BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang perjanjian 1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang perjanjian
1. Pengertian perjanjian
Dena Valente memberikan pengertian janji sebagai promise is the communication
of an intention to undertake or assume an obligation. 1 Pengertian perjanjian menurut
Subekti adalah suatu seseorang yang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang
tersebut
saling
berjanji
untuk
melaksanakan
sesuatu
hal.
KRMT
Tirtodiningrat
memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat
antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat hukum yang dapat dipaksakan
oleh undang-undang2 .
Perjanjian atau persetujuan diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang memiliki pengertian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih yang mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Para sarjana hukum umumnya berpendapat bahwa batasan atau pengertian
perjanjian yang terdapat dalam rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menunjukan kekurangan dan dapat dikatakan terlalu luas serta banyak
mengandung beberapa kelemahan. Adapun kelemahan tersebut adalah antara lain :3
a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.
b. Kata perbuatan yang mencakup juga perbuatan tanpa kesepakatan.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas.
d. Tanpa menyebut suatu tujuan.
Menurut R. Setiawan, definisi tersebut kurang lengkap, karena hanya menyebutkan
persetujuan sepihak saja dan juga sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan
“perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Beliau
memberikan definisi tersebut :
1
2
3
Dena Valente, Enforcing Promises Consideration and Intention in th e Law of Contract, A dissertation submitted in
partial fulfilment of the degree of Bachelor of Laws (Honours) at the University of Otago , 2010, Hal. 03
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada
Media Group, Cetakan Pertama, Jakarta, 2010, Hal. 15-16
Achmad Busro, Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUH Perdata, Percetakan Pohon Cahaya, Cetakan Pertama,
Yogyakarta, 2011, Hal. 71-72
a.
Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan
untuk menimbulkan akibat hukum.
b.
Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, sehingga menurut beliau perumusannya menjadi
perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih. 4
Abdul Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu
persetujuan
dengan
mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 5
Atas dasar beberapa alasan tersebut diatas, maka perlu adanya perumusan kembali
apa yang dimaksud dengan perjanjian yang merupakan kesepakatan dari kedua belah
pihak sehingga dapat mencerminkan apa yang dimaksud dengan perjanjian itu adalah
suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.6
Suatu perjanjian dapat dilakukan dengan bentuk tertulis yang mana bentuk secara
tertulis ini dapat dilakukan dengan akta otentik ataupun akta dibawah tangan dan bentuk
lisan.
Kedua bentuk
tersebut memiliki kekuatan yang sama dalam artian sama
kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak hanya saja apabila perjanjian
dibuat dengan tertulis dapat dengan mudah dipakai sebagai alat bukti apabila terjadi suatu
sengketa sedangkan bentuk lisan akan mengalami kesulitan mencari pembuktiannya
karena selain memerlukan saksi, juga diperlukan adanya itikad baik dari para pihak yang
membuat perjanjian.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, unsur-unsur perjanjian tersebut yang meliputi :7
a. Adanya pihak-pihak sedikitnya dua orang.
b. Adanya suatu persetujuan antara pihak-pihak tersebut.
c. Adanya suatu tujuan yang ingin dicapai.
d. Adanya suatu prestasi yang akan dilaksanakan.
4
R. Setiawan, Pokok -Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1994, Hal. 49
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, Hal. 78
6
Achmad Busro, Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUH Perdata, Percetakan Pohon Cahaya, Cetakan Pertama,
Yogyakarta, 2011, Hal. 72
7
Ibid, Hal. 31
5
e. Adanya bentuk tertentu, baik tertulis ataupun lisan.
f.
Adanya syarat tertentu sebagai isi dari perjanjian.
2. Syarat sahnya perjanjian
Di dalam suatu perjanjian yang perlu diperhatikan adalah perjanjian merupakan
suatu
perbuatan
hukum yang
harus
memenuhi sekurang-kurangnya empat unsur
perjanjian. Berkenaan dengan unsur kelima (bentuk perjanjian) ihwalnya adalah apakah
perbuatan hukum tersebut merupakan perjanjian formil atau tindakan hukum yang
mengharuskan dibuat dalam bentuk tertentu.
Suatu perbuatan hukum yang dapat dikategorikan sebagai suatu perjanjian haruslah
sah menurut hukum. Sah atau tidaknya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang mana terdapat 4 syarat sahnya suatu perjanjian.
Syarat-syarat tersebut adalah :8
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Syarat pada point 1 dan point 2 disebut syarat subjektif yang apabila kedua point
tersebut tidak terpenuhi maka suatu perjanjian dapat dibatalkan. Syarat pada point 3 dan 4
disebut sebagai syarat objektif yang apabila kedua point tersebut tidak terpenuhi maka
suatu perjanjian dinyatakan batal demi hukum.
3. Asas-asas perjanjian
Asas hukum merupakan suatu dasar atau pokok yang karena sifatnya fundamental
dan dikenal didalam hukum perjanjian yang klasik adalah asas konsensualisme, asas
kekuatan mengikat, asas kebebasan berkontrak dan dalam hukum kontrak perlu
ditambahkan asas keseimbangan9 :
a. Asas itikad baik
8
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya Di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya
Bakti, Cetakan Keempat, Bandung, 2014 Hal. 73
9
Ibid, Hal. 28-29
Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik seperti yang tercantum
dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, jadi dalam
perikatan yang dilahirkan dari perjanjian maka para pihak bukan hanya terikat oleh
kata-kata perjanjian itu dan oleh kata-kata ketentuan perundang-undangan mengenai
perjanjian itu melainkan juga oleh itikad baik.
Pengertian itikad baik mempunyai dua arti, yaitu pengertian objektif adalah perjanjian
yang dibuat itu mesti dilaksanakan dengan mentaati norma kepatutan dan kesusilaan,
pengertian subjektif adalah pengertian itikad baik yang terletak dalam sikap batin
seseorang,
apabila terjadi perselisihan pendapat tentang pelaksanaan perjanjian
dengan itikad baik hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengawasi
dan menilai atau mencampuri pelaksanaan perjanjian apakah ada pelanggaran
terhadap norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
Menurut Siti Ismijati Jenie, itikad baik pada awalnya berasal dari hukum Romawi
yang disebut Bonafites. Inti konsep Bonafides tersebut adalah Fides, merupakan
sumber religius bermakna kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain
atau suatu kepercayaan atas kehormatan dan kejujuran dari orang lain. 10
Dalam civil law di Jerman, itikad baik dalam hubungan kontraktual tercantum dalam
Pasal 242 Burgerlichen Gesetzbuches (BGB), yang dinyatakan An Obligator has a
duty to perform according to the requirements of good faith, taking costumary
practice into consideration.11 Perintah normatif tersebut tidak memberikan petunjuk
sebagai alasan umum dan seperti pernyataan tidak menarik yang boleh menjadi
penting bagi hukum Jerman.
b. Asas konsensualisme
Asas konsensualisme berasal dari bahasa lain yaitu consensus yang berarti sepakat.
Asas ini diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyebutkan sepakat mereka yang mengikatkan diri, artinya dari asas ini pada
dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak
detik tercapainya kesepakatan, sedangkan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang
10
11
Arvie Johan, Kesetaraan dan Keseimbangan Sebagai Perwujudan itikad Baik Berlandaskan Pancasila, Jurnal Ilmu
Hukum Volume 14 Nomor 1, 2011, Hal. 133
Pieck, M, A. Study of Significant Aspect of German Contract Law, Annual Survey of International &
Comparative Law, Vol. 3 Issue 1 (7), 1996, Hal. 13
Hukum Perdata menyebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Asas konsensualisme
mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah
cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian
tersebut dan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat atau detik tercapainya
kesepakatan.
c. Asas kekuatan mengikat
Suatu perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan oleh karena itu
para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual yang telah disepakati
bersama. Asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh
para pihak dapat secara sah telah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu. Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata
menentukan bahwa perjanjian-perjanjian yang telah dibuat itu tidak dapat di tarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh
Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
d. Asas kebebasan berkontrak
Para pihak menurut kehendaknya dapat dengan bebas membuat suatu perjanjian dan
setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang dikehendaki. Para pihak
juga bebas menentukan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan
bahwa suatu perjanjian yang dibuat tersebut tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, ketertiban umum ataupun kesusilaan (Pasal 1337
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Asas kebebasan berkontrak ini terkandung
dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
Menurut Durkheim, kebebasan adalah At its root, „liberty itself is the product of
regulation.‟ Regulations may infringe our negative freedom, but such rules are
necessary to build social solidarity. Durkheim appeals to a positive freedom for
contracts to exist by a social and legal standard of fairness. Only a paradigm shift in
legal theory and practice can displace the traditional emphasis on negative freedom
and anti-regulation.12
Kebebasan berkontrak adalah asas yang essensial, baik bagi individu dalam
mengembangkan
diri
dalam
kehidupan
pribadi
maupun
kemasyarakatan.
Didalam asas kebebasan berkontrak
kehidupan
sosial
mengandung unsur-unsur
tertentu yang dapat dijadikan ukuran terpenuhi atau tidaknya asas tersebut dalam
suatu perjanjian, seperti :13
1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat suatu perjanjian.
2) Kebebasan untuk melakukan perjanjian dengan siapapun.
3) Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.
4) Kebebasan untuk menetapkan isi dan cara perjanjian tersebut dilakukan.
5) Kebebasan untuk menyimpangi bentuk undang-undang yang berlaku.
e. Asas keseimbangan
Asas keseimbangan menurut Sri Gambir Melati hatta yang dikutip dari bukunya Agus
Yudha Hernoko adalah suatu kedudukan posisi tawar para pihak dalam menentukan
hak dan kewajibannya dalam perjanjian.14 Agus Yudha memberikan pemahaman
terhadap makna keseimbangan tersebut adalah sebagai keseimbangan posisi para
pihak yang berkontrak dan oleh karena itu dalam hal apabila tidak terjadi
keseimbangan posisi yang dapat menimbulkan gangguan terhadap isi kontrak
diperlukan intervensi otoritas tertentu (pemerintah) untuk menyeimbangkannya.15
Ketidakseimbangan menimbulkan ketidakadilan sehingga perlu intervensi pemerintah
untuk melindungi pihak yang lemah melalui penyeragaman syarat-syarat dalam
perjanjian.16 Asas keseimbangan menurut pendapat dari Herline Budiono yang juga
dikutip dari Agus Yudha Hernoko adalah suatu asas mempunyai makna asas etikal
12
Rosalee Dorfman, The Regulation of Fairness and Duty of Good Faith in English Contract Law: A Relational
Contract Theory Assessment, Leeds Journal of Law & Criminology Vol. 1 No. 1, 2013, Hal. 98-99
13
Fitria Hudaningrum, Hubungan Antara Asas Kebebasan Berkontrak , Pacta Sun Servada dan Itikad Baik, Jurnal
Reporterium Edisi 2 Juli-Desember, Tahun I ISSN : 2355-2646, 2014, Hal. 45
14
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2010, Hal. 28
15
Ibid, Hal. 28
16
A. Yudha Harnoko dan Ika Yunia Ratnawati, Jurnal Hukum Bisnis Volume 1 Nomor 1 Bulan April, ISSN : 2460 0103, 2013, Hal. 03
sebagai suatu keadaan pembagian beban pada kedua sisi berada dalam keadaan
seimbang. Keseimbangan di sini berarti pada satu sisi dibatasi kehendak yang
berdasarkan suatu pertimbangan atau keadaan yang menguntungkan dan pada sisi lain
merupakan suatu keyakinan atau kemampuan.
4. Berakhirnya suatu perjanjian
Berakhirnya suatu perjanjian berbeda dengan hapusnya suatu perikatan, mengenai
hapusnya suatu perjanjian tidak diatur secara tegas didalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata akan tetapi didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya
disebutkan mengenai hapusnya suatu perikatan.
Istilah atau pengertian perjanjian dan perikatan memiliki makna yang berbeda dan
tidak dapat disamakan mengenai pengertiannya. Perjanjian yang telah berakhir belum
tentu membuat perikatannya hapus. Suatu perikatan hapus apabila pokok perikatannya
telah terpenuhi. Hapusnya perikatan diatur dalam pasal 1381 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata memberikan penjelasan bahwa suatu perikatan dapat hapus karena sebabsebab sebagai berikut17 :
a. Pembayaran.
b. Penawaran pembayaran tunai.
c. Pembaharuan hutang.
d. Perjumpaan hutang atau kompensasi.
e. Pencampuran hutang.
f.
Pembebasan hutang, musnahnya barang yang terhutang, kebatalan atau pembatalan.
g. Berlakunya syarat batal.
h. Kadaluwarsa.
Hapusnya
perikatan
belum
tentu
menghapuskan
perjanjian
kecuali
semua
perikatan-perikatan yang ada pada perjanjian tersebut sudah hapus dan dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa jika suatu perjanjian baik sepihak atau timbal balik sudah hapus
maka keseluruhan perikatan didalamnya juga hapus, tetapi apabila sebagian perikatan
17
R. Soeroso, Perjanjian Dibawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan Dan Aplikasi Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010, Hal. 04
dalam perjanjian sudah hapus pada perjanjian timbal balik maka perjanjian tersebut
belum hapus atau berakhir.
Perjanjian dapat dikatakan telah berakhir apabila tujuan dari perjanjian tersebut
telah tercapai dengan terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak yang membuat
perjanjian. Pada saat perjanjian tersebut berakhir atau hapus maka hal tersebut dapat
mengakibatkan hapusnya perikatan dengan kata lain apabila suatu perjanjian hapus
dengan berlaku surut misalnya perjanjian tersebut hapus akibat dari pembatalan yang
disebabkan oleh wanprestasi (Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) maka
semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus dan perikatan tersebut tidak perlu lagi
dipenuhi sehingga apa yang telah dipenuhi harus pula ditiadakan.
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan suatu perjanjian hapus atau berakhir,
yaitu :
a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak atau undang-undang.
b. Undang-undang telah memberikan penetapan tentang batas waktu berlakunya suatu
perjanjian.
c. Ditentukan oleh hakim.
d. Pernyataan menghentikan perjanjian.
e. Tujuan telah tercapai.
f.
Dengan persetujuan para pihak.18
5. Perjanjian baku
a.
Pengertian perjanjian baku
Perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standart
contract. Standart contract merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah
dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan dan telah dituangkan
dalam bentuk formulir.19 Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu
pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Agar perjanjian
standar dapat memberikan pelayanan yang cepat, isi dan syarat perjanjian standar
18
19
Dewi Asmawardhani, “Analisis Asas Konsensualisme Terkait Dengan Kekuatan Pembuktian Perjanjian Jual Beli
Di Bawah Tangan”, dalam Ganec Swara Volume 9 Nomor 1 Maret 2015, Hal. 171
Renny N. Koloay, Suatu Tinjauan Tentang Perjanjian Baku Yang berlaku Dalam Masyarakat, Jurnal Hukum
Unsrat Volume XIX Nomor 4, 2011, Hal. 127
harus diterapkan terlebih dahulu secara tertulis dalam bentuk formulir yang
kemudian digandakan sampai dengan jumlah tertentu sesuai dengan kebutuhan.
Formulir tersebut kemudian ditawarkan kepada para konsumen secara massal, tanpa
memperhatikan perbedaan kondisi mereka satu dengan yang lain.
Dikatakan bersifat ”baku” karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut,
tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya,
Take it or leave it. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini,
cenderung merugikan pihak yang ”kurang dominan” tersebut. Terlebih lagi dengan
sistem pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah
bagi pihak yang cenderung merasa dirugikan tersebut untuk membuktikan tidak
adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut atau atas klausula
baku yang termuat dalam perjanjian yang ada.
Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan bahwa standart contract
merupakan
perjanjian
yang
telah
dibakukan,
yang
ciri-cirinya
adalah
isinya
ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonomisnya) kuat, masyarakat
atau debitor sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian,
terdorong oleh kebutuhan debitur terpaksa menerima perjanjian itu, bentuk tertentu
(tertulis), dipersiapkan secara massal dan kolektif.20
Sutan Remy Sjahdeni merumuskan perjanjian baku adalah perjanjian yang
seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain
pada dasarnya tidak
mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta
perubahan, dengan kata lain yang di bakukan bukan formulir perjanjian tersebut
tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta
notaris, bila dibuat oleh notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil ahli
saja klausul-klausul yang telah di bakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak
lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas
klausul-klausul itu, maka perjanjian yang di buat dengan akta notaris itu pun adalah
juga perjanjian baku. 21
20
21
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, Hal. 285
Sutan Remi Sjahrendi, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian
Kredit, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, Hal. 55
Menurut Hondius dalam Purwahid Patrik menyatakan bahwa syarat-syarat
baku dalam perjanjian adalah syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam
beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tertentu tanpa
merundingkan terlebih dahulu isinya. Syarat baku yang disebutkan umumnya juga
dinyatakan sebagai perjanjian baku, jadi pada asasnya isi dari perjanjian baku adalah
tetap dan tidak dapat dirundingkan lagi.22
Menurut Mr. FAJ, Gras dalam Purwahid Patrik menyatakan secara yuridis
orang yang menandatangani suatu perjanjian baku telah terikat pada isi dari
perjanjian itu meskipun pihak lain tidak mempunyai pilihan. 23
b.
Dasar perjanjian baku
Menurut Asser Ruten dalam Purwahid Patrik, asas-asas perjanjian yang diatur
dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada 3, yaitu24 :
1) Asas Konsensualisme, bahwa perjanjian yang dibuat pada umumnya bukan
secara formal akan tetapi konsensual, artinya perjanjian tersebut selesai karena
persetujuan kehendak atau consensus semata2) Asas kekuatan mengikat perjanjian, bahwa pihak-pihak harus memenuhi apa
yang telah diperjanjikan sesuai dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para
pihak.
3) Asas kebebasan berkontrak, bahwa orang bebas untuk membuat atau tidak
membuat perjanjian,
bebas menentukan isi,
berlakunya dan syarat-syarat
perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas untuk memilih undangundang yang akan dipakai untuk perjanjian itu.
Dari ketiga asas tersebut yang paling penting adalah asas kebebasan berkontrak
dan sesuai dengan pernyataan Asser Ruten bahwa asas kebebasan berkontrak tidak
ditulis dengan kata-kata yang banyak didalam undang-undang akan tetapi seluruh
hukum perdata kita didasarkan padanya. 25
c.
22
Jenis dan karakteristik perjanjian baku
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian Dan undang -Undang,
CV. Mandar Maju, 1994, Hal. 55
23
Ibid, Hal. 03
24
Ibid, Hal. 05
25
Ibid, Hal. 06
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, jenis-jenis perjanjian baku dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu :26
1) Perjanjian baku sepihak, perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pihak yang
kuat kedudukannya didalam perjanjian itu dan pihak yang kuat lazimnya adalah
kreditor, misalnya perjanjian kredit bank.
2) Perjanjian baku timbal balik, perjanjian baku yang isisnya ditentukan oleh kedua
belah pihak, misalnya perjanjian baku antara buruh (debitor) dan majikan
(kreditor) yang terikat dalam suatu organisasi, yaitu pada perjanjian buruh
kolektif.
3) Perjanjian baku yang telah ditetapkan oleh pemerintah, perjanjian baku yang
isinya
ditetapkan
oleh
pemerintah
mengenai
perbuatan-perbuatan
hukum
tertentu, misalnya perjanjian yang berhubungan dengan objek hak atas tanah.
4) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau Advokat, perjanjian
yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan
dari anggota
masyarakat
yang
meminta
bantuan Notaris atau Advokat
bersangkutan.
Karakteristik utama dari kontrak standar atau perjanjian baku, yaitu bahwa kontrakkontrak semacam itu adalah :27
1) Dibuat agar suatu industri atau bisnis dapat melayani transaksi-transaksi tertentu
secara efisien, khususnya untuk digunakan dalam aktivitas transaksional yang
diperkirakan akan berfrekuensi tinggi.
2) Dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang cepat
pembuatnya dan/atau
pihak-pihak yang akan mengikatkan diri di dalamnya.
3) Demi pelayanan yang cepat, sebagian besar atau seluruh persyaratan di
dalamnya ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis dipersiapkan untuk dapat
digandakan dan ditawarkan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.
4) Biasanya isi dan persyaratannya distandarisasi atau dirumuskan
terlebih dahulu
secara sepihak oleh pihak yang berkepentingan dalam memasarkan produk
barang atau jasa tertentu kepada masyarakat.
26
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, Hal.
156
27
https://core.ac.uk/download/files/379/11716142.pdf, diakses pada tanggal 13 Maret 2016
5) Dibuat untuk ditawarkan kepada publik secara massal dan tidak memperhatikan
kondisi dan/atau kebutuhan-kebutuhan khusus dari setiap konsurnen dan karena
itu pihak konsumen hanya perlu menyetujui atau menolak sama sekali seluruh
persyaratan yang ditawarkan.
6. Perjanjian hutang piutang
Hutang piutang merupakan perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang
lainnya dan objek yang diperjanjikan pada umumnya adalah uang., Kedudukan pihak
yang satu sebagai pihak yang memerikan pinjaman dan pihak lain sebagai peminjam
uang. Uang yang dipinjamkan akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu sesuai
dengan apa yang diperjanjikan.
Perjanjian hutang piutang termasuk ke dalam jenis perjanjian pinjam meminjam,
hal ini sebagaimana diatur dalam bab Ketiga Belas Buku Ketiga Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Ketentuan dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyebutkan, pinjam meminjam adalah perjanjian yang dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang-barang menghabis karena
pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang meminjam akan mengembalikan sejumlah
yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Objek perjanjian pinjam meminjam dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata berupa barang-barang yang habis karena pemakaian seperti buah-buahan,
minyak tanah, pupuk, cat dan kapur. Uang juga dapat dikatakan sebagai objek dalam
perjanjian ini karena uang termasuk barang habis pakai dilihat dari fungsinya sebagai alat
tukar dan akan habis karena dipakai. Pihak peminjam dalam perjanjian pinjam meminjam
akan mengembalikan barang yang dipinjam dalam jumlah dan keadaan yang sama dan
apabila uang sebagai objek pinjaman, maka peminjam harus mengembalikan uang
dengan nilai yang sma dan uangnya dapat dibelanjakan.
Pasal 1756 mengatur tentang hutang yang terjadi karena peminjaman uang yang
merupakan
bagian
tak
terpisahkan dari suatu perjanjian.
Dalam pasal tersebut
menyatakan bahwa dalam hal peminjam uang, hutang yang terjadi karenanya hanyalah
terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian, jika sebelum saat pelunasan
terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau adanya perubahan mengenai
berlakunya mata uang maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dengan
mata uang yang sama.
a. Bunga dalam hutang piutang
Sesuai asas kebebasan berkontrak dan juga asas konsensualisme, mengenai
keberadaan bunga dan besarnya bunga diserahkan kepada para pihak yang
mengadakan perjanjian. Dalam ketentuan Pasal 1765 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
mengenai
bunga
dalam
hal
pinjam
meminjam
menegaskan
bahwa
diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang yang artinya bunga
boleh diperjanjikan atau sebaliknya tidak diperjanjikan juga tidak mengapa. Bunga
yang diperjanjikan dalam hutang piutang biasanya pihak kreditor yang menentukan
besarnya bunga yang akan diberikan kepada debitor dan harus dilaksanakan. Bunga
yang tidak diperjanjikan tidak mewajibkan debitor untuk membayarnya, akan tetapi
jika debitor membayar bunga yang tidak diperjanjikan menurut ketentuan Pasal 1766
Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat menuntutnya kembali
ataupun mengurangi hutang pokoknya dan sebaliknya bunga yang telah diperjanjikan
mewajibkan debitor membayar sampai pada pengembalian hutang pokoknya lunas.
Pada pokoknya ada 2 macam bunga yang diatur didalam Pasal 1762 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu bunga menurut undang-undang yang dikenal
dengan bunga moratoir dan bunga yang telah diperjanjikan.
b. Kewajiban para pihak
Uraian dibawah ini membahas tentang kewajiban para pihak dalam hutang
piutang28 .
1) Kewajiban penanggung
Perjanjian hutang piutang sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata kewajiban bagi penanggung tidak banyak diatur, pada pokoknya
penanggung memiliki kewajiban menyerahkan unag yang dipinjamkannya kepada
tertanggung setelah terjadinya perjanjian. Pasal 1759 hingga Pasal 1761 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan sebagai berikut :
28
Gatot Supramono, Perjanjian Hutang Piutang, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, Hal. 29-31
a) Uang yang telah diserahkan kepada penanggung sebagai pinjaman sebelum
lewat waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian tidak dapat diminta
kembali oleh penanggung.
b) Apabila dalam perjanjian hutang piutang tidak ditentukan jangka waktu dan
penanggung menuntut pengembalian hutang cara yang dilakukan adalah
dengan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan dan berdasarkan Pasal
1760 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hakim diberi kewenangan untuk
menetapkan jangka waktu pengembalian hutang dengan mempertimbangkan
keadaan
tertanggung
serta
memberikan
kelonggaran
kepadanya
untuk
tertanggung
akan
membayar hutang.
c) Apabila
dalam
mengembalikan
perjanjian
hutang
tersebut
setelah
ditentukan
tertanggung
pihak
mampu
membayarnya,
penanggung juga harus menuntut pengembalian hutang melalui pengadilan
dan hakim setelah mempertimbangkan keadaan tertanggung akan menentukan
waktu pengembalian tersebut (Pasal 1761 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata).
2) Kewajiban tertanggung
Kewajiban debitor dalam perjanjian hutang piutang sebenarnya tidak banyak,
pada pokoknya tertanggung diwajibkan mengembalikan hutang dalam jumlah
yang sama disertai dengan pembayaran bunga yang telah diperjanjikan dan dalam
jangka waktu yang telah ditentukan (Pasal 1763 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata).
B. Tinjauan tentang jaminan
1. Pengertian jaminan dan hukum jaminan
Pengertian Secara umum jaminan adalah merupakan suatu penyerahan kekayaan
atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu
hutang dan suatu jaminan mengandung adanya kekayaan (materiil) maupun pernyataan
kesanggupan (immaterial) yang dapat dijadikan sumber pelunasan utang.
Ketentuan dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mennyatakan
bahwa jaminan adalah segala kebendaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada ataupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi
tanggungan terhadap segala perikatan perseorangan.
Jaminan berfungsi untuk menjamin keamanan dan kelangsungan modal serta untuk
memberikan kepastian hukum bagi kreditor, dalam hal orang yang berhutang tidak dapat
melakukan kewajibannya atau wanprestasi maka kreditor dapat mengambil kembali uang
yang dipinjamkan kepada debitor dengan menjual barang yang telah dijaminkan sehingga
kreditor mendapat kepastian tentang pengembalian uang yang telah dipinjamkan kepada
debitor, selain itu juga kreditor yang mempunyai jaminan akan mempunyai kedudukan
sebagai kreditor konkuren yang harus didahulukan pembayaran hutangnya daripada
kreditor lain. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1133 ayat (1) dan 1134 ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa hal untuk didahulukan diantara
orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa dari gadai dan hipotik.
Pengertian jaminan menurut M. Bahsan adalah segala sesuatu yang diterima
kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu hutang piutang di dalam kehidupan
masyarakat29 .
Mariam
Darus
Badrulzaman
merumuskan
jaminan
sebagai
suatu
tanggungan yang diberikan oleh seorang debitor atau pihak ketiga kepada kreditor untuk
menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan30 . Pengertian jaminan menurut Hartono
Hadisoeprapto yang dikutip oleh Salim adalah segala sesuatu yang diberikan kepada
kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan31 .
Dari beberapa pengertian jaminan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa jaminan
adalah :
a. Segala sesuatu Difokuskan kepada pemenuhan kewajiban kepada kreditor.
b. Wujud jaminan ini dapat dinilai dengan uang (jaminan Materiil).
c. Timbulnya jaminan karena adanya perikatan antara kreditor dengan debitor.
Pengertian hukum jaminan menurut J. Satrio adalah peraturan hukum yang
mengatur
29
tentang
jaminan
piutang
seorang
kreditor
terhadap
seorang debitor. 32
, M. Bahsan, Hukum Jaminan Dan jaminan Kredit Perbankan Indonesia , Cetakan Ketiga, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2012, Hal. 03
30
Mariam Darus Badrulzaman, Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Hukum Bisnis Volume 11, 2000, Hal. 12
31
Salim, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia , Cetakan Ketujuh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014,
Hal. 22
32
J. Satrio, Hukum Jaminan, hak -Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, 2002, Hal. 03
Pengertian hukum jaminan yang dikutip dari Maria Handayani menurut Sri Soedewi
Masjhoen
Sofwan
adalah
hukum
yang
mengatur
konstruksi
yuridis
sehingga
memungkinkan pemberian fasilitas kredit dengan cara menjaminkan benda-benda yang
dibelinya
sebagai jaminan33 .
Peraturan
demikian
harus
cukup
menyakinkan dan
memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembga kredit, baik dari dalam negeri
maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus
dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar dengan jangka waktu lama
dan bunga yang relatif rendah.
Pendapat Sri Soedewi Masjhoen Sofwan ini merupakan suatu konsep yuridis yang
berkaitan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
jaminan pada masa yang akan datang, sedangkan saat ini telah dibuat berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan jaminan.
34
Dari pendapat diatas dapat ditarik benang merah bahwa hukum jaminan adalah
peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jamianan dengan
penerima jaminan dengan menjaminkan benda- benda sebagai jaminan. Unsur–unsur
yang tercantum dalam suatu jaminan berdasarkan dari defenisi atau pengertian jaminan
dari para ahli hukum atau pakar hukum di atas tersebut adalah adanya kaidah hukum,
adanya pemberi dan penerima kuasa, adanya jaminan dan adanya fasilitas kredit.
2. Fungsi dan sifat Jaminan
Fungsi jaminan secara yuridis adalah memberikan kepastian hukum pelunasan
suatu hutang didalam perjanjian hutang piutang atau kepastian realisasi suatu prestasi
dalam perjanjian dengan mengadakan perjanjian penjaminan melalui lembaga-lembaga
jaminan yang dikenal oleh hukum di Indonesia.
Fungsi jaminan dalam pemberian kredit menurut M. Bahsan adalah :35
33
34
35
Maria Handayani, Kajian Hukum Tentang Jaminan Perorangan Terhadap Pemberian Kredit Di PT. Bank
Danamon Indonesia, Tbk Cabang Semarang, Tesis Megister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 2007, Hal. 29
Salim, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Cetakan Ketujuh, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014,
Hal. 05
M. Bahsan, Hukum Jaminan Dan jaminan Kredit Perbankan Indonesia , Cetakan Ketiga, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2012, Hal. 102-105
a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dengan
barang-barang jaminan tersebut bilamana nasabah melakukan cidera janji yaitu tidak
membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
b. Menjamin agar nasabah berperan serta didalam transaksi untuk membiayai usaha atau
proyeknya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan
merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau diperkecil.
c. Memberikan dorongan kepada debitor untuk memenuhi perjanjian kredit khususnya
mengenai pembayaran kembali pelunasan sesuai dengan syarat-syarat yang telah
disetujui agar tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.
Fungsi jaminan kredit atau disebut sebagai Principal Functions of Collateral
menurut Douglas W. Arner antara lain adalah :36
1.
Mitigation of substitution in credit risk for a potential financier.
2.
Change in capital asset use to make financing available.
3.
Signal credit risk strengths or borrower status.
4.
Signal risk or bargaining weaknesses.
5.
Facilitate credit substitution.
6.
Effect on costs and information for credit creation.
7.
Provide financiers with known credit risks.
8.
Encourage contractual compliance by collateral provider
Jaminan yang ideal menurut subekti adalah37 :
a. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukan.
b. Tidak melemahkan potensi penerima kredit untuk melakukan atau meneruskan
usahanya.
c. Memberikan kepastian kepada kreditor dalam arti mudah diuangkan untuk melunasi
hutang debitor.
Subekti menyimpulkan bahwa fungsi dari jaminan adalah :38
a. Memberikan
kepastian
hukum kepada
kreditor
dan
debitor.
Pihak
kreditor
mendapatkan kepastian hukum tentang pengembalian pokok kredit bersama bunganya
36
Douglas W. Arner, Property Rights, Collateral, Creditor Rights, and Insolvency in East Asia, Texas
International Law Journals Volume 42 No. 515, 2007, Hal. 527
37
Subekti, Jaminan Kredit Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Di Indonesia , Citra Aditya bakti, Bandung,
2001, Hal. 29
38
Ibid, Hal, 30
dan pihak debitor mendapatkan kepastian hukum untuk membayar kembali pokok
kredit beserta bunganya.
b. Untuk memberikan kemudahan dalam memperoleh kredit bagi debitor.
c. Memberikan
keamanan
terhadap
suatu
perjanjian
hutang piutang yang telah
disepakati bersama. Pengertian kepentingan keamanan disini dapat diartikan sebagai :
Security is created where a person („the creditor‟) to whom an obligation is owed by
another („the debtor‟) by statute or contract, in addition to the personal promise of
the debtor to discharge the obligation, obtains rights exercisable against some
property in which the debtor has an interest in order to enforce the discharge of the
debtor‟s obligation to the creditor.39
Adapun sifat hak-hak jaminan dalam praktek perbankan adalah bersifat hak
kebendaan dan hak perorangan, yang tergolong kedalam jaminan yang bersifat hak
kebendaan Hipotik, gadai dan fidusia sedangkan yang tergolong kedalam jaminan yang
bersifat
hak
perorangan
adalah
perjanjian
penanggungan,
perutangan
tanggung
menanggung, perjanjian garansi dan lain sebagainya.
Hak
kebendaan
memberikan
kekuasaan yang langsung terhadap
bendanya,
sedangkan hak perorangan menimbulkan hubungan langsung antara perorangan yang satu
dengan yang lainnya. Tujuan dari jaminan yang bersifat kebendaan adalah memberikan
hak untuk meminta pemenuhan piutangnya kepada kreditor terhadap hasil penjualan
benda-benda tertentu dari debitor untuk memperoleh pemenuhan dari piutangnya. Ciri
khas dari jaminan yang bersifat kebendaan ini adalah dapat dipertahankan atau diminta
pemenuhannya terhadap siapapun juga, yaitu terhadap perolehan hak baik berdasarkan
atas hak yang umum maupun khusus dan juga terhadap kreditor dan pihak lawannya. Hak
tersebut selalu mengikuti bendanya (droit de suite) dalam artian bahwa yang mengikuti
bendanya itu tidak hanya haknya tetapi juga kewenangan untuk menjual benda dan
eksekusi.
3. Jaminan khusus
39
Tan Cheng Han, Quasi-Security Interests in Loan Agreements: An Overview, National University of Singapore
(NUS) - Faculty of Law, Singapore Academy of Law Journal, Vol. 5, No. 2 ISSN: 0218-2009, 1993, Hal.
170
Jaminan khusus adalah suatu bentuk jaminan yang dibentuk untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan yang ada pada jaminan umum, Undang-undang memungkinkan
diadakannya jaminan khusus. Hal ini tersirat dari Pasal 1132 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dalam kalimat kecuali diantara para kreditor ada alasan-alasan yang sah
untuk didahulukan, dengan demikian Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mempunyai sifat yang mengatur (aanvullendrecht) karena para pihak diberi kesempatan
untuk membuat perjanjian yang menyimpang, dengan kata lain terdapat kreditor yang
diberikan kedudukan yang lebih didahulukan dalam pelunasan hutangnya dibanding
kreditor lainnya.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1133 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
memberikan pernyataan yang lebih tegas yaitu hak untuk didahulukan diantara orangorang berpiutang terbit dari hak istimewa dari gadai dan dari hipotik, oleh karena itu
alasan untuk didahulukan dapat terjadi karena ketentuan undang-undang dan dapat juga
terjadi karena diperjanjikan antara debitor dan kreditor.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang yang terdapat dalam Pasal 1134 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tentang hutang piutang yang didahulukan yang disebut
privilege, sedangkan yang terjadi karena perjanjian dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu
kreditor dapat meminta benda tertentu milik debitor untuk dijadikan sebagai jaminan
hutang atau kreditor meminta bantuan pihak ketiga untuk menggantikan kedudukan
debitor membayar hutang-hutang debitor kepada kreditor apabila debitor lalai dalam
membayar hutangnya atau wanprestasi. Jaminan dengan cara-cara tersebut diatas dikenal
sebagai jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan dijaminkan
melalui gadai, fidusia, hipotik dan hak tanggungan, sedangkan jaminan perorangan dapat
dilakukan dapat dilakukan melalui perjanjian penanggungan misalnya borgtocht, garansi,
dan lain-lain. Jaminan gadai, fidusia dan hipotik mempunyai kelebihan masing-masing
yang mana kelebihan tersebut adalah “As a preliminary working definition it may be
stated that fiducia. Indicated the transfer of ownership to the creditor, who generally but
not always retained possession as well; pignus indicated the retention of ownership by
the debtor, but the transfer of possession to the creditor and hypotheca indicated the
retention of both ownership and possession by the debtor, but with the creation of a
possessory interest in the creditor”.40
4. Jaminan kebendaan
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang memberikan kepada kreditor atas suatu
kebendaan milik debitor hak untuk memanfaatkan benda tersebut jika debitor melakukan
wanprestasi. Benda debitor yang dijaminkan dapat berupa benda bergerak atau benda
tidak bergerak.
Benda bergerak dapat dijaminkan dengan gadai dan fidusia, sedangkan untuk benda
tidak bergerak, setelah berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan
Tanah hanya dapat dibebankan dengan hipotik atas kapal laut dengan bobot 20 m3 atau
lebih dan pesawat terbang serta helikopter, sedangkan untuk tanah beserta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah dapat dibebankan dengan hak tanggungan.
Apabila yang dijaminkan adalah benda bergerak tidak berwujud maka lembaga
jaminan yang dapat digunakan adalah gadai dan fidusia. Pada benda yang dijaminkan
dengan jaminan fidusia, benda tersebut harus didaftarkan pada Kantor Pendaftaran
Fidusia karena berdasarkan Pasal 10 Ayat (1) dan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, benda yang dibebani dengan jaminan
fidusia wajib didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Pendaftaran pada Kantor Pendaftaran Fidusia berkaitan erat dengan lahirnya
jaminan fidusia karena berdasarkan Pasal 14 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia, lahirnya jaminan fidusia adalah pada tanggal jaminan
fidusia dicatat dalam Buku Daftar Fidusia sehingga apabila suatu benda tidak dapat
didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sama saja dengan tidak terjadi/muncul
suatu jaminan fidusia. Pada saat dimana debitor melakukan wanprestasi maka dalam
jaminan kebendaan, kreditor mempunyai hak didahulukan (preferent) dalam pemenuhan
piutangnya diantara kreditor-kreditor lainnya dari hasil penjualan harta benda milik
debitor. Ciri-ciri dari jaminan kebendaan ini adalah sebagai berikut :
40
Roger B Goebel, Reconstruction The Roman Law Of Real Security, Fordham University School Of Law, Tulane
Law Review Volume 29, 1961, Hal. 29
1) Merupakan hak mutlak (absolute) atas suatu benda.
2) Kreditor mempunyai hubungan langsung dengan benda-benda tertentu milik kreditor.
3) Dapat dipertahankan terhadap tuntutan oleh siapapun.
4) Selalu mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada (droit de suit).
5) Mengandung asas prioritas, yaitu hak kebendaan yang lebih dahulu terjadi akan lebih
diutamakan daripada yang terjadi kemudian (droit de preference).
6) Dapat diperalihkan seperti hipotik.
7) Bersifat perjanjian tambahan (accessoir).
5. Benda-benda sebagai jaminan kebendaan
Ketentuan dalam Pasal 500 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa segala apa yang karena hukum perlekatan termasuk dalam sesuatu kebendaan,
seperti pun segala hasil dari kebendaan itu, baik hasil karena alam maupun hasil karena
pekerjaan orang, selama yang akhir-akhir ini melekat pada kebendaan itu laksana dahan
dan akar terpaut pada tanahnya, kesemuanya itu adalah bagian dari kebendaan tadi,
selanjutnya dalam Pasal 501 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa
dengan tak mengurangi ketentuan-ketentuan istimewa menurut Undang-undang atau
karena perjanjian tiap-tiap hasil perdata adalah bagian dari sesuatu kebendaan, jika dan
selama hasil itu belom dapat ditagih, selain itu dalam Pasal 502 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menyatakan yang dinamakn hasil karena alam adalah segala apa yang
tumbuh timbul dari tanah sendiri dan segala apa yang merupakan hasil dari atau
dilahirkan oleh binatang-binatang. Hasil karena pekerjaan orang yang ditarik dari tanah
adalah apa yang diperoleh karena penanaman di atasnya, yang dinamakan hasil perdata
adalah uang sewa, uang upeti, uang angsuran dan uang bunga.
Berdasarkan ketentuan dari Pasal 500,501 dan 502 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tersebut kebendaan dapat diartikan dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti
sempit, kebendaan itu hanya barang (kebendaan berwujud) dan dalam arti luas,
kebendaan meliputi atas barang (benda berwujud) dan hak (benda tidak berwujud).
Pengertian benda tidak berwujud dapat diartikan dalam arti sempit dan dalam arti luas.
Dalam arti sempit, kebendaan berwujud itu adalah benda yang dapat diraba, dipegang
atau yang dapat dilihat sedangkan dalam arti luas pengertian kebendaan berwujud itu
meliputi kebendaan berwujud dalam arti sempit dan bagian dari kebendaan (harta
kekayaan) yang karena hukum perlekatan menjadi bagian dari kebendaan itu, yaitu
berupa benda berwujud (Pasal 500 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yang timbul
dari hasil karena alam (Pasal 502 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yaitu Tumbuh
timbul dari tanah sendiri seperti buah-buahan yang berasal dari pohon dan hasil atau
dilahirkan dari binatang-binatang seperti telur ular, sapi atau anak dari binatang yang
melahirkan dan hasil pekerjaan manusia yang diperoleh karena penanaman di atasnya
(Pasal 502 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Benda tidak berwujud yang
timbul dari hubungan hukum tertentu atau hasil perdata yang terdiri dari piutang-piutang
(penagihan) yang belum dapat ditagih (Pasal 501 Kitab Undang Undang Hukum Perdata)
berupa piutang atas nama, piutang atas bawa atau piutang atas tunjuk dan penagihanpenagihan lainnya (Pasal 502 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) berupa
uang sewa, uang upeti atau uang bunga.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan benda dalam beberapa cara.
Pertama benda dibedakan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak, yang kedua
benda berwujud (bertubuh) dan benda tidak berwujud (tak bertubuh) dan selanjutnya
benda yang dapat dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan. Menurut Pasal 504 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata benda dapat dibedakan menjadi benda bergerak dan
benda tidak bergerak yang dibedakan lagi menjadi :
1) Benda tidak bergerak karena sifatnya (Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata) yaitu tanah, bangunan, pohon-pohon, kekayaan alam yang ada di bumi dan
barang-barang yang tidak dapat terpisah dari tanah dan bangunan41 .
2) Benda tidak bergerak karena terdapat tujuan dalam menggolongkan benda tersebut
(Pasal 507 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yaitu segala macam peralatan
yang diperuntukkan bagi pabrik atau pertukangan besi.
3) Benda tidak bergerak karena undang-undang mengaturnya (Pasal 508 Kitab UndangUndang Hukum Perdata) yaitu hak penggunaan hasil dari benda itu, hak servitut, hak
postal dan segala macam tuntutan hukum untuk menuntut kembali suatu barang tak
bergerak.
41
Kansil, Christine S.T Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk asas-asas Hukum Perdata, Cetakan Kelima, PT.
Pradnya Paramita, 2006, Hal. 160
4) Benda bergerak karena sifatnya (Pasal 509 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
yaitu benda-benda yang dapat berpindah atau dipindahkan seperti meja, kursi dan
kendaraan bermotor.
42
5) Benda bergerak karena ketentuan Undang-undang (Pasal 511 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata) yaitu :
a) Hak pakai hasil dan hak pakai atas kebendaan bergerak.
b) Hak atas bunga-bunga yang dijanjikan, baik bunga yang diabadikan maupun
bunga cagak hidup.
c) Perikatan-perikatan dan tuntutan-tuntutan mengenai jumlah uang yang dapat
ditagih atau yang mengenai benda bergerak.
d) Sero-sero atau andil-andil dalam persekutuan perdagangan uang, persekutuan
dagang
atau
persekutuan perusahaan,
sekalipun benda-benda persekutuan
tersebut dan perusahaan itu merupakan kebendaan tidak bergerak.
e) Andil dalam perutangan atas beban Negara Indonesia, baik andil-andil karena
pendaftaran dalam buku besar maupun sertifikat-sertifikat, surat-surat pengakuan
hutang, obligasi atau surat-surat lain yang berharga beserta kupon-kupon atau
surat tanda bunga yang termasuk didalamnya.
f)
Sero-sero atau kupon obligasi dalam perutangan lain, termasuk juga perutangan
yang dilakukan Negara-negara asing.
Pembagian benda bergerak dan benda tidak bergerak memiliki arti yang penting
dalam menentukan jenis lembaga jaminan mana yang dapat digunakan untuk pengikatan
perjanjian hutang piutang. Jika benda jaminan berupa benda bergerak maka dapat
digunakan lembaga jaminan gadai dan fidusia, sedangkan jika benda jaminan merupakan
benda tidak bergerak maka lembaga jaminannya adalah hipotik atau hak tanggungan.
Pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak penting untuk penguasaan (bezit),
pembebanan (bezwaring) dan kadaluwarsa (verjaring) serta penyerahan (levering).
Mengenai benda bergerak, Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menentukan bahwa tiap kebendaan bergerak adalah dapat dihabiskan atau tidak dapat
dihabiskan, kebendaan dikatakan dapat dihabiskan bilaman karena dipakai menjadi habis,
42
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Kebendaan Pada Umumnya, Cetakan kedua, Prenada Media, 2003, Hal. 126
selain benda bergerak dan tidak bergerak serta benda habis pakai, didalam ketentuan
Pasal 503 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga membagi benda menjadi :
1) Benda yang berwujud, adalah segala sesuatu yang dapat diraba oleh panca indera
seperti rumah dan kendaraan bermotor.
2) Benda tak berwujud, adalah semacam hak seperti hak cipta dan hak paten.
Pembedaan kebendaan berwujud dan tidak berwujud penting berkaitan dengan
penyerahan dan cara mengadakannya yang berbeda. Penyerahan kebendaan bergerak
yang berwujud cukup dilakukan dengan penyerahan yang nyata dari tangan ke tangan
sedangkan penyerahan kebendaan tidak bergerak yang berwujud dilakukan dengan balik
nama dalam register umum sebagaimana diatur dalam Pasal 612 dan 616 Kitab UndangUndang Hukum Perdata.
C. Tinjauan tentang perjanjian asuransi jiwa
1) Pengertian Asuransi
Istilah
asuransi
menurut
pengertian
riilnya
adalah
iuran
bersama
untuk
meringankan beban individu jika beban tersebut menghancurkannya. Konsep asuransi
sederhana dan umum adalah suatu persediaan yang dipersiapkan oleh sekelompok orang
yang memiliki kemungkinan untuk tertimpa kerugian yang berguna untuk menghadapi
kejadian yang tidak dapat diramalkan sehingga apabila pada saat kerugian tersebut
menimpa salah seorang diantara mereka maka beban kerugian tersebut akan disebarkan
ke seluruh kelompok.43
Pengertian asuransi menurut G. Gopala Khrisna adalah Insurance means the act of
securing the payment of a sum of money in the event of loss or damage to property, life, a
person etc., by regular payment of premiums. Insurance is a method of spreading over a
large number of persons a possible financial loss too serious to be conveniently borne by
an individual. The aim of all insu rance is to protect the owner from a variety of risks
which he anticipates. The happening of the specified event must involve.44
Menurut
ketentuan
Pasal
246
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Dagang
pertanggungan adalah perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada
43
44
Erlina, Cover Note Dan Polis Sebagai Alat Bukti Perjanjian Asuransi, Jurispudentie, Volume 1 Nomor 1, Hal. 53
G. Gopala Khrisna, Essentials and Legalities of an Insurance Contract, The ICFAI University Journal of Insurance
law Volume VI No. 4, 2008, Hal. 06
tertanggung dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena
kerugian,
kerusakan
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin
dideritanya akibat suatu evenemen.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian, pengertian dari asuransi adalah perjanjian antara 2 pihak, yaitu
perusahaan asuransi dan pemegang polis yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh
perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk :
1.
Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis atas kerugian,
kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena
terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
2.
Memberikan suatu pembayaran yang didasarkan kepada meninggalnya tertanggung
atau yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya
telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas dapat diuraikan unsur-unsur dari
asuransi atau pertanggungan adalah :45
a.
Adanya para pihak yaitu penanggung dan tertanggung
b.
Status pihak-pihak.
c.
Adanya objek dari asuransi yang diperjanjikan.
d.
Terdapatnya peristiwa asuransi.
e.
Adanya hubungan asuransi.
2) Terjadinya perjanjian asuransi
Asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian, maka didalamnya paling
sedikit terdapat dua pihak yang mengadakan kesepakatan. Pihak yang satu adalah pihak
yang mengalihkan risiko kepada pihak lain, yang disebut dengan tertanggung, sedangkan
pihak yang lain adalah pihak yang menerima risiko dari pihak tertanggung yang disebut
dengan penanggung yaitu perusahaan asuransi.
Perjanjian
asuransi terjadi seketika
setelah
tercapainya
kesepakatan
antara
tertanggung dan penanggung, hak dan kewajiban timbal balik timbul sejak saat itu,
45
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015 Hal. 08-11
bahkan sebelum polis ditandatangani (Pasal 257 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang. Asuransi tersebut harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut
polis (Pasal 255 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Polis ini adalah merupakan
bukti tertulis untuk membuktikan bahwa perjanjian asuransi itu telah terjadi. (Pasal 258
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)46 .
Ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan tadi dapat dipahami apabila sejak saat
terjadinya asuransi sampai dengan saat diserahkannya polis yang sudah ditandatangani
tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian tidak ada persoalan apa-apa, akan
tetapi jika setelah terjadi asuransi belum sempat dibuatkan polisnya atau walaupun sudah
dibuatkan polisnya tapi belum ditandatangani atau walaupun sudah ditandatangani tapi
belum diserahkan kepada tertanggung dan kemudian terjadi evenemen yang menimbulkan
kerugian bagi tertanggung sangatlah sulit untuk membuktikan bahwa telah terjadi
asuransi karena pembuktiannya harus secara tertulis berupa akta yang disebut polis.
Dalam Pasal 257 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyebutkan bahwa
walaupun belum dibuatkan polis, asuransi sudah terjadi sejak tercapainya kesepakatan
antara tertanggung dan penanggung47 . Ketentuan dalam pasal tersebut memberikan
pengertian bahwa perjanjian asuransi ini bersifat konsensual walaupun kemudian harus
dibuat secara tertulis dalam bentuk polis. Hak dan kewajiban tertanggung dan
penanggung timbul sejak adanya kesepakatan.
Kesepakatan memerlukan suatu pembuktian, untuk membuktikan telah terjadinya
kesepakatan
antara
tertanggung
dan
penanggung
Undang-undang
mengharuskan
pembuktian dengan alat bukti tertulis berupa akta yang disebut polis. Apabila polis belum
dibuat maka pembuktian dapat dilakukan dengan emnggunakan nota, catatan, surat
perhitungan, telegram dan sebagainya. Surat-surat ini disebut permulaan bukti tertulis
(the beginning of writing evidence). Apabila permulaan bukti tertulis ini sudah ada
barulah dapat digunakan alat bukti biasa yang diatur dalam Pasal 258 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Pada saat kesepakatan antara tertanggung dan penanggung sudah dapat dibuktikan
dan kemudian timbul suatu perselisihan tentang syarat-syarat khusus dan janji-janji
46
47
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya bakti, 2006, Hal. 55
Erlina, Cover Note Dan Polis Sebagai Alat Bukti Perjanjian Asuransi, Jurispudentie, Volume 1 Nomor 1Juli 2014,
Hal. 57
khusus asuransi, maka yang demikian ini boleh dibuktikan dengan menggunakan segala
alat bukti. Suatu pembuktian syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus asuransi yang
menurut Undang-undang diancam batal jika tidak dimuat didalam polis harus dibuktikan
secara tertulis (Pasal 258 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
Syarat-syarat khusus yang dimaksud dalam Pasal 258 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang adalah mengenai esensi (inti dari isi) perjanjian asuransi yang telah
dibuat itu terutama mengenai realisasi hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung
seperti48 :
a. Penyebab timbulnya kerugian.
b. Pembayaran premi oleh tertanggung.
c. Klausal-klausal tertentu.
Perjanjian dalam asuransi merupakan perjanjian dengan ciri dan sifat khusus, jika
dibandingkan dengan perjanjian lainnya. Kekhususan tersebut antara lain49 :
a. Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat aleatair (aleatary), maksudnya
ialah bahwa perjanjian ini merupakan perjanjian yang prestasi penanggung harus
digantungkan pada suatu peristiwa yang belum pasti, sedangkan prestasi tertanggung
sudah
pasti dan
meskipun
tertanggung
sudah
memenuhi prestasinya
dengan
sempurna, pihak penanggung belum pasti berprestasi dengan nyata.
b. Perjanjian asuransi adalah perjanjian bersyarat (conditional), maksudnya adalah
bahwa perjanjian ini merupakan suatu perjanjian yang prestasi penanggung hanya
akan terlaksana apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian dipenuhi.
Pihak tertanggung pada suatu sisi tidak berjanji untuk memenuhi syarat, tetapi ia tidak
dapat memaksa penanggung melaksanakan, kecuali dipenuhi syarat-syaratnya.
c. Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat pribadi (personal), maksudnya
ialah bahwa kerugian yang timbul harus merupakan kerugian orang perorangan,
secara pribadi, bukan kerugian kolektif ataupun kerugian masyarakat luas. Kerugian
yang bersifat pribadi itulah yang nantinya akan diganti oleh penanggung.
d. Perjanjian
asuransi adalah
perjanjian
yang
melekat
pada
syarat penanggung
(adhesion), karena di dalam perjanjian asuransi pada hakikatnya syarat dan kondisi
48
49
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya bakti, 2006, Hal. 57
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi Dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal. 92
perjanjian hamper seluruhnya ditentukan diciptakan oleh penanggung /perusahaan
asuransi sendiri, dan bukan karena adanya kata sepakat yang murni atau menawar.
Oleh karena itu dapat dianggap bahwa kondisi perjanjian asuransi sebagian besar
ditentukan
sepihak
oleh
penanggung
sehingga
penanggung
dianggap
sebagai
penyusun perjanjian dan seharusnya mengetahui apabila timbul pengertian yang tidak
jelas, harus diuntungkan pihak tertanggung.
Diluar sifat yang terkandung dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang, ada beberapa sifat lain yang diatur oleh beberapa pasal dalam Kitab UndangUndang Hukum Dagang, yaitu :
1. Bahwa perjanjian asuransi itu adalah suatu perjanjian konsensual yang berarti dapat
diadakan hanya berdasarkan kata sepakat antara para pihak-pihak.
2. Bahwa dalam perjanjian asuransi itu unsur “utmost good faith” memegang peranan
penting sekali. Unsur utmost good faith yang dengan kata lain dapat disebut dengan
itikad baik yang sebenarbenarnya, merupakan asas dari semua perjanjian.
3. Bahwa di dalam perjanjian asuransi itu pada tertanggung harus melekat sifat sebagai
orang yang mempunyai kepentingan (interest) atas peristiwa yang tidak tentu artinya
sebagai akibat dari peristiwa itu dia dapat menderita kerugian.
3) Pengertian perjanjian asuransi jiwa
Pengaturan tentang asuransi jiwa terdapat dalam Pasal 302 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang yang menyebutkan bahwa jiwa seseorang dapat, guna keperluan seorang
yang berkepentingan, dipertanggungkan baik untuk selama hidup jiwanya itu, baik untuk
suatu waktu yang ditetapkan dalam perjanjian50 . Asuransi jiwa merupakan bentuk konkrit
dari asuransi sejumlah uang, yang artinya si penjamin berjanji memberikan uang yang
jumlahnya sudah di tentukan sebelumnya dengan tidak disandarkan pada suatu kerugian
tertentu, sedangkan arti dari kata asuransi dalam bahasa belanda disebut “Verzekering”
yang berarti pertanggungan. Dalam suatu pertanggungan jiwa terdapat 2 pihak,
yaitu
pihak
(uang
penanggung
pertanggungan)
50
yang
apabila
bersedia
sampai
habis
membayar
sejumlah
masa
pertanggungan
uang
jaminan
(perjanjian
asuransi
Hilda Yunita Sabrie, Pembayaran klaim Asuransi Jiwa Akibat Tertanggung Bunuh Diri (PT. Asuransi Jiwa
Manulife Indonesia), Yuridika : Volume 26 Nomor 01 Januari-April 2011, Hal. 36
jiwa)tertanggung tidak meninggal dunia atau sakit, pihak pemegang (pengambil asuransi)
yang berkewajiban untuk membayar sejumlah uang (premi) kepada pihak penanggung.
Definisi dari asuransi atau pertanggungan jiwa menurut purwosutjipto H.M.N
Purwosutjipto yang dikutip oleh Abdul Kadir Muhammad adalah perjanjian timbal balik
antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung dengan mana penutup asuransi
mengikatkan diri
selama jalannya pertanggungan sebagai akibat langsung meninggalnya
orang yang jiwanya di pertanggungkan, telah lampaunya suatu jangka
waktu
yang
diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang
yang ditunjuk oleh penutup asuransi sebagai penikmat.51
Beberapa pengertian asuransi jiwa adalah sebagai berikut :52
1.
Life insurance contract is a contract whereby a person (insurer) agrees for a
consideration (that is payment of a sum of money) or a periodical payment, called
the premium to pay to another (insured or his estates) a stated sum of money on
happening of an event dependent on human life.
2.
Life insurance is a contract to pay a certain sum of money on the death of a person
in consideration of the due payment of a certain annuity for his life calculated
according to the probable duration of life.
3.
Life insurance is a contract in which one party agrees to pay a given sum of money
upon the happening of a particular event contingent upon the duration of human
life in consideration of immediate payment of a smaller sum or other equivalent
periodical payments by the other.
4.
A life insurance policy promises that the insurer will pay to the policy holder a
certain sum of money if the person insured dies or any other specified contingency
happens.
Pengertian asuransi jiwa tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang perasuransian ini, akan tetapi pada undang-undang ini memberikan
pengertian dari usaha asuransi jiwa. Usaha dari asuransi jiwa menurut ketentuan yang
terdapat di dalam Pasal 1 ayat (6) adalah usaha yang menyelenggarakan jasa
penanggulangan
51
52
risiko
yang
memberikan
pembayaran
kepada
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya bakti, 2006, Hal. 169
Suze Orman, Life Insurance : Concept, Nature, And Scope, Chapter II, Hal. 23-24
pemegang
polis,
tertanggung atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau
tetap hidup atau pembayaran lain kepada pemegang polis tertanggung atau pihak lain
yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian yang besarnya telah
ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Asuransi jiwa merupakan suatu perjanjian timbal balik, artinya suatu perjanjian
yang mana para pihak masing-masing mempunyai kewajiban untuk membayar premi
yang jumlahnya telah ditentukan oleh penanggung atau pihak asuransi dan penanggung
atau pemegang polis mempunyai kewajiban untuk mengganti kerugian yang diderita oleh
tertanggung. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal
1774
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu bahwa perjanjian pertanggungan jiwa
Kitab
maupun
perjanjian pertanggungan lainnya adalah termasuk ke dalam perjanjian untung-untungan
(kansovereenkomst), dikarenakan kewajiban penanggung untuk mengganti kerugian yang
diderita oleh tertanggung tergantung dari ada atau tidak adanya peristiwa tidak tertentu
(onzeker voorval).
Perjanjian asuransi jiwa atau yang selanjutnya disebut kontrak antara tertanggung
dan penangung asuransi jiwa, dalam
hal
ini
kontrak
antara tertanggung dan
penanggung berlaku konsep yang disebut sebagai pengalihan resiko atas suatu kejadian
yang tidak diinginkan (evenement)
terjadi pada tertanggung seperti sakit, kematian,
kebakaran, kehilangan, kecelakaan ataupun kemacetan yang karenanya tertanggung
melakukan
perjanjian atau kontrak dengan penanggung dengan memindahkan resiko
tertanggung kepada penanggung yang berfungsi sebagai klaim baginya agar evenement
dapat ditanggung oleh penanggung sesuai dengan perjanjian atau kontrak yang telah
dibuat secara sah.
4) Jenis-jenis asuransi jiwa yang bisa dijaminkan di Asuransi Jiwa Bersama
Bumiputera 1912 Cabang Pontianak
Produk-produk yang diberikan oleh Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912
biasanya adalah merupakan produk yang berupa asuransi jiwa dan produk yang berupa
tabungan serta bisa saja keduanya menjadi satu dalam satu produk asuransi tersebut.
Perbedaan antara asuransi jiwa dengan tabungan dapat dilihat dari :
a. Asuransi Jiwa : Jumlah uang yang dikehendaki dapat ditentukan sebelumnya, terdapat
unsur perlindungan atau proteksi, besarnya premi ditetapkan berdasarkan perhitungan
aktuaria, terdapat unsur keharusan dalam membyar premi asuransi secara teratur.
b. Tabungan : Jumlah uang tidak dapat ditentukan sebelumnya karena tergantung pada
jumlah yang ditabung, tidak terdapat unsur perlindungan, besar tabungan ditentukan
oleh keinginan penabung sendiri, tidak ada unsur keharusan untuk menabung dan
tidak dilakukan secara teratur.
Perusahaan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 memiliki produk atau
program-program sebagai berikut :
a.
Program asuransi jiwa perorangan
1) Asuransi jiwa mitra cerdas
2) Asuransi jiwa mitra sehat
3) Asuransi jiwa mitra melati
4) Asuransi jiwa mitra abadi
5) Asuransi jiwa mitra BP-Link
6) Asuransi jiwa mitra guru
7) Asuransi jiwa mitra pusaka
8) Asuransi jiwa mitra beasiswa.
9) Asuransi jiwa mitra permata.
10) Asuransi jiwa mitra prima.
11) Asuransi jiwa etawakatu ideal
12) Asuransi jiwa mitra proteksi mandiri
13) Asuransi jiwa mitra warisan plus
14) Asuransi jiwa dana bahagia
15) Asuransi jiwa aneka guna prima
16) Asuransi jiwa dana prima baru
b.
Program asuransi kumpulan
1) Asuransi jiwa ekawaktu
2) Asuransi jiwa kredit
3) Asuransi kecelakaan jiwa
4) Asuransi jiwa mitra medicare
5) Asuransi jiwa idaman
6) Program kesejahteraan karyawan
Menurut ketentuan dalam Keputusan Direksi Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera
1912 No.SK.39/DIR/KEU/2007 tentang Pengelolaan Pinjaman Polis Asuransi Jiwa
Perorangan yang dimaksud dengan pinjaman polis adalah pinjaman uang yang diberikan
kepada pemegang polis dengan jaminan polis perorangan yang telah mempunyai nilai
tunai dan tidak menunggak dalam hal pembayaran preminya. Nilai tunai dapat diperoleh
setelah polis asuransi berumur kurang lebih dua tahun sampai dengan lima tahun dan
besarnya nilai tunai tergantung dari perhitungan yang ditetapkan oleh perusahaan maupun
besarnya indeks nilai tunai berdasarkan perhitungan nilai tunai yang ditetapkan oleh
perusahaan yang dilihat dari besarnya uang tanggungan yang diperjanjikan dan jumlah
premi. Besarnya pinjaman yang boleh dilakukan oleh pemegang polis tergantung dari
jenis polis tersebut, untuk polis asuransi yang berfungsi sebagai pembayaran manfaat
berkala (DKB/Tahapan) maksimum adalah sebesar 80 % dari nilai tunai pada saat
diajukannya pinjaman polis dan untuk polis yang berfungsi sebagai dana kelangsungan
belajar adalah sebesar 60 % dari nilai tunai polis pada saat diajukannya pinjaman polis
sedangkan untuk jangka waktu pinjaman polis yang ditetapkan oleh perusahaan asuransi
adalah maksimal 24 bulan.
Adapun jenis-jenis polis yang dapat dijadikan sebagai jaminan di Asuransi Jiwa
Bersama Bumiputera 1912 Cabang Pontianak adalah asuransi jiwa beasiswa berencana,
asuransi jiwa mitra cerdas, asuransi jiwa mitra melati, asuransi jiwa dana bahagia,
asuransi jiwa ekawaktu ideal, asuransi jiwa dwi guna prima dan asuransi jiwa aneka guna
prima.
Untuk jenis asuransi jiwa beasiswa berencana, mitra cerdas dan mitra melati
pinjaman yang dapat dikeluarkan oleh perusahaan asuransi adalah sebesar 60% dari
jumlah nilai tunai setelah polis tersebut berumur kurang lebih 2 tahun dan untuk polis
lainnya seperti polis asuransi jiwa dana bahagia, ekawaktu ideal, dwi guna prima dan
aneka guna prima perusahaan dapat mengeluarkan pinjaman sebesar 80% dari jumlah
nilai tunai yang terdapat pada polis asuransi tersebut setelah jangka waktu kurang lebih
lima tahun.
Hal ini seperti yang disebutkan pada Keputusan Direksi Asuransi Jiwa
Bersama Bumiputera 1912 No. SK.39/DIR/KEU/2007 tentang Pengelolaan Pinjaman
Polis Asuransi Jiwa Perorangan.
5) Klaim atau tuntutan ganti rugi dalam asuransi jiwa
Persoalan peristiwa tak tentu atau evenemen erat sekali hubungannya dengan
persoalan ganti kerugian. Dalam Pasal 204 KUHD yang mengatur tentang isi polis, tidak
ada ketentuan keharusan mencantumkan evenemen dalam polis asuransi jiwa.
Dalam asuransi jiwa, yang dimaksud dengan bahaya adalah meninggalnya orang
yang jiwanya diasuransikan. Meninggalnya seseorang itu merupakan hal yang sudah
pasti, setiap makhluk bernyawa pasti mengalami kematian tetapi kapan meninggalnya
seseorang tidak dapat dipastikan. Inilah yang disebut peristiwa tidak pasti (evenemen)
dalam asuransi jiwa.53
Evenemen ini hanya satu, yaitu ketidakpastian kapan meninggalnya seseorang,
sebagai salah satu unsur yang dinyatakan dalam definisi asuransi jiwa karena evenemen
ini hanya satu, maka tidak perlu dicantumkan dalam polis.
Evenemen meninggalnya tertanggung itu berisi dua, yaitu meninggalnya itu benarbenar terjadi sampai jangka waktu asuransi, dan benar-benar tidak terjadi sampai asuransi
berakhir. Kedua-duanya menjadi beban penanggung. Tuntutan ganti kerugian oleh
tertanggung kepada penanggung inilah yang biasanya disebut klaim atau dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa klaim adalah tuntutan terhadap hak yang timbulnya disebabkan
karena adanya perjanjian asuransi yang telah berakhir.
Besarnya uang santunan yang wajib dibayar oleh penanggung kepada penikmat
dalam hal meninggalnya tertanggung sesuai kesepakatan yang tercantum dalam polis.
Pembayaran
santunan
merupakan
akibat
terjadinya
peristiwa,
yaitu
meninggalnya
tertanggung dalam jangka waktu berlakunya asuransi jiwa tetapi apabila sampai
berakhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa meninggalnya tertanggung,
maka tertanggung sebagai pihak dalam asuransi jiwa, berhak memperoleh pengembalian
53
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya bakti, 2006, Hal. 174
sejumlah
uang
dari
penanggung
yang
jumlahnya
telah
ditetapkan
berdasarkan
perjanjian.54
6) Premi dalam asuransi jiwa
Dalam Pasal 246 KUHD terdapat kalimat dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi. Dari
kalimat ini dapat diketahui bahwa premi adalah salah satu unsur penting dalam
pertanggungan karena premi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh tertanggung
kepada penanggung.55
Dalam hubungan hukum pertanggungan, penanggung menerima peralihan risiko
dari tertanggung dan tertanggung membayar sejumlah premi sebagai imbalannya. Apabila
premi
tidak
dibayar,
pertanggungan
dapat
diputuskan,
atau
setidak-tidaknya
pertanggungan itu tidak berjalan.
Sebagai
suatu
perjanjian
timbale
balik,
perjanjian
pertanggungan
bersifat
konsensual, artinya sejak terjadinya kata sepakat, timbullah hak dan kewajiban diantara
para pihak. Tetapi pertanggungan itu berjalan. Jika premi belum dibayar, pertanggungan
tidak berjalan. Karena itu premi peril dilunasi pada saat pertanggungan itu diadakan atau
pada saat bahaya mulai berjalan.
Pada pertanggungan yang diadakan untuk jangka waktu tertentu atau untuk suatu
perjalanan, premi dibayar lebih dahulu pada saat bahaya mulai berjalan. Tetapi pada
pertanggungan yang diadakan untuk jangka waktu yang panjang, pembayaran premi
dapat ditentukan secara periodik, misalnya tiap bulan dan pembayaran dilakukan pada
permulaan tiap periodik.
Besarnya jumlah premi yang harus dibayar oleh tertanggung ditentukan dengan
suatu prosentase dari jumlah yang dipertanggungkan berdasarkan penilaian risiko yang
dipikul oleh penanggung. Dalam prakteknya, penerapan besarnya jumlah premi itu
diperjanjikan oleh pihak-pihak secara layak dan dicantumkan di dalam polis.
Premi yang telah dibayar oleh tertanggung kepada penanggung itu dapat dituntut
pengembaliannya oleh tertanggung, baik untuk seluruhnya maupun sebagian, apabila
54
55
Ibid, Hal. 175
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya Bakti, bandung, 2006, Hal. 101
pertanggungan baik itu untuk seluruhnya atau sebagian gugur atau menjadi batal,
sedangkan tertanggung telah bertindak dengan itikad baik (te goeder trouw, in good
faith). Premi yang harus dibayar kembali oleh penanggung itu disebut “premi restorno”
(Pasal 281KUHD). Hanya saja pada premi restorno ini ditekankan kepada syarat bahwa
penanggung tidak menghadapi bahaya. 56
7) Polis asuransi jiwa
Polis menurut pengertian umum adalah suatu perjanjian yang perlu dibuat bukti
tertulis suatu perjanjian antara para pihak yang mengadakan perjanjian-perjanjian bukti
tertulis untuk perjanjian asuransi.
Surat perjanjian ini dibuat dengan itikad baik dari kedua belah pihak
yang
membuat perjanjian. Di dalam surat perjanjian itu disebutkan dengan tegas dan jelas
mengenai hal-hal yang diperjanjikan kedua belah pihak, hak-hak masing-masing pihak,
sanksi atas pelanggaran dalam perjanjian asuransi dan sebagainya.
Polis dapat juga diartikan sebagai surat perjanjian asuransi jiwa yang menguraikan
hal-hal yang menjadi dasar dan syarat-syarat asuransi, ditanda tangani oleh penanggung
dan pemegang polis. Pengertian mengenai polis tersebut dapat disimpulkan bahwa polis
asuransi merupakan salah satu dari alat bukti telah terjadi perjanjian asuransi.
Pada dasarnya pengertian polis asuransi jiwa sama dengan pengertian polis pada
umumnya. Perbedaan polis asuransi jiwa dengan polis asuransi pada umumnya hanya
dari isi polis. Isi polis asuransi jiwa diatur dalam Pasal 304 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang dan isi polis pada umumnya diatur dalam Pasal 256 Kitab UndangUndang Hukum Dagang.
Menurut Pasal 304 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, polis asuransi jiwa
harus memuat hal-hal sebagai berikut57 :
a. Hari diadakannya asuransi
b. Nama tertanggung
c. Nama jiwa orang yang diasuransikan
d. Saat mulai dan berakhirnya evenemen
56
57
Ibid, Hal. 125
Kansil dan Christine S.T. Kamil, Pokok Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia , Sinar Grafika, Jakarta,
2013, Hal. 182
e. Jumlah asuransi
f. Premi asuransi
Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa polis asuransi jiwa diatur
sendiri dalam Pasal 304 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Mengenai isi polis
asuransi jiwa tidak baku karena setiap perusahaan asuransi jiwa mempunyai isi polis
tersendiri yang sebenarnya tidak bertentangan dengan bentuk baku Pasal 304 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang dan di dalam polis dijelaskan apa yang menjadi hak dan
kewajiban pemegang polis serta hak dan kewajiban dari perusahaan asuransi jiwa.
Sebagian besar syarat-syarat umum polis yang secara khusus dimasukan dalam
kontrak polis yang berhubungan dengan aspek-aspek polis asuransi jiwa perorangan
adalah :
1.
Unsur yang membentuk kontrak keseluruhan antara pemilik polis dan perusahaan
asuransi jiwa yang menyatakan bahwa polis itu sendiri bersama-sama dengan surat
permintaan asuransi beserta surat keterangan lain yang disediakan untuk itu jika
terlampir akan membentuk kontrak keseluruhan dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari polis tersebut.
2.
Incontestability (polis tidak dapat dibantah kebenarannya setelah lewat batas waktu
hak menguji yang ditentukan) dari kontrak setelah polis berjalan aktif selama periode
tertentu.
3.
Grade period
(tenggang waktu pembayaran premi lanjutan) yang diberikan
perusahaan kepada pemilik polis untuk membayar premi renewal.
4.
Non-forfeiture benefit (nilai tunai yang ada dapat dipergunakan untuk membeli
asuransi jangka warsa) yang tersedia bagi pemilik polis asuransi jiwa yang telah
memiliki nilai tunai.
5.
Policy loan (hak pemilik polis untuk melakukan pinjaman uang dari perusahaan
asuransi dengan menggunakan nilai tunai sebagai jaminan dan dinamakan sebagai
pinjaman polis) yang diberikan kepada pemilik polis yang telah memiliki nilai tunai
polis.
6.
Hak reinstatement (pemulihan polis yang sudah batal karena tidak membayar premi
lanjutan menjadi aktif kembali) yang sudah batal yang diberikan oleh pemilik polis.
7.
Metode penyesuaian yang dipakai untuk memperbaiki kesalahan umur.
8.
Cara penggunaan dividen oleh pemilik polis partisipasi.
9.
Settlement options (hak memilih) cara pembayaran uang pertanggungan yang
ditawarkan oleh perusahaan asuransi.
10. Syarat yang harus dipenuhi oleh pemilik polis dalam hal perubahan tipe asuransi.
a.
Fasilitas pinjaman polis di Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Kantor
Cabang Pontianak
Pada perusahaan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Cabang Pontianak
memiliki suatu fasilitas yang dinamakan pinjaman polis. Pinjaman polis adalah suatu
fasilitas yang diberikan oleh perusahaan kepada pemegang polis yang mana dengan
fasilitas tersebut pemegang polis dapat menjaminkan polis untuk mendapatkan
pinjaman uang dari perusahaan. Pengertian pinjaman polis menurut Pasal 1 dalam
ketentuan Syarat-Syarat Umum Polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912
adalah suatu pinjaman dana yang dapat diberikan oleh badan atau perusahaan
asuransi kepada pemegang polis yang besarnya tergantung nilai tunai. Pengertian
Nilai tunai disini dan masih menurut Pasal 1 dalam ketentuan Syarat-Syarat umum
polis Asuransi jiwa Bersama Bumiputera 1912 adalah sejumlah uang yang besaran
nilainya ditentukan secara aktuaria oleh badan atau perusahaan asuransi berdasarkan
perjanjian polis dan menurut Pasal 7 Ayat (1) Syarat-Syarat Umum Polis Asuransi
Jiwa Bersama bumiputera 1912 nilai tunai berlaku pada polis-polis tertentu yang
mana premi tersebut dibayarkan secara terus menerus yang mana nilai tunai tersebut
besarnya ditentukan oleh badan atau perusahaan asuransi berdasarkan teknis asuransi
(aktuaria).
Nilai tunai yang terdapat dalam polis asuransi jiwa yang dimiliki oleh
pemegang polis atau tertanggung sebenarnya adalah merupakan nilai tunai yang
berkembang akibat dari pembayaran premi tertanggung yang mana nilai tunai
tersebut didapatkan ketika polis tersebut berumur minimal 1 tahun dan dapat
berkembang sesuai dengan perhitungan aktuaria dari perusahaan.
Pada saat
pemegang polis meminjam uang kepada perusahaan asuransi, sebenarnya pemegang
polis tersebut mengambil uang dari polis asuransinya sendiri yang dihasilkan dari
pembayaran preminya dan berupa nilai tunai. Pemegang polis lebih memilih untuk
meminjam uang dengan cara menjaminkan polis asuransinya daripada harus
mengambil semua uang yang terdapat dalam polis asuransinya yang telah memiliki
nilai tunai, hal ini disebabkan karena apabila pemegang polis mengambil sejumlah
uang yang terdapat dalam nilai tunai tersebut maka otomatis perjanjian asuransi yang
telah diadakan oleh pemegang polis dan pihak asuransi dinyatakan telah berakhir dan
pemegang
polis
tidak
mendapatkan
perlindungan
serta
sejumlah
uang yang
diperjanjikan dalam perjanjian asuransi tersebut sedangkan apabila pemegang polis
mengambil dana dari jumlah nilai tunai yang ada didalam polis asuransinya dengan
cara meminjam uang kepada perusahaan asuransi maka biarpun sejumlah uang
tersebut diambil oleh pemegang polis, pemegang polis tetap akan mendapatkan
perlindungan dan apabila pada saat pinjaman ataupun pinjaman telah lunas terjadi
klaim maka pemegang polis sekaligus peminjam polis tetap mendapatkan dana
santunan sebesar yang diperjanjikan pada awal perjanjian asuransi ini terjadi.
Fasilitas pinjaman polis ini dibuat karena tidak jarang dari pemegang polis
mengajukan klaim atas polisnya sebelum berakhir masa kontrak dengan alasan
membutuhkan dana untuk keperluan tertentu, maka dari itu Asuransi Jiwa Bersama
Bumiputera 1912 memberikan kemudahan kepada pemegang polis melalui pinjaman
dana dengan menjaminkan polis yang dimiliki pemegang polis tersebut.
Pinjaman polis dilakukan dengan cara dimana pemilik atau pemegang polis
menyerahkan polis asli kepada perusahaan asuransi sebagai jaminan atau surat bukti
atas hutangnya dan sebelum melakukan pinjaman polis ini pemegang polis harus
terlebih dahulu memenuhi prosedur, syarat dan ketentuan peminjaman polis yang
diberikan oleh perusahaan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 yang tertuang
dalam Surat Keputusan Direksi Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Nomor
SK.39/DIR/KEU/2007
tentang
Pengelolaan
Pinjaman
Polis
Asuransi
Jiwa
Perorangan dan Surat Keputusan Direksi Nomor PE.08/DIR/KEU/2007 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Pinjaman Polis Asuransi Jiwa Perorangan.
b. Polis sebagai alat bukti
Istilah dan pengertian polis dapat dijumpai dalam Pasal 255 Kitab UndangUndang Hukum Dagang yang menyebutkan bahwa suatu pertanggungan harus dibuat
secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Pengertian polis menurut Pasal
255 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tersebut dapat didefinisikan bahwa polis
adalah alat bukti tertulis (akta) yang menyatakan bahwa telah diadakan perjanjian
pertanggungan
(asuransi)
antara
tertanggung
dengan
penanggung
(perusahaan
asuransi).58
Polis merupakan bukti yang sempurna tentang adanya perjanjian pertanggungan
dan tanpa adanya polis, perjanjian pertanggungan itu menjadi sulit dan terbatas. Polis
bukanlah sebagai syarat sahnya suatu perjanjian, walaupun tanpa adanya polis suatu
perjanjian
asuransi itu tetap
dianggap
berlangsung atau ada.
Polis hanyalah
merupakan alat bukti tertulis tentang adanya perjanjian suatu pertanggungan. Sahnya
perjanjian asuransi tetap tunduk pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian. Hal ini diperjelas dengan ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 257 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang
menyebutkan bahwa perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup,
hak dan kewajiban bertimbal balik dari penanggung dan tertanggung mulai berlaku
sejak saat itu, bahkan sebelum polis ditandatangani.
Ketentuan di atas menunjukan bahwa walaupun polis belum ada (belum
ditandatangani), perjanjian asuransi telah ada asalkan telah dipenuhinya syarat-syarat
persesuaian
kehendak
(sepakat)
sehingga
polis
dapat
diartikan
sebagai alat
pembuktian saja tentang adanya suatu perjanjian asuransi.
Polis sebagai alat bukti ini juga ditegaskan didalam ketentuan Pasal 258 ayat (1)
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Dagang
yang
menyebutkan
bahwa
untuk
membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut (asuransi), diperlukan pembuktian
dengan tulisan, namun demikian boleh lain-lain alat pembuktian digunakan juga
manakala sudah ada suatu pembuktian dengan tulisan.
Berdasarkan bunyi pasal di atas memberikan penegasan bahwa polis asuransi
adalah sebagai alat untuk membuktikan tentang ditutupnya suatu perjanjian asuransi
dan bukan sebagai suatu syarat sahnya perjanjian asuransi karena walaupun tanpa
polis, perjanjian asuransi itu tetap dapat dibuktikan asalkan terdapat permulaan bukti
berupa tulisan.
c. Isi polis
58
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Cetakan Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006,
Hal. 57
Menurut ketentuan Pasal 256 Kitab Undang-Undang Hukum Dadang, setiap
polis kecuali mengenai asuransi jiwa harus memuat syarat-syarat berikut ini :
1) Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi.
2) Nama tertanggung untuk diri sendiri atau untuk pihak ketiga.
3) Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan.
4) Jumlah yang diasuransikan.
5) Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh penanggung.
6) Waktu bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penaggung.
7) Premi asuransi.
8) Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala janjijanji khusus yang diadakan antara pihak.
Disamping syarat-syarat khusus tersebut, dalam polis harus dicantumkan juga
berbagai asuransi yang diadakan lebih dahulu, dengan ancaman batal jika tidak
dicantumkan. Berbagai asuransi yang dimaksud adalah seperti tercantum dalam pasal
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang berikut ini :
1) Reasuransi (Pasal 271 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
2) Asuransi rangkap (Pasal 252 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
3) Asuransi Insolvabilitas (Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
4) Asuransi kapal yang sudah berangkat berlayar (Pasal 603 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang).
5) Asuransi kapal belum tiba di tujuan (Pasal 606 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang)
6) Asuransi atas keuntungan yang diharapkan (Pasal 615 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang).
D. Landasan Teori
Teori diperlukan untuk menerangkan dan menjelaskan secara spesifik suatu proses
tertentu yang terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkan pada fakta-fakta yang
dapat menunjukan ketidak benarannya. Teori juga merupakan alur penalaran atau logika (fow
of reasonic/logic) yang terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, definisi dan proposisi
yang disusun secara sistematis59 . Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang
berarti perenungan dan kata theoria berasal dari kata thea yang dalam bahasa yunani berarti
adalah suatu cara60 .
Menurut
Laurent
Friedmann
seperti yang
dikutip
dari Putu Devianti Sugitha
mengungkapkan dasar-dasar esensial dari teori hukum menurut pemikiran dari hans kelsen
sebagai berikut61 :Tujuan teori hukum seperti ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi
kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan
mengenai hukum yang berlaku dan bukan mengenai hukum yang sebenarnya. Teori hukum
sebagai teori norma-norma tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
Hukum adalah ilmu pengetahuan normative bukan ilmu alam. Teori hukum adalah formal,
suatu teori cara menata, mengubah isi dengan cara khusus. Hubungan antara teori hukum dan
system yang khas dari hukum positif adalah hubungan apa yang mungkin dengan hukum
yang nyata.
Berbeda halnya dengan landasan teori, landasan teori atau kerangka memiliki
pengertian sebagai upaya mengidentifikasi teori hukum atau teori khusus, konsep hukum,
asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain yang dipakai sebagai landasan untuk
membahas permasalahan penelitian, landasan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan
kebenaran ilmu hukum yang bersifat consensus yang diperoleh dari rangkaian upaya
penelusuran (controleur baar). Berhubungan dengan itu maka harus dihindari teori-teori
(ajaran atau doktrin), konsep, asas yang bertentangan satu sama lain. Apabila semakin
banyak teori, konsep, asas yang berhasil diidentifikasikan semakin tinggi derajat kebenaran
(konsensus) yang bisa dicapai. Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiranpemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dan kegiatan
pengumpulan dan pengolahan data, analisa serta kontruksi data 62 .
Adapun teori-teori dan konsep yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam
penelitian ini adalah :
1. Teori sistem hukum
59
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik , Rineka Cipta, Jakarta, 2003, Hal. 194
Putu Devianti Sugitha, Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Perbankan Terkait Adanya Akta Pemberian Hak
tanggungan Yang tidak Didaftarkan, Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana ,
Denpasar, 2014, Hal. 18
61
Ibid, Hal. 18
62
Ibid, Hal. 19
60
Dalam studi ilmu hukum, kebanyakan orang terutama para sarjana hukum di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh pandangan Lawrence Friedman tentang sistem hukum.
Teori sistem hukum (Legal System Theory) menurut Friedman, terdapat tiga elemen
dalam sistem hukum, yaitu structure, substance dan legal culture. Struktur adalah
keseluruhan institusi-institusi penegak hukum beserta aparatnya (kepolisian dan anggota
polisinya, kejaksaan dan jaksanya, pengadilan dan hakimnya, asosiasi advokat dan
pengacaranya), substansi adalah keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas
hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk putusan pengadilan) dan
kultur adalah opini-opini, kepercayaan-kepercayaan, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir
dan cara bertindak (baik dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat.63 Hukum
itu merupakan suatu sistem, maka hukum itu merupakan tatanan dalam suatu satu
kesatuan yang utuh yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama
lain, saling mendukung serta saling berinteraksi, oleh karena itu sistem hukum yang baik
tidak boleh ada pertentangan antar unsur-unsurnya. Struktur hukum yang baik harus
ditunjang oleh substansi hukum yang baik pula atau sebaliknya dan struktur hukum dan
substansi hukum yang baik tidak akan berjalan efektif atau tidak akan dirasakan
keberadaannya jika tidak didukung oleh kultur atau budaya hukum masyarakat yang baik
pula. Untuk membantu dan memecahkan pokok permasalahan dalam penelitian ini,
fasilitas pinjaman dengan jaminan polis di Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 akan
dikaitkan dengan teori sistem hukum Lawrence Friedman seperti yang dijelaskan tersebut
di atas.
2. Teori keadilan
John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social
justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusiinstitusi sosial (social institutions), Akan tetapi kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak
dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah
memperoleh rasa keadilan khususnya masyarakat yang lemah sebagai pencari keadilan.
Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip keadilan dengan
63
http://www.digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-582-BAB_1.pdf,
September 2015
diakses
pada
tanggal
30
menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asli” (original
position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance).64
Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara
tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau
memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan
pihak lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls
sebagai suatu “posisi asli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan di
dasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality)
guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).
Konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh John Rawls bahwa setiap
orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri,
termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya
konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Konsep ini
menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya
disebut sebagai “Justice as fairness”.65
Ide pokok atau gagasan tentang keadilan ini menurut John Rawls dalam jurnalnya
adalah sebagai THE fundamental idea in the concept of justice is that of fairness. It is this
aspect of justice for which utilitarianism, in its classical form, is unable to account, but
which is represented, even if misleadingly so, in the idea of the social contract. To
establish these propositions I shall develop, but of necessity only very briefly, a particular
conception of justice by stating two principles which specify it and by considering how
they may be thought to arise. The parts of this conception are familiar; but perhaps it is
possible by using the notion of fairness as a framework to assemble and to look at them in
a new way.66
Pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asli” terdapat prinsip-prinsip
keadilan yang utama, di antaranya prinsip persamaan, yaitu setiap orang sama atas
kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompatibel dan ketidaksamaan atas
kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu. Prinsip pertama yang
64
Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi, Volue 6 Nomor 1, 2009, hlm. 139-140.
Ibid, Hal. 140
66
John Rawls, Justice as Fairness, The Journal of Philosophy, Vol. 54, No. 22, American Philosophical Association,
Harvard University, 1957, Hal. 653
65
dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti
kebebasan beragama (freedom of religion), kemerdekaan berpolitik (political of liberty),
kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of speech and expression),
sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference principle),
yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity principle).
Menurut Rawls keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama,
melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum
lemah
dengan
memberdayakan.
menghadirkan
Kedua,
institusi-institusi
setiap
aturan
sosial,
ekonomi
sebagai pemandu
dan
untuk
politik
yang
mengembangkan
kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidakadilan yang dialami kaum lemah.
John Rawls menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi
sosial sebagaimana dalam sistem pemikiran. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa
teori yang tidak benar harus ditolak, begitupun hukum yang tidak adil harus direformasi.
Masyarakat yang tertata dengan baik adalah jika ia tidak hanya dirancang untuk
meningkatkan kesejahteraan anggotanya, namun secara efektif diatur oleh konsepsi
publik mengenai keadilan, yaitu :
a. Dimana setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut prinsip
keadilan yang sama.
b. Institusi-institusi sosial dasar pada umumnya sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut.
Dalam hal ini institusi dianggap adil ketika tidak ada pembedaan sewenang-wenang
antar orang dalam memberikan hak dan kewajiban dan ketika aturan menentukan
keseimbangan
yang
pas
antara
klaim-klaim yang saling berseberangan demi
kemanfaatan kehidupan sosial.
c. Prinsip keseimbangan dan kelayakan pada pembagian keuntungan dalam kehidupan
sosial. Keadilan sosial di sini melibatkan persoalan tentang efisiensi, koordinasi dan
stabilitas. Dalam hal ini John Rawls banyak berbicara tentang keadilan di bidang
ekonomi.
Pokok pikiran yang ketiga dalam keadilan tersebut di atas menyangkut bidang
kehidupan sosial ekonomi, yaitu adanya prinsip keseimbangan dan kelayakan dalam hal
pembagian keuntungan. Dalam hal ini makna keadilan sebagai fairness bukan merupakan
prinsip yang berdiri sendiri, melainkan melibatkan persoalan tentang efisiensi, koordinasi
dan stabilitas.
Teori Keadilan yang diungkapkan John Rawls ini menyajikan konsep keadilan yang
menggeneralisasikan teori kontrak sosial yang diungkapkan oleh John Locke, Rousseau
dan I. Kant ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi. Beberapa gagasan penting tentang
keadilan sebagai fairness adalah sebagai berikut :67
3. Prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan tujuan dari kesepakatan.
4. Prinsip keadilan sebagai fairness adalah merupakan prinsip yang akan diterima orangorang yang bebas untuk mengejar kepentingan mereka dalam posisi asali (original
position) ketika mendefinisikan kerangka dasar asosiasi mereka.
5. Posisi asal (original position) berkaitan dengan kondisi alam dalam teori tradisional
kontrak sosial, yaitu situasi hipotetis yang mengarah pada konsepsi keadilan tertentu,
misalnya bentuk keadilan sebagai fairness adalah memandang berbagai pihak dalam
situasi awal dan sama-sama netral. Dalam posisi asali diasumsikan tak seorang pun
tahu tempatnya, posisi atau status sosialnya didalam kehidupan masyarakat termasuk
kekayaannya, kecerdasannya, kekuatannya dalam distribusi asset serta kekuatan alam.
6. Keadilan adalah hasil dari persetujuan dan tawar menawar yang fair antar individu
dalam posisi asali (yang rasional dan sama-sama netral).
7. Keadilan sebagai fairness menolak prinsip utilitas yang menerima struktur dasar
hanya
karena
memaksimalkan
keuntungan
tanpa
mengindahkan
efek-efek
permanennya pada kepentingan dan hak dasarnya. Hal ini karena prinsip utilitas tidak
konsisten dengan konsepsi kerjasama sosial bagi keuntungan bersama.
8. Kerjasama sosial harus bisa menjamin kepuasan hidup, termasuk dalam hal
pembagian
keuntungan
bagi kelompok/golongan masyarakat yang paling tidak
beruntung.
Keadilan menurut John Rawls ini dalam hal utama yang ingin diperoleh setiap
orang (primary goods) merupakan kebutuhan dasar manusia, yang diinginkan oleh setiap
manusia normal dalam mencapai kebutuhan yang layak, hak-hak, kebebasan, berpendapat
dan kesehatan.
67
Fadhilah, Refleksi terhadap Makna Keadilan sebagai Fairness Menurut John Rawls dalam Perspektif
Keindonesiaan, Jurnal Madani Edisi II/Nopember, 2007, hlm. 40.
Prinsip keadilan, Rawls menyatakan, haruslah berdasar pada asas hak, bukan
manfaat. Jika asas manfaat yang menjadi dasar maka ia akan mengabaikan prosedur yang
fair, hal yang dianggap utama adalah hasil akhirnya yang memiliki banyak manfaat untuk
sebanyak mungkin orang tanpa mengindahkan cara dan prosedurnya.
Prinsip keadilan yang berdasarkan pada asas hak akan melahirkan prosedur yang
fair karena berdasar pada hak-hak (individu) yang tak boleh dilanggar, yaitu hak-hak
individu memang hal yang diperjuangkan Rawls untuk melawan kaum utilitarian, maka
dengan menghindari pelanggaran terhadap hak semua orang sesungguhnya juga akan
menciptakan prosedur yang adil (fair), apapun manfaat yang dihasilkannya.
Rawls mengatakan bahwa prosedur harus dibuat pada posisi asal yang diandaikan
ada oleh orang-orang yang tak memihak, yang berada di balik selubung ketidaktahuan.
Menurut Rawls, sambil berada dalam posisi asal kita dapat menyetujui prinsip-prinsip
keadilan tersebut. Rawls percaya bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah
struktur dasar masyarakat yang asli yang mana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan,
kewibawaan, kesempatan, pendapatan dan kesejahteraan terpenuhi.
3. Teori positivisme
Positivisme hukum merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
perkembangan positivisme (ilmu), dalam definisinya yang paling tradisonal tentang
hakekat hukum, dimaknai sebagai norma – norma positif dalam sistem perundangundangan.68 Pemaknaan tersebut mencerminkan penggabungan antara idealisme dan
matrealisme. Oleh Bernard Sidharta dikatakan penjelasan seperti itu mengacu kepada
teori hukum kehendak (the will theors of law) dari Jhon Austinndan teori hukum murni
Hans Kelsen. Berbeda dengan pemikiran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan
validasi hukum buatan manusia, maka pada positivisme hukum, aktivitasnya.
Menurut positivisme hukum, norma hukum hanya mungkin diuji dengan norma
hukum pula bukan dengan non – norma hukum. Norma hukum positive akan diterima
sebagai doktrin yang aksiomatis sepanjang ia mengikuti The rule systematizing logic of
legal science yang memuat asas ekslusi, subsumsi, derogasi dan non kontradiksi.69
68
http://faisalfarhan89.blogspot.co.id/2013/04/pengaruh-positivisme-hukum-jhon-austin.html, diakses pada tanggal
28 Mei 2016
69
http://faisalfarhan89.blogspot.co.id/2013/04/pengaruh-positivisme-hukum-jhon-austin.html, diakses pada tanggal
28 Mei 2016
Positivisme hukum dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari kehadiran
Negara modern. Sebelum abad ke – 18 pikiran itu sudah hadirn dan menjadi semakin kuat
sejak
kehadiran
Negara modern.
Jauh sebelum tradisi untuk
menuangkan atau
menjadikan hukum iru positif, masyarakat lebih menggunakan apa yang dikenal dengan
intercational law atau customary law.
Postivisme hukum mencoba menyingkirkan spekulasi tentang aspek metafisik dan
hakikat hukum. Latar belakangnya tidak lain adalah usaha pembatasan dunia hukum dari
segala sesuatu yang ada di balik hukum dan mempengaruhi hukum itu. Sistem normatif
umum itu dimanifestasikan di dalam kekuasaan Negara untuk memberlakukan hukum
dengan sarana kelengkapannya, yaitu sanksi. Tentang hubungan hukum dan moral diakui
oleh kaum positivisme hukum, bahkan hubungan kedua hal tersebut sangat penting dalam
kehidupan masyarakat meskipun hubungan itu tidak nampak secara langsung. Terdapat
pandangan yang menyatakan bahwa hukum dan moral harus berkaitan satu sama lain,
sebab hukum moral memerintahkan muatan aktual hukum bantuan manusia (hukum
positif).
Hukum moral dan hukum positif itu tidak berhubungan satu sama lain, sebab
masing – masing memiliki wilayah keberlakuannya sendiri, meskipun sebagai hukum
yang lebih tinggi, hukum moral menentukan validitas keberlakuannya hukum positif. Bila
hukum positif mengatur semua perbuatan lahir, yang mengatur perbuatan batin adalah
kaidah
yang
lain
yaitu
hukum
moral
atau
kaidah
kesusilaan.
Hukum positif
menyelengarakan kedamaian dan ketenangan hidup manusia di dalam masyarkat, hukum
moral justru berperan menyempurnakan kehidupan manusia tersebut.
Hukum dan moralitas masing-masing memiliki otonomi ruang lingkup
yang
ekslusif. Hal ini berarti validitas sebuah aturan hukum yang bergantung pada kriteria
hukum. Dalam pandangan positivisme hukum satu-satunya kriteria validitas sebuah
hukum adalah pandangan yang formal.
Positivisme hukum mendefinisikan hukum sebagai kehendak yaitu perintah yang
berasal dari penguasa yang ditunjukan kepada semua warga Negara masyarakat politik
(atau Negara ) yang merdeka. Perintah ini memuat tujuan dan kekuatan untuk
menggunakan sanksi bagi mereka yang melawan atau melanggarnya.70
Positivisme sosiologis tidak mengakui adanya hukum lain selain dari hukum yang
telah ditentukan atau ditetapkan oleh masyarakat. Norma kritis yang ada hubungannya
dengan kesadaran akan keadilan di dalam hati manusia tidak memiliki tempat di dalam
sistem hukum sosiologis tersebut. Menurut pandangan ini, hukum diterima dan diselidiki
sebagai gejala sosial. salah satu aliran positivisme sosiologis ini adalah aliran pemikiran
utilitarianisme yuridis. Theo Huijbers menjelaskan bahwa dalam positivisme sosiologis,
hukum ditanggapi sebagai terbuka bagi kehidupan masyarkat, yang harus diselidiki
melalui metode ilmiah. Aliran ini mencerminkan hubungan yang erat antara hukum dan
Negara.71
Bagi aliran pemikiran hukum positif analistis hukum adalah perintah dari penguasa
Negara. Hakikat hukum menurut Jhon Austin (1790 – 1859) terletak pada unsur
“perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap logis, dan tertutup.
Austin menyatakan “Law is a command are which obliges a person or person … Laws
and other commands are said to proceed from superiors, and to bind or oblige inferiors”
Inti ajaran dari Jhon Austin kurang lebih adalah sebagai berikut :72
a.
Hukum adalah perintah dari pihak yang berdaulat, sebagaimana dijelaskan oleh
Austin, Positive law … is set by sovereign person, or a sovereign body a person, to
members of independent political society wherein that person or body is sovereign or
suprme”
b.
Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan ketentuan
yang lain secara tegas dapat disebut demikian yaitu diterima tanpa memerhatikan
kebaikan atau keburukannya.
70
http://faisalfarhan89.blogspot.co.id/2013/04/pengaruh-positivisme-hukum-jhon-austin.html, diakses pada tanggal
28 Mei 2016
71
http://faisalfarhan89.blogspot.co.id/2013/04/pengaruh-positivisme-hukum-jhon-austin.html, diakses pada tanggal
28 Mei 2016
72
http://faisalfarhan89.blogspot.co.id/2013/04/pengaruh-positivisme-hukum-jhon-austin.html, diakses pada tanggal
28 Mei 2016
c.
Konsep kedaulatan tentang Negara mewarnai hampir seluruh ajaran Austin, yang
dapat dibuat penjelasan singkat sebagai berikut :
1.
Kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut
Negara yang bersifat internal maupun eksternal;
2.
Sifat eksternal dari kedaulatan Negara tercermin pada hukum iternasional,
sedangkan sifat internal kedaulatan Negara tercermin pada hukum positif.
3.
Pelaksanaan kedaulatan membutuhkan ketaatan. Ketaatan terhadap kedaulatan
Negara itu berbeda – beda sesuai dengan kebutuhan subjeknya;
4.
Ada perbedaan anatara ketaatan terhdap kedaulatan Negara dengan ketaatan
terhadap ancaman pendorong, misalnya, yang membedakan keduanya adalaha
ligitimasi. Kedaulatan Negara berdasarkan ligitimasi (didasarkan pada undang –
undang) yang berlaku dan di akui secara sah. Pada keataatan terhadap kedaulatan
Negara, subjeknya merasakan “ a moral duty to obey” (ada kewajiban moral
untuk mentatainya).
Austin menjelaskan bahwa pihak yang memiliki kekuasaan menentukan apa yang
diperbolehkan dan yang dilarang, kekuasaan dari lembaga superior itu pula memaksa
orang lain untuk taat, sebagaimana di jelaskan Austin,
“..it is positive law, or law strictly so called, by the institution of the present
sovereign in the character of politicall superior…The superiority that is styled
sovereignity ana
independent
political society which
sovereignity implies, is
distinguished from other superiority and from other society are in a habbit of obedience
or submission to a determinated and common superior : let that common superior be
certain individual person, or a certain body of individuals, is not habit of obedience to
like superior…73
Austin membedakan hukum dalam dua jenis (a) hukum dari tuhan untuk manusia,
dan (b) hukum yang dibuat oleh manusia, yang dapat dibedakan lagi kedalam (1) hukum
yang sebenarnya,dan (2) hukum tidak sebenarnya. Hukum dalam arti sebenarnya ini
disebut hukum positif meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang
disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan
73
http://faisalfarhan89.blogspot.co.id/2013/04/pengaruh-positivisme-hukum-jhon-austin.html, diakses pada tanggal
28 Mei 2016
individu kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh
penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan dari
organisasi atau club tertentu.
4. Konsep pengalihan risiko asuransi
Suatu
kemungkinan
manusia
menghadapi
kehilangan
atau
kerugian
adalah
merupakan suatu risiko. Risiko yang dihadapi oleh setiap orang itu dapat mengenai baik
atas hidupnya sendiri maupun atas harta kekayaannya. Risiko memiliki sifat murni atau
ekonomis seperti misalnya terbakarnya rumah, hilangnya dana deposito dan yang kedua
adalah resiko non ekonomis seperti misalnya kematian, kecelakaan.
Pengertian risiko
dalam asuransi adalah ketidakpastian akan terjadinya peristiwa yang dapat menimbulkan
kerugian ekomomis. Risiko dari segi asuransi adalah suatu kemungkinan kerugian yang
akan dialami yang diakibatkan oleh bahaya yang mungkin terjadi akan tetapi tidak
diketahui kapan waktu terjadinya kemungkinan peristiwa tersebut.74
Berdasarkan sifatnya, risiko dibagi menjadi 2 jenis, yaitu resiko murni (pure risk)
dan risiko spekulatif (speculative risk). Risiko berdasarkan objek yang dikenal dapat
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu75 :
a. Risiko perorangan atau pribadi (personal risk)
b. Risiko harta kekayaan (property risk)
c. Risiko tanggung jawab (liability risk)
Didalam kenyataannya ada beberapa usaha manusia untuk mengatasi risiko, yaitu76
:
a. Menghindari (avoidance)
b. Mencegah (prevention)
c. Memperalihkan (transfer)
d. Menerima (assumption or retention)
Usaha untuk mengatasi risiko di atas yang berhubungan dengan asuransi adalah
memperalihkan risiko. Memperalihkan risiko berarti resiko yang akan dihadapi atau yang
74
Dwi Tatak Subagyo, Analisa hukum atas Penolakan Klaim Asuransi Kesehatan dalam kasus Antara handoyo
Dengan Perusahaan Asuransi Allianz, Perspektif Volume xvii Nomor 3 Tahun 2012 Edisi September, Hal.
139
75
Man Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi Perlindungan Tertanggung Asuransi Deposito Uasah
Perasuransian, Alumni, Bandung, 2013, Hal. 50
76
Ibid, Hal. 51
menjadi tanggung jawabnya itu meminta pihak lain untuk menerimanya. Pihak lain yang
menerima peralihan risiko dapat menerima sebagian atau seluruhnya. Apabila terjadi
memperalihkan resiko itu sebagian, maka yang terjadi itu adalah pembagian risiko,
sedangkan yang terjadi peralihan risiko itu seluruhnya, maka yang terjadi itu adalah
peralihan risiko. Peralihan risiko itu sudah tentu tidak terjadi begitu saja, akan tetapi
harus memberikan kewajiban-kewajiban kepada pihak yang memperalihkan risiko. Hal
ini harus diperjanjikan terlebih dahulu dengan membuat perjanjian yang khusus diadakan
dengan tujuan untuk memperallihkan dan atau membagi resiko ini dinamakan perjanjian
asuransi.
Menurut teori pengalihan risiko (Risk Transfer Theory), tertanggung menyadari
bahwa ada ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap jiwanya.
Apabila bahaya tersebut terjadi terhadapnya, maka
kerugian yang dideritanya sangat
besar untuk ditanggung olehnya sendiri.77
Untuk mengurangi beban risiko tersebut, pihak tertanggung berupaya mengalihkan beban
risiko ancaman bahaya tersebut kepada pihak lain yang bersedia dengan membayar
kontra prestasi yang disebut premi.
Asuransi atau pertanggungan didalamnya tersirat pengertian adanya suatu risiko
yang terjadinya belum dapat dipastikan dan adanya pelimpahan tanggung jawab memikul
beban risiko dari pihak yang mempunyai beban risiko tersebut kepada pihak lain yang
sanggup mengambil alih tanggung
jawab. Sebagai kontra prestasi dari pihak lain yang
melimpahkan tanggung jawab ini yang diwajibkan membayar sejumlah uang kepada
pihak yang menerima tanggung jawab.78
Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko
mengancam harta kekayaan atau jiwanya dengan membayar sejumlah
perusahaan asuransi (pananggung), sejak itu pula risiko beralih
Apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi
merugikan,
penanggung
beruntung
memiliki
dan
tidak
menikmati
premi kepada
kepada penanggung.
terjadi peristiwa yang
premi
yang
diterimanya dari tertanggung.
77
78
yang
Ibid, Hal. 52
http://library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum09/205711011/BA B2.pdf, diakses pada tanggal 02 Oktober 2015
telah
E. Penelitian yang relevan
Hasil Hasil penelitian terdahulu yang relevan dalam menunjang penelitian ini antara
lain adalah :
1. Damayanti, Dyah Astuti, Tesis Polis Sebagai Jaminan Pemberian Pinjaman Uang Kepada
Pemegang Polis Asuransi Jiwa Mitra Beasiswa Berencana Pada Perusahaan Asuransi
Jiwa
Bersama
Bumiputera
1912
Cabang
Gondomanan
Yogyakarta,
Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2010. Permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab peminjam uang tidak
dapat membayar angsuran pinjaman uangnya dan untuk mengetahui penyelesaian
perjanjian pinjam meminjam uang tersebut antara pemegang polis selaku peminjam
dengan AJB Bumiputera 1912. Hasil penelitian dan analisis data menunjukkan bahwa
polis asuransi jiwa mitra beasiswa dapat dijadikan jaminan dalam pemberian pinjaman
uang kepada pemegang polis asuransi tersebut. Penyebab para responden menunggak
angsuran pinjaman uangnya adalah karena (1) tidak ada uang untuk membayar angsuran,
(2) sengaja menunda membayar angsuran, dan (3) lupa membayar angsuran. Adapun cara
penyelesaian
terhadap
peminjam yang
wanprestasi tersebut
adalah dengan cara
mengeksekusi polis jaminan, yaitu dengan cara AJB Bumiputera 1912 mencairkan
sejumlah nilai tunai dari polis tersebut yang merupakan hak pemegang polis/peminjam
dan kemudian digunakan untuk melunasi pinjaman uang tersebut.
2. Rifky R Purnomo, Tesis Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Kredit Bank (Study
Terhadap PT. Asuransi Jiwa Central Asia Raya Dan PT. Prudential Life Assurance) Di
Medan, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana syarat-syarat polis
asuransi jiwa yang dapat dijadikan jarninan kredit bank, bagaimana bentuk perlindungan
yang diberikan oleh pihak penanggung kepada pihak kreditor bila debitor belum
mengembalikan hutang kredit, bagaimana bentuk penyelesaian sengketa bila klaim
asuransi tidak dibayar oleh pihak penanggung. Metode penelitian yang dilakukan adalah
bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : syarat-syarat polis
asuransi jiwa yang dapat dijaminkan sebagai jaminan kredit adalah polis asuransi jiwa
yang nilai polisnya (uang pertanggungan ) mencukupi untuk membayar sisa hutang yang
belum dibayarkan oleh debitor. Dengan kata lain uang pertanggungan tersebut akan
digunakan untuk melunasi kewajiban-kewajiban nasabah yang belurn dibayar kepada
bank pada masa pegembalian kredit. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh pihak
penanggung kepada kreditor bila debitor belum mengembalikan hutang kredit adalah
dengan cara membayarkan sisa yang belum dibayar kepada bank dengan kata lain pihak
asuransi hanya dapat membayar bila pihak debitor sudah tidak sanggup lagi membayar
dikarenakan sakit yang berkepanjangan dan meninggal dunia dan dibayarkan sesuai
dengan kontrak kredit yang dibuat antara pihak bank dengan nasahah. Dalam hal
penyelesaian sengketa bila klaim asuransi tidak dibayar oleh pihak penanggung adalah
dengan cara menyelesaikannya melalui musyawarah atau kekeluargaan karena hal ini
merupakan masalah pribadi antara pihak asuransi dengan pihak nasabah. Bila mengalami
kebuntuan dapat diselesaikan melalui Badan Mediasi Asuransi Jiwa (BMAI) badan ini
khusus menangani masalah klaim-klaim yang merugikan nasabah. Disarankan agar pihak
asuransi harus
menjelaskan kepada nasahah bahwa kesanggupan pihak
asuransi
membayar hutang nasabah kepada bank hanya sebatas kesanggupan nilai polis yang
dimiliki nasabah tujuaunya agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam hal pelimpahan
tanggung jawab, Selain itu pihak pihak penanggung . harus memberi kepastian waktu
kapan hutang debitor dapat dibayar. kepada bank. Agar dapat menumbuhkan kepercayaan
pihak bank kepada pihak penanggung (pihak asuransi) sehingga bukti perlindungan pihak
penanggung kepada kreditor dapat dijadikan jaminan nyata. Mengenai penyelesaian
masalah sengketa klaim asuransi,
lebih baik
diselesaikan secara interent melalui
musyawarah sehingga waktu penyelesaiannya cepat.
3. Rizky Arie Prasetyo, Skripsi Perjanjian Gadai polis Dengan jaminan Polis Asuransi Jiwa
Di PT. Asuransi Jiwasraya (PERSERO), Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah
Surakarta, 2013. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana
proses perjanjian gadai polis dengan polis asuransi jiwa, bagaimana bentuk dan isi dari
akta perjanjian gadai polis dengan polis asuransi jiwa dan untuk mengetahui bagaimana
penyelesaian nya apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian gadai polis di PT.
Asuransi Jiwasraya (PERSERO). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Prosedur yang
harus dilakukan untuk melakukan perjanjian gadai dengan jaminan gadai polis asuransi di
PT. Asuransi Jiwasraya : calon debitor dalam hal ini pemegang polis yang langsung
datang ke Kantor PT. Asuransi Jiwasraya, pihak asuransi kemudian memberikan formulir
permohonan surat permintaan gadai dengan jaminan gadai polis kepada calon debitor.
Setelah semua syarat dipenuhi dan surat permintaan penggadaian polis diisi oleh calon
debitor, maka pihak Asuransi Jiwasraya akan mempelajarinya.Kemudian melihat keadaan
dari calon debitor itu apakah selama ini calon debitor tidak pernah menunggak membayar
preminya. pihak Asuransi Jiwasraya dalam hal ini pimpinan kantor yang mengeluarkan
gadai akan
memutuskan
apabila
permohonan
ditolak,
maka Asuransi Jiwasraya
memberitahukan kepada calon debitor baik secara lisan maupun secara tulisan. Apabila
permohonan itu disetujui, maka segera diberitahukan kepada calon debitor serta pengisian
Surat Pengakuan Hutang. Isi polis asuransi jiwa, diantaranya sebagai berikut: Hari
diadakannya asuransi, Nama dari yang dijamin, Nama orang yang akan menerinma
asuransi, jika si penutup asuransi meninggal, Waktu mulai dan berhentinya resiko bagi si
asurador, Jumlah uang yang dijamin dan Premi dari asuransi.Apabila terjadi wanprestasi
maka pihak PT. Asuransi Jiwasraya dengan cara: diakhir masa kontrak, besarnya gadai
dengan bunga yang menjadi pokok itu harus di kurangkan dengan jumlah asuransi yang
dia (nasabah) bayarkan.
Dari beberapa penelitian terdahulu yang penulis sebutkan diatas, perbedaan yang
mendasar dengan penelitian ini adalah dari rumusan masalah yang dibahas oleh masingmasing penelitian tersebut. Pada penelitian tersebut membahas tentang syarat-syarat polis
asuransi yang bisa dijadikan jaminan, prosedur untuk menjaminkan polis asuransi, proses
perjanjian gadai polis asuransi, wanprestasi yang dilakukan oleh debitor atau peminjam uang
dengan jaminan polis dan penyelesaian sengketanya sedangkan penelitian yang dibuat oleh
penulis permasalahannya menitikberatkan kepada kontruksi hukum polis sebagai objek
jaminan, dan akibat hukum dari pinjaman polis tersebut.
Download