Subsidi untuk rakyat adalah salah satu mata anggaran

advertisement
ANALISIS ATAS TEMUAN BPK
MENEKAN SUBSIDI LISTRIK DENGAN
DUKUNGAN BERBAGAI KEBIJAKAN
PENDUKUNG
BAGIAN ANALISA PEMERIKSAAN BPK
DAN PENGAWASAN DPD
BEKERJASAMA DENGAN TENAGA
KONSULTAN
Dr. HENDRI SAPARINI
1
I. PENDAHULUAN
Listrik adalah salah satu sumber energi vital yang memiliki peranan penting
untuk menggerakkan perekonomian nasional. Dengan pengelolaan yang baik, listrik
akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi. Sayangnya,
Perusahaan Listrik Negara (PLN) justru sering dituding menjadi sumber
permasalahan kelistrikan nasional.
Untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, tarif dasar listrik (TDL)
ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan ketentuan UU No.15 Tahun 1985
pasal 16 yang menyatakan Pemerintah mengatur harga jual tenaga listrik. Karena
TDL saat ini masih lebih rendah dari biaya pokok penyediaan (BPP) listrik, sebagai
konsekuensinya pemerintah terpaksa memberikan subsidi. Tujuan pemberian subsidi
listrik tersebut adalah untuk menjaga ketersediaan listrik bagi industri, komersial dan
pelayanan masyarakat serta menjamin terlaksananya investasi dan rehabilitasi
sarana dan prasarana penyediaan tenaga listrik.
Untuk menekan pembayaran subsidi, di sisi permintaan pemerintah berusaha
mendorong penghematan pemakaian energi listrik. Sementara di sisi pasokan,
pemerintah mendorong diversifikasi pembangkit listrik dan memanfaatkan sumber
energi yang paling murah.
Subsidi listrik PLN tahun 2007 dihitung berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan No.111/PMK.02/2007 tanggal 14 September 2007 tentang Tata Cara
Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban
Subsidi Listrik dan Surat Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral No.1401/26/600.3/2007 tanggal 27
April 2007 tentang Formula Perhitungan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Tenaga
Listrik PT PLN (Persero) dan Target Susut Jaringan. Menurut surat keputusan
tersebut subsidi listrik diberikan kepada semua pelanggan golongan tarif sepanjang
harga jual rata-rata masih berada di bawah BPP masing-masing golongan tarif.
Data menunjukkan naiknya subsidi dari tahun ke tahun, seperti terlihat di
dalam tabel di bawah. Kenaikan nilai subsidi tersebut mengindikasikan
bertambahnya konsumen listrik, naiknya pemanfaatan energi listrik masing-masing
konsumen, pengelolaan tenaga listrik yang belum efisien, serta kenaikan harga BBM
yang masih banyak digunakan sebagai sumber bahan bakar pembangkit listrik di
Indonesia.
Tabel 1. Nilai Subsidi pada APBN dan Hasil Audit BPK
Nilai Subsidi (Rp miliar)
Tahun
Alokasi APBN
Hasil Audit
Kebijakan Subsidi
2001
4.618,04
4.300,15
2002
4.102,70
4.102,70
Konsumen terarah (golongan
2003
3.759,35
3.360,42
tarif pelanggan dengan daya
2004
3.309,50
3.309,50
s.d. 450 VA)
2005
12.510,96
10.639,97
Konsumen diperluas *)
2006
35.509,57**)
33.904,22
Konsumen diperluas *)
2007
39.268,90***)
37.480,67****)
Keterangan:
*)
Pelanggan dengan golongan tarif yang harga jual tenaga listrik rata-ratanya lebih rendah daripada BPP tenaga listrik pada tegangan di
golongan tarif tersebut
2
**)
Nilai APBN-P tahun 2006 sebesar Rp31.246,00 ditambah alokasi tambahan dana subsidi listrik tahun 2006 dalam APBN 2007 sebesar
Rp4.264,00 sesuai Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun Anggaran 2007 tanggal 20 Februari 2007
***)
Nilai APBN-P tahun 2007 sebesar Rp39.268,.90 sesuai Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun Anggaran 2007 tanggal 26
Febuari 2007
****) Nilai subsidi listrik hasil pemeriksaan BPK RI
Audit BPK tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menentukan jumlah subsidi
listrik tahun 2007 yang layak dibayarkan Pemerintah kepada PLN. Pemeriksaan
tersebut dilakukan dengan cara menilai :
1. Kewajaran perhitungan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik dan harga
jual rata-rata tenaga listrik di semua golongan tarif selama tahun 2007;
2. Kewajaran volume penjualan tenaga listrik (kWh) kepada konsumen di semua
golongan tarif selama tahun 2007;
3. Kewajaran perhitungan BPP rata-rata tenaga listrik tegangan tinggi (TT),
tegangan menengah (TM) dan tegangan rendah (TR);
4. Kewajaran jumlah subsidi listrik tahun 2007 yang diterima oleh PLN.
Audit dilakukan juga untuk menilai apakah pengelolaan PLN dan subsidi listrik
telah sesuai dengan tujuannya. Adapun tujuan dari kegiatan usaha PLN adalah :
1) Menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum dan sekaligus memupuk
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
2) Mengusahakan penyediaan tenaga listrik dalam jumlah dan mutu yang memadai
dengan tujuan untuk :
(a) Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata
serta mendorong peningkatan kegiatan ekonomi.
(b) Mengusahakan keuntungan agar dapat membiayai pengembangan
penyediaan tenaga listrik untuk melayani kebutuhan masyarakat.
3) Merintis kegiatan-kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik.
4) Menyelenggarakan usaha-usaha lain yang menunjang usaha penyediaan tenaga
listrik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
II. HASIL AUDIT BPK
1. Pembelian BBM Merupakan Pos Pengeluaran Terbesar
Hasil pemeriksaan atas Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tahun 2007
menunjukkan bahwa total BPP adalah sebesar Rp 112.835.686.593.634,00,
sedangkan perhitungan PLN sebesar Rp 113.378.129.338.552,00 sehingga terdapat
koreksi sebesar Rp 542.442.744.917,00. Pemeriksaan itu dilakukan terhadap total
nilai BPP tenaga listrik dari 18 unit yang disampel, yang nilainya sebesar Rp
98.609.768.610.226,00 atau sebesar 86,97% dari total BPP tenaga listrik sebesar Rp
113.378.129.338.552,00.
3
Tabel 2. Struktur Biaya Pokok Penyediaan PLN 2007
Uraian
Nilai (Rp ribu)
%
(1). Pembelian Tenaga Listrik :
16,506,876,763
14.56
a). Dari pihak ketiga
15,675,556,094
b). Sewa Pembangkit
831,320,669
(2). Bahan Bakar Minyak,Pelumas & Retribusi Air
65,176,841,536
a). BBM
51,956,134,946
b). Pelumas
218,088,531
c). Gas Alam
3,884,355,653
d). Batu bara
7,271,880,906
e). Panas Bumi
1,716,388,110
f). Lainnya
43,620,749
g). Retribusi Pengunaan Arus air Pemda
86,372,641
(3). Pemeliharaan :
6,953,274,980
57.49
6.13
a). Material
3,803,454,239
b). Jasa Borongan
3,149,820,741
(4). Kepegawaian
6,217,026,435
5.48
(5). Biaya Administrasi
3,186,535,868
2.81
(6). Biaya Penyusutan
10,581,101,248
9.33
(7). Biaya Pinjaman
4,756,472,509
4.20
Jumlah
113,378,129,339
100.00
2. Realisasi Subsidi Listrik di Bawah Pagu Anggaran
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dihitung sesuai Peraturan Menteri
Keuangan No.111/PMK.02/2007 tanggal 14 September 2007 dan Surat Direktur
Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral No.1401/26/600.3/2007 tanggal 27 April 2007, subsidi listrik PLN tahun 2007
adalah sebesar Rp 37.480.667.579.941,00. Nilai subsidi sesuai pagu APBN-P 2007
dan pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2007 (DIPA
Khusus) No.0042.1/062-03.0/-/2007 tanggal 26 Februari 2007 mengalokasikan dana
subsidi listrik untuk tahun 2007 sebesar Rp 39.268.901.451.000,00. Dengan
demikian, terdapat sisa anggaran sebesar Rp1.788.233.420.059,00.
3. Temuan-temuan yang Merugikan/Berpotensi Merugikan PLN
Hasil audit BPK juga menunjukkan bahwa pengelolaan PLN belum optimum,
dilihat dari temuan-temuan di bawah ini :
a. Realisasi susut energi listrik tahun 2007 lebih tinggi dari yang ditetapkan
oleh
DJLPE sehingga kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp
576.823.864.928,81. Susut energi listrik terjadi karena pengelolaan jaringan
transmisi dan distribusi listrik yang belum optimal. Hasil pemeriksaan realisasi
susut jaringan tahun 2007 sebesar 15.920.579.817 kWh atau 11,68%, sedangkan
penetapan realisasi susut jaringan oleh DJLPE sebesar 15.090.007.106 kWh
atau 11,07% sehingga terdapat selisih sebesar 830.572.711 kWh atau 0,61%.
Selisih susut jaringan tenaga listrik tersebut bila dihitung dengan menggunakan
4
harga jual rata-rata di sisi TT, TM dan TR masing-masing sebesar Rp 541,11, Rp
664,96 dan Rp 611,91 maka potensi pendapatan yang hilang sebesar Rp
576.823.864.928,81.
b. Penggunaan bahan bakar minyak untuk pembangkit listrik tenaga gas PT
PLN (Persero) tahun 2007 menimbulkan ketidakhematan sebesar Rp
16.302.336.288.379,30. Bila dilihat dari tabel BPP yang tersebut di atas, terlihat
bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk pembayaran BBM mencapai 45% dari
total BPP yang dikeluarkan PLN. Selain itu, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK
RI, diketahui bahwa biaya bahan bakar minyak untuk pembangkitan tenaga listrik
PLN selama kurun waktu lima tahun cenderung meningkat. Sebaliknya
penggunaan bahan bakar gas cenderung menurun. Padahal penggunaan bahan
bakar minyak untuk pembangkit listrik tenaga gas cenderung meningkatkan biaya
pemeliharaan karena mesin pembangkit yang cenderung lebih cepat mengalami
kerusakan dan menurunkan kemampuan mesin (derating) pembangkit.
Sementara mesin pembangkit dengan bahan bakar gas lebih positif untuk kondisi
mesin pembangkit. Akan tetapi, harga gas mengikuti harga pasar yang meningkat
tajam sehingga posisi tawar PLN menjadi lemah dan kebijakan energi primer
Pemerintah belum mendukung tersedianya pasokan gas yang cukup bagi
pembangkit listrik PLN.
c. PT PLN (Persero) berpotensi rugi senilai Rp 62.590.762.040,00 atau
sebanyak 6.645.140 MMBTU di Borang atas gas make up periode tahun
2004-2007 yang belum terserap. Hal tersebut terjadi karena adanya pembangkit
berbahan bakar gas di Borang yang mengalami kerusakan dan PLTG Apung
dialihkan operasinya ke Sumatera Utara untuk mengatasi krisis energi listrik.
d. Terdapat potensi pemanfaatan gas buang bernilai tar kalori tinggi untuk
peningkatan efisiensi pembangkit di PT PLN (Persero) Unit Pembangkitan
Muara Tawar. Hal tersebut mengakibatkan gas buang hasil produksi listrik PLTG
Muara Tawar terbuang percuma dan tidak termanfaatkan sehingga peningkatan
efisiensi pembangkit tidak tercapai. Hal tersebut terjadi karena Direksi PLN tidak
menanggapi secara serius dan lambat mengambil keputusan terhadap hasil studi
kelayakan peningkatan konfigurasi pembangkit dari open cycle menjadi combined
cycle.
e. PT Pro Teknologi tidak memiliki itikad baik untuk membayar denda
keterlambatan sebesar Rp 1.315.903.802,00 kepada PLN WS2JB. Hal itu
mengakibatkan PLN WS2JB kehilangan kesempatan memanfaatkan dana
tersebut. Hal itu terjadi karena ketidaktegasan General Manajer PLN WS2JB
dalam menindaklanjuti penolakan pencairan jaminan pelaksanaan pembayaran
utang PT Pro Teknologi.
f. Penyelesaian tujuh kegiatan overhaul sistem pembangkit diesel senilai Rp
7.540.189.800,00 mengalami penundaan waktu yang lama. Hal tersebut
mengakibatkan jam kerja mesin telah melebihi standar yang disyaratkan,
memperpendek umur ekonomi mesin pembangkit, berpotensi menimbulkan biaya
pemeliharaan yang lebih besar dan pengeluaran minimal sebesar Rp
5.197.332.194,00 belum memberikan manfaat. Hal itu terjadi karena pihak
pejabat yang berwenang dalam menangani pemeliharaan fungsi pembangkit
listrik tenaga diesel kurang tegas dalam mengendalikan kegiatan pembangkitan
dari rekanan sesuai kontrak.
5
g. Terdapat ketidakhematan ongkos angkut bahan bakar minyak HSD pada PT
PLN Pembangkitan Sumatera Bagian Utara minimal sebesar Rp
4.717.972.032,74. Hal tersebut disebabkan klausul kontrak pengangkutan BBM
HSD tidak sesuai dengan realisasi jarak tempuhnya sehingga mengakibatkan
terjadi ketidakhematan biaya jasa angkut BBM HSD pada PLN KITSU tahun 2007
sebesar Rp 4.717.972.032,74.
h. Penyelesaian pekerjaan beberapa kontrak pengadaan barang/jasa di Unitunit dan Anak Perusahaan PLN mengalami keterlambatan dan belum
dikenakan denda sebesar Rp 5.989.293.305,74. Hal itu mengakibatkan PLN
kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan lain-lain yang berasal
dari denda keterlambatan yang dapat mengurangi biaya pokok penyediaan
tenaga listrik sebesar Rp5.989.293.305,74. Hal tersebut disebabkan PLN kurang
maksimal melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak dan tidak tegas
dalam menerapkan klausul kontrak yang mengatur mengenai denda apabila
pihak ketiga tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak.
i.
Terdapat aktiva tetap tidak beroperasi di Unit-unit PT PLN (Persero) tahun
2007 yang masih dihitung biaya penyusutannya. Hal itu mengakibatkan
penyusutan aktiva tetap dalam laporan keuangan PLN tidak disajikan dengan
tepat, sehingga tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Hal tersebut
terjadi karena Direksi PLN tidak mengatur dalam surat edaran tentang penarikan
aktiva operasi menjadi aktiva tidak beroperasi.
j.
Tunggakan biaya keterlambatan sebesar Rp 24.302.628.483,00, biaya beban
KVA Max sebesar Rp 2.259.292.919,00 dan tagihan rekening sebesar Rp
3.934.127.309,00 atas nama PT Semen Bosowa berlarut-larut. Hal tersebut
terjadi karena General Manajer PT PLN (Persero) Wilayah Sulawesi Selatan,
Tenggara dan Barat tidak tegas dalam menerapkan aturan. Selain itu, adanya
itikad kurang baik dari PT Semen Bosowa untuk melunasi tunggakan rekening
listrik.
Berdasarkan temuan-temuan di atas saja, PLN telah mengalami
pemborosan dan kehilangan kesempatan memanfaatkan dana sebesar Rp
16.989.467.465.393,60. Jika PLN dapat melakukan perbaikan di masa yang akan
datang terhadap temuan tersebut, dana semacam itu dapat digunakan untuk
mengembangkan kemampuan PLN dalam menyediakan pasokan tenaga listrik.
Selain temuan temuan tersebut di atas, BPK juga melakukan koreksi
terhadap laporan keuangan PLN. Beberapa koreksi penting terangkum di bawah
ini:
a. Pembelian tenaga listrik
BPK RI melakukan koreksi kurang sebesar Rp7.744.925,00 ribu yang disebabkan
PLN masih terlalu tinggi memperhitungkan volume pembelian listrik pada pihak
ketiga sehingga biaya pembelian listrik pada pihak ketiga yang diperhitungkan
dalam BPP 2007 turun menjadi Rp 15.667.811.169,00 ribu.
b. Biaya bahan bakar
Komponen biaya bahan bakar terbesar adalah biaya BBM mencapai 79,67% dari
total biaya bahan bakar. Dari hasil pemeriksaan atas biaya bahan bakar diketahui
jumlah biaya bahan bakar yang diperhitungkan dalam BPP tahun 2007 terlalu
6
tinggi sebesar Rp 154.682.276,00 ribu. Pembebanan biaya bahan bakar yang
terlalu tinggi tersebut terjadi karena unit-unit belum memperhitungkan
pendapatan denda terkait dengan keterlambatan pasokan bahan bakar terhadap
biaya pembelian bahan bakar. Untuk keperluan perhitungan subsidi listrik, setiap
pendapatan yang berkaitan erat dengan BPP tenaga listrik diperhitungkan
sebagai pengurang BPP.
c. Biaya pemeliharaan
Biaya pemeliharaan adalah biaya yang dikeluarkan PLN untuk memelihara
pembangkit, jaringan dan gedung–gedung PLN yang digunakan dalam operasi
penyediaan tenaga listrik yang meliputi biaya pemakaian material dan jasa
borongan. BPK RI melakukan koreksi kurang terhadap biaya pemeliharaan
sebesar Rp 74.868.675,00 ribu. Koreksi kurang tersebut disebabkan PLN masih
memperhitungkan biaya-biaya yang tidak termasuk BPP dan belum
mengurangkan penerimaan/pendapatan denda atas biaya yang telah
diperhitungkan.
d. Biaya kepegawaian
Imbalan yang diberikan kepada pegawai PLN berupa gaji dan tunjangan
perumahan, transport, jabatan, dan tunjangan cuti, pesangon pensiun normal,
sebagian iuran pensiun dan biaya kesehatan. Terhadap biaya kepegawaian
tersebut BPK RI melakukan koreksi kurang sebesar Rp 88.991.916,00 ribu yang
disebabkan PLN masih memperhitungkan biaya-biaya yang tidak termasuk BPP.
e. Biaya administrasi
Biaya administrasi yang diperhitungkan dalam BPP hanya biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk honorarium, pemakaian perkakas dan peralatan, asuransi,
serta perjalanan dinas. Biaya penyisihan piutang dan biaya penyisihan material
tidak diperhitungkan dalam BPP. Terhadap biaya tersebut BPK RI melakukan
koreksi sebesar Rp 189.197.270,00 ribu yang disebabkan PLN masih
memperhitungkan biaya-biaya administrasi yang tidak termasuk BPP.
f. Biaya penyusutan aktiva tetap
Perusahaan mengelompokkan aktiva tetap dalam dua kelompok yaitu Aktiva
Tetap Beroperasi dan Aktiva Tetap Tidak Digunakan Dalam Operasi. Aktiva tetap
yang tidak digunakan dalam operasi meliputi aktiva tetap yang untuk sementara
waktu tidak digunakan dalam operasi dan aktiva yang akan dihapuskan. Aktiva
yang untuk sementara waktu tidak digunakan dalam operasi tidak disusutkan
sampai digunakan kembali. Biaya penyusutan aktiva tetap dihitung dengan
menggunakan metode garis lurus (straightline method) berdasarkan taksiran
masa manfaat ekonomis aktiva tetap. Terhadap biaya penyusutan tersebut BPK
RI melakukan koreksi sebesar Rp 26.957.683.000.000,00 yang disebabkan
perhitungan biaya penyusutan yang dilakukan PLN termasuk biaya penyusutan
yang untuk aktiva tetap tidak beroperasi karena rusak atau dalam perbaikan
diluar masa pemeliharaan yang sudah terjadwal.
III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dari hasil audit BPK terdapat banyak temuan penting yang perlu
ditindaklanjuti. Berdasarkan temuan-temuan BPK tahun 2007 saja, PLN telah
7
mengalami pemborosan dan kehilangan kesempatan memanfaatkan dana sebesar
Rp 16.989.467.465.393,60. Berbagai temuan yang mengakibatkan kerugian atau
inefisensi di tubuh PLN menjadi koreksi penting bagi PLN untuk dapat melakukan
perbaikan. Bila kerugian dikoreksi maka akan ada dana yang dapat digunakan untuk
mengembangkan kemampuan PLN dalam menyediakan pasokan tenaga listrik.
Disamping itu, berbagai koreksi perhitungan biaya yang dilakukan BPK baik dalam
perhitungan biaya administrasi, biaya penyusutan, dll., akan berpotensi sebagai
peluang menghilangkan inefisiensi sehingga menekan tingginya biaya produksi listrik.
Berbagai temuan BPK memerlukan tindak lanjut baik yang bersifat
administrasi maupun tindakan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan dukungan
di sektor energi. Tujuan dari perbaikan ini adalah mendorong agar perhitungan
subsidi listrik pada PLN benar-benar merupakan angka subsidi yang didasarkan
pada tingkat operasi yang efisien. Langkah-langkah perbaikan yang harus dilakukan
berdasarkan temuan BPK antara lain :
Pertama, penyamaan pemahaman terhadap standar penghitungan BPP
antara BPK dan PLN. Ini penting karena selama ini sangat banyak biaya-biaya yang
belum disepakati untuk diperhitungkan dalam BPP. Dari temuan BPK pada
pemeriksaan tahun 2007, telah terjadi koreksi yang cukup besar akibat perbedaan
perhitungan BPK dan PLN, yaitu sebesar Rp 542 miliar lebih. Menjadi sangat penting
untuk dilakukan penyamaan standar dan persepsi tentang tata cara penghitungan
BPP yang menjadi dasar penghitungan subsidi.
Kedua, meningkatkan efisiensi pengelolaan listrik baik dengan berbagai cara.
Langkah yang harus dilakukan adalah menekan jumlah kebocoran listrik yang telah
lama merugikan PLN, meningkatkan upaya penegakan hukum atas denda-denda
keterlambatan, dll. Untuk tahun 2007, PLN mengalami kerugian akibat susut energi
yang besar hingga mencapai lebih dari Rp 576 miliar. Bila manajemen distribusi
dilakukan perbaikan maka akan ada potensi tambahan penerimaan bagi PLN dan
akan menurunkan BPP dan mengurangi beban subsidi listrik dalam APBN. Demikian
juga upaya penegakan hukum atas denda keterlambatan yang tidak dibayarkan oleh
pelanggan dilakukan maka akan meningkatkan efisiensi dan mengurangi beban
biaya produksi .
Ketiga, pemerintah harus melakukan terobosan kebijakan di bidang sumber
energi alam untuk membantu PLN memperoleh sumber energi dengan harga yang
lebih rendah agar dapat mengurangi beban BPP. Terobosan ini diperlukan untuk
membantu PLN menyediakan energi listrik sesuai volume yang dibutuhkan dan
tingkat harga yang dapat dijangkau masyarakat.
Grafik 1. Energy Mix PLN (2005-2007)
100%
90%
80%
35
34
33
38
41
40
40
41
6
5
5
3
6
9
9
Coal
70%
3
3
4
11
12
10
60%
Geothermal
4
8
50%
8
26
40%
30
29
26
19
18
14
Hydro
Natural Gas
19
Oil
30%
20%
10%
21
22
2000
2001
27
24
27
30
27
2002
2003
2004
2005
2006
33
0%
2007
8
Tingginya BPP yang diakibatkan oleh tingginya biaya energi harus
diselesaikan dengan kebijakan dan strategi energi nasional yang salah satu
tujuannya adalah agar PLN mendapatkan jaminan pasok sumber energi dengan
harga yang terjangkau. Grafik di atas menunjukkan bahwa sumber energi dalam
produksi PLN semakin didominasi oleh energi minyak dari 21% (2000) ke 33%
(2007). Sedangkan porsi gas semakin berkurang dari 30% menjadi hanya 14%.
Akibat pergeseran sumber energi ini maka biaya energi dalam BPP meningkat
pesat. Alasannya, setelah PLN harus membeli minyak dengan harga internasional,
biaya energi PLN meningkat tajam sesuai kenaikan harga minyak internasional.
Grafik berikut menunjukkan biaya energi PLN dari tahun 2000-2007 dimana porsi
biaya energi dengan minyak meningkat tajam menjadi 78% dari sebesar 25% pada
tahun 2000. Untuk mendukung PLN agar lebih efisien, sumber energi yang
semestinya dipergunakan dalam memproduksi listrik adalah gas alam dan batu bara.
Grafik 2. Fuel Cost PLN (2000-2007)
100%
90%
20
20
17
5
80%
6
17
15
4
5
6
70%
19
12
13
4
4
10
10
14
2
6
Coal
15
26
Geothermal
60%
50%
Natural Gas
42
49
Oil
40%
60
30%
74
73
2005
2006
78
65
52
20%
32
10%
25
0%
2000
2001
2002
2003
2004
2007
Sayangnya, akibat berbagai kebijakan pemerintah di bidang energi, PLN
justru kesulitan untuk mendapatkan pasok gas dan batubara. Akibatnya peluang
untuk menurunkan BPP listrik semakin terbatas. Harga listrik yang dihasilkan tinggi
sehingga tidak mampu mendukung sektor ekonomi lain. Hambatan PLN untuk
mendapatkan pasok gas dan batu bara yang dibutuhkan harus diselesaikan dengan
kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) atau pencadangan gas dan batubara
bagi kepentingan dalam negeri.
Keempat, Pemerintah harus merubah paradigmanya atas berbagai sumber
energi alam baik gas, batubara maupun minyak bumi. Perubahan harus dilakukan
dengan mengubah paradigma dari gas dan batubara sekadar sebagai komoditi
menjadi sumber energi yang strategis sebagai faktor pendorong daya saing produk
Indonesia. Tanpa perubahan paradigma maka tidak akan ada perubahan strategi
dan kebijakan sehingga berbagai sumber energi tetap hanya dijadikan sebagai
komoditas yang bebas diperdagangkan tanpa memprioritaskan kepentingan nasional
dan kebutuhan dalam negeri. Perubahan paradigma inilah yang akan memungkinkan
pemerintah dan DPR untuk melakukan berbagai koreksi UU energi agar sesuai
dengan amanah konstitusi yakni mengelola sumber daya energi alam untuk
kepentingan rakyat.
9
Download