BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Pedaging Ayam

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Pedaging
Ayam umumnya dapat menghasilkan daging maupun telur. Istilah
“pedaging” yang diperoleh ayam pedaging dapat diberikan kepada seluruh jenis
ayam yang dapat memproduksi daging. Namun Rasyaf (2008) mendefinisikan
ayam pedaging sebagai ayam jantan dan ayam betina yang berumur di bawah
delapan minggu dan ketika dijual memiliki bobot tubuh tertentu, mempunyai
pertumbuhan yang cepat, serta mempunyai dada yang lebar, serta mempunyai
timbunan daging yang baik dan banyak. Pengertian ini menyebabkan ayam ras
pedaging lebih identik sebagai ayam pedaging jika dibandingkan dengan ayam
buras. Namun di Indonesia, salah satu ayam buras, yaitu ayam buras, juga banyak
digunakan sebagai ayam yang dijadikan bahan makanan,terutama di daerah
pedesaan yang umumnya memelihara ayam.
Ayam ras pedaging adalah ayam hasil rekayasa genetik yang memiliki
karakteristik ekonomis. Ayam ini memiliki pertumbuhan yang sangat cepat, angka
konversi pakan yang rendah, siap dipotong saat berumur relatif muda, dan
menghasilkan daging berserat lunak. Biasanya ayam ini dipasarkan saat berumur
6–8 minggu. Umumnya ayam jantan menunjukkan pertumbuhan lebih cepat 10–
15% dengan efisiensi penggunaan pakan yang lebih baik dan persentase
karkasnya lebih besar (Murhananto dan Purbani 2008)
Ayam ras pedaging memiliki beberapa sifat, antara lain mempunyai sifat
dan mutu daging yang baik (meatness), laju pertumbuhan dan bobot badan (rate
of gain) tinggi, warna kulit kuning, konversi pakan rendah, bebas dari
kanibalisme, sehat dan kuat, kaki tidak mudah bengkok, tidak temperamental dan
cenderung malas dengan gerakan lamban, daya hidup tinggi (95%) tetapi tingkat
kematian rendah, serta kemampuan membentuk karkas tinggi (Yuwanta 2004).
Namun Murhananto dan Purbani (2008) menyatakan bahwa ayam ras pedaging
tergolong hewan yang mudah stres sehingga pemeliharaannya harus dilakukan di
tempat yang tenang dan agak jauh dari pusat-pusat keramaian. Ayam ini juga
tidak tahan terhadap cekaman transportasi yang terlalu lama.
5
Ayam buras (bukan ras) merupakan jenis ayam yang banyak dipelihara
oleh masyarakat di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Ayam buras yang
biasa digunakan untuk bahan makanan dikenal sebagai ayam buras. Ayam ini
merupakan ayam jinak yang telah terbiasa hidup di tengah masyarakat, memiliki
daya adaptasi ayam ini sangat tinggi, karena mampu menyesuaikan diri dengan
berbagai situasi, lingkungan, dan iklim yang ada (Sarwono 2003).
Menurut Nuroso (2010), pemeliharaan ayam buras sangat mudah karena
tahan terhadap kondisi lingkungan dan pengelolaan yang buruk, tidak
memerlukan lahan yang luas dan dapat dipelihara di lahan sekitar rumah, harga
jualnya stabil dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam pedaging lain,
serta tidak mudah stres terhadap perlakuan yang kasar dan daya tahan tubuhnya
lebih kuat dibandingkan dengan ayam pedaging lainnya. Namun, Cahyono (1996)
mengungkapkan bahwa ayam ini memiliki kelemahan jika dibandingkan dengan
memelihara ayam ras pedaging, yaitu umumnya bertubuh kecil, memiliki
pertumbuhan yang lambat, produksi telur yang rendah dan berukuran kecil, serta
memiliki daya alih (konversi) pakan menjadi produk protein (daging) yang rendah
dibanding dengan ayam ras.
Saluran Pencernaan Ayam
Sistem pencernaan unggas berbeda dengan sistem pencernaan pada hewan
lainnya. Unggas tidak memiliki gigi sehingga tidak terjadi proses pengunyahan
pakan. Pakan akan melewati esofagus dan langsung menuju tembolok. Pakan di
dalam tembolok akan mendapatkan sekreta mukus yang berfungsi untuk
menghaluskan pakan. Setelah melewati tembolok, pakan menuju lambung
kelenjar (proventrikulus) yang merupakan organ berdinding tebal dan berada di
depan lambung otot (gizzard). Pakan disimpan secara sementara di proventrikulus
dan dicampur dengan enzim pepsin dan amilase yang dihasilkan oleh organ
tersebut. Setelah itu, pakan masuk ke lambung otot, yang merupakan organ
tersusun dari otot yang kuat, yang berisi bebatuan atau pasir, dan di dalamnya
pakan akan dihancurkan. Pakan kemudian berpindah menuju usus halus, sekum
dan usus besar, dan berakhir di kloaka. Sistem pencernaan pada unggas tergolong
6
cepat karena membutuhkan waktu cerna hanya 2½ jam pada ayam petelur dan 812 jam pada ayam lain (Scanes et al. 2004).
Gambar 1 Anatomi saluran pencernaan ayam (Bell 2002)
Tembolok adalah modifikasi dari esofagus. Fungsi utama dari organ ini
adalah untuk menyimpan pakan sementara, terutama pada saat ayam makan dalam
jumlah banyak. Bolus berada di tembolok selama dua jam.
Kapasitas tembolok mampu menampung pakan 250 g. Pada tembolok
terdapat saraf yang berhubungan dengan pusat kenyang-lapar di hipotalamus
sehingga banyak sedikitnya pakan yang terdapat dalam tembolok akan
memberikan respon pada saraf untuk makan atau menghentikan makan (Yuwanta
2004).
Tembolok mensekresikan mukus yang berfungsi sebagai cairan lubrikasi
yang dapat menghaluskan pakan. Jika ayam lapar, pakan akan melewati tembolok
dan menuju langsung ke proventrikulus dan lambung otot. Selama proses
memakan, tembolok mulai terisi dan bertindak sebagai organ penyimpanan
(Scanes et al. 2004).
Usus besar, atau kolon, pada unggas tergolong pendek dan mempunyai
struktur yang mirip dengan usus halus. Usus besar dianggap tidak memiliki
peranan yang nyata dalam proses pencernaan dan penyerapan.
Sekum merupakan organ berbentuk tabung yang buntu pada perbatasan
antara usus besar dan usus halus. Pada unggas pemakan biji-bijian terdapat dua
7
sekum yang besar, sedangkan pada tipe unggas lainnya hanya terdapat satu
kantung rudimenter bahkan terdapat beberapa unggas yang tidak memiliki sekum
sama sekali (Scanes et al. 2004).
C. albicans
C. albicans adalah khamir komensal (normal) di mukosa mulut, saluran
pencernaan dan vagina. Namun, khamir ini bisa menjadi masalah bila fase
pertumbuhannya berubah dari fase khamir ke fase kapang ketika berada di
membran mukosa inang. Kejadian ini biasa disebut kandidiasis (Berman dan
Sudbery 2002).
Blastospora (sel khamir) berbentuk bulat sampai oval dan selnya terpisah
satu sama lain. Selain blastospora, C. albicans juga dapat membentuk hifa sejati
dan pseudohifa. Hifa sejati adalah sel yang panjang dan berkutub dengan sisi yang
pararel tanpa ada batas yang jelas. Pseudohifa adalah sel khamir berbentuk
elipsoida yang tetap menempel satu sama lain dan dibatasi oleh septa. Perbedaan
antara hifa sejati dan pseudohifa adalah hifa sejati terbentuk dari blastospora dan
cabang dari hifa sejati lain, sedangkan pseudohifa terbentuk dari blastospora atau
pertunasan dari hifa dan sel baru tersebut tetap menempel pada sel induknya dan
tetap menjulur (Calderone 2002). Fase-fase yang dapat dibentuk oleh C. albicans
ditunjukkan pada Gambar 2 di bawah ini.
Perubahan bentuk C. albicans dari khamir ke kapang bisa terjadi karena
pengaruh berbagai macam faktor lingkungan, antara lain perubahan dari
komposisi media, penambahan serum, tumbuh pada kondisi kadar CO2 yang
tinggi atau semi anaerobik, pH dan suhu. Suhu dan pH yang optimal bagi
blastospora C. albicans berubah menjadi hifa adalah lebih dari 35oC dan 6,5-7,0
atau mendekati suasana basa. C. albicans juga dapat membentuk khlamidospora.
Khlamidiospora merupakan berntuk pertahanan yang dibentuk pada kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan (Calderone 2002; Heitman 2006)
8
Gambar 2 Fase pada C. albicans (Anonim 2010)
Menurut Sen dan Baksi (2009), klasifikasi C. albicans adalah sebagai
berikut:
Kingdom
: Fungi
Filum
: Ascomycota
Subfilum
: Ascomycotina
Kelas
: Ascomycetes
Ordo
: Saccharomycetales
Famili
: Saccharomycetaceae
Genus
: Candida
Spesies
: C. albicans
Kasus Kandidiasis (Candidiasis) pada Ayam
Candidadapat menyebabkan kandidiasis pada ayam. Kondisi yang dapat
memacu terjadinya kandidiasis antara lain adalah umur ayam. Ayam yang lebih
muda umumnya lebih rentan terhadap penyakit ini. Sanitasi kandang ataupun
peralatan, kondisi kandang dengan populasi yang padat, serta timbulnya cekaman
merupakan faktor-faktor lain yang dapat memicu terjadinya kandidiasis. Di
Indonesia, penyakit ini dapat dijumpai pada berbagai peternakan ayam komersial
yang tersebar di berbagai daerah. Penyakit tersebut kerapkali ditemukan juga pada
ayam
bukan ras (buras), terutama yang dipelihara pada lingkungan yang
9
mempunyai tingkat sanitasi yang kurang memadai. Penyakit ini dapat ditemukan
pada berbagai jenis unggas pada semua tingkatan umur, terutama ayam, kalkun,
burung merpati, burung merak, burung puyuh, dan angsa. Manusia dan hewan
peliharaan juga peka terhadap kandidiasis. Faktor pendukung kejadian kandidiasis
adalah tingkat higienis dan sanitasi yang tidak memadai, penggunaan antibiotika
yang berlebihan, penurunan kondisi tubuh/kelemahan umum, dan berbagai
cekaman, misalnya kepadatan kandang yang tinggi dan defisiensi nutrisi (Tabbu
2000;Janmaat dan Morton 2010).
C. albicans merupakan spesies utama penyebab kandidiasis, meskipun
spesies Candida non-albicans juga telah diisolasi dari unggas sehat maupun sakit.
Dalam survei terhadap tembolok yang berasal dari ayam ras pedaging, 95% dari
isolat terdiri atas C. albicans, dan sisanya diidentifikasikan sebagai C. ravautii, C.
salmonicola, C. guilliermondii, C. parapsilosis, C. catenulata, atau C. brumptii.
Berdasarkan hasil penelitian, hanya C. albicans dan C. parapsilosis yang
berhubungan dengan kasus mikosis pada tembolok. Berdasarkan hasil isolasi dari
kalkun yang terjangkit candidiasis, terdeteksi C. albicans, C. rugosa, C. famata,
C. tropicalis, dan C. guilliermondii dengan hanya C. rugosa yang terisolasi dari
beberapa tembolok yang terinfeksi (Kunkle 2003).
Menurut Butcher dan Miles (2009), gejala klinis dari ayam yang menderita
kandidiasis berupa hilangnya berat badan, terjadi muntah secara berkala, dan
terlihat lesu. Gejala lain adalah menurunnya laju pertumbuhan pada ayam muda,
diare, dan terhambatnya pengosongan dan perbesaran tembolok. Selain gejala
klinis di atas, gejala lain yang biasanya muncul adalah terjadinya lesio di mulut
berupa peradangan kaseosa pada mulut. Lesio ini serupa dengan lesio pada
defisiensi vitamin A dan lesio proliferasi pada avian pox bentuk basah. Pada tahap
yang lebih parah, lesio pada mulut menjadi obstruktif dan dapat mengganggu
respirasi dan pencernaan, sehingga menyebabkan kelesuan dan terhambatnya
pertumbuhan serta penambahan bobot badan.
Tingginya kasus kandidiasis pada tembolok dikarenakan fungsi tembolok
sebagai tempat untuk menampung pakan sementara. Sisa-sisa pakan, terutama
spora jamur yang mencemari pakan, akan bertahan lama di dalam tembolok,
sehingga akan tebentuk koloni khamir pada tembolok.
10
Kandidiasis tidak menular dari ayam satu ke ayam lainnya. Penyakit ini
dapat menular melalui oral karena memakan pakan atau meminum air minum atau
karena kontak dengan bahan/lingkungan yang tercemar oleh khamir tersebut.
Penyakit ini dapat menular dengan mudah melalui air minum yang kotor yang
tercemar oleh C. albicans (Tabbu 2000).
Antibiotika dan Anticendawan dalam Budidaya Ayam
Imbuhan pakan (feed additive) sering digunakan dalam pakan untuk
merangsang pertumbuhan dan kinerja ayam, seperti menghasilkan telur,
memperbaiki efisiensi pakan, dan berguna untuk memberikan pengendalian
terhadap kesehatan atau metabolisme ternak. Salah satu bahan yang sering
digunakan sebagai pakan tambahan adalah antibiotika (Scanes et al.
2004).Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Bahri et al. (2005), hampir
semua pabrik pakan menambahkan obat hewan berupa antibiotika ke dalam pakan
komersial, sehingga sebagian besar pakan komersial yang beredar di Indonesia
mengandung antibiotika.
Menurut Windisch et al. (2008), antibiotika digolongkan sebagai feed
additive, karena tidak termasuk dalam kategori pakan meskipun dalam peternakan
ayam
memiliki
peranan
penting
dalam
merangsang
pertumbuhan
dan
memperbaiki efisiensi penggunaan pakan. Antibiotika ini sanggup menekan
pertumbuhan mikroorganisme yang menyebabkan penyakitterutama bakteri
patogen sehingga absorpsi nutrisi dalam sistem pencernaan. Selain itu, pemberian
antibiotika ke dalam pakan juga memiliki dampak negatifkarena dapat
menimbulkan resistensi terhadap antibiotika.
Menurut Murtidjo (1987),penggunaan aureomisin (khlortetrasiklin),
teramisin (oksitetrasiklin) dan penisilin yang dicampurkan dalam pakan ternak
unggas berpengaruh merangsang pertumbuhan yang baik dibandingkan dengan
ternak unggas yang memakan pakan tanpa dicampur antibiotika. Sedangkan
antibiotika seperti basitrasin, streptomisin, dan lainnya tidak dapat dipergunakan
karena berpengaruh buruk.
Pemberian CO2, kedap udara, fumigan (fosfin/PH3)dan metil bromida pada
pakan dimaksudkan untuk menurunkan populasi cemaran kapang pada pakan.
11
Sedangkan untuk mencegah terjadinya timbulnya penyakit yang disebabkan oleh
kapang ataupun khamir dapat dilakukan dengan pemberian nistatin melalui pakan
(Ahmad 2009; Tabbu 2000)
Penggunaan antibiotika sebagai feed additive di Eropa dalam upaya untuk
meningkatkan produksi hewan telah dilarang. Namun, antibiotika ionofor masih
dipergunakan sebagai feed additive untuk mengontrol koksidiosis, meskipun
dalam aplikasinya juga dipergunakan sebagai pemacu pertumbuhan (Elwinger et
al. 1998). Menurut Hastiono (1987), antibiotika juga dapat menyebabkan jumlah
khamir, terutama khamir yang bersifat patogen, meningkat secara sangat nyata
dalam tembolok ayam pedaging. Keberadaan khamir yang terlacak di dalam
penelitian tersebut diantaranya C. albicans, C. guillermondii, C. krusei, C.
parapsilopsis, C. pseudotropicalis, C. tropicalis, Geotrichum sp., Rhodotula sp.,
Saccharomyces sp., Torulopsis sp., dan Trichosporon sp.Peningkatan jumlah
khamir oleh pemberian antibiotika ini terjadi karena khamir mempunyai
kemampuan menggunakan antibiotika, dalam hal ini penisilin dan tetrasiklin,
sebagai sumber nitrogen bagi pertumbuhannya.Selain itu, antibiotika juga
membunuh bakteri yang berfungsi untuk menyaingi khamir dalam memperoleh
zat-zat hara serta mengurangi ataupun menghilangkan jasad yang menghasilkan
bahan-bahan anticendawan.
Menurut Rochette et al. (2003), sejumlah anticendawan yang digunakan
untuk mengobati kandidiasis pada unggas adalah amfoterisin B (amphotericin B),
flukonazol (fluconazole), itrakonazol (itraconazole), ketokonazol (ketoconazole),
mikonazol (miconazole), nystatin (nystatin), dan parkonazol (parconazole) seperti
yang tercantum pada Tabel 1.
Dun (1999) mengungkapkan bahwa sejak diperkenalkannya anticendawan
golongan azol, sediaan ini lebih dipilih penggunaannya untuk mengobati infeksi
akibat Candida. Hal ini disebabkan karena terapi dan pengobatan dengan
menggunakan sediaan anticendawan dari golongan azol menghasilkan efek
samping yang lebih sedikit dan mengeliminasi cendawan sama baiknya dengan
terapi dan pengobatan dengan amfoterisin.
12
Tabel 1 Obat anticendawan yang digunakan pada unggas dan burung (Rochette et
al. 2003)
Anticendawan
Amfoterisin B
Parkonazol
Rute penggunaan
Injectable lotions 3%, i.v.,
intratrakeal, nebulisasi
Nebulisasi
Oral (sediaan tablet, cair)
Oral
Spray
Oral, sediaan di dalam
kapsul
Oral (tablet)
Nebulisasi
Oral dengan mencampurkan
ke dalam pakan, tablet,
suspensi, injeksi
Bubuk di dalam pakan
Tiabendazol
Smoke tablet
Klotrimazol
Flukonazol
Flusitosin
Enilkonazol
Itrakonazol
Ketokonazol
Mikonazol
Nistatin
Untuk infeksi oleh
Aspergillus, Candida
Aspergillus
Candida sistemik
Aspergillus
Aspergillus pada mesin penetas
Aspergillus, Candida
Candida (Aspergillus)
Aspergillus
Candida pada saluran
pencernaan, kulit
Candida (trush) pada ayam
mutiara
Aspergillus
Amfoterisin B
Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi oleh Streptomyces
nodosus. Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel dewasa.
Antibiotika ini bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung dari dosis dan
kepekaan cendawan yang dipengaruhi. Aktivitas anticendawan ini sangat terlihat
nyata pada pH 6,0-7,5 dan berkurang pada pH yang lebih rendah.
Mekanisme kerja amfoterisin B adalah dengan cara berikatan kuat dengan
sterol yang terdapat pada membran sel cendawan. Ikatan ini akan menyebabkan
membran sel bocor sehingga terjadi kehilangan beberpa bahan intrasel dan
mengakibatkan kerusakan yang permanen pada sel (Bahry dan Setiabudy 1995).
Amfoterisin B telah digunakan untuk mengobati infeksi cendawan baik
secara sistemik maupun topikal pada unggas. Formulasi intravena telah diberikan
dengan rute injeksi secara intravena, melalui trakea menggunakan kateter, atau
diinjeksikan ke kantung hawa yang terinfeksi. Formulasi intravena juga digunakan
melalui nebulisasi pada burung berparuh bengkok(psittacines) dan burung
pemangsa (raptors ) (Orosz dan Frazier 1995).
13
Gambar 3 Struktur kimia pembentuk amfoterisin B (Ghannoum dan Rice 1999)
Flukonazol
Flukonazol adalah turunan dari triazol dan bersifat fungistatik. Gugus
derivat triazol, seperti imidazol (kloritomazol, ketokonazol, dll.), mempunyai
mekanisme kerja mengubah membran sel cendawan yang mempunyai kepekaan
terhadap anticendawan tersebut, sehingga meningkatkan permeabilitas dan
membiarkan komponen di dalam sel bocor dan mengganggu ikatan prekusor purin
dan pirimidin (Plumb 1999)
Flukonazol merupakan obat yang dapat diserap sempurna melalui saluran
cerna tanpa dipengaruhi adanya pakan ataupun keasaman lambung. Oleh karena
itu, flukonazol dikatakan ditoleransi dengan baik. Efek samping yang sering
ditemukan akibat penggunaan flukonazol adalah gangguan saluran pencernaan
(Bahry dan Setiabudy 1995).
Gambar 4 Struktur kimia pembentuk flukonazol (Ghannoum dan Rice 1999)
Berdasarkan penelitian Dun (1999) yang membandingkan efikasi
flukonazol dengan amfoterisin B dalam morbiditas dan mortalitas pada pasien
yang mengalami kandidiasis, menunjukkan bahwa flukonazol sama efektifnya
dengan amfoterisin dalam mengobati infeksi Candida sistemik. Selain itu, secara
nyata flukonazol juga memberikan efek samping yang jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan amfoterisin B.
14
Itrakonazol
Itrakonazol merupakan anticendawan sistemik turunan triazol yang erat
hubungannya dengan ketokonazol dan dapat diberikan secara peroral. Aktivitas
anticendawannya diduga lebih luas sedangkan efek samping yang ditimbulkan
lebih kecil dibandingkan dengan ketokonazol. Itrakonazol dapat diserap lebih
sempurna bila diberikan bersama pakan (BahrydanSetiabudy 1995).
Penyerapan itrakonazol sangat bergantung pada pH lambung dan
kehadiran pakan. Bioavabilitas itrakonazol hanya mencapai 50% atau kurang
ketika diberikan saat lambung kosong. Bioavabilitas akan mencapai 100%jika di
dalam lambung terdapat pakan. Itrakonazol mampu mengikat protein dan
disalurkan ke seluruh tubuh, terutama ke dalam jaringan yang memiliki
kandungan lemak yang tinggi karena obat ini bersifat lipofilik (Plumb 1999).
Ketokonazol
Ketokonazol digunakan untuk infeksi khamir sistemik maupun lokal.
Pengobatan dengan menggunakan ketokonazol secara peroral mencegah dan
mengobati kandidiasis pada tembolok di kalkun. Anticendawan ini juga efektif
untuk melawan kandidiasis di ayam (Roschette et al. 2003).
Ketokonazol merupakan anticendawan sistemik peroral yang diserap baik
melalui saluran pencernaan dan menghasilkan kadar plasma yang cukup untuk
menekan aktivitas berbagai jenis cendawan. Sebanyak 84% ketokonazol di dalam
plasma darah berikatan dengan protein plasma, terutama albumin. Lima belas
persen berikatan dengan sel darah dan 1% dalam bentuk bebas. Sebagian besar
dari obat ini mengalami metabolisme lintas pertama (Bahry dan Setiabudy 1995).
Menurut Plumb (1999), ketokonazol berifat fungistatik terhadap cendawan
yang peka. Pada kadar yang lebih tinggi untuk periode yang lama atau pada
organisme yang sangat peka, ketokonazol dapat bersifat fungisidal. Ketokonazol
dipercaya dapat meningkatkan permeabilitas membran sel dan menyebabkan efek
metabolis sekunder dan menghambat pertumbuhan cendawan. Mekanisme kerja
secara pasti dari ketokonazol tidak diketahui. Kemungkinan karena ketokonazol
bekerja melalui sintesis ergosterol. Aktifitas fungisidal dari ketokonazol mungkin
dikarenakan efek langsung pada membran sel.
15
Pemberian ketokonazol pada pakan unggas diberikan pada pakan atau air
minum. Pada air minum,dosis yang diberikan adalah 200mg/L untuk 7-14 hari
pada pH normal. Sedangkan pada pakan, dosis yang diberikan adalah 10-20
mg/kg untuk 7-14 hari dengan cara dimasukkan langsung ke dalam pakan atau
dihancurkan (Plumb 1999).
Mikonazol
Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif stabil,
mempunyai spektrum anticendawan yang luas baik terhadap jamur sistemik
maupun cendawan dermatofita. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui
sepenuhnya. Mikonazol menghambat sintesis ergosterol yang menyebabkan
permeabilitas membran sel jamur meningkat. Mungkin pula terjadi gangguan
sintesis asam nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel cendawan yang akan
menimbulkan kerusakan (Bahry dan Setiabudy 1995).
Nistatin
Nistatin merupakan suatu antibiotika polien yang dihasilkan oleh
Streptomyces noursel. Nistatin bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan
berbagai cendawan dan ragi, tetapi tidak aktif terhadap bakteri, protozoa dan
virus. Anticendawan ini hanya efektif pada berbagai macam jenis cendawan,
namun secara klinis digunakan untuk mengobati infeksi Candida topikal,
osofaringeal, dan gastrointestinal. Nistatin mempunyai mekanisme kerja yang
sama dengan amfoterisin B. Nistatin hanya akan diikat oleh khamir atau kapang
yang sensitif. Aktivitas anticendawan tergantung dari adanya ikatan dengan sterol
pada membran sel kapang atau khamir, terutama ergosterol. Akibat terbentuknya
ikatan antara sterol dengan anticendawan ini adalah terjadinya perubahan
permeabilitas membran sel sehingga sel akan kehilangan berbagai molekul kecil.
C. albicans hampir tidak memperlihatkan resistensi terhadap nistatin (Bahry dan
Setiabudy 1995; Plumb 1999).
16
Parkonazol
Parkonazol digunakan untuk mengobati kandidiasis di ayam mutiara.
Parkonazol mempunyai toksisitas yang renndah dan residu daily intake di bawah
ADI (acceptable daily intake), meskipun telah diberikan setelah 24 jam
(Roschette et al. 2003).
Download