BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi merupakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi merupakan penyakit dan masalah kesehatan utama di berbagai
negara termasuk Indonesia. Penularan infeksi dapat terjadi dari satu orang ke
orang lain atau dari hewan ke manusia, disebabkan oleh hama penyakit seperti
bakteri, jamur, virus dan parasit (Jawetz et al., 2005). Infeksi yaitu keadaan
masuknya mikroorganisme dalam tubuh yang akan berkembang biak dan
menimbulkan penyakit, mikroorganisme secara umum tediri dari bakteri, fungi
dan protozoa (Pratiwi, 2008).
Salah satu penyakit infeksi yang sering ditemukan yaitu Infeksi Saluran
Kemih (ISK). Infeksi Saluran Kemih ditandai dengan keadaan tumbuh dan
berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi infeksi di kandung
kemih, parenkim, sampai ginjal. Dalam keadaan normal saluran kemih tidak
mengandung bakteri, virus, atau mikroorganisme lainnya. Menurut insidennya
Infeksi Saluran Kemih dapat terjadi pada segala usia, pada remaja meningkat
3,3% menjadi 5,8% (Purnomo, 2011). Diperkirakan 50-60% perempuan dewasa
pernah mengalami Infeksi Saluran Kemih dalam hidupnya (Annete et al., 2010).
Menurut American Urological Association (2012) diperkirakan terjadi ISK 150
juta setiap tahun diseluruh dunia.
Pengobatan
penyakit
infeksi
umumnya
menggunakan
antibiotik.
Pemakaian antibiotik secara rasional sudah menjadi keharusan. Ketidakrasionalan
dan pemakaian yang tidak tepat akan menyebabkan munculnya banyak efek
samping dan resistensi bakteri (Sutrisna, 2012). Resistensi disebabkan oleh
bakteri kehilangan target spesifik terhadap obat dan adanya perubahan genetik
(Jawetz et al., 2005).
Dari penelitian dilaporkan bahwa penggunaan antibiotik tidak lagi dapat
mengatasi beberapa bakteri patogen karena adanya resistensi bakteri, hal ini
menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap antibiotik (Kuswandi, 2011).
Hampir 50% penggunaan antibiotik di Amerika untuk peternakan dan hanya 20%
1
2
yang digunakan untuk pengobatan pada manusia (Kuswandi, 2011). Sabir et al
(2014) menunjukkan tingginya resistensi E. coli terhadap amoksisilin dan
penisilin. Menurut Nakhjavani et al (2007) antibiotik golongan fluroquinolon
sudah mengalami resistensi terhadap E. coli. Selain itu penelitian di Itali yang
dilakukan oleh Magliano (2012) di Itali adanya resistensi bakteri penyebab ISK
terhadap fosfomisin. Dalam penelitian Akram et al (2007) di India bahwa
resistensi bakteri penyebab ISK terjadi pada antibiotik ampisilin dan
cotrimoxazole. Penelitian Endriani et al (2010) di Pekanbaru menghasilkan bahwa
bakteri Gram negatif penyebab ISK sudah resisten terhadap penisilin dan
golongan sefalosporin generasi pertama.
Resistensi bakteri ISK terhadap antibakteri terjadi semakin banyak. Hal ini
yang menyebabkan cepatnya perubahan pola resistensi penyebab ISK. Saat ini
telah banyak yang meneliti pola resistensi bakteri ISK, namun adanya perbedaan
tempat dan waktu penelitian menyebabkan pola resistensi bakteri penyebab ISK
terhadap antibiotik berubah. Oleh sebab itu penting memantau secara
berkesinambungan pola resistensi bakteri penyebab ISK di setiap institusi
kesehatan.
Mempertimbangkan banyaknya fenomena resistensi yang dapat berubah
dari waktu ke waktu dan berbeda-beda di satu tempat dengan tempat lain,
resistensinya
terhadap antibiotika tentu juga berbeda. Hal inilah yang
mendorong peneliti untuk meneliti peta kuman penyebab ISK dan resistensi
antibiotika di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014, agar dapat memperoleh informasi
jenis antibiotik yang tepat dan efektif untuk pengobatan penyakit ISK serta
sebagai penunjang keberhasilan terapi untuk pasien.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan,
bagaimana peta kuman dan resistensinya terhadap antibiotika pada penderita ISK
di RSUD Dr. Moewardi?
3
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peta kuman dan resistensi terhadap
antibiotik pada penderita ISK di RSUD Dr. Moewardi.
D. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Infeksi Saluran Kemih (ISK) menunjukkan keberadaan masuknya
mikroorganisme dalam saluran kemih atau adanya bakteri dalam urin, hal ini
disebut juga dengan bakteriuria. ISK menurut anatominya yaitu cystitis,
pyelonephritis, prostatitis, urethritis, dan epididymitis. Mikroorganisme jenis
aerob adalah salah satu yang sering menyebabkan ISK. Dalam keadaan normal
bakteri aerob atau mikroorganisme lain tidak boleh ada dalam saluran kemih.
Persentase paling tinggi untuk bakteri ISK yaitu Escherichia coli sekitar 50-90%,
bakteri lainnya yaitu Proteus spp, Klebsiella spp dan Staphylococcus dengan
koagulase negatif, sedangkan Pseudomonas jarang ditemukan (Sukandar, 2007).
2. Infeksi Bakteri ISK
Infeksi bakteri penyebab Infeksi Saluran kemih paling banyak terjadi pada
Family Enterobacteriaceae yaitu Escherichia coli.
a. Escherichia coli
Kingdom
: Prokariot
Divisio
: Gracilicutes
Class
: Scotobacteria
Ordo
: Eubacteriaceales
Family
: Enterobacteriaceae
Genus
: Escherichia
Spesies
: Escherichia coli (Salle, 1961)
Escherichia coli adalah bakteri Gram negatif yang berbentuk batang
pendek, motil aktif dan tidak membentuk spora dalam sel tunggal atau
berpasangan. Pembiakan Escherichia coli sifatnya aerob atau fakultatif anaerob
dengan suhu pertumbuhan optimum 37ºC. Selain itu Escherichia coli terdiri dari
4
beberapa antigen, yaitu antigen O (polisakarida), antigen K (kapsular) dan antigen
H (flagella). Antigen O berada dibagian luar dinding sel lipopolisakarida yang
terdiri dari unit berulang polisakarida dan merupakan antigen somatik dan untuk
antigen K berada di kapsul (Jawetz et al., 2005). E. coli menurut patogenitasnya
terkait pada bagian permukaan sel polisakarida dari Lipopolisakarin (LPS). Selain
itu faktor virulensi E. coli sebagai penyebab ISK terdiri dari fimbriae type 1
(58%), aero bactin (38%), antigen O (28%), resistensi serum (25%), P-fimbriae
(24%), antigen K (22%), dan haemolysin (20%) (Sukandar, 2007).
3. Antibiotik
Penggunaan antibiotik dimulai tahun 1930 dengan adanya penemuan
sulfonamide. Kemudian tahun 1940 penisilin digunakan sebagai terapetik yang
efektif, mekanisme kerja antibiotik yaitu menghambat pertumbuhan organisme
lain. Penggunaan antibiotik selain menyembuhkan pasien, juga meminimalkan
efek samping dan rasa tidak nyaman saat terkena infeksi. Antibiotik sering
digunakan untuk mengobati infeksi karena bakteri, namun untuk infeksi ringan
atau jika disebabkan oleh virus tidak memperlihatkan efek yang signifikan
(Guilfoile, 2006). Antibiotik tidak hanya digunakan untuk pengobatan, antibiotik
juga dapat digunakan sebagai bahan pengawet, dalam bidang peternakan dan
tanaman (Pratiwi, 2008). Terapi awal penanganan Infeksi Saluran Kemih sebelum
diketahui organisme penyebabnya dapat digunakan antibiotik ciprofloxacin,
ceftriaxon dan gentamisin (Sukandar, 2007).
Mekanisme aksi beberapa golongan antibiotik, yaitu:
a.
Penisilin
Penisilin merupakan golongan obat β-laktam karena mempunyai cincin
laktam yang unik, serta memiliki ciri-ciri kimiawi, mekanisme kerja, farmakologi,
efek klinis, dan karakteristik imunologi yang mirip dengan sefalosporin,
monobactam, carbapenem, dan β-laktamase inhibitor, yang juga merupakan
senyawa β-laktam. Salah satu contohnya penisilin dengan spektrum yang luas
(ampisilin dan penisilin). Obat golongan penisilin mengalami peningkatan
aktivitas terhadap bakteri Gram negatif (Katzung, 2007). Mekanisme kerja
penisilin tahap pertama yaitu bergabungnya obat dengan penicilin-binding protein
5
(PBPs), setelah itu terjadi penghambatan sintesis dinding sel bakteri
karena
terjadi proses transpeptidasi pada rantai peptidoglikan dan adanya aktivasi enzim
proteolitik pada dinding sel bakteri (Jawetz et al., 2005).
b.
Aminoglikosida
Aminoglikosida umumnya digunakan untuk mengobati infeksi akibat
bakteri Gram negatif enterik, terutama pada bakterimia dan sepsis, dalam
kombinasi dengan vankomisin atau penisilin untuk mengobati endokarditis, dan
pengobatan tuberkulosis. Contohnya adalah streptomisin, neomisin, kanamisin,
tobramisin, sisomisin, netilmisin, gentamisin (Katzung, 2007). Mekanisme kerja
antibiotik golongan aminoglikosida yaitu dengan menghambat sintesis protein.
Tahap pertama adanya penambahan aminoglikan pada reseptor spesifik yang akan
memblokir aktivitas pembentukan peptida, sehingga terjadi salah baca pada pesan
mRNA ribosom, kemudian menghasilkan protein yang nonfungsional, tahap akhir
adanya proses pemecahan polisom sehingga terpisah ke dalam bentuk monosom
yang tidak dapat mensintesis protein (Jawetz et al., 2005).
c.
Sefalosporin
Sefalosporin mirip dengan penisilin secara kimiawi, cara kerja, dan
toksisitas, namun sefalosporin lebih stabil sehingga memiliki spektrum yang lebih
lebar.
Sefalosporin
tidak
aktif
terhadap
bakteri
enterokokus
dan
L.
monocytogenes. Mekanisme kerja sefalosporin yaitu menghambat sintesis dinding
sel mikroba yang terjadi pada tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan
dinding sel (Jawetz et al., 2005). Sefalosporin dibagi dalam beberapa golongan,
yaitu :
1) Sefalosporin generasi pertama
Sefalosporin generasi pertama sangat aktif terhadap kokus Gram positif
seperti pneumokokus, streptokokus, dan staphylococcus. Contohnya cefadroxil,
cefazolin, cefalexin, cefalotin, cefafirin, dan cefradin.
2)
Sefalosporin generasi kedua
Sefalosporin generasi kedua secara umum memiliki spektrum antibiotik
yang sama dengan generasi pertama, namun sefalosporin generasi kedua
6
mempunyai spektrum yang diperluas kepada bakteri Gram negatif, antara lain:
cefaklor, cefamandol, cefanisid, dan cefuroxim.
3) Sefalosporin generasi ketiga
Sefalosporin generasi ketiga memiliki spektrum yang lebih diperluas
kepada bakteri Gram negatif dan dapat menembus sawar darah otak. Contohnya
adalah cefeperazone, cefotaxime, ceftazidim, ceftizoxime, ceftriaxon, dan
cefixime.
4) Sefalosporin generasi keempat
Cefepim merupakan contoh dari sefalosporin generasi keempat dan
memiliki spektrum yang luas dan sangat aktif terhadap haemofilus dan neisseria
yang dapat dengan mudah menembus CSS (Katzung, 2007).
d. Sulfametoxazol dan Trimetoprim
Sulfonamida dan trimetoprim merupakan obat yang mekanisme kerjanya
menghambat sintesis asam folat bakteri yang akhirnya berujung kepada tidak
terbentuknya basa purin dan DNA pada bakteri. Kombinasi dari trimetoprim dan
sulfametoxazole bekerja dengan sinergis dan saling menguatkan. Sulfametoxazole
akan menghambat sintesis asam dihidrofolat dari PABA, selanjutnya trimetoprim
akan menghambat sintesis asam tetrahidrofolat (Pratiwi, 2008).
e.
Fluorokuinolon
Golongan fluorokuinolon aktif terhadap bakteri Gram negatif dan Gram
positif, Antibiotik ini bekerja dengan memblok sintesis DNA bakteri dengan
menghambat DNA gyrase dan topoisomerase IV. Golongan fluoroquinolon aktif
mengobati diare yang disebabkan oleh Shigella, Salmonella, E. coli, dan
Campilobacter. Contohnya adalah asam nalidixat, ciprofloxacin, norfloxacin,
ofloxacin, levofloxacin (Katzung, 2007).
4. Resistensi Bakteri
Resistensi bakteri disebabkan karena kegagalan terapi antibiotik. Bakteri
dikatakan resisten karena ketahanan mikroba terhadap antibiotik yang terjadi
secara spontan karena adanya mutasi spontan. Faktor genetik ataupun non genetik
yang terdiri dari resistensi silang, resistensi kromosomal, dan resistensi ekstra
7
kromosomal menjadi penyebab terjadinya resistensi antibiotik (Jawetz et al.,
2005).
5 mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik:
a. Mikroorganisme dapat menghasilkan enzim yang merusak obat.
b. Perubahan permeabilitas dari mikroorganisme terhadap obat.
c. Perubahan struktur target obat.
d. Membuat atau mengembangkan jalur baru untuk menghindari jalur
metabolisme yang biasa dihambat oleh obat.
e. Mengembangkan enzim baru yang sedikit pengaruhnya terhadap obat (Jawetz
et al.,2005)
5. Mekanisme Resistensi Bakteri Gram Negatif Terhadap Beberapa Antibiotika
Gambar 1. Mekanisme resistensi bakteri Gram negatif terhadap beberapa antibotika
(Peleg and Hooper, 2010).
Gambar 1 menunjukkan tujuh mekanisme resistensi yang ditunjukkan
pada bakteri Gram negatif, dengan beberapa antibiotika yang dimediasi oleh
plasmid.
1. Mekanismenya yaitu dengan hilangnya porin yang dapat mengurangi
pergerakan obat melalui membran sel seperti yang terjadi pada imipenem.
2. Adanya enzim β-laktamase dalam ruang periplasma, yang dapat mendegradasi
β-laktam pada antibiotik golongan β-laktam dan carbapenem.
8
3. Peningkatan ekspresi pompa transmembran, yang berguna menghilangkan obat
dari bakteri sebelum dapat mencapai efek, terjadi pada antibiotik golongan
quinolon, aminoglikosida, tetrasiklin, kloramfenikol dan meropenem.
4. Adanya bakteri yang dapat memodifikasi enzim, sehingga antibiotik tidak
mampu berinteraksi dengan target seperti pada antibiotik ciprofloxacin.
5. Mutasi target obat yang mencegah antibiotik untuk mengikat target kerja.
6. Mutasi ribosom atau memodifikasi yang dapat mencegah antibiotik untuk
mengikat serta menghambat sintesis protein.
7. Mekanisme memotong metabolik dengan menggunakan enzim alternatif
sehingga terjadi efek penghambatan antibiotik. Mutasi pada lipopolisakarida,
yang membuat polimiksin antibiotik dapat mengikat target ini (Peleg and
Hooper, 2010).
E. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh data ilmiah tentang peta
kuman dan resistensinya terhadap antibiotika pada penderita ISK di RSUD Dr.
Moewardi.
Download