Paper Kajian Dialektologi dan Sikap Bahasa Minang

advertisement
Prosiding Seminar Nasional Sosiolinguistik dan Dielektologi, Auditorium Gd.4 FIB
UI, 9-10 November 2015
Kajian Dialektologi dan Sikap Bahasa Minang
Pada Pedagang Rantau di Jakarta
1
1
Erni Hastuti, 2Teddy Oswari
Fakultas Sastra dan Bahasa, Universitas Gunadarma
2
Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma
1,2
[erni,toswari]@staff.gunadarma.ac.id
Abstraksi
Masyarakat dwibahasa atau multibahasa memiliki pola kedwibahasaan yang
mampu menunjukkan kedudukan dan fungsi bahasa yang terdapat dalam bahasa
masyarakat. Bahasa yang dimaksud yaitu terdiri dari B1 atau disebut sebagai bahasa
ibu dan B2 atau disebut Bahasa Indonesia. Dwibahasa atau multibahasa tersebut
menuntut masyarakat penutur bahasa untuk menentukan sikap bahasa karena adanya
pilihan bahasa. Tujuan penelitian ini mengkaji ciri-ciri dialektika dan sikap bahasa
Minang pada pedagang rantau di Jakarta.
Metode penelitian adalah deskriptif kualitatif, dengan melakukan survey dan
focussed group discussion (FGD) guna mendokumentasikan, merekam dan mencatat
untuk dianalisis ciri-ciri dialektika dan sikap bahasa Minang yang masih digunakan
oleh banyak pedagang rantau.
Hasil penelitian ini adalah ciri dialektika dan sikap kesetiaan bahasa pada
keinginan pendukung bahasa/pedagang untuk memelihara dan mempertahankan
bahasa sangat baik kesetiaannya, ciri dan sikap kebanggaan bahasa pendukung
bahasa/pedagang untuk menjadikan bahasanya sebagai penanda jati diri identitas
etniknya dan sekaligus membedakannya dari etnik lain dan ciri dan sikap kesadaran
norma bahasa pada pemakai bahasa/pedagang untuk memakai bahasanya secara baik,
benar, dan santun sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Kesadaran berbahasa
tercermin dalam tanggung jawab, sikap, perasaan memiliki bahasa yang pada
gilirannya menimbulkan kemauan untuk membina dan mengembangkan bahasa
Minang yang terus diupayakan terjaga oleh pedagang rantau di Jakarta.
Kata kunci: dialektologi, sikap, bahasa, minang, rantau
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kesatuan yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan suku
bangsa. Setiap suku bangsa mempunyai bahasa daerah sebagai bahasa ibu dengan ciri
khasnya masing-masing yang masih tetap digunakan sebagai alat komunikasi di
antara penuturnya, baik di dalam wilayahnya maupun di perantauan. Kebiasaan
menggunakan bahasa daerah sendiri di luar wilayah bahasa menyebabkan terciptanya
beberapa masyarakat yang dwibahasa (bilingual) bahkan dapat membentuk
masyarakat yang multibahasa (multilingual). Menurut kamus linguistik, Harimurti
(2001) bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh suatu masyarakat.
Prosiding Seminar Nasional Sosiolinguistik dan Dielektologi, Auditorium Gd.4 FIB
UI, 9-10 November 2015
Istilah ini disebut juga dengan kedwibahasaan. Orang yang dapat menggunakan dua
bahasa disebut dwibahasawan atau orang yang bilingual.
Pada
masyarakat
dwibahasa
ataupun
multibahasa,
terdapat
pola
kedwibahasaan yang mampu menunjukkan kedudukan dan fungsi bahasa yang
terdapat di dalam bahasa masyarakat, yaitu terdiri dari B1 atau disebut sebagai bahasa
ibu dan B2 atau disebut Bahasa Indonesia. Dengan adanya dwibahasa atau
multibahasa tersebut maka akan menuntut masyarakat penutur bahasa untuk
menentukan sikap bahasa karena adanya pilihan bahasa. Seperti diutarakan oleh
Sarwiji (2006) bahwa sikap ditandai oleh sejumlah ciri-ciri, antara lain meliputi
pilihan bahasa dalam masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa,
perbedaan dialek dan problem yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar
individu. Misalnya, ketika suatu bangsa yang memiliki cukup banyak bahasa daerah
hendak menentukan bahasa nasionalnya. Pemilihan satu bahasa di antara sekian
banyak bahasa yang dimiliki bangsa tersebut sudah barang tentu dirasakan pada sikap
positif masyarakat terhadap bahasa yang dipilihnya itu. Tanpa sikap yang demikian
hampir tidak mungkin suatu masyarakat rela menyampingkan bahasa kelompok
etniknya dan menyetujui dipilihnya bahasa lain sebagai bahasa nasional. Hal ini
mengingat bahwa sikap bahasa merupakan salah satu faktor yang menentukan
kelangsungan hidup suatu bahasa sebab begeser atau punahnya suatu bahasa sangat
ditentukan oleh keputusan berdasarkan sikap bahasa dari masyarakat itu sendiri.
Sikap bahasa itu dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu sikap terhadap
bahasa dan sikap berbahasa. Sikap terhadap bahasa penekanannya tertuju pada
tanggung jawab dan penghargaannnya terhadap bahasa, sedangkan sikap berbahasa
ditekankan kesadaran diri dalam menggunakan bahasa secara tertib. Begitu juga
halnya dengan membagi sikap menjadi dua jenis, namun beliau mengelompokkannya
menjadi sikap bahasa dan sikap nonbahasa. Menurut Sarwiji (2006), sikap bahasa
adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai
bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk
bereaksi dengan cara tertentu, dengan cara yang disenanginya. Adapun reaksi yang
ditimbulkan dapat berupa sikap positif dan sikap negatif. Sedangkan, sikap nonbahasa
yang beliau maksud adalah seperti sikap politik, sikap sosial dan sikap estetis.
Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2010), menyebutkan bahwa sikap bahasa
itu setidaknya mengandung tiga ciri pokok, yaitu (1) kesetiaan bahasa, (2) kebanggaan
bahasa, dan (3) kesadaran norma bahasa. Ketiga ciri sikap bahasa tersebut berkaitan
Prosiding Seminar Nasional Sosiolinguistik dan Dielektologi, Auditorium Gd.4 FIB
UI, 9-10 November 2015
dengan dasar pemilihan seseorang terhadap suatu bahasa di antara sekian bahasa yang
akan digunakan sebagai alat komunikasi, apakah bersikap positif atau bersikap
negatif. Apabila ketiga ciri bahasa ini dimiliki seseorang maka orang tersebut
dikatakan memiliki sikap yang positif terhadap bahasanya. Sebaliknya, jika seseorang
atau sekelompok anggota masyarakat tutur tidak ada lagi gairah atau dorongan untuk
mempertahankan kemandirian bahasanya, maka orang tersebut memiliki sikap negatif
terhadap bahasanya.
Sikap-sikap bahasa muncul sebagai bagian dari kajian sosiolinguistik karena
memandang masyarakat yang dikajinya sebagai masyarakat yang beragam, setidaktidaknya dalam hal penggunaan atau pilihan ragam bahasa mereka. Oleh karena itu,
peneliti sangat tertarik untuk meneliti mengenai sikap bahasa pada masyarakat
minang di Jakarta. Tujuan penelitian ini mengkaji ciri-ciri dialektika dan sikap bahasa
Minang pada pedagang rantau di Jakarta
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah deskriptif kualitatif, dengan melakukan survey dan
focussed group discussion (FGD) guna mendokumentasikan, merekam dan mencatat
untuk dianalisis ciri-ciri dialektika dan sikap bahasa Minang yang masih digunakan
oleh banyak pedagang rantau. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 45 orang yang
tersebar di beberapa wilayah Blok M, Pasar Rebo, Pasar Minggu dan Cililitan.
Langkah-langkah pada penelitian secara keseluruhan adalah mengembangkan/
merevisi instrumen daftar pertanyaan penelitian, dan melakukan studi lapangan tahap
awal dengan metode survei di beberapa daerah di DKI Jakarta untuk memperoleh data
primer.
Perolehan data primer dilakukan untuk menggali berbagai informasi dan
kebiasaan pedagang rantau dalam cara berbahasa, menggunakan bahasa dalam
berkomunikasi dan petatah yang digunakan. Pengambilan data dilakukan dalam kurun
waktu 3 bulan. Analisis yang digunakan adalah deskriptif dan verifikatif terhadap
keseluruhan data yang diperoleh.
PEMBAHASAN
Masyarakat Minang yang memiliki nilai-nilai moral baik secara sosial dan
ekonomi terkandung dalam berbagai wujud kebudayaan secara luas. Terbentuknya
nilai moral secara sosial dan ekonomi merupakan jati diri yang terbentuk dari suku
Prosiding Seminar Nasional Sosiolinguistik dan Dielektologi, Auditorium Gd.4 FIB
UI, 9-10 November 2015
Minangkabau bersumber pada azas kepercayaan, nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip
berdagang atau ekonomi yang dijadikan acuan dalam bertindak pada kehidupan
sehari-hari.
Nilai pemertahanan bahasa pada masyarakat Minang dapat mendorong
tumbuh dan berkembangnya pada kehidupan masyarakat Minangkabau daerah rantau
di Jakarta. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah menjadi pegangan
masyarakt Minang sehingga akan terbawa dan metimbul efek lain yang positif
terhadap kehidupan lingkungan yang dibentuknya. Penerapan nilai bahasa dalam
bersosial dan berdagang sangat memberikan pengayaan pada masyarakat rantau,
terutama dalam berjualan, bertranaksi, mengenalkan produk lokal pada pelanggan,
yang tidak meninggalkan nilai adat istiadat secara turun temurun. Penelitian ini
mengkaji melalui dialektologi pada situasi kebahasaan, bahasa yang digunakan dan
kecenderungan sikap bahasa masyarakat Minang di DKI Jakarta.
Sikap Bahasa Masyarakat Minang Pedagang Rantau
Sikap kesetiaan bahasa (loyalty language) merupakan keinginan masyarakat
pendukung bahasa untuk memelihara dan mempertahankan bahasa. Hal ini pada
masyarakat Minang rantau didukung oleh rumusan Weinreich yang menunjukkan
bahwa kesetiaan bahasa yang mengandung aspek mental dan emosi sangat
menentukan bentuk tingkah laku berbahasa. Kesetiaan berbahasalah yang terutama
mendorong
usaha-usaha
mempertahankan
bahasa,
karena
kesetiaan
bahasa
mempunyai akar emosional yang kuat pada bahasa ibu (mother tongue) dan
terinternalisasi sejak kecil. Selanjutnya kesetiaan bahasa adalah keinginan masyarakat
pendukung bahasa itu untuk memelihara dan mempertahankan bahasa itu. Bahkan
kalau perlu, mencegahnya dari pengaruh bahasa lain, mencegah adanya interferensi
dari bahasa asing. Ciri dialektika dan sikap kesetiaan bahasa pada keinginan
pendukung bahasa/pedagang rantau untuk memelihara dan mempertahankan bahasa
sangat baik kesetiaannya.
Sikap kebanggaan bahasa (language pride) yang dinyatakan Soemarsono
(2012) bahwa kebanggaan bahasa Minang mendorong seseorang perantau atau
masyarakat pendukung bahasa untuk menjadikan bahasanya sebagai penanda jati diri
identitas etniknya, dan sekaligus membedakannya dari etnik lain. Kebanggaan bahasa
Minang yang disebut juga linguistic pride mendorong orang mengembangkan
bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
Prosiding Seminar Nasional Sosiolinguistik dan Dielektologi, Auditorium Gd.4 FIB
UI, 9-10 November 2015
Seseorang perantau yang merasa bangga dengan bahasanya tidak akan mengalihkan
bahasanya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Akan tetapi seseorang perantau
atau masyarakat tutur yang merasa tidak berkewajiban atau merasa malu
menunjukkan
identitasnya
dengan
bahasanya,
dan
cenderung
mengalihkan
kebanggaannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya, maka orang atau masyarakat
tutur seperti itu disebut memiliki sikap negatif terhadap bahasanya. Jadi, ciri dan sikap
kebanggaan bahasa pada pedagang rantau cukup baik dijalankan.
Sikap kesadaran norma bahasa (awarness of the norm) mendorong masyarakat
pedagang rantau sebagai pemakai bahasa untuk memakai bahasanya secara baik,
benar, dan santun sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Kesadaran berbahasa itu
tercermin dalam tanggung jawab bekerja, sikap dalam pergaulan, perasaan memiliki
bahasa yang pada gilirannya menimbulkan kemauan untuk membina dan
mengembangkan bahasa. Soemarsono (2012) menyatakan bahwa dorongan dari diri
pedagang rantau sebagai pemakai bahasa untuk memakai bahasanya secara baik,
benar, santun, sesuai dengan kaidah yang berlaku merupakan sikap kesadaran akan
norma. Sikap kesadaran demikian merupakan faktor yang sangat menentukan perilaku
tutur dalam wujud pemakaian bahasa.
Masalah pemertahanan bahasa menjadikan masalah yang khas dalam
masyarakat multilingual. Berpindah bahasa sebenarnya merupakan suatu indikator
kematian bahasa, karena seorang perantau itu mulai meninggalkan bahasanya. Proses
itu sudah barang tentu tidak secara total dan secara drastis. Gejala yang secara umum
dijumpai adalah lapisan atau kelompok tua lebih bertahan pada bahasanya, sedang
kelompok muda lebih mudah terangsang untuk memakai sesuatu yang baru, yang
mencerminkan kedinamisan. Setiap dwibahasawan mempunyai resiko bahasa yang
satu kadang-kadang hilang. Bahasa dalam guyup eka bahasa sebenarnya pasti dapat
dipertahankan sepanjang keekabahasawan itu tetap jaya.
Jenis pemertahanan bahasa yang mungkin terjadi pada masyarakat Minang
yaitu pemertahanan bahasa aktif. Jika pasif, maka pemertahanan bahasa yang
didalamnya terdapat nilai dan sikap yang bertumpang tindih. Artinya, meskipun
anggota masyarakat minang rantau menganggap bahwa bahasa daerahnya sebagai
lambang jati diri etnik tetapi tidak sejalan dengan perilaku bahasanya di dalam
kegiatan berbahasa. Dengan kata lain, anggota masyarakat pedagang rantau tidak
menggunakan bahasa daerahnya secara teratur sesuai dengan fungsinya sebagai
lambang kedaerahan. Sedangkan, pemertahanan bahasa aktif adalah terdapat
Prosiding Seminar Nasional Sosiolinguistik dan Dielektologi, Auditorium Gd.4 FIB
UI, 9-10 November 2015
hubungan yang hampir satu lawan satu diantara bahasa dengan konteks sosial. Ciri
masyarakat Minang rantau dalam berbahasa yang didalamnya terdapat dua atau lebih
nilai, sikap dan perilaku bahasa yang tidak tumpang tindih.
KESIMPULAN
Mahalnya nilai pada sikap bahasa yang telah dibangun dalam kehidupan
masyarakat minang selalu dibawa oleh pedagang minang rantau di DKI Jakarta, tidak
dapat dilepaskan dari dialektika sejarah yang masih melekat pada masyarakat
pedagang rantau. Kedatangan para pedagang ke Jakarta telah mengakibatkan
munculnya dampak sosial dan ekonomi di sekitar daerah Jakarta, dampak
ekonomisnya adalah bergeraknya roda perekonomian di sekitar daerah tertentu
dengan munculnya pedagang-pedagang makanan dan lain-lain yang merupakan
masyarakat di daerah sekitar itu sendiri.
Sikap bahasa dapat dinyatakan bahwa sikap yang dimiliki oleh para pemakai
bahasa/pedagang rantau, baik yang dwibahasawan maupun yang multibahasawan
terhadap suatu bahasa. Reaksi yang ditimbulkannya dapat berupa perasaan bangga,
mengejek, menolak ataupun sekaligus menerima. Dengan kata lain sikap berbahasa
itu bersifat positif maupun negatif, serta memiliki ciri-ciri yaitu kebanggaan berbahasa
Minang, kesetiaan berbahasa Minang dan kesadaran berbahasa Minang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Abdul Chaer, Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Erni Hastuti, Defi Julianti, Donny Erlangga, Teddy Oswari. 2013. Local Wisdom
Socio-Cultural Minangkabau Society in Indonesia. The International Journal
of Social Sciences (TIJOSS), ISSN: 2305-4557, Vol. 17, November 30
http://www.tijoss.com/MainVolume.html
Rahardi R. Kumjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar Offset.
Reid, Anthony. 2001. Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern
Identities. Journal of Southeast Asian Studies 32 (3): 295–313.
Soemarsono. 2012. Sosiolingusitik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prosiding Seminar Nasional Sosiolinguistik dan Dielektologi, Auditorium Gd.4 FIB
UI, 9-10 November 2015
Sumarsono dan Partana Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA
bekerjasama dengan PT. Pustaka Pelajar.
Download