6 BAB II STUDI LITERATUR 2.1 Konsep Kadaster Kelautan 2.1.1

advertisement
BAB II
STUDI LITERATUR
2.1
Konsep Kadaster Kelautan
2.1.1 Pengertian Kadaster Kelautan
Kadaster kelautan menurut Permanent Committee on GIS Infrastructure for Asia
and the Pasific (PCGIAP) memiliki definisi sebagai sebuah sistem yang
memungkinkan terekamnya hak-hak dan kepentingan di laut, yang diatur secara
spasial dan ditentukan secara fisik dalam kesinambungan pada batas-batas dari
hak-hak dan kepentingan yang berdekatan atau hak-hak dan kepentingan yang
tumpang tindih. Kadaster kelautan bukan merupakan masalah penentuan batasbatas internasional, tetapi mengenai bagaimana sebuah negara mengatur
administrasi sumber daya alam kelautannya dalam konteks UNCLOS (United
Nations Conventions on the Law of the Sea) (Fajar, 2002).
Pengertian Kadaster Kelautan di atas belum sepenuhnya menjadi acuan di seluruh
dunia. Beberapa ahli maupun peneliti dari berbagai negara juga turut memberikan
sumbangan pemikiran dalam menentukan definisi yang komprehensif dan dapat
diterima secara umum. Pengertian kadaster kelautan menurut beberapa ahli dan
peneliti tersebut adalah :
1. Robertson et al. (1999)
“A system to enable the boundaries of maritime rights and
interests to be recorded, spatially managed and physically defined
in relationship to the boundaries of other neighbouring or
underlying rights and interests.”
2. Nichols et al. (2000)
“A marine cadastre is a marine information system, encompassing
both the nature and spatial extent of the interest and property
rights, with respect to ownership and various rights and
responsibilities in the marine jurisdiction.”
6
3. Ngβ€Ÿangβ€Ÿa et al. (2002)
“An information system that not only records the interests but also
facilitates the visualisation of the effect of a jurisdiction’s laws on
the marine environment (e.g. spatial extents and their associated
rights, restrictions, responsibilities, and administration)”
4. Monahan et al. (Coastal GIS, 2003)
“A database that would support a GIS layer that at its display level
would show the physical locations of boundaries and limits, and at
a deeper level would be supported by information on legal and
legislative elements of rights, responsibilities, and restrictions to
the areas circumscribed by those boundaries.”
5. BPN & LPPM-ITB (2003)
“Kadaster Kelautan adalah sebuah sistem informasi publik yang
berisi catatan, daftar dan dokumen mengenai kepentingan, hak,
kewajiban dan batasannya, termasuk catatan mengenai nilai, pajak
serta hubungan hukum dan perbuatan hukum yang ada dan
berkaitan dengan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan partisi
atau persil laut dalam rangka mewujudkan tertib hukum, tertib
administrasi, tertib penggunaan dan tertib pemeliharaan ekosistem
laut serta mendukung tertib perencanaan, penataan dan pengelolaan
wilayah laut secara spasial terpadu.”
Secara umum, Kadaster Kelautan dapat dipahami sebagai sebuah sistem informasi
kelautan yang mencakup hak-hak, batas dan tanggung jawab pengelolaan ruang
laut untuk kesejahteraan bersama dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis
dalam skala lokal, regional, dan internasional.
Kadaster kelautan merupakan kadaster tiga dimensi yang mencakup ruang
horisontal di permukaan laut dan ruang vertikal laut seperti kedalaman laut.
Penggunaan ruang laut dalam satu bentuk persil laut bila dilihat secara vertikal
akan sangat mungkin terdiri dari berbagai kepentingan. Batasan persil pada
kadaster kelautan mencakup (BPN – RI dan LPPM – ITB, 2003):
7
-
Batas dari zona maritim yang terdapat dalam UNCLOS 1982
(meliputi : perairan pedalaman (internal water), perairan kepulauan
(archipelagic waters), laut teritorial (territorial sea), zona tambahan
(contiguous zone), zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas
kontinen).
-
Batas laut daerah yang terdapat dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang mencakup wilayah yuridis laut provinsi
dan laut kabupaten atau kota.
-
Wilayah – wilayah laut berdasarkan hak, misalnya wilayah konsesi
minyak dan gas, perikanan, perumahan, penelitian, pelayaran,
pariwisata laut, hak ulayat dan lain-lain.
Untuk lebih memahami lingkup ruang laut tiga dimensi, dapat diperhatikan dalam
ilustrasi pada Gambar 2.1 di bawah ini.
Gambar 2.1 Ruang Laut Tiga Dimensi (Rais, 2002 diadaptasi dari Sutherland,
2001)
Kadaster Kelautan di Indonesia merupakan kelanjutan dari penerapan prinsipprinsip kadaster darat (Rais, 2003). Prinsip-prinsip Kadaster yang diterapkan
meliputi hak, batas dan tanggung jawab terhadap persil-persil ruang laut, meliputi:
8
-
Penggunaan ruang laut oleh aktivitas masyarakat, badan usaha dan
pemerintah.
-
Menata ruang laut untuk dilindungi, dikonservasi misalnya untuk
taman nasional, taman suaka margasatwa, dan lainnya.
-
Penggunaan ruang laut oleh komunitas adat.
Bila dikaitkan dengan kadaster di darat (pertanahan), proses pendaftaran dalam
Kadaster Kelautan meliputi data fisik berupa letak, batas, luas, dan kedalaman
suatu persil laut yang didaftarkan beserta keterangan adanya bangunan atau
instalasi di atasnya yang digabungkan dengan data yuridis yang terkait di
dalamnya. Data yuridis yang dimaksud tidak mencakup hak milik, karena laut
pada prinsipnya adalah kepunyaan bersama. Hal ini dikaitkan dengan Adagium
abad ketujuh belas yang menyatakan ruang laut adalah kepunyaan bersama,
tersedia untuk semua tetapi tidak untuk dimiliki.
Semua informasi di atas disajikan dalam bentuk peta dan daftar lokasi di laut yang
dapat diperbarui dan terdiri dari identitas yang tidak ambigu antara peta dan di
lapangan.
2.1.2 Subjek Kadaster Kelautan
Subjek dalam konteks Kadaster Kelautan merupakan bagian utama yang harus
dipahami. Keberadaan subjek tersebut berhubungan dengan hak-hak yang
tercantum dalam objek ruang perairan berdasarkan pola kepemilikan dan
penguasaan sumberdaya kelautan. Hanna (1996) mengelompokkan pola
kepemilikan dan penguasaan sumberdaya (property-right regime) kelautan
menjadi 4 (empat) kelompok (Knight, 2002), yaitu:
1.
Tanpa Pemilik (Open Access Property)
Merupakan milik semua orang, tidak ada seorangpun yang berhak
untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut demi kepentingan pribadi
atau kelompoknya dan mempertahankannya agar tidak digunakan orang
9
lain. Sumberdaya kelautan ini biasanya terdapat di perairan laut lepas
(high seas).
2.
Milik Masyarakat atau Komunal (Common Property)
Merupakan milik sekelompok masyarakat tertentu yang telah
melembaga, dengan ikatan norma-norma atau hukum adat yang
mengatur pemanfaatan sumberdaya demi menjaga kelestariannya dan
dapat melarang pihak lain untuk memanfaatkannya. Biasanya konsep
kepemilikan dan penguasaan sumberdaya tersebut merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat terpisahkan di darat dan di laut. Pemegang
hak biasanya mempunyai hak ulayat atas tanah pesisir dan hak akses
untuk memanfaatkan sumberdaya di pesisir.
3.
Milik Pemerintah (Public/State Property)
Merupakan
kepemilikan
sumberdaya
yang
berada
di
bawah
kewenangan pemerintah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kewajiban yang dimiliki pemerintah adalah memanfaatkan haknya
dalam
menentukan
peraturan
penggunaan
sumberdaya
untuk
kepentingan umum.
4.
Milik Pribadi/Swasta (Private Property)
Merupakan
sumberdaya
yang
dimiliki
oleh
perorangan
atau
sekelompok orang secara sah dengan bukti-bukti hak yang jelas, serta
dijamin secara hukum dan sosial dalam menguasai dan memanfaatkan
sumberdaya
tersebut.
Kewajiban
penggunaannya
tetap
harus
memperhatikan keberterimaan sosial.
Berdasarkan pengelompokan di atas, kepemilikan dan pengelolaan sumber daya
kelautan dalam konsep kadaster kelautan mencakup kepada milik masyarakat
(common property), milik pemerintah (public/state property), dan milik
pribadi/swasta (private property). Sementara kelompok tanpa pemilik (open acces
property) tidak tercakup dalam pola kepemilikan dan pengelolaan kadaster
10
kelautan karena mencakup laut lepas yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang.
Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia bahwa perairan Indonesia mencakup laut teritorial sepanjang 12 mil laut
dihitung dari garis pangkal beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya
disertai hak berdaulat penuh atas ruang udara di atas laut, dasar laut, dan tanah di
bawahnya.
2.1.3 Objek – Objek Kadaster Kelautan
Yang dimaksud dengan objek dari Kadaster Kelautan diuraikan di bawah ini
(BPN – RI dan LPPM – ITB, 2003).
1. Wilayah kedaulatan dan yurisdiksi di laut nasional berdasarkan UU No.
17 tahun 1985 tentang ratifikasi UNCLOS yang meliputi perairan
pedalaman (internal water), perairan kepulauan (archipelagic waters),
laut teritorial (territorial sea), zona tambahan (contiguous zone), zona
ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen. Wilayah ini dipertegas
lagi oleh UU No. 6 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa wilayah
perairan
Indonesia
meliputi
laut
teritorial
Indonesia,
perairan
kepulauan, dan perairan pedalaman.
2. Wilayah yurisdiksi laut berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, yaitu wilayah laut provinsi dan wilayah laut
kabupaten atau kota.
3. Wilayah/kawasan laut berdasarkan hak pemanfaatannya, seperti daerah
konsesi eksploitasi minyak bumi, gas, dan mineral, wilayah kabel dan
pipa dasar laut, perumahan, wilayah penangkapan ikan, wilayah
pariwisata laut, penelitian, pelayaran, hak ulayat laut dan lain-lain.
Untuk hak pemanfaatan laut, dapat dilihat dari objek-objek yang teridentifikasi di
dalamnya. Objek-objek tersebut dikenal sebagai objek-objek ruang perairan.
Objek ruang perairan adalah bagian-bagian tertentu dari perairan meliputi estuari
11
(bagian perairan tempat bertemunya air laut dengan air tawar), teluk (perairan
yang menjorok ke darat), laguna (danau asin dekat pantai), dan lain-lain
(Djunarsjah, 2011 dalam BPN, 2011). Pada tabel 2.1 berikut ini, dapat dilihat
hak-hak pemanfaatan ruang laut beserta objek-objek ruang perairan yang
teridentifikasi di dalamnya.
Tabel 2.1 Identifikasi Objek-Objek Ruang Perairan terhadap Pemanfaatan
Laut
Pemanfaatan Laut
Permukiman
Perikanan
Pariwisata Laut
Penelitian dan Konservasi Laut
Peletakan Kabel dan Pipa Bawah
Laut
Eksploitasi Minyak, Gas dan
Mineral
Pelayaran
Objek-objek Ruang Perairan Yang
Teridentifikasi
Perumahan Nelayan, Rumah Ibadah
Bagan
Hotel, Vila, Restoran, Café di atas air, Kawasan
Menyelam
Taman Laut, Daerah Konservasi, Penangkaran
Hewan Laut Dilindungi
Kabel Laut dan Pipa Bawah Laut
Wahana pengeboran lepas pantai (rig)
Jalur Pelayaran, Suar
Kawasan Budidaya Rumput Laut, Budidaya
Budidaya
Mutiara
Harta Karun
Bangkai Kapal (shipwreck), Peninggalan Sejarah
Kultur Adat
Pasar Terapung, Zona Adat
Militer
Kawasan Militer, Zona Latihan Militer
(Sumber : disarikan dari Peta Laut Nomor Satu dan BPN, 2003)
2.1.4
Peranan dan Tujuan Kadaster Kelautan
Kadaster kelautan berperan penting dalam pembangunan sebagai bagian dari
Infrastruktur Data Spasial Kelautan (IDSK) untuk mendukung terselenggaranya
Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN). IDSN tersebut menyediakan
informasi yang akurat, lengkap, dan terbarui baik dalam perolehan data maupun
dalam penyebarluasan data. Kadaster kelautan mencakup pengadaan informasi
mengenai kepemilikan hak, pengelolaan, dan pemanfaatan ruang dan sumberdaya
laut. Informasi yang tercakup di dalamnya adalah (BPN-RI, 2003):
12
a.
Informasi mengenai persil-persil itu sendiri (batas-batas, posisi, luas, bahkan
nilai pajak), termasuk batas wilayah yurisdiksi nasional dan internasional,
dimana terdapat hak pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan
nasional, provinsi, maupun kota/kabupaten,
b.
Kepentingan yang melekat pada persil-persil tersebut (hak penggunaan,
kewajiban, batasan, dan lama berlaku hak tersebut), termasuk hak
pemerintah untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya kelautan di
wilayah yurisdiksinya,
c.
Data perorangan atau badan hukum sebagai pemegang hak atau subjek di
persil tersebut,
d.
dan lain-lain yang diperlukan tergantung kebutuhan.
Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui Kadaster Kelautan adalah (BPN-RI,
2003) :
a.
Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang
hak dan pemegang ijin atas suatu persil di laut.
b.
Menyediakan infrastruktur data spasial yang komprehensif (menyeluruh)
dimana batas-batas persil, hak-hak yang melekat padanya (Right), batasan
pemanfaatan
(Restriction),
serta
kewajiban
dan
tanggung
jawab
(Responsibility) (dikenal dengan istilah Konsep 3R) di lingkungan ruang
perairan dapat diatur, diadministrasikan, dan dikelola dengan baik.
c.
Terselenggaranya tertib administrasi kelautan.
Administrasi
kelautan
didefinisikan
sebagai
proses
pengumpulan
data,
penyimpanan data, dan pengelolaan data mengenai kepemilikan hak, jenis hak,
lokasi dan posisi persil, luas persil, nilai pajak, dan lain-lain, untuk tujuan
menerapkan kebijakan manajemen sumberdaya kelautan, khususnya menjamin
kepastian hukum pemanfaatan ruang di laut (Fajar, 2002).
Dengan adanya pengelolaan sumberdaya kelautan melalui konsep kadaster
kelautan diharapkan adanya data dan informasi yang lengkap dan akurat mengenai
kelautan dengan standard administrasi yang seragam sehingga dapat dilakukan
13
saling berbagi pakai data/informasi dan dapat dilakukan perubahan data secara
cepat (Syarif, 2012).
2.2
Implementasi Kadaster Kelautan
Konsep Kadaster Kelautan di atas merupakan konsep pengelolaan terhadap ruang
kelautan yang hingga kini masih dalam tahap pengembangan di banyak negara.
Sejauh ini, negara-negara yang telah melakukan implementasi Kadaster Kelautan
yang diperoleh dari berbagai sumber adalah:
1. Kanada
Implementasi Kadaster Kelautan di Kanada hingga saat ini masih
dikembangkan melalui Good Governance of Canada’s Oceans Project
yang secara umum ditangani oleh Department of Fisheries and Oceans
(DFO) dan University of New Brunswick (UNB).
2. Amerika Serikat
Implementasi Kadaster Kelautan di Amerika Serikat dikembangkan
melalui Ocean Planning Information System (OPIS) oleh The Coastal
Services Centre, National Oceanic and Atmospheric Administration
(NOAA). Negara bagian yang sudah mengimplementasikan di
antaranya: Florida, Georgia, Carolina Utara, dan Carolina Selatan.
3. Australia
Implementasi Kadaster Kelautan di Australia dimulai dari Marine
Cadastre Project yang dilakukan oleh Australian Research Council
(ARC) pada awal tahun 2002 berkaitan dengan pengembangan Spatial
Data Infrastructure (SDI).
4. Selandia Baru
Implementasi Kadaster Kelautan di Selandia Baru dikembangkan
berdasarkan tujuan strategis dari Land Information New Zealand (LINZ)
untuk membantu pemerintah dalam menyediakan data dan informasi
14
sebagai alat pengambil keputusan menentukan hak-hak di masa datang
terhadap penggunaan tanah di dasar laut. Dalam hal ini, juga diadakan
kerjasama penelitian antara Selandia Baru dan Australia melalui
Australia New Zealand Land Information Council (ANZLIC).
5. Belanda
Implementasi Kadaster Kelautan di Belanda dikembangkan berkaitan
dengan Netherlands’ North Sea Governance untuk mendukung
pengelolaan laut utara (north sea) yang merupakan salah satu perairan
laut yang memiliki aktivitas paling sibuk di dunia.
Secara umum, implementasi Kadaster Kelautan mencakup 3 (tiga) aspek utama,
yaitu : Aspek Legal, Aspek Teknis, dan Aspek Kelembagaan.
2.2.1 Aspek Legal
Implementasi kadaster kelautan merupakan lanjutan dari konsep kadaster
pertanahan. Oleh karena itu, dalam konsep kadaster kelautan juga harus ditinjau
dari aspek legal maupun aspek hukum/perundang-undangan yang berlaku dalam
sebuah negara ataupun yang telah disepakati secara internasional. Di beberapa
negara,
implementasi
kadaster
peraturan/perundang-undangan
kelautan
yang
dikembangkan
mengharuskan
berdasarkan
negara
melalui
pemerintahnya untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan terhadap
lingkungan dan sumber daya kelautan. Keberadaan dasar hukum tersebut menjadi
dasar implementasi kadaster kelautan yang kemudian diharapkan dapat
menghasilkan produk-produk hukum yang dapat mengakomodasi pengelolaan
yang lebih luas dari implementasi kadaster kelautan tersebut.
Di Indonesia, keberadaan hukum dan perundang-undangan yang mengatur
kadaster kelautan belum tersedia. Namun, beberapa undang-undang yang ada
dapat dijadikan sebagai pijakan dasar untuk mendukung terlaksananya
implementasi kadaster kelautan tersebut, yaitu :
15
- Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi: “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
- Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 2 Ayat 2
menjelaskan wewenang negara dalam menguasai bumi, air, dan ruang angkasa.
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
terutama pasal 18 yang menyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut
diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut (ayat 1)
dan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12
(dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah
perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah
kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota (ayat 4).
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Pasal 3 ayat
1 yang menyatakan bahwa wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial
Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman.
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, terutama
menyangkut rencana tapak yang berada dalam kawasan lindung/konservasi,
untuk melindungi kelestarian hidup.
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, terutama pasal 1 ayat 7 yang menyatakan bahwa
Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan
sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan
pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan
laguna.
- Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara Pasal 1 ayat 1
yang berbunyi Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya
disebut dengan Wilayah Negara, adalah salah satu unsur negara yang
merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta
ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di
dalamnya. Ayat 2 dijelaskan tentang Wilayah Perairan adalah perairan
pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial.
16
2.2.2 Aspek Teknis
Peta yang harus dibuat untuk kepentingan kadaster kelautan ini meliputi (Ilova,
2009) :
1. Peta Dasar Pendaftaran Laut, yaitu peta yang memuat semua dasar teknik
dan semua atau sebagian unsur-unsur geografi.
2. Gambar ukur, yaitu dokumen tempat mencantumkan gambar suatu persil
di laut dan situasi sekitar serta data hasil pengukuran persil di laut baik
berupa jarak, sudut, azimuth ataupun sudut jurusan.
3. Peta Pendaftaran Laut, yaitu peta yang menggambarkan satu persil di laut
atau lebih yang batas-batasnya telah ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang untuk keperluan kadaster kelautan. Peta ini berisi informasi
letak, luas dan batas setiap persil laut.
4. Surat Ukur/Gambar Situasi, yaitu dokumen yang membuktikan data fisik
hak suatu persil laut yang telah didaftarkan dalam bentuk peta dan uraian
agar mendapatkan kepastian hukum mengenai letak, batas dan luas persil
laut yang dimohonkan.
Untuk mendapatkan peta yang dimaksud di atas, dilakukan kegiatan pengukuran
dan pemetaan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pengukuran dan pemetaan
merupakan suatu rangkaian kegiatan survei yang dilakukan di darat dan di laut.
Tahap pengukuran dan pemetaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :
1. Pembuatan Kerangka Dasar Geodetik
2. Pengukuran Kedalaman dan Pengamatan Pasut
3. Pengukuran Batas Ruang Perairan dan Detil Situasi
4. Pembuatan Peta/Perpetaan
1. Pembuatan Kerangka Dasar Geodetik
Kerangka Dasar Geodetik terdiri dari dua komponen, yaitu Kerangka Dasar
Horisontal dan Kerangka Dasar Vertikal. Kedua komponen tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut.
17
a. Kerangka Dasar Horisontal
Kerangka dasar horisontal adalah sekumpulan titik yang diketahui koordinat
horisontalnya (X,Y) dalam suatu sistem proyeksi tertentu. Titik-titik yang akan
dijadikan sebagai referensi ini tentu harus diikatkan pada Titik Dasar yang
merupakan bagian dari jaring kerangka geodesi nasional, yang disebut sebagai
Titik Dasar Teknik (TDT).
b. Kerangka Dasar Vertikal
Kerangka Dasar Vertikal adalah sekumpulan titik yang diketahui koordinat
vertikalnya (Z) dalam suatu sistem koordinat tertentu. Koordinat vertikal dikenal
dengan istilah tinggi dan mengacu terhadap datum vertikal tertentu. Dalam
konteks pengukuran untuk kepentingan kadaster kelautan, datum vertikal yang
digunakan adalah MSL (mean sea level). Pembuatan titik referensi tinggi
diikatkan terhadap titik dasar dalam kerangka dasar vertikal yang dikenal sebagai
Titik Tinggi Geodesi (TTG).
2. Pengukuran Kedalaman dan Pengamatan Pasut
a. Pengukuran Kedalaman
Pengukuran kedalaman, sering dikenal dengan istilah pemeruman, adalah proses
pengambilan data kedalaman laut untuk memperoleh gambaran bentuk permukaan
dasar laut. Gambaran permukaan dasar laut tersebut disajikan dalam bentuk
kontur di dalam peta. Proses pengukuran kedalaman dilakukan dengan metode
akustik, yaitu penggunaan alat perum gema (echosounder) yang memancarkan
gelombang akustik dan menerima pantulannya kembali dalam selang waktu
tertentu. Kedalaman yang diperoleh adalah setengah dari perkalian antara
kecepatan gelombang akustik dan selang waktu pantulan dengan pemancaran
gelombang akustik tersebut. Secara matematis, digambarkan sebagai berikut.
𝑑𝑒 =
1
𝑑𝑣
2
dengan,
18
du = kedalaman dasar laut
t
= selang waktu tempuh pemancaran dan pantulan gelombang akustik
v
= kecepatan gelombang akustik (secara umum diketahui sebesar 1500 m/s)
Ilustrasi dari pengukuran kedalaman dapat dilihat pada Gambar 2.2 di bawah ini.
Gambar 2. 1 Prinsip pengukuran kedalaman secara akustik (Poerbandono, 2005)
b. Pengamatan Pasut
Pengamatan pasut dilakukan untuk mendapatkan data tinggi muka air laut di suatu
lokasi. Pengamatan pasut dapat dilakukan dengan merekam data tinggi muka air
laut setiap interval waktu tertentu menggunakan rambu/palem. Untuk keperluan
praktis, pengamatan pasut dilakukan selama 15 atau 29 piantan (1 piantan = 25
jam) dengan interval perekaman data 15, 30 atau 60 menit. Ini didasarkan pada
Special Publication (SP) No. 44 dari International Hydrographic Organization
(IHO) Edisi ke-5 tahun 2008 dijelaskan bahwa data pasut selama 30 hari sudah
cukup digunakan untuk keperluan pendefinisian titik ketinggian nol (MSL) bagi
keperluan pengukuran ketinggian objek-objek ruang perairan yang diteliti dan
untuk seluruh wilayah perairan di Indonesia.
Hasil pengamatan pasut ini diikatkan terhadap titik referensi yang terdapat di
sekitar stasiun pasut. Dalam ilustrasi yang ditunjukkan oleh Gambar 2.3 di bawah
19
ini, pengikatan kedudukan muka laut hasil pengamatan pasut diikatkan terhadap
Titik Dasar Teknik (TDT) Ruang Perairan.
Gambar 2. 3 Pengikatan Kedudukan Muka Laut Hasil Pengamatan terhadap TDT
Ruang Perairan (Sidabutar, 2012)
Dari Gambar 2.3 di atas, diperoleh hubungan:
b – a = hB + h A
dengan,
b
= bacaan skala pada Palem Pasut,
a
= bacaan skala pada Rambu Ukur di A (TDT-RP),
hB =
ketinggian titik B terhadap MSL (disepakati sebagai ketinggian yang
bernilai negatif, karena berada di bawah MSL),
hA = ketinggian titik A (TDT-RP) terhadap MSL (disepakati sebagai ketinggian
yang bernilai positif, karena berada di atas MSL).
3. Pengukuran Batas Ruang Perairan dan Detil Situasi
Pengukuran batas ruang perairan dan detil situasi bertujuan untuk memperoleh
informasi mengenai detil/situasi daerah dan batas objek ruang perairan yang akan
20
dipetakan. Metode yang dapat dilakukan ada 2 (dua), yaitu Metode Terestris dan
Metode Ekstraterestris.
a.
Metode Terestris (Trigonometris)
Pengukuran batas ruang perairan dan titik-titik detil dengan Metode Terestris atau
sering dikenal dengan Metode Trigonometris, besaran yang diukur adalah arah
(sudut) dan jarak dari titik kerangka dasar atau dari titik bantu ke titik-titik detil
dan ujung-ujung dari tapak objek ruang perairan. Pada Gambar 2.4 berikut
diberikan ilustrasi pemetaan detil situasi Metode Trigonometris.
U
α3
α2
d3
3
BM
α1
d2
d1
1
2
Gambar 2. 4 Pengukuran Titik-titik Detil Metode Trigonometris
Keterangan gambar :
BM
= titik berdiri alat yang sudah diketahui koordinatnya
1, 2, 3
= titik detil
α1, α2, α3 = sudut antara titik detil terhadap arah utara
d1, d2, d3 = jarak antara BM terhadap titik detil
Cara pengukuran titik-titik detil dengan menggunakan Metode Trigonometris
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengukuran titik-titik detil dari titik
21
kerangka dasar dan pengukuran titik-titik detil dari titik bantu yang telah diikatkan
ke titik kerangka dasar (Purworaharjo, 1986). Titik bantu harus terlebih dahulu
diikatkan ke titik kerangka dasar atau titik lain yang telah terlebih dahulu
diikatkan pada titik kerangka dasar.
b.
Metode Ekstraterestris
Metode ekstraterestris dilakukan dengan menggunakan perangkat receiver GPS
dan bisa dengan beberapa teknik pengukuran: Statik, Stop and Go, Rapid Static,
atau Real Time Kinematic (RTK) (Abidin, 2007). Besaran yang diukur adalah
koordinat dari setiap titik tempat alat diletakkan. Teknik Stop and Go dapat
digunakan untuk melakukan pengukuran detil objek-objek ruang perairan. Teknik
ini dilakukan dengan membawa rover GPS pada sudut detil objek ruang perairan,
kemudian berhenti beberapa detik untuk menunggu koordinat pada titik tersebut
fixed. Kemudian dilanjutkan lagi ke titik-titik detil berikutnya. Untuk pengukuran
detil garis pantai, dapat digunakan teknik RTK karena perekaman data secara
kontinu sepanjang garis pantai yang diukur.
4. Pembuatan Peta/Perpetaan
Pembuatan peta yang dilakukan sesuai dengan jenis peta yang dibutuhkan dalam
kadaster kelautan seperti yang telah disebutkan di atas. Peta tersebut juga harus
mencakup spesifikasi yang disesuaikan dengan kadaster pertanahan berikut ini.
-
Skala peta
-
Sistem proyeksi peta
-
Referensi Geografi

Sistem Koordinat

Batas Lembar Peta dan Interval Grid

Penomoran Lembar Peta
-
Ukuran Lembar Peta dan Tata Letak Peta
-
Bentuk dan Bahan Peta
-
Jenis Data yang Disajikan
-
Simbol
-
Jenis dan Ukuran Huruf
22
-
Penggunaan Warna
-
Sistem Reproduksi
2.2.3 Aspek Kelembagaan
Hingga saat ini, telah ada beberapa lembaga yang memiliki kewenangan dalam
implementasi Kadaster Kelautan dikaitkan dengan ragam aktivitas kelautan.
Aktivitas kelautan tersebut merupakan lintas sektoral yang membutuhkan
koordinasi antarlembaga dalam mengelola aktivitas kelautan, secara khusus yang
berkaitan dengan objek-objek ruang perairan. Dengan kata lain, aspek
kelembagaan dalam konteks kadaster kelautan tidak mensyaratkan satu lembaga,
tetapi lebih ke arah pengorganisasian lembaga-lembaga (rule of organizations)
yang ada dan memiliki kewenangan dalam pengelolaan kelautan (Ostrom, 1990
dalam Knight, 2002).
Dalam Tabel 2.2 di bawah ini, ditunjukkan lembaga-lembaga yang terkait dengan
aktivitas kelautan.
Tabel 2.2. Marine Stakeholder (diadaptasi dari BPN-RI & LPPM-ITB, 2003)
Aktivitas Kelautan
Pelayaran
Stakeholder
Kementerian Perhubungan, Dishidros TNI AL,
Bakorkamla,
pihak
swasta/asing
(publik),
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Kementerian
Pariwisata
&
Ekonomi
Kreatif,
Kementerian Dalam Negeri Direktorat Pembangunan
Pariwisata
Daerah (Bangda), pihak swasta/asing (publik),
Kementerian Perhubungan, KKP, Badan Pertanahan
Nasional-RI (BPN-RI).
Penangkapan ikan
KKP,
Kementerian
Perhubungan,
pihak
swasta/asing.
23
Eksplorasi dan eksploitasi
mineral lepas pantai
laut
(ESDM), KKP, Kementerian Perhubungan, BPN-RI,
pihak swasta/asing (publik)
Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla),
Zona Militer
Perlindungan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Kementerian Pertahanan, Dishidros TNI AL.
lingkungan
(taman
nasional,
marine sanctuary,dll )
Kementerian Lingkungan Hidup, KKP, pihak swasta
(publik), Kementerian Kehutanan.
Wilayah laut adat
BPN-RI, KKP.
Budidaya akuakultur
BPN-RI, KKP, pihak swasta (publik).
24
Download