Modul Filsafat Manusia [TM11]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
FILSAFAT
MANUSIA
HISTORITAS
Fakultas
Program Studi
PSIKOLOGI
PSIKOLOGI
2014
11
Tatap Muka
Kode MK
11
Disusun Oleh
Juneman, S.Psi dan Fahrul Rozi, M.Si
Abstract
Kompetensi
Modul ini membahas tentang
bagaimana filsafat membahas tentang
manusia berdasarkan pada
perkembangan historisnya yang
mencakup periode perkembangan,
makna historitas, segi dan implikasi
historitas manusia.
Mahasiswa dapat memahami
pandangan filsafat dalam membahas
tentang manusia berdasarkan pada
perkembangan historisnya yang
mencakup periode perkembangan,
makna historitas, segi dan implikasi
historitas manusia..
Filsafat Manusia
Juneman dan Fahrul Rozi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
-modul ini disadur sepenuhnya dari modul Filsafat Manusia karya Juneman, S.Psi di Universitas
Mercu Buana HISTORISITAS MANUSIA
Kata “sejarah” ternyata mempunyai sejarah juga. Sepanjang diketahui, sejarah itu
belum dituliskan secara mendalam dan lengkap untuk kata Indonesia “sejarah”, tapi untuk
kata Inggris history (dan kata-kata yang berkaitan dengannya seperti histoire dalam bahasa
Prancis atau storia dalam bahasa Italia) sejarah itu sudah sering dilukiskan. History berasal
dari bahasa Yunani historein, artinya “menyelidiki, dan historia, artinya “penyelidikan” atau
pemeriksaan”. Dari situ berkembang sebagai arti berikut “pengetahuan”.
Demikian pada Plato, umpamanya. Aristoteles menggunakan historia dalam judul
salah satu bukunya dalam arti “kumpulan bahan-bahan tentang tema tertentu”.
Bertentangan dengan uraian yang memberi penjelasan sistematis. Filsuf Inggris, Francis
Bacon, yang hidup akhir abad ke-16 dan permulaan abad ke-17, masih melanjutkan
pengertian Aristoteles itu dengan mengatakan bahwa historia (ia menulis dalam bahasa
Latin) menyangkut pengetahuan tentang yang individual, berbeda dengan philosophia
(filsafat) yang berbicara tentang yang umum. Ia membedakan antara historia naturalis yang
mempelajari data-data alamiah seperti yang menyangkut tumbuhan serta binatang dan
historia civilis yang membahas tentang masyarakat dan negara. Dalam abad ke-18 arti yang
sama masih dapat ditemukan, tapi di situ sudah tampak tekanan lebih jelas pada sifat
kronologis dari data-data yang dipelajari. Dan tendensi terakhir ini menjadi semakin kuat,
sehingga kata history dalam zaman modern secara umum dikaitkan dengan pengetahuan
mengenai kejadian-kejadian yang berlangsung di masa silam.
Informasi tentang perkembangan yang dilukiskan secara singkat ini diperoleh dari
sebuah kamus filsafat berbahasa Prancis yang kenamaan. Tapi dalam kamus yang sama
istilah historisitas belum dicantumkan. Ini sudah pertanda bahwa di sini kita berjumpa
dengan sebuah pengertian yang masih agak baru. Dan memang demikian. Paham ini
diintroduksi dalam filsafat oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan dikembangkan lebih lanjut
terutama oleh Martin Heidegger (1889-1976). Bagi filsuf-filsuf seperti mereka historisitas
merupakan salah satu ciri khas eksistensi manusia. Dalam modul ini, hendak diperkenalkan
paham yang khas modern ini.
I. "Histori" dan "Historisitas" Melawan "Nasib" dan "Fatalisme"
Mari kita mulai dengan menjelaskan bahwa “historisitas” (Inggris: historicity)
merupakan prerogatif manusia. Hanya eksistensi manusialah yang ditandai oleh historisitas.
Hanya manusia merupakan suatu makhluk historis. Hanya tentang manusia dilukiskan suatu
sejarah, karena hanya dialah yang mengadakan sejarah. Perlu diperhatikan, dalam kalimat
terakhir kata “sejarah” dipakai dalam dua arti. Di satu pihak kata itu menunjuk kepada
2014
2
Filsafat Manusia
Juneman dan Fahrul Rozi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
“sejarah yang dicatat” atau “sejarah yang tersurat”. Untuk itu dipakai juga istilah
“historiografi”.
Sejarah dalam arti ini adalah pencatatan atau studi tentang peristiwa-peristiwa yang
telah berlangsung dalam waktu lampau. Ilmu sejarah merupakan pengolahan metodis dan
sistematis dari sejarah dalam arti ini. Arti ini dimaksudkan bila dalam toko buku atau
perpustakaan kita melihat rak-rak buku dengan papan “sejarah”, di samping “sastra”,
“teknologi”, dan sebagainya. Di lain pihak kata yang sama menunjuk kepada peristiwaperistiwa yang telah berlangsung itu sendiri. Dalam peribahasa Prancis, l‟historie se répéte
(sejarah terulang kembali) kata “sejarah” jelas tidak berarti “ilmu sejarah”. Yang
dimaksudkan dengannya ialah bahwa kejadian-kejadian dari masa silam sering terulang
kembali menurut pola-pola yang sama.
Arti kedua ini lebih fundamental daripada arti pertama. Ilmu sejarah hanya mungkin,
bila ada kejadian-kejadian yang pernah berlangsung. Buku-buku tentang sejarah Indonesia
hanya mungkin karena bangsa Indonesia telah mengalami sejarah yang kemudian dapat
dituliskan. Manusia bukan saja obyek sejarah, melainkan juga subyeknya. Ia bukan saja
produk peredaran waktu, tapi ia juga mengadakan sejarah. Kalau dalam filsafat modern
banyak dibicarakan tentang historisitas manusia, maka yang dimaksudkan adalah unsur
subyektif ini.
Manusia tidak hidup pasif di tengah peristiwa-peristiwa bersejarah, ia berperanan
sebagai pelaku dan pejuang dalam sejarah. Dalam sejarah tentu juga terdapat banyak faktor
yang tidak bergantung pada kehendak manusia, namun akhirnya sejarah adalah buah hasil
proyek-proyek dan rancangan-rancangan manusia. Dan justru karena manusia adalah
subyek sejarah, ia dapat menjadi juga obyek sejarah. Hanya tentang manusia sejarah
dituliskan. Tentang binatang atau alam jasmani tidak ada sejarah. Lebah sudah ribuan tahun
lamanya membangun sarangnya dengan cara yang selalu sama. Mustahillah mengadakan
studi sejarah tentang cara lebah atau burung membuat sarangnya di abad-abad silam. Tapi
sama sekali tidak mustahil untuk mempelajari sejarah arsitektur. Manusia tidak selalu
membangun rumahnya dengan cara yang sama. Tentang cara manusia membuat tempat
tinggalnya, kita melihat perkembangan-perkembangan yang mencolok, bila tema ini
ditelusuri sepanjang sejarah.
Mengapa tidak mungkin sejarah tentang binatang atau alam jasmani? Karena dalam
bidang infrahuman atau bawah-manusiawi sebenarnya tidak ada sesuatu yang “terjadi”. Di
situ tidak ada peristiwa-peristiwa menurut arti sepenuhnya. Atau dengan kata lain lagi, pada
bidang infrahuman tidak pernah terjadi sesuatu yang baru. Dalam dunia binatang dan dunia
jasmani pada umumnya segalanya bereaksi dengan cara yang sama. Di situ segalanya
berlangsung secara deterministis. Air selalu mendidih bila dipanaskan sampai 100 derajat;
pada waktu tertentu matahari terbit; pada musim tertentu burung-burung bersarang.
2014
3
Filsafat Manusia
Juneman dan Fahrul Rozi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Hal-hal semacam itu ditandai suatu keajekan yang dapat dipastikan. Dalam bidang
ini kita dapat mengabstraksikan waktu lampau, waktu sekarang, dan waktu depan. Air pasti
akan mendidih pada 100 derajat, besok dan lusa dan selama-lamanya. Tentang hal serupa
itu bisa diadakan ramalan yang tidak pernah meleset. Sekarang mungkin ada yang
menyatakan: Tetapi bagaimana halnya dengan evolusi dalam alam? Kalau dipandang dari
segi evolusi, bukankah harus diakui bahwa juga di bidang infrahuman betul-betul terjadi
sesuatu yang baru? Sebagaimana telah diperlihatkan oleh teori evolusi, pernah tidak ada
makhluk hidup dan pada saat tertentu makhluk hidup timbul. Jadi, sudah jelas dalam alam
infrahuman pun terjadi sesuatu yang baru. Disangka, kesimpulan ini tidak benar. Tentu saja,
bukan bermaksud menolak teori evolusi, teori yang dalam ilmu pengetahuan sudah diterima
secara umum (kendatipun tidak boleh dilupakan bahwa teori itu sendiri masih dalam proses
evolusi).
Evolusi itu tidak lain daripada bertumbuh dan berkembang dari sesuatu yang sudah
ada secara virtual, seperti bunga sudah mengandung buah yang akan datang atau dalam
biji sudah terkandung pohon mangga yang akan tumbuh daripadanya. Hal-hal infrahuman
tidak merupakan obyek dari ilmu sejarah, hanya obyek dari penyelidikan ilmu alam saja.
Karena, di bidang infrahuman tidak ada historisitas, hanya ada perkembangan. Manusia
ditandai historisitas. Dia satu-satunya makhluk yang sanggup menghasilkan sesuatu yang
baru. Manusia bisa mengambil sikap otonom terhadap dunia sekitarnya dan situasi di mana
ia berada. Kiranya sudah jelas bahwa kebebasan adalah kunci untuk memahami
keistimewaan manusia itu. Historisitas berkaitan erat dengan kreativitas dan inventivitas.
Tentu saja, historisitas selalu sudah merupakan ciri khas eksistensi manusiawi. Ini bukan
sesuatu yang khusus bagi zaman kita saja. Kendati demikian, historisitas tidak selalu dialami
dengan cara yang sama dalam setiap periode sejarah.
Tidak dapat disangkal, pada zaman kita sekarang manusia lebih insaf akan
historisitas itu daripada di masa silam. Malah dapat dikatakan, belum pernah manusia begitu
peka untuk dimensi historis dalam eksistensinya seperti sekarang ini. Hal itu dapat menjadi
lebih jelas, bila menyoroti – meski dengan selayang pandang saja – beberapa periode yang
berkaitan dengan sejarah filsafat Barat:
a. Pada masa Yunani kuno keinsafan akan historisitas belum dapat tampil ke permukaan,
karena kepercayaan akan Moira (Suratan Nasib) begitu kuat. Segala sesuatu yang
terjadi ditakdirkan bagi manusia dengan suatu keharusan mutlak. Tinggal saja ia
menerima nasibnya dengan hati yang tenang dan tabah. Yang terjadi harus terjadi
demikian dan tidak ada orang yang dapat meloloskan diri dari Suratan Nasib. Keyakinan
itu meresapi seluruh masyarakat dan kebudayaan Yunani kuno. Misalnya, salah satu
tujuan drama targedi, yang banyak digemari orang Yunani, adalah mendamaikan dia
2014
4
Filsafat Manusia
Juneman dan Fahrul Rozi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dengan nasibnya. Setelah pertunjukkan tragedi selesai, diharapkan para penonton telah
mencapai catharsis (pembersihan batin) dengan menerima nasib mereka tanpa
memberontak, sebagaimana telah mereka saksikan mengenai pahlawan-pahlawan
mitologi di pentas.
Untuk Oidipus, umpamanya, ditakdirkan begitu saja nasib malang yang telah menimpa
dirinya. Para penonton harus sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada jalan lain
daripada menerima nasib serupa itu dengan ketenangan hati. Di bidang filsafat,
kepercayaan Yunani kuno akan Suratan Nasib itu diungkapkan paling jelas dalam aliran
Stoa. Mereka menarik konsekuensi etis dari kepercayaan itu.
Menurut pendapat Mazhab Stoa, manusia adalah bijaksana, bila melepaskan diri dari
emosi serta nafsu dan mengakui bahwa segala-galanya berlangsung dengan keharusan
mutlak. Karena itu tidak ada alasan untuk menakuti kematian, umpamanya. Orang
bijaksana akan menghadapi maut dengan sikap tak acuh. Seluruh panadangan kuno itu
agaknya dilatarbelakangi kecenderungan spontan manusia untuk menerapkan pada
masa depan yang berlaku pada masa lampau. Peristiwa-peristiwa dari masa lampau
tidak dapat dihindarkan lagi. Apa yang telah terjadi, ya, telah terjadi. Tidak ada orang
yang dapat mengubah hal itu. Itu semua tentu benar. Tapi salahnya ialah bahwa hal
yang sama tidak berlaku bagi kejadian-kejadian yang akan datang.
b. Walaupun dalam Abad Pertengahan perspektif tentang sejarah sudah menjadi lain
sama sekali, namun historisitas belum tampil ke muka. Pandangan siklis tentang
sejarah yang menandai semua kebudayaan kuno (termasuk juga kebudayaan Yunani),
pada waktu itu sudah diganti dengan konsepsi linear: sejarah mempunyai titik tolak
(penciptaan) dan titik akhir (hari kaiamat). Pandangan Yahudi tentang sejarah itu
disebarluaskan oleh kebudayaan Kristiani dan dalam Abad Pertengahan sudah
mendarah daging. Namun demikian, manusia tidak diberi peranan betul-betul aktif
dalam sejarah. Paham “Suratan nasib” yang kafir itu pada waktu itu sudah diganti oleh
“Penyelenggaraan Ilahi” (Providentia Divina), namun paham kedua ini masih sering
memperlihatkan ciri-ciri yang berasal dari paham pertama. Manusia Abad Pertengahan
sering mengatakan: “Itulah kehendak Tuhan” dan dengan demikian ia pasrah. Apa yang
dialami manusia tidak jarang langsung ditafsirkan sebagai hukuman atau pahala dari
Tuhan. Mungkin sikap pasif itu disebabkan, karena manusia Abad Pertengahan pun
hampir tidak dapat mempengaruhi alam. Berulang kali ia menjadi korban bencana alam:
banjir, kelaparan, wabah, dan sebagainya. Karena tidak berdaya, terpaksa ia menerima
saja keadaan seperti itu. Dalam hal ini ia masih senasib dengan manusia dari zaman
kuno.
c. Salah satu ciri khas zaman modern ialah diakuinya otonomi tahap profan terhadap
tahap sakral. Keyakinan itu tentu tidak tercapai dalam satu dua hari, tapi merupakan
2014
5
Filsafat Manusia
Juneman dan Fahrul Rozi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
buah hasil suatu proses lama yang sudah berlangsung sejak Renaissance (abad ke-15
dan ke-16). Proses itu tampak pada segala bidang. Salah satu bidang yang sangat
mencolok adalah ilmu alam yang modern. Kalau pada Abad Pertengahan masih
terdapat kepercayaan bahwa gerak badan-badan jagat raya diatur oleh malaikat, maka
pada zaman modern timbul keyakinan bahwa gerak planet-planet dan badan-badan
jagat raya lainnya terjadi menurut hukum-hukum tetap. Dan apa yag berlaku bagi
planet-planet berlaku juga bagi seluruh alam, sehingga astronomi modern menjadi
model bagi seluruh ilmu alam baru.
Tentu saja, contoh termasyhur adalah kasus Galileo Galilei (1564-1642). Ilmuwan Italia
itu mengalami kesulitan-kesulitan dengan Gereja karena pendapatnya bahwa
mataharilah yang menjadi pusat jagat raya dan bukan bumi. Perlu tempo cukup lama,
hingga akhirnya diakui secara umum (juga oleh agama) bahwa ilmu pengetahuan
mempunyai otonomi sendiri yang tidak boleh dicampuri oleh pihak lain. Suatu bidang
lain adalah filasafat. Dengan berpikir secara mandiri Descartes (abad ke-17)
menciptakan filsafat baru untuk menggantikan filsafat lama yang sangat mengutamakan
otoritas (otoritas Aristoteles umpamanya atau pemikir besar lainnya). Filsafat baru
ciptaan Descartes adalah langkah penting dalam memperjuangkan otonomi rasio.
Suatu bidang lain lagi adalah hukum. Hugo Grotius (abad ke-17) merancang hukum
internasional yang didasarkan atas kodrat manusia. Ia menegaskan bahwa hukum
berlaku etsi Deus non daretur (seakan Allah tidak ada). Maksudnya, hukum tidak
mengikat bangsa-bangsa karena dianggap berasal dari Tuhan. Hukum harus mengikat
terlepas dari setiap kepercayaan religius, karena dasarnya adalah kodrat yang dimiliki
setiap manusia.
Kesadaran akan otonomi rasio manusiawi dan otonomi bidang profan pada umumnya
membuka kemungkinan untuk mengatasi fatalisme yang selama itu menandai
pandangan dunia. Sekarang manusia dapat memperbaiki nasibnya sendiri. Manusia
dapat memainkan peranan aktif. Ia dapat membebaskan dirinya dari macam-macam
ketidakberesan, misalnya penyakit. Tidak kebetulan bahwa pada akhir uraiannya dalam
Discours de la methode, buku kecil yang menjelaskan metode filsafat dan ilmu
penegtahuan baru, Descartes menyebut secara eksplisit ilmu kedokteran sebagai salah
satu lapangan di mana ia mengharapkan banyak manfaat dari ilmu pengetahuan yang
baru. Dan tidak kebetulan pula, bila dalam buku yang sama ia mengucapkan harapan
bahwa berkat pendekatan ilmiah yang baru kita manusia dapat menjadi maitres et
possesseurs du monde (tuan dan pemilik dunia).
d. Tapi kita harus menunggu sampai abad ke-19 untuk dapat menyaksikan bagaimana
kesadaran historis sungguh-sungguh merebut dunia intelektual. Abad ke-19 oleh
beberapa komentator telah diberi nama “abad sejarah”. Belum pernah terdapat begitu
2014
6
Filsafat Manusia
Juneman dan Fahrul Rozi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
banyak sejarawan berkaliber besar seperti pada abad itu. Dan filsafat juga sebagian
besar menjadi “filsafat sejarah”. Untuk itu cukup kita ingat saja nama-nama seperti
Hegel, Comte, dan Marx. Filsuf terakhir itu menekankan perlunya “praksis”. Praksis
justru menunjukkan peran aktif umat manusia dalam sejarah. Juga filsafat tidak
merupakan teori belaka tapi harus melaksanakan sesuatu, harus menjadi praktis. “Para
filsuf dulu hanya menginterpretasikan dunia dengan cara berbeda-beda; yang penting
ialah mengubah dunia”, kata Marx. Tapi Hegel dan Marx memandang sejarah sebgai
buah hasil dialektika yang berlangsung dengan mutlak perlu. Dan Comte mendasarkan
pandangannya atas pengetahuan positif tentang kemajuan umat manusia.
Pada mereka semua “manusia” adalah umat manusia yang dianggap sebagai subyek
umum. Mereka mengabaikan manusia sebagai individu. Bagi mereka sejarah adalah
realitas yang melebihi manusia-manusia perorangan. Hal itu antara lain mengakibatkan
bahwa filsafat mereka berakhir dengan konsepsi totaliter tentang negara (Hegel dan
Marx) atau tentang ilmu pengetahuan (Comte, yang melukiskan ilmu pengetahuan
sebagai agama baru). Dalam abad ke-20 kita melihat pelbagai reaksi terhadap
pandangan abad ke-19 mengenai sejarah itu. Bagi tema kita di sini tidaklah berguna
menyoroti semua reaksi itu. Bagi kita yang penting ialah reaksi yang menunjukkan
historisitas sebagai unsur dan struktur eksistensi manusia.
Manusia perorangan adalah makhluk historis. Dalam struktur eksistensinya sendiri
terdapat orientasi ke masa lampau dan masa depan. Manusia adalah pelaku sejarah.
Pada Sartre pendirian itu bahkan dirumuskan ekstrem sekali: manusia menciptakan
dirinya sendiri. Dengan demikian fatalisme yang menandai zaman kuno akhirnya
sampai dijungkirbalikkan. Tentu saja, tidak semua filsuf yang menekankan historisitas
manusia, menarik kesimpulan begitu ekstrem.
II. Arti Modern Istilah "Historisitas"
Mengapa justru dalam masa modern historisitas begitu diutamakan? Pertanyaan ini
tidak mudah untuk dijawab. Memang tidak dapat disangkal, keinsafan akan historisitas
manusia merupakan sesuatu yang baru, bila dibandingkan dengan periode-periode lain.
Pasti mesti ada sebabnya. Tetapi untuk mencari sebab-sebab itu, perlu diadakan semacam
“anatomi” mendalam dan lengkap tentang zaman kita yang tidak munkin diusahakan di sini.
Kita membatasi diri pada satu aspek saja yang jelas berbeda bagi manusia sekarang, bila
dibandingkan dengan teman-temannya di zaman dulu, yaitu pengalaman manusia tentang
waktu. Pengalaman itu menyangkut hubungan manusia dengan masa lampau maupun
dengan masa depan. Mari kita memandang beberapa detail:
a. Dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, pengetahuan kita sekarang
tentang masa lampau jauh lebih luas. Hal itu adalah hasil nyata dari ilmu
2014
7
Filsafat Manusia
Juneman dan Fahrul Rozi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pengetahuan. Pada Abad Pertengahan orang berpikir bahwa dunia berumur kira-kira
6000 tahun. Seorang sarjana Inggris, Toulmin telah menandaskan bahwa sampai
pada abad ke-18 orang mempunyai anggapan yang hampir sama dengan abad ke-4
(Augustinus)
tentang
kurun
waktu
yang
mencakup
sejarah
manusia
dan
perkembangan semesta alam. Katanya: “The overall time-span embracing all that
had happened since the creation covered… some 5.000, 6.000 or 10.000 years at
the outside”. Ahli fisika termasyhur, Isaac Newton (1642-1727), mengadakan
eksperimen dengan bola-bola besi pijar untuk dapat menyimpulkan berapa waktu
yang diperlukan bumi hingga menjadi dingin. Ia sampai pada 50.000 tahun, tapi
segera ia berkesimpulan bahwa dalam perhitungannya pasti terjadi kesalahan
tersembunyi, karena angka itu dianggap terlalu tinggi. Menurut perhitungan Kepler
(1571-1630), ahli astronomi yang ternama, permulaan penciptaan berlangsung pada
hari Minggu tanggal 24-4-4977 sebelum Masehi. Uskup Bossuet (1627-1704)
menulis sebuah buku sejarah bagi Pangeran Louis XV dari Prancis, di mana ia
mengatakan bahwa dunia diciptakan pada tahun 4004 sebelum Masehi.
Menurut ilmu pengetahuan modern umur bumi mesti ditaksir sekitar 4 miliar
(4.000.000.000) tahun dan merupakan hasil perkembangan yang meliputi banyak
miliar tahun lagi. Juga umur manusia jauh lebih tua daripada yang diperkirakan dulu.
Sekitar tahun 1950 para ilmuwan menyangka bahwa manusia pertama berumur kirakira 900.000 tahun. Sejak waktu itu ada perkembangan baru lagi. Sesudah
Zinyanthropos (homo habilis) ditemukan oleh Louis Leaky di Tanzania tanggal 17 Juli
1959, dapat ditentukan dengan metode yang cukup safe bahwa manusia pertama
hidup sekitar 1.860.000 tahun lalu. Timbulnya homo sapiens dari Cro-Magnon
(Prancis Selatan) ditaksir pada 100.000 tahun sebelum tarikh kita. Angka-angka ini
hampir tidak mungkin dibayangkan. Kiranya sudah jelas bahwa luas waktu lampau
sekarang ini dipandang dengan cara yang sama sekali berbeda dengan periodeperiode sebelumnya. Dan dengan demikian seluruh pandangan dunia berbeda pula.
Sejarah hanya goresan kecil yang ditarik manusia dalam lautan waktu yang
mendahuluinya.
b. Bila dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, pada manusia sekarang
terdapat sikap lain juga terhadap waktu depan. Sikap manusia terhadap waktu depan
itu sekarang sekali-kali bukan sikap menanti saja. Kita sudah jauh dari fatalisme
yang menandai zaman kuno. Manusia modern insaf bahwa masa depannya
sebagian besar terletak dalam tangannya sendiri. Hari esok tidak otomatis lagi sama
dengan hari ini atau hari kemarin. Wajah hari esok untuk sebagian ditentukan oleh
manusia sekarang. Dia sendirilah bertanggungjawab atas masa depannya.
2014
8
Filsafat Manusia
Juneman dan Fahrul Rozi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Keadaan itu disebabkan karena peranan dominan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam masyarakat modern. Menggunakan teknologi yang canggih hanya mungkin
dengan melihat jauh ke depan. Lagi pula, penggunaan teknologi sering kali
mempunyai efek-efek yang harus ditangani oleh teknologi juga. Masalah polusi
lingkungan merupakan contoh yang jelas.
Dengan
industrialisasi
besar-besaran
dan
banyaknya
kendaraan
bermotor,
lingkungan di negara-negara yang sudah maju mencapai titik rawan dan hanya ada
satu jalan untuk mengatasi efek-efek negatif teknologi, yaitu dengan teknologi itu
sendiri. Contoh lain adalah masalah kependudukan. Bila jumlah penduduk di bumi
kita bertambah terus dan tidak ada usaha mengendalikan laju pertumbuhannya, tidak
dapat dihindarkan kita akan menuju ke suatu keadaan yang sangat gawat.
Hal yang sejenis berlaku juga tentang eksploitasi sumber-sumber daya alam. Minyak
bumi misalnya jauh lebih banyak digunakan manusia daripada dapat bertambah
melalui proses alamiah. Sumber-sumber daya alam itu terbatas dan kalau dipakai
terus sesudah sekian waktu akan habis. Di samping menjaga agar persediaan yang
masih ada akan digunakan seefisien mungkin, manusia harus memikirkan juga
sumber-sumber energi baru. “Laporan Klub Roma” yang termasyhur itu merupakan
contoh jelas tentang cara pendekatan yang khusus bagi zaman dewasa ini.
Keterarahan ke masa depan belum pernah begitu besar seperti sekarang. Planning
atau “perencanaan” merupakan fenomena modern yang khas, seperti juga ilmu baru
yang disebut “planologi”. Memang benar yang sudah dikatakan A. Comte: “savoir
c‟est prévoir”, menjalankan ilmu pengetahuan berarti melihat ke depan.
III. Segi-segi dan Implikasi-Implikasi Historisitas
Historisitas termasuk struktur eksistensi manusia sendiri, kita lihat tadi. Dengan kata
lain, manusia adalah makhluk historis menurut kodratnya. Maka dari itu menganalisis
historisitas adalah suatu cara untuk mempelajari manusia.
Bila kita mempunyai penegertian lebih konkret tentang historisitas, kita juga akan
mengerti lebih baik apa itu hidup sebagai manusia. Dalam bagian terakhir ini kita akan
melihat bahwa historisitas sebagai paham modern sekurang-kurangnya membawa empat
implikasi. Perlu diperhatikan dengan baik bahwa empat implikasi itu tidak dapat dilepaskan
satu sama lain. Dengan menyebut yang satu orang sebenarnya turut menyebut yang lain
juga. Karena namanya “implikasi”, empat hal itu merupakan aspek-aspek dari realitas yang
tak terpisahkan. Empat impliksi itu adalah berturut-turut inkarnasi, kebebasan, temporalitas,
dan intersubyektivitas.
2014
9
Filsafat Manusia
Juneman dan Fahrul Rozi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
a. Inkarnasi
Historisitas tidak mungkin, seandainya manusia itu atau roh murni atau materi
belaka. Manusia bukan binatang dan bukan malaikat, kata Pascal. Hal itu tentu selalu
diketahui, tapi para filsuf tidak selalu berhasil untuk mengungkapkan kebenaran itu secara
refleksif dan sintesis filosofis yang mereka ciptakan. Dan tidak dapat disangkal, pada
permulaan filsafat modern pemikiran tentang manusia amat didominasi oleh konsepsi
dualistis, pandangan yang tidak sanggup mempersatukan secara harmonis segi rohani dan
segi jasmani dalam diri manusia. Yang dimaksudkan adalah filsafat Descartes.
Tentu saja, filsuf Prancis itu tahu bahwa manusia buka malaikat. Tapi dalam sintesis
filosofisnya, manusia muncul sebagai Cogito (kesadaran atau roh) yang terisolasi, sehingga
memang ada benarnya bila orang di kemudian hari berbicara tentang “angelisme” dalam
pemikiran Descartes. Dualisme Descartes itu merupakan suatu hipotek berat yang cukup
lama membebani pemikiran tentang manusia. Seluruh filsafat modern sesudahnya bergumul
untuk dapat mengatasi pandangan dualisitis tentang manusia itu. Dan mungkin baru zaman
kita sekarang mulai berhasil.
Tidak kebetulan bahwa dalam perspektif filsafat Descartes sama sekali belum ada
tempat untuk historisitas. Bagi dia manusia sebetulnya semacam makhluk ahistoris, seperti
binatang (dan… malaikat). Mengakui historisitas dalam eksistensi manusia dengan
sendirinya berarti juga mengakui manusia sebagai roh-yang-diinkarnasi, sebagai roh yang
menjelma dalam materi. Kejasmanian tidak merupakan rintangan bagi roh manusiawi.
Sebaliknya,
materialitas
adalah
satu-satunya
jalan
bagi
roh
manusiawi
untuk
mengekspresikan diri.
Pada manusia, aktivitas yang paling rohani pun tidak mungkin tanpa materi
(misalnya proses-proses dalam otak). Hal itu perlu diakui kepada materialisme, walaupun
tidak perlu kita setujui semua kesimpulan yang mereka tarik dari kenyataan itu. Ciptaan
manusia yang paling luhur seperti kesenian, tidak mungkin dikerjakan tanpa bahan tertentu.
Puisi tidak mungkin tanpa kata-kata, lisan atau tulisan, jadi materi pula (meski bahasa
barangkali dapat dianggap sebagai materi yang paling halus). Pendeknya, seluruh
kebudayaan baru menjadi mungkin, bila manusia adalah roh-yang-diinkarnasi. Karena,
kebudayaan itu tidak lain dari manusia yang mengungkapkan diri dalam alam, dalam materi
yang kasar. Kultur atau kebudayaan adalah materi yang dihumanisasikan.
b. Kebebasan
Historisitas tidak mungkin juga, jika manusia tidak bebas. Hal ini berkaitan erat
dengan yang dibahas tadi. Jika memang benar bahwa manusia selalu merealisasikan diri
dalam materi dan dengan materi, maka sudah diandaikan bahwa manusia itu bebas.
2014
10
Filsafat Manusia
Juneman dan Fahrul Rozi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sebuah batu adalah batu belaka, tidak lebih dan tidak kurang. Di sini harus dikatakan: “it just
is what it is”. Tapi manusia tidak pernah merupakan suatu data begitu saja , tapi juga tugas.
Dalam arti itu dapat dikatakan tentangnya: ”he never is what he is”. Manusia itu tidak pernah
merupakan suatu data alamiah.
Seorang manusia bukanlah seniman, umpamanya, sebagaimana batu adalah berat.
Bila Picasso adalah seorang seniman, itu berarti bahwa ia merealisasikan diri sebagai
seniman. Dalam kaitannya dengan kebudayaan dan khususnya dalam hubungan dengan
kesenian sering diapakai kata “menciptakan”. Seniman “menciptakan” karya seninya.
Seniman dan setiap orang yang menyumbangkan untuk memajukan kebudayaan adalah
“kreatif”. Tentu saja, manusia sepatutnya merasa segan menggunakan kata-kata itu tentang
dirinya sendiri. Hanya Tuhan adalah “pencipta” dalam arti sepenuhnya. Namun benar juga,
manusia diciptakan sebagai seorang pencipta, seperti pernah dikatakan filsuf Prancis.
Manusia adalah pencipta, walau bakat itu diberikan kepadanya. Ia sendiri tidak
merupakan sumber mutlak dari bakat itu. Bakat itu sendiri tidak diciptakan olehnya.
Kebebasannya adalah kebebasan-yang-disituasikan. Hal itu harus dipertahankan melawan
pandangan-pandangan ekstrem mengenai kebebasan, seperti misalnya pada Sartre.
Namun demikian, manusia betul-betul kreatif, karena ia dapat menghasilkan sesuatu yang
baru. Pada tahap binatang tidak pernah terjadi sesuatu yang baru.
Binatang tidak jarang memiliki bakat istimewa, sampai-sampai manusia sering kalah
terhadap mereka. Namun mereka tidak pernah mengemukakan sesuatu yang baru.
Sedangkan manusia, kata Hegel, adalah ein krankes Tier, binatang yang sakit. Maksudnya,
manusia tidak pernah puas dengan keaadaan alamiahnya. Manusia selalu ingin melampaui
keadaan
yang
disajikan
kepadanya
oleh
alam.
Ia
menjalankan
kemungkinan-
kemungkinannya terus-menerus. Eksistensinya tidak pernah selesai dan ia insaf akan hal
itu. Selalu ia mempunyai aspirasi untuk maju. Manusia, kata Merleau-Ponty, adalah un
mouvement de transcendance, gerak yang senantiasa mengatasi dirinya sendiri.
c. Temporalitas
Historisitas tidak mungkin juga, seandainya manusia itu makhluk abadi yang
terangkat di atas peredaran waktu. Historisitas mengandaikan bahwa eksistensi manusia
dijalankan dalam waktu. Atau dirumuskan dengan cara lain, eksistensi manusia menurut
kodratnya mempunyai struktur temporal.
Sepanjang sejarah filsafat banyak sekali dibahas tentang waktu. Pada Aristoteles
dan Augustinus sudah terdapat uraian-uraian tentang masalah waktu yang masih sempat
merangsang pemikiran sampai pada hari ini. Bagi kita tidak mungkin mendalami bagian
sejarah filsafat itu. Yang penting bagi tema kita ialah bahwa pada zaman modern konsepsi
tentang waktu cukup lama didominasi oleh pandangan fisika. Isaac Newton yang menulis
2014
11
Filsafat Manusia
Juneman dan Fahrul Rozi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sintesis besar tentang ilmu alam baru, mendefinisikan waktu sebagai berikut: “Tempus
absolutum, verum et mathematicum in se natura sua sine relatione ad externum quodvis
aequabiliter fluit alioque nomine dicitur duration” (Waktu yang absolut, benar dan matematis,
menurut kodratnya mengalir terus dengan cara yang sama tanpa hubungan apa pun dengan
sesuatu di luar dan dengan nama lain disebut durasi).
Kalau begitu, waktu dimengerti sebagai semacam rentetan saat-saat yang lewat
secara kontinyu: ada saat-saat yang sudah lewat dan karena itu tidak riil lagi (waktu
lampau), ada saat-saat yang belum lewat dan karena itu belum riil (waktu depan) dan di
antaranya terdapat saat sekarang sebagai semacam titik potong antara waktu lampau dan
waktu depan. Hanya saat sekarang itu dianggap riil, tapi segera hilang pula, jatuh ke dalam
ketiadaan dan diganti dengan saat lain. Dirumuskan sedikit karikatural, waktu lewat
bagaikan kereta api kilat dan setiap saat kita berhadapan dengan satu gerbong saja yang
terus-menerus diganti.
Konsepsi tentang waktu serupa itu berlaku bagi waktu fisis atau waktu matematis,
sebagaimana dikatakan oleh Newton sendiri. Itulah waktu yang ditunjukkan oleh jam, arloji
atau kalender. Tapi itu bukan waktu dalam arti yang asali. Itu bukan waktu yang “benar”,
sebagaimana diandaikan oleh Newton. Waktu fisis adalah waktu artifisial yang diturunkan
dari waktu yang dihayati manusia, waktu antropologis. Bagaimana waktu dihayati secara
asali? Waktu lampau, waktu sekarang dan waktu mendatang tidak merupakan tiga bagian
waktu yang homogen. Di antara tiga bagian waktu itu waktu sekarang menduduki tempat
istimewa.
Waktu pada dasarnya adalah waktu sekarang, tapi tidak dalam arti titik potong yang
timbul lalu segera hilang ke dalam ketiadaan. Waktu sekarang adalah “kehadiran”
(presence). Dengan kata lain, waktu mengambil asalnya dari dalam manusia (bandingkan
dengan Newton: “… tanpa hubungan apa pun dengan sesuatu di luar”). Waktu lampau
hanya bisa menjadi lampau bagi saya, karena saya dapat mengakuinya sebagai lampau.
Waktu lampau adalah hadir bagi saya dalam bentuk “tidak lagi”. Bila saya seorang dewasa,
maka masa muda masih hadir bagi saya, bukan saja sejauh saya mengingatnya, tapi juga
sejauh masa muda saya membentuk, membatasi, dan mengorientasi keadaan saya
sekarang.
Dalam konteks ini Husserl dan pengikut-pengikutnya menggunakan istilah Retention.
Hal yang sejenis harus dikatakan tentang waktu mendatang. Waktu mendatang adalah hadir
bagi saya dalam bentuk “belum”. Jadi, dengan salah satu cara hadir juga. Bila saya seorang
muda, maka masa dewasa saya sudah hadir bagi saya sejauh saya rencanakan, takuti atau
nantikan. Masa depan mengorientasi dan mempengaruhi keadaan saya sekarang. Para
eksistensialis memang benar dengan menekankan bahwa pada setiap saat kematian sudah
2014
12
Filsafat Manusia
Juneman dan Fahrul Rozi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
hadir dalam eksistensi seorang manusia, meski dalam bentuk “yang akan datang”. Kematian
yang tak terelakkan mempengaruhi dan mengorientasi eksistensi saya sekarang. Dalam
konteks waktu mendatang ini Husserl berbicara tentang Protention. Dengan demikian tiga
“dimensi” waktu (lampau, mendatang, sekarang) mengambil asalnya dari subyek dan
dipersatukan berdasarkan “kehadiran”.
d. Intersubyektivitas
Temporalitas tadi masih harus dilengkapi dengan implikasi lain lagi. Karena, bila
dikatakan bahwa eksistensi mempunyai struktur temporal, hal itu masih dapat dimengerti
tentang eksistensi perorangan saja. Tapi historisitas mengandaikan juga bahwa manusia
hidup dan berkarya bersama dengan manusia lain. Seandainya manusia seorang Robinson
Crusoe yang hidup seorang diri di pulau terpencil, tidak mungkin lagi dia “makhluk historis”.
Manusia adalah makhluk historis, karena ia merealisasikan dirinya dan menghumanisasikan
dunia bersama dengan orang lain, bukan saja kawan-kawan sewaktu melainkan juga
generasi-generasi sebelumnya.
Kita hidup dalam dunia yang telah dihumanisasikan oleh jerih payah banyak
angkatan sebelum kita. Hidup sebagai manusia berarti hidup sebagai ahli waris:
memanfaatkan pekerjaan dan pemikiran banyak sekali orang dari masa silam. Hal itu harus
dipahami dengan cara seluas munkin: juga di bidang kesenian, etika, dan agama. Manusia
adalah makhluk historis, karena selalu ia meneruskan. Historisitas menjadi mustahil,
seandainya setiap generasi (apalagi, setiap individu!) harus menemukan segalanya bagi
dirinya sendiri. Tapi dengan cara yang sama kita sekarang juga merealisasikan dunia di
mana kita hidup, bukan saja bagi kita sendiri melainkan juga bagi generasi-generasi yang
akan datang sesudah kita. Misalnya, sebagian besar tergantung pada kesigapan kita
sekarang, bagaimana keadaan lingkungan hidup sesudah satu atau dua abad lagi.
IV. Ikhtisar
Paham “historisitas” ini mengizinkan kita untuk mencapai posisi yang cukup
seimbang tentang hubungan manusia dengan sejarah. Tentang hubungan itu terdapat dua
pandangan ekstrem. Di satu pihak terdapat apa yang boleh disebut “naturalisme”. Menurut
pandangan ini manusia dianggap sebagai substansi yang tak terubahkan. Manusia
dianggap selalu sama dalam setiap periode perkembangan historisnya. Manusia
mempunyai kodrat yang tidak pernah berubah.
Di lain pihak terdapat “historisisme” (historicism). Perlu diakui, istilah ini (dan
sebenarnya hal yang sama berlaku juga untuk “naturalisme”) kerap kali kurang jelas karena
digunakan dalam pelbagai arti. Dengan “historisisme” di sini dimaksudkan usaha untuk
mengerti sesuatu dengan mengasalkannya kepada perkembangan historisnya. Misalnya,
2014
13
Filsafat Manusia
Juneman dan Fahrul Rozi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
norma-norma etis dianggap semata-mata sebagai produk perkembangan historis sehingga
norma-norma itu tidak pernah mungkin berlaku secara mutlak. Historisisme dalam arti ini
menganggap juga manusia sendiri sebagai produk perkembangan historis. J. Ortega Y
Gasset pernah mengatakan, “Manusia tidak mempunyai kodrat, ia hanya mempunyai
sejarah”. Bila ucapan ini harus dipahami secara harfiah dan bukan sebagai paradoks saja, di
sini secara jelas kita berjumpa dengan konsepsi historisistis tentang manusia.
Bila dua pandangan tentang pokok yang sama berlawanan secara ekstrem, kerap
kali kedua-duanya mengandung unsur kebenaran. Demikian halnya juga di sini. Dan paham
“historisitas” dapat membantu untuk mencarikan jalan tengah antara dua posisi ekstrem tadi
dan dengan demikian mensintesis kebenaran yang terdapat dalam kedua-duanya. Manusia
adalah subyek dan serentak juga obyek sejarah. Bila ia subyek atau pelaku sejarah, itu
berarti bahwa naturalisme untuk sebagian benar.
Seandainya manusia tidak mempunyai identitas yang jelas, tidak mungkin ia
memainkan peranan kreatif dengan menjadi pelaku sejarah. Manusia mengubah atau
mentransformasi dunia dan sejarah adalah justru proses transformasi itu. Karena itu perlu
diakui bahwa manusia mempunyai kodrat tertentu. Itulah kebenaran yang terpendam dalam
naturalisme. Tapi manusia tidak mempunyai kodrat yang masif dan monolitis. Ia tidak sama
dalam setiap periode dalam sejarah. Ia juga dipengaruhi dan dibentuk oleh sejarah. Itulah
kebenaran historisisme. Sehingga kita sampai pada kesimpulan bahwa hubungan antara
manusia dan sejarah bersifat dialektis. Artinya, terdapat perkaitan timbal balik antara
manusia dan sejarah. Manusia membentuk serta menghasilkan sejarah dan serentak juga ia
dibentuk dan dipengaruhi oleh sejarah. Kenyataan itu tidak lagi merupakan kontradiksi, bila
kita mengerti historisitas sebagai struktur fundamental dalam eksistensi manusia.
Daftar Pustaka
Juneman. 2008. Manusia Dalam Wacana Filosofis. Modul Filsafat Manusia. Universitas
Mercu Buana
2014
14
Filsafat Manusia
Juneman dan Fahrul Rozi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download