5 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1

advertisement
5
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Teoritis
2.1.1
Hakekat Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional bukanlah merupakan lawan dari kecerdasan
intelektual yang biasa kita kenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara
dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki
peranan penting untuk mencapai satu kesuksesan, baik itu dalam pendidikan,
karir, kehidupan rumah tangga dan pergaulan. Karena kecerdasan emosional dapat
memberikan gambaran dan menentukan bagaimana individu mampu memberikan
kesan yang baik tentang dirinya pada orang lain. Baik dari bagaimana individu
mampu beradaptasi dengan lingkungan maupun dapat mengungkapkan dan
mengolah emosinya dengna baik. Individu yang cerdas emosi akan mampu
mengendalikan emosinya sesuai dengan situasi dan kondisi yang di hadapi.
Cooper dan Sawaf, 1998 : 115 (dalam Fatimah) mengatakan bahwa
kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara
selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan
pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk
belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta
menanggapinya dengan tepat.
Sementara itu, Howes dan Herald, 1999 : 116 (dalam Fatimah)
mengatakan pada intinya kecerdasan emosional merupakan komponen yang
membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Emosi manusia berada di
wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang
6
apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman
yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
Selanjutnya, Goleman, 1997 : 114 (dalam Fatimah) mengatakan bahwa
kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam
memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi
dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan
emosional tersebut, seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang
tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Koordinasi suasana hati
adalah ini dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang dapat menyesuaikan
diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut
akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah
menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya.
Selain itu Goleman, 1997 : 114 (dalam Fatimah) mengatakan bahwa
koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila
seseorang dapat menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau
dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik
dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta
lingkungannya.
Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi
merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai
contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga
secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku
menangis.
7
Kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat besar dan penting
dalam kehidupan. Karena kecerdasan emosional ini merupakan salah satu dari
beberapa macam kecerdasan yanng dimiliki oleh mannusia. Sehingganya individu
diharapkan dapat mengasahnya dengan baik. Karena sekalipun seseorang
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, namun jika tidak mampu mengendalikan
emosinya dengan baik, cenderung mudah mengalami hambatan dalam berinteraksi
sosial.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai
perasaan diri sendiri dan orang lain dan menanggapinya degan tepat, menerapkan
dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.
2.1.2 Faktor - Faktor Kecerdasan Emosional
Faktor-faktor kecerdasan emosional dapat diketahui melalui beberapa
pendapat para ahli. Antara lain menurut Goleman, 1995 : 116 (dalam Fatimah),
ada lima faktor kecerdasan emosional yaitu:
a.
Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri merupakan inti dan dasar dari kecerdasan emosional
yaitu kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu bagi
pemahaman diri dan kemampuan mengenali perasaan sewaktu perasaan itu
terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli
8
psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran
seseorang akan emosinya sendiri.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi yaitu kemampuan untuk menguasai perasaannya sendiri
agar perasaan tersebut dapat diungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri individu. . Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap
terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Orang tidak mampu
mengelola emosinya akan terus menyesali kegagalannya sedangkan mereka yang
mampu mengelola emosinya akan segera bangkit dari kegagalan yang
menimpanya.
c.
Memotivasi Diri
Memotivasi diri sendiri yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dan
menahan diri terhadap kepuasan sesaat untuk tujuan yang lebih besar, lebih agung
dan lebih menguntungkan. Memotivasi diri sendiri merupakan menata emosi
sebagai alat untuk mencapai tujuan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk
memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri,dan
untuk berkreasi.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati.
Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan
kemampuan empati seseorang. Mengenali emosi orang lain yaitu kemampuan
9
menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi, yang mengisyaratkan apa yang
dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain. Seseorang yang mampu membaca
emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu
terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri,
maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang
lain.
e.
Membina Hubungan Dengan Orang Lain
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang
menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Membina
hubungan dengan orang lain yaitu kemampuan seseorang untuk membentuk
hubungan, membina kedekatan hubungan, meyakinkan, mempengaruhi dan
membuat orang lain nyaman, serta dapat terjadi pendengar yang baik.
Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam
keberhasilan membina hubungan. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan
membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. “Orang berhasil dalam
pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Ramah
tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif
bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauh mana
kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal
yang dilakukannya.
Dengan melihat uraian faktor-faktor kecerdasan emosional maka dapat di
tarik kesimpulan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosional yang
10
mantap maka ia akan dengan mudahnya berinteraksi dan beradaptasi dengan
lingkungan, dapat membina dan menjalin hubungan yang baik dengan siapa saja,
serta mampu dalam mengolah emosi dengan baik.
2.1.3 Ciri Utama Pikiran Emosional
Setiap individu memiliki kecerdasan emosi yang berbeda-beda. Hal ini
dapat dilihat dari ciri-ciri yang terdapat pada masing-masing individu tersebut.
Adapun ciri utama individu yang memiliki pikiran emosional sebagaimana yang
dikemukakan oleh Goleman (1999 : 414 - 420) antara lain:
a. Respon yang Cepat tetapi Ceroboh
Pikiran emosional jauh lebih cepat daripada pikiran rasional, langsung
melompat bertindak tanpa mempertimbangkan apa yang dilakukannya.
b. Realitas Simbolik yang Seperti Kanak-kanak
Logika pikiran emosional itu bersifat asosiatif, menganggap bahwa
unsure-unsur yang melambangkan suatu realitas, atau memicu kenangan
terhadap realitas itu, merupakan hal yang sama dengan realitas tersebut. Itulah
sebabnya mengapa perumpamaan, kiasan dan gambaran secara langsung
ditujukan pada pikiran emosional.
c. Masa Lampau Diposisikan sebagai Masa Sekarang
Apabila sejumlah cirri suatu peristiwa tampak serupa dengan kenangan
masa lampau yang mengandung muatan emosi, akal emosional akan
menanggapinya dengan memicu perasaan-perasaan yang berkaitan dengan
11
peristiwa yang diingat itu. Akal emosional bereaksi terhadap keadaan
sekarang, seolah-olah keadaan itu adalah masa lampau.
d. Realitas yang Ditentukan oleh Keadaan
Bekerjanya akal emosional itu sebagian besar ditentukan oleh keadaan,
ditentukan oleh perasaan tertentu yang sedang menonjol pada saat tersebut.
Bagaimana kita berpikir dan bertindak sewaktu kita merasa romantic akan
betul-betul berbeda dengan bagaimana kita berprilaku jika kita sedang merasa
marah atau ditolak. Dalam mekanika emosi, setiap perasaan mempunyai
repertoar pikiran, reaksi bahkan ingatannya sendiri-sendiri.
Individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang baik, mampu
mengendalikan dirinya, mampu memusatkan perhatian dengan baik, mampu
menjalin hubungan dengan orang lain, serta lebih pintar dalam memahami orang
lain.
2.2
2.2.1
Ruang Lingkup Pola Asuh Orang Tua
Pengertian Pola Asuh
Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua
yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan bahwa pengasuhan anak
adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat
yang baik. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Pourwadirminta, 2002 : 763)
pola asuh terdiri dari dari dua suku kata yang masing-masing memiliki arti
tersendiri. Pola yang berarti system atau gambar yang dipakai untuk contoh,
sedangkan asuh adalah menjaga (merawat dan mendidik) anak supaya dapat
12
berdiri sendiri. Sehingga pola asuh diartikan sebagai system yang diterapkan oleh
orang tua dalam merawat dan mendidik anak-anaknya agar bisa menjadi mandiri.
Orang
tua
harus
menerapkan
pola
asuh
yang
tepat
dengan
mempertimbangkan kebutuhan dan situasi anak. Orang tua mempunyai keinginan
dan harapan untuk membentuk anak-anak menjadi seseorang yang di cita-citakan
yang tentunya lebih baik dari orang tuanya. Tak bisa kita pungkiri bahwa orang
dewasa (orang tua) dengan karakter masing -masing dan masa lalunya akan ikut
serta mempengaruhi jenis pola asuh yang di terapkan pada anak-anak mereka.
2.2.2 Jenis-jenis Pola Asuh Orang Tua
Setiap orang tua memiliki sikap dan perilaku yang berbeda satu sama lain
dalam menghadapi anak-anak mereka. Hal tersebut akan tergambar dalam bentuk
pola asuh yang mereka terapkan. Seorang ahli yang bernama Baumrind, (dalam
Widyarini, 2003 : 215) mengatakan bahwa pola asuh memiliki 4 macam bentuk,
yakni :
1) Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter adalah dimana remaja dan kaum muda harus
mengikuti pendapat dan keinginan orangtua. Orang tua yang memiliki pola
asuh jenis ini berusaha membentuk, mengendallikan, dan mengevaluasi
prilaku serta sikap anak berdasarkan serangkaian standar mutlak, nilai-nilai
kepatuhan, menghormati otoritas, kerja ,tradisi, tidak saling memberi dan
menerima dalam komunikasi verbal. Orang tua kadang-kadang menolak anak
dan sering menerapkan hukuman.
13
2) Pola Asuh Autoritatif
Orang tua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha mengarahkan
anaknya secara rasional, berorientasi pada masalah yang dihadapi, menghargai
komunikasi yang saling memberi dan menerima, menjelaskan alasan rasional
yang mendasari tiap-tiap permintaan atau disiplin tetapi juga mengiunakan
kekuasaan bila perlu, mengharapkan anak untuk mematuhi orang dewasa
tetapi juga mengharapkan anak untuk mandiri dan mengarahkan diri sendiri,
saling menghargai antara anak dan orang tua, memperkuat standar-standar
perilaku. Orang tua tidak mengambil posisi mutlak, tetapi juga tidak
mendasarkan pada kebutuhan anak semata.
3) Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif pada umumnya tidak ada pengawasan. Pada pola
asuh permisif ini orang tua bersikap serba bebas (membolehkan), tanpa
pengendalian, tidak menuntut dan hangat. Dalam Pola asuh ini orang tua
hanya sedikit memberi perhatian dalam malatih kemandirian . Orang tua yang
memiliki pola asuh jenis ini berusaha berprilaku menerima dan bersikap
positif terhadap impuls (dorongan emosi), keinginan-keinginan, dan perilaku
anaknya, hanya sedikit menggunakan hukuman, berkonsultasi pada anak,
hanya sedikit memberi tanggung jawab rumah tangga,membiarkan anak untuk
mengatur aktivitasnya sendiri dan tidak mengontrol, berusaha mencapai
sasaran tertentu dengan memberikan alasan, tetapi tanpa menunjukkan
kekuasaan.
14
4) Pola Asuh Overprotected (memberikan perlindungan berlebihan).
Adalah bentuk pola asuh yang menonjolkan perlindungan berlebihan.
Munculnya sikap atau tindakan perlindungan berlebihan karena adanya
perasaan khawatir yang terlalu berlebihan dari orang tua di sertai keinginan
untuk memberikann perlakuan dan perlindungan terbaik bagi anak remajanya.
Dalam hal ini, semangat untuk memberikan perlindungan dan
perlakukan terbaik tersebut sangat bagus dan patut dipuji. Namun sayang
pelaksanaannya keliru sehingga alih-alih memberikan perlindungan, sebaliknya
malah menimbulkan masalah.
Banyak orang tua yang kurang menyadari bahwa remaja yang dibesarkan
dalam pola asuh ini akan memiliki mentalita yang lemah bila dihadapkan dengan
berbagai tantangan dan kesulitan. Hal itu disebabkan di dalam sistem pola asuh ini
mereka tidak dilatih untuk mengahadapi sendiri tantanngan yang mereka terima,
itulah sebabnya, mereka cenderung selalu dibayang-bayangi berbagai kegagalan,
ketakutan dan kecemasan.
Bentuk pola asuh ini dapat di lihat dari tindakan yang dilakukan orang tua
sebagai berikut : (a) menghilangkan kesempatan remaja bersosialisasi, (b)
menciptakan ketakutan remaja, (c) terlalu memanjakan remaja, (d) tidak mendidik
remaja untuk mandiri, (e) menghindari tanggung jawab, (f) tidak menghargai
kebebasan, (g) menciptakan remaja subjektif.
Sementara mereka tidak pernah menyadari bahwa pola asuh yang di
terapkan pada anaknya akan memberikan dampak yang negatif. Adapun dampak
dari pada pola asuh ini adalah : (a) remaja menjadi peragu, (b) kurang memiliki
15
inisisatif, (c) memiliki tingkat kebergantungan yang tinggi, (d) cenderung mudah
cemas dan penakut, (e) tidak berani menghadapi kenyataan, (f) mudah menyerah
jika menghadapi masalah, (g) daya juang rendah dan lembek, (h) Kurang memiliki
rasas percaya diri, (i) cenderung selalu merasa terancam, (j) lambat menyerap
informasi, (k) cenderung menghindari tanggung jawab, (l) sulit membangun
relasi, (m) kemampuan berinteraksi rendah
Berdasarkan ulasan diatas, kita dapat menarik satu kesimpulan bahwa pola
asuh otoriter memiliki ciri utama tidak demokratis dan menerapkan kontrol yang
kuat. Hal ini berbeda dengan pola asuh autoritatif yang berciri demokratis, tetapi
juga menerapkan kontrol. Berbeda pula dengan pola asuh permisif yang berciri
demokratis, tetapi tanpa memberikan kontrol.
Hampir semua orang tua berpikir harus memberikan yang terbaik untuk
anak-anaknya. Namun, apa yang terbaik menurut satu orang belum tentu dianggap
baik bagi orang lain dalam membesarkan anak. Tiap-tiap orang memiliki gaya
atau pola tersendiri dalam melakukan tugasnya sebagai orang tua. Dengan
pendekatan yang tidak demokratis dan pemberian kontrol yang ketat dalam pola
asuh otoriter, tidak mengherankan bila pola asuh tipe ini memiliki berbagai maam
akibat negatif pada anak.
Orang tua otoriter tidak menyadari pentingnya menghargai pendapat anak.
Mereka tidak menayadari bahwa mendengarkan pendapat anak bisa mendorong
kepercayaan diri dan kemandirian anak dalam berpikir, dan dapat diarahan untuk
mencapai standar moral yang internal (memiliki kesadaran moral), melalui
16
diskusi. Para orang tua juga tidak menyadari bahwa dalam pola asuh yang lebih
banyak menuntut anak ini telah mengikis kehangatan hubungan dengan anak.
Anak tidak menemukan suasana yang memungkinkan untuk mengekspresikan
pikiran dan perasaannya. Padahal, kehangatan dalan hubungan orang tua-anak
merupakan prasayarat bagi kesejahteraan baik anak maupun orang tua.
Rutter 1978 : 108-110 (dalam Surbakti) menyatakan bahwa hubungan
yang baik dalam keluarga antara anak dengan orang tua dan antara ayah dengan
ibu dapat mencegah anak berprilaku agresif dan hubungan yang tidak harmonis di
antaranya membuat anak berprilaku agresif. Kemudian orang tua yang
memberikan kecaman terhadap anak membuat anak berprilaku agresif dan orang
tua yang sering memberikan penghargaan kepada anak dapat membuat anak tidak
berprilaku agresif.
2.2.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua
Dalam mengasuh dan mendidik anak, sikap orang tua ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor (Gunarsah dan Yulia, 2008 : 175-176), yakni :
a. Pengalaman masa lalu yang berhubungan erat dengan pola asuh ataupun sikap
orang tua mereka.
Biasanya dalam mendidik anaknya, orang tua cenderung untuk
mengulangi sikap atau pola asuh orang tua mereka dahulu apabila hal tersebut
dirasakan manfaatnya. Sebaliknya mereka cenderung pula untuk tidak
mengulangi sikap atau pola asuh orang tua mereka bila tidak merasakan
manfaatnya.
17
b. Nilai-nilai yang dianut oleh orang tua.
Orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Mereka menghendaki anak-anaknya agar bisa mengikuti dan mematuhi aturan
yang ada di rumah. Contohnya, orang tua yang mengutamakan segi intelektual
dalam kehidupan mereka, atau segi rohani dan lain-lain.
c. Tipe kepribadian orang tua.
Semua orang tua menyayanngi dan mencintai anak-anaknya. Bahkan
ada juga orang tua yang sangat takut kehilangan anaknya. Misalnya orang tua
yang selalu cemas dapat mengakibatkan sikap yang terlalu melindungi
terhadap anaknya.
d. Kehidupan perkawinan orang tua.
Dalam kehidupan rumah tangga, pastilah banyak lika – liku kehidupan
yang dilalui. Orang tua dalam hal mendidik anak-anaknya selalu melihat apa
yang pernah mereka alami. Apabila mereka mengalami hal yang sangat
menyakitkan yakni perpisahan orang tua mereka, maka hal tersebut tidak akan
mereka ikuti demi kebahagiaan anak-anaknya.
e. Alasan orang tua mempunyai anak.
Di mana-mana alasan orang tua ingin memiliki anak adalah untuk
memperbanyak keturunan. Terlebih lagi sebagai pewaris apa yang dimiliki
oleh orang tua. Selain itu alas an setiap orang tua ingin memiliki anak adalah
sebagai pelengkap dalam kehidupan rumah tangga dan bisa menjadi pelindung
kelak dia dewasa nanti.
18
Di ketahui bahwa akibat negatif dari pola asuh otoriter terhadap anak
antara lain tidak mengembangkan empati, merasa tidak berharga, standar moral
yang eksternal (hanya untuk menghindari hukuman, bukan karena kesadaran),
terlau menahan diri, agresif, kejam, sedih, menarik diri dari peraulan, kurang
dalam hal spontanitas, kemandirian, afeksi, dan rasa ingin tahu. Tidak berbeda
dengan orang tua lain yang tidak menerapkan pola asuh otoriter, orang tua otoriter
pada dasarnya juga bertindak berdasarkan asumsi bahwa apa yang dilakukannya
terhadap anak adalah yang terbaik.
2.3 Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kecerdasan emosional
Pada dasarnya sikap orang tua akan tampak saat orang tua melakukan
interaksi di dalam lingkungan keluarga. Karena dengan adanya interaksi kita dapat
saling memahami dan melihat baik sikap, perilaku dan kebiasaan orang tua
maupun anak. Biasanya ada hal-hal yang ditunjukkan oleh orang tua di nilai dan
kemudian ditiru oleh anak. Akan tetapi ada juga anak yang merasa tertekan
dengan adanya aturan ataupun pola asuh yang diterapkan di dalam keluarga.
sehingga berdampak pada kecerdasan emosional anak.
Menurut penulis, hal utama yang perlu diperhatikan oleh orang tua adalah
pola asuh yang diterapkan di lingkungan keluarga sejak dini sehingga anak
memasuki masa remaja. Karena pola asuh yang baik akan membuahkan hasil
yang baik pula. Sebaliknya pola asuh yang tidak tepat maka akan membuahkan
hasil yang tidak sesuai dengan harapan.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat sitarik satu
kesimpulan bahwa pola asuh orang tua sangat menetukan anak akan menjadi baik
19
ataupun tidak baik. Begitu juga dengan kecerdasan emosional yang dimiliki oleh
anak.
2.3 Kerangka Berpikir
Kecerdasan emosi merupakan salah satu aspek yang ada pada diri manusia.
Hal tersebut terbentuk karena adanya pola asuh yang di terapkan oleh orang tua.
Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah kecerdasan emosi memiliki
hubungan dengan pola asuh yang diterapkan oleh para orang tua. Khususnya pada
siswa kelas XI IPS SMA Negeri 4 Gorontalo. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosional meliputi kemampuan mengenali emosi diri,
kemampuan mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri, kemampuan
mengenali emosi orang lain, dan kemampuan membina hubungan dengan orang
lain. Sementara macam – macam pola asuh orang tua itu sendiri terdiri dari pola
asuh yang otoriter, pola asuh yang autoritatif, pola asuh permisif dan pola asuh
Overprotected (memberikan perlindungan berlebihan).
20
Tabel 1. Kerangka berpikir
Pola Asuh Otoriter
Pola Asuh Autoritatif
Pola Asuh Permisif
Pola Asuh Overprotected
Pola Asuh Orang Tua
Kecerdasan Emosi
Tua
2.4 Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritik di atas, maka hipotesis penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut : “Ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan
Pola asuh orang tua”.
Download