1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Studi yang dilakukan pada bayi baru lahir didapatkan 2-3/1000 bayi lahir
dengan gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran yang terjadi pada bayi
baru lahir sebagian besar merupakan tuli sensorineural, bilateral dan permanen
dengan derajat ringan sedang sampai sangat berat. Gangguan pendengaran pada
masa bayi akan menyebabkan gangguan bicara, berbahasa, kognitif, gangguan
personal sosial, dan emosional. Oleh karena itu diperlukan deteksi dini dalam 3
bulan setelah lahir pada kejadian gangguan pendengaran kongenital atau perinatal
sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan atau intervensi yang optimal sebelum
usia 6 bulan. Penatalaksanaan yang cepat dan tepat sangat penting dikarenakan
tahun pertama kehidupan sangat penting dalam perkembangan proses bicara dan
bahasa serta pertumbuhan emosional dan intelektual, dimana dari semua hal
tersebut pendengaran yang normal memiliki peranan yang besar (Thompson et al.,
2001; Joint Comittee on Infant Hearing, 2000; Bielecki et al., 2011).
Beberapa literatur medis menyebutkan beberapa faktor risiko yang
menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran pada neonatus misalnya
kelainana kongenital, bayi lahir prematur, asfiksia, obat-obatan ototoksik,
hiperbilirubinemia,
pemakaian
ventilator
dalam
waktu
lama,
infeksi
Toxoplasmosis Rubella Cytomegalovirus dan Herpes simplex (TORCH) pada
kehamilan, berat badan lahir sangat rendah, meningitis, dll (Martinez-cruz et al.,
2008; Bielecki et al., 2011). Jarangnya bayi yang hanya mengalami satu faktor
1
2
risiko yang tersebut diatas menyebabkan kesulitan menentukan mana yang
menjadi faktor risiko tersering terjadinya gangguan pendengaran. Selain itu masih
sering didapatkan hasil yang berbeda dari hasil penelitian-penelitian yang telah
dilakukan dalam penilaian faktor risiko gangguan pendengaran tersebut (Ohl et
al., 2009).
Kejadian bayi yang lahir prematur mencapai 12,5% setiap tahunnya di
Amerika Serikat (Martin et al., 2008). Di Indonesia sendiri prevalensi kelahiran
prematur sebesar 7,44 persen di RS Sanglah pada tahun 1996, 14 persen di
Purworejo, dan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2005 mencapai 109
kasus (12,5 persen). Kelahiran prematur ini menjadi salah satu penyebab
mortalitas pada bayi baru lahir, peningkatan kejadian gangguan neurologis,
keterlambatan dalam tumbuh kembang anak, gangguan pendengaran serta
gangguan dalam tingkah dan perilaku. Seiring dengan semakin berkembangnya
teknologi serta penatalaksanaan di ruang rawat intensif neonatus, ventilator
khusus neonatus, serta penggunaan surfaktan dan steroid antenatal menyebabkan
peningkatan angka keselamatan hidup bayi yang lahir prematur (ShapiroMendoza & Lackritz, 2012).
Deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir memerlukan
penggunaan alat yang noninvasif dan tidak membahayakan bayi, pemeriksaan
tidak dipengaruhi oleh lingkungan, pemeriksaan singkat, dan dapat menilai status
fungsi pendengaran secara akurat. Auditory Brainstem Response (ABR), Transient
Evoked Otoacoustic Emissions (TEOAE) dan Distortion Product Otoacoustic
Emission (DPOAE) merupakan tiga alat pemeriksaan yang memenuhi kriteria
3
diatas dan dipergunakan untuk deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru
lahir (Gorga et al., 2000). Deteksi gangguan pendengaran dapat dilakukan oleh
orang tua secara sederhana dengan memperdengarkan sumber bunyi ke bayi dan
diamati ada tidaknya respons bayi terhadap suara, namun pemeriksaan ini bersifat
subyektif. Otoacoustic Emission (OAE) merupakan suara yang muncul di liang
telinga ketika membrana timpani mendapatkan vibrasi yang ditransmisikan oleh
koklea melalui telinga tengah sebagai akibat adanya amplifikasi koklea yang
berasal dari gerakan sel rambut luar telinga dalam (Kemp, 2002; Kemp, 2008).
Pemeriksaan OAE pada bayi dapat menunjukkan proses aktif di koklea dan
maturasinya (Jedrzejczak et al., 2007). Proses aktif koklea yang dimaksud
menunjukkan gambaran dari fungsi sel rambut luar. Pada bayi yang lahir prematur
dapat
terjadi
gangguan
pendengaran
oleh
karena
belum
sempurnanya
pembentukan anatomi dan fungsi dari telinga yang berperan dalam pendengaran
baik telinga luar, tengah, dalam ataupun maturitas dari syaraf pendengaran
(Brienesse et al., 1996). Organ korti yang berperan dalam fungsi sensori
pendengaran telah terbentuk dan berfungsi pada usia kehamilan 30-32 minggu
(Pujol, 1999; Hall, 2000). Telinga tengah dan luar terbentuk pada minggu ke-34
dan berfungsi setelah lahir.
Terdapat banyak penelitian terutama yang menilai bagaimana prematuritas
berpengaruh terhadap syaraf pendengaran dimana terjadinya pemanjangan masa
laten antar puncak gelombang pada ABR. Penelitian yang menilai bagaimana
hubungan antara prematuritas sebagai faktor risiko terjadinya gangguan dari
fungsi koklea juga telah ada namun hasilnya masih berbeda pada tiap-tiap
4
penelitian terutama dikarenakan perbedaan dari data yang dianalisis. Sampai saat
ini belum ada penelitian di RSUP Dr. Sardjito yang meneliti bagaimana gambaran
fungsi sel rambut luar pada bayi prematur yang dinilai dengan pemeriksaan OAE.
B. Perumusan Masalah
1.
Prematuritas merupakan permasalah global dimana diperlukan penanganan
khusus dan lebih dibanding bayi yang lahir cukup bulan. Bayi yang lahir
prematur memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
2.
Prevalensi kelahiran prematur di RSUP Dr. Sardjito pada tahun 2005
mencapai 109 kasus (12,5 %) dan cenderung meningkat setiap tahunnya.
3.
Prematuritas merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran,
gangguan tumbuh kembang, dan gangguan intelektual.
4.
Koklea merupakan bagian dari sistem pendengaran dengan inti organ korti
yang memiliki struktur sel rambut luar dan sel rambut dalam. Koklea
menerima vaskularisasi dari arteri yang sangat kecil (arteri koklearis) tanpa
sistem kolateral dan stria vaskularis yang merupakan sumber energi untuk
sel-sel rambut.
5.
Immaturitas dari struktur di koklea menyebabkan gangguan dari fungsi
koklea.
6.
Bayi yang lahir prematur fungsi surfaktan paru belum sempurna sehingga
bayi sering mengalami distress pernafasan, hipoksia bahkan apnea yang
dapat menyebabkan gangguan fungsi koklea.
7.
Emisi otoakustik adalah hasil dari proses aktif koklea yang dihasilkan oleh
sel rambut luar saat fungsi organ korti bekerja dengan baik. Pemeriksaan
5
OAE merupakan alat pemeriksaan noninvasif untuk menilai fungsi sel
rambut luar.
8.
Telah banyak penelitian mengenai hubungan prematuritas dengan fungsi
syaraf pendengaran dan terdapat hubungan yang signifikan. Namun masih
terdapat hasil yang tidak konsisten pada beberapa literatur mengenai
hubungan prematuritas sebagai faktor risiko gangguan fungsi sel rambut
luar.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas maka disusun pertanyaan
penelitian: Apakah prematuritas berperan sebagai faktor risiko terhadap gangguan
fungsi sel rambut luar koklea?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran prematuritas sebagai salah
satu faktor risiko terhadap gangguan fungsi sel rambut luar.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang THT-KL
khususnya neurootologi agar dapat dijadikan bahan asupan untuk memahami lebih
jauh mengenai prematuritas dan gangguan fungsi sel rambut luar koklea, sehingga
dapat dilakukan penatalaksanaan lebih dini.
F. Keaslian Penelitian
Terdapat beberapa penelitian yang menilai hubungan antar prematuritas
dengan gambaran fungsi sel rambut luar. Smurzynski et al. (1993) melakukan
penelitian pada 118 telinga bayi prematur dibandingkan dengan 33 telinga bayi
6
cukup bulan tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara hasil pemeriksaan
DPOAE dan CEOAE (Smurzynski et al., 1994).
Morlet et al. (1995) pada penelitiannya menilai bagaimana gambaran emisi
otoakustik pada bayi prematur dibandingkan dengan cukup bulan menggunakan
SOAE dan EOAE, juga tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dalam
munculnya gelombang emisi otoakustik (Morlet et al., 1995).
Jedrzejczak et al. (2007) pada penelitiannya dengan TEOAE didapatkan
hasil perbedaan yang signifikan pada mulai munculnya masa laten gelombang
OAE di frekuensi 1414-2828Hz antara bayi lahir prematur usia 31-33 minggu
(diukur pada usia 40 minggu masa konsepsi) dibandingkan dengan bayi lahir
cukup bulan (Jedrzejczak et al., 2007).
Pourarian et al. (2012) pada penelitiannya dengan menggunakan DPOAE
didapatkan perbedaan yang signifikan antara bayi lahir prematur dengan cukup
bulan (Pourarian et al., 2012).
Penelitian ini berbeda dengan penelitian Smurzynsky et al. (1994), Morlet et
al. (1995), Jedrzejczak et al. (2007) dan penelitian oleh Pourarian et al. (2012).
Penelitian ini dilakukan pada tempat, dan target populasi yang berbeda. Metode
penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional kasus kontrol (case
control study) dengan jumlah sampel sebanyak 124 sampel dengan pembagian 62
neonatus pada kelompok kasus dan 62 neonatus kontrol. Sampel diambil dari data
rekam medis pasien OAE di bagian neurootologi THT-KL untuk dikelompokkan
sebagai kelompok kasus dan kontrol dan dilanjutkan dengan pengambilan data
7
secara retrospektif dari rekam medis pasien yang dirawat di ruang NICU RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta untuk mencari faktor risiko prematuritas.
Tabel 1. Keaslian penelitian
NO
1
PENELITI
Smurdzynski,
et al (1993)
2
Morlet, et al
(1995)
3
Jedrzejczak,
et al (2007)
4
Pouranian, et
al (2012)
JUDUL
Distortionproduct and
click-evoked
otoacoustic
emissions of
preterm and
full-term
infants
Spontaneous
otoacoustic
emissions in
preterm
neonates:
prevalence
and gender
effects
Otoacoustic
emissions
latency
difference
between fullterm and
preterm
neonates
Prevalence of
hearing loss
in newborns
admitted to
neonatal
intensive care
unit
METODE
Cohort
ALAT
DPOAE
&
CEOAE
SAMPEL
33 Matur
dan 118
Prematur
HASIL
p>0,05
Cohort
EOAE
& SOAE
93
Prematur
dan Matur
p>0,05
Cohort
TEOAE
50 Matur ,
32 PCA 33
dan 14
PCA 40
p<0,05
Cross
sectional
DPOAE
69 Matur
dan 55
Prematur
p<0,05
Download