145 tanaman obat untuk pengobatan kanker

advertisement
Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 2, No. 4, Juli 2003
TANAMAN OBAT UNTUK PENGOBATAN KANKER
Suprapto Ma’at
Laboratorium/Instalasi Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran UNAIR/RSUD Dr. Soetomo
Yayasan Kanker Wisnuwardhana, Surabaya
Abstract
In the developing and developed countries, cancer treatments with medicinal herbs have been
carried out using both modern and traditional method. In Indonesia the plant resources really
support the development of medicinal herbs as medication, including for cancer treatment. There
are several causal factors of the outcome of cancer, so that the treatments needed are different.
Medicinal herbs with their ingredients have opportunity to play more important role in
supporting the cancer treatment whether as cytostatics, immune therapy, or palliative therapy
with low side effects. Although Indonesia has abundant flora resources, however the development
of medicinal herbs, especially for cancer treatment is not as good as the expectation. Factors
such as professional human resources in cancer treatment research, clinicians who don’t really
trust medicinal herbs as cancer treatment, and also the traditional healers who always kept their
experiences in cancer treatment as a secret, inhibit the research of medicinal herbs. Medicinal
herbs from Indonesia which have been predicted having anticancer effect, among others are from
Cruciferae family, Solanum nigrum L., Catharanthus roseus (Vinca rosea), Aloe vera L., Allium
sativum L., Curcuma longa L., Nigella sativa L., Morinda citrifolia L., Phyllanthus niruri L.,
Kaemferia rotunda, Manihot esculenta Crantz, Tinospora cordifolia, Ocmium sanctum, Melia
azadirachta L., Centella asiatica (L.) Urban, Euphorbia pulcherrima, Physalis angulata L.,
Alstonia sp, some parasites, Andrographis paniculata Ness., Gynura procumbens (Lour.) Merr.,
Curcuma zedoaria. They have property as cytostatics, immunomodulator, antiinflammation,
hepatoprotector, and analgesics. It has been predicted that there are several more medicinal
herbs in Indonesia with properties previously mentioned, or even better. In order to get standard
formulation of medicinal herbs for cancer treatment, a long and hard work is needed involving
all aspects of science, especially pharmacy and medicine. Hopefully, that this article be a trigger
in developing medicinal herbs as drug in cancer treatment.
Keywords: Anticancer, medicinal herbs
PENDAHULUAN
Sebagai negara yang memiliki kekayaan
flora nomor 2 di dunia, Indonesia diyakini memiliki
berbagai macam tumbuhan yang dapat dimanfaatkan
sebagai obat termasuk untuk pengobatan kanker.
Akan tetapi dalam kenyataannya perkembangan
pemakaian tumbuhan untuk pengobatan tidak seperti
yang diperkirakan, bahkan apabila dibandingkan
dengan beberapa negara Asia, Indonesia masih
tergolong rendah terutama pemakaian tumbuhan obat
yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan
formal. Data-data perbandingan tersebut terlihat dari
hasil seminar internasional tentang obat tradisional
dan pengobatan alternatif yang diselenggarakan di
Bangkok pada tanggal 30 Agustus sampai 2
September 1999 (“The 2nd International Seminar on
Regional Cooperation of Traditional and Alternative
Medicine Development in the Mekong-ASEAN-Indian
Ocean (MAI) Region”). Yang perlu kita tanggapi
secara serius dari seminar tersebut adalah
bahwasannya WHO sebagai Badan Kesehatan Dunia
Speech”-nya
dalam
“Keynote
menyatakan
mendukung pemakaian obat tradisional terintegrasi
dalam sistem pengobatan formal, seperti dikutip di
bawah ini:
“… WHO Member State have accordingly requested
not only to support development of their national
policies on traditional medicine, but also to provide
international technical standards, technical guidance
and information support relating to development of
traditional medicine.
In response to these new challengers and growing
demands, WHO’s role and its objectives and strategy
in the field of traditional medicine have also had to
be adjusted. The objectives of the WHO Traditional
Medicine Team (TRM) are therefore to:
• facilitate integration of traditional medicine into
national health system;
• promote the proper use of traditional medicine;
and
• act as a clearing-house to facilitate information
exchange in the field of traditional medicine.
WHO looks forward to continuing cooperation with
member states and experts to further developed
145
Tanaman Obat Untuk… (Suprapto Ma’at)
traditional medicine in order to improve human
health and well being …”
Keberhasilan masuknya obat tradisional ke
dalam sistem pelayanan kesehatan formal hanya
dapat dicapai apabila terdapat kemajuan yang besar
dari para klinisi untuk menerima dan menggunakan
obat tradisional, sebaliknya dari para apoteker untuk
bekerja lebih keras lagi guna menghasilkan obat
tradisional yang terstandar, disertai data ilmiah yang
akurat, termasuk di dalamnya data tentang hasil uji
klinik, disajikan kepada para klinisi menggunakan
“bahasa dokter” artinya diutarakan menggunakan
obat-obatan sintetik. Dan yang tak kalah pentingnya
adalah kemudahan dari Pemerintah dalam hal
perizinan baik pada waktu produksi, pengujian,
pemasaran, maupun jaminan kepemilikan hasil
penemuan/hak cipta (paten).
Pada dasarnya Pemerintah telah berupaya
mengembangkan obat tradisional agar dapat diterima
dalam sistem kesehatan formal sejak tahun 1985
melalui Pendekatan fitoterapi yang dalam perjalanan
selanjutnya berubah menjadi fitofarmaka. Hal ini
dipertegas dengan dikeluarkannya Permenkes
760/Per/ IX/1992 dan Pedoman pelaksanaannya yang
tertuang dalam SK Menkes 761/Menkes/SK/IX/1992.
Namun dirasakan di dalam SK tersebut ada hal-hal
yang sukar diimplementasikan.
Khusus obat tradisional untuk pengobatan
kanker, tak satu pun buku pegangan buatan
Indonesia yang dapat digunakan sebagai rujukan.
Kalaupun ada, buku tersebut hanya mengandalkan
pada pengalaman empirik tradisional atau hasil alih
bahasa dari buku asing terutama dari China tanpa
didasari
oleh
data
ilmiah
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Data-data penelitian dalam
negeri kalaupun ada, belum banyak yang telah
mengikuti alur pengujian atau metode pengujian
suatu obat untuk pengobatan kanker, atau mungkin
belum banyak dipublikasikan.
Di berbagai belahan dunia tumbuhan obat
telah banyak digunakan untuk pengobatan kanker,
baik sebagai pencegahan maupun pengobatan.
Tanaman yang digunakan adalah yang mengandung
senyawa atau substansi seperti karotenoid, vitamin C,
selenium, serat dan komponen-komponennya,
dithiolthiones, isotiosianat, indol, fenol, inhibitor
protease, senyawa aliin, fitosterol, fitoestrogen dan
limonen. Glukosinalat dan indol, tiosianat dan
isotiosianat, fenol dan kumarin dapat menginduksi
multiplikasi enzim fase II (melarutkan dan umumnya
mengaktivasi); asam askorbat dan fenol memblok
pembentukan
karsinogen
seperti
nitrosamin;
flavonoid dan karotenoid bertindak sebagai
antioksidan; karotenoid dan sterol merubah struktur
membran atau integritas; senyawa yang mengandung
sulfur dapat menekan DNA dan sintesis protein,
sedangkan fitoestrogen bersaing dengan estradiol
146
untuk reseptor estrogen sehingga akan terjadi
keadaan anti-proliferatif (1).
Kenyataan di lapangan, tidak sedikit para
pengobat tradisional, bahkan juga para dokter yang
telah menggunakan tanaman obat untuk pengobatan
kanker dan dikatakan bahwa hasilnya cukup
membantu penderita. Akan tetapi data-data tersebut
sedikit sekali yang dipublikasikan dan bahkan
seringkali malah dirahasiakan. Beberapa tanaman
obat yang sering digunakan antara lain : benalu teh,
benalu yang diambil dari tanaman buah, tempuyung
(Sonchus arvensis), pepaya (Carica papaya), bidara
upas (Merremia mammosa), belimbing (Averrhoa
carambola), gadung hutan (Dioscorea bulbifera),
nyamplung (Calophyllum ianophyllum), ceremai
(Phyllanthus acidus), gadung sabrang (Smilax china),
jail (Coixlacryma joby), orok-orok (Crotalaria
sessiliflora), kamarunggi (Sophora subporstata),
orientale),
cabean
(Polygonum
iles-iles
(Amorphophallus konjac), jamur merang (Valvoriella
volvacea) dan ngokilo (Strobilanthus crispus). Dari
tanaman tersebut sedikit sekali pustaka yang
mendukung, baik berupa data eksperimental
laboratorium maupun data klinis. Tantangan bagi
para peneliti untuk membuktikan apakah tanaman
tersebut benar-benar memiliki khasiat anti kanker.
Salah satu contoh uji saring in vitro tanaman
obat Indonesia untuk anti-tumor telah dilakukan oleh
Murakami et al, (2) di Department of Biotechnology
Science, Faculty of Biology Oriented Science and
Technology, Kinki University, Iwade-Uchuta,
Wakayama, Japan, menyebutkan bahwa dari 107
spesies tanaman (48 suku) dihasilkan 135 ekstrak
etanol, setelah diuji menggunakan sel Raji dengan uji
tumor
promoter
12-0-hexadecanoylphorbol-13acetate (HPA) induced Epstein-Barr virus activation,
diperoleh hasil 71% dari ekstrak menghambat 30%
atau lebih aktivasi virus EB pada konsentrasi 200
mg/ml. Di antara spesies tanaman tersebut yang
terbanyak bersifat anti tumor berasal dari suku
Zingiberaceae
dan
Umbelliferae.
Bagaimana
kelanjutan dari tanaman obat tersebut?
PENGOBATAN KANKER MENGGUNAKAN
TANAMAN OBAT
Berbeda dengan pengobatan kanker
menggunakan obat sintetik yang dapat diberikan
sebagai obat utama atau sebagai terapi tambahan
(adjuvant), pengobatan dengan obat berasal dari
tanaman dapat pula dimaksudkan untuk usaha
pencegahan
(kemopreventif).
Adapun
tujuan
pengobatan kurang lebih sama dengan obat sintetik
seperti kemoterapi, imunoterapi atau terapi paliatif
dan nyeri kanker, dalam prakteknya pengobatan
selalu menggunakan terapi kombinasi dari beberapa
macam tanaman obat dengan memperhatikan efek
samping yang mungkin terjadi.
Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 2, No. 4, Juli 2003
Selanjutnya akan diuraikan beberapa jenis
tanaman yang terdapat di Indonesia dengan uraian
khasiatnya yang diperkirakan dapat digunakan atau
setidaknya dapat membantu pengobatan kanker.
1. Tanaman Suku Cruciferae
Termasuk dalam suku ini adalah kubis,
sawi, lobak, broccoli, Brussel sprouts, Cauliflower,
dan tanaman lain yang berdaun hijau, terutama dari
genus Brassica. Pemakaian genus Brassica dalam
pengobatan kanker lebih banyak ditujukan untuk
tujuan pencegahan (kemopreventif) yang didukung
oleh data eksperimental laboratorium maupun data
epidemiologi.
Khasiat antitumornya karena adanya efek
protektif dari Brassica disebabkan terutama oleh
kandungan senyawa glukosinalat atau indol metil
glukosinalat dan lebih dikenal lagi sebagai
glukobrassin. Oleh pH asam dalam lambung dan oleh
enzim mirosinase glukosinalat terhidrolisis menjadi
senyawa indolik poliaromatik seperti indol-3-karbinol
(13C) dan senyawa isotiosianat (3,4,5,6). Mekanisme
protektif dari senyawa isotiosianat dengan cara
memodulasi metabolisme karsinogen melalui induksi
enzim fase 2 detoksikasi dan dengan cara
menghambat enzim fase 1 yang mengaktivasi
karsinogen. Isotiosianat akan diekskresikan melalui
urin
dalam
bentuk
metabolitnya
terutama
ditiokarbamat (7), pH asam dalam lambung
selanjutnya akan merubah senyawa indol-3 karbinol
menjadi berbagai produk kondensat mulai dari bentuk
linier, dimmer-siklik, trimmer dan tetramer
membentuk
senyawa
heterosiklik
seperti
indokarbazol. Kondensat indol inilah yang
bertanggung jawab terjadinya proses alterasi dalam
metabolisme karsinogen (3).
Khasiat kemopreventif dari Cruciferae
didukung oleh berbagai macam eksperimen
laboratorium. Tumorigenesis terhadap tumor payu
dara diuji dengan tikus betina galur Sprague-Dawley
yang diinjeksi dengan N-metil-N-nitrosourea (MNU).
Kelompok tikus yang menerima diet dengan kubis
menunjukkan adanya penurunan insiden kanker
dibandingkan dengan yang tanpa diet kubis (8).
Terhadap kanker payudara manusia efek indol-3karbinol (13C) diuji menggunakan cell line berasal
dari kanker payudara manusia jenis estrogen
responsive (MCF-7) dan estrogen non responsive
(MDA-MB-231). Ternyata 13C menghambat
pertumbuhan dari estrogen responsive cell line MCF7 dan sedikit menghambat jenis MDA-MB-231.
diperkirakan efek hambatan pertumbuhan dari 13C
melibatkan induksi selektif dari metabolisme estradiol
dan melalui sistem sitokrom P-450 (9). Pengujian
yang sama dilakukan oleh Cover CM et al. (10)
membuktikan bahwa di samping terjadi hambatan
pertumbuhan dari MCF-7, 13C menekan interaksi
dengan radio isotop 3H timidin secara reversible tanpa
mempengaruhi respon dari reseptor estrogen. Di
samping itu 13C menginduksi siklus pertumbuhan sel
menuju siklus istirahat G1 (G1 cell cycle arrest) yang
diperkirakan karena kemampuannya menghambat
ekspresi gen CDK-6 melalui sinyal anti-proliferatif
ekstraseluler. Terhadap kanker kolon diuji
menggunakan tikus jantan yang diberi makan
makanan yang mengandung 10-40% ekstrak kubis
atau brokoli dan untuk kontrol tikus diberi makanan
yang diberi makan makanan yang mengandung 1040% ekstrak kentang selama 14 hari. Ternyata level
glutathion mukosal kolon (GSH) jauh lebih tinggi
pada kelompok yang diberi kubis atau brokoli.
Tumorigenesis kolon diinduksi dengan suntikan 1,2dimetilhidrazin 20 mg/kgBB setiap minggu selama 20
minggu. Kelompok tes yang diberi minuman
mengandung GSH 100 mg/kgBB/hari terjadinya
insiden kanker lebih kecil dibandingkan dengan
kelompok kontrol (11).
Komponen yang ada dalam Cruciferae
mampu menstimulasi produksi Tumor Necrosis
Factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1) yang
dibuktikan dengan memberi secara per oral jus kubis
pada kelompok tikus normal dan tikus yang
menderita hepatoma. Ternyata TNF dan IL-1 yang
disekresikan oleh makrofag peritoneal berasal dari
kelompok tikus normal jauh lebih tinggi dari pada
yang berasal dari kelompok tikus yang menderita
hepatoma. Disimpulkan bahwa Cruciferae mampu
merangsang produksi TNF dan IL-1 (12).
Studi case-control antara faktor diet dan
kanker perut antara tahun 1990 sampai 1991 di Korea
membuktikan bahwa mereka yang terkena kanker
perut adalah mereka yang kurang mengkonsumsi
sayuran segar seperti kubis-kubisan dan banyak
mengkonsumsi makanan yang direbus dan bergaram
tinggi (13). Penelitian serupa sebelumnya dilakukan
di China terhadap 241 penderita kanker perut,
ternyata terbukti bahwa mereka yang banyak
mengkonsumsi kentang dan makanan fermentasi dan
bergaram merupakan kelompok risiko tinggi,
Sebaliknya mereka yang banyak mengkonsumsi
Chinese cabbage berisiko rendah (14). Studi
prospective cohort antara konsumsi sayur dan buahbuahan dengan insiden kanker bladder dilakukan di
USA melibatkan 252 penderita pada tahun 1986-1994
dan disimpulkan bahwa mereka yang banyak
mengkonsumsi sayuran golongan Cruciferae lebih
sedikit terkena kanker dibandingkan dengan yang
mengkonsumsi sayuran jenis lain (15) Studi case
control terhadap kanker otak di China membuktikan
bahwa mereka yang mengkonsumsi sayuran segar,
terutama Chinese cabbage dan buah-buahan segar
lebih sedikit terkena kanker otak, sedangkan mereka
yang banyak mengkonsumsi sayuran asinan dan ikan
asin berisiko tinggi terkena kanker otak (14). Bagi
mereka yang banyak mengkonsumsi sayuran dari
147
Tanaman Obat Untuk… (Suprapto Ma’at)
genus Brassica seperti cabbage, broccoli, cauliflower
dan Brussel sprout sedikit terkena kanker prostat,
endometrial dan ovarian (4), begitu juga bagi perokok
yang banyak mengkonsumsi sayuran segar terutama
dari golongan Cruciferae, risiko terkena kanker paru
dapat ditekan (17).
2. Solanum nigrum L
Nama daerah terong ranti, bahan yang
digunakan buah yang belum masak.
S. nigrum L atau yang dikenal sebagai black
nightshade mempunyai beberapa khasiat di antaranya
hepatoprotektif, antitumor, dan antidepresan.
Eksperimen laboratorium antineoplastik dari
glikosida steroid S. nigrum yang terdiri dari (1) beta2-solamagrin,
(2)
solamagrin,
dan
(3)
degalaktotigonin terhadap 6 macam kultur cell line
tumor padat manusia HT-29 (kolon), LNCaP
(prostat), PC3 (prostat), T47D (payudara) dan MDAMB-231 (payudara). Ternyata solamagrin adalah
antineoplastik yang paling poten (14). Kadar
solamagrin tertinggi terdapat dalam ekstrak dari buah
yang belum masak sebesar 4,2%. Studi case control
terhadap diet buah S. nigrum dilakukan di Afrika
Selatan dimana karsinoma sel squamosa dari
esophagus bersifat endemik. Hasil studi menunjukkan
terdapat hubungan yang signifikan antara kasus
kanker esophagus dengan diet jagung, kacangkacangan, dan pumpkin, serta terdapat pula hubungan
yang signifikan antara penurunan kasus kanker
esophagus perokok dengan mengkonsumsi buah S.
nigrum. Diperkirakan kandungan dalam buah S.
nigrum berkhasiat sebagai protease inhibitor, jika
terjadi hambatan terhadap enzim protease inhibitor
akan terjadi over-ekspresi dari faktor pertumbuhan
dan merangsang proliferasi onkogen (18). Menurut
Chang et al. (19) alkaloid total dari ekstrak buah yang
belum masak S. nigrum pada dosis 50 –500 mcg/ml
dapat menghambat 40-50% pertumbuhan sel tumor
meningeal yang ditransplantasikan ke dalam tubuh
hewan percobaan. Solamagrin mempunyai efek
sitotoksik yang paling tinggi, pada dosis 10 mcg/ml
dapat menyebabkan disintegrasi kultur sel HeLa
setelah 15 jam kontak. Ekstrak S. nigrum juga
menghambat pertumbuhan ascetic sarcoma 180
sebesar 30%. Studi klinik penggunaan S. nigrum
dalam pengobatan karsinoma menyebutkan bahwa
sediaan dekok atau parenteral dari ekstrak seluruh
bagian tanaman telah digunakan terhadap 95 kasus
berbagai macam penyakit malignasi seperti
karsinoma dari serviks, esophagus, payudara, paru
dan hati. Efek yang diperoleh di antaranya
antiinflamasi, detoksifikasi, peningkatan nafsu makan
dan kondisi mental serta remisi dari symptom dan
signs. Remisi total diperoleh pada pemakaian ekstrak
S. nigrum pada pengobatan khorioepitelioma,
karsinoma indung telur, hepatoma, dan sarcoma (19).
148
3.
Catharanthus roseus / Vinca rosea
Tanaman ini memiliki nama daerah tapak
dara, dan bahan yang digunakan untuk pengobatan
adalah daun.
Vinca roses tergolong dalam suku
Periwinkle (Apocynaceae). Daun dan akarnya
diketahui mengandung lebih dari 60 macam
alkaloida, di antaranya yang sangat terkenal adalah
vinkristin dan vinblastin, yang telah dibuat secara
semisintetik dalam bentuk 5’nor-vinca-alkaloid
dengan memodifikasi ikatan aromatik catharanin
sehingga dapat digunakan secara per oral dan dikenal
sebagai Vinorelbin (Navelbin). Ketiga alkaloid
tersebut sangat poten menghambat polimerisasi
mikrotubuli mitotik sehingga dapat menghambat
proses mitosis pada metafase (20). Dalam pengujian
menggunakan tubulin otak babi, proses self
association dengan tubulin di antara ketiganya,
ternyata vinkristin memiliki afinitas tertinggi,
sedangkan vinorelbin terrendah (21). Pengujian in
vivo tentang akumulasi dalam jaringan tubuh dan
ekskresi melalui empedu terhadap vinkristin dan
vinblastin ternyata vinkristin terdistribusi lebih luas
dalam jaringan tubuh, akumulasi tertinggi terdapat
dalam usus halus (122 ng/g jaringan basah setelah 24
jam), 47 ng/g dalam hati dan 44, 4 ng/g dalam ginjal.
Ekskresi melalui empedu tercepat pada vinkristin
(42,7% dari total ekskresi setelah 24 jam)
dibandingkan dengan vinblastin (28,2% dari total
ekskresi setelah 24 jam) (22).
Pengaruh
pemakaian
vinkristin
dan
vinblastin terhadap sistem imun tubuh diamati
terhadap sel mononuklir dalam limfa tikus (splenosit)
dan ternyata keduanya menghambat sekresi IL-2
setelah dirangsang dengan mitogen konkanavalin-A
pada dosis 0,1 mg/kg BB untuk vinkristin dan 0,5
mg/kg BB pada vinblastin. Terhadap sel makrofag
peritoneal, ternyata keduanya tidak merangsang
aktifitas makrofag setelah dirangsang dengan
lipopolisakarida (LPS) dengan pengamatan sekresi
IL-1, jadi keduanya tidak mempunyai efek terhadap
sekresi IL-1 oleh sel-sel makrofag (23).
Dalam pengobatan tradisional tanaman ini
digunakan untuk mengobati penyakit kencing manis
dengan takaran pemakaian sebanyak 6 gram daun
kering yang direbus, sedangkan untuk mengobati
tumor digunakan sebanyak sekitar 16 gram direbus
(agar suasana asam biasanya ditambahkan satu biji
asam Jawa) disaring dan diminum.
Catatan:
Artikel ini akan dilanjutkan pada penerbitan
nomor berikutnya.
Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 2, No. 4, Juli 2003
DAFTAR PUSTAKA
1. Potter, J.D., Steinmetz, 1996, Vegetables, fruit
and phytoestrogens as preventive agents, IARC
Sci. Publ. 139, 61-90.
2. Murakami, A., Morita H., Safitri R, Ramlan A.,
Koshimizu K., Ohigashi H., 1998, Screening for
in vitro antitumor promoting activities of edible
plants from Indonesia, Cancer Detect Prev.,
22:6, 516-25.
3. Bradfield C.A., Bjemdanes L.F., 1991,
Modification of Carcinogen Metabolism by
Indolic Autolysis Product of Brassica oleraceae,
Adv. Exp. Med Biol 289, 153-63.
4. Verhoeven, D.T., Verhagen H., Goldbohm R.A.,
van Poppel, dan van der Brandt P.A., 1996,
Epidemiological Studies on Brassica Vegetables
and Cancer Risk, Cancer Epidemiol Biomarker
Prev., Sep 5:9, 733-48.
5. Verhoeven, D.T., Verhagen H., Goldbohm R.A.,
van Poppel, dan van der Brandt P.A., 1997, A
Review
of
Mechanism
Underlying
Anticarcinogenicity by Brassica Vegetables,
Chem Biol Interact, Feb 28th, 103:2, 581-90.
6. Broadbent, T.A., and Broadbent A.S., 1998, The
Chemistry and Pharmacology of Indole-3carbinol
(ndole-3-methanol)
and
3(methoxymethyl) indole (Part I), Curr. Med.
Chem., Oct, 5(5), 337-52.
7. Shapiro T.A., Fahey J.W., Wade K.L.,
Stephenson K.K., and Talalay P., 1998, Human
Metabolism
and
Excretion
of
Cancer
Chemopreventive
Glucosinplates
and
Isothiocyanates of Cruciferous Vegetables,
Cancer Epidemiol Biomarker Prev., Dec, 7(12),
1091-100.
8. Bresnick, E., Birt D.F., Wolterman K., Wheeler
M., and Markin R.S., 1990, Reduction in
Mammary Tumorigenesis in The Rat By
Cabbage and Cabbage Residue, Carcinogenesis,
Jul 11:7, 1159-63.
9. Tiwari, R.K., Guo L., Bradlow H.L., Telang
N.T., and Osborne M.P., 1994, Selective
Responsiveness of Human Breast Cancer to
Indole-3-carbinol, A Chemopreventive Agent, J.
Natl. Cancer Inst., Jan 19, 86:2, 126-31.
10. Cover C.M., Hsieh S.J., Tran S.H., Hallden G.,
Kim G.S., Bjeldanes L.F., and Firestone G.L.,
1998, Indole-3-carbinol Inhibits The Expression
of Cyclic-dependent kinase-6 Induce a G-1 Cell
Cycle Arrest of Human Breast Cancer Cell
Independent of Estrogen Receptor Signaling, J.
Biol Chem, 273:7, 3838-47.
11. Chen, M.F., Chen L.T., and Boys W.H. Jr., 1995,
Cruciferous Vegetables and Glutathione: Their
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
effect on colon mukosal glutathione level and the
colon tumor development in rats induced by
DMH, 23:1, 77-83.
Komatsu W., Yagasaki K., Miura Y., and
Funabiki R., 1997, Stimulation of Tumor
Necrosis Factor and Interleukin-1 Productivity
by The Oral Administration of Cabbage Juice to
Rats, Biasol Biotechnol Biochem, 61-11 1937-38.
Lee J.K, Park B.J., Yoo K.Y, and Ahn Y.O.,
1995, Dietery Factor and Stomach Cancer: A
Case Control Study in Kore, Int., J. Epidemiol,
24:1, 33-41.
Hu J., Zhang SF., Jia EM., Wang QQ., Liu SD.,
Wu YP., and Cheng YT., 1988, Diet and Cancer
of The Stomach: a case Control Study in China,
Int. J.. Cancer, 41:3, 331-35.
Michaud DS., Sphiegelman D., Clinton SK.,
Rimm EB., Eillet WC., and Giovannucci EL.,
1999, Fruit and Vegetable Intake and Insidence
of Bladder Cancer in A Male Prospective Cohort,
J. Natl. Cancer Inst, 91:7, 605-13.
Hu J., Vecchia C., Negri E., Chatenoud L.,
Bosetti C., Jia X., Liu R., Huang G., Bi D., and
Wang C., 1999, Diet and Brain Cancer in Adults:
A Case Control Study in Northeast China, Int. J.
Cancer, 81:1, 20-23.
Gao CM., Tajima K., Kurosihi T., and Inoue M.,
1993, Protective Effect of Raw Vegetables and
Fruit against Lung Cancer Among Smokers and
ex-Smokers: a Case Control Study in the Tokai
Area of Japan, Jpn. J. Cancer, 84:6, 594-600.
Sammon AM., 1988, Protease Inhibitors and
Carcinoma of the Esophagus, Cancer, 83:3, 40508.
Chang HM., and But PPH., 1986, Pharmacology
and Applications of Chinese Materia Medica,
Vol 1, World Scientific.
Krikorian W., and Breillout F., 1991,
Vinorelbine (Navelbine), A New Semisynthetic
Vinca alkaloids, Onkologie, Feb 14:1, 7-12.
Lobert S., Vulveic B., and Correlra JJ., 1996,
Interaction of Vinca Alkaloids With Tubulin: a
comparation of vinblastine, vincristine and
vinorelbine, Biochemistry 35:21, 6806-14.
Zou XJ., Martin M., Placidi M., Cano JP., and
Rahmani R., 1990 In Vivo and In Vitro
Pharmacokinetics and Metabolism of Vinca
Alkaloids in Rat II, Vinblastine and Vincristine,
Eur J., Drug Metab. Pharmacokinet., 15:4, 32332.
Ahmed K., and Abdul Hamied TA., 1987, Turk
JL. Inhibition of Release of Interleukin-2 by
Vincristine and Vinblastine, Imunopharmacol.
Imunotoxicol., 9:4, 391-407.
149
Download