Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalisme Bab ini akan membahas secara umum mengenai dasar keberlakuan hukum internasional di depan pengadilan domestik atau nasional berdasarkan otorisasi implisit dari konstitusi Indonesia dan secara khusus mengargumentasi aplikabilitas teori internasionalisme sebagai dasar normativitas untuk keberlakuan tersebut. Dengan demikian kesimpulan yang hendak dijustifikasi di sini adalah konsep konstitusi Indonesia jauh lebih besar atau lebih luas daripada sekadar teksnya, konstitusi formal, yaitu UUD NRI 1945. Di dalam konsepsi yang lebih luas tersebut dapat dikonstruksikan pengertian bahwa semangat internasionalisme inheren dalam konstitusi Indonesia, meskipun sangat implisit. Inilah dasar argumen dari penelitian ini dalam mengargumentasi bahwa teori internasionalisme aplikabel di dalam konstitusi Indonesia untuk selanjutnya mengotorisasi penggunaan hukum internasional di depan pengadilan domestik atau nasional Indonesia. Lebih jauh lagi, hal ini menjustifikasi tindakan hakim-hakim pengadilan Indonesia, khususnya MK RI, untuk menggunakan hukum internasional, terutama supaya hukum nasional Indonesia, undang-undang, harmonis dengan tuntutan kewajiban internasionalnya. Pendekatan yang digunakan dalam Bab ini adalah pendekatan historis dengan menilik sejarah 64 pembentukan konstitusi di Indonesia. Analisis yang dilakukan bersifat kontekstual untuk menghasilkan kesimpulan digunakan bahwa di teori negara internasionalisme Indonesia. Dalam dapat konteks demikian maka pembahasan Bab ini diarahkan pada tiga hal. Pertama, pemahaman tekstual dari konstitusi Indonesia mengenai isu ini (kedudukan hukum internasional di depan pengadilan nasional). Kedua, pemikiran yang melatarbelakangi pembentukan konstitusi Indonesia dengan melihat kemungkinan daya dukung pemikiran yang ada untuk aplikabilitas teori internasionalisme. Ketiga, menjelaskan implikasi temuan ini dalam praktik pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh MKRI. A.Konstitusi Indonesia Konstitusi Republik Indonesia (RI) telah mengalami 3 fase rezim hukum yang berbeda yakni rezim UUD 1945, UUD NRI Tahun 1945S 1949, dan UUD 1950. 1 Pada tahun 1959, UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden dengan empat kali perubahan yang terjadi di tahun 19992002. Dalam beberapa fase yang dialami UUD NRI Tahun 1945, menyebutkan nampak secara satu-satunya eksplisit pasal mengenai yang hukum internasional dalam arti sempit, yaitu perjanjian internasional, adalah Pasal 11. 1 Damos Dumoli Agusman, “Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional Mengais Latar Belakang dan Dinamika Pasal 11 UUD 1945” Opinio Juris Vol. 4, 2012, hlm. 1. 65 Hukum internasional dalam UUDS RI 1950 dinyatakan dalam Bagian 5 perihal Hubungan Luar Negeri yang terdiri dari 4 Pasal sebagai berikut: ∑ Pasal 120 (1) “Presiden mengadakan dan mengesahkan perdjandjian (traktat) dan persetudjuan lain dengan Negara-negara lain. Ketjuali djika ditentukan lain dengan undang-undang, perdjandjian atau persetudjuan lain tidak disahkan, melainkan sesudah disetudjui dengan undang-undang.” (2) “Masuk dalam dan memutuskan perdjandjian dan persetudjuan lain, dilakukan oleh Presiden hanja dengan kuasa undang-undang.” ∑ Pasal 121 “Berdasarkan perdjandjian dan persetudjuan jang tersebut dalam pasal 120, Pemerintah memasukkan Republik Indonesia kedalam organisasi-organisasi antar-negara.” ∑ Pasal 122 “Pemerintah berusaha memetjahkan perselisihan-perselisihan dengan negara-negara lain dengan djalan damai dan dalam hal itu memutuskan pula tentang meminta ataupun tentang menerima pengadilan atau pewasitan antar-negara.” ∑ Pasal 123 “Presiden mengangkat wakil-wakil Republik Indonesia pada Negara-negara lain dan menerima wakil negara-negara lain pada Republik Indonesia.” Sedangkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasalnya yang ke-11 mengalami perubahan setelah amandemen ke-3 di Sidang Tahunan MPR pada tanggal 10 November 2001 dengan penambahan ayat (2) dan (3) seperti berikut: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” (2) “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau (1) 66 pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” (3) “Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan Undang-Undang.” Apabila dicermati, bunyi kedua Pasal 11 di atas hanya mengatur hubungannya terkait kewenangan dengan perjanjian dewan presiden perwakilan internasional yang dan rakyat dibuatnya, namun Pasal a quo tidak menjelaskan isu yang lebih luas dan fundamental yakni mengenai posisi hukum internasional di ruang lingkup hukum nasional. Isu tersebut juga tidak terjawab melalui teori Stufenbau dari Hans Kelsen yang dianut Indonesia dalam membangun secara bertingkat sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan. 2 Berbeda halnya dengan Konstitusi Afrika Selatan yang telah dianggap sebagai salah satu konstitusi negara paling progresif karena telah menentukan secara tegas posisi hukum internasional di pengadilan nasional.3 Ketiadaan norma eksplisit dalam UUD NRI Tahun 1945 ini menciptakan inkonsistensi Indonesia yang ditunjukkan dengan beragam pendapat para ahli hukum dan praktik kedudukan hukum pengadilan nasional. pengadilan internasional Wisnu Aryo di terkait depan Dewanto merupakan salah satu yang menganggap Indonesia adalah negara dualis karena perjanjian internasional Damos Dumoli Agusman, “Indonesia dan Hukum International: Dinamika Posisi Indonesia terhadap Hukum Internasional” Jurnal Opinio Juris Vol. 15, 2014, hlm. 35. 3 Edwin Cameron, “Constitutionalism, Rights, and International Law: The Glenister Decision” Duke Journal of Comparative & International Law Vol. 23, 2013, hlm. 389. 67 2 bukanlah salah satu sumber hukum yang diakui dalam hierarki peraturan perundang-undangan sehingga perlu berintegrasi dengan sistem hukum nasional melalui proses transformasi. 4 Wisnu Aryo Dewanto mendasarkan argumennya pada ketiadaan norma eksplisit dalam Konstitusi, dan eksistensi UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang tidak terlepas dari Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tentang Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Presiden merupakan tersebut Negara Lain. adopsi Surat model Konstitusi Belanda yang dinyatakan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi oleh karena munculnya praktik penyimpangan dalam melaksanakan Surat Presiden tersebut. 5 UU No. 24 Tahun 2000 muncul menggantikan Surat Presiden 4 Wisnu Aryo Dewanto, “Perjanjian Internasional Tidak Dapat Diterapkan Secara Langsung Di Pengadilan Nasional: Sebuah Kritik Terhadap Laporan DELRI Kepada Komite ICCPR PBB Mengenai Implementasi ICCPR di Indonesia” Jurnal Hukum StaatRechts Vol. 1, 2014, hlm. 20. Hal sama juga dikemukakan oleh Pan Mohammad Faiz Kusuma Wijaya, “Pengujian UndangUndang yang Mengesahkan Perjanjian Internasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 di Hadapan Mahkamah Konstitusi” Jurnal Konstitusi Vol. 3 No. 1, 2006, hlm. 181-198. 5 Pada awalnya, UUD 1945 merujuk pada Konstitusi Meiji yang tidak mengenal pembedaan jenis perjanjian. DPR menjadi kewalahan untuk menangani banyaknya perjanjian yang dibuat kemudian melirik Konstitusi Belanda yang membuat kriteria tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan parlemen, ini transplantasi hukum dan praktik Indonesia yang menggunakan dasar konstitusional Jepang namun mengembangkan model Konstitusi Belanda. Damos Dumoli Agusman, “Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional Mengais Latar Belakang dan Dinamika Pasal 11 UUD 1945”, Op.Cit., hlm. 6. 68 tersebut, 6 namun Undang-Undang ini mendapat kritik dari Dumoli Agusman terkait proses ratifikasi yang diatur di dalamnya. 7 Pandangan lain disampaikan oleh Simon Butt yang mengemukakan bahwa Indonesia tidak hanya dualis tapi juga monis.8 Kesimpulan Butt tersebut ditarik dari praktik-praktik hakim di pengadilan yang tidak seragam, sehingga menciptakan realita mixed theories dalam suatu negara. Ini semakin menunjukkan bahwa sebenarnya teori monisme-dualisme sudah tidak relevan lagi untuk menjustifikasi praktik negara dalam menggunakan hukum internasional di negaranya. Keberagaman cara pandang dan praktik pengadilan nasional memberi implikasi keraguan dunia internasional terhadap seberapa besar tingkat kepatuhan Indonesia terhadap hukum internasional. Natalie Pierce, delegasi dari negara New Zealand dalam pertemuan ke-27 International Law Commission’s Annual Report, mengatakan bahwa sebuah konstitusi suatu negara mengambil peran penting untuk melegitimasi the provisional application of treaties supaya tidak terjadi inkonsistensi Konsideran dan Penjelasan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 7 Disebutkan Undang-Undang ini menyatukan prosedur ratifikasi internal dengan ratifikasi eksternal padahal suatu perjanjian internasional dalam prosedur eksternal ratifikasi, bukan disahkan oleh undang-undang maupun keputusan presiden, melainkan melalui pengiriman instrument of ratification/accesion/acceptance/approval yang dibuat oleh menteri luar negeri. Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 76-78. 8 Simon Butt, Op.Cit., hlm. 5. 69 6 pelaksanaan kewajiban internasional dan hukum domestik dalam praktiknya.9 UUD NRI Tahun 1945 memang tidak memuat ketentuan eksplisit yang menjelaskan kedudukan hukum internasional dalam pengadilan nasional, namun sebenarnya ini tidak berarti bahwa tidak ada dasar normativitas untuk penerapan hukum internasional pada aras domestik. Kebutuhan akan hukum internasional di depan pengadilan nasional terus muncul sehingga dasar normativitas tersebut perlu ditemukan dalam UUD NRI Tahun 1945, meskipun secara implisit. Dengan kata lain, pemahaman terhadap UUD NRI Tahun 1945 tidak lagi sebatas tekstual tapi beyond the text itself. B.Dukungan untuk Keberlakuan Teori Internasionalisme dalam Konstitusi Indonesia Sejarah pembentukan UUD NRI Tahun 1945 menunjukkan keinginan Indonesia untuk berlaku sesuai dengan hukum internasional sebagai bagian dari komunitas internasional. Dengan penelusuran sejarah, teori internasionalisme memiliki dasar keberlakuan yang sah di Indonesia meski UUD NRI Tahun 1945 tidak menyatakan secara eksplisit dalam teksnya. Keinginan negara Indonesia untuk berlaku selaras dengan hukum internasional ditunjukkan 9 Diunduh dari http://www.un.org/press/en/2014/gal3492.doc.htm pada tanggal 28 Desember 2015 pukul 23.45 WIB. 70 dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “[U]ntuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang… ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 merupakan norma dasar bernegara (staatsfundamentalnorm) yang menggambarkan citacita negara bangsa yang di dalamnya juga terdapat Pernyataan Kemerdekaan.10 A.S.S. Tambunan dalam suatu pengantar diskusi mengenai UUD 1945 mengutarakan bahwa Pembukaan atau pembukaan mendasari sistem konstitusi dan mengikat sistem kenegaraan sehingga tingkatan Pembukaan UUD 1945 adalah di atas batang tubuh karena terdapat rumusan pokok-pokok pikiran bangsa di dalamnya.11 Bung Hatta mengatakan bunyi Pembukaan Konstitusi di atas merupakan pedoman politik luar negeri bebas aktif yang dijalankan negara Indonesia. 12 Yang dimaksud dengan “bebas” adalah Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana tercermin dalam Pancasila, sedangkan “aktif” berarti di dalam menjalankan Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 3. 11 Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian, Bung Karno dan Pancasila: Menuju Revolusi Nasional, Yogyakarta: Galang Press Yogyakarta, 2002, hlm. 462. 12 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm. 91. 71 10 kebijakan luar negerinya, Indonesia tidak bersikap pasif-reaktif atas kejadian-kejadian internasional melainkan bersikap aktif.13 Politik luar negeri bebas aktif tersebut termanisfestasi sejak pembentukan gerakan non-blok yang berkembang atas dasar Konferensi Bogor dan Kolombo di tahun 1954 lalu Konferensi Asia Afrika dengan hasil Dasa Sila Bandung dimana Soekarno beserta tokoh lainnya menyatakan upayanya untuk mencegah memuncaknya perang dingin antara dua blok negara adidaya dengan mengajukan alternatif-alternatif terhadap penyelesaian berbagai masalah dunia.14 Juga melalui Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945, Indonesia dengan menyadari negara bernegaranya. lain Hal pentingnya dalam tersebut berhubungan penyelenggaraan tidak terlepas dari sejarah di era lahirnya kemerdekaan Indonesia ketika pemerintah berusaha berinteraksi dengan bangsabangsa untuk mendapat pengakuan internasional. Kementerian Luar Negeri, sebagai salah satu kementerian paling pertama yang didirikan, mengirim diplomat Indonesia yakni Agus Salim dan Sutan Sjahrir berulang kali menghadiri rapat Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membahas “Persoalan Indonesia” (Indonesian Question) 15 untuk mendapat Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hlm. 60. 14 S. Sularto, Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001, hlm. 92. 15 Chapter V. Subsidiary Organs of The Security Council, hlm. 183. Diunduh dari www.un.org/en/sc/repertoire/46-51/4672 13 dukungan internasional. Proses interaksi tersebut terus berlanjut sampai pada akhirnya Indonesia menjadi negara anggota PBB. 16 Senada dengan hal tersebu, Soekarno dalam Kursus tentang Pancasila di Istana Negara menyebutkan tanggal Indonesia 22 Juli sebagai 1958 aan den yang lijve ondervinden bahwa “.. tak dapat kita melepaskan diri kita dari bekerja sama dengan bangsa-bangsa yang juga menentang imperialisme”.17 Kesadaran kesatuan Indonesia besar komunitas sebagai bagian internasional dari juga ditunjukkan melalui naskah-naskah persiapan UUD NRI Tahun 1945 18 yang juga memperlihatkan Indonesia menerima manfaat hukum internasional tidak hanya dalam Mukadimmah UUD NRI Tahun 1945 namun dalam pokok-pokok pikiran poin 3 dan 4 terkait hal pengakuan internasional dan HAM.19 51_05.pdf#page=5 pada tanggal 28 Desember 2015 pukul 04.50 WIB. 16 Ditunjukkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. 491 (V) (1950) tentang Penerimaan Republik Indonesia untuk Keanggotaan PBB pada tanggal 28 September 1950. 17 Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian, Op.Cit., hlm. 171. 18 “Kekuatan kejakinan bangsa Indonesia dalam membentuk dan memelihara bangunan unitaris dan gemanja dalam pembentukan masjarakat bangsa-bangsa sedunia dan sepandjang masa.” Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, 1960, hlm. 70. 19 Ibid., hlm. 565. Pokok Pikiran poin 3, “Bahwa kekuasaan Pemerintah Negara dipusatkan pada Presiden dan Wakil Presiden jang bertanggungdjawab pada Madjelis Permusjawaratan Rakyat, sesuai dengan permulaan revolusi dimana Soekarno-Hatta dipertjaja oleh rakjat mengumumkan pernjataan kemerdekaan Indonesia kepada dunia internasional”, Pokok Pikiran poin 4, “Bahwa hak-hak asasi serta kebebasan-kebebasan manusia berlaku bagi warga-negara atau dengan singkat Republik Proklamasi adalah negara dari rakjat oleh rakjat untuk rakjat.” 73 Hukum perluasan internasional masuknya perwujudan menjunjung butir-butir kehendak tinggi berperan Negara dalam HAM sebagai Indonesia nilai-nilai HAM dalam sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang lebih beradab dari pergaulan internasional. 20 Tidak dapat dipungkiri bahwa butir-butir HAM pada Pasal UUD NRI Tahun 1945 merupakan jelmaan dari Universal Declaration of Human Rights 21 yang kemudian tertuang dalam Bab XA mengenai HAM dari Pasal 28A-28J, sehingga jelas bahwa hukum internasional memberikan sumbangsih besar dalam konstruksi hukum HAM dalam UUD NRI Tahun 1945. Pidato Pancasila yang disampaikan Soekarno pada Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 sebelum kemerdekan Indonesia turut menjadi bukti yang menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia sebenarnya juga tidak terlepas dari peran hukum internasional yang memberikan kemudahan syarat berdirinya suatu negara. Soekarno dalam pidatonya menyatakan, “… Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya international recht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengakui suatu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat-syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak! Syaratnya 20 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku I, Op.Cit., hlm. 249. 21 Jelmaan dalam arti mengikuti model UDHR. Muhammad Yamin, Op.Cit., hlm. 661. 74 sekadar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk international recht.”22 Soekarno menggunakan prinsip dasar hukum internasional supaya mendorong lahirnya gerakangerakan nasionalisme untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pidato tersebut sekaligus menjadi momentum lahirnya Pancasila sebagai falsafah bangsa yang sebenarnya tidak terlepas dari sumbangan konstruksi pemikiran dari para Filsuf Barat yang digunakan yaitu Friedrich Hegel, Karl Marx, Darwin-Haeckel, dan Immanuel Kant. 23 Juga, hukum internasional memberi pengaruh dalam menciptakan ruh dalam sila-sila di Pancasila, seperti sila peri-kerakyatan. Istilah internasional demokrasi digunakan sebagai panutan peri-kerakyatan di negara Indonesia, bahwa persamaan hak dalam masyarakat dan lingkungan negara adalah intisari dari kerakyatan atau demokrasi. 24 Selain itu juga, sila peri-kemanusiaan yang tidak mengenal perbatasan nasional karena sifatnya lebih tinggi. Dari ulasan historis di atas, dapat disimpulkan bahwa proses kemerdekaan Indonesia sampai proses pembentukan Konstitusi melibatkan peran hukum internasional. Hukum internasional memberi prinsip Hal serupa diungkapkan oleh Soepomo dalam Sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945. Floriberta Aning, Lahirnya Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI, Yogyakarta: Media Pressindo, 2006, hlm. 57. 23 Ajaran para filsuf barat telah memberi pengaruh bagi Konstitusi RI dalam hal Pembukaan, Pembagian Kekuasaan, HAM, dan Pancasila. Muhammad Yamin, Op.Cit., hlm. 75. 24 Ibid., hlm. 73. 75 22 dasar berdirinya negara yang digunakan Soekarno untuk mendorong kemerdekaan Indonesia, hukum internasional memberi pengaruh dalam menciptakan ruh Pancasila sebagai falsafah negara, hukum internasional juga memberi tuntunan bagi Indonesia untuk menjadi negara yang merdeka dalam satu kesatuan masyarakat internasional yang termaktub dalam preamble UUD NRI Tahun 1945. Lebih lanjut Soekarno menerangkan dalam Pidato Pancasila-nya, “Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa satu dan punya bahasa satu, tetapi Indonesia hanya satu bagian kecil dunia. Kita akan mendirikan Negara Indonesia merdeka sekaligus menuju pada kekeluargaan bangsabangsa, internasionalisme tidak berarti kosmopolitisme yang meniadakan bangsa. Internasionalisme tidak dapat hidup subur bila tidak berakar di bumi nasionalisme, sedangkan nasionalisme tidak dapat hidup di taman sarinya internasionalisme. Prinsip pertama dan kedua saling bergandengan.” Hal yang sama diuraikan Antonio Cassese, “International law cannot stand on its own feet without its “crutches”, that is … international law cannot work without the constant help, cooperation, and support of national legal systems. As the German jurist, H. Triepel, observed in 1923, international law is like a field marshal who can only give orders to generals. It is solely through the generals that his orders can reach the troops. If the generals do not transmit them to the soldiers in the field, he will lose the battle.” 25 Statement menunjukkan 25 Soekarno hukum dan Cassese internasional dan di atas hukum Simon Butt, Op.Cit., hlm. 3. 76 nasional merupakan dua variabel yang tidak bisa berjalan sendiri-sendiri melainkan saling membutuhkan satu sama lain. Pernyataan bung Karno di atas menegaskan bahwa hukum nasional tetap memiliki kedaulatannya sendiri dengan ruang lingkup berbeda dengan hukum internasional. Internasionalisme yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme dimana setiap bangsa menghargai dan menjaga hak-hak semua bangsa dengan kedudukan yang sama derajatnya dalam suatu badan internasional. 26 Sedangkan nasionalisme bangsa Indonesia adalah nasionalisme yang tidak bertentangan dengan internasionalisme, yaitu internasionalisme yang anti-kolonial, dan ingin hidup berdampingan demikian, membentuk negara moral secara damai. Indonesia nasional Dengan 27 dapat sukses sepanjang tidak melanggar norma-norma internasional yang baik. Kesimpulan dari analisis Sub-judul ini menyatakan bahwa terdapat keinginan implisit dari UUD NRI Tahun 1945 yang juga dibuktikan dengan pengalaman praktik negara Indonesia untuk comply terhadap hukum internasional. Kepatuhan terhadap hukum internasional tersebut sekaligus Iman Toto K. Rahardjo, Bung Karno: Masalah Pertahanan dan Keamanan, Jakarta: PT. Grasindo, 2010, hlm. 447. 27 Sambutan Prijono pada Pembukaan Seminar Pancasila pada 16-20 Februari 1959. Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmlan, Op.Cit., hlm. 266-267. Hal serupa diutarakan oleh Bagir Manan bahwa dalam pergaulan internasional, UUD suatu negara harus tidak bleh bertentangan dengan hukum internasional. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku I, Op.Cit., hlm. 315. 77 26 mencerminkan bahwa “international law is law” di hadapan pengadilan landasan teori nasional Indonesia internasionalisme dengan yang akan dijelaskan pada Sub-judul di bawah ini. C.Teori Internasionalisme dalam Praktik Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang oleh MK RI Pada konstitusi umumnya, dibentuk lembaga sebagai suatu mahkamah pengadilan khusus 28 untuk menjaga dan melindungi hak-hak asasi manusia warga negaranya 29 dari perbuatan negara yang bertentangan atau tidak sesuai dengan hak asasi manusia tersebut 30 . Di berbagai negara, mahkamah konstitusi sering diposisikan sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan sebagai penafsir tunggal konstitusi (sole interpreter)31 dalam memberikan memadai terhadap jaminan hak perlindungan konstitusional 32 yang warga negaranya. 28 Terdapat 4 jenis bentuk pengadilan yang umum ada di suatu negara sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negaranya, yakni pengadilan tata negara (Mahkamah Konstitusi), pengadilan administrasi atau tata usaha negara, pengadilan biasa (regular court), dan pengadilan HAM adhoc. I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 152. 29 Ibid., hlm. 133. 30 Laurence H. Tribe, Constitutional Choice, London: Harvard University Press, 1985, hlm. 246. 31 A. Mukthie Fadjar, Konstitusionalisme Demokrasi: Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahkamah Konstitusi sebagai Kado untuk ‘Sang Penggembala’, Malang: InTRANS Publishing, 2010, hlm. 1. 32 Karakteristik hak konstitusional: 1) Memiliki sifat fundamental. Diperoleh karena ia dijamin oleh dan menjadi bagian 78 Gagasan mengenai judicial review (yang sekarang menjadi salah satu kewenangan MK RI) di Indonesia sempat diutarakan oleh Muhammad Yamin pada saat penyusunan UUD NRI Tahun 1945 namun gagasan tersebut sempat ditolak Soepomo karena ia berpendapat belum saatnya melembagakan fungsi tersebut karena sumber daya manusia yang belum memadai pada saat itu. 33 Di era amandemen UUD NRI Tahun 1945, pembahasan mengenai kekuasaan kehakiman dan judicial review muncul kembali pada masa awal rapat pleno PAH I BP MPR 2000 namun belum ada usulan pembentukan Mahkamah Konstitusi. 34 Usulan pembentukan lembaga tersebut mulai nampak setelah PAH I BP MPR 2000 melakukan kunjungan, studi banding, dan dengar pendapat dari berbagai pihak. Terdapat 3 hal penting yang perlu diketahui sebagai dasar pembentukan MK RI. 35 Pertama, dari konstitusi tertulis yang merupakan hukum fundamental; 2) Hak konstitusional adalah bagian dari dan dilindungi oleh konstitusi tertulis, harus dihormati dan tidak satu organ negara pun boleh bertindak bertentangan atau melanggar hak konstitusional itu; 3) Setiap tindakan organ negara yang bertentangan dengan hak itu harus dapat dinyatakan batal oleh pengadilan. Hak konstitusional akan kehilangan maknanya sebagai hak fundamental apabila tidak terdapat jaminan dalam pemenuhannya; 4) Perlindungan yang diberikan konstitusi adalah perlindungan terhadap perbuatan negara, bukan oleh individu lain. 5) Hak konstitusional merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara. I Dewa Gede Palguna, Op.Cit., hlm. 137. 33 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 445. 34 Ibid, hlm. 442. 35 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi: Telaah Terhadap 79 adanya lack of authority karena dalam sistem hukum di Indonesia belum ada mekanisme yang mengatur limitatif soal terhadap hak uji konstitusi) materiil sehingga (undang-undang berbagai undang- undang yang bertentangan dengan konstitusi tidak pernah bisa Konstitusi dipersoalkan. diperlukan sebagai Peran Mahkamah titik perubahan paradigma struktur ketatanegaraan dengan prinsip checks and balances di Indonesia 36 supaya terjadi keseimbangan fungsi lembaga-lembaga negara dalam mewujudkan kehidupan negara yang demokratis. Kedua, ada fakta politik terjadinya konflik kelembagaan antara lembaga kepresidenan dan DPR yaitu pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dan pengangkatan Ketua Mahkamah Agung (MA). Ketiga, adanya pandangan bahwa MA tidak sepenuhnya mampu menjalankan berbagai kewenangan yang melekat pada dirinya, sehingga diperlukan lembaga lain untuk menangani berbagai soal ketatanegaraan lainnya di luar MA. Disahkannya Tahun 1945 Perubahan sekaligus Ketiga membuka UUD babak NRI baru pembentukan MK RI. UUD NRI Tahun 1945 yang kemudian diturunkan ke Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 memberi wewenang kepada MK RI untuk, salah satunya (sekaligus yang menjadi inti pembahasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Bandung: Alumni, 2008, hlm. 113. 36 H. Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007, hlm. 91. 80 dalam sub-judul terhadap UUD mekanisme Konstitusi ini), NRI menguji Tahun pengujian atau undang-undang 37 Awalnya, undang-undang terhadap judicial 1945. pertama review kali dikembangkan oleh negara Amerika Serikat melalui kasus Marbury v. Madison pada tahun 1803.38 Di MK RI berkembang praktik constitutional review 39 yang menggunakan hukum internasional. Diane Zhang menunjukkan bahwa selama tahun 2003-2008, terdapat 78 kasus pengujian undangundang terhadap 56 jenis undang-undang dimana 86% atau berjumlah 62 putusan MK RI merujuk pada 813 rujukan asing berupa putusan pengadilan, hukum internasional dan domestik, praktik hukum, tulisan hukum akademik, dan internasional lain-lain. 40 Dominannya, digunakan untuk menginterpretasi kaidah yang berhubungan dengan hak asasi manusia (HAM). Oleh sebab itu, konteks penggunaan hukum internasional dalam tulisan ini dipersempit dalam area HAM. Hubungan antara UUD NRI Tahun 1945 dengan hukum HAM internasional yang semakin sulit dipisahkan sekaligus menunjukkan bahwa UUD NRI Tahun 1945 dan hukum internasional memiliki arah dan tujuan yang Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 38 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hlm. 19-25. 39 Constitutional review merupakan bentuk judicial review yang lebih sempit. Martitah, “Judicial Review dan Arah Politik Hukum Nasional: Sebuah Perspektif Penegakan Konstitusi” Jurnal Konstitusi Vol. I No. 1, 2009, hlm. 123. 40 Diane Zhang, Loc.Cit.. 81 37 sama sehingga keduanya berada pada level yang sejajar bagi pengadilan nasional untuk menerapkan keduanya di wilayah yurisdiksinya. Praktik ini konstitusional berkembang yang konstitusionalitas timbul karena dalam isu pengujian undang-undang memiliki pararelitas dengan hukum internasional. Salah satu isu tersebut adalah di bidang hak-hak asasi manusia (HAM). Isu konstitusionalitas undang-undang dalam kaitan dengan HAM pararel dengan hukum internasional karena internasionalisasi HAM. Tentang fenomena tersebut Louis Henkin menyatakan: ”The international law of human rights parallels and supplements national law, superseding and supplying the deficiencies of national constitution and laws, but it does not replace and indeed depends on national institutions.” maka 41 Dalam posisi pararelitas demikian potensi untuk penggunaan argumen berdasarkan hukum internasional dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang menjadi terbuka. Penggunaan pengujian hukum konstitusionalitas internasional dalam undang-undang ini tidak melanggar yurisdiksi material MK RI sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Dalam pengujian tersebut, hakim tetap terikat oleh UUD NRI Tahun 1945 dalam menentukan konstitusionalitas proses undang-undang. interpretasi konstitusi Hanya tersebut saja juga 41 Louis Henkin, The Rights of Man Today, Center for the Study of Human Rights-Columbia University, New York, 1988, hlm. 95. 82 mempertimbangkan asas atau kaidah hukum internasional. Mengambil contoh konkret yakni Putusan MK RI No. 065/PUU-II/2004 yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 43 (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal tersebut berbicara mengenai asas retro aktif pada pengadilan HAM ad hoc yang kemudian diterapkan dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di wilayah Timor Timur. Pasal a quo kemudian diujikan dengan pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yakni di antaranya Pasal 1 (3) dan Pasal 28J (2). Isunya adalah apakah asas retro aktif yang ada dalam Undang-Undang Pengadilan dengan negara konsep HAM hukum tidak sesuai Indonesia dan pembatasan terhadap HAM yang dilindungi oleh UUD NRI Tahun 1945. Dalam hal menjawab isu tersebut, hakim MK RI telah menggunakan instrumen internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (Pasal 29 (2), International Covenant on Civil and Political Rights (Pasal 15 (1), dan European Convention on Human Rights (Pasal 7) yang mengatakan bahwa pembatasan terhadap asas non retro aktif restrictive, dapat artinya berlaku dapat secara limitative diberlakukan and secara terbatas hanya terhadap kasus pelanggaran HAM berat seperti genocide dan crimes against humanity dalam kasus putusan tersebut, tidak untuk kasus pada umumnya. Dalam kerangka interpretasi inilah, maka hakim MK RI menilai bahwa asas retro aktif dalam Undang-Undang Pengadilan HAM masih dalam 83 koridor pembatasan terhadap HAM yang sesuai dalam Pasal 28J (2) UUD NRI Tahun 1945 dan sesuai pula dengan konsep negara hukum Indonesia yang menjunjung perlindungan hak asasi manusia (dalam kasus tersebut adalah HAM para korban peristiwa Timor-Timur yang belum mendapatkan perlindungan oleh karena Indonesia saat itu belum memiliki regulasi nasional yang mengatur genocide dan crimes against humanity). Contoh dari putusan ini menunjukkan bahwa hakim MK RI memanfaatkan hukum internasional sebagai dasar argumen untuk menginterpretasi pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945, sekaligus menegaskan bahwa hakim tetap memutus perkara berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, sekurang-kurangnya, hukum internasional memiliki peran sebagai alat bantu (interpretive konstitusi. tool) dalam interpretasi Seperti halnya ketika hukum HAM 42 internasional dapat memberi kontribusi dalam memahami Konstitusi Australia, dimana pengadilan menggunakan menuntun pertimbangan hakim tentang kontekstual untuk bagaimana hakim menginterpretasi ketentuan konstitusional tertentu.43 Posisi hukum internasional yang demikian tidak Titon Slamet Kurnia, “Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Melalui Pengujian Undang-Undang” Disertasi: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2014, hlm. 151. 43 Michael Kirby, “Domestic Courts and International Human Rights Law: The Ongoing Judicial Conversation” Utrecht Law Review Vol. 6 Issue I, 2010, hlm. 172. 84 42 berarti bahwa menentukan hukum putusan undang-undang, dan internasional atas tidak yang konstitusionalitas berarti pula bahwa hukum internasional menggantikan Konstitusi dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang. 44 Hakim memutus konstitusionalitas undang-undang tetap berdasarkan Konstitusi. Interpretasi konstitusi terhadap pasal-pasal HAM dalam Bab XA UUD NRI 1945 tidak hanya ditujukan secara eksklusif pada pasal-pasal tersebut, tetapi juga interpretasi pasal-pasal tersebut secara konstruktif dilakukan atau pada mencerahkan padanannya sebagaimana dalam hukum internasional. Interpretasi demikian bertumpu pada pemahaman yang menurut the Declaration of Independence Amerika Serikat untuk memberikan: "a decent respect to the opinions of mankind." Dalam kaitan itu, MK perlu mengakui lebih dahulu, seperti the Supreme Court Amerika Serikat dalam kasus the Paquette Habana (1900): "International law is part of our law, and must be ascertained and administered by the courts of justice of appropriate jurisdiction, as often as questions of right depending upon it are duly presented for their determination?" Dikaitkan dengan itu maka dalam perspektif Indonesia perlu untuk ditegaskan kembali: Apakah hukum internasional adalah hukum? Apakah sebagai hukum, hukum internasional adalah bagian dari 44 Kristen Walker, “International Law as a Tool of Constitutional Intepretation” Monash University Law Review Vol. 28 No. 1, hlm. 95. 85 hukum Indonesia? Pertanyaan di atas, sebagaimana telah diargumentasikan sebelumnya, dijawab afirmatif oleh teori internasionalisme yang penulis usulkan. Terkait dengan itu, argumen a fortiori yang penulis kemukakan ialah, konstitusi Indonesia adalah konstitusi internasional yang jauh lebih luas daripada UUD NRI 1945 sendiri. Dikaitkan dengan isu penggunaan hukum internasional oleh MK maka seyogianya MK lebih dahulu meletakkan argumen di atas sebagai prinsip justifikasinya untuk penggunaan hukum internasional dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang. Hukum internasional memenuhi unsur-unsur untuk dapat disebut sebagai hukum di antaranya ia dihasilkan oleh otoritas berwenang, memuat kewajiban moral rationality, dan memiliki sanksi. 45 Atau sederhananya hukum internasional disebut sebagai hukum karena ia menciptakan norma. Oleh karena sifat tersebut, maka hukum internasional memiliki daya normativitas yang sama dengan hukum nasional di depan pengadilan sepanjang hakim mampu menemukan sifat normatif dari hukum internasional tersebut. Seyogianya, terkait dengan itu, hakim MK dalam merujuk pada hukum internasional memprioritaskan interpretative incorporation techniques.46 penerapan Asumsi yang Joshua Kleinfeld, “Skeptical Internationalism: A Study of Whether International Law Is Law” Fordham Law Review Vol. 78, 2010, hlm. 2451. 46 Farid Sufian Shuaib, “The Status of International Law in the Malaysian Municipal Legal System: Creeping Monism in Legal Discourse?” IIUM Law Journal Vol. 16 No. 2, 2008, hlm. 183. 86 45 mendasarinya adalah sepanjang dalam hukum internasional ditemukan kaidah lebih baik (misalnya memberikan efek perlindungan HAM lebih kuat) maka hal itu dapat digunakan oleh MK sebagai gapfiller konstitusi Indonesia.47 Lebih jauh lagi, hal prinsip terkait dengan interpretasi konstitusi dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah mendorong supaya terjadi tersebut harmonisasi dengan hukum antara interpretasi internasional. Argumen tersebut didasarkan pada pandangan Harold Koh yang menyatakan: “for any nation consciously to ignore global standards not only would ensure constant frictions with the rest of the world, but also would diminish that nation's ability to invoke those international rules that served its own national purposes.” 48 Dalam kalimat demikian, isunya adalah Indonesia, melalui MK lain, tentang RI, pada situasi compliance terhadap hukum internasional. Keputusan suatu negara untuk patuh atau tidak patuh terhadap hukum internasional bergantung pada 3 faktor yang terangkum teori Andrew Guzman yaitu “Three Rs of Compliance”. 49 Teori ini berangkat dari asumsi rasional bahwa kepatuhan terhadap hukum internasional lebih Bandingkan dengan: Dunia P. Zongwe, Op.Cit., hlm. 167; Eyal Benvenisti, Loc.Cit., hlm. 3. 48 Harold Hongju Koh, Op.Cit., hlm. 44. 49 Andrew T. Guzman, How International Law Works: A Rational Choice Theory, New York: Oxford University Press, 2008, hlm. 3334. 87 47 menguntungkan ketimbang faktor keuntungan penentu ketidakpatuhan. tersebut reputation, reciprocity, dan retaliation. 50 Tiga adalah Pertama, reputasi (reputation). Guzman menjelaskan reputasi sebagai “reputation for compliance with international law”. Suatu negara memilih untuk comply terhadap hukum internasional karena dapat menciptakan kredibilitas negara (the good untuk states) menciptakan peluang hubungan kerjasama dengan negara lain yang lebih besar di masa depan. Kedua, reciprocity yang berarti “actions that are taken without the intent to sanction the violator”. Misalnya dalam kasus the Boundary Waters Treaty antara US dan Kanada, US mengambil tindakan treaty termination atas pelanggaran yang dilakukan oleh Kanada karena tindakan tersebut dinilai lebih menguntungkan ketimbang tetap menjalankan kepatuhan terhadap perjanjian tersebut. Ketiga, retaliation yang berarti “actions that are costly to the retaliating state and [are] intended to punish the violating party”. Suatu negara dapat menghukum pihak pelanggar sebagai balasan atas ketidakpatuhan yang dilakukan. Contoh sanksi yang bisa diberikan adalah sanksi ekonomi, diplomatis, atau militer. Sejalan dengan 3Rs di atas, Penulis ingin mendorong MK RI untuk berlaku comply terhadap hukum internasional didapat negara akan karena lebih keuntungan besar yang ketimbang 50 Katherine Tsai, “How To Create International Law: The Case of Internet Freedom in China” Duke Journal of Comparative and International Law Vol. 21, 2011, hlm. 410-411. 88 sebaliknya. Ketidakpatuhan negara terhadap hukum HAM internasional akan berakibat secara tidak langsung gagalnya negara dalam menjalankan amanat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 untuk mewujudkan ketertiban dunia dengan penegakan HAM di wilayah nasional. Di sisi lain, keuntungan yang dapat diperoleh MK RI justru akan lebih besar dengan kepatuhan terhadap hukum internasional. Penggunaan hukum internasional dalam putusan MK RI akan membantu konstruksi jaminan HAM yang lebih kuat dalam wilayah NKRI yang dicapai melalui harmonisasi hukum nasional dan hukum internasional di bidang HAM. Harmonisasi tersebut dapat terwujud jika MK RI mampu menyelaraskan nilai-nilai Konstitusi internasional dalam Indonesia dengan putusannya hukum dengan proses intepretif yang melibatkan hukum internasional. Dalam substantifnya kasus adalah ini yang kebenaran menjadi hakiki isu atau fundamental yang ingin dihasilkan dalam proses interpretif tersebut. Upaya memberikan efek positif compliance terhadap hukum internasional dalam rangka interpretasi konstitusi Indonesia tidak berarti bahwa MK RI harus mengambil posisi defference secara mutlak terhadap hukum internasional. Hal sebaliknya, sikap kritis terhadap hukum internasional, juga dapat dilakukan oleh MK RI. Dalam posisi demikian penulis sependapat dengan O’Connell yang mengatakan bahwa “… the judge must take that course which his jurisdictional rule enjoins, and hence he may be required to apply international 89 law to the exclusion of municipal law, or vice versa.”51 Peran aktif hakim diperlukan dalam kerangka theory of friendliness to international law atau interpretation in favour of international law, 52 tetapi hal itu tidak bebas nilai. Pada memutuskan, dan akhirnya, MK memberikan RI harus interpretasi konstitusi, yang terbaik bagi kepentingan paling mendasar yang harus dilindunginya. Jika pararelitas antara hukum internasional dengan hukum nasional tersebut terjadi dalam isu perlindungan HAM maka isu substansial yang harus dipecahkan adalah kepentingan siapakah, dalam rangka interpretasi konstitusi, yang harus diperjuangkan oleh MK RI. Terhada isu tersebut penulis sependapat dengan pandangan Nihal Jayawickrama yang menyatakan: “A broad, liberal, generous and benevolent construction should be given, not a narrow, pedantic, literal or technical interpretation. A Bill of Rights must be broadly construed in favour of the individual rather than in favour of the State.”53 51 Luzius Wildhaber dan Stephan Breitenmoser, “The Relationship Between Customary International Law and Municipal Law in Western European Countries” 48 Zeitschrift f ̈ur Ausl ̈andisches ̈Offentliches Recht und V ̈olkerrecht 163, 1988, hlm. 173. Bandingkan dengan pendapat berpengaruh yang dikemukakan Prof. Mochtar Kusumaatmadja “[p]ada prinsipnya kita mengakui supremasi hukum internasional tidak berarti bahwa kita begitu saja menerima apa yang dinamakan hukum internasional”. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional: Buku I: Bagian Umum, Bandung: Binacipta, 1978, hlm. 83. 52 Ibid. 53 Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human Rights Law, Cambridge University Press, Cambridge, 2002, hlm. 164. 90 Kesimpulan tersebut adalah hakikat utama dari pembahasan penulis terkait dengan aplikabilitas hukum internasional dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang. Sesuai pendapat Nihal Jayawickrama, hakikat dari aplikabilitas teori internasionalisme dalam, rangka interpretasi konstitusi oleh MK RI adalah untuk memberikan jaminan kepentingan terbaik bagi HAM dalam proses pengujian konstitusionalitas undang-undang. Dengan batasan demikian maka isu kedudukan hukum internasional dalam pengadilan domestik, pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh MK RI, menjadi tidak terlalu kontroversial lagi. Artinya, praktik tersebut rasional dan objektif. Tidak dalam posisi penghambaan internasional, tetapi diri dalam terhadap posisi hukum penggunaan hukum internasional yang proporsional, yaitu sejalan dengan a decent respect to the opinions of mankind. Terkait dengan sumber hukum internasional yang spesifik seperti perjanjian internasional, melalui teori transnational legal process, maka seorang hakim MK harus jeli melihat karakter atau sifat dari perjanjian internasional tersebut. Apabila norma hukum dalam perjanjian internasional tersebut merupakan self-executing treaty atau berupa normanorma dasar/fundamental universal, maka hakim yang MK diterima dapat secara langsung menerapkannya (teori incorporation) dalam suatu kasus 54 54 tanpa mempermasalahkan proses Eyal Benvenisti, Op.Cit., hlm. 166. 91 transformation, begitu pula terkait international customary law. Di sinilah peran aktif hakim MK dibutuhkan dalam proses menginterpretasi karakter dan keberlakuan suatu norma hukum internasional. Maka pada akhirnya dapat dikatakan bahwa teori transnational legal process memberi legitimasi bagi seorang hakim MK untuk menggunakan hukum internasional keyakinan dalam hakim konstitusional) kerangka (yang untuk membangun notabene menyelesaikan adalah masalah nasional. Di satu sisi lain, teori internasionalisme melalui teori international constitution membantu hakim MK untuk menunjukkan bahwa penggunaan hukum internasional dalam putusan tentang constitutional review adalah sesuai dengan amanat UUD NRI Tahun 1945. Perlu dipahami bahwa suatu konstitusi tidak dapat dimaknai secara sempit 55 yaitu terbatas pada kata-kata yang eksplisit dalam batang tubuh konstitusi, melainkan masih ada konstitusi yang tidak tertulis yaitu yang terdapat dalam nilai-nilai yang hidup dalam praktik-praktik ketatanegaraan.56 UUD sebagai konstitusi dalam arti sempit ini pada hakikatnya merupakan “a politico-legal document” (suatu dokumen hukum politik). A. Mukthie Fadjar, Op.Cit., hlm. 15. 56 Beberapa hal yang dapat digunakan untuk menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang yaitu: Naskah UUD yang resmi tertulis; Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah uud seperti risalah, dll; Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktik ketatanegaraan yang telah dianggap sebagai bagian dari yang tidak terpisahkan dari keharusan dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara; 92 55 Seperti contoh, Inggris sebagai suatu negara yang tidak memiliki constitution, konstitusi tidak berarti formal ia atau tidak written memiliki konstitusi.57 Ini menunjukkan bahwa terdapat norma konstitusi lain di luar konstitusi formal seperti contoh the unenumerated rights dalam the Ninth Amandment Konstitusi Amerika Serikat yang diakui keberadaannya di tengah gap dalam sistem jaminan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional melalui the Bill of Rights of the Constitution of United States.58 Teori international constitution dapat membantu hakim MK untuk menemukan makna implisit dalam UUD NRI Tahun 1945 yang memberi legitimasi hakim - Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan ideal dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara. Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Cetakan II, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 6. Lihat juga Penelitian Pusako FH Andalas dan MK RI, “Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual Ke Hukum Progresif), 2010, hlm. 56. Diunduh dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum /penelitian/pdf/PENELITIAN%20ANDALAS.pdf pada tanggal 8 Januari 2016 pukul 01.30 WIB. 57 Konstitusi Inggris tersebar di The Magna Carta, the Bill of Rights of 1689, the Parliament Acts of 1911 and 1949, the European Communities Act of 1972, the Human Rights Act of 1998. Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 & Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Salatiga: Fakultas Hukum UKSW, 2013, hlm. 10-11. Lihat juga pada pendapat Jon Elster yang mengatakan, “Constitution can be written and unwritten” Jon Elster, “Forces And Mechanisms In The Constitution-Making Process” Duke Law Journal Vol. 45, 1995, hlm. 365. 58 Ibid., hlm. 45-46. 93 MK untuk melakukan interpretasi konstitusi yang kompatibel dengan hukum internasional. Telah dijabarkan sebelumnya bahwa secara konseptual, terdapat dukungan sejarah yang menunjukkan keinginan konstitusional negara Indonesia untuk berlaku sesuai dengan hukum internasional meski keinginan tersebut tidak tertuang secara eksplisit di batang tubuh UUD NRI Tahun 1945. Sebagaimana diulas sebelumnya, keinginan tersebut tercermin dalam bagian Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan sejarah pembentukan UUD NRI Tahun 1945. Pada Pidato Pancasila yang disampaikan the founding father, Soekarno secara tegas merujuk pada norma hukum internasional untuk mendorong gerakan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 juga menghendaki keterlibatan negara Indonesia dalam komunitas internasional. Tidak hanya itu, penelusuran sejarah pembentukan Konstitusi juga menunjukkan peran hukum internasional dalam pembentukan Pasal-Pasal dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya pada bagian HAM. Adanya bukti sejarah di atas menunjukkan UUD NRI Tahun 1945 tidak menutup dirinya dari dunia internasional dan secara implisit menghendaki negara Indonesia berlaku sesuai dengan norma hukum internasional. Teori international constitution menjustifikasi keinginan implisit tersebut sebagai otorisasi dari UUD NRI Tahun 1945 bagi hakim MK untuk menggunakan hukum internasional dalam pengujian undang-undang, sesuai dengan yurisdiksi MK RI. Dengan kata lain, teori ini menyimpulkan 94 bahwa UUD NRI Tahun 1945 adalah international constitution. 95