bab ii sistem perkawinan campuran dalam perundang

advertisement
BAB II
SISTEM PERKAWINAN CAMPURAN DALAM
PERUNDANG-UNDANGAN DI NEGARA REPUBLIK
INDONESIA
A. Perkawinan Campuran Menurut Gemengde Huwelijken Regeling (GHR)
1.
Latar Belakang Sejarah Hukum Perkawinan Campuran
a. Rencana GHR
Keperluan akan suatu peraturan tersendiri mengenai perkawinan
campuran dirasakan sekali oleh Panitia Negara yang ditugaskan untuk
mengadakan perbaikan dalam perundang-undangan perdata di negara ini.
Disamping
kekurangan-kekurangan
yang
ada,
penitia
menganggap
diadakannya GHR sangat penting berhubung dengan akan berlakunya seluruh
hukum Eropa, termasuk juga hukum kekeluargaan, bagi orang-orang
Tionghoa, istimewa yang ada di Jawa dan Madura. Hal ini telah diumumkan
dengan Staatsblad 1892/238, tetapi mulai berlakunya ditunda dengan
Staatsblad 1892/238. Jika peraturan tersebut diberlakukan, orang-orang
Tionghoa di Jawa dan Madura dapat dikatakan berada di bawah hukum
perdata yang sama dengan golongan Eropa. Jika seorang perempuan
bumiputera atau Arab di Jawa berkawin dengan seorang Tionghoa, maka
26
27
ahukum yang berlaku tidak lagi hukum yang lama, demikian juga pada
konsepsi hukum Tionghoa yang baru.
Selain itu, urgensi dari GHR juga dirasakan berhubung dengan
semakin
bertambahnya
perkawinan
campuran
yang
terjadi.
Dari
pertimbangan-pertimbangan dan segala masukannya dari tahun 1894,
Direktur Justitusi mengemukakan bahwa tidak banyak perkawinan campuran
yang telah sampai pada hakim, oleh karena itu tidak perlu dibuat peraturan
baru.
Menurut Abendanon, cara berpikir pembuat undang-undang ini
hanyalah suatu alasan untuk mengabaikan kewajibannya dalam membuat
undang-undang. Karena menurut Van den Berg, yang terkenal sebagai sarjana
hukum yang pandai, perkawinan campuran semakin lama semakin
bertambah.1
Sedangkan menurut Raad van Indie, ia menganggap bahwa keperluan
masyarakat akan hal itu tidak begitu mendesak, sehingga tidak diperlukan
peraturan yang baru, karena belum tentu peraturan yang baru tersebut akan
membawa kebaikan.2
Akhirnya setelah Panitia Negara didorong oleh Gubenur Jenderal van
der Wijek dan Menteri Jajahan Bergsma, serta Raad van State, rencana GHR
1
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblad 1898
No. 158), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), 56.
2
Ibid, 56.
28
dengan adanya sedikit perubahan dapat diterima dengan baik dengan
dikeluarkannya beslit Kerajaan pada tanggal 29 Desember 1896 Nomor 23
Staatsblad 1898/158.
b. Hukum Internasional sebagai Latar Belakang dan Suasana GHR
GHR harus dipandang dengan Hukum Internasional sebagai latar belakang
dan suasana. Konsep Hukum Internasional tersebut nyata sekali pada pasal 2
dan pasal 10. Pokok-pokok pikiran yang berlaku di lapangan Hukum
Internasional diterima disini dengan tangan menemukan rintangan.
Ketentuan bahwa sang istri mengikuti status sang suami (pasal 2) adalah
salah satu pokok pikiran hukum kewarganegaraan, yang hal itu merupakan
sebagian dari hukum Internasional. Pasal 10 memperlihatkan, bahwa
swapraja-swapraja yang terletak pada Hindia-Belanda, dalam lapangan
hukum perdata internasional, disamakan dengan “luar negara”, yang
menunjukkan itu berada di luar Hindia-Belanda.
Selain pada pasal 10 GHR, nyata pula pada waktu pembentukan pasal
44 RR Tahun 1854, bahwa bukan saja diluar, akan tetapi juga di dalam
Hindia-Belanda, masih terdapat kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kenyataan
yang ada juga terlihat dari bahan-bahan resmi yang diterbitkan Nederburgh.
Maka, secara sejarah dapat dilihat bahwa GHR dianggap berlaku juga untuk
perkawinan campuran internasional, yakni di antaranya perkawinan antara
orang Indonesia dengan orang Eropa.
29
Menurut pasal 12 juncto pasal peralihan, Staatsblad 1892/268, orang
bumiputera adalah orang asing, walaupun pada dasarnya tidak asing sama
sekali. Sebab orang bumiputera dianggap sebagai Nederlandsch Onderdaan
dalam perjanjian internasional dengan negara-negara lain. Bahwa orang
bumiputera adalah orang asing, terlihat juga dari pembicaraan-pembicaraan
dalam laporan-laporan sekitar GHR.3
2. Pengertian Perkawinan Campuran dalam GHR
Sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan
campuran itu diatur dengan Koninklijk Besluit tanggal 29 Desember 1896
Nomor 23.4 Peraturan ini disebut Regeling op de Gemengde Huwelijken yang
lebih terkenal dengan istilah Gemengde Huwelijken Regeling, dengan singkatan
G.H.R yang sering disebut dengan istilah peraturan perkawinan campuran.
Peraturan Perkawinan Campuran atau G.H.R. telah selesai dirancang pada
tahun 1896 dan diundangkan pada tahun 1898. Pada waktu itu ketentuan tentang
“statute personalia” ex pasal 16 A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving)
masih mengacukan pada asas domisili. Maka mengenai “statute personalia”
tersebut bagi orang asing yang menjadi penduduk Indonesia berlaku hukum
Indonesia dan bukan hukum nasionalnya sendiri. Jadi, pada tahun 1898 pada
bidang hukum perkawinan yang perlu diperhatikan adalah apakah yang
berkepentingan itu penduduk atau bukan penduduk, dan antara golongan3
4
Ibid., 58.
Staatsblad 1898 No. 158.
30
golongan rakyat (Eropa, Bumiputera dan Timur Asing) tanpa memperhatikan
kewarganegaraan yang berkepentingan.5
Asas domisili ex pasal 16 A.B. baru pada tahun 1915 diganti dengan asas
kewarganegaraan. Di samping itu, pada tahun 1898 hanya ada undang-undang
kewarganegaraan untuk bangsa Belanda, yaitu Wet op het Nederlanderschap en
het Ingezetenschap, menurut undang-undang ini hanya orang-orang Belanda
yang mempunyai kewarganegaraan Belanda. Menurut undang-undang ini orangorang Bumiputera dan Timur Asing yang dilahirkan di Indonesia adalah orang
asing.6
Menurut G.H.R. pasal 1, arti perkawinan campuran adalah: “perkawinan
antara orang-orang
yang, di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang
berlainan”.7 Definisi ini sangat luas jangkauannya, tidak membatasi arti
perkawinan campuran pada perkawinan-perkawinan antar warganegara Indonesia
atau antar penduduk Indonesia dan dilaksanakan di Indonesia, asalkan pihakpihak yang melaksanakan perkawinan di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan adalah perkawinan campuran.
Menurut konsepsi pasal 1 tersebut, perkawinan antara dua orang yang
berkewarganegaraan asing dan bukan penduduk Indonesia yang dilaksanakan di
5
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia (Surabaya: Airlangga University Press, 1988), 89.
6
Ibid., 90.
7
Staatsblad 1898 No.158.
31
luar Indonesia, misalnya orang Arab dan orang Inggris, merupakan perkawinan
campuran dalam arti GHR.
Menurut arti perkawinan campuran dalam GHR tersebut termasuk pula
perkawinan-perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri antara dua orang
warganegara Indonesia yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan
atau antara seorang warganegara Indonesia dan seorang asing. Akan tetapi, bila
pihak atau pihak-pihak yang dahulu tunduk pada seluruh atau sebagian dari
hukum perkawinan Betsluit Wetboek (BW)8, maka bagi perkawinan tersebut
berlakulah ketentuan BW.9
Perkawinan campuran dalam arti GHR yang juga merupakan perkawinan
internasional yang diatur dalam BW, misalnya
1) Antara dua orang warganegara Indonesia, yang satu termasuk golongan
Eropa dan yang lainnya golongan Timur Asing Tionghoa.
2) Antara dua orang warganegara Indonesia yang satu termasuk golongan
Timur Asing Tionghoa dan satunya termasuk golongan Timur Asing
bukan Tionghoa.
3) Antara seorang dari golongan Eropa dan Timur Asing Tionghoa dengan
seorang yang berkewarganegaraan Asing.
8
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang dibentuk oleh Kolonial Belanda dan berlaku
bagi orang-orang Eropa dan keturunannya serta mereka yang dipersamakan dengannya.
9
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblad 1898
No. 158), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996, 61.
32
Maka dengan demikian, ada bentrokan antara ketentuan BW dengan ketentuan
GHR, akan tetapi dalam kasus tersebut berlakulah ketentuan BW, karena:
1) Ketentuan BW merupakan ketentuan Hukum Perdata Internasional (HPI)
yang derajatnya lebih tinggi daripada hukum nasional. Meski alasan tersebut
begitu kuat, karena GHR juga untuk perkawinan-perkawinan yang
dilaksanakan diluar negeri10, walaupun GHR kiranya terutama dimaksudkan
untuk perkawinan-perkawinan di Indonesia.
2) Alasan yang lebih kuat adalah bahwa ketentuan dalam GHR adalah
ketentuan yang mulai berlaku pada tahun 1898, sedangkan ketentuan yang
ada dalam BW baru ditetapkan pada tahun 1915.
Ketentuan BW sendiri tidak memberi ketentuan-ketentuan tentang perkawinanperkawinan yang dilasungkan di dalam negeri, apabila hanya salah satu pihak saja
yang tunduk pada seluruh atau sebagian hukum Eropa. Oleh karena itu, perkawinanperkawinan yang calon suami istri tunduk pada hukum yang berlainan berlakulah
ketentuan-ketentuan GHR.
Selanjutnya, menurut pengertian dari pasal 1 GHR tersebut, perkawinan antara
dua orang di Indonesia yang termasuk dalam satu golongan yang sama, akan tetapi
tunduk pada hukum yang berlainan, misalnya: orang Bumiputera yang beragama
Kristen dengan orang Bumiputera yang beragama Islam, merupakan perkawinan
10
Lihat pasal 10 GHR.
33
campuran dalam arti GHR begitu pula dua orang Timur Asing yang satu
berkewarganegaraan Indonesia dan yang lain berkewarganegaraan asing.
Pasal 2 GHR adalah pasal yang terpenting dari seluruh GHR, dan bahkan juga
dalam lapangan Hukum Antar Golongan di Indonesia, karena pasal 2 itu dengan
tegas menjunjung tinggi asas persamarataan penghargaan terhadap stelsel-stelsel
hukum yang berlaku di Indonesia. Karena sebelum berlakunya ketentuan pasal 2
GHR tersebut, sikap pemerintah Hindia-Belanda terhadap stelsel-stelsel hukum yang
berlaku di Indonesia tidaklah demikian, penguasa waktu itu menyatakan bahwa
stelsel hukum Eropa mempunyai kedudukan lebih tinggi. Hal ini terbukti ketika di
Indonesia hendak dimulai dengan perundang-undangan yang baru pada tahun 1848,
dengan mencantumkannya ketentuan yang menyatakan bahwa seorang bukan Eropa
yang hendak menikah dengan seorang Eropa harus tunduk terlebih dahulu pada
Hukum Perdata Eropa.11
Mengenai asas persamarataan sebagai dimuat dalam pasal 2 GHR, walaupun
menurut Wertheim hanya sama sekali benar bila sesuatu dipandang secara strict
juridisch, asas ini adalah perlu untuk mencapai suatu kesatuan hukum dalam
keluarga.12
11
Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, (Jakarta: Ichtiar BaruVanhoeve, 1980), 128.
12
Ibid, 128.
34
3. Syarat-Syarat Perkawinan Campuran Menurut GHR
a) Syarat Materiil
Dalam GHR, syarat-syarat untuk melakukan perkawinan campuran
diatur dalam pasal 7 dan 8. Menurut pasal 7 ayat (1), perkawinan campuran
baru dapat dilaksanakan apabila si perempuan telah memenuhi ketentuanketentuan atau syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum yang berlaku
untuk si perempuan itu. Ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat yang
dimaksud dalam ayat ini adalah ketentuan-ketentuan yang berhubungan
dengan sifat-sifat dan syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat
melaksanakan perkawinan termasuk formalitas-formalitas yang harus
dijalankan sebelum itu dilaksanakan.
Selanjutnya, pasal 7 ayat (3) menyatakan, bahwa telah memenuhi
syarat-syarat sebagai dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) itu haruslah
dibuktikan melalui surat keterangan dari mereka yang menurut hukum yang
berlaku bagi si perempuan diwajibkan mengadakan nikah atau yang kuasa
mengakadkan nikah dari tempat kediaman si perempuan. Bila orang yang
demikian itu tidak ada, keterangan dimaksud dapat dimintakan dari orang
yang ditunjuk oleh Kepala Pemerintahan Daerah di tempat kediaman si
perempuan.
Pasal 8 kemudian menyatakan, bila surat keterangan itu tidak
diberikan oleh orang-orang sebagai dimaksud dalam pasal 7 ayat (3), yang
35
berkepentingan dapat minta keputusan Pengadilan. Pengadilan dalam hal ini
akan memberikan putusannya setelah memeriksa permohonan itu dengan
tidak beracara, tentang apakah penolakan pemberian keterangan itu
beralasan atau tidak. Terhadap keputusan pengadilan tersebut tidak dapat
dimintakan banding. Jika pengadilan tersebut memutuskan bahwa penolakan
tersebut tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan
yang dimaksud pada pasal 7 ayat (3).
Syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 7 tersebut
hanyalah berlaku bagi pihak si perempuan. Bagi pihak laki-laki tidaklah
diperlukan syarat yang demikian, karena sebagaimana dikatakan oleh pasal
6 ayat (1), perkawinan campuran dilaksanakan menurut hukum yang berlaku
untuk si suami, kecuali izin dari kedua belah pihak calon mempelai yang
selalu harus ada.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa perkawinan campuran
ini, sebagaimana yang dikatakan pada pasal 7 ayat (2), perbedaan agama,
bangsa atau asal sama sekali tidak menjadi halangan untuk melangsung
perkawinan. Padahal hampir seluruh agama yang ada dan diakui di Indonesia
menjadikan masalah perbedaan agama dari kedua calon mempelai sebagai
halangan untuk melangsungkan perkawinan secara sah menurut hukum
hukum masing-masing agama yang bersangkutan.
36
b) Syarat Formil
Formalitas perkawinan campuran menurut GHR, diatur dalam pasal 6,
yaitu bahwa perkawinan campuran dilaksanakan menurut hukum yang
berlaku untuk si suami. Selain itu juga disyaratkan adanya persetujuan dari
kedua belah pihak calon mempelai (ayat 1). Pada ayat (2) kemudian
dikatakan, jika menurut hukum yang berlaku untuk si suami tidak ada
seorang yang ditentukan untuk mengawasi atau diwajibkan melaksanakan
perkawinan itu, maka perkawinan itu dilaksanakan oleh Kepala/Ketua
Golongan si suami atau wakilnya dan jika Kepala/Ketua itu tidak ada, maka
diawasi oleh Kepala Kampung atau Kepala Desa dimana perkawinan itu
dilangsungkan. Jika menurut hukum si suami tidak mengharuskan
perkawinan tersebut dibuktikan dengan surat nikah, maka orang yang
mengadakan perkawinan campuran tersebut atau di bawah pengawasan
mana perkawinan campuran itu diselenggarakan, wajib membuat surat nikah
menurut model yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal (ayat 3). Jika orang
tersebut tidak dapat menulis, surat nikah harus ditulis oleh orang yang
ditunjuk untuk itu oleh Kepala Pemerintah Daerah (ayat 4).
Selainjutnya ayat (5) menyatakan bahwa, jika untuk si perempuan
berlaku hukum keluarga Eropa, sedang untuk si laki-laki tidak, maka orang
yang
mengawinkan
atau
yang
mengawasi
perkawinan
itu
harus
mengirimkan surat nikah itu kepada Pengawai Pencatatan Sipil untuk
37
bangsa Eropa dan bangsa yang disamakan dengan bangsa Eropa di daerah
mana perkawinan itu dijalankan, dalam waktu yang akan ditetapkan oleh
ordonansi. Kemudian surat nikah itu oleh pegawai tersebut dicatat dalam
suatu buku pendaftaran yang disediakan untuk itu.
Mengenai formalitas-formalitas perkawinan campuran ini, Dr. R.
Wirjono Prodjodikoro, SH. Mengatakan bahwa, kalau calon mempelai lakilakinya adalah orang Eropa atau orang Tionghoa atau orang Indonesia asli
yang beragama Kristen tidak ada kesulitan. Tetapi lain halnya jika
mempelai laki-lakinya orang Islam. Karena yang menjadi Pengawai Pencatat
Nikah (PPN) menurut Undang-undang Tahun 1946 Nomor 22 (UU
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk), selaku orang yang oleh Menteri
Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya bertugas untuk mengawasi akad
nikah yang dilakukan oleh orang-orang Islam, adalah selalu orang yang
dalam soal-soal perkawinan hanya mengenai Hukum Islam dan tidak dapat
melepaskan diri dari syarat mutlak dalam Hukum Islam, bahwa seorang
harus beragama Islam untuk dapat kawin dengan orang Islam, maka akan
ditemui
kesulitan-kesulitan
dalam
mengadakan
formalitas-formalitas
perkawinan campuran tersebut.13
Untuk
mengatasi
kesulitan-kesulitan
tersebut,
R.
Wirjono
Prodjodikoro mengatakan bahwa, beliau dapat menyetujui penafsiran pasal
13
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Antar Golongan di Indonesia (Cet-7, Jakarta: Sumur
Bandung, 1981), 92.
38
6 ayat (2) dari Undang-undang Perkawinan Campuran itu sedemikian rupa,
bahwa kini tidak ada seorang, oleh siapa atau di muka siapa perkawinan
harus diselenggarakan. Dengan demikian menurut pasal 6 ayat (2) tersebut,
perkawinan campuran semacam ini harus diselenggarakan di muka Kepala
Daerah, dimana calon suami bertempat tinggal, atau di muka Kepala
Kampung dimana perkawinannya akan dilaksanakan. Pejabat ini selanjutnya
diharuskan membuat surat nikah, sedang apabila terhadap si istri berlaku
hukum Eropa, maka surat nikah tersebut harus dikirim kepada Pegawai
Pencatatan Sipil untuk orang Eropa.14
Terpenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan campuran
sebagaimana tersebut di atas, merupakan hal yang penting, terbukti dengan
diberikannya ancaman pidana denda bagi siapa saja yang melaksanakan
perkawinan campuran dengan tidak memperlihatkan surat keterangan yang
membuktikan
bahwa
syarat-syarat
untuk
mengadakan
perkawinan
sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 7 ayat (3) dan atau pasal 8 ayat
(2) telah terpenuhi (pasal 9).
Demikian Peraturan Perkawinan Campuran telah menjawab persoalan
hukum antara golongan di bidang hukum perkawinan, sehingga persoalan
bentrokan hukum di bidang hukum perkawinan, sebelum berlakunya
unifikasi hukum perkawinan melalui Undang-undang Perkawinan Nomor 1
14
Ibid.,97.
39
Tahun 1974, dapat dipecahkan melalui ketentuan Peraturan Perkawinan
Campuran tersebut. Dan tepatlah apa yang dikatakan oleh Dr. R. Wirjono
Prodjodikoro, bahwa undang-undang tersebut dalam tujuannya merupakan
suatu hukum antara golongan dalam arti yang setepat-tepatnya. Karena
satu-satunya tujuan dari hukum antara golongan adalah untuk memecahkan
persoalan bentrokan antara pelbagai hukum dengan tiada perbatasan.
B. Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
1. Latar Belakang Sejarah
Sebelum terbentuknya Undang-undang tentang Perkawinan di Indonesia
(Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974), telah terdapat pelbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan. Keadaan hukum
menjelang terbentuknya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menunjukkan
adanya pluralisme terutama dalam hal hukum perdatanya. Pluralisme ini awal
mulanya adalah sebagai akibat dari perbedaan corak dan kebudayaan penduduk
Indonesia. Menurut ketentuan pasal 163 Indisch Staatsblad (selanjutnya disebut
I.S.), penduduk Hindia-Belanda dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:15
1) Penduduk golongan Eropa
2) Penduduk golongan Bumiputera
3) Penduduk golongan Timur Asing
15
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia (Cet-1, Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), 230.
40
Pasal 131 dan 163 I.S. menentukan bahwa terhadap golongan-golongan
penduduk tersebut, berlaku hukum yang berbeda-beda. Bagi golongan Eropa
berlakulah peraturan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang, yang menurut
ketentuan pasal 131 I.S. dianutlah asas konkordansi bagi mereka yang sebanyak
mungkin sesuai dengan hukum yang berlaku di Nederland/Belanda. Dengan
Staatsblad 1917 No. 129 jo 1924 No. 557, hukum perdata dan hukum dagang
Eropa ini hampir seluruhnya dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing
Tionghoa, sedangkan dengan Saatsblad 1924 No. 556, berlakulah undang-undang
tersebut di atas bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa dengan
pengecualian ketentuan-ketentuan tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris
karena kematian. Untuk bagian-bagian hukum yang menurut staatsblad itu tidak
dikuasai oleh ketentuan-ketentuan untuk golongan Eropa, maka tetaplah berlaku
adatnya sendiri, kecuali bilamana mereka secara sukarela berdasarkan ketentuan
Staatsblad 1917 No. 12 jo 528 menundukkan diri terhadap hukum privat
golongan Eropa.16
Untuk golongan Bumiputera, berdasarkan ketentuan pasal 131 I.S berlakulah
hukum adatnya sendiri, sejauh tidak menggunakan kesempatan seperti apa yang
diatur oleh pasal 131 ayat (4), Staatsblad 1917 No. 12 jo 528, yaitu
16
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op. Cit., 15.
41
menundukkan diri secara sukarela pada seluruh atau sebagian Hukum Perdata
dan Dagang Eropa.17
Selanjutnya, bagi golongan Bumiputera yang beragama Islam oleh
pemerintah Hindia – Belanda dikeluarkan Ordannantie 8 September 1895 I.S.
1895 No. 198, tentang perkawinan dan perceraian antara umat Islam di Jawa dan
Madura dengan pengecualian karesidenan Surakarta dan Yogyakarta, yang
mengalami beberapa perubahan dengan ordanansi dalam I.S. 1898 No. 149,
Staatsblad 1904 No. 212, Saatsblad 1909 No. 409, Staatsblad 1910 No. 660,
Staatsblad 1917 No. 497 dan Staatsblad 1923 No. 586, diubah dengan Staatsblad
1931 No. 467. Ordonansi tersebut juga berlaku bagi golongan Timur Asing yang
beragama Islam.
Untuk daerah luar Jawa telah dikeluarkan Ordonnantie 16 Desember 1910
I.S. 1910 Nomor 659 tentang perkawinan dan perceraian bagi umat Islam di luar
daerah Jawa dan Madura. Sedangkan untuk Praja Kejawen Surakarta dan
Yogyakarta dengan Ordonnantie 2 Maret 1933, Staatsblad 1933 No. 98 jo
Staatsblad 1941 No. 320.18 Ordonansi-ordonansi tersebut tidak satu pun yang
mengatur materi hukum perkawinan, tetapi hanya mengatur sebatas pendaftaran
perkawinan, talak dan rujuk serta penetapan biaya maksimum, juga biaya para
pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pendaftaran tersebut.
17
18
Ibid, 15.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta: PT Rineka Cipta), 197.
42
Bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa dengan Ordonnantie 9
Desember 1924, Staatsblad 1924 No. 556, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
dan Hukum Dagang Eropa dinyatakan berlaku untuk mereka, kecuali ketentuanketentuan yang menyangkut Hukum Perkawinan dan Keluarga. Sehingga dengan
begitu mereka tetap dikuasai oleh Hukum Adatnya sendiri.
Di Indonesia pada tahun 1930-an, pemerintah Kolonial Belanda sudah pernah
merencanakan peraturan tentang nikah bercatat, tetapi gagal karena gencarnya
protes yang dilancar kalangan Islam. Rancangan Undang-undang (RUU) yang
menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disampaikan
presiden kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Negara Republik Indonesia
dengan Surat Nomor R02/P.U./VII/73 tanggal 31 Juli 1973. Bersamaan dengan
penyampaian Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perkawinan tersebut
pemerintah menyatakan menarik 2 RUU yang telah disampaikan kepada DPRGR, yaitu:19
1) RUU
terkait
Peraturan
Perkawinan
Umat
Islam
sebagaimana
disampaikan dengan amanat Presiden Republik Indonesia Nomor
R02/PRES/5/67 tanggal 22 Mei 1967.
2) RUU terkait Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan sebagaimana
disampaikan dengan amanat Presiden Republik Indonesia Nomor R
010/P.U./HK/9/68 tanggal 7 September 1968.
19
1996), 19.
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Cet-8, Jakarta: LP3ES,
43
Menurut Endang Saifuddin Anshari, penolakan Umat Islam terhadap RUU
perkawinan nasional dan penolakan RUU Perkawinan Islam adalah akibat dari
luka nasional yang telah lama sebagai akibat persaingan antara aspirasi Islam dan
non-Islam. Selain itu, RUU tersebut sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran
Islam dan ada anggapan yang lebih keras lagi, RUU tersebut ingin
mengkristenkan Indonesia. Di Lembaga Legislatif, FPP adalah fraksi yang paling
keras menentang RUU tersebut karena bertentangan dengan fiqh Islam. Kamal
Hasan menggambarkan bahwa semua Ulama’ baik dari kalangan tradisional
maupun modernis, dari Aceh sampai Jawa Timur, menolak RUU tersebut.20
Mengenai usaha penyusunan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dalam keterangan pemerintah pada pembicaraan tingkat I mengenai
RUU tentang perkawinan yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman “Oemar
Seno Adji” dinyatakan bahwa pada tahun 1950 pemerintah telah menugaskan
kepada Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk untuk
meninjau segala peraturan mengenai perkawinan dan menyusun RUU. Panitia ini
menyelesaikan dua buah RUU, yaitu Rancangan Undang-undang Perkawinan
Peraturan Umum yang selesai pada tahun 1952 dan Rancangan Undang-undang
Perkawinan Umat Islam yang selesai pada tahun 1954.21
20
Muhammad Kamal Hassan, “Muslim Intelectual Responses to “New Order”
Modernization in Indonesia”, diterjemahkan Ahmadie Thaha, Modernisasi Indonesia: Respon
Cendekiawan Muslim (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), 190.
21
Amak F.Z, Proses Undang-Undang Perkawinan (Cet-1 Bandung: Al-Ma’arif, 1976), 36.
44
Sejak tahun 1963, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional meninjau masalah
Undang-undang Perkawinan. Menurut Pemerintah, RUU tentang Perkawinan
tersebut dibuat dalam rangka menuju unifikasi, uniformitas dan homogenitas
hukum dan merupakan pelaksanaan UUD 1945.
Rancangan Undang-undang ini mendapat soroton luas dari masyarakat, dan
juga mendapat tantangan luas di kalangan umat Islam karena mengandung
ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan hukum Islam. Menurut Kamal
Hassan, ketika membahas RUU Perkawinan menyatakan bahwa dalam RUU
Perkawinan ditemukan terdapat 11 pasal yang bertentangan dengan hukum
Islam.22
RUU perkawinan tersebut mendapat protes dari kalangan Islam sehingga
rencana tersebut diubah sedemikian rupa sehingga semua tuntutan kalangan
Islam dipenuhi. Protes umat Islam inilah yang merupakan factor utama lahirnya
keputusan untuk mengubah RUU tersebut.
Pandangan umum atas RUU Perkawinan tersebut telah disampaikan oleh 4
fraksi yang diwakili oleh 9 orang23, dan isi umum yang telah disampaikan pada
pokoknya adalah:24
“Dalam Pandangan Umum Fraksi dari partai Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) yang disampaikan oleh Tubagus Hamzah digambarkan
22
Muhammad Kamal Hassan, Op. Cit., 192-194.
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), 363.
24
Ibid., 365.
23
45
perhatian
masyarakat
terhadap
pembahasan Rancangan
Undang-undang
Perkawinan, “ruang sidang yang luas ini penuh sesak sewaktu pemerintah
memberikan penjelasan atas RUU ini pada tanggal 30 Agustus 1973 yang baru
lalu. Juga, pada hari sekarang Gedung Dewan Parlimen Pusat ini mendapat
kunjungan masyarakat dalam jumlah yang memuaskan. Dalam pendapat
akhirnya yang dibacakan oleh M.J Irawan, Fraksi ABRI menggambarkan
pembahasan RUU Perkawinan sebagai “melalui garis-garis penuh liku dengan
ibarat masuk keluar semak penuh duri dan kadang-kadang kita ditempatkan
dalam keadaan seolah-olah berada di hutan belukar tanpa kemampuan melihat
pohon-pohonnya yang berada didalamnya”
Salah satu ketentuan yang controversial dalam RUU Perkawinan adalah
mengenai perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama. Mengenai hal ini,
Fraksi dari partai ABRI menyatakan, perkawinan antara orang-orang yang
berbeda agama perlu ditampung dan perlu diatur dalam undang-undang di negara
Republik Indonesia.
Pandangan Umum Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (FPDI) yang dibacakan
oleh Pamudji, menyatakan bahwa belum akan memasuki materi sebagaimana
biasanya dalam setiap pemberian pandangan umum, dan menyatakan pendapat
dan pendirian fraksinya secara konkret akan disampaikan pada tahap-tahap
berikutnya.
46
Pandangan Umum Fraksi Karya Pembangunan (FKP) yang disampaikan oleh
pembicara pertamanya, Nelly Adam Malik, yang berbicara pada urutan ketiga,
memuji-muji RUU tentang Perkawinan sebagai melindungi hak-hak asasi dan
nasib kaum wanita dan anak-anak.
Pandangan Umum FKP yang dibacakan oleh pembicara keduanya, K.H.
Kodratullah, yang berbicara pada urutan terakhir, menyatakan, FKP menganggap
RUU Perkawinan sebagai prestasi yang patut dipuji meskipun masih perlu
meminta penjelasan pemerintah tentang beberapa materi dalam RUU. Mengenai
perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama yang diatur dalam RUU,
FKP dalam pandangan umumnya yang disampaikan oleh K.H Kodratullah,
menyatakan mengenai pasal 11, jika ketentuan tentang perkawinan beda agama
tidak dimaksudkan sebagai anjuran untuk berpindah agama atau anjuran untuk
kawin dengan orang yang berbeda agama, FKP dapat menyetujuinya.
Pernyataan dari FKP tersebut sangatlah beralasan, karena Islam pada
hakikatnya melarang pemeluknya untuk melakukan perkawinan dengan agama
lain, apalagi jika dengan melakukan perkawinan tersebut seseorang sampai harus
berpindah agama (murtad).
Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) paling banyak menyoroti RUU
Perkawinan dalam hal ketidak-sesuaiannya dengan hukum Islam. Dalam
pandangan umumnya yang disampaikan oleh H.M. Amin Iskandar, FPP
menyatakan bahwa apa yang dinyatakannya: “Terdorong oleh hasrat yang
47
menyala untuk menggambarkan perasaan dan kesadaran hukum dari sebagian
besar masyarakat di Indonesia. Mudah-mudahan saudara-saudara yang terhormat
tidak bersikap seperti seseorang yang apabila mendengar kata-kata hukum Islam
kemudian ia apriori tidak bersedia membahas masalah yang berkaitan dengan ini.
Sebaliknya, ia diam seribu bahasa apabila ada orang yang memasukkan
ketentuan-ketentuan keagamaan di luar Islam ke dalam suatu perundangundangan.
FPP dalam pandangan umumnya yang disampaikan oleh pembicara pertama
Ischak Moro juga menyoroti ketentuan sahnya perkawinan dalam Pasal 2 RUU.
Dikatakannya bahwa pasal 2 RUU Perkawinan dapat menimbulkan kekacauan
hukum karena akan berimplikasi pada perkosaan hukum bagi bagian terbesar
rakyat Indonesia dan tidak terjaminnya pelaksanaan Pasal 29 Undang-undang
Dasar 1945.
Dalam RUU Perkawinan Tahun 1973, rumusan Pasal 2-nya adalah:
1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat
perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai
tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang ini
dan/atau ketentuan hukum pihak-pihak yang melakukan perkawinan,
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
2) Pencatatan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan oleh
pejabat Negara yang diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangundangan tersendiri.
48
Dengan rumusan tersebut, seolah-olah pencatatan perkawinan lebih
diutamakan daripada hukum agama. Rumusan ini adalah salah satu di antara
rumusan yang ditentang keras oleh kalangan Islam. Pencatatan perkawinan
memang tidak ditolak, bahkan dianggap penting, tetapi tidak dianggap sebagai
syarat utama sahnya perkawinan. Pencatatan perkawinan merupakan sesuatu
yang penting dalam hukum perkawinan Islam dan jika tidak dilaksanakan maka
ianya tidak memenuhi norma yuridis, sosiologis dan filosofis yang akhirnya akan
melanggar nilai, cita dan norma-norma-norma agama yang berimbas pada
penghambatan dalam memaksakan kehendak tanpa peluang bagi perbaikan dan
penyempurnaan RUU yang diajukan oleh DPR RI.
Dalam laporan Panitia Kerja Rancangan Undang-undang Perkawinan yang
disampaikan oleh Djamal Ali, Ketua Panitia, dinyatakan bahwa pasal-pasal yang
controversial telah dihilangkan dari RUU Perkawinan. Panitia menyelesaikan
tugasnya, menerima baik RUU Perkawinan sebagaimana telah ditambah,
dikurangi, dan diubah pada tanggal 20 Desember 1973. Maka dengan adanya
perbaikan dan penyempurnaan tersebut, semua fraksi menyetujui RUU
Perkawinan tersebut.
Tanggapan pemerintah atas diterimanya RUU tersebut untuk disahkan
menjadi undang-undang disampaikan oleh Menteri Kehakiman yaitu Oemar
Senoadji. DPR dengan Surat Keputusan Nomor 5/DPR-RI/II/73-74 tanggal 22
Desember 1973 memutuskan menyetujui Rancangan Undang-undang tentang
49
Perkawinan setelah diadakan perubahan-perubahan untuk disahkan menjadi
undang-undang. Undang-undang Perkawinan diundang dan disahkan pada 2
Januari 1974, Lembaran Negara 1974 Nomor 1 yang selanjutnya berlaku efektif
sejak tanggal 1 Oktober 1975.
2. Pengertian Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Setelah berlakunya Undang-undang Perkawinan Nasional, yakni Undangundang Nomor 1 Tahun 1974, telah terjadi unifikasi di lapangan hukum
perkawinan. Walaupun demikian, pembuat undang-undang tidak menutup
kemungkinan bagi terjadinya perkawinan campuran di kalangan penduduk
Negara Indonesia dan karenanya masalah perkawinan campuran ini tetap masih
dapat dijumpai pengaturannya dalam undang-undang tersebut, sebagaimana yang
diatur dalam Bagian Ketiga dari Bab XII, Ketentuan-Ketentuan Lain.
Bagian Ketiga dari Bab XII Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, terdiri dari 6 pasal, yaitu dimulai dari pasal 57 sampai dengan pasal
62. Dimana pasal 57 memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan
perkawinan campuran menurut undang-undang tersebut, yakni:
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia”.
50
Dari perumusan pasal 57 tersebut, berarti bahwa Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 telah mempersempit pengertian perkawinan campuran dengan
membatasinya hanya pada perkawinan antara seorang warganegara Indonesia
dengan warganegara asing, daripada pengertian perkawinan campuran yang
selama ini, baik menurut ilmu hukum maupun yurisprudensi tentang perkawinan
campuran sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Dengan demikian, perkawinan antara sesame warganegara Indonesia yang
tunduk kepada hukum yang berlainan tidak termasuk dalam rumusan pasal 57
tersebut. Hal ini sejalan dengan pandangan pemerintah Indonesia yang hanya
mengenal pembagian penduduk atas warganegara dan bukan warganegara dan
sejalan pula dengan cita-cita unifikasi hukum yang dituangkan dalam ketentuanketentuan undang-undang tersebut.
Pasal 58 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
selanjutnya mengatakan, bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang
melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut caracara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik
Indonesia yang berlaku.
51
Sedangkan pasal 59 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menyatakan, bahwa kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat
perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik
terkait hukum publik maupun hukum perdata (ayat 1), dan perkawinan campuran
yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan
ini (ayat 2).
Pasal 60 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kemudian
menyatakan, perkawinan campuran baru dapat dilangsungkan bilamana para
pihak telah memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagai ditentukan oleh hukum
yang berlaku bagi masing-masing pihak (ayat 1). Hal mana haruslah dibuktikan
dengan surat keterangan dari mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi
pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan (ayat 2). Jika pejabat
yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas
permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan
tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi soal apakah penolakan
pemberian surat keteranagn itu beralasan atau tidak (ayat 3). Jika pengadilan
memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi
pengganti keterangan yang dimaksud dalam ayat (3) tersebut (ayat 4). Selain
syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 60 tersebut, Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan memerintahkan pula supaya perkawinan
campuran itu dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (pasal 61 ayat 1).
52
Bagi
mereka
yang
melangsungkan
perkawinan
campuran
tanpa
memperlihatkan terlebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat
keterangan yang membuktikan bahwa syarat-syarat sebagai yang telah
ditentukan oleh pasal 60 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, diancam dengan hukuman pidana kurungan selama satu bulan,
sedangkan bagi pegawai yang mencatat perkawinan tersebut ancaman
hukumannya ditingkatkan hukuman kurungan tiga bulan dan ditambah pula
dengan hukuman jabatan (pasal 61 ayat 2 dan ayat 3).
Ketentuan terakhir mengenai perkawinan campuran menurut Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini, pasal 62, mengatur masalah
kedudukan anak yang lahir dari akibat perkawinan campuran, yaitu dikatakan
bahwa dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai pasal 59 ayat 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3. Perkawinan Campuran Menurut Sistem Hukum Perdata Internasional
Banyak peristiwa hukum yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik
dibidang hukum perdata, pidana maupun bidang hukum lain. Seiring dengan
semakin kompleks dan beragamnya peristiwa hukum yang terjadi di era
globalisasi ini, menuntut pola-pola hubungan hukum yang lebih komprehensif
dalam pergaulan di masyarakat yang tidak hanya di lingkup nasional, namun
juga internasional.
53
Salah satu bidang ilmu hukum yang menjawab tantangan zaman
mengenai beragamnya masalah dalam pergaulan masyarakat internasional
adalah Hukum Perdata Internasional (HPI). Sebagai bagian dari hukum
perselisihan. Hukum Perdata Internasional pada dasarnya merupakan perangkat
di dalam sistem hukum nasional yang mengatur hubungan-hubungan atau
peristiwa-peristiwa hukum yang menunjukkan kaitan dengan lebih dari satu
sistem hukum nasional. Dari batasan yang sederhana ini saja sudah dapat
dirasakan bahwa bidang hukum ini tentunya semakin dibutuhkan peran dan
fungsinya, terutama dalam mengatur pergaulan masyarakat internasional.
Hukum Perdata Internasional adalah seperangkat kaidah-kaidah, asasasas, dan atau aturan-aturan hukum nasional yang dibuat untuk mengatur
peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur-unsur transnasional
(atau unsur-unsur ekstrateritorial).25
Oleh sebab itu, persoalan-persoalan HPI yang mengandung unsur asing
tersebut akan dapat terselesaikan secara optimal bila asas-asas dalam HPI dapat
ditegakkan. Salah satu asas-asas umum HPI dalam beberapa hukum keperdataan
adalah asas-asas dalam hukum keluarga yang berkaitan dengan masalahmasalah seperti, perkawinan, hubungan orang tua dan anak, pengangkatan anak
(adoption), perceraian (divorce), dan harta perkawinan (marital property), yang
mana semua masalah ini mengandung unsur asing.
25
Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional (Cet-4, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2006), 11.
54
Berbicara tentang bidang hukum keluarga, maka pada dasarnya orang
berbicara tentang perkawinan dalam arti yang luas dan mencakup persyaratan
materiil/formil perkawinan, keabsahan perkawinan, akibat-akibat perkawinan,
harta perkawinan dan berakhirnya perkawinan. Dalam Hukum Perdata
Internasional, persoalan perkawinan transnasional adalah salah satu bidang yang
paling vulnerable terhadap persoalan-persoalan hukum perdata internasional.
Di Indonesia, sesuai Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, perkawinan adalah: “Ikatan lahir batin antara seorang pria
dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.
Ikatan Semacam itu yang berlangsung antara seorang pria dan seorang
wanita yang masing-masing tunduk pada sistem hukum nasional yang berbeda
tentunya akan memunculkan persoalan-persoalan Hukum Perdata Internasional
(selanjutnya disebut HPI) dalam bidang hukum keluarga. Persoalan-persoalan
tersebut meliputi masalah validitas perkawinannya sendiri, kekuasaan orang
tua, status anak, dan segala konsekuensi yuridik lainnya dari perkawinan itu.
a) Pengertian Perkawinan Campuran menurut HPI
Secara teoritik, dalam HPI dikenal dua pandangan utama yang berusahan
membatasi pengertian perkawinan campuran, yaitu:26
26
Ibid., 12.
55
i.
Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan campuran
adalah perkawinan yang berlangsung antara pihak-pihak yang berbeda
domisilinya sehingga terhadap masing-masing pihak berlaku kaidahkaidah hukum yang berbeda.
ii.
Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan dianggap
sebagai
perkawinan
campuran
apabila
para
pihak
berbeda
nasionalitasnya.27
b) Validitas Esensial Perkawinan
Asas-asas utama yang berkembang dalm HPI tentang hukum yang harus
digunakan untuk mengatur validitas materiil suatu perkawinan adalah:28
i.
Asas lex loci celebrationis yang bermakna bahwa validitas materiil
perkawinan harus ditetapkan berdasarkan kaidah hukum dari tempat
dimana perkawinan diresmikan.
ii.
Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil suatu perkawinan
ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing
pihak menjadi warga negara sebelum perkawinan diadakan.
iii.
Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil perkawinan harus
ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing
pihak berdomisili sebelum perkawinan diadakan.
27
Pandangan ini yang dianut oleh Hukum Perkawinan Nasional (Lihat Pasal 57 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
28
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid III Bagian I Buku ke-7
(Bandung: Penerbit Alumni, 1995), 189.
56
iv.
Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil perkawinan harus
ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat dilangsungkan
perkawinan, tanpa mengabaikan persyaratan perkawinan yang
berlaku di dalam sistem hukum para pihak sebelum perkawinan
diadakan.29
c) Validitas Formal Perkawinan
Pada umumnya di berbagai sistem hukum, berdasarkan asas locus regit
actum, diterima asas bahwa validitas/persyaratan formal suatu perkawinan
ditentukan berdasarkan “lex loci celebrationis\”, bahwa sepanjang yang
keterkaitan dengan perkawinan, maka berlaku “adigium”, yaitu hukum
setempatlah yang mengatur segala sesuatu mengenai formalitas-formalitas,
yang mana hal ini dapat berlangsung dengan tiga cara, yaitu:30
i. Secara memaksa (compulsory), artinya bahwa semua perkawinan
dilakukan menurut hukum dari tempat dilangsungkannya (lex loci
celebretionis), baik yang dilakukan di dalam maupun yang di luar
negara, tidak ada sistem hukum lain yang diperbolehkan, dan ianya
bersifat mengikat.
ii. Secara optimal, artinya bahwa diadakan pembedaan antara perkawinanperkawinan yang dilakukan di dalam dan di luar negeri. Perkawinan
29
Asas ini juga dianut di dalam pasal 56 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
30
Bayu Seto Hardjowahono, Op. Cit., 276.
57
yang dilangsungkan di dalam wilayah forum harus tunduk kepada
formalitas-formalitas setempat. Sebaliknya, perkawinan dari pihakpihak di luar negeri boleh memperhatikan lex loci celebrationis atau
hukum personal mereka.
iii. Semua perkawinan yang dilangsungkan di dalam wilayah harus harus
dilakukan menurut ketentuan-ketentuan dari forum. Tidak ada bentukbentuk perkawinan lain yang diperbolehkan secara mengikat.
Download