PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERUBAHAN - al-qalam

advertisement
80
PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERUBAHAN SOSIAL
Ghufron Mustofa
Guru PAI SMA Negeri Sapuran, Dosen FITK UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo
Abstrak
Pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di
masa datang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa tertentu memiliki hubungan
yang sangat signifikan dengan rekayasa bangsa di masa mendatang, karena pendidikan
merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia, bahkan M. Natsir menegskan bahwa
pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan maju mundurnya kehidupan
masyarakat tersebut. Oleh karenanya mau tidak mau pendidikan harus di desain mengikuti
irama perubahan zaman kalau tidak ingin pendidikan akan ketinggalan. Tuntutan pembaharuan
pendidikan menjadi suatu keharusan dan “pembaharuan” pendidikan selalu mengikuti dan
relevan dengan kebutuha masyarakat, baik pada lembaga pendidikan, dan sumber daya
pengelola pendidikan. Jika kita lihat dalam konteks ke Indonesia-an bahwa pendidikan Islam
selama ini masih membedakan antara pendidikan agama dengan non agama dengan
meminjam istilah dari Abdurrahman Mas’ud pendidikan Islam yang masih membedakan antara
ulumuddin dan ulumuddunya belum layak disebut sebagai pendidikan Islam yang kaffah atau
komprehensif.
Kata Kunci: Pendidikan, Perubahan Sosial
A. Pendahuluan
Telah kita ketahui bahwa berbicara tentang Pendidikan, dalam hal ini adalah Pendidikan Islam
pada hakekatnya merupakan perbincangan mengenai diri kita sendiri, artinya perbincangan
tentang manusia sebagai pelaksana sekaligus sebagai pihak penerima pendidikan, dalam arti lain
bahwa manusia adalah makhluk pedagogic yang berarti manusia sebagai makhluk yang dapat di
didik sekaligus sebagai makhluk yang memiliki kemampuan untuk melakukan aktifitas pendidikan.
Oleh karenanya pendidikan bagi manusia menjadi suatu kebutuhan pokok guna menunjang
pelaksanaan amanat yang dilimpahkan Allah kepadanya. Ini merupakan kebutuhan manusia
terhadap pendidikan yang bersifat individual1.
Pendidikan Islam yang bersumber pada nilai-nilai dan ajaran Islam yang didalamnya juga
mengandung berbagai petunjuk bagi kehidupan manusia, dimana petunjuk itu sifatnya serba
pasti dan mutlak benar, yang terkadang muncul dalam bentuknya yang bersifat garis besarnya
saja. Keadaan ini dimaksudkan oleh Tuhan agar manusia melalui penalaran dan daya analisanya
dapat mengaktualisasikan ajaran-ajaran tersebut dalam rangka merespon berbagai masalahmasalah yang dihadapinya, dan dengan cara demikian itulah eksistensi ajaran agama tetap
aktual dan fungsional bagi kehidupan manusia yang secara pasti memandu perjalanan hidup
manusia agar mencapai tujuannya, yaitu terciptanya kesejahteraan lahir maupun batin dengan
cara mendorong agar manusia membina sumber daya yang dimilikinya baik fisik, akal maupun
potensi lainnya secara seimbang.
1
Baharudin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik (Konsep, teori dan Aplikasi dalam Dunia Pendidikan),
Ar-Ruzz Media , Yogyakarta, 2007, hal. 107
80 | ISSN 1829-765X
81
Melihat bahwa pendidikan adalah suatu proses penyampaian nilai dengan lingkup yang sangat
luas. Pendidikan adalah bagaimana manusia dapat melaksanakan hidup dan kehidupan yang
menggambarkan dinamika hubungan antara tatanan sosial dimana tatanan sosial tersebut
sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan kabijakan-kebijakan yang diambil pemerintah
dalam hal ini adalah kebijakan-kebijakan politik yang menggerakkan dan mengarahkannya.
Perubahan sosial (social change) dalam berbagai sektor struktur kehidupan masyarakat, yang
memiliki ragam tujuan secara betahap maupun revolusioner, muncul karena berbagai
perkembangan dan kemajuan zaman.
Pendidikan sebagai wadah dan tempat berlangsungnya agen perubahan sosial yang
menginginkan peran aktif dan kreatif pada semua komponen pendidikan yang terlibat, sebab
pendidikan sebagai salah satu agen perubahan ( agen social of change) tidak hanya melihat dari
segi afektif saja akan tetapi meliputi segi kognitif dan psikomotorik, yang berusaha mentransfer
pengetahuan dan nilai-nilai (transfer of knowledge and transfer of valleu) untuk menghadapi
tantangan perubahan zaman, mencetak anak didik yang mampu mengikuti dan menanggapi
arus perubahan tatanan kehidupan sosial yang semakin cepat.
Proses pendidikan yang terjadi bukanlah secara monolog, dimana hanya guru yang aktif dan
membunuh daya aktif kreatif dan inovatif para murid. Proses pendidikan tidak terjadi di ruang
hampa, melihat anak didik sebagai makhluk yang tersisolasi. Tujuan utama pendidikan menurut
hemat penulis adalah membantu anak didik untuk dapat mencapai kematangan pribadi.
Pendidikan merupakan bagian terpenting dari kehidupan manusia yang sekaligus membedakan
dengan hewan. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh insting, sedangkan bagi
manusia, belajar berarti rangkaian kegiatan menuju “pendewasaan” guna menuju kehidupan
yang lebih berarti2. Oleh karenanya pendidikan sering dipandang sebagai proses budaya untuk
mengangkat “harkat” dan “martabat” manusia dan berlangsung sepanjang hayat. Dengan
demikian pendidikan memegang peranan yang dapat menentukan eksistensi dan perkembangan
manuisa, “ karena pendidikan merupakan usaha melestarikan, dan mengalihkan serta
mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepada generasi
penerusnya” 3 , untuk mengangkat harkat dan martabat manusia atau dengan kata lain
memanusiakan manusia.
B. Pengertian Pendidikan Islam
Sebelum membahas tentang pengertian Pendidikan Islam marilah kita terlebih dahulu
membahas pengertian pendidikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan dapat
diartikan sebagai proses perubahan dan tata laku seseorang atau kelompok orang untuk
berusaha mendewasakan melalui upaya pengajaran dan penelitian 4 . Ahmad D. Marimba
2
M Rusli Karim, “Pendidikan Islam sebagai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Muslim Usa (ed), Pendidikan
Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, cet 1, hal. 27
3
Ibid, hal. 11
4
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 232
82
mengartikan Pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama5.
Adapun dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 2 tahun 1989, pendidikan
adalah usaha sadar untuk menyiapkan pendidikan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan atau latihan bagi perannya dimasa yang akan datang 6 . Dengan demikian
pendidikan dalam arti luas adalah meliputi perbuatan atau semua usaha generasi tua untuk
mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada
generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi
kehidupannya, baik jasmani maupun rohani 7 . Pendidikan dalam Islam memiliki makna sentral
dan berarti proses pencerdasan secara utuh, as a whole, dalam rangka mencapai
sa’adatuddarain, kebahagiaan dunia akhirat atau keseimbangan materi dan religius spiritual.
Salah satu ajaran Nabi adalah intelektualisasi total, yakni proses penyadaran kepada umat dalam
pelbagai dimensi dengan mau’idhah hasanah, wisdom atau hikmah dan excellent argumentation 8
Dalam merumuskan pengertian pendidikan sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan
terhadap manusia ; hakekat, sifat atau karakteristik dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Meski
demikian keanekargaman pandangan tentang pendidikan terdapat titik terang persamaan, yaitu
pendidikan dilihat sebagai suatu proses. Proses disini merupakan kegiatan secara sadar untuk
mengarahkan perkembangan seseorang menuju kedewasaan. Pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada
terbentuknya kepribadian yang utama menurut ukuran-ukuran Islam9.
Sejalan dengan hal tersebut Achmadi memberikan pengertian pendidikan Islam adalah segala
usaha untuk mengembangkan fitroh manusia dan sumber daya insani menuju terbentuknya
insan kamil sesuai dengan norma Islam, yang dimaksud dengan Insan kamil disini adalah
muttaqin yang terefleksikan dengan perilaku baik, dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan
sesama maupun dengan alam sekitarnya 10 . Dengan demikian Pendidikan Islam adalah suatu
kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan
dengan nilai-nilai Islam. Kalau dicermati dengan seksama, pendidikan merupakan suatu kegiatan
yang melibatkan dua pihak sekaligus. Pihak pertama adalah subjek pendidikan, yakni pihak yang
melaksanakan pendidikan, sedagkan pihak kedua dinamakan objek pendidikan, yaitu pihak yang
menerima pendidikan. Secara global pendidikan dapat dimaknai sebagai usaha yang sengaja
oleh pihak pertama untuk membantu pihak kedua mengembangkan potensi dasar yang
dimilikinya kearah tujuan yang telah ditentukan. Sejalan dengan pandangan diatas, Oemar
Muhammad Al Toumy Al Syaibani menjelaskan bahwa pendidikan Islam merupakan usaha
mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan
kemasyarakatannya serta kehidupan alam sekitarnya melalui kependidikan11.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Islam, PT Al Ma’arif, Bandung, 1989, hal.19
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 2 Tahun 1989
7
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Bandung, 1995, hal. 92
8
Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, Gama Media, Yogyakarta, 2003, hal.185
9
Ahmad D. Marimba, Ibid, hal.23
10
Achmadi, Ilmu Pendidikan Islam I, FT IAIN Walisongo, Salatiga, 1987, hal.10
11
M Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal.13
5
6
82 | ISSN 1829-765X
83
Dari definisi ini pendidikan Islam mempunyai serangkaian tugas, yaitu membimbing, membina,
dan mengarahkan potensi hidup manusia berupa kemampuan dasar serta kemampuan ajarnya.
Melalui upaya ini diharapkan terjadi perubahan kearah yang lebih baik, sebagai bekal
menjalankan kehidupannya baik sebagi individu maupun sebagai makhluk sosial. Disisi lain
Mohammad Fadil Al-Djamaly mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengarahkan
manusia kepada kehidupan yang baik dan juga mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai
dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar)12.
Proses pendidikan harus dilaksanakan melalui proses kegiatan yang membimbing kemampuan
dasar manusia (fitrah) agar bisa terbentuk suatu akhlak yang mulia, serta memberi kesempatan
terhadap pengaruh luar atau lingkungan untuk masuk dalam proses tersebut. Sedagkan
rumusan hasil kongres se-Dunia II tentang pendidikan Islam melalui seminar tentang konsepsi
kurikulum pendidikan Islam (1980) menyatakan bahwa: “pendidikan Islam ditujukan untuk
mencapai keseimbangan pertumbuhan diri pribadi manusia secara menyeluruh melalui latihanlatihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan, dan pancaindra. Oleh karena iu, pendidikan
Islam harus mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari spiritual, intelektual,
imajinasi (fantasi), jasmani, keilmiahan, secara individual maupun kelompok serta mendorong
aspek-aspek itu kearah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup 13 . Dari berbagai
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa : pertama, pendidikan Islam merupakan usaha
bimbingan sadar yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan jasmani dan
ruhani menurut ajaran Islam. Kedua, pendidikan Islam merupakan suatu usaha untuk mencapai
pertumbuhan kepribadian sesuai dengan ajaran Islam dalam proses kependidikan melalui
latihan-latihan akal pikiran (kecerdasan), kejiwaan, keyakinan, kemauan, dan perasaan serta
pancaindra dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Keberadaan Pendidikan Islam digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia
kearah kebahagiaan dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah, oleh karenanya perlu
diperhatikan adanya nilai-nilai Islam tentang manusia, hakekat dan sifat-sifatnya manusia dan
tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan
anggota masyarakat. Oleh sebab itu Pendidikan Islam tidak hanya melihat bahwa pendidikan itu
sebagai upaya mencerdaskan semata (pendidikan intelek, kecerdasan) melainkan sejalan
dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya. Jika kita lihat bahwa tujuan
pendidikan Islam tidak akan lepas dari keberadaan manusia itu sendiri, secara umum tujuan
pendidikan Islam adalah membentuk insan kamil atau muslim paripurna. Menurut A. Malik Fadjar,
tujuan demikian masih dalam pengertian abstrak-umum. Oleh karena itu, harus dilakukan
substansiasi sehingga yang abstrak-umum itu menjadi operasional14.
Sedangkan Al Attas mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk menciptakan
manusia yang baik. Sedangkan Marimba berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
12
13
Ibid, hal.16
Ibid, hal. 15. Lihat juga dalam Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989,
hal. 115
14
A. Malik Fadjar, Pendidikan Islam: Permasalahan dan Pemecahannya, Bestari, No 44 Th.VI (Mei-Juli), 1993,
hal. 1
84
terbentuknya orang-orang yang berkepribadian Muslim. Selain itu, AL Abrasy mengatakan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya manusia yang berakhlak mulia. Bahkan lebih
umum lagi, Munir Mursyi mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk
manusia sempurna15. Tujuan pendidikan secara umum ialah membawa anak kepada kedewasaan,
yang berarti ia harus dapat menentukan diri sendiri dan bertanggung jawab sendiri 16 . Dalam
Islam tujuan pendidikan Islam secara umum adalah membentuk kepribadian sebagai khalifah
Allah atau sekurang-kurangnya mempersiapkan ke jalan yang mengacu kepada tujuan akhir
manusia. “ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya manusia yang berkepribadian
muslim untuk menghambakan diri kepada Allah sesuai dengan tujuan penciptaannya. Secara
lebih detail dapat dikatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah mencari kebahagiaan 17 dunia
dan akhirat dengan mempertajam kesolehan soisal lewat menjalankan apa yang diperintah Allah
dan menjauhi segala yang telah dilarang-Nya. Pendidikan Islam sebagai suatu sistem sekaligus
proses bermaksud membina, mengembangkan dan mengarahkan potensi dasar insaniah
(jamaniah-rohaniah) berdasarkan nilai-nilai normative Islam. Karena Islam sendiri memandang
manusia sebagai satu kesatuan integral antara jamani dan ruhani. Pendidikan Islam pada
hakekatnya ingin mengembangkan dan menjadikan kedua unsur itu berjalan secara harmonis
menuju tujuan kematangan menurut ajaran Islam 18 yang dilihat dari penciptaan manusia
hanyalah untuk beribadah kepada Allah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam terletak dalam realisasi
sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, baik secara perorangan, masyarakat maupun
sebagai umat keseluruhannya19.
C. Perubahan Sosial
Setiap manusia berada dalam masyarakat selama hidupnya pasti mengalami banyak peubahanperubahan . Perubahan itu dapat berlangsung secara cepat maupun lambat, dan memerlukan
proses yang lama. Oleh karenanya perubahan sosial merupakan proses yang berkesinambung.
Penelaahan mengenai proses tersbut mempunyai perspektif sejarah maupun evolusioner.
Perubahan-perubahan pada masyarakat dewasa ini dapat berlangsung secara terus menerus,
tetapi perlahan-lahan tanpa kita rencanakan (Unplanned sosial change). Galibnya, perubahan
sosial yang disebabkan oleh perubahan dalam bidang tekhnologi atau globalisasi20. Dan adapula
perubahan yang direncanakan, kita planning dan kita arahkan pada tujuan yang hendak kita
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1992, hal. 46
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Rosda Karya, Bandung, 2000, hal.19
17
Kebahagiaan yang sebenarnya ialah kebahagiaan yang timbul dari mengetahui hikmat-hikmat. Hikmat ada
yang bersifat teoritis yang diperoleh dengan pengetahuan yang benar, dan ada pula hikmat yang bersifat praktis
yang diperoleh dengan menggunakan budi pekerti yang mulia, lihat Harun Nasution dalam Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya, jilid II, U I Press, Jakarta, 1986, hal.51
18
Zuhairini dkk, Op.Cit , hal. 93
19
M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu tinjauan teoritis dan Praktis berdasarkan pendekatan Interdisipliner,
Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hal. 41
20
Jalaludin Rakhmat, Rekayasa Sosial, Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar, PT. Rosda Karya, Bandung,
1999, hal. 45
15
16
84 | ISSN 1829-765X
85
capai, inilah perubahan sosial yang kita sebut Planned social Change (perubahan sosial yang kita
rencanakan)21.
Perubahan pada masyarakat tertuju pada struktur sosial, baik didalam keluarga, lembagalembaga keagamaan, sosial maupun politik. Perubahan ini berubah sesuai dengan kondisi
dimana perubahan itu berlangsung. Yang berjalan untuk mencapai tujuan atau sasaran, terjadi
bukan sekedar otomatis dan secara mekanis. Dari asumsi ini dapat dikatakan bahwa perubahan
yang terjadi di dalam masyarakat dapat ditinjau dari tiga segi. Pertama, dari segi sosologis22.
Maksudnya bagaiamana terjadinya perubahan pada struktur sosial dan budaya juga terhadap
struktur sosial. Dari asumsi ini dapat dilihat bahwa proses terjadinya perubahan sosial di dalam
masyarakat memerlukan adanya peran aktif dari para individu untuk membentuk dan
mencetuskan ide-ide serta gagasan yang menuju terbentuknya tatanan yang semakin
berkembang. Kedua, dari segi psikologi 23 . Penekanannya adalah bagaimana individu itu
beradaptasi terhadap perubahan sosial ini terkait akan adanya sejauh mana individu-individu
memahami, mengerti serta beradaptasi pada tatanan struktur sosial yang ada di masyarakat,
baik secara cepat maupun lambat. Ketiga, bahwa perubahan sosial dapat dilihat dari segi
paedagogik24, bahwa pada saat pendidikan yang masih bersifat tradisional memandang lembaga
pendidikan sebagai salah satu dari struktur dan kebudayaan dalam suatu masyarakat.
Di dalam pendidikan tradisional anak didik di tempatkan sebagai obyek dalam perubahan sosial,
karenanya lembaga pendidikan yang tidak dapat mengikuti perubahan sosial, maka dapat
kehilangan fungsi sebagai tempat mentransfer nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat dan
kebudayaan, banyak kemungkinan-kemungkinan akan ditinggalkan oleh masyarakat, sebab tidak
dapat memberi jawaban akan tuntutan zaman yang semakin berkemabang.
Sedangkan pendidikan modern menganggap seorang individu hanya dapat berkembang di dalam
interaksinya dengan tatanan kehidupan sosial budaya dimana dia hidup 25 . Artinya pendidikan
modern menganggap anak didik tidak hanya sebatas objek dari perubahan sosial melainkan
anak didik juga sebagai pelaku dari perubahan sosial, dimana adanya pengakuan peran aktif
partisipatif dalam proses perubahan sosial tersebut. Dengan demikian ada perbedaan pandangan
antara pendidikan tradisional dengan pendidikan modern, yang melihat anak didik tidak hanya
sebatas makhluk yang aktif reaktif, yang berusaha meyongsong dan melakukan perubahanperubahan di sekelilingnya. Sebab pendidikan yang berlangsung selama ini ditempatkan pada
garda depan sebagai sarana perubahan sosial, pada dasarnya jika kita melihat adanya
perubahan pada komponen tertentu dalam masyarakat itu, William F. Ogburn menyatakan jika
salah satu lembaga sosial berubah maka yang lainnya juga akan ikut terpengaruh26.
Perubahan sosial yang berkembang di masyarakata mencakup berbagai aspek mendukung
terciptanya sebuah keserasian hidup, bahwa pada perkembangannya muncul 2 aliran dalam
21
22
23
24
25
26
Ibid, hal. 46
Tilaar, Op.Cit hal. 4
Ibid.
Ibid, hal. 5
Ibid, hal. 6
Ibid, hal.10
86
perubahan sosial (social change), yang pertama aliran sinkronis melihat perubahan sosial secara
cross-section, terlepas dari perkembangann dalam waku (timeless) dan sifatnya statis, yang
kedua pandangan modern yaitu pandangann diakrinik, pendekatan ini melihat kenyataan sosial
bukan sesuatu yang statis, tetapi merupakan suatu proses 27 . Asumsi ini berpandangan baha
pandangan sinkrois menganggap perubahan sosial mengalami jalan ditempat atau statis dan
tidak mengalami sebuah perubahan dan perkembangan. Namun sebaliknya pandangan diakronik
melihat perubahan sosial sebagai perubahan stuktur organisasi dan keterkaitan antar komponen
yang ada di dalam masyarakat.
Perubahan sosial secara garis besar merupakan suatu perubahan pola kelakuan, hubungan sosial,
institusi-institusi dan struktur sosial dalam waktu tertentu. Perubahan selalu mengalami sebuah
kapasitas, perubahan sosial (social change) yang pertama kali dikembangkan leh William F.
Ogburn, dalam bukunya yang berjudul “ social chenge” membicarakan konsep-konsep evolusi
sosial serta peranan faktor-faktor biologis dan kebudayaan terhadap perubahan sosial28.
Analisis Ogburn akan perubahana sosial dilatar belakangi dari situasi yang pernah dikembangkan
oleh Weber dimana ia mengatakan pembedaan antar kebudayaan dan perubahan. Pada
perkembangannya perubahan-perubahan sosial banyak ditafsirkan dan menelurkan berbagtai
macam teori, yang pertama teori linier barasal dari Auguste Comte, Spenser, Hobbes, dan Marx.
Yang menjelaskan bahwa perubahn sosial sebagai hail perkembangn intelektual manusia yang di
formulasikan dalam hukum tiga tahap (law of three stages), yang merupakan perkembangan
dari cara-cara berfikir secara cepat29. Dalam kesempatan yang sama Spencer mengakui adanya
berbagai faktor yang terlibat dalam perubahan sosila dan betapa sulitnya untuk menyajikan
proses evolusi yang terjadi di dalam masyarakat-masyarakat tertentu30. Dalam hal ini Spencer
menekankna bahwa perubahan merupakan proses evolusi dari suatu keadaan yang bersifat
homogen, yang tidak berketentuan ke arah keadaan heterogen yang stabil dan dinamis.
Tidak jauh berbeda dengan padangan Marx yang hanya mempergunakan konsep perubahan
sosial untuk menganalisa timbul dan tumbuhnya kapitalisme modern31. Teori yang dihasilkan dari
perkembangan perubahan sosial yang kedua adalah teori cyclicall yang berusaha untuk
meremehkan fakta, memandang perubahan sosial terjaid karena pertentangan antar golongangolongan tertentu untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan melihat berbagai asumsi dari
pelbagai pendapat, baik dari teory linear maupun cyclicall dapat dikatakan bahwa perubahan
sosial yang terjadid tidaklah dengan sendirinya, akan tetapi adanya pelbagai komponen yang
dapat menyebabkan perubahan sosial itu terjadi. Sebab pada dasarnya, perubahan sosial dapat
terjadi dari mana kita melihat, karena biasanya berhubungann erat dengan faktor-faktor yang
ada dalam perubahan, sehingga menimbulkan permasalahan yang kompleks mengenai
penyebab- penyebab perubahan.
27
28
29
30
31
Ibid, hal. 11
Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 17
Ibid, hal. 18
Ibid, hal.
Ibid, hal. 20
86 | ISSN 1829-765X
87
Seperti apa yang dikataka Herbert Spencer, dalam Progres : its law and cause, Spnecer
memfokuskan teorinya mengenai hukum dan penyebab terjadinya perubahan, adalah
perubahan-perubahan itu sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung yang cenderung
mempertinggi atau meningkatkan kebahagiaan dan hal ini dapat dianggap sebagai
perkembangan semata-mata 32 . Perkembangan pada dasarnya akan membuahkan adanya
evolusi33 dari yang sederhana ke arah yang lebih kompleks, melalui pelbagai taraf diferensiasi
yang sambung menyambung.
Berbeda dengan Durkheim dalam teori konsensusnya memandang msyarakat merupakan sebuah
tatanan moral, seperangkat tuntutan normatif lebih dengan kenyataan ideal dari pada kenyataan
material, yang ada dalam kesadaran individual dan meski demikian dalam cara tertentu berada
di luar individu. Dan terkadang tampak bahwa masyarakat tidak lebih spesifik dari sebuah entita
supra personal yang misterius yang diperkenalkan untuk mengisi kekosongan yang tercipta
karena atas pernyataan individualitas. Kenyataan sosial ini melahirkan consceince collective
(diterjemahkan kesadaran kolektif atau suara hati kolektif), dan representation collectif
(gambaran kolektif)34. Kesadaran kolektif disini diartikan adanya kesamaan bagi semua anggota
kelompok, gambaran ini memperlihatkan bagaimana cara anggota kelompok melihat diri mereka
sendiri dalam hubungan mereka dengan obyek-obyek yang mempengaruhinya. Kesadaran
bersama ini mengandung semua gagasan dan maksud beraman. Dalam bukunya yang lain The
Rules of Sociological Method, peraturan-peraturan Metode Sosioligi yang meletakkan
pendekatannya secara keseluruhan untuk keterangan sosiologi, termasuk doktrinnya “fakta
sosial sebagai benda-benda” 35. Dengan meletakkan fungsionalismenya dengan memperhatikan
fenomena secara umum dari kesadaran individu menuju “kesadaran kolektif” .
Ibnu Khaldun telah lebih jauh membahas gejala-gejala kemasyarakatan atau fenomena sosial,
katanya :
Hakikat sejarah adalah catatan tentang masyarakat umat manusia. Sejarah itu identik dengan
peradaban dunia, tentang perubahan yang terjadi pada watak peradaban itu, seperti keliatan,
keramah-tamahan, dan solidaritas golongan: tentang revolusi dan pemberontakan oleh
segolongan rakyat melawan golongan yang lain dengan akibat timbulnya kerajaan-kerajan dan
negara dengan berbagai macam tingkatannya: tentang kegiatan dan kedudukan orang, baik
untuk mencapai penghidupannya, maupun dalam ilmu pengetahuan dan teknologi: dan pada
umumnya, tentang segala perubahan yang terjadi dalam peradaban karena watak peradaban
itu sendiri36.
Soerjono Soekanto, Ibid, hal. 64
Evolusi dalam pandangan comte dlam hal ini merupakan evolusi intelektual yang berperan lebih besar,
karena pengaruh penalaran meyebabkan manusia berkembang, mencapai keteraturan dan hidup
berkesinambungan, lihat Sorejono Soekanto, dalam Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1984, hal. 61
34
Tom Compbell, Tujuh Teori Sosial, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hal. 179
35
Abdurrahman, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, Ibid, hal. 26
36
Ibnu Khaldun, Muqoddimah, (terj. Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hal. 57
32
33
88
Dari pandangan Ibnu Khaldun ini kita bisa melihat adanya kecenderungan umum yang dibentuk
oleh individu-individu satu masyarakat sebagai dasar dalam mengatur masalah-masalah sosial
yang terjadi di antara mereka, serta mempererat hubungan-hubunga yang mengikat mereka
satu sama lainnya dan yang mengikat mereka dengan orang lain selain golongan mereka.
Disiplin lainnya adalah aturan-aturan politik, yang mencakup masalah-masalah pemerintahan,
mengikat kesatuan kedaulatannya, serta menentukan ciri-ciri khas yang dimiliki oleh kedaulatan,
hak-hak, dan kewajiban-kewajiban masing-masing, serta hubungannya negara dengan individuindividu. Sudah menjadi kenyataan bahwa keberadaan pendidikan tidak akan bisa lepas dari
keberadaan politik dan perangkatnya. Pendidikan dan Politik adalah dua elemen penting dalam
sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Ada hubungan
erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara, hubungan tersebut adalah
realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan manusia, perkembangan kegiatan
kependidikan banyak di pengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan
dukungan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan
mereka, hal ini dapat dipahami karena tujuan pemerintah Islam pada saat itu adalah
menegakkan kebenaran dan keadilan.
Tujuan itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan melaksanakan syariat Islam. Syariat Islam
tidak akan berjalan bila umat tidak memahami ajaran Islam. Seperti apa yang telah dituturkan
oleh Abdurrasyid bahwa para penguasa Islam senantiasa terlibat langsung dalam persoalan
pendidikan, menurutnya ada dua alasan utama mengapa para penguasa muslim sangat peduli
dengan pendidikan, Pertama karena Islam adalah agama yang totaliter jam’i, mencakup aspek
kehidupan seoarang muslim mulai dari makan dan minum, tata cara berumah tangga, urusan
sosial kemasyarakatan, sampai pada ibadat semuanya diatur oleh syariat, untuk mengetahui
bagaimana hidup yang Islami seorang muslim terlibat langsung dengan pendidikan. Kedua,
karena motivasi politik, sebab di dalam Islam antara politik dan agama sangat sulit untuk
dipisahkan. Hubungan timbal balik antara politik dan pendidikan dapat terjadi melalui tiga aspek,
yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment),
dan peranana politik kaum cendekia (the political role of intellegentsia) 37 . Kecenderungan lain
yang mewarnai kehidupan umat manusia dewasa ini ialah ke arah dunia yang lebih mementingkan nilainilai kemanusiaan baik dalam usahanya untuk pengaturan kehidupan politik maupun sosial ekonomi 38.
Pendidikan diakui ataupun tidak lebih merupakan alat dimana pemerintah menggunakannya untuk
menggiring rakyat dan umat kepada tujuan politik yang diinginkan. Secara teoritis tidaklah salah jika
pemerintah menginginkan agar produk lulusan lembaga pendidikan memberikan kontribusi bagi
pembangunan. Namun pada saat yang sama seharusnya pemerintah juga memberikan kebebasan kepada
dunia pendidikan untuk menentukna arahnya dengan memperoleh bantuan, dukungan dan fasilitas dari
pemerintah39. Fungsi politik pendidikan secara khusus juga dapat diaktualisasikan melalui proses
pembelajaran baik bersifat kognitif (misalnya, mendapatkan pengetahuan dasar tentang suatu
37
M. Sirozi, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan antara Kpentingan Kekuasaan dan Praktik
Penyelenggaraan Pendidikan, Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hllm. 7
38
H.A.R Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, Remaja Rosda Karya, Jakarta, 2004, hal. 5
39
Abudin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi kelemahan pendidikan Islam di Indonsia, Prenada Media,
Jakarta, 2003, hal. 22
88 | ISSN 1829-765X
89
sistem), afektif (misalnya, mengetahu isikap-sikap positif dan negatif terhadap penguasa atau
simbol-simbol), dan bisa berrsifat evaluatif (misalnya, melalui peran-peran politik berdasarkan
standar tertentu), atau bersifat motivatif (misalnya, penanaman rasa ingin berpartisipatif)
sebagian besar unsur-unsur pembelajaran tersebut dapat dirancang dan diarahkan sedemikian
rupa untuk memenuhi tuntutan politik tertentu40.
Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan
masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah
strategis bagi kehidupan manusia sehingga program-program dan proses yang ada di dalamnya
dapat dirancang, diatur dan diarahkan sedemikian rupa unuk mendapatkan output yang
diinginkan, tak heran jika kemudian negara menerapkan kontrol sangat ketat terhadap programprogram pendidikan, baik yang diselenggarakan sendiri oleh negara maupun diselenggarakan
oleh masyarakat. Dalam menjalankan perannya, berbagai institusi negara, baik pada tingkat
lokal maupun nasioanl, didanai oleh publik. Inilah antara lain alasan mengapa salah satu fungsi
ideal negara yang terpenting adalah memberikan pelayanan publik (to serve the public). Apa
yang diprogramkan oleh negara diharapkan senantiasa memperhatikan kepentingan-kepentingan
publik (public interests) dan bersifat ensitif terhadap persoalan-persoalan publik.
Begitu kuatnya negara mengontrol pendidikan yang dilakukan dengan, pertama sistem
pendidikan diatur secara legal, kedua sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi,
menekankan pada aturan dan objektivitas, ketiga, penerapan wajib pendidikan (compulsary
education), keempat reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung disekolah dalam konteks
politik tertentu. Untuk mempertahankan legitimasinya secara gradual dan kontinu negara perlu
mengintegrasikan berbagai kepantingan yang ada dikalangan pendukungnya dan pihak oposisi.
Dinegara-negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis, pendidikan memainkan
peranan penting sebagai media mencapai tujuan-tujuan negara, sementara banyak kekuatan
sosial yang memengaruhi pendidikan dengan cara-cara tertentu, motor utama perubahan
pendidikan dalam masyarakat kapitalis adalah sifat negara kapitalis yang berubah-ubah.
Dalam skala apapun, kontrol negara terhadap pendidikan membawa implikasi terhadap kinerja
dan performa suatu sistem pendidikan. Berbagai tuntutan perubahan terhadap dunia pendidikan
tidak akan banyak artinya jika tidak menyentuh berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur substansi dari tuntutan-tuntutan tersebut. Pengalaman dalam melaksanakan
pembangunan nasional selama ini membuktikan bahwa stabilitas nasional kita cukup mapan. Hal
ini, menguntungkan karena stabilitas nasional itumerupakan prasyarat mutlak untuk
melaksankan demokratisasi pendidikan41.
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program pendidikan tidak mungkin berhasil jika
hanya dilakukan dengan menjelaskan makna, manfaat, dan tujuan pendidikan. Masyarakat harus
diperkenalkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur dunia
pendidikan dan dibiasakan untuk sensitif dan kritis terhadap berbagai peraturan perundang-
M. Sirozi, Ibid, hal. 39
Ace Suryadi, H.A.R Tilaar, Analisisi Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Remaja Rosdakarya, Bandung,
1993, hal. 92
40
41
90
undangan tersebut. Sehingga kiranya para profesional pendidikan perlu membuat suara mereka
didengar di pusat politik, dalam lingkaran interaksi dimana keputusan-keputusan kebijakan
penting dipertimbangkan.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa manusia dan masyarakat yang berkualitas adalah
mansuai yang memiliki ciri sebagai hamba Allah yang beriman, berilmu pengetahuan dan
keterampilan yang dapat memberikanmanfaat bagi sesama. Manusia yang berusaha
meningkatkan diri dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki inovasi,
kemampuan melakukan perubahan serta mengajak orang untuk meningkat.
D. Pendidikan Islam dalam Perubahan Sosial
Perubahan sosial, sebagaimana diatas merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Pendidikan
sebagai aspek kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, juga harus terlibat dalam
arus perubahan itu. Keterlibatannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya untuk
mengadakan penyesuaian diri terhadap perubahan, tetapi bagaimana supaya pendidikan
merupakan agen perubahan sosial. Pendidikan berfungsi untuk menyampaikan, meneruskan
atau mentransfer misi kebudayaan, diantaranya, nilai-nilai nenek moyang, kepada generasi
muda 42 . Artinya adanaya sebuah transfer akan nilai-nilai hidup dalam masyarakat dan
kebudayaan pada saat itu. Untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi diperlukan terobosan
pemikiran kembali suatu konsep pendidikan Islam dan harus dikembalikan kepada fungsinya
untuk memberdayakan manusia dan masyarakat. Pendidikan merupakan sistem dan cara
meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan manusia, dalam sejarah
umat manusia43.
Pendidikan sebagai usaha sadar yang dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi
menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa
tertentu memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan rekayasa bangsa di masa mendatang,
karena pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia, bahkan M. Natsir
menegskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan maju
mundurnya kehidupan masyarakat tersebut44. Oleh karenanya mau tidak mau pendidikan harus
di desain mengikuti irama perubahan zaman kalau tidak ingin pendidikan akan ketinggalan.
Tuntutan pembaharuan pendidikan menjadi suatu keharusan dan “pembaharuan” pendidikan
selalu mengikuti dan relevan dengan kebutuha masyarakat, baik pada lembaga pendidikan, dan
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 1994, hal. 22
Ahmand Syafii Ma’arif, menyatakan apabila dilihat dari segi sejarah, pendidikan merupakan suatu gerakan
yang telah berumur sangat tua. Dalam bentuk sederhana dapat dipahami pendidikan telah dijalankan sejak
dimilainya manusia di muka bumim ini. Penguasaan alam semsta, memberi contoh pendidikan kepada manusia dan
dilanjutkan dengan mendidik keluarga, lihat dalam Ahmad Syafii Ma’arif, Pendidikan Islam dan proses
Pemberdayaan Umat. Dalam Jurnal Pendidikan Islam (JPI), No 2 Th. Fakultas Tarbiyah UII, 1 Oktober 1996, hal. 6
44
M. Natsir, Kapita Selekta, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hal. 77
42
43
90 | ISSN 1829-765X
91
sumber daya pengelola pendidikan 45 . Jika kita lihat dalam konteks ke Indonesia-an bahwa
pendidikan Islam selama ini masih membedakan antara pendidikan agama dengan non agama
dengan meminjam istilah dari Abdurrahman Mas’ud pendidikan Islam yang masih membedakan
antara ulumuddin dan ulumuddunya belum layak disebut sebagai pendidikan Islam yang kaffah
atau komprehensif 46 . Sejarah perkemabangan peradaban Islam sangat ditandai dengan
hubungan yang harmonis dan dialogis antara ilmu agama dan pengeathuan umum (termasuk
social science dalam pengertian modern). Kedua ilmu ini ternyata saling meleangkapi. Ilmu-ilmu
agama berkembang terlebih dahulu dan sungguh mengisaratkan bahwa manusia dan
peradabannya harus dilandasi dengan bangunan keagamaan dan keimanan yang kokoh sebelum
ilmu-ilmu lain mewarnai pendidikan Islam 47 . Dengan demikian jelas bahwa pendidikan Islam
harus berupaya mengikuti setiap perubahan yang terjadi sebagai langkah untuk menciptakan
pendidikan Islam yang selalu konten dengan zaman, atau sesuai dengan kebutuhan lapangan
pekerjaan. Atau dengan kata lain bagaimana pendidikan dapat mengkorelasikan antara manusia,
masyarakat, alam serta perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Karena jika
menafikan akan keterlibatan manusia dan aspek-aspek kemanusiaan maka yang terjadi
kemandekan dari pendidikan itu sendiri, karena dengan memahami secara baik keterkaitan
antara manusia, masyarakat, alam, dan perkembangan ilmu pengetahuan, akan dimungkinkan
pengembangan pendidikan Islam 48 . Akibat yang mungkin lebih buruk dari keadaan ini ialah
pengurangan nilai-nilai manusiawi dari pekerja yang dianggap hanya sebagi alat atau bagian dari
mesin-mesin dalam industri besar. Situasi ini akan mendorong terjadinya suasana psikoogis yang
ditandai dengan individualistis, egosentris, dan mungkin kurang manusiawi. Akibat-akibat buruk
ini perlu dikurangi bahkan dicegah oleh upaya-upaya dalam meningkatkan humaniora, otonomi,
pemerataan kesempatan pendidikan, dan demokratisasi pendidikan49.
Diakui atau tidak pendidikan Islam di Indonesia menghadapi berbagai persoalan dan
kesenjangan yaitu munculnya persoalan dikotomi pendidikan, usaha pembaharuan dan
peningkatan pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan
menyeluruh serta sebagian besar sistem dan lembaga pendidikan Islam belum dikelola secara
profesional 50 . Usaha pembaruan pendidikan Islam secara mendasar selalu dihambat oleh
berbagai masalah, mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli, sehingga “pendidikan Islam
dewasa ini terlihat orientasinya yang semakin kurang jelas”51.
45
Lihat dalam solusi yang ditawarkan Abdurrahman Mas’ud untuk memfollow-upi dari kegiatan civitas
akademik diantaranya- pengembangan akademik adalah pengembangan sikap learning yang harus diupayakan
secara komprehensif, integrated, kontunyu, konsisten bagi dosen dan mahasiswa,- Menjadikan perpusatkaan
sebagi learning center bagi civitas akademika khususnya dosen dan mahasiswa, lihat dalam Abdurrahman Mas’ud,
Antologi Studi Agama dan Pendidikan,Aneka Ilmu, Semarang, 2004, hal. xi
46
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma
Pendidikan Islam), Gama Media, Yogyakarta, 2002, hal. xxii
47
Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Huamnis, Op.Cit, hal. 201
48
Abdurrahman, Menggagas Pendidikan… Op.Cit, hl. xxvi
49
Ace Sumardi, Ibid, hal. 93
50
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Logo Wacana Ilmu,
Jakarta, 1999, hal. 59
51
Muslih Usa (ed) Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, cet 1,
1991, hal. 11
92
Dengan kenyataan ini, maka sebenarnya “sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa
mengorientasi diri untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat
kita sebagai konsekuensi logis dari perubahan” 52 , namun asumsi diatas telah dijawab oleh
Abdurrahman, dalam rekomendasinya bahwa pendidikan Islam dengan paradigma humanisme
religius harus mempertimbangkan akal sehat, individualisme menuju kemandirian, pendidikan
pluralisme, antidikotomi, semangat menggali ilmu yang tulus, fungsionalisme mengalahkan
simbolisme, serta keseimbangan antara penghargaan dan sanksi53.
E. Tujuan Pendidikan Islam dalam Perubahan Sosial
Tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan ketaqwaan dan akhlak serta menegakkan
kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur menurut
ajaran Islam. Tujuan tersebut ditetapkan berdasarkan pengertian bahwa “ pendidikan Islam
adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan
hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi semua ajaran Islam” 54.
Dalam proses humanisasi, berarti manusia bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan
biologisnya saja, tetapi juga ia harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap
kesejahteraan masyarakat. Proses humanisasi merupakan proses yang terbuka dimana manusia
diberdayakan dan dioptimalkan dalam penggunaan potensi (fitrah) sehinggga manusia dapat
menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan, teknologi serta penerapannya dan penghayatannya
pada seni serta budaya, dan sebagainya55. Pendidikan dalam konsep Islam sebenarnya telah
menetapkan dasar dan tujuan untuk membangun manusia sebagai insan kamil, yaitu manusia
paripurna, integral, totalitas dalam membangun hidup dan kehidupannya. Pendidikan Islam
meletakkan kedudukan manusia sangat sentral sebagi subyek didik dalam upaya pembinaan dan
pengembangannya. Secara lebih detail dapat dikatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah
mencari kebahagiaan 56 dunia dan akhirat dengan mempertajam kesolehan sosial lewat
menjalankan apa yang diperintah Allah dan menjauhi segala yang telah dilarangNya. Karena
pada hakekatnya pendidikan Islam bukan bermaksud untuk meleburkan sifat-sifat insaniyah
(manusia) ke dalam sifat-sifat malakiyah (malaikat), melainkan justru merupakan proses
“pemeliharaan dan penguatan “ sifat potensi insaniyah sehingga dapat menumbuhkan kesadaran
ilmiah dalam rangka menegakkan kebenaran di muka bumi.
Hakekat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia atau proses
humanisaisi melihat manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya yaitu manusia
ditentukan oleh relasi moralnya terhadap hak asasi manusia yang mempunyai implikasi
kewajiban-kewajiban tertentu sehubungan dengan relasi eksistensinya. Proses pendidikan
Azyumardi, Ibid, hal. 57
Abdurrahman, Menggagas Pendidikan.. Ibid, hal. 229
54
M.Arifin, Op.Cit, hal. 41
55
H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Maani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan
Nasional, Remaja Rosdakarya, Bandaung, 1999, hal.171
56
Kebahagiaan yang sebenarnya ialah kebahagiaan yang timbul dari mengetahui hikmat-hikmat. Hikmat ada
yang bersifat teoritis yang diperoleh dengan pengetahuan yang benar, dan ada pula hikmat yang bersifat praktis
yang diperoleh dengan menggunakan budi pekerti yang mulia, lihat Harun Nasution dalam Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya, jilid II, U I Press, Jakarta, 1986, hal.51
52
53
92 | ISSN 1829-765X
93
sebagai proses humanisasi menunjukkan bahwa pendidikan bukanlah suatu yang telah
berkesudahan, tetapi merupakan suatu aksi yang selalu bersinambung.
Dengan demikian berangkat dari pemahaman tersebut proses pendidikan Islam yang benarbenar mewujudkan keberadaan manusia akan terwujud. Hal ini memberi pengertian bahwa ada
dua kepentingan manusia yaitu kepentinag duniawi dan ukhrawi, jasmani dan ruhani harus
digarap dan di penuhi melalui proses pendidikan, dengan jalan menggunakan proses
pembimbingan, pengembangan dan mengarahkan kepada potensi dasar manusia itu baik
jasmani maupun ruhani secara seimbang dengan menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang lain,
karena dengan asumsi ini dapat ditarik beberapa pernyataan.
Pertama, pemahaman tenatang esensi bahwa manusia adalah makhluk monodualis, makhluk
jasmaniah dan ruhaniah, maka pendidikan tidak hanya bersifat antroposentris, akan tetapi harus
bersifat theosentris. Kedua, bahwa manusia adalah makhluk yang berkembang dengan tahapantahapan maka pendidikan mestilah sejalan dengan tahapan yang dilaluinya. Ketiga, bahwa
pendidikan dalam konsepsi Al Qur’an adalah memperhatikan nilai keseimbangan antar jasmani
(fisik) dan ruhani (psikis), keempat nilai pendidiakn Islam terletak pada keseimbangan antara
aspek pemikiran dan perasaan57.
Proses pendidikan yang dilakukan untuk mengisi otak dengan berbagai pengetahuan yang
bersifat kognitif, afektif, psikomotorik (mengisi hati), agar bias memperteguh potensi keimanan
seta memberi kebebasan kepada peserta didik untuk menjadi mandiri. Proses pendidikan dengan
pemberian pengetahuan dapat berbentuk penyampaian materi di sekolah ataupun dimanapun.
Pengisian hati bisa berupa pendidikan yang bermuatan normative religius dengan memberikan
kebebasan yang proporsional sebagai upaya akselerasi pematangan kemanusiaan. Dalam
hubungannya denan kesadaran manusia dan dunia, pendidikan yang dilihat sebagai bentuk
dominasi menganggap kesadaran manusia semata-mata merupakan wadah kosong yang harus
diisi, sedangkan pendidikan sebagai sebuah proses pembebasan dan humanisasi memandang
kesadaran itu sebagai suatu “hasrat” (intention) terhadap dunia58. Manusia peserta didik di beri
kesempatan untuk mengembangkan dirinya sendiri sesuai dengan kodratnya secara bebas dan
merdeka tetapi harus diinsyafi bahwa itu bukan kebebasan yang leluasa, melainkan kebebasan
terbatas pada tertib-damainya hidup bersama59.
“ Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
57
A. Noerhadi Djamal, Epistemologi Pendidikan Islam (Suatu telaah reflektif – Qurany) dalam Reformasi
Filsafat Pendidikan Islam (ed) M. Chabib Thoha, F. Syukur Priyono, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 289
58
Paulo Freire, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj, Agung Prihantoro Fuad Arif
Fudiyanto, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet III, 2002, hal. 191
59
Agus Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, CV Ilmu, Bandung, 1997, hal. 94
94
Dengan demikian jelaslah bahwa tugas pendidikan adalah memberikan kesempatan yang seluasluasnya bagi potensi baik untuk tumbuh dan berkembang untuk mewujudkan manusia sesuai
dengan kodratnya sebagi khalifah dan ‘abd Allah untuk mewujudkan terbentuknya kepribadian
yang mulia, dengan jalan melalui latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran, perasaan dan
indera. Dimana pendidikan ini harus melayani pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya,
baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, maupun penguasaan terhadap
bahasa, dimana tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah sikap penyerahan diri sepenuhnya
kepada Allah, baik secara perorangan maupun sebagai umat manusia secara keseluruhan. Q.S Al
An’am : 162
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam.”
Pendidikan seringkali dipahami sebagi fenomena individu di satu pihak dan fenomena sosial di
pihak lain. Sebagai fenomena individual, bertolak dari suatu pandangan antropologi dengan
pemahaman terhadap manusia sebagai ralitas mikrokosmos dengan kepemilikan potensi-potensi
(fitrah) dasar yang dapat dikembangkan di masa yang akan datang, yang menitik beratkan pada
orientasi internal seseorang. Sedangkan dilihat dari fenomena sosial diarahkan pada orientasi
eksternal dalam kerangka perkembangan budaya masyarakat, sehingga riil kehidupan manusia
mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitar, pendidikan dalam hal ini dimaknai sebagai
proses kulturisasi, yakni sosialisasi (pemasyarakatan).
Dalam ajaran Islam manusia menjadi makhluk individu sekaligus makhluk sosial yang memiliki
kemampuan berpikir, dengan meminjam perkataan Aris toteles manusia sebagai zoon politicon
yakni makhluk yang mempunyai pembawaan untuk hidup bermasyarakat. Pemahaman
pendidikan yang humanis disini sejalan dengan apa yang dikatakan Abdurrahman Mas’ud bahwa
humanisme dalam pendidikan adalah proses pendidikan yang lebih memperhatikan aspek
potensi manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk religius, ‘abdullah dan khalifatullah, serta
sebagi individu yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengembangkan potensi-potensinya60,
Al Qur’an mendudukkan manusia ke dalam dua fungsi pokok; pertama sebagai ‘abdullah (hamba
Allah) yang mempunyai tugas fungsional yang harus diemban manusia dalam melakukan tugas
kehidupannya di muka bumi. Konsep ini mengacu pada tugas-tugas individual sbagi hamba Allah
yang diwujudkan dalam bentuk pengabdian yang bersifat ritual kepada-Nya. Kedudukan yang
kedua manusia sebagi khalifatullah fil ardh, yang diposisikan secara positif-konstruktif untuk
senantiasa menciptakan kemakmuran bagi segenap komunitas alam raya.
Dengan meminjam kata dari Abdurrahman Mas’ud bahwa kata kunci untuk mengantisipasi
perubahan kini dan mendatang adalah informasi dan ilmu pengatahuan. Dua kata tersebut
bukanlah vocabulary baru bagi kaum muslimin61, dimana kalau kita lihat dalam wahyu pertama
Iqra’ untuk senantiasa membaca dalam arti yang sangat luas, baik membaca teks-teks wahyu
maupun gejala-gejala sosial yang muncul baik sekarang maupun yang akan datang. Terlebih
manusia dalam penciptaannya mempunyai kelebihan dibanding dengan makhluk Tuhan yang lain,
60
61
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomok…, Op.Cit, hal 135
Abdurrahman Mas’ud. Menuju Paradigma Islam Humanis, Op.Cit, hal. 201
94 | ISSN 1829-765X
95
yaitu adanya potensi berupa akal dan iman, yang harus digunakannya dalam kehidupan
bermasyarakat selaku ‘abd Allah maupun Khalifatullah di muka bumi ini, yang tentunya harus
ada keseimbangan dalam memerankannya.
Dengan demikian pendidikan Islam humanistik bermaksud membentuk insan manusia yang
memiliki komitmen humaniter sejati, yaitu insan manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan,
dan tanggung jawab sebagai insan manusia individual, namun tidak terangkat dari kebenaran
faktualnya bahwa dirinya hidup di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, ia memiliki
tangung jawab moral kepada lingkungannya, berupa keterpanggilan untuk mengabdikan dirinya
demi kemaslahatan masyarakat.
Daftar Pustaka
Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, Aneka Ilmu, Semarang, 2004.
__________________, Menggagas Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai
Paradigma Pendidikan Islam), Gama Media, Yogyakarta, 2002,
_________________, Menuju Paradigma Islam Humanis, Gama Media, Yogyakarta, 2003.
Abudin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi kelemahan pendidikan Islam di Indonsia,
Prenada Media, Jakarta, 2003.
Ace Suryadi, H.A.R Tilaar, Analisisi Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1993.
A. Noerhadi Djamal, Epistemologi Pendidikan Islam (Suatu telaah reflektif – Qurany) dalam
Reformasi Filsafat Pendidikan Islam (ed) M. Chabib Thoha, F. Syukur Priyono, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1996.
A. Malik Fadjar, Pendidikan Islam: Permasalahan dan Pemecahannya, Bestari, No 44 Th.VI (MeiJuli), 1993
Achmadi, Ilmu Pendidikan Islam I, FT IAIN Walisongo, Salatiga, 1987.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Islam, PT Al Ma’arif, Bandung, 1989.
Ahmad Syafii Ma’arif, Pendidikan Islam dan proses Pemberdayaan Umat. Dalam Jurnal
Pendidikan Islam (JPI), No 2 Th. Fakultas Tarbiyah UII, 1 Oktober 1996.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1992
Agus Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, CV Ilmu, Bandaung, 1997.
Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Logo Wacana
Ilmu, Jakarta, 1999.
Baharudin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik (Konsep, teori dan Aplikasi dalam Dunia
Pendidikan), Ar-Ruzz Media , Yogyakarta, 2007.
96
Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, Lkis, Yogyakarta, 2005
Harun Nasution dalam Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid II, U I Press, Jakarta, 1986.
H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformasi untuk
Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2002 .
___________, Manajemen Pendidikan Nasional, Remaja Rosda Karya, Jakarta, 2004.
___________, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Maani Indonesia, Strategi Reformasi
Pendidikan Nasional, Remaja Rosdakarya, Bandaung, 1999.
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1995.
Ibnu Khaldun, Muqoddimah, (terj. Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000.
Jalaludin Rakhmatt, Rekayasa Sosial, Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar, PT. Rosda Karya,
Bandung, 1999.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Marasudin Siregar, Manusia Menurut Ibnu Khaldun (Suatu Tinjauan Filosofis) dalam, Reformulasi
Filsafat Pendidikan Islam, (ed) Chabib Thoha, F Syukur, Priyono, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1996.
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, Bumi Aksara, Jakarta, 2000
_________, Filsafat Pendidikan Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1987.
M. Chabib Thoha , Demokratisasi dalam Pendidikan Islam (ed)Ismail SM, Abdul Mukti dalam
Pendidikan Islam, Demokrastisasi dan Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2000.
M. Natsir, Kapita Selekta, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Rosda Karya, Bandung, 2000.
M Rusli Karim, “Pendidikan Islam sebagai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Muslim Usa (ed),
Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, cet 1.
M. Sirozi, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan antara Kpentingan Kekuasaan dan Praktik
Penyelenggaraan Pendidikan, Raja Grafindo, Jakarta, 2005.
Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban, Membangun Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah,
Paramadina, Jakarta, 1995.
Paulo Freire, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj, Agung
Prihantoro Fuad Arif Fudiyanto, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet III, 2002.
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 1994
96 | ISSN 1829-765X
97
Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.
Tom Compbell, Tujuh Teori Sosial, Kanisius, Yogyakarta, 1994.
Undang-undang S istem Pendidikan Nasional nomor 2 Tahun 1989
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Bandung, 1995.
Download