat dilakukan sehingga
pengaturan terapi insulin dapat dilakukan sendiri untuk mengendalikan kadar
glukosa darah secara optimal. Pemantauan secara mandiri bertujuan untuk
deteksi dan pencegahan hipoglikemia mengurangi komplikasi DM jangka
panjang. Hasil pemeriksaan glukosa darah dicatat dalam buku catatan sehingga
pasien tersebut dapat mengetahui pola glukosa darahnya. Jadwal pemeriksaan
yang ideal adalah 30 menit sebelum makan dan pada saat akan tidur malam.
Bahaya potensial yang mengancam metoda pemantauan glukosa darah adalah
kesalahan teknik pencatatan dan pelaporan hasil oleh pasien tersebut.
Kesalahan tersebut seperti aplikasi darah yang tidak benar (misal tetesannya
terlalu sedikit), pengaturan waktu yang tidak benar, pengapusan darah yang
tidak benar (misal mengapus terlalu kuat atau mengapus tanpa menggunakan
bahan yang dianjurkan untuk pengapusan), pembersihan dan pemeliharaan alat
pengukur yang tidak benar.
d. Terapi Obat
Tujuan terapi obat adalah untuk mengatasi kekurangan produksi insulin serta
menurunkan resistensi insulin (Novitasari, 2012). Pada pasien DM tipe 2 yang
mengalami obesitas, asimtomatik, dan mempunyai kadar glukosa darah yang
tinggi, pilihan utama adalah pembatasan diit dan penurunan BB. Apabila belum
31
berhasil, perlu diberikan pengobatan berupa agen hipoglikemik (Price &
Wilson, 2002). Dampak terapeutik dapat tercapai dengan latihan fisik dan
penurunan BB (IMT tidak >25 kg/m2 (Suyono dkk, 2013).
DM tipe 2 membutuhkan terapi insulin bila terapi jenis lain tidak dapat
mencapai target pengendalian kadar glukosa darah. Pada kondisi khusus seperti
keadaan stres berat karena infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miokard
akut atau stroke juga memerlukan terapi insulin (Suyono dkk, 2013). Dosis
yang diberikan disesuaikan dengan kadar gula darah yang didapat dari hasil
pemantauan yang ketat dan akurat (Smeltzer & Bare, 2002). Pendekatan yang
dianjurkan untuk pengobatan pasien DM tipe 2 adalah berdasarkan nilai glikat
hemoglobin atau A1c/HbA1c.
Tabel 2.3 Nilai Kadar Glikat Hemoglobin Dalam Pengontrolan Glukosa Darah
Kontrol Glukosa Darah
Nilai Normal
Kontrol glukosa baik
Kontrol glukosa sedang
Kontrol glukosa buruk
Sumber: Price & Wilson, 2002:1264
Glikat Hemoglobin (%)
3,5-5,5
3,5-6,0
7,0-8,0
>8,0
Beberapa jenis Insulin dan Agen Hipoglikemik Oral dapat dilihat pada Tabel
2.4 dan Tabel 2.5.
32
Tabel 2.4 Tipe Insulin Menurut Masa Kerjanya
Tipe
Efek terhadap glukosa
darah (Jam)
Awitan Puncak Akhir
Keterangan
Masa Kerja Singkat
Lispro
Regular (crystalline
zinc)
Masa Kerja Sedang
NPH
(Neutral
Protamine Hagedorn)
Masa Kerja Panjang
Ultralente
Jernih
jernih
Segera
½
½-1½
2-4
3-5
6-8
Keruh; suspensi insulin seng kristal,
50% jenuh dengan protamin
2-3
4-8
13,8
6
16-18
24
-
Tidak
ada
22,8
Keruh; suspensi insulin kristal,
kadar seng tinggi tanpa protamine
Glargine
Nilai isoelektrik 7,0; penurunan
solubilitas pada PH fisiologis;
membentuk mikropresipitat dalam
jaringan subkutan
Sumber: Price & Wilson, 2002:1266
Tabel 2.5 Agen Hipoglikemik Oral
Agen
Glipizid (Glukontrol)
Waktu Paruh
(Jam)
2-4
Gliburid
(Micronase,
10
Diabeta)
Metformin (Glucophage)
1,3-4,5
Rosiglitazone
Ploglitazone
Sumber: Price & Wilson, 2002:1266
Frekuensi
Pemberian
2 x sehari
1-2 x sehari
3 x sehari
1 x sehari
1 x sehari
Toksisitas
GI,
kulit,
hematologik
GI,
kulit,
hematologik
Asidosis laktat
Edema
Edema
Ukuran
Tablet (mg)
5, 10
1,25-5,00
500, 850
4,0
30
e. Pendidikan atau Edukasi
Edukasi pada pasien DM penting karena penyakit ini berhubungan dengan
gaya hidup dan tidak cukup hanya dengan pengobatan (Suyono dkk, 2013).
DM juga merupakan penyakit kronis yang perlu penanganan khusus secara
mandiri seumur hidup. Pasien DM harus belajar untuk mengatur keseimbangan
antara diit, aktifitas fisik, stres fisik dan emosional yang dapat mempengaruhi
pengendalian
glukosa darah (Smeltzer & Bare, 2002). Tujuan pendidikan
kesehatan adalah meningkatkan pengetahuan, mengubah sikap-prilaku dan
33
kepatuhan, serta meningkatkan kualitas hidup sehingga pasien DM dapat
merawat dirinya sendiri, mencegah komplikasi, dapat tetap produktif serta
biaya perawatan dapat ditekan (Suyono dkk, 2013).
Informasi yang dapat diberikan kepada pasien DM adalah pengetahuan dasar
tentang DM (kadar glukosa darah; pengaruh obat, latihan fisik, diit, stress dan
penyakit terhadap perubahan kadar glukosa darah), pemantauan secara mandiri
(glukosa darah, ketonuri, dan komplikasi akut), perawatan kaki (Smeltzer dan
Bare, 2002; Suyono dkk, 2013).
2.2 Konsep Senam Kaki Diabetik
2.2.1 Definisi
Senam merupakan suatu jenis olahraga aerobik yang menggunakan gerakan otot
tubuh, dimana tubuh masih mampu memenuhi kebutuhan oksigen (Karim 2002
dalam Sigit, 2012). Senam kaki merupakan kegiatan atau latihan yang dilakukan
oleh pasien DM untuk melancarkan peredaran darah kaki serta mencegah
terjadinya luka (Widianti, 2010). Senam kaki adalah kegiatan atau latihan yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran
darah bagian kaki (Sumosardjuno, 2006 dalam Sigit 2012).
2.2.2 Tujuan dan Manfaat Senam Kaki diabetes
Pada DM tipe 2, latihan fisik merupakan sarana yang memiliki peran penting
dalam mengatur kadar glukosa darah. Saat berolahraga, permebilitas membran sel
terhadap glukosa pada otot yang berkontraksi meningkat sehingga resistensi
terhadap insulin akan menurun atau sensitivitasnya meningkat. Tujuan senam kaki
34
diabetes adalah untuk memperbaiki sirkulasi darah, memperkuat otot-otot kecil,
mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki, meningkatkan kekuatan otot betis dan
paha serta mengatasi keterbatasan gerak sendi (Widianti, 2010).
Manfaat senam kaki diabetik adalah meningkatkan elastisitas pembuluh darah
dengan mengurangi timbunan lemak dan penambahan kontraktilitas otot dinding
pembuluh darah sehingga sirkulasi darah menjadi lancar (Sukarman, 1987 dalam
Kushartanti, 2007). Otot jantung betambah kuat dan bilik jantung betambah besar,
sehingga denyutannya menjadi kuat dan daya tampung besar. Hal tersebut berefek
pada peningkatan efisiensi kerja jantung sehingga jantung tidak berdenyut terlalu
sering (Strauss, 1979 dalam Kushartanti 2007). Kekuatan, kelenturan dan daya
tahan otot akan bertambah dikarenakan oleh bertambahnya serabut otot dan
meningkatnya sistem penyediaan energi di otot (Brooks, 1984 dalam Kushartanti
2007). Ligamentum dan tendon akan bertambah kuat, demikian juga perlekatan
tendon pada tulang (Teitz, 1989 dalam Kushartanti 2007).
2.2.3 Indikasi dan Kontraindikasi
Hal-hal yang perlu dikaji sebelum pelaksanaan senam kaki diabetes adalah
meliputi pengkajian keadaan umum pasien, tanda-tanda vital dan status respiratori
(adakah dispnea atau nyeri dada), kaji status emosi pasien (suasana hati/mood dan
motivasi), serta perhatikan indikasi dan kontraindikasi dalam pemberian tindakan
senam kaki tersebut (PERKENI, 2002 dalam Suyono dkk, 2013).
Menurut Widianti (2010), pasien DM yang mengalami gangguan saraf kaki
hendaknya dipilih olahraga yang ringan, tidak terlalu banyak dan sedikit
35
kemungkinan mengalami benturan. Pasien DM dengan retinopati juga harus hatihati karena sangat rentan terjadi pendarahan pada mata akibat komplikasi
mikrovaskuler. Kadar glukosa diharapkan berada antara 100-300 mg/dl. Glukosa
darah dibawah 100mg/dl rentan terjadi hipoglikemia sedangkan glukosa darah
diatas 300mg/dl dapat menyebabkan ketosis/ketoasidosis. Olahraga sebaiknya
dilakukan oleh pasien DM yang masih aktif, tidak ada keterbatasan
muskuloskeletal, arthritis, dan yang lainnya sesuai olahraga yang dilakukan.
Olahraga juga hendaknya dilakukan pada cuaca yang tidak terlalu panas dan tidak
terlalu dingin agar perubahan kadar glukosa darah tidak turun drastis. Adapun
indikasi dan kontra indikasi senam kaki diabetes adalah :
a. Indikasi
Senam kaki diabetes dapat diberikan kepada semua pasien DM baik DM tipe 1
maupun DM tipe 2. Senam kaki diabetes sebaiknya diberikan semenjak
didiagnosis DM untuk tindakan pencegahan secara dini masalah kaki diabetes
(Widianti, 2010).
b. Kontra Indikasi
Gangguan fungsi fisiologis seperti dispnea dan nyeri dada merupakan suatu
kontraindikasi dilakukannya senam kaki diabetes. Selain gangguan fungsi
fisiologis, gangguan psikologis seperti cemas, khawatir dan depresi juga
merupakan kontraindikasi dilakukannya senam kaki diabetes (Widianti, 2010).
2.2.4 Implementasi
Implementasi senam kaki diabetik menurut Widianti (2010), meliputi tahap
persiapan (persiapan alat, klien, dan lingkungan), tahap pelaksanaan, evaluasi
36
(pasien dapat menyebutkan kembali pengertian senam kaki diabetes, dapat
menyebutkan kembali 2 dari 4 tujuan senam kaki, serta dapat memperagakan
sendiri teknik-teknik senam kaki secara mandiri), dan dokumentasi (respon
pasien, tindakan yang dilakukan pasien apakah sudah sesuai atau tidak dengan
prosedur,
kemampuan pasien melakukan senam kaki). Langkah-langkah
pelaksanaan senam kaki diabetic dapat dilihat pada Lampiran 3.
2.3 Pengaruh Senam Kaki Diabetik Terhadap Sensitivitas Kaki Pasien DM
Menurut IDF (2014), yang terjadi pada DM tipe 2 adalah berkurangnya produksi
insulin oleh pankreas atau sensitivitas tubuh untuk berespon terhadap insulin
menurun (insulin resistance) sehingga kadar glukosa darah meningkat.
Hiperglikemia yang terjadi mengganggu metabolisme sel saraf dimana terjadi
aktivasi jalur poliol (glukosa-sorbitol-fruktosa). Hal ini terjadi karena sel saraf
tidak membutuhkan insulin untuk memasukkan glukosa sehingga kadar glukosa
yang tinggi dapat dengan mudah masuk ke dalam sel saraf (Price& Wilson,
2002). Selain mengganggu jalur poliol, hiperglikemia juga menyebabkan
peningkatan sintesa AGEs, PKC, ROS yang dapat mengganggu sirkulasi darah sel
dan jaringan saraf. Terjadi penurunan mioinositol dan NO yang menyebabkan
transduksi saraf menurun, serta terjadi penurunan kemampuan saraf dan pembuluh
darah untuk menangkal radikal bebas yang masuk. Hal ini tentu dapat merusak
saraf dan mengurangi sensitivitas atau sensasi protektif (Subekti, 2009).
Olahraga sangat dianjurkan pada pasien DM tipe 2, salah satunya adalah senam
kaki diabetik senam kaki diabetik baik dilakukan karena komplikasi DM
37
umumnya lebih mudah mengenai organ/daerah perifer (Akhtyo, 2009; Brunner &
Suddart, 2002). Dengan berolahraga kadar glukosa darah pasien DM tipe 2 dapat
dikontrol. Saat berolahraga/otot berkontraksi, permeabilitas sel otot terhadap
insulin atau dengan kata lain sensitivitas tubuh terhadap insulin meningkat
(Suyono dkk, 2013). Dengan meningkatnya sensitivitas sel otot terhadap insulin
maka glukosa di darah yang tinggi akan dapat digunakan menjadi energi
(Widianti, 2010). Apabila kadar glukosa darah dapat dikontrol, penimbunan
glukosa pada sel saraf dapat berkurang atau dihindari (Price & Wilson, 2002).
Aktivasi jalur poliol, sintesa AGEs, sintesa PKC, dan ROS dapat dihambat.
Terjadi peningkatan mioinositol dan sintesa NO sebagai penangkal radikal bebas.
Hal ini akan mengembalikan atau memperbaiki kemampuan vasodilatasi
pembuluh darah dan transduksi jaringan saraf (Subekti, 2009).
Menurut Novitasari (2012), berolahraga dapat menurunkan kadar LDL dan
meningkatkan kadar High Density Lipoprotein HDL sehingga dapat mencegah
atherosclerosis. Selain senam kaki dapat mengurangi timbunan lemak pada
pembuluh darah juga meningkatkan kontraktilitas otot dinding pembuluh darah,
sehingga sirkulasi darah menjadi lancar. Dengan melakukan senam kaki diabetik
maka melalui pergerakan kaki, otot-otot kaki akan membantu memompa darah
menuju jantung melalui mekanisme pompa vena (Sukarman, 1987 dalam
Kushartati, 2007).
Terkontrolnya kadar glukosa darah, berkurangnya timbunan lemak pada dinding
pembuluh darah, membaiknya kontraktilitas pembuluh darah akan meningkatkan
38
fungsi neurovaskuler yang berfungsi untuk memberikan nutrisi dan oksigen
menuju
sel
saraf.
Kondisi
kadar
glukosa
darah
yang normal
dapat
menyeimbangkan fungsi metabolik sel saraf. Perbaikan kedua fungsi tersebut
dapat mencegah terjadinya kerusakan saraf/neuropati (termasuk serat saraf
sensorik yang berfungsi sebagai sensasi protektif tubuh) yang lebih parah dan
mengembalikan fungsi transduksi sel saraf.
Download