ARTIKEL

advertisement
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
PADA PASIEN DEMAM TIFOID DEWASA
DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD SOEWONDO PATI
PERIODE JANUARI-JUNI 2016
ARTIKEL
Oleh :
SAPARUDIN
050110A082
PROGRAM STUDI FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO
UNGARAN
2016
1
2
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM
TIFOID DEWASA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD RAA
SOEWONDO PATI PERIODE JANUARI-JUNI 2016
Saparudin
Program Studi Farmasi Sekolah Tinggi Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran
E-mail : [email protected]
INISARI
Latar belakang : Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada saluran
pencernaan yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi dan memerlukan
antibiotik yang tepat untuk pengobatannya. Tujuan: Untuk mengetahui dan
mengevaluasi pola pengobatan demam tifoid meliputi tepat dosis dan tepat
indikasi pada pasien dewasa di instalasi rawat inap RSUD RAA Soewondo Pati
periode Januari-Juni 2016.
Metode : Rancangan penelitian ini bersifat non eksperimental dengan desain
penelitian deskripstif, pengambilan data secara retrospektif, dan pengambilan
sampel dengan metode Total Sampling.
Hasil : Penelitian ini menunjukkan bahwa antibiotik yang dipakai yaitu
cefotaxime (35,56%), levofloxacin (37,78%), ciprofloxacin (8,89%), ceftizoxime
(4,44%), cefixime (4,44%) dan amoksisilin (2,22%). Evaluasi penggunaan
antibiotik adalah 88,89% tepat indikasi dan 55,56% tepat dosis.
Kesimpulan : Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid dewasa
di instalasi rawat inap RSUD RAA Soewondo Pati periode Januari-Juni 2016
adalah 88,89% tepat indikasi dan 55,56% tepat dosis.
Kata kunci : Demam tifoid, antibiotik, RSUD RAA Soewondo Pati.
Kepustakaan : 31 (1997-2015).
3
EVALUATION OF THE USE ANTIBIOTICS IN ADULTS PATIENTS WITH
TYPHOID FEVER IN INPATIENTS INSTALLATION AT RAA SOEWONDO
HOSPITAL PATI OF THE PERIOD OF JANUARY-JUNE IN 2016.
Saparudin
Pharmacy Study Program Ngudi Waluyo School Of Health
E-mail : [email protected]
ABSTRACT
Background: Typhoid fever is an acute infection disease of the digestive tract
caused by the bacterium Salmonella typhi and require appropriate antibiotics for
treatment. Objective: To identify and evaluate patterns of treatment of typhoid
fever include the right dose and the right indications in adult patients in inpatient
at RAA Soewondo hospitals Pati period of January to June in 2016.
Methods: This study was a non-experimental study with deskripstif research
design, retrospective data collection and sampling methods by Total Sampling.
Results: This study showed that the antibiotics used are cefotaxime (35.56%),
levofloxacin (37.78%), ciprofloxacin (8.89%), Ceftizoxime (4.44%), cefixime
(4.44%) and amoxicillin (2.22%). Evaluation of the use antibiotics was 88.89%
appropiate
indication
and
55.56%
appropiate
dosage.
Conclusion: Evaluation of the use antibiotics in patients with typhoid fever adult
at RAA Soewondo hospital Pati period of January-June 2016 was 88.89%
appropiate indication and 55.56% appropiate dosage.
Keywords
: Typhoid fever, Antibiotics, RAA Soewondo Hospital Pati.
Bibliography : 31 (1997-2015).
4
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Demam tifoid atau thypus abdominalis merupakan penyakit infeksi
akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella typhi (
Zulkoni, 2011). Penyakit ini erat kaitannya dengan higiene pribadi dan
sanitasi lingkungan, seperti higiene perorangan, higiene makanan,
lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum yang kurang
serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat (
Depkes RI, 2006).
Data WHO (World Health Organization) memperkirakan angka
insidensi di seluruh dunia terdapat sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000
orang meninggal karena demam tifoid dan 70% kematiannya terjadi di Asia.
Di Indonesia sendiri, penyakit ini bersifat endemik. Menurut WHO 2008,
penderita dengan demam tifoid di Indonesia tercatat 81,7 per 100.000.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 penderita demam tifoid
dan paratifoid yang dirawat inap di rumah sakit sebanyak 41.081 kasus dan
279 diantaranya meninggal dunia.
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi yang
pengobatannya memerlukan antibiotik. Antibiotik segera diberikan bila
diagnosis klinis demam tifoid telah dapat ditegakkan. Antibiotik merupakan
suatu kelompok obat yang paling sering digunakan saat ini. Menurut
perkiraan sampai sepertiga pasien rawat inap mendapatkan antibiotik, dan
biaya antibiotik dapat mencapai 50% dari anggaran untuk rumah sakit.
Penggunaan yang tidak tepat juga meningkatkan biaya pengobatan dan efek
samping antibiotik. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan pada
beberapa kasus yang tidak rasional, menyebabkan masalah kekebalan
antibiotik (Juwono, 2003).
2. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk Mengevaluasi pengobatan demam tifoid pada pasien dewasa di
Instalasi Rawat Inap RSUD RAA Soewondo Pati.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pola pengobatan demam tifoid pada pasien dewasa di
RSUD RAA Soewondo Pati periode Januari sampai Juni 2016.
b. Mengevaluasi pengobatan demam tifoid meliputi tepat dosis dan tepat
indikasi pada pasien dewasa di RSUD RAA Soewondo Pati.
B. METODE PENELITIAN
1. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dewasa yang
menderita penyakit demam tifoid dan tercatat pada rekam medis di
instalasi rawat inap RSUD RAA Soewondo Pati periode Januari sampai
Juni 2016 serta sesuai dengan kriteria yang ditetapkan yaitu didapatkan
sebanyak 45 pasien.
5
b. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sampel
dalam penelitian ini adalah pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi yaitu didapatkan sebanyak 45 pasien. Pengambilan sampel
dalam penelitian ini dilakukan dengan metode Total Sampling. Total
Sampling merupakan teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel
sama dengan populasi ( Sugiyono, 2007).
Kriteria dalam penelitian ini, antara lain:
1. Kriteria Inklusi
a. Pasien dewasa dengan diagnosa utama demam tifoid dan tidak
mempunyai penyakit penyerta.
b. Pasien yang berusia 18-59 tahun yang menderita demam tifoid di
instalasi rawat inap RSUD RAA Soewondo Pati periode Januari
sampai Juni 2016.
2. Kriteria Eksklusi
a. Pasien yang pulang paksa.
b. Pasien yang meninggal saat pengobatan.
c. Pasien yang dirujuk ke rumah sakit lain.
B. Analisis Data
Analisis data menggunakan analisis deskriptif dengan menjabarkan
data tersebut untuk mendapatkan karakteristik pasien demam tifoid dan
analisis ketepatan penggunaan dosis dan indikasi. Data yang diperoleh akan
disajikan dalam bentuk tabel dan gambar berdasarkan :
1. Karakteristik pasien
Digunakan untuk menentukan angka kejadian demam tifoid di
RSUD RAA Soewondo Pati. Data yang dianalisis berupa jenis kelamin,
umur, lama perawatan.
2. Evaluasi ketepatan penggunaan obat.
Digunakan untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan obat pada
pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD RAA Soewondo Pati.
Analisis ini dilakukan dengan membandingkan penggunaan obat pada
pasien demam tifoid dengan guidelines for the management of typhoid
fever (WHO, 2011) dan Drug Information Handbook edisi 24.
Kriteria rasionalitas pengobatan yang dianalisis yaitu :
a. Tepat Indikasi
Tepat indikasi dihitung dengan cara membandingkan jumlah antibiotik
untuk demam tifoid yang digunakan sudah tepat berdasarkan
guidelines for the management of typhoid fever (WHO, 2011) dengan
jumlah seluruh pasien demam tifoid dan dikalikan 100%, kemudian
data disajikan dalam bentuk tabel dan gambar serta dianalisis.
b. Tepat Dosis
Tepat dosis dihitung dengan cara membandingkan jumlah antibiotik
untuk demam tifoid yang digunakan sudah tepat dosis (tepat takaran,
6
tepat rute pemberian, tepat interval pemberian, tepat lama pemberian)
berdasarkan Drug Information Handbook edisi 24 dengan jumlah
seluruh pasien demam tifoid dan dikalikan 100%, kemudian data
disajikan dalam bentuk tabel dan gambar serta dianalisis.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Pasien
Dari hasil penelitian didapatkan populasi sebanyak 45 pasien. Teknik
pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Total Sampling, karena
menurut Sugiyono (2007) jumlah populasi yang kurang dari 100 maka
semua populasi dijadikan sebagai sampel.
Tabel 4.1. Karakteristik pasien demam tifoid dewasa di RSUD RAA
Soewondo Pati
Karakteristik pasien
Jumlah (N=45)
Persentase(%)
Umur (tahun)
19-25
27
60
26-30
11
24,44
31-35
4
8,90
36-40
2
4,44
41-50 keatas
1
2,22
Jenis kelamin
Laki laki
25
55,56
Perempuan
20
44.44
Lama Perawatan (hari)
3-4
31
68,89
5-7
13
28,89
8-10
1
2,22
a. Umur
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 45 pasien, umur 19-25
tahun merupakan terbanyak yang menderita demam tifoid yaitu sebanyak
27 pasien atau 60% (tabel 4.1). Pada dasarnya data hasil penelitian ini
semakin bertambahnya usia maka semakin berkurang angka kejadian
demam tifoid. Insiden tertinggi demam tifoid didapat pada saat usia
remaja dan dewasa muda (Simanjutak, 1990). Hasil penelitian ini juga
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur Laili yaitu umur
15-24 tahun paling banyak terkena demam tifoid (41% dari 100 sampel),
umur 5-14 tahun 10%, 25-44 tahun 36%, umur 45-64 tahun 12% dan
yang paling rendah yaitu pada umur 64 tahun keatas hanya 1%.
Kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan, kebiasaan makan di
luar rumah dan kurangnya menjaga higiene pribadi, hal ini yang
menyebabkan usia antara 19 sampai 25 tahun lebih besar resiko terkena
demam tifoid.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin digunakan untuk melihat pengaruh jenis kelamin
pada angka kejadian demam tifoid. Pada penelitian ini didapatkan bahwa
7
jenis kelamin laki-laki lebih banyak terkena demam tifoid yaitu sebanyak
55,56% (table 4.1). Di USA insiden demam tifoid tidak berbeda antara
laki-laki dan perempuan (Depkes RI, 2006). Penelitian yang dilakukan
oleh Isti yaitu jenis kelamin perempuan lebih banyak terkena demam
tifoid (56% dari 59 sampel). Laki-laki lebih sering terkena demam tifoid
disebabkan karena banyak menjalani aktifitas diluar rumah dan biasanya
kurang menjaga kebersihan, hal ini lah yang menyebabkan laki-laki lebih
sering terkena demam tifoid.
c. Lama perawatan
Lama perawatan pasien demam tifoid sangat tergantung pada
keparahan, ada tidak adanya penyakit penyerta serta tingkat ekonomi
pasien yang menjalani rawat inap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
jumlah kasus demam tifoid yang menjalani rawat inap terbanyak adalah
2-4 hari sebanyak 31 pasin (68,89%) terbanyak kedua selama 5-7 hari
sebanyak 13 pasien atau 28,89% ( tabel4.1). Banyaknya pasien yang
berhenti menjalani perawatan dikarenakan keadaan pasien sudah mulai
membaik, biasanya pada keadaan ini dokter sudah menyatakan sembuh
dan memperbolehkan pasien tersebut pulang. Hasil penelitian ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rani (2010) Karakteristik
Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di Rumah Sakit Tentara TK-IV
01.07.01 Pematangsiantar tahun 2008 yaitu didapatkan bahwa lama ratarata rawat inap untuk pasien demam tifoid yaitu 4,33 hari.
2. Pengobatan demam tifoid
1. Jenis antibiotik yang digunakan
Tabel 4.2. Penggunaan antibotik pada demam tifoid di RSUD RAA
Soewondo Pati
Antibiotik
Golongan
Jumlah
Persentase (%)
penggunaan
(N=45)
Amoksisilin
Penisilin
1
2,22
Ciprofloxacin
Flouroquinolon
4
8,89
Ceftizozime
Sefalospurin III
5
11,11
Cefotaxime
Sefalospurin III
16
35,56
Cefixime
Sefalospurin III
2
4,44
Levofloxacin
Flouroquinolon
17
37,78
Berdasarkan hasil penelitian terdapat 6 jenis antibiotik yang
digunakan yaitu amoxicillin, ciprofloxacin, ceftizozime, cefotaxime,
cefixime, dan levofloxacin. Ciprofloxacin adalah obat golongan
floroquinolone yang direkomendasikan oleh WHO sebagai pilihan yang
optimal untuk pengobatan demam tifod, tetapi hanya 8,89% digunakan hal
ini disebabkan karena banyak kasus dilaporkan sudah resisten terhadap
ciprofloxacin. Cefotaxime adalah antibiotik golongan sefalosporin
generasi ketiga yang paling banyak digunakan yaitu sebanyak 35,56%
(table 4.2). Jenis antibiotik dari golongan sefalosporin generasi ketiga
seperti cefixime, cefotaxime, dan ceftizoxime mulai digunakan sebagai
8
pilihan utama untuk terapi demam tifoid karena mempunyai aktifitas
antimikroba terhadap kuman gram positif maupun negatif, pada pemberian
oral hampir 50% segera mencapai konsentrasi bakterisidal dan menembus
jaringan dengan baik. Berdasarkan sifat tersebut golongan obat ini dapat
digunakan sebagai pengobatan demam tifoid (Holford, 2007).
Antibiotik lain yang mulai digunakan sebagai terapi utama demam
tifoid adalah golongan flouroquinolone yaitu levofloxacin dan
ciprofloxacin. Golongan flouroquinolone merupakan antibiotik pilihan
pertama untuk pasien demam tifoid untuk orang dewasa karena relatif
murah, lebih toleran dan lebih cepat menyembuhkan dari pada antibiotik
lain seperti kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin dan kombinasi
trimethoprim-sulfametoksazol (Anonim, 2003). Levofloksasin memiliki
khasiat klinis 100% untuk pengobatan demam tifoid (Nelwan et al., 2006).
2. Rute pemberian
Tabel 4.3. Rute pemberian obat pada demam tifoid di RSUD RAA
Soewondo Pati
Rute pemberian obat
Jumlah
Persentase (100%)
(N=45)
Parentral
38
84,84
Oral
7
15,56
Rute pemberian obat yang paling banyak digunakan pada
pengobatan demam tifoid adalah parentral (intravena atau intramuskular)
yaitu sebanyak 84,84% (table 4.3) karena pemberian secara parentral lebih
cepat memberikan efek. Pemberian obat secara parentral memberikan
beberapa keuntungan dibandingkan secara peroral yaitu menghindari first
pass effect dan mencegah obat terdegradasi oleh asam lambung (Cunha,
2007). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Andrea tentang Evaluasi Drug related Problems (DRP) Penggunaan
Antibiotika Pada Pasien Demam Tifoid Di Rumah Sakit Emanuel
Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013 yaitu didapatkan hasil
bahwa penggunaan obat secara parentral sebanyak 88,9% dan peroral
sebanyak 11,11% dari 32 sampel
3. Evaluasi Ketepatan Penggunaan Obat
1. Tepat indikasi
Tabel 4.4. Evaluasi ketepatan indikasi antibiotik pada pengobatan
demam tifoid
Ketepatan indikasi
Jumlah pasien
Persentase
(N=45)
(100%)
Tepat
45
88,89
Tidak tepat
5
11.11
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.4 diperoleh bahwa 11,11%
antibiotik yang dipakai tidak tepat indikasi, karena antibiotik yang
digunakan (Ceftizoxime) tidak sesuai dengan guidelines for the
management of typhoid fever (WHO, 2011). Ceftizozime adalah antibiotik
golongan sefalosporin generasi ketiga yang dapat digunakan untuk
9
mengobati berbagai jenis infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif
dan negatif. Penelitian yang dilakukan oleh Nur Laily tentang Evaluasi
Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Demam Tifoid Di RS Klaten
didapatkan bahwa 100% tepat indikasi.
2. Tepat Dosis
Tepat dosis adalah pemberian antibiotik yang meliputi tepat takaran,
tepat interval pemberian, tepat lama pemberian sesuai Drug Information
Handbook edisi 24.
Tabel 4.5. Evaluasi ketepatan dosis antibiotik pada pengobatan
demam tifoid
Ketepatan Dosis
Jumlah Pasien
Persentase
(N=45)
(%)
Tepat
25
55,56
Tidak tepat
20
44,44
Jumlah
45
100
Tepat dosis adalah pemberian antibiotik yang meliputi tepat takaran,
tepat interval pemberian, tepat lama pemberian sesuai Drug Information
Handbook edisi 24. Dari 45 sampel yang dievaluasi sebanyak 55,56%
penggunaan antibiotik untuk demam tifoid di RSUD RAA Soewondo pati
sudah tepat. Kebanyakan dari pemberian antibiotik di RSUD RAA
Soewondo Pati tidak memperhatikan durasi pengobatan sehingga tidak bisa
dikatakan tepat dosis. Pemberian obat yang tidak tepat dosis dapat
menyebabkan kegagalan terapi dan berbagai masalah seperti
ketidaksembuhan penyakit, resistensi dan supra infeksi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa evaluasi ketepatan takaran dan
interval sudah tepat, tetapi pada evaluasi ketepatan lama pemberian
antibiotik kurang dari durasi. Pemberian antibiotik yang kurang dari standar
dikarenakan pasien yang menjalani rawat inap sudah diperbolehkan pulang
sebelum durasi pengobatan. Pada umumnya dokter akan memberikan resep
antibiotik ketika pasien pulang, obat yang diberikan tersebut juga
dimasukkan kedalam evaluasi ke tepatan lama pemberian obat dengan cara
lama pasien mendapatkan antibiotik di rawat inap ditambah lama pasien
mengkonsumsi obat antibiotik yang dibawa pulang. Akan tetapi ada juga
yang tidak diberikan antibiotik atau mengganti antibiotik yang diberikan
selama perawatan dengan antibiotik lain.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan :
1. Penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid dewasa di RSUD RAA
Soewondo periode Januari sampai Juni 2016 adalah cefotaxime (35,56%),
levofloxacin (37,78%), ciprofloxacin (8.89%), ceftizozime (4,44%),
cefixime (4,44%) dan amoksisilin (2,22%).
2. Evaluasi pegggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid dewasa di
RSUD RAA Soewondo periode Januari sampai Juni 2016 adalah 88,89%
tepat indikasi dan 55,56% tepat dosis.
10
E. UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih seluruh civitas akademik STIKES Ngudi Waluyo Ungaran,
Semua Staf pengajar Program Studi Farmasi, kedua orang tua saya yang selalu
memberikan dukungan dan kepada semua teman-teman angkatan 2012 yang
tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu.
F. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lain untuk mengetahui gambaran penggunaan
antibiotik pada penyakit yang sama pada pasien anak demam tifoid di
RSUD RAA Soewondo Pati.
2. Perlu ketelitian dan kebijakan dalam memberikan dosis atau terapi yang
sesuai untuk pasien agar terhindar dari ketidakrasionalan terapi dengan
antibiotik.
G. DAFTAR PUSTAKA
1. Zulkoni, A., 2 011, Parasitologi. Nuha Media, Yogyakarta.
2. Depkes, RI., 2006, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam
Tifoid. Departeman Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
3. Juwono, R., 2003, Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid 1, Edisi Ketiga, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Notoatmojo,
2005,
Metodologi penelitian kesehatan, PT. Rineka Cipta. Jakarta.
4. Sugiyono.2007. Metode Penelitian pedidikan pendekatan kuantitatif,
kualitatif. R&D.Bandung.
5. Simanjutak, p.j. 1990. Pengantar Sumber Ekonomi Daya Manusia.Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Jakarta.
6. Rani, N.F., 2010. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di
Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematangsiantar tahun 2008. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. USU, Medan.
7. Holford, N.H. (1998). Farmakokinetik dan farmakodinamik : Pemilihan
Dosis yang Rasional dan waktu Kerja Obat. Farmakologi Dasar dan Klinik.
Edisi VI. Jakarta. Hal. 36-38.
8. Anonim, 2003, Diagnosis of Typhoid Fever. Dalam: Background
Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever.
World Health Organization.
9. Afonso, A., Hunt, P., Cheesman, s., Alves, A.C., Cunha, C.V., and Rosario,
v., 2008, Malaria parasites can develop stable resistance to artemisinin but
lack mutationsin candidate genes atp6 (encoding the sarcoplasmic and
endoplasmic reticulum ca+ATP ase), tctp, mdr1, and cg10. Antimicrobial
agents and chemotherapy, 50: 480-489.
10. Aberg, J.A., Lacy, F.,C., Amstrong L.,L., Goldman,P.,M., Lance, L., L.,
2008, Drug Information Handbook 24 edition, Lexi-Comp, USA.
11. World Health Organization, 2011, Guidelines for the management of
typhpid
fever.
WHO,
Geneva.http://apps.who.int/medicinedocs/documents/s20994en/s20994en.pd
f. [30 April 2016].
11
Download