peran hukum udara dalam pengaturan dan pengembangan industri

advertisement
l8l
•
PERAN HUKUM UDARA DALAM PENGATURAN DAN
PENGEMBANGAN INDUSTRI PENERBANGAN,
KHUSUSNYA INDUSTRI PESAWAT UDARA
DI INDONESIA
_ _ _ _ OIeh : Mieke Komar Kantaatmadja, S.H.,M.C.L. ,C.N. *) _-;-__
Pengantar
Pada kesempatan ini penulis, sesuai
dengan tugasnya untuk memberikan
suatu penjelasan ten tang Hukum Udara, dalam makalah ini ' akan menyaji:
kan suatu pengantar tentang dasardasar pengetahuan Hukum Udara.
Adalah tujuan pengantar ini agar
dalam penulisan dan penganalisisan
yang akan dilakukan para peserta
Lokakarya ini mengenai suatu permasalahan yang menyangkut industri penerbangan dan khususnya industri
pesawat udara, aspek-aspek Hukum
Udara yang re1evan selalu turut diperhatikan.
Merupakan kenyataan di seluruh
dunia, bahwa suatu hal yang paling
"menarik" . untuk "head-line" persuratkabaran adalah terjadinya kecelakaan pesawat udara. Aspek-aspek Hukum
Udara yang selalu ditonjolkan berkisar
pada tanggung jawab operator (perusahaan penerbangan yang bersangkutan) atas kerugian yang diderita para
penumpang 1 maupun orang lain yang
tidak berstatus penumpang,2 masalah
pem bayaran ganti rugi (di Indonesia
diberi penamaan "santunan"), masalah
asuransi, 3 investigasi kecelakaan pesas
wat,4 serta pencarian dan bantuan.
Dan turut mempertanyakan sejauh
mana industri pesawat udara yang
memproduksi pesawat, mesin dan
komponen pesawat yang naas itu
dapat turut diminta pertanggungjawaban atas dasar tanggung jawab atas
2.
3.
*) MaIcalah ini disampaikan pada Karya
Latihan Wartawan II di Industri Pesawat Terbang Nusantara di Bandung
tanggal 3 Februari 1987, dan direvisi seperlunya.
4.
1. Lihat Konvensi Warsawa 1929 tentang
Pengangkutan
Internasional'
Protokol
.
'
Den Haag, 1955; Konvensi Guadalajara
5.
1961, Protokol Guatemala 1971, ke-4
Konvensi Montreal 1975; Ordonansi
Pengangkutan Udara Staatsblad 1930
No. 100 dan PP 17, 1965 serta berbagai
SK Menteri yang menambah peraturan
• •
1m.
Konvensi Roma 1952 tentang kerugian yang diderita pihak ketiga di atas per
permukaan bumi; Protokol Montreal
1978, RI belum memiliki peraturan nasional khusus mengenai hal ini.
Praktek asuransi penerbangan sudah
maju di Indonesia walaupun belum didukung undang-undang nasional Asuransi Penerbangan lihat PP 17, 1965,
beberapa PP dan SK Menteri yang relevan.
Mengikuti Annex 13 ICAO, tentang
Aircraft Accident Investigation.
Lihat Annex 12 ICAO, PP No. 12,
1972, dan Keppres No. 11, 1972.
April 1987 .
•
•
Hukum dan Pembangunan
182
produksi (product liability). 6 Ingat
kasus DC-lO beberapa tahun yang
7
lalu.
Hal di atas dapat dimaklumi, namun perlu diketahui bahwa Hukum
Udara tidak hanya mengatur perm asalahan yang menyangkut kecelakaan
pesawat udara dan ganti rugi saja.
Juga, tidak terbatas mengatur masa•
lah hijacking, atau dikenal dengan
segi-segi Hukum Udara Pidana,8 yang
memang merupakan suatu objek pemberitahuan yang "menarik" juga.
Batasan
•
Batasan (definisi) Hukum Udara
yang dapat diberikan di sini adalah
6. Tuntutan ganti rugi atas kerugian yang
disebabkan oleh produk pesawat udara
dapat didasarkan atas teori kelalaian
(theory of negligence), teori ganti rugi
mutlak (strict liability) yang timbul
seketika pada saat terjadinya kerugian
dan atas dasar adanya pelanggaran terhadap jaminan-jaminan (warranties) yang
diperjanjikan pihak manufacturer dengan
pihak lain; baca Mieke Komar Kantaatmadja Kontrak Jual-beli Pesawat Udara,
dalam buku Berbagai Masalah Hukum
Udara dan (ruang) Angkasa. Remaja
karya, 1984, hlm. 30-40.
7. Kecelakaan American Airlines DC-lO
yang terjadi di Chicago, 25 Mei 1979,
yang menghasilkan antara lain diadakan
inspeksi Wing pylon mount system pada
semua tipe pesawat ini.
8. Konvensi Tokyo 1965, Konvensi Den
Haag 1970, Konvensi Montreal 1971,
UU No.2, 1976 ,tentang Pengesahan
RI atas ketiga Konvensi tersebut, UU
No.4, 1976 tentang perubahan dan
penambahan beberapa paw dari KUHAP
Pidana bertalian dengan perluasan belakunya ketentuan perundang-undangan
pidana, kejahatan penerbangan, dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
bahwa Hukum Udara (Air Law, Aeronautical Law, Lucht Recht; Luft
Recht, Droit d'Arien') mencakup
kumpulan peraturan yang · mengatur
penggunaan ruang udara beserta seluruh manfaatnya bagi penerbangan, masyarakat dan negara-negara di dunia
9
ini. Dengan kata lain, Hukum Udara
mencakup segala macam undang-undang, peraturan dan kebiasaan mengenai penerbangan, serta segala hak dan
kewajiban yang ditimbulkannya, yang
disusun berdasarkan perjanjian, kebiasaan dan hukum yang berlaku di
10
dan di an tara negara-negara. Tentang
sifat dan luas wilayah berlakunya Hukum Udara telah diketahui bahwa setiap negara metniliki kedaulatan penuh
dan eksklusif (full and exclusive
sovereignty ) dalam ruang udara yang
berada di atas wilayah darat dan laut-
-
•
9. I.M.Ph. Diederik.s Verschoor, An Introduction to Air Law, Kluwer, 1982,
hlm. 1.
1O.Priyatna Abdurrasyid: Kedaulatan Negara di Ruang Udara, disertasi, FH
Unpad, 1972,hlm. 25.
Pengertian lain, yang menempatkan
Hukum Udara sebagai bagian dari Hukum Angkasa (Aerospace Law, Hukum
(ruang) Udara dan Ruang Angkasa)
menegaskan bahwa Hukum Angkasa
(c.q. Hukum Udara) pada hakikatnya
berusaha mencari penyelesaian atas tiga
masalah yang berkaitan dengan:
1. Sifat dan lURS daerah di ruang udara
(dan ruang angkasa) tempat Hukum
Angkasa berlaku dan diterapkan,
2. Bentuk-bentuk
·kegiatan manusia
yang diatur di daerah tersebut,
3. Segala peralatan penerbangan (flight
instrumentalities) yang menjadi objek
hukum ini; ibid, hlm. 20.
Hukum d4n InduBtri Penerbanllan
11
annya.
Harus diakui bahwa batas
paling atas ruang (wilayah) yang diatur Hukum Udara belum juga ditetapkan oleh Hukum Internasional dan
Hukum Nasional , masalah delimitasi
ini masih diperdebatkan di forum
internasional. Pengaturan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 1982
ten tang ketentuan-ketentuan Pokok
Pertahanan dan Keamanan Negara
12
Indonesiapun masih mendapat tanggapan-tanggapan "kontroversial" di
dalam negara kita. Untuk mudahnya, baiklah kita berpegang pada kenyataan bahwa di ruang udara yang
masih berisi volume udara (atmosfrr)
dan di mana aktivitas aeronautika
oleh pesawat udara 13 dapat berlang•
1l.Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang
Penerbangan Sipillnternasional.
Batasan Pesawat Udara menurut Konvensi Chicago 1944.
12.Lihat Penjelasan UndaQg-Undang ini Pasal 30 ayar 3(a): "Yang dimaksud de. tugas penegakan kedaulatan negara
diartikan sama dengan Penjelasan ayat 2
(a) pasal ini bagi wilayah udara. Adapun
pengertian dirgantara mencakup ruang
udara dan antariksa termasuk orbit
geostationer yang merupakan sumber
daya alam terbatas", Sedangkan Penjelasan pasa/ 30 ayat 2(a) berbunyi:
"Yang dimaksud dengan tugas penegakan kedaulatan negara di laut mencakup
pengertian penegakan hukum di laut sesuai dengan kewenangan yang diatur
dengan peraturan perundang-undangan,
Baik daJam lingkup nasional maupun
daJam kaitannya dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional" ,
13.Batasan Pesawat Udara menurut Konvensi Chicago 1944 yang diubah pada
tahun 1967, dengan munculnya pesawat Hoover Aircraft, berbunyi: "Aircraft
is any machine that can derive support
in the atmosphere from the reactions of
the air other that the reactions of the
air against the earth's surface" . Batasan
183
sung, . disinilah berlaku Hukum ,Uda14
ra.
Sehingga roket dan pesawat
ulak-alik seperti "Challenger- alm
." dan
.
seluruh aktivitas lainnya tidak tunduk
pada Hukum Udara tetapi diatur oleh
Hukum Ruang Angkasa (Outer Space
15
-
Law) Dari pengertian-pengertian di
atas terlihatbahwa sifat internasional
Hukum Udara sangat menonjol,16 dan
memang sejak awal perkembangan
Hukum Udara ketentuan-ketentuan
Hukum Internasional sangat mempengaruhi pembentukan materi Hukum Udara. Contohnya, Konvensi Chicago 1944 ten tang Penerbangan Sipil
Interrtasional --beserta ke-18 Annexesnya wajib diterapkan oleh setiap negara peserta Konvensi, termasuk Indonesia.Dapat disimpulkan bahwa seluruh penindang-undangan, peraturan
dan ketentuan , seperti yang dimuat
dalam Undang-Undang No. 83 tahun
sebelumnya, yang _juga rnasih dimuat
daJam Undang-Undang Penerbangan Indonesia 1958 berbunyi: "Machines
which can derive support in the atmosphere from the reactions of the air" .
Hooveraircraft tidak
termasuk klasifikasi
.
.
pesawat udara di atas.
14.Dikenal juga berbagai teori di1imitasi
lainnya, sepertiyang menarik batas demarkasi menurut perigee terendah suatu
satelit yang mengorbit yaitu k.l. 10011 0 km di atas sea level.
IS.Lihat antara lain Outer Space Treaty
1967, .Rescue and Return of Astronauts
Agreement 1958, Liability Agreement
1972, Registration Agreement 1975 dan
Moon Agreement 1980.
16.Sejak Konvensi Paris 1919 sifat internasional pengaturan Hukum Udara mulai
tampak. Didukung oleh kenyataan bahwa sifat karakteristik pesawat udara adalah _ unsur kecepatannya I(spud) dan
kemampuannya untuk dalam w3ktu sing-kat melewati -"legal national spheres"
yang berbeda-beda.
•
.
-
April 1987
184
1958 Republik Indonesia tentang Penerbangan, CASR (Civil Aviation
safety Regulation) Indonesia yang
menerapkan (sebagian besar, belum seluruhnya) ketentuan Annexes ICAO,17
berbagai Konvensi Intemasional yang
diikuti Indonesia, perjanjian-perjanjian
bilateral, Peraturan Pemerintah, Keputusan dan Instruksi Presiden, Surat Keputusan Bersama/Menteri, Undang-Undang lainnya yang berkaitan dengan
aktivitas penerbangan tercakup dalam
kumpulan pengaturan Hukum Udara
18
Indonesia. Kesemuanya ini menjadi
sumber Hilkum Udara dan dapat digunakan untuk mencari pemecahan permasalahan hukum tentang penerbangan di Indonesia. Sejauh diperlukan dan
apabila Hukum Udara Indonesia belum
cukup mengatumya perlu dicari bahan
perbandingan dari ketentuan-ketentuan khusus, praktek hukum dan yuris-
17.Ke-18 Annexes ICAO yang berm ketentuan-ketentuan teknis implementasi isi
Konvensi Chicago 1944 mencakup:
(1) personnel licensing, (2) rules of the
air, (3) meteorological service for international air navigation, (4) aeronautical
charts, (5) units of meaSUlUllent to be
used in air and ground operations,
(6) operation of aircraft, (7) aircraft
nationality and registration marks, (8)
airworthness of aircraft, (9) facilitation,
(10) aeronautical telecommunications,
(11) aircraft traffic services, (12) search
and rescue, (13) air craft accident investigation, (14) aerodromes, (15) aeronau tical information services, (to) aircraft noise, (17) security-safe guarding
International Civil Aviation against acts
of unlawful interference, (18) safe transport of dangerous .goods by air.
18.Lihat Hirnpunan Peraturan Penerbangan
yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara bagian Hukum, 1984.
Hullum d4n PembIJ nlfU nan
prudensi negara asing lainnya.
Seperti dalam industri pesawat udara, ketentuan-ketentuan teknis yang
dimuat dalam Federal Aviation Regulation 1958 (dan perubahan-perubahannya)19 perlu turut diperhatikan. Demikian pula perkembangan. Hukum
Udara di negara terse but dan negaranegara lain yang memiliki industri
penerbangan dan industri pesawat
udara yang maju. Tentunya tidak setiap permasalahan yang menyangkut
industri penerbangan maupun industri pesawat udara dapat diatasi hanya
dengan menerapkan ketentuan-ketentuan Hukum Udara. Ketentuan-ketentuan hukum umum seperti yang termuat dalam Hukum Perdata, Pidana,
Dagang, Fiskal, Hukum Perindustrian,
dan lain-lain yang relevan selalu harus
turut diperhatikan . Contoh: suatu
kerjasama bilateral dalam desain dan
produksi pesawat udara antara indutri
pesawat udara yang bersifat transnasional menyangkut Hukum Perusahaan, Hukum Kontrak, Pengaturan Pengalihan Teknologi, Hukum Fiskal, dan
lain-lain beserta ketentuan-ketentuan
Hukum Udara negara-negara yang bersangkutan. Apabila dipertanyakan mengapa ketentuan-ketentuan Hukum
Udara yang disinggung di atas memberi !resan seolah-olah hanya mengatur
mengenai aktivitas penerbangan sipil
dan pesawat udara sipil melulu. Jawabannya adalah, bahwa terkecuali
apabila suatu ketentuan Hukum Udara
yang secara tegas dinyatakan berlaku
untuk penerbangan yang dilakukan
oleh pesawat udara negara/militer,
aktivitas pengoperasian pesawat udara
19.Lihat CFR, 14 1980, Aeronautics and
Space, Part I to Part 59.
•
Huku m dan IndU8tri Penerbanllan
terakhir ini seluruhnya diatur oleh ketentuan yang khusus diperuntukkan
b.aginya.2O
Kriteria urituk membedakan suatu
pesawat udara ' sipil di satu pihak dan
pesawat udara militer di pihak lain,
terutama dilihat dari tujuan penggunaannya. Contoh: suatu pesawat udara
Lockheed Hercules yang diperuntukkan bagi pengangkutan transmigrasi
memperoleh status pesawat udara sipil. Dan harus tunduk pada antara lain
kewajiban registrasi menu rut UndangUndang No. 83 tahun 1958, CASR,
Indonesia, dan sejauh belum diubah
dengan ketentuan lain, Peraturan Pengawasan Penerbangan 1936 No. 426.
Sebagai alat transportasi yang relatif lebih muda dibanding dengan alat
transportasi darat dan laut, pesawat
udara sering dijuluki sebagai the
most regulated mode of transportation
yang diatur oleh berbagai ketentuan
hukum nasional (terrnasuk Hukum
Udara), yang diserasikari dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional. 21
20. Ditetapkan oleh badan-badan berwenang
Departemen Pertahanan dan Keamanan
(Angkatan Bersenjata) Republik Indonesia. Dalam perundang-undangan RI. diberi peran pula pada badan-badan !leperti LAPAN dan Depanri untuk menetapkan kebijaksanaan/policy penerbangan yang menyangkut baik penerbangan
sipil dan negara/rniliter.
21. Annexes ICAO yang berisikan definitions, standards dan recommended
practices perlu ditaati oleh negara pe' serta Konvensi. Walaupun "reoomrnended practices" tidak berfifat memaksa,
apabila suatu negara peserta tidak
atau kurang sanggup menerapkan aturan-atural1 di atas, karena kondisi nasionalnya, hal ini perlu diberitahukan pada
ICAO Council (Pasal 38 Konvensi Chicago 1944).
185
Kesemuanya menunjukkan pada kewenangan Pemerintah untuk turut
ntengawasi agar efisiensi penerbangan
dan keselamatan penerbangan terpenuhi. Walaupun demikian Pemerintah
tidak dapat
sebagai "penjamin" (guarantor) atas produk yang
dihasilkan pihak industri pesawat
udara maupun jasa penerbangan para
operator. 22 Persyaratan-persyaratan ke·
selamatan penerbangan yang ditetapkan Pemerintah adalah persyaratan
teknis yang berupa standard minimum
yang harus dipenuhi agar tercapai keselamatan penerbangan bagi masyarakat. Tingkat keselamatan penerbangan maksimal tetap terletak pada pundak pihak manufacturer maupun perusahaan penerbangan selama jangka
guna atau serviceable life time pesawat udara tersebut.
Singkatnya, kewenangan Pemerintah · untuk menetapkan pengaturan
maupun kebijaksanaan administratif
dan teknis menyangkut penetapan policy penerbangan, pengaturan aspekaspek ekonomis dan teknis penerbangan. Termasuk di dalamnya pengaturan
lalu lirttas penerbangan melalui udaraf
'penetapan route-route yang dapat dioperasikan oleh perusahaan penerbangan, penentuan tarif dan kapasitas
angkutan penumpang dan cargo, izin
usaha penerbangan berjadwal dan tidak berjadwal, pengoperasian pelabuh22.Alasan ini digunakan sebagai tangkisan
dalam tuntutan hukum di mana Pemerintah ingin dilibatkan sebagai pihak
yang memberikan perizinan dan sertifikasi. Baca Mark A. Dombroff, Certification and Inspection: An overview of
government Liability, Journal of Air
Law & Commerce, vol. 47, No.2, 1982.
•
hlm.229-255.
•
April 1987
•
Hukum dan Pembangunan
186
yang bersangkutan). Untuk tahap
pengoperasian pesawat udara tersebut
diperlukan Sertifikasi Kelaikan Terbang (Airworthiness Certificate) sebagai prasyarat yang ditetapkan dalam
Undang-Undang No. 83 tahun 1958.
Tahap Sertifikasi yang berbeda-beda
telah dan harus dilalui oleh produkproduk IPTN seperti NC. 212, NBO
105, Puma SA 330 dan Super Puma
AS-332, Bell412 yang dirakit berdasarkan Lisensi dengan pihak CASA,
MBB, Aerospatiale SA, dan Bell. Pesawat-pesawat ini tidak rnemerlukan Type Sertification seperti halnya CN 235.
Pesawat terakhir ini yang perancangan
dan produksinya dilakukan berdasarkan suatu kerjasama bilateral antara
CASA dan IPTN perlu memperoleh
semua sertifikat di atas, berawal dari
Type Certification yang standar dan
prosesnya telah ditetapkan oleh suatu
Joint Certification Board. yang tetdiri dari pejabat-pejabat Departemen
Perhubungan Dirjen Perhubungan Uda•
ra Spanyol dan Indonesia. Hasilnya,
adalah pemberian Type Certification
pada bulan Juni 1986 yang lalu untuk
CN. 235, yaitu dari Pemerintah Spanyol untuk versi CN 235 Spanyol dan
Indonesia untuk versi CN 235 - IndoneSla.
Pada tahap dimulainya pemasaran
produk pesawat udara keluar negeri,
maka di samping persyaratan keselamatan penerbangan nasional lazimnya
perlu dipenuhi pula persyaratan standar dan proses sertifIkasi dari negara
yang akan mengimpor pesawat tersebut. Harus
diperoleh pengakuan
(recognitionp4 dari negara asing ter-
an udara dan termasuk kebisingan suara zoning dan aktivitas komersial di dalam pelabuhan udara, registrasi, pemilikan dan hak jaminan atas pesawat
udara, persyaratan pemasukan pesawat udara ke Indonesia, bea-bea yang
menyangkut penerbangan, hal-hal lain
yang sudah
pada awal tulisan ini, dan lain-lain. Ketentuanketentuan . stan dar dan proses untuk
memenuhi persyaratan keselamatan
penerbangan yang berkaitan dengan
industri pesawat udara, desain dan
produksi pesawat udara, me sin dan
komponen, pemeliharaan, pengoperasian pesawat dan berbagai izin kecakapan awak pesawat serta petugaspetugas penerbangan, dan lain-lain.
Yang terpenting bagi Industri Pesaw at Terbang Nusantara, Indonesia
(1PTN), berawal dari persetujuan
pengoperasiannya sebagai Engineering
Design Organization dan Manufactur23
ing Crganization. Ketatnya standar
dan proses pensertifIkasian juga terWtijud dalam proses desain, produksi
•
aan pengoperasian pesawat udara.
Pada tahap desain dan pembuatan prototype suatu pesawat wajib diperoleh
Type Certification, sebagai tanda bahwa prototipe tersebut memenuhi
stan dar dan proses kelaikan udara
yang berlaku. Pada tahap produksi
. pesawat udara yang telah memperoleh
SertifIkasi Tipe, diperlukan Production Certificate (di sarnping juga dikenal Supplemental Type Certificate untuk izin modifikasi pesawat udara
•
•
23.Part. 55 dan 56 CASR. termasuk ~ailua
perangkat penilaian/evaluasi yang tersedia pada Dirjen. Perhubungan .Udara
untuk dapat memberikan p.ersetujuan
tersebut.
•
•
•
•
•
24. Bilateral Airworthiness Agre.e ment bukan merupakan Trade Agreement te.
'
•
•
Hukumdan Indu8trl Penerbangan
sebut atas sertiflkat ke1aikan terbang
Indonesia yang telah diberikan untuk
pesawat udara .
Dalam hal ini, harus diakui bahwa
stan dar kelaikan udara (airworthiness
standard) yang ditetapkan oleh Federal Aviation Administration/FAA dalam FAR Amerika Serikat· dianggap
paling berwibawa dan juga merupakan
"ticket" bagi pemasaran di mayoritas
negara di dunia ini. Walaupun sebenarnya desain dan prototype CN 235
sudah dirancang sesuai dengan FAA's
FAR. Part 25 (amendment 54)25 :
Airworthiness standards transport
category airplanes,namun untuk memperoleh pengakuan resmi dari Amerika
Serikat/FAA diperlukan suatu perjanjian bilateral yang dikenal dengan
Bilateral Airworthiness Agreement for
importation/export of Aircraft. Amerika Serikat/F AA (yang terkenal protective terhadap usaha pemasukan pesawat udara buatan negara asing)26
tapi berupa technial agreement (yang
dapat bersifat luas dan terbatas) " ... intended only to facilitate the reciprocal
acceptance of test results, certificates,
or marks of conformity issued by 1he
importing country, US
of
Transportation FAA, Advisory Circular,
No.820-82.
25 .. Asian Aviation, No. 1 June 23, 1986.
Indonesia Air Show.
26. Baca John Newhouse yang menggambarkan betapa sulitnya Airbus A-310 dan
Concorde memasuki pasaran domestik
Amerika Serikat, The Sporty Game,
New York, 1982; Brazil menunggu 3
tahun dan memperoleh sertifikasi untuk
Bandeirante pada tahun 1978 setelah
ada pembeli AS, Beverley M. Carl. The
Brazilian Aircraft Industry and the Use
of Law as a tool for Development,
Journal of Air, Law & Commerce, Vol.
50, vol. 3 & 4,1985, hIm. 551.
187
mempersyaratkan perlu adanya calon,
pembeli pesawat udara terse but di
Amerika Serikat, (kriteria : US interest
in the aircraft). Contoh : IPTN sudah
menjual 2 pesawat NC - 212 Aviocars
ke suatu perusahaan penerbangan di
Guam pada tahun 1984, dan atas dasar
ini dimulai langkah-Iangkah untuk
pembentukan perjanjian bilateral semacam di atas.
Sementara telah dihasilkan suatu
"Exchange of Notes" sebagai langkah
awal penutupan suatu Bilateral Airworthiness Agreement antara RI-USA
pada tanggal 24-1-1987 yang lalu
disertai suatu Tripartite Definition of
Regulatory Responsibility for the
PT. IPTN manufactured C-212 antara
DGAC - Indonesia, DGCA - Spanyol dan FAA-USA.
Agar perjanjian bilateral yang diperlukan itu dapat terwujud, peran keterlibatan pihak Pemerintah RI (Departemen Luar Negeri), bersama
dengan kesiapan badan-badan teknis
Departemen Perhubungan (Dirjen.
Perhubungan Udara) dan kesiapan industri pesawat udara (IPTN) sangat
menentukan, yaitu kesiapan dan
kemampuan untuk memenuhi semua
persyaratan prosedur dan teknis yang
dipersyaratkan F AA/F AR. Di samping itu tersedianya perangkat hukum
udara nasional yang lengkap, terutama
yang menyangkut pensertifikasian di
atas dan keyakinan pihak asing bahwa
ketentuan-ketentuan hukum tersebut
telah diterapkan secara konsekuen,
merupakan juga suatu prasyarat bagi
perwujudan perjanjian bilateral terse27
but.
27. "F AA includes in its eValuation an
assesment of the foreign airworthiness
April 1987
,
188
Huhum dan Pembangunan
Dalam pada itu, seluruh proses. turut berperan dan perlu mendukungnya, dan bukan hanya oleh ketentuanpensertiflkasian di atas mempunyai
ketentuan Hukum Udara saja.
impact besar dari segi pembiayaan,
Sebagai contoh dapat dikemukakan
baik bagi industri pesawat udara
maupun operator penerbangan,
bahwa berbagai fasilitas perpajakan,
export credits, loan guaranties dan
mengingat kedua pihak inilah yang
insurance facilities lazim diberikan
harus menanggung pembiayaan di
pada usaha industri pesawat udaatas (demikian pula praktek di
ra di negara lain, baik di negara indusAmerika Serikat).28
tri maju (AS, Inggris, dan negara lain)
Berkaitan dengan usaha pemasaran
dan negara sedang berkembang (con
pesawat udara, perlu dicatat bahwa
toh: Brazil dalam memajukan berbaPemerintah Indonesia beberapa
gai produk industri pesawat udara
waktu yang lalu telah mengeluarEmbraer) dan upaya-upaya tersebut
kan suatu SK Menteri Perhubungan
terbukti sangat efektif dalam memten tang "syarat-syarat pendaftaran
bantu pengembangan industri tersebut.
dan operasional pesawat udara yang
diperoleh dengan cara leasing". 29
Usaha pemeri~tah untuk memberi perKetentuan ini dapat mendorong
lindungan bagi pengembangan industri
usaha leasing pesawat udara, apabila
pesawat udara, seperti Inpres No.
30
konstruksi yuridis leasing di Indo1/1980 bukan merupakan hal yang
baru dalam praktek industri penernesia didukung dengan ketentuanbangan (contoh di Brazil).31
ketentuan fmansial dan perpajakan
Dalam usaha pengalihan teknologi
yang menguntungkan.
dari luar negeri dalam rangka memiDapat disimpulkan bahwa untuk
liki dan mengembangkan teknologi
usaha ini, yang tennasuk dalam bitinggi industri pesawat udara sendiri,
dang perindustrian, sesungguhnya sepengaturan
hukum
tentang
perlindunggala ketentuan Hukum Perindustrian,
an paten, merk, informasi/know how
Hukum Perdagangan, Ketenagakerjaan,
merupakan ketentuan-ketentuan subKetentuan Perpajakan secta pengaturstan sial. Implementasinya diwujudkan
an Pengalihan/Pelimpahan Teknologi
dalam berbagai bentuk kerjasama
transnasional seperti Licensing, Agenauthority's technical competences, capa·
•
cies, Jointventures antara contractor
bilities, regulatory authority, efficiency,
dan subcontractors, pendirian Konsorits airworthiness laws and regulations,
foreign industry's overall state of-thesium maupun pembentukan suatu
art in design and manufacturing capaJoint Company, seperti dalam hal
bility for the scope of the agreement
AIRTEC (Casa-IPTN) untuk pengemsought . . . ", U.S. Department of
bangan
dan
produksi
CN-235.
transport,op. cit., p. 2.
28. Baca Dennis Nilson, Airworthiness Di·
rectives : recovering' the cost of com·
pliance, Journal of Air Law & Commerce, vol. 49, No.1, 1983, him. 1-30.
29. SK.KM 78/AU.00l/PNB-86 tertanggai
16 Juni 1986.
30. Tentang larangan pemasukan pesawatpesawat yang sejenis dengan produksi
udara dalam negeri.
31. Baca Beverly M. Carl, op. cit.. him.
513-586.
•
•
Hukum dan Industri Pen-erbangan
189
Bentuk kerjasama transnasional
yang bertujuan pengembangan bersarna program pembuatan pesawat udara
dan mencakup pengalihan dan penerapan teknologi antara industri pesawat udara 32 dapat dipilih dari berbagai bentuk kerjasama, sesuai dengan
kebutuhan industri pesawat udara
pada saat tertentu. Sebagai bentuk
yang paling "sederhana' 'untuk pengalihan teknologi adalah kerjasama
berdasarkan perjanjian Licensing.
Contoh CASA - IPTN : NC-2l2;
IPTN-MBB : BO-106; IPTN - Aerospatiale : Puma NSA 330, Super Puma
NAS 332; IPTN - Bell Co : NBell
412 dan lain-lain. Seperti diketahui,33
pengalihan teknologi IPTN dilakukan
secara terprogram dan bertahap dalam
bentuk penerapan teknologi berupa
progressive manufacturing plans. Sesuai dengan perencanaan tahapan yang
ditetapkan, perlu diperhatikan persyaratan utama bagi kerjasama transnasional yaitu perlu adanya penyelenggaraan norma-norma, cara-cara produksi, komponen-komponen stan dar ,
pengalaman, prosedur dan struktur organisasi industri-industri yang bersangkutan, agar diperoleh kerjasama yang
dapat berhasil secara operasional dan
34
optimal. Yang kemudian disepakati
32. W.B. Jenkins Legal aspects of international cooperation on aircraft design and
production, Aeronautical Journal, Maret
1972; C.B. White Cooperation between
the parties to the project itself and
third parties, idem.
33. Baca Prof. Dr. lng. B.l. Habibie, A Pro·
gressive Decade of IPTN 1985, Lihat
Rahardi Ramelan The role of PT IPTN,
in forsteri71g and developing supporting
industries Symposium on Aviation Industry and Air Transportation, 1986.
34. Oetaryo Diran, IPTN, 1981.
bersama, dan sesuai dengan bentuk
kerjasama yang dipilih, dituangkan'
dalam perjanjian dan kontrak kerjasarna pengembangan dan produksi secara bertahap.
Bentuk kerjasama lain yang dapat
35
dipilih adalah : Kerjasama atas dasar perjanjian antara prime contractor
dan sub-contractor. Dalam kerjasama
seperti ini prime contractor adalah
satu industri pesawat udara tertentu
yang menerima tanggung jawab utama
atas pelaksanaan seluruh proyek pengembangan pesawat udara tertentu
terhadap pihak pemesan/pembeli (customer). Dalam pelaksanaan program
pengembangan tersebut para subcontractor, yaitu industri·industri pesawat
udara lain, turut serta dengan mengambil bagian work packages tertentu.
Pembagian tugas dan tanggung jawab
diatur secara seksama, juga meliputi
pembagian beban finansial yang harus
disetujui bersama. Pengalihan teknologi antar-industri pesawat udara yang
terlibat dalam program ini disepakati
bersama. Contoh, kerjasama dalam
pembuatan Fokker F·104.
Kerjasama lain adalah berdasarkan
perjanjian pembentukan suatu Konsorsium antara beberapa industri pesawat udara. Bentuk kerjasama ini men·
cakup beberapa prim~r-contracts (production dan sale) yang pengembangannya diatur antar-industri yang bergabung dalam konsorsium tersebut. Kedudukan hukum antar berbagai industri adalah sebagai equal partners, tidak
dibentuk suatu badan hukum tersendiri untuk menangani program pe-
35. W.B. Jenkins,
No. 30.
supra,
catatan ' kaki,
April 1987 .
•
•
190
ngembangan tersebut, yang dibentuk
adalah series of co-ordinating committees of bodies. Pelaksanaan work
packages tetap harus dilaksanakan dalam koordinasi yang ketat. Kesemuanya diatur secara seksama dalam berbagai kontrak internasional antar-industri yang bersangkutan. Contoh:
program Concorde (Aerospatiale CAAC), Transall (MBB - VPW Aerospatiale); Airbus (Aerospatiale ).
Kerjasama lain dapat dalam bentuk
mendirikan suatu perusahaan/Joint
Company ,sebagai badan hukum yang
khusus dibentuk untuk menangani
satu program pengembangan pesawat
udara tertentu atau series pesawat
udara . Pendirian dan pendaftaran perusahaan terse but disepakati di negara
tertentu, dan dalam kerjasama ini
dapat turut serta berbagai industri pesawat udara, yang masing-masing
merupakan pemegang saham yang
turut serta dengan proporsi share of
work yang disetujui. Kesemuanya diatur dalam berbagai kontrak internasional antara para pemegang saham
dengan pihak Joint Company tersebut,
dan antara para pemegang saham sendiri. Contoh : AIRTEC/CASA-IPTN
untuk CN-235. Wewenang dan tanggung jawab baik terhadap pihak customer dan antar pemegang saham di•
atur dengan teperinci, dan kewenangan joint company dapat ditetapkan
sebagai berikut:
- Joint company dapat bersifat shellcompany, yang dibentuk dengan
tujuan semata-mata untuk menerima kontrak pengembangan program pesawat udara dari pihak
customer, yang kemudian peke~a­
arinya diserahkan dalam bentuk
sub-contracts kepada para peme·
Hukum dan Pem ba ngunan
gang saham. Perusahaan ini tidak
memiliki staf tenaga kerja dan
tidak memiliki fungsi sendiri dan
lebih berfungsi sebagai sarana untuk
menampung kontrak pengembangan program (contractual vehicle),
contoh : Anglo-French SEPECAT.
- Joint company yang memiliki tugas
dan wewenang yang lebih luas,
memiliki tenaga staf sendiri terlepas dari pemegang saham. Secara
yuridis, tanggung jawab masing-masing pemegang saham terbatas pada
pelaksanaan subcontracts rna sing.
masing dan tidak meliputi tanggung
jawab at as seluruh program pengembangan.• Walaupun dalam praktek di kalangan industri penerbangan, para customer tetap meminta
jaminan (guarantee) para pemegang saham untuk -turut menjamin
pelaksanaan seluruh proyek
program pengembangan tersebut
(diterapkannya asas bertanggung
jawab secara bersama dan berenteng, joint and severally liable).
Contoh : Panavia Aircraft GmbH
(BAC-MBB-FIAT).
Demikian secara garis besar beberapa bentuk kerjasama industri pesawat udara yang bersifat transnasional, yang berkembang sangat
pesat di dunia penerbangan dan
tentunya dapat pula mengambil
bentuk variasi lain daripada yang
diuraikan di atas. Seluruh perjanjian yang menjadi das.ar kerjasama di
atas bersifat confidential agreements yang harus dihormati oleh
para pihak, penyalahgunaannya
akan berakibat fatal, yaitu berupa
pembatalan kontrak, disertai tuntutan ganti rugi dan secara tidak
langsung mengurangi bonafiditas
-
•
•
Hukum dan Indu.tri Penerbangan
191
•
industri yang bersangkutan.
Adalah suatu trend di Indonesia
bahwa praktek hukum, terutama di
dunia perindustrian dan niaga (industry-commerce) sering berjalan mencari berbagai bentuk dan pengaturanantar-pihak (secara kontraktual) tanpa
didukung oleh pengaturan peraturan
secara tertulis. Berkembangnya Commercial usages dan practices memang
tidak dapat dibendung 'mengingat perkembangan kebutuhan manusia dalam
interaksi industry-commerce demikian
meningkat. Sedangkan pengaturan hukum tidak cukup cepat dilengkapi,
diubah, dan dipermodernisir untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Disinilah terletak dilema hukum Indonesia
pada umumnya, yang diakui secara
luas. Dan pengaturan Hukum Udara
Indonesiapun tidak terkecuali menghadapi hal yang sarna.
Di satu pihak adalah menarik untuk
membicarakan peran Hukum Udara
dalam pengembangan industri pener-
bangan, khususnya industri pesawat
udara, namun bersamaan dengan itu
perlu dipertanyakan pula sejauh mana
Hukum Udara Indonesia dewasa ini
sudah cukup memadai untuk dapat
diakui sebagai tool for developing
. bidang-bidang industri ini. Sebagai
perangkat yang turut mengatur,
mengawasi, mendukung, dan membantu pengembangan industri dan
sanggup memecahkan permasalahanpermasalahan yang ada sekarang dan
dalam waktu yang akan datang.
Harus diakui bahwa usaha pengembangan industri pesawat udara Indonesia, di satu pihak sangat memerlukan
perangkat pengaturan hukum yang
mendukung derap langkah aktivitasaktivitasnya, namun di lain pihak harus diakui aktivitas-aktivitas tersebut
turut memberikan masukan-masukan
pada pengembangan Hukum Udara
yang sedang dilakukan di Indonesia
dewasa ini.
•
•
•
•
•
•
April 1987
•
•
Download