Uploaded by User10246

MAKALAH ANTIFUNGI (FARMAKOLOGI)

advertisement
MAKALAH FARMAKOLOGI
ANTIFUNGI
Dosen Pengampu:
Poppy Indrianti.S.Si.M.Farm
DISUSUN OLEH:
-
Aggis Dirga Rusmana
1801002
-
Agnes Meliana Br Nababan
1801003
-
Barheta Susilo Suryaningsih
1802017
-
Imelliani
1802050
-
Muhammad Ashlansyah
1802073
Akademi Farmasi Bhumi Husada Jakarta
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang hanya dengan rahmat dan karunia-Nya makalah
ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Ucapan terimakasih saya kepada seluruh pihak
yang telah mendukung terselesaikannya makalah ini, khususnya kepada dosen pembimbing
mata kuliah farmakologi Ibu Poppy Indrianti, S.Si, M.Farm.
Tujuan pembuatan makalah ini adalah tak lain untuk memenuhi tugas mata kuliah
farmakologi. Makalah ini membahas tentang “Antifungi”. Dalam makalah ini dijelaskan
berbagai informasi mengenai senyawa obat antifungi
mulai dari rumus kimia hingga
farmakologi obat, kontra indikasi, efek samping, regimen dosis, dll.
Dengan adanya makalah ini tentunya diharapkan dapat mempermudah kami dalam
mengetahui, memahami lebih jauh mengenai farmakologi berbagai jenis obat-obatan .
Demikian makalah ini dibuat, semoga dapat memberikan manfaat yang seluas-luasnya
untuk media pembelajaran. Makalah ini juga tentunya masih sangat jauh dari kata sempurna.
Mohon maaf atas segala kekurangan. Segala saran tentunya akan sangat saya harapkan demi
sempurnanya makalah ini.
Jakarta, 23 Maret 2019
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang ........................................................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah ................................................................................................................... 1
1.3
Tujuan ..................................................................................................................................... 2
BAB II .................................................................................................................................................... 3
2.1 GOLONGAN POLIEN ................................................................................................................. 4
2.2 GOLONGAN AZOL .................................................................................................................... 7
2.2.1
SENYAWA IMIDAZOL ................................................................................................ 8
2.2.2 DERIVAT TRIAZOL .......................................................................................................... 12
2.3 GOLONGAN ALILAMIN ......................................................................................................... 14
2.4 GOLONGAN EKINOKANDIN ................................................................................................. 16
2.5 GOLONGAN LAIN ................................................................................................................... 18
BAB III................................................................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................... xxiii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jamur merupakan salah satu organisme yang tidak memiliki kelas tersendiri, tidak
ditempatkan sebagai kelas tumbuhan maupun kelas hewani. Sebagian besar jamur adalah
saprofilik yang berperan sebagai pengurai bahan organik, peragian makanan dan produksi
antibiotika.
Meskipun demikian, jamur juga memiliki aktivitas yang menyebabkan penyakit
infeksi yang disebut mikosis. Infeksi ini relatif jarang dibandingkan infeksi yang disebabkan
oleh bakteri atau virus. Infeksi oleh jamur biasanya baru terjadi apabila ada kondisi yang
menghambat salah satu mekanisme pertahanan.
Infeksi jamur atau mikosis dapat dikelompokkan menjadi dua: a) mikosis
superfisial yang terdiri dari infeksi dermatofit dengan bagian infeksi pada kulit, kuku, rambut,
dan infeksi mukokutan dengan bagian infeksi pada selaput lendir. Kemudian b) mikosis
sistemik yang terdapat pada jaringan dan organ yang lebih dalam.
Senyawa antifungi dapat digunakan dengan metode terapi pada mikosis
superfisial berupa preparat lokal (dermatologi), kadang dengan obat sistemik. Sedangkan
mikosis sistemik, terapi dapat dilakukan dengan obat sistemik jangka waktu panjang.
Pada makalah ini akan dibahas secara detail mengenai beberapa golongan obat
yakni golongan azol, golongan alilamin, golongan polien, golongan ekinokandin, dan
beberapa golongan lain seperti flusitosin dan griseofulvin.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penggolongan obat antifungi?
2. Bagaimanakah karakteristik masing-masing obat dari berbagai golongan tersebut?
Ditinjau dari :
a. Rumus kimia, rumus bangun, dan sifat fisis
b. Golongan kelas terapi
c. Aktivitas anti jamur
d. Regimen dosis pemberian untuk pasien (dalam mg, mg/kg Berat badan, mg/luas
permukaan tubuh atau satuan lainnya)
1
e. Kontra indikasi, efek samping, interaksi obat, mekanisme kerja obat, dan
farmakokinetik obat.
f. Jenis obat atau bahan lain yang dapat menimbulkan inkompatibilitas dengan obat
tersebut.
g. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui penggolongan obat antifungi
2. Mengetahui karakteristik masing-masing obat dari berbagai golongan tersebut
2
BAB II
PEMBAHASAN
INFEKSI JAMUR
Infeksi Jamur Sistemik
Infeksi dalam (Internal)
Contoh penyakit:
Aspergilosis
Blamtomikosis
Koksidiodomikosis
Kriptokokosis
Histoplasmosis
Mukormikosis
Parakoksidiodomikosis
Kandidiasis
Infeksi Jamur Topikal
Infeksi subkutan
Dermatofit (Kuku,
Kulit, Rambut)
Mokutan
Contoh
penyakit:
Kromomikosis
Misetoma
Sporotrikosis
Disebabkan oleh:
Disebabkan oleh:
Tricophyton
Candida sp.
Epidermophyton
Kandidiasis pada
mukosa kulit dan
kuku.
Microsporum
PENGGOLONGAN ANTIFUNGI
GOL. POLIEN
- AMFOTERISIN B
- NISTATIN
- CANDICIDIN
- FILIPIN
GOL. AZOL
IMIDAZOL
TRIAZOL
Bifonazole
Butoconazole
Albaconazole
Efinaconazole
GOL. ALILAMIN
THIAZOL
Abafungin
GOL.
EKINOKANDIN
- ANIDULAFUNGIN
- CASPOFUNGIN
- MICAFUNGIN
GOL. LAIN
- Benzoic Acid
- Ciclopurox
- Flucytosine
- Haloprogin
- TERBINAFIN
- AMOROLFIN
- BUTENAFIN
3
2.1 GOLONGAN POLIEN
1. AMFOTERISIN B
a. Rumus bangun:
b. NamanIUPAC:(1R,3S,5R,6R,9R,11R,15S,16R,17R,18S,19E,21E,23E,25E,27E,29E,31
E,33R,35S,36R,37S)-
33-[(3-amino-
1,3,5,6,9,11,17,37-octahydroxy-
3,6-dideoxy-
β-D-mannopyranosyl)oxy]-
15,16,18-trimethyl-13-oxo-
14,39-dioxabicyclo
[33.3.1] nonatriaconta- 19,21,23,25,27,29,31-heptaene- 36-carboxylic acid.
c. Rumus kimia: C47H73NO17
d. Sifat fisika dan kimia: Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi Streptomyces
nodosus. Sembilan puluh delapan persen campuran ini terdiri amfoterisin B yang
mempunyai aktivitas antijamur. Kristal seperti jarum atau prisma berwarna kuning
jingga, tidak berbau dan tidak berasa ini merupakan antibiotik polien yang bersifat basa
amfoter lemah, tidak larut dalam air, tidak stabil, tidak tahan suhu diatas 370C tetapi
dapat bertahan sampai berminggu-minggu pada suhu 40C.
e. Golongan kelas terapi: Antijamur golongan polien
f. Aktivitas antijamur: Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dan sedang
matang. Aktivitas antijamur nyata pada pH 6,0-7,5. Menghambat aktivitas Histoplasma
capsulatum, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, dan beberapa spesies
Candida, Torulopsis glabrata, Rhodotorula, Blastomyces dermatitis, Paracoccidioides
braziliensis,
beberapa spesies Aspergillus, Sporotrichum schenckii, Microsporum
audiouini dan spesies Trychophyton.
g. Regimen dosis: Amfoterisin B konvensional atau Amfoterisin B deoksikolat untuk
injeksi dilarutkan dalam dekstrosa 5% dengan dosis kecil pada permulaan, lalu dosis
bertahap sampai pada 0,5-0,7mg/kg BB. Kemudian pada sediaan yang telah ada
dipasaran berupa formulasi baru yaitu Amfoterisin B liposomal atau Amfoterisin
formulasi lipid. Dosisnya sebanyak 3-4mg/kgBB /hari yang diberikan dalam bentuk
infus dalam 3-4 jam.
h. Indikasi: Sebagai antibiotika spektrum luas, Amfoterisin B bersifat fungisidal dapat
digunakan dalam hampir semua infeksi jamur.Obat ini digunakan untuk mengobati
4
infeksi
jamur
berupa
koksidioidomikosis,parakoksidioidomikosis,
aspergilosis,
kromoblastomikosis, dan kandidiosis.
i. Kontraindikasi: 1) Pasien yang memiliki riwayat hipersensitif, 2) Gangguan fungsi
ginjal 3) Ibu menyusui 4) Pada pasien yang mengonsumsi obat antineoplastik.
j. Efek samping: 1) Deman dan menggigil: Keadaan ini paling sering muncul saat
pemberian pertama intravena, tapi biasanya mereda setelah pemberian ulang. 2)
gangguan ginjal: Pasien dapat memperlihatkan penurunan kecepatan penyaringan
glomerulus dan fungsi tubulus ginjal. Bersihan kreatinin dapat menurun dan kadar
kalium serta magnesium menghilang. 3) Hipotensi: Penurunan tekanan darah seperti
syok yang disertai hipokalemiadapat terjadi sehingga membutuhkan suplementasi
kalium.4) Anemia: Anemia normositik dan nomokromik akibat penekanan produksi
eritrosit yang reversibel dapat terjadi.5) Efek neurologik: Pemberian secara intratekal
dapat memicu masalah neurologik yang serius. 6)Tromboflebitis
k. Interaksi Obat: 1) Amikasin, siklosporin, Gentamisin, paromomycin, pentamidine,
Streptomycin, Vancomycin : meningkatkan risiko kerusakan ginjal 2) Dexamethasone,
Furosemide, hidroklorotiazide, Hydrocortisone, Prednisolone : Meningkatkan risiko
hipokalemia 3) Digoxin : ampulhoterisin B meningkatkan risiko keracunan digoxin 4)
Fluconazole : melawan kerja ampulhoterisin B.
l. Mekanisme kerja obat: Zat Polyen mengikat ergosterol dalam membran sel jamur dan
membentuk pori-pori yang menyebabkan bahan-bahan esensial dari sel jamur
merembas keluar. Amfoterisin memiliki toksisitas yang selektif, karena dalam sel-sel
manusia sterol utamanya adalah kolesterol dan bukannya ergosterol. Penggunaannya
semakin meluas bagi penderita infeksi jamur sistemis dengan daya tahan tubuh yang
lemah.
m. Farmakokinetik Obat: Amfoterisin B diberikan melalui infus intravena yang lambat.
Amfoterisin B deoksikolat diberikan melalui jalur intratekal yang lebih berbahaya
kadang dipilih untuk menangani meningitis akibat fungi yang sensitif terhadap obat ini.
Sedangkan Amfoterisin B pada formula liposomal memiliki keuntungan primer berupa
pengurangan toksisitas terhadap ginjal dan infus. Amfoterisin B berikatan secara
ekstensif dengan protein plasma dan didistribusikan menuju ke seluruh tubuh. Kadar
obat dan metabolitnya yang rendah muncul dalam urine pada jangka waktu yang lama.
Beberapa juga dieliminasi melalui empedu.
5
n. Inkompatibilitas: Disarankan untuk tidak mencampurkan amfoterisin B dengan obat
lain. Kebanyakan inkompatibilitas disebabkan adanya pengendapan dari amfoterisin B
yang disebabkan perubahan pH atau dikarenakan kerusakan suspense koloidalnya.
Pengendapan dapat terjadi jika amfoterisin B ditambahkan pada larutan sodium klorida
0,9% atau larutan elektrolit.
o. Bentuk dan kekuatan sediaan di pasaran:1) Amfoterisin B untuk injeksi tersedia dalam
bentuk vial berisi 50 mg bubuk liofilik untuk membuat Amfoterisin deoksikolat. 2)
Amfoterisin B formulasi dispersi koloid (ABCD), 3) Amfoterisin B formula vesikel
unilamelar (Ambisome), dan 4) Amfoterisin B kompleks lipid (ABLC).
2. NISTATIN
a. Rumus bangun:
b. NamaIUPAC:
(1S,3R,4R,7R,9R,11R,15S,16R,17R,18S,19E,21E,25E,27E,29E,31E,33R,35S,36R,37S)33-[(3-amino-3,6-dideoxy-β-L-mannopyranosyl)oxy]-1, 3,4,7,9,11,17,37-octahydroxy15,16,18-trimethyl-13-oxo-14,39dioxabicyclo[33.3.1]nonatriaconta-19,
21,25,27
,29,31-hexaene-36-carboxylic acid.
c. Rumus kimia: C47H75NO17
d. Sifat Fisika dan Kimia: Merupakan antibiotik polien yang dihasilkan dari Streptomyces
noursei. Obat yang berupa bubuk berwarna kuning kemerahan ini bersifat higroskopis,
berbau khas, sukar larut dalam kloroform dan eter. Larutannya mudah terurai dalam air
dan plasma. Nistatin tidak digunakan sebagai obat sistemik karena bersifat lebih toksik.
Nistatin juga tidak diserap melalui saluran cerna, kulit maupun vagina.
e. Golongan kelas terapi: Antijamur golongan polien
f. Aktivitas antijamur: Nistatin menghambat pertumbuhan berbagai jamur dan ragi tetapi
tidak aktif terhadap bakteri, protozoa dan virus.
g. Regimen dosis: Dosis Nistatin dinyatakan dalam unit, tiap 1 mg obat ini mengandung
tidak kurang dari 200 unit nistatin. Untuk pemakaian klinik tersedia dalam bentuk krim,
6
bubuk, salep, suspensi dan obat tetes yang mengandung 100.000 unit nistatin per gram
atau per ml. Untuk pemakaian oral tersedia tablet 250.000 dan 500.000 unit. Tablet
vagina mengandung 100.000 unit Nistatin. Untuk kandidiasis mulut pada dewasa
diberikan dosis 500.000-1.000.000 unit, 3 atau 4 kali sehari. Obat tidak langsung
ditelan tatapi ditahan dulu dalam rongga mulut. Pemakaian pada kulit disarankan 2-3
kali sehari, sedangkan pemakaian tablet vagina 1-2 kali sehari selama 14 hari.
h. Indikasi: Nistatin digunakan terutama untuk infeksi kandida di kulit, selaput lendir, dan
saluran cerna. Paronikia, vaginitis dan kandidiasis di mulut, esofagus dan lambung
biasanya merupakan komplikasi dari penyakit darah yang ganas terutama pada pasien
yang mendapat pengobatan imunosupresif.
i. Kontraindikasi: penderita hipersensitif terhadap nistatin dan wanita hamil trimester
pertama.
j. Efek samping: Mual, muntah, diare ringan mungkin didapatkan setelah pemakaian per
oral. Pemberian Nistatin pada dosis tinggi tidak menimbulkan superinfeksi.
k. Interaksi obat: l. Mekanisme kerja obat: Nistatin hanya akan diikat oleh jamur atau ragi yang sensitif.
Aktivitas antijamur tergantung dari adanya ikatan dengan sterol pada membran jamur
atau ragi terutama ergosterol. Akibat terbentuknya ikatan antara sterol dengan antibiotik
ini akan terjadi perubahan permeabilitas membran sel sehingga sel akan kehilangan
berbagai molekul kecil.
m. Farmakokinetik obat: Penyerapan dalam saluran pencernaan sangat kurang , kecuali
dosis yang sangat tinggi diberikan . Kedua administrasi intramuskular dan intravena
menyebabkan reaksi besar di injeksi atau efek samping beracun, sehingga
penggunaannya tidak disarankan . Tidak diserap diterapkan pada kulit atau selaput
lendir . Jumlah kecil yang dapat diserap, dan 95 persen di metabolisme dan eliminasi
pada ginjal.
n. Inkompatibilitas: o. Bentuk dan kekuatan sediaan di pasaran: 1) 500.000 IU /tablet, 2) 100.000 IU /ml, 3)
suspensi 100.000 IU /g cream, 4) 100.000 IU / tab. vaginal
2.2 GOLONGAN AZOL
Antijamur azol merupakan senyawa sintetik dengan aktivitas spektrum yang luas,
yang diklasifikasi sebagai imidazol (mikonazol dan ketokonazol) atau triazol (itrakonazol dan
7
flukonazol) bergantung kepada jumlah kandungan atom nitrogennya ada 2 atau 3. Struktur
kimia dan profil farmakologis ketokonazol dan itrakonazol sama, flukonazol unik karena
ukuran molekulnya yang kecil dan lipofilisitasnya yang lebih kecil. Pada jamur yang tumbuh
aktif, azol menghambat 14-α- demetilase, enzim yang bertanggung jawab untuk sintesis
ergosterol, yang merupakan sterol utama membran sel jamur. Pada konsentrasi tinggi, azol
menyebabkan K+ dan komponen lain bocor keluar dari sel jamur.
2.2.1 SENYAWA IMIDAZOL
1. KETOKONAZOL
a. Rumus bangun:
b. Nama IUPAC: 1-[4-(4-{[(2R,4S)-2-(2,4-Dichlorophenyl)-2-(1H-imidazol-1-ylmethyl)1,3-dioxolan-4-yl]methoxy}phenyl)piperazin-1-yl]ethan-1-one
c. Rumus kimia : C26H28Cl2N4O4
d. Sifat fisika dan kimia: Ketokonazol berupa serbuk putih hingga sedikit abu-abu dan
praktis tidak larut dalam air. Ketokonazol mempunyai pKa 2.9 hingga 6.5. Larut dalam
DMSO atau kloroform.
e. Golongan kelas terapi: antifungi golongan azol
f. Aktivitas antijamur: Ketokonazol aktif sebagai antijamur baik sistemik maupun
nonsistemik.
Efektif
terhadap
Candida,
Coccidioides
immitis,
Cryptococcus
neoformans, H. capsulatum, B. dermatitis, Aspergillus dan Sporothrix spp.
g. Regimen dosis: Dewasa adalah satu kali 200-400mg sehari. Pada anak-anak diberikan
3,3-6,6 mg/kgBB/hari. Lama pengobatan: 5 hari untuk kandidiasis vulvovagnitis, 2
minggu untuk kandidiasis esofagus dan 6-12 bulan untuk mikosis dalam.
h. Indikasi: Efektif untuk histoplasmosis paru, tulang, sendi, dan jaringan lemak. Efektif
pula untuk kriptokokus nonmeningeal, parakoksidioidomikosis, dermatomikosis,
kandidiasis ( mukokutan, vaginal, oral).
i. Kontra indikasi: Penggunaan ketokonazol dengan terfenadin, astemizol atau sisaprid
dikontraindikasikan karena dapat menyebabkan perpanjangan interval QT dan dapat
menyebabkan aritmia ventrikel jantung.
8
j. Efek samping yang sering dijumpai seperti mual dan muntah. Keadaan akan lebih
ringan apabila obat ditelan bersama makanan. Sedangkan yang jarang dijumpai adalah
sakit kepala, vertigo, nyeri epigastrik, fotofobia,pruritus, parestesia, gusi berdarah,
erupsi kulit dan trombositopenia. Hepatotoksisitas berat pada wanita berusia lebih dari
lima puluh tahun, nekrosis hati pada penggunaan jangka panjang, ginekomastia pada
pasien pria dan haid tidak teratur bagi wanita.
k. Interaksi obat: Pemberian ketokonazol bersama dengan obat yang menginduksi enzim
mikrosom hati (rifampisin, isoniazid, fenitoin) dapat menurunkan kadar ketokonazol.
Sebaliknya, ketokonazol dapat meningkatkan kadar obat yang dimetabolisme oleh
enzim CYP3A4 sitokrom P450 (siklosporin, warfarin, midazolam, indinavir ).
l. Mekanisme kerja Obat: Mengganggu sintesis ergosterol, diikuti peningkatan
permeabilitas pada membrane sel fungi (jamur) dan kebocoran komponen sel.
Mempengaruhi permeabilitas dinding sel melalui penghambatan sitokrom P450 jamur;
menghambat biosintesa trigliserida dan fosfolipid jamur; menghambat beberapa enzim
pada jamur yang mengakibatkan terbentuknya kadar toksik hidrogen peroksida; juga
menghambat sintesis androgen.
m. Farmakokinetik obat: Penyerapan melalui saluran cerna berkurang pada pasien dengan
pH lambung tinggi. Setelah pemberian per oral, obat ini ditemukan dalam urin, kelenjar
lemak, liur, juga pada kulit yang mengalami infeksi. Dalam plasma 84% ketokonazol
berikatan dengan protein plasma terutama albumin, 15% berikatan dengan eritrosit, dan
1% dalam bentuk bebas. Ketokonazol sebagian diekskresikan bersama cairan empedu
ke lumen usus dan hanya sebagian kecil saja yang dikeluarkan bersama urin, semuanya
dalam bentuk metabolit yang tidak aktif.
n. Inkompatibilitas: Pemberian bersama-sama dengan terfenadine dan astemizole.
o. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran: Tablet 200mg, krim 2% dan shampo
2%.
3. KLOTRIMAZOL
a. Rumus bangun:
9
b. Nama IUPAC: 1-[(2-Chlorophenyl)(diphenyl)methyl]-1H-imidazole
c. Rumus Kimia: C22H17ClN2
d. Sifat Fisika dan Kimia: Vagina Tablet putih atau hampir putih, atau hampir putih
dengan warna kekuningan, parallelepipedic, lenticular, dengan ujung bulat, dengan
permukaan yang homogen dan struktur homogen.
d. Golongan kelas terapi: Antijamur golongan Azol
e. Aktivitas antijamur: Klotrimazol mempunyai efek antijamur dan antibakteri dengan
mekanisme kerja mirip mikonazol dan secara topikal digunakan untuk pengobatan tinea
pedis, kruris dan korporis yang disebabkan olehT. rubrum, T. mentagrophytes,
E.floccosum dan M. canis dan untuk tinea versikolor. Juga untuk infeksi kulit dan
vulvovaginitis yang disebabkan oleh C. albicans.
f. Regimen dosis: oleskan salep 2-3 kali/hari, digunakan pada kondisi kulit bersih dan
kering (kulit dibersihkan dulu)
g. Indikasi: Dermatomikosis yang disebabkan oleh dermatofites, ragi, cendawan & jenis
jamur lainnya, panu, eritrasma.
h. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap klotrimazol
i. Efek samping: Eritema, rasa tersengat, lepuh, kulit mengelupas, edema, gatal, urtikaria,
rasa terbakar, dan iritasi pada kulit
j. Interaksi Obat: klotrimasol dapat meningkatkan efek dari benzodiazepine, kalsiumchannel bloker, cisapride, siklosporin, mesoridazine, mirtazapine, nateglinide,
nefazodone, pimozide.
k. Mekanisme kerja obat: Menghambat pertumbuhan jamur dengan meningkatkan
permeabilitas sel membran jamur.
l. Farmakokinetik Obat: Ketika dioleskan clotrimazole baik ke berbagai lapisan kulit,
mencapai konsentrasi terapeutik. Bila diterapkan secara topikal jumlah clotrimazole
kecil diserap ke dalam darah.
m. Inkompatibilitas: 10
n. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran: 1) Cream 1% /5g, 2) 10g Solutio 1%
/10ml, 3) 100mg / tablet vaginal, 4) 500mg / tablet vaginal
4. MIKONAZOL
a. Rumus bangun:
b. Nama IUPAC: (RS)-1-(2-(2,4-Dichlorobenzyloxy)-2-(2,4-dichlorophenyl)ethyl)-1Himidazole
c. Rumus kimia: C18H14Cl4N2O
d. Sifat Fisika dan Kimia: Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang rlatif
stabil, mempunyai spektrum antijamur yang lebar terhadap jamur dermatofit. Obat ini
berbentuk kristal putih, tidak berwarna dan tidak berbau, sebagian kecil larut dalam air
tapi lebih larut dalam pelarut organik.
e. Golongan kelas terapi: Antijamur golongan azol
f.
Aktivitas
antijamur:
Mikonazol
menghambat
aktifitas
jamur
Trycophyton,
Epidermophyton, Microsporum, Candida dan Malassezia furfur. Mikonazol in vitro
efektif terhadapa bakteri gram positif.
g. Regimen dosis: infeksi kulit 1-2 dd salep 2% (gram nitrat) selama 3-5 minggu, infeksi
kuku: 1-2 dd tingtur 2% selama 8 bulan atau lebih. Krem vaginal 2% (gyno-daktarin)
malam hari selama 2 minggu.
h. Indikasi: Infeksi topikal dermatofit dan jamur lain seperti kandida, tinea, dan Pityaris
versicolor. Kandidiasis vagina
i. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap mikonazol dan komponen lain dalam sediaan
11
j. Efek samping: : Iritasi lokal, sensitasi dan kontak dermatitis, eritema, rasa terbakar
lemah.
k. Interaksi Obat: : Inhibitor lemah dari CYP2C9. Obat Dimetabolisme oleh Enzim
mikrosomal hepatik . Obat dimetabolisme oleh CYP2C9: mungkin meningkat
konsentrasi plasma.
l. Mekanisme kerja obat: Inhibisi biosintesis ergosterol, merusak membran dinding sel
jamur yang selanjutnya akan meningkatkan permeabilitas, sehingga menyebabkan
hilangnya nutrisi sel
m. Farmakokinetik Obat: Daya absorbsi Miconazole melalui pengobatan oral kurang baik..
Miconazole sangat terikat oleh protein di dalam serum. Konsentrasi di dalam CSF tidak
begitu banyak, tetapi mampu melakukan penetrasi yang baik ke dalam peritoneal dan
cairan persendian. Kurang dari 1% dosis parenteral diekskresi di dalam urin dengan
komposisi yang tidak berubah, namun 40% dari total dosis oral dieliminasi melalui
kotoran dengan komposisi yang tidak berubah pula. Miconazole dimetabolisme oleh
liver dan metabolitnya diekskresi di dalam usus dan urin. Tidak satupun dari metabolit
yang dihasilkan bersifat aktif
n. Inkompatibilitas: o. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran: 1) Cream 2%, 2) Bedak 2%, 3)
Sabun Liquid, 4) 2% Cream 2 %
2.2.2 DERIVAT TRIAZOL
1. FLUKONAZOL
a. Rumus bangun:
b. Nama IUPAC: 2-(2,4-Difluorophenyl)-1,3-bis(1H-1,2,4-triazol-1-yl)propan-2-ol
c. Rumus kimia: C13H12F2N6O
12
d. Sifat Fisika dan Kimia: Flukonazol merupakan serbuk kristal putih, dan sedikit larut
dalam air dengan kelarutan 8 mg/ml pada suhu 37°C. Obat mempunyai kelarutan 25
mg/ml dalam alkohol pada temperatur kamar. Obat ini larut dalam metanol dan
kloroform. Flukonazol mempunyai pKa 1.76 pada suhu 24°C dalam 0.1 M NaCl.
e. Golongan kelas terapi: antijamur golongan azol
f. Aktivitas antijamur: FDA flukonazol efektif untuk mengatasi kandidiasis oral atau
esophageal, criptococcal meningitis dan pada penelitian lain dinyatakan efektif pada
sporotrikosis (limfokutaneus dan visceral).
g. Regimen dosis: Dosis kandidiasis mulut 1 dd 50-100 mg selama 1-2 minggu,
candidiasis vaginal 150 mg sebagai dosis tungga. Pada candidiasis sistemis , permulaan
400 mg , lalu 1 dd 200-400mg.
h. Indikasi: candidiasis mulut, kerongkongan, dan vagina
i. Kontraindikasi: Penderita yang hipersensitif terhadap Fluconazole atau golongan azole
lainnya.
j. Efek samping: masalah gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, nyeri abdomen dan
juga sakit
kepala. Selain itu hipersensitivitas, agranulositosis, sindroma Stevens
Johnsons, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat.
k. Interaksi Obat: Kadar plasma fenitoin dan sulfonilurea akan meningkat pada pemakaian
bersama flukonazol, sebaliknya akan terjadi penurunan kadar plasma warfarin dan
siklosporin. Flukonazol berguna untuk mencegah relaps meningitis yang disebabkan
Cryptococcus pada pasien AIDS setelah pengobatan dengan amfoterisin B.
l. Mekanisme kerja obat: Flukonazol merupakan inhibitor cytochrome P-450 sterol C-14
alpha-demethylation (biosintesis ergosterol) jamur yang sangat selektif. Pengurangan
ergosterol, yang merupakan sterol utama yang terdapat di dalam membran sel-sel
jamur, dan akumulasi sterol-sterol yang mengalami metilase menyebabkan terjadinya
perubahan sejumlah fungsi sel yang berhubungan dengan membran. Secara in vitro
flukonazol memperlihatkan aktivitas fungistatik terhadap Cryptococcus neoformans
dan Candida spp.
m. Farmakokinetik obat: Flukonazol larut air dan cepat diabsorpsi sesudah pemberian oral,
dengan 90% bioavailabilitas, 12% terikat pada protein. Obat ini mencapai konsentrasi
tinggi dalam LCS, paru dan humor aquosus, dan menjadi obat pilihan pertama untuk
meningitis karena jamur. Konsentrasi fungisidanya juga meningkat dalam vagina,
13
saliva, kulit dan kuku. Obat ini diserap sempurna melalui saluran cerna tanpa
dipengaruhi adanya makanan ataupun keasaman lambung.
Kadar puncak 4-8 µg dicapai setelah beberapa kali pemberian 100 mg.
Waktu paruh eliminasi 25 jam sedangkan ekskresi melalui ginjal melebihi 90%
bersihan ginjal.
n. Inkompatibilitas: o. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran: Flukonazol tersedia untuk pemakaian
sistemik (IV) dalam formula yang mengandung 2mg/ml dan untuk pemakaian per oral
dalam kapsul di Indonesia mengandung 50,100,150,200 mg. Di Indonesia yang tersedia
adalah sediaan 50 dan 150 mg.
2.3 GOLONGAN ALILAMIN
1. TERBINAFIN
a. Rumus bangun
b. Nama
IUPAC:
[(2E)-6,6-dimethylhept-2-en-4-yn-1-yl](methyl)(naphthalen-1-
ylmethyl)amine
c. Rumus kimia: C21H25N
d. Sifat Fisika dan Kimia:
Chemically, Terbinafine hydrochloride is (E)-N-(6, 6-
dimethyl-2-hepten-4-ynyl)-N-methyl-1-naphthalenemethanamine hydrochloride. The
empirical formula C21H26CIN with a molecular weight of 327.90, and the following
structural formula: Terbinafine hydrochloride, USP is a white to off-white fine
crystalline powder. It is freely soluble in methanol and methylene chloride, soluble in
ethanol, and slightly soluble in water. Each tablet contains: Active Ingredients:
Terbinafine hydrochloride, USP (equivalent to 250 mg base) Inactive Ingredients:
colloidal silicon dioxide NF, hypromellose USP, magnesium stearate NF,
microcrystalline cellulose NF, and sodium starch glycolate NF.
e. Golongan kelas terapi: antijamur golongan alilamin
14
f. Aktivitas antijamur: Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif
terhadap dermatofit yang bersifat fungisidal dan fungistatik untuk Candida albican, s
tetapi bersifat fungisidal terhadap Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif
terhadap Aspergillosis sp., Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum,
Sporothrix schenxkii dan beberapa dermatiaceous moulds.
g. Regimen dosis:
Dewasa
Onikomikosis
Anak-anak
Kuku tangan : 250 mg/hr x 6 3-6
minggu
mg/khg/hr
x
6-12
minggua
Kuku kaki : 250 mg/hr x 12
minggu
Tinea kapitis
250 mg/hr x 2-8 minggu
Infeksi Trichophyton : 3-6
mg/kg/hr x 2-4 minggua
Infeksi
Microsporum : 3-6
mg/kg/hr x 6-8 minggua
Tinea korporis, tinea kruris
250 mg/hr x 1-2 minggu
3-6 mg/kg/hr x 1-2 minggu
Tinea pedis (mokasin)
250 mg/hr x 2 minggu
b
Dermatitis seboroik
250 mg/hr x 4-6 minggu
b
h. Indikasi: bekerja terhadap Malassezia furfur, penyebab panu, juga bekerja pada
kandidiasis, lebih banyak terhadap kuku kapur, Tinea capitis pada anak-anak.
i. Kontraindikasi: Penderita hipersensitif terhadap terbinafine dan zat tambahan yang
terkandung dalam tablet atau krim
j. Efek samping: gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan nyeri abdomen. Terbinafin
tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar kronik atau aktif
k. Interaksi Obat: Konsentrasi terbinafin akan menurun jika diberikan bersama rifampisin.
Namun kadar dalam darah dapat meningkat apabila diberikan bersama simetidin yang
merupakan suatu inhibitor sitokrim P-450.
l. Mekanisme kerja obat: Terbinafin menghambat kerja enzim squalene epoxidase (enzim
yang berfungsi sebagai katalis untuk merubah squalene-2,3 epoxide) pada membran sel
jamur sehingga menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen sterol yang
utama pada membran plasma sel jamur). Terbinafin menyebabkan Hal ini
mengakibatkan berkurangnya ergosterol yang berfungsi untuk mempertahankan
15
pertumbuhan membran sel jamur sehingga pertumbuhan akan berhenti (efek
fungistatik) dan dengan adanya penumpukan squalene yang banyak di dalam sel jamur
dalam bentuk endapan lemak sehingga menimbulkan kerusakan pada membran sel
jamur (efek fungisidal).
m. Farmakokinetik Obat: Dosis oral 250 mg secara tunggal menghasilkan kadar puncak
plasma 0,8 mg/l 2 jam setelah pemberian. Total klirens plasma terbinafine sekitar 1250
ml/menit dan paruh eliminasi plasma sampai 16 jam. Bioavailabilitas terbinafine tidak
dipengaruhi oleh makanan.Terbinafine terikat kuat pada protein plasma (99%). Obat ini
secara cepat berdifusi melalui jaringan dermis dan tertumpuk di dalam lapisan lipofilik
stratum korneum.
n. Inkompatibilitas: o. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran: tablet 250mg
2.4 GOLONGAN EKINOKANDIN
1. ANIDULAFUNGIN
a. Rumus bangun:
b. Nama IUPAC: N-[(3S,6S,9S,11R,15S,18S,20R,21R,24S,25S,26S)-6-[(1S,2R)-1,2dihydroxy-2-(4-hydroxyphenyl)ethyl]-11,20,21,25-tetrahydroxy-3,15-bis[(1R)-1
16
hydroxyethyl]-26-methyl-2,5,8,14,17,23-hexaoxo-1,4,7,13,16,22-hexaazatricyclo
[22.3.0.09,13]heptacosan-18-yl]- 4-{4-[4-(pentyloxy)phenyl]phenyl}benzamide
c. Rumus kimia: C58H73N7O17
d. Sifat Fisika dan Kimia:
e. Golongan kelas terapi: antijamur golongan ekinokandin
f. Aktivitas antijamur: Anindulafungin merupakan kelompok ekinokandin yang telah
disetujui FDA tahun 2006 untuk penatalaksanaan kandidiasis esophagus, peritonitis dan
abses intraabdomen disebabkan kandida.
g. Regimen dosis: infus intravena, dosis awal 200 mg sebagai dosis tunggal, diikuti 100
mg/hari. Terapi dilanjutkan selama minimal 14 hari sesudah hasil positif terakhir pada
kultur.
h. Indikasi: kandidemia pada pasien dewasa non-neutropenia.
i. Kontraindikasi: hipersensitif terhadap anidulafungin
j. Efek
samping:
trombositopenia,
koagulapati,
hiperkalemia,
hipokalemia,
hipomagnesemia, kejang, sakit kepala, kemerahan, diare, peningkatan gamaglutamiltransferase, peningkatan alkalin fosfatase dalam darah, peningkatan alanin
aminotransferase, ruam, pruritus.
k. Interaksi Obat: Saccharomyces boulardii : Agen antijamur ( sistemik , oral ) dapat
mengurangi efek terapi dari Saccharomyces boulardii . Hindari kombinasi
l. Mekanisme kerja obat: Inhibitor nonkompetitif dari synthase 1,3- beta - D - glucan
menghasilkan pembentukan berkurang dari 1,3- beta - glukan - D , sebuah polisakarida
penting yang terdiri dari 30 % sampai 60 % dari dinding sel Candida ( absen dalam sel
mamalia ) ; menurun konten glukan mengarah ke ketidakstabilan osmotik dan lisis
seluler
m. Farmakokinetik Obat: Distribusi: 30-50 L. Metabolisme: Tidak metabolisme hati di ;
mengalami hidrolisis kimia lambat untuk membuka - cincin peptida mengurangi
aktivitas antijamur. Pengeluaran: Tinja ( 30 % , 10 % sebagai obat tidak berubah ) ;
urin ( < 1 % ) Eliminasi Terminal : 40-50 jam.
n. Inkompatibilitas: ertapenem, sodium bicarbonate.
o. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran: intravena 50 mg dan 100mg
17
2.5 GOLONGAN LAIN
1. FLUSITOSIN
a. Rumus bangun:
b. Nama IUPAC: 4-amino-5-fluoro-1,2-dihydropyrimidin-2-one
c. Rumus kimia: C4H4FN3O
d. Sifat Fisika dan Kimia: Flusitosin (5-fluorositosin; 5FC) merupakan antijamur sintetik
yang berasal dari fluorinasi pirimidin, dan mempunyai persamaan struktur dengan
fluorourasil dan floksuridin. Obat ini berbentuk kristal putih tidak berbau, sedikit larut
dalam air tapi mudah larut dalam alkohol.
e. Golongan kelas terapi: Antijamur
f. Aktivitas antijamur: Flusitosin efektif terhadap Candida sp., Cryptococcus neoformans,
Cladophialophora carrionii, Fonsecaea sp., Phialophora verrucosa.
g. Regimen dosis: Flusitosin tersedia dalam bentuk kapsul 250 dan 500 mg. Dosis yang
biasanya digunakan ialah 50-150 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam 4 dosis.
Indikasi: infeksi sistemik, karena selain kurang toksik obat ini dapat diberikan per oral.
Penggunaannya sebagai obat tunggal hanya diindikasikan pada kromoblastomikosis
h. Kontraindikasi: hipersensitif terhadap flusitosin
i. Efek samping: mual,muntah dan diare. Dapat menimbulkan anemia, leukopenia, dan
trombositopenia, terutama pada penderita dengan kelainan hematologik, yang sedang
mendapat pengobatan radiasi atau obat yang menekan fungsi tulang, dan penderita
dengan riwayat pemakaian obat tersebut. Mual,muntah, diare dan enterokolitis yang
hebat. Kira-kira 5% penderita mengalami peninggian enzim SGPT dan SGOT,
hepatomegali. Terjadi sakit kepala, kebingungan, pusing, mengantuk dan halusinasi.
j. Interaksi Obat:
k. Mekanisme kerja obat: Flusitosin masuk ke dalam sel jamur dengan bantuan sitosin
deaminase dan dalam sitoplasma akan bergabung dengan RNA setelah mengalami
deaminasi menjadi 5-fluorourasil dan fosforilasi. Sintesis protein sel jamur terganggu
akibat penghambatan Iangsung sintesis DNA oleh metabolit fluorourasil. Keadaan ini
18
tidak terjadi pada sel mamalia karena dalam tubuh mamalia flusitosin tidak diubah
menjadi fluorourasil.
l. Farmakokinetik Obat: Absorbsi
cerna.Pemberian bersama
: diserap dengan cepat dan baik melalui saluran
makanan memperlambat penyerapan
diserap tidak berkurang. Penyerapan juga diperlambat pada
suspensi alumunium
Distribusi
tapi jumlah yang
pemberian bersama
hidroksida/magnesium hidroksida dan dengan neomisin.
:didistribusikan dengan baik ke seluruh jaringan dengan volume distribusi
mendekati total cairan tubuh. Ekskresi
: 90% flusitosin akan dikeluarkan bersama
melalui filtrasi glomerulu dalam bentuk utuh, kadar dalam urin berkisar antara 200500µg/ml. Kadar puncak dalam darah setelah pemberian per-oral dicapai 1-2 jam.
Kadar ini lebih tinggi pada penderita infusiensi ginjal. Masa paruh obat ini dalam serum
pada orang normal antara 2,4-4.8 jam dan sedikit memanjang pada bayi prematur tetapi
dapat sangat memanjang pada penderita insufisiensi ginjal
m. Inkompatibilitas: n. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran
1. GRISEOFULVIN
a. Rumus bangun:
b. Nama IUPAC: (2S,6'R)- 7-chloro- 2',4,6-trimethoxy- 6'-methyl- 3H,4'H-spiro [1benzofuran- 2,1'-cyclohex[2]ene]- 3,4'-dione
c. Rumus kimia: C17H17ClO6
d. Sifat Fisika dan Kimia: Griseofulvin berwarna putih atau putih krem, rasa pahit,
termostabil. Dalam perdagangan obat ini tersedia untuk penggunaan secara oral sebagai
Griseofulvin Microsize dan Griseofulvin Ultramicrosize. Griseofulvin Microsize
mengandung partikel berukuran diameter 4 μm dan Griseofulvin Ultramicrosize
mengandung partikel berukuran diameter < 1 μm
Kelarutan: Larut dalam etanol, metanol, aseton, benzen, kloroform,etil asetat dan asam
asetat; Praktis tidak larut dalam air, petroleum eter.
19
e. Golongan kelas terapi: Antijamur
f. Aktivitas antijamur: Griseofulvin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas hanya
untuk spesies Epidermophyton flocossum, Microsporum sp., dan Trichophyton sp.,
yang merupakan penyebab infeksi jamur pada kulit, rambut kuku. Griseofulvin tidak
efektif terhadap kandidiasis kutaneus dan pitiriasis versikolor.
g. Regimen dosis: Dewasa :500 mg sehari dalam dosis terbagi atau dosis tunggal, pada
infeksi berat dosis dapat ditingkatkan hingga dua kali lipat , kemudian dosis diturunkan
jika telah ada respon; Anak-anak : 10 mg/kg sehari dalam dosis terbagi atau dosis
tunggal.
h. Indikasi: Infeksi dermatofit pada kulit, kulit kepala, rambut dan kuku jika terapi topikal
tidak berhasil atau tidak cocok.
i. Kontraindikasi: Penyakit hati yang berat, lupus erytematosus sistemik (risiko serangan);
porfiria; kehamilan (hindari kehamilan selama penggunaan obat dan hingga 1 bulan
setelah pengobatan; menyusui; pria sebaiknya tidak merencanakan mempunyai anak
selama 6 bulan dalam pengobatan.
j. Efek samping: Mual, muntah, diare ; sakit kepala; tidak banyak terjadi hepatotoksisitas,
pusing, kebingungan, rasa lelah, gangguan tidur, gangguan koordinasi, neuropati
perifer, leukopenia, ruam termasuk yang jarang terjadi erithema multiform, necrolysis
epidermal toksik, dan fotosensitivitas.
k. Interaksi Obat: - Dengan Obat Lain : Efek sitokrom P450: induksi CYP1A2 (lemah),
2C8/9 (lemah), 3A4 (lemah); Meningkatkan efek/toksisitas : Toksisitas ditingkatkan
dengan etanol, dapat menyebabkan takikardi dan flushing (kemerahan); Menurunkan
efek : barbiturat dapat menurunkan kadar griseofulvin. Menurunkan aktivitas warfarin.
Menurunkan efektivitas kontrasepsi oral. Dengan Makanan : Konsentrasi griseofulvin
dapat meningkat jika digunakan bersama makanan , terutama makanan yang
mengandung lemak tinggi. Etanol : hindari etanol (dapat meningkatkan depresi SSP),
Etanol akan menyebabkan reaksi type ’’disulfiram’’ seperti kemerahan, sakit kepala,
mual dan pada beberapa pasien mengalami muntah dan nyeri dada dan/atau abdominal.
l. Mekanisme kerja obat: Menghambat mitosis sel jamur pada metafase; berikatan dengan
keratin manusia menyebabkan resistensi terhadap invasi jamur.
m. Farmakokinetik Obat: Absorpsi : absorpsi
Griseofulvin ultramicrosize hampir
sempurna;Distribusi : menembus plasenta; Metabolisme : sebagian besar di hati; T½
eliminasi : 9-22 jam; Ekskresi : urine (< 1% dalam bentuk obat tidak berubah); feses
dan keringat
20
n. Inkompatibilitas:o. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran: 125mg(500mg)/tablet(forte)250mg /
tablet.
21
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Jamur merupakan makhluk hidup yang memiliki banyak jenis, itulah yang
menyebabkan masing-masing infeksi yang ditimbulkan juga berbeda-beda. Golongan –
golongan obat antijamur sudah cukup dapat menangani infeksi akibat jamur. Tempat infeksi
jamur pada tubuh manusia juga menjadi tolak ukur jenis infeksi.
3.2 SARAN

Menjelaskan lebih detil jenis infeksi yang disebabkan fungi

Menjelaskan keterkaitan antara jenis penyakit dan pengobatan yang diambil

Menjelaskan lebih detil macam-macam jenis jamur yang menyebabkan infeksi
22
DAFTAR PUSTAKA
Andini, DM, dkk. 2015. Farmakologi kelas X. Jakarta: CV Karya Agung.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Universitas Indonesia. Farmakologi dan Terapi.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Hoan Tjay, T . 2013. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Harvey, Richard, dkk. 2013. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: EGC.
Hardman, Joel. 2012. Goodman&Gilman Dasar Farmakologi dan Terapi vol.3. Jakarta:
EGC.
Hardman, Joel. 2008. Goodman&Gilman Dasar Farmakologi dan Terapi vol.2. Jakarta:
EGC.
xxiii
Download