BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan
Masalah kerusakan lingkungan hidup
merupakan persoalan yang
sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Pencemaran dan
pengurasan sumber daya alam mengakibatkan hilangnya keseimbangan pada
alam, sehingga permasalahan ini menjadi bahan pemikiran dan pembicaraan
yang sangat menarik bagi para ilmuwan, budayawan, dan pemerhati
lingkungan hidup di seluruh dunia. Masalah lingkungan hidup juga telah
mendatangkan kecemasan-kecemasan karena rusaknya lingkungan hidup dan
pengurasan sumberdaya alam yang tidak terbarukan dapat mengancam
seluruh umat manusia.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi
alam
itu
sendiri,
kelangsungan
perikehidupan,
dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (UU No.32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Lingkungan
hidup merupakan tempat untuk bereksistensi dan berinteraksi bagi manusia.
Hubungan antara sesama manusia dengan makhluk lain dapat dilakukan
dengan baik apabila terjadi hubungan kerjasama yang saling menguntungkan,
juga hubungan antara manusia dengan alam harus diusahakan agar terjalin
keselarasan dan keserasian.
2
Manusia sedang berada dalam proses perusakan tempat hidupnya
sendiri, banyak hutan ditebang sehingga mengakibatkan banjir dan tanah
longsor serta perusakan dan penjarahan yang semakin mengkhawatirkan.
Masyarakat kadang tidak secara kritis menyadari bahwa aktivitasnya seharihari juga telah mengancan eksistensi alam, yaitu secara perlahan-lahan
dilumpuhkan dan disakiti, kemudian muncul pertanyaan : “Apa yang salah
dalam pendekatan manusia terhadap alam sehingga manusia justru semakin
merusaknya?” Rusaknya lingkungan hidup disebabkan oleh faktor alam yang
berupa bencana alam yang banyak melanda Indonesia seperti gelombang
Tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta dan Padang, letusan gunung
berapi (gunung Merapi) dan angin topan/puting beliung yang melanda
beberapa
kawasan
di
Indonesia.
Peristiwa-peristiwa
alam
tersebut
menimbulkan kerusakan pada lingkungan hidup. Selain itu faktor penyebab
rusaknya
lingkungan
hidup
adalah
faktor
manusia
yang
berupa
pencemaran udara, air, tanah dan suara sebagai dampak adanya industri,
terjadinya banjir, tanah longsor sebagai dampak pengrusakan hutan,
kekeringan, energi semakin mahal serta munculnya berbagai macam wabah
penyakit yang menyerang jenis tumbuh-tumbuhan atau tanaman, hewan
maupun manusia.
Bintarto (1984: 14) menyatakan bahwa apa yang dilakukan manusia
sering tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan
generasi berikutnya, sehingga perlu dipahami perilaku manusia. Pemahaman
terhadap perilaku manusia dapat ditelusuri melalui persepsi manusia terhadap
3
lingkunganya, interaksi sosial antara masing-masing individu, antara
kelompok maupun antara individu dengan kelompok dalam hidup
bermasyarakat.
Permasalahan
lingkungan
hidup
yang
muncul
lebih
banyak
disebabkan oleh perilaku manusia. Kehidupan manusia dengan berbagai
macam dimensi yang dimiliki seperti faktor mobilitas pertumbuhannya, akal
pikiran dengan perkembangan aspek-aspek kebudayaannya, dan faktor zaman
yang semakin berkembang yang mengubah karakter maupun pandangan
manusia, merupakan penyebab utama timbulnya permasalahan lingkungan
hidup yang terjadi dewasa ini (Siahaan, 2004: 1). Faktor yang sangat penting
dalam
permasalahan
lingkungan
yaitu
besarnya
populasi
manusia.
Pertumbuhan populasi yang cepat, kebutuhan akan pangan, bahan bakar,
tempat
pemukiman
dan
kebutuhan
maupun
kepentingan
lainnya
mengakibatkan perubahan besar dalam lingkungan hidup. Hal ini berkaitan
dengan permasalahan lingkungan hidup yang pada hakikatnya muncul ketika
terjadi eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh manusia telah
mengabaikan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kepedulian terhadap lingkungan hidup sangat penting untuk dipahami
dan dimengerti bagi manusia yang merupakan bagian integral dari alam.
Manusia sebagai makhluk secara dominan telah banyak menentukan corak
kehidupan dalam ekosistem dengan berbagai tingkah laku, kepentingan,
keinginan, ideologi, pandangan terhadap nilai telah banyak mempengaruhi
4
dan mengubah wajah bumi yang mencerminkan ketidak seimbangan.
Penggalian dan pemakaian sumber daya alam untuk meningkatkan usahausaha pembangunan serta meningkatkan hasil-hasil pembangunan akhir-akhir
ini disinyalir bertambah banyak. Meningkatnya hasil-hasil pembangunan
akan makin dapat dirasakan bahwa di samping meningkatnya hasil yang
bersifat menguntungkan, makin meningkat pula hasil sampingan yang
bersifat merugikan. Jadi bagaimanapun laju pembangunan akan menghasilkan
dampak, baik yang berupa dampak positif maupun dampak negatif.
Dampak positif merupakan hasil yang diharapkan dan bersifat
menguntungkan, sedangkan dampak negatif merupakan hasil yang tidak
diharapkan dan bersifat merugikan bagi manusia yang melaksanakan kegiatan
pembangunan itu sendiri maupun bagi lingkungan hidup. Dampak negatif
dapat merusak lingkungan hidup, yaitu timbulnya perubahan langsung
maupun tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik/hayati lingkungan hidup yang
mengakibatkan lingkungan hidup itu kurang atau tidak berfungsi lagi dalam
menunjang pembangunan yang berkelanjutan (UU No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Apabila pembangunan
tidak mempedulikan adanya dampak negatif itu, niscaya akan sia-sia saja
apabila diteruskan, sebab akan berakibat rusaknya lingkungan hidup.
Rusaknya lingkungan hidup berarti rusaknya ekosistem dan pada gilirannya
manusia itu sendiri yang menderita akibatnya.
Persoalan lingkungan hidup sebagai ekosistem di mana terdapat
keberadaan manusia atau menyangkut kepentingan manusia itu disebabkan
5
oleh tingkah laku manusia sendiri. Manusia yang dikaruniai akal, rasa, dan
kehendak bebas mempunyai kelebihan kemampuan bila dibandingkan dengan
makhluk lain, sehingga semakin besar kemampuan kebebasannya, seharusnya
manusia semakin memiliki sikap tanggung jawab terhadap apa yang
dilakukannya. Hal ini menyebabkan terjadinya kesenjangan antara hal yang
seharusnya (das sollen) dengan apa yang menjadi kenyataannya (das sein).
Manusia seharusnya bertanggung jawab terhadap hasil tindakannya yang
dilakukan dengan kesadaran, tetapi pada kenyataannya banyak manusia yang
meninggalkan tanggung jawab yang harus dipikulnya (Keraf, 2006: 40).
Perilaku manusia terhadap lingkungan hidup sangat erat kaitannya
dengan etika, karena etika merupakan tuntunan hidup yang diperlukan
manusia dalam kehidupan. Etika adalah pemikiran sistematis manusia tentang
moralitas, merupakan usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikir
yang digunakan manusia untuk menyelesaikan masalah bagaimana manusia
harus hidup menjadi baik (Magnis-Suseno, 1993: 15). Etika memberi kriteria
penilaian moral tentang perilaku manusia yang dianggap sebagai nilai dan
prinsip moral, secara lebih luas dipahami sebagai pedoman bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak dengan baik. Etika memberikan petunjuk,
orientasi, dan arahan kepada manusia bagaimana cara hidup
yang baik
sebagai manusia.
Etika sebagai pengetahuan manusia mengenai baik dan buruk,
diharapkan
mampu
memupuk
kesadaran
lingkungan
hidup
dan
menghindarkan kesewenangan tindakan manusia terhadap sesama manusia
6
dan lingkungan hidupnya. Lingkungan merupakan suatu norma dalam rangka
menjawab pertanyaan : “Apa yang seharusnya
dilakukan atau tidak
dilakukan untuk kelestarian lingkungan hidup?” Dengan kata lain tidak
sekedar ingin mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk dalam
perbuatan,
melainkan
mempersoalkan
pula
bagaimana
seharusnya
meninggalkan yang buruk dan melakukan yang baik untuk kelestarian
lingkungan hidup.
Etika menjadi dasar yang sangat penting dalam menanggapi
permasalahan lingkungan hidup. Kebiasaan hidup yang sesuai dengan tatanan
etis menjadikan kehidupan manusia lebih terarah dan seimbang. Kepedulian
terhadap lingkungan hidup merupakan bagian dari etika lingkungan hidup
yang menuntut pola perilaku manusia terhadap alam dengan memasukkan
alam secara keseluruhan ke dalam penilaian moral (Keraf, 2006 : 26).
Etika lingkungan hidup merupakan landasan rasional bagi manusia
terhadap tuntutan perlindungan lingkungan hidup di dalam permasalahan
lingkungan. Etika lingkungan hidup juga menetapkan dan menjelaskan
norma-norma atau kaidah-kaidah bagi sikap maupun perilaku manusia yang
tepat berhadapan dengan lingkungannya (Glaeser, 1989 : 135).
Sadar akan perlunya pencegahan dan penanggulangan kerusakan
lingkungan hidup untuk memperoleh kemampuan lingkungan hidup yang
serasi dan seimbang, maka pembangunan nasional Indonesia dikembangkan
ke arah pembangunan berwawasan lingkungan hidup. Arah pengembangan
pembangunan tersebut ialah bahwa bangsa Indonesia harus menumbuhkan
7
etika
lingkungan
hidup
dalam
melaksanakan
pembangunan
dan
menumbuhkan kemandirian dalam melaksanakan pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi
masa depan (UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup). Bangsa Indonesia harus dapat menumbuhkan etika
lingkungan hidup dan kemandirian dalam melaksanakan pembangunan
berkelanjutan, agar kelestarian lingkungan hidup tetap terjamin.
Pembangunan nasional Indonesia pada hakikatnya berarti membangun
manusia Indonesia yang memiliki ciri-ciri keselarasan hubungan antara
manusia dengan
Tuhan, keselarasan hubungan antara
pribadi
dengan
masyarakat, dan keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan
alam. Pembangunan berkelanjutan tersebut cakupannya meliputi seluruh
manusia Indonesia, termasuk masyarakat Jawa atau kehidupan mayarakat
yang
berlatar belakang budaya Jawa. Norma-norma (ajaran-ajaran) yang
terkandung dalam budaya Jawa menunjang pokok-pokok etika lingkungan
hidup. Hal tersebut dapat mempengaruhi cara berpikir maupun bertindak,
sebagaimana ajaran Sultan Agung, yakni “mangasah mingising budi,
memasuh malaning bumi”, yang mengandung arti bahwa dengan akal budi
manusia mampu untuk menjalin keselarasan dan keserasian dengan alam
(Anshoriy, 2008: v).
8
Ungkapan-ungkapan yang mengandung ajaran moral dan nilai-nilai
filsafati yang berasal dari akar budaya Indonesia sebagai masyarakat multi
budaya terdapat dalam konsep pengelolaan lingkungan hidup, misalnya nilainilai filsafati yang berasal dari masyarakat Jawa berupa ungkapan “mamayu
hayuning bawana” (menyelamatkan dan memperindah dunia), yang
kemudian dikhususkan dengan “mamayu hayuning nusa lan bangsa”
(menyelamatkan dan memperindah nusa dan bangsa), dan “mamayu
hayuning sasama” (menyelamatkan dan memperindah hubungan sesama
manusia) juga dapat disumbangkan untuk etika pengelolaan sumberdaya alam
maupun sumberdaya manusia.
Posisi manusia di tengah-tengah jagad raya menganjurkan dan
mengajarkan kepada seluruh manusia untuk “sadar kosmis”, faham tentang
ekosistem, dan perlu kembali ke alam (back to nature). Jagad raya, isi dan
fenomena alam dalam ajaran “mamayu hayuning bawana” perlu dipelajari
dan dihayati agar timbul gerak untuk mencintai, memperindah, memelihara,
dan melestarikan alam. Hal-hal yang berkaitan dengan fenomena,
karakter, siklus, perubahan atau “mobah-mosiking” alam (jagad, rat, bumi,
bantala, her, maruta, hagni) perlu diikuti dan dikaji dengan saksama.
Ungkapan-ungkapan yang mengandung ajaran moral dan nilai-nilai
filsafati yang berasal dari akar budaya Jawa tersebut dapat dikaji dari segi
etika lingkungan hidup. Ajaran moral dan nilai-nilai filsafati yang terkandung
dalam ungkapan-ungkapan yang berkembang dalam masyarakat sering
menimbulkan berbagai pendapat yang dalam kenyataannya masing-masing
9
menyatakan suatu pendapat yang paling benar, sehingga sering terjadi
pendapat yang pro dan pendapat yang kontra. Perubahan pesat di pelbagai
bidang kehidupan masyarakat membawa kemajuan maupun kegelisahan pada
banyak orang, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan sekitar moral.
Norma-norma lama terasa tidak meyakinkan lagi, atau bahkan terasa usang
dan tidak dapat dijadikan pegangan sama sekali. Orang tidak dapat hanya lari
pada hati nurani, karena hati nurani merasa tidak berdaya menemukan
kebenaran apabila norma-norma yang biasanya dipakai sebagai landasan
pertimbangan kemudian menjadi tidak pasti. Sikap yang jelas arahnya
dibutuhkan untuk
memahami secara mendalam dan kritis atau secara
kefilsafatan tentang moralitas dalam berbagai konteks budaya.
Filsafat merupakan hasil perenungan atau pemikiran manusia
berkembang terus sesuai dengan tingkat peradaban manusia. Fungsi bahasa
yang paling dasar dalam kehidupan manusia adalah menjelmakan pemikiran
konseptual ke dalam kehidupan, kemudian penjelmaan tersebut menjadi
landasan untuk suatu perbuatan yang
hasilnya dapat dinilai. Apabila
pemikiran konseptual tidak dinyatakan dalam bahasa, maka orang lain tidak
akan mengetahui pemikiran tersebut. Penggunaan bahasa yang jelas dalam
filsafat dapat mengungkap secara terinci makna ucapan-ucapan di bidang
moralitas yaitu bahasa etis atau bahasa yang dipergunakan dalam bahasa
moral khusus menganalisis kata yang sangat penting dalam konteks etika,
untuk mengkaji makna ungkapan-ungkapan yang mengandung ajaran moral
10
dan nilai-nilai filsafati yang berasal dari akar budaya Jawa yang mencakup
etika lingkungan.
2. Rumusan Masalah
Penelitian yang berjudul Etika Lingkungan Hidup dalam Ungkapan
Budaya Jawa : Relevansinya dengan Pengelolaan Lingkungan Hidup di
Indonesia, berobjek material ungkapan budaya Jawa (ungkapan-ungkapan
Jawa yang mengandung nilai-nilai etis), dan berobjek formal
etika
lingkungan hidup. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap makna
ungkapan-ungkapan etis yang terdapat dalam budaya Jawa menurut kajian
etika lingkungan hidup.
Berdasarkan objek material dan objek formal pada penelitian tersebut,
maka dapat dibuat perumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana pandangan teori-teori etika lingkungan hidup terhadap
ungkapan budaya Jawa ?
b. Apa nilai-nilai moralitas lingkungan hidup yang terkandung
dalam ungkapan budaya Jawa ?
c. Apa prinsip-prinsip etika lingkungan Jawa
dalam kehidupan
masyarakat ?
d. Apa relevansi etika lingkungan Jawa dengan
pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia ?
3. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai etika lingkungan hidup menurut budaya Jawa
11
belum banyak dilakukan. Apalagi penelitian mengenai : ungkapan menurut
budaya Jawa dalam kajian etika lingkungan hidup belum pernah diteliti.
Seminar-seminar mengenai ungkapan-ungkapan yang mengandung etika
lingkungan hidup menurut budaya Jawa yang pernah diadakan di Yogyakarta
tidak membahas tentang makna ungkapan-ungkapan etis dan nilai-nilai moral
yang mendasari pengelolaan lingkungan hidup, tetapi membahas tentang
pengembangan, pengendalian, pemanfaatan lingkungan hidup yang sifatnya
teknis atau fokusnya pada lingkungan fisik.
Penelitian yang pernah dilakukan mengenai ungkapan-ungkapan
Jawa, ialah Ungkapan-ungkapan Jawa sebagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia
bagi Penutur Asing (BIPA), oleh Hidayat Widiyanto (2009), membahas tentang
manfaat
ungkapan-ungkapan Jawa sebagai dasar pengkayaan kata dalam
bahasa Indonesia.
Penelitian dengan judul Nilai-nilai Luhur dalam Ungkapan Jawa
sebagai Fondamen Kehidupan Masyarakat Berbudaya, oleh Endang Nurhayati
(2010), yaitu membahas tentang nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan
Jawa yang dapat dijadikan kendali untuk berperilaku baik dalam hubungan
manusia dengan sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan hubungan
manusia dengan Tuhan.
Penelitian yang membahas tentang manfaat ungkapan Jawa bagi
informasi antar budaya sekaligus merupakan nasehat yang mengandung unsur
pendidikan bagi generasi muda agar senantiasa mau mawas diri, dengan judul
Beberapa Ungkapan Tradisional Jawa sebagai Komunikasi Budaya Daerah
12
dan Manfaatnya bagi Pendidikan, oleh Retno Parwati (2010).
Penelitian dengan judul Reaktualisasi Ungkapan Tradisional Jawa
sebagai Sumber Kearifan Lokal dalam Masyarakat untuk Penguat Kepribadian
Bangsa, oleh Sri Harti Widyastuti (2012), membahas tentang kearifan lokal
yang berasal dari budaya Jawa yang berwujud ungkapan tradisional, di mana
ungkapan tradisional Jawa adalah harta kultural yang mencerminkan
pandangan hidup, cita-cita, dan keinginan masyarakat Jawa.
Sejauh penelusuran dan pengamatan yang telah dilakukan, belum
pernah dijumpai adanya penelitian yang sama dengan penelitian Etika
Lingkungan
dalam Ungkapan Budaya Jawa : Relevansinya dengan
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, yang menggunakan sudut
pandang etika lingkungan hidup, dengan demikian penelitian ini merupakan
yang pertama kali dilaksanakan, benar-benar asli dan belum pernah diteliti
sebelumnya.
4. Manfaat Penelitian
Penelitian yang berjudul Etika Lingkungan Hidup dalam Ungkapan
Budaya Jawa : Relevansinya dengan Pengelolaan Lingkungan Hidup di
Indonesia ini diharapkan mempunyai manfaat :
a.
Bagi pengembangan bidang ilmu yang berobjek material tentang
lingkungan, yang memiliki sifat interdisipliner seperti Ekologi,
Demografi dan Ilmu Pengembangan Wilayah. Bagi pengembangan
bidang filsafat, terutama filsafat praksis, yaitu Etika Lingkungan,
13
Filsafat Lingkungan, dan Filsafat analitik untuk membantu
ketertiban penggunaan bahasa dalam filsafat agar tidak terjadi
kekacauan bahasa, serta menghilangkan ungkapan-ungkapan
bahasa yang bermakna ganda.
b.
Bagi bangsa Indonesia, dapat memberikan pemahaman dan
kesadaran kritis akan pentingnya perilaku etis terhadap lingkungan
hidup dan mendorong keberhasilan pembangunan berkelanjutan.
c.
Bagi penelitian lebih lanjut, dapat dijadikan bahan acuan untuk
pengembangan
penelitian
khususnya
penelitian
yang
permasalahannya gayut dengan permasalahan penelitian ini.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan sebagai berikut :
1. Merumuskan pandangan teori-teori etika lingkungan hidup terhadap
ungkapan budaya Jawa.
2. Menemukan nilai-nilai moralitas lingkungan hidup yang terkandung
dalam ungkapan budaya Jawa.
3. Merumuskan prinsip-prinsip etika lingkungan Jawa dalam kehidupan
masyarakat.
4. Merumuskan relevansi etika lingkungan Jawa dengan pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia.
C. Tinjauan Pustaka
14
Bangsa Indonesia sesungguhnya telah mengenal budaya hidup yang
religius, artinya bahwa penghayatan hidupnya selalu didasarkan pada keyakinan
dan kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan Pencipta Alam Semesta
dengan segala isinya termasuk manusia. Menyadari bahwa manusia adalah ciptaan
Tuhan, manusia berkeinginan selalu dekat dengan Tuhan, bahkan bercita-cita
dapat kembali pada Tuhan yang menciptakannya, apabila kelak memasuki alam
akhirat atau alam wasana setelah pada waktunya meninggalkan alam madya ialah
alam dunia fana ini. Manusia berkeyakinan
akan dapat mencapai cita-cita
hidupnya bila selama hidup di dunia ini dijiwai oleh sifat Tuhan, ialah sifat baik
atau becik. Segala pikiran, angan-angan, tutur kata dan perilakunya dikendalikan
oleh sifat ”Becik sejatining becik, ber budi bawa leksana” yang artinya baik itu
tidak hanya untuk dirinya saja, tetapi juga baik untuk orang lain atau sesama
manusia (Rukmana,1990: 2).
Tercapainya cita-cita hidup akan tergantung pada manusia sendiri dalam
menggunakan kelengkapan hidup yang berupa akal, rasa, karsa (kehendak), dan
dua nafsu yang bertentangan yaitu nafsu baik dan buruk. Bagi orang Jawa
pemahaman terhadap nilai baik dan buruk tersebut diperoleh dari petuah yang
biasa dikenal dengan pitutur atau piwulang dan ungkapan-ungkapan Jawa sebagai
warisan budaya dan filsafat hidup yang berasal dari nenek moyang. Warisan yang
berupa piwulang/pitutur dan ungkapan Jawa diterima dari didikan orang tua, guru,
ucapan dari mulut ke mulut, bacaan buku-buku kuno serta cerita wayang (Soesilo,
2002: 3).
15
Hadiatmaja (2009: 33) berpendapat bahwa orang Jawa adalah orang yang
berbahasa ibu bahasa Jawa yang di dalam tata hidupnya masih berpedoman pada
nilai-nilai luhur budaya Jawa. Ciri khas orang Jawa yang berkaitan dengan cara
berpikir yang terobsesi oleh nilai-nilai budaya Jawa ialah budi luhur, lembah
manah, tepa slira, dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut bertujuan untuk
mewujudkan kedamaian dan ketentraman dalam kehidupannya dengan terlahirnya
sikap rukun, saling menghormati, menghargai, dan menghindari konflik. Dengan
demikian yang dimaksud dengan masyarakat Jawa adalah sekelompok orang atau
individu
yang
berbahasa
ibu
bahasa
Jawa,
yang
berinteraksi
secara
berkesinambungan yang memiliki norma, aturan, hukum, dan adat istiadat Jawa
sebagai pengatur pola tingkah lakunya dan memiliki identitas kuat yang
mengikatnya.
Suku Jawa memiliki kebudayaan khas yang di dalam sistem dan metode
budayanya digunakan simbol-simbol sebagai sarana atau media untuk menitipkan
pesan-pesan atau nasehat-nasehat bagi bangsanya. Menurut data sejarah yang ada,
penggunaan simbol telah mulai sejak zaman prasejarah. Penggunaan simbol
dalam wujud budayanya dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pemahaman dan
penghayatan yang tinggi, dan dianut secara tradisional dari satu generasi ke
generasi berikutnya atau disebut dengan transgenerasi. Melihat kenyataan hidup
orang Jawa, baik dalam bahasa sehari-hari, sastra, kesenian, pergaulan maupun
upacara-upacara
adatnya
selalu
ada
penggunaan
simbol-simbol
untuk
mengungkap rasa budayanya, sehingga segala makna yang dititipkan pada simbol
maupun ungkapan Jawa sebagai warisan dari nenek moyang dahulu dapat dikenal
16
dan dihayati lebih mendalam serta diambil nilai-nilainya sebagai pitutur, piwulang
atau ungkapan untuk membentuk manusia yang berhati mulia dengan
tanggungjawab sepenuhnya (Pasha, 2011: 6).
Pandangan terhadap lingkungan hidup sangat dipengaruhi oleh latar
belakang budaya serta pengalaman dan konsep agama yang dimiliki. Pandangan
orang Jawa terhadap lingkungan hidup pada umumnya bersifat keseluruhan, tidak
memisahkan individu dari lingkungan, golongan, zamannya, serta situasi dan
kondisinya, bahkan dari alam adikodratnya. Orang Jawa pada umumnya
memandang kehidupan manusia selalu terpaut dengan konsep alam raya, dan
dengan demikian hidup manusia merupakan semacam pengalaman religius, yaitu
untuk mencapai hubungan yang tepat terhadap alam lahir, dan semakin
menyelami batinnya (Magnis-Suseno, 1984: 79)
Hubungan antara manusia dengan alam ini merupakan unsur penunjang
utama sikap orang Jawa terhadap lingkungan hidupnya. Keterikatan dengan alam
membuat manusia belajar menyesuaikan diri dengan alam. Orang Jawa
menganggap bahwa alam tidak dapat diperlakukan dengan cara sembarangan.
Semua kekuatan alam dikembalikan kepada roh-roh dan kekuatan-kekuatan halus,
walaupun demikian manusia tidak merasa bahwa dirinya harus tunduk kepada
alam dan karena manusia tidak memiliki kemampuan untuk menganalisa kekuatan
alam,
manusia
memilih
untuk
berusaha
hidup
selaras
dengan
alam
(Koentjaraningrat, 1984: 42).
Jika dikaji secara mendalam, sesungguhnya apa yang pernah terekam
dalam pikiran orang Jawa yang kemudian dilahirkan lewat ungkapan-ungkapan,
17
kata-kata indah sarat makna adalah realitas kehidupan yang faktual dan
fenomenal, yang dapat dijadikan wacana dan tuntunan hidup bagi pribadi-pribadi
yang sedang mengalami kegelisahan atau ketidak tenangan dalam hatinya, agar
dapat lebih memahami arti hidup dan apa yang seharusnya dilakukan dalam
kehidupan ini (Pasha, 2011: 13).
Pesan-pesan moral dalam masyarakat Jawa disampaikan lewat media seni,
dongeng, tembang, pitutur, piweling para orang tua secara turun temurun, hal ini
bisa dilacak dengan banyaknya sastra piwulang. Ungkapan tradisional Jawa
seperti sing becik ketitik ala ketara, titenana wong cidra mangsa langgenga dan
sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti menunjukkan bahwa eksistensi dan
esensi moralitas dijunjung tinggi dalam budaya Jawa. Dimensi sosial nilai-nilai
etis memberikan suatu kadar objektif yang jarang terdapat dalam bidang
kreativitas yang pada dasarnya bersifat pribadi. Objektivitas ini merupakan suatu
prasyarat bagi universalitas nilai-nilai etis. Keamanan sosial dan kebebasan
berpikir merupakan dasar bagi perkembangan pribadi, sebagai upaya menemukan
kualitas kemanusiaan dan bentuk kelembagaan sosial yang dapat memberikan
dorongan secara optimal pada realisasi kondisi itu, terutama arti pentingnya moral
(Widyawati, 2010: 75).
Hidayat Widiyanto (2009) dalam penelitian yang berjudul “Ungkapanungkapan Jawa sebagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing
(BIPA)”,
membahas tentang manfaat ungkapan-ungkapan Jawa sebagai dasar pengkayaan
kata dalam bahasa Indonesia, karena banyak istilah-istilah dalam bahasa Indonesia
18
yang dipengaruhi/berasal dari ungkapan Jawa.
Endang Nurhayati (2010) dalam penelitiannya dengan judul “Nilai-nilai
Luhur dalam Ungkapan Jawa sebagai Fondamen Kehidupan Masyarakat
Berbudaya”, menjelaskan tentang pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam
ungkapan Jawa yang
dapat dijadikan kendali untuk berperilaku baik dalam
hubungan manusia dengan sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan
hubungan manusia dengan Tuhan.
Pembahasan tentang kearifan lokal yang berasal dari budaya Jawa yang
berwujud ungkapan tradisional, di mana ungkapan tradisional Jawa adalah harta
kultural yang mencerminkan pandangan hidup, cita-cita, dan keinginan
masyarakat Jawa diungkapkan oleh Sri Harti Widyastuti (2012) dalam penelitian
yang berjudul “Reaktualisasi Ungkapan Tradisional Jawa sebagai Sumber
Kearifan Lokal dalam Masyarakat untuk Penguat Kepribadian Bangsa”.
Kepribadian manusia Jawa yang unik didasari oleh semangat menjunjung
tinggi nilai kearifan lokal Jawa yaitu ngundhuh wohing pakarti, yang maksudnya
adalah orang Jawa memahami, menyadari, dan mempercayai bahwa sing nandur
becik bakal becik undhuh-undhuhane lan sing nandur ala bakal ala undhuhundhuhane, artinya yang menanam kebaikan pasti akan berbuah kebaikan, dan
yang menanam keburukan juga akan berbuah keburukan. Dasar ini mempunyai
aura yang cukup kuat dan memberikan energi yang hebat dalam membentuk
kepribadian orang Jawa, karena itu selalu didapati bahwa gaya kepribadian orang
Jawa mampu memberikan pengaruh kepada lingkungan sekitarnya, serta akan
19
memberikan kontribusi yang cukup besar bagi terwujudnya keharmonisan
hubungan persaudaraan secara luas (Haq, 2011: 9).
Manfaat ungkapan Jawa bagi informasi antar budaya sekaligus merupakan
nasehat yang mengandung unsur pendidikan bagi generasi muda agar senantiasa
mau mawas diri, telah diteliti oleh Retno Parwati (2010) dengan judul “Beberapa
Ungkapan Tradisional Jawa sebagai Komunikasi Budaya Daerah dan Manfaatnya
bagi Pendidikan”.
Orang Jawa merasa berkewajiban untuk memayu hayuning bawana, yaitu
memperindah keindahan dunia. Di satu
pihak ada orang-orang yang
menganggapnya secara harafiah, bahwa manusia harus memelihara dan
memperbaiki lingkungan fisiknya, yakni pekarangan sekitar rumahnya, desanya,
dan di pihak lain ada yang menganggap abstrak, yaitu orang wajib memelihara
serta memperbaiki lingkungan spiritualnya, yakni adat, tata cara serta cita-cita
dan nilai budaya yang umum terdapat dalam masyarakat, selain cita-cita dan nilainilai pribadinya. Pada umumnya memayu hayuning bawana merupakan unsur
yang tidak terlepas dari unsur lain, yaitu ungkapan yang berbunyi sepi ing pamrih
rame ing gawe (Mulder, 1983: 14).
Ungkapan-ungkapan
yang
dijumpai
dalam
kehidupan
merupakan salah satu unsur kebudayaan yaitu bahasa, yang
sehari-hari
menurut
Koentjaraningrat (1974: 15-22) akan menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan,
yaitu :
1. Wujud ideal : ialah lapisan yang paling abstrak dan paling luas ruang
lingkupnya, merupakan kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
20
norma-norma, peraturan, dan sebagainya, dapat disebut sebagai adat
dalam arti khusus yaitu sebagai hal-hal yang bernilai dalam kehidupan
manusia.
2.
Wujud kelakuan : ialah merupakan kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud fisik : ialah berupa seluruh hasil fisik aktivitas , perbuatan dan
karya manusia dalam masyarakat.
Nilai budaya masyarakat Jawa dapat diartikan sebagai pedoman tertinggi
yang bersifat abstrak dari masyarakat Jawa dalam rangka menjawab hakikat
hidup, karya, ruang dan waktu, hubungan dengan alam dan hubungan antar
sesama manusia (Koentjaraningrat, 1974: 27).
Manusia dengan kebudayaan berusaha memahami lingkungannya,
sehingga dengan budaya manusia dapat menguasai, melihat, memahami,
mengklasifikasi gejala yang tampak sekaligus menentukan strategi terhadap
lingkungannya.
Jadi
manusia
beradaptasi
dengan
lingkungannya
dapat
mengandalkan kebudayaannya, yaitu adaptasi dalam memahami lingkungannya
melalui proses budaya
yang
sering terjadi apa yang disebut equilibrium
(keseimbangan) dan disequilibrium (ketidak seimbangan) antara manusia dengan
lingkungan hidupnya, maka untuk menjaga disequilibrium ini dalam tradisi Jawa
diadakan selamatan/slametan atau korban secara ritual (Sutardjo, 2008: 11).
D. Landasan Teori
21
Etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku manusia
yang dilakukan dengan sadar dilihat dari sudut baik buruk (Sunoto, 1981: 33).
Etika berkaitan erat dengan masalah-masalah nilai benar dan salah dalam arti
susila dan tidak susila, baik dan buruk.
Etika sebagai pengetahuan tidak akan berguna tanpa dilandasi sikap
tanggung jawab, sebab etika itu sendiri adalah suatu perencanaan menyeluruh
yang mengkaitkan daya kekuatan alam dan masyarakat dengan bidang tanggung
jawab manusiawi (Peursen, 1976: 48). Persoalan etika itu tidak sekedar ingin
mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk dalam perbuatan, melainkan juga
mempersoalkan bagaimana seharusnya menjadi baik dan bagaimana seharusnya
meninggalkan yang buruk.
Teori-teori etika
yang digunakan untuk menjawab permasalahan etis,
yaitu teori etika Deontologi (penilaian baik buruk yang berkaitan dengan
kewajiban), etika Teleologi (penilaian baik buruk yang berkaitan dengan tujuan),
dan etika Keutamaan (penilaian baik buruk yang berkaitan dengan sifat watak
yang dimiliki manusia). Teori etika Deontologi berbicara tentang prinsip-prinsip
dan aturan-aturan moral yang berlaku untuk perbuatan manusia, sedangkan teori
etika Keutamaan mempunyai orientasi yang lain, yaitu tidak menyoroti perbuatan
manusia tetapi lebih mengarah pada watak atau kebijakan manusia (Bertens, 2007:
212).
Lingkungan hidup adalah segala hal yang ada di sekitar manusia, mulai
dari alam sampai manusia lainnya (Reksadjaja, 1979: 24). Batasan yang lebih
22
terinci dikemukakan oleh Salim (1979: 27), bahwa lingkungan hidup diartikan
sebagai segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang
yang ditempati manusia dan mempengaruhi hal-hal yang hidup, termasuk
kehidupan manusia.
Pengertian lingkungan hidup dikemukakan pula oleh Thohir (1985: 16),
yaitu bahwa lingkungan hidup sering disebut lingkungan manusia, ialah segala
sesuatu yang ada di keliling manusia, baik yang berbentuk benda mati maupun
jasad-jasad atau organisme-organisme hidup dan manusia-manusia lain, seperti
teman-teman, tetangga-tetangga dan orang-orang lain yang belum dikenalnya.
Batasan-batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian lingkungan
hidup mengandung unsur-unsur ruang, benda hidup termasuk manusia dan
perilakunya, benda tidak hidup, kondisi dan pengaruh-pengaruh di dalamnya.
Secara jelas batasan mengenai lingkungan hidup tercantum pada UU No.32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia
dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri
kehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Etika lingkungan hidup merupakan thema yang meletakkan etika sebagai
praksiologi dan melibatkan secara langsung persoalan-persoalan kehidupan
manusia. Penilaian moral bagi tingkah laku manusia meliputi seluruh aspek dan
segi kehidupannya, yang menyangkut tanggung jawab etik manusia terhadap
lingkungan hidupnya, terkait tanggung jawab manusia terhadap diri sendiri,
manusia lain (sesama manusia), serta Tuhan Pencipta (Soerjani, 1981: 12).
23
Tanggung jawab etik tersebut menurut Soerjani (1981: 15), meliputi halhal sebagai berikut :
1. Menjaga lingkungan hidup terus berlangsung secara seimbang
keseluruhan komponen lingkungan hidup itu berada dalam suasana
serasi.
2. Hidup manusia dipandang dari arti spiritual, merupakan anugerah yang
sekaligus tugas. Hidup manusia wajib dikembangkan dan bertanggung
jawab “memanusiakan” dirinya dengan mengambil manfaat segala yang
berada di sekitar dirinya, yaitu :
a. Menghadapi sesama manusia harus dijalin kerjasama yang
serasi sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan masingmasing, tidak memperbudak atau memperalat manusia lain.
b. Kewajiban
manusia
menata
lingkungan
hidupnya
agar
terselenggara interaksi yang seimbang bukan hanya terbatas
generasinya, tetapi terlebih lagi bagi generasi yang akan
meneruskannya.
3. Kadar dan tingkat adaptasi manusia dibatasi atau setidaknya
dipengaruhi oleh lingkungannya, baik fisik, biotik maupun yang
bersifat sosial budaya. Perlu disadari agar jangan sampai manusia
menciptakan
suasana
memberikan
pengaruh
lingkungan
buruk
di
hidup
masa
yang
nantinya
mendatang.
akan
Sistem
bermasyarakat, sistem pendidikan, segala pranata hidup yang digariskan
sesuai dengan kebijaksanaan yang berlaku sekarang, demikian pula
24
pemanfaatan segala jenis sumber daya yang sekarang ada, serta
kebijaksanaan kependudukan yang direncanakan, hendaknya tetap
dapat memelihara keserasian lingkungan hidup dan peradaban manusia
di masa mendatang.
Bintarto (1979: 5) berpendapat bahwa secara ringkas kajian lingkungan
hidup dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu lingkungan fisik (physical
environment), lingkungan biologis (biological environment), dan lingkungan
sosial (social environment). Ketiga kelompok lingkungan hidup tersebut oleh
Munn (1979: 7) disebutkan sebagai biogeophysical environment. Penggolongan
tersebut oleh Soerjani (1985: 4) disebutkan sebagai penggolongan sumber daya,
dengan perincian : golongan fisik, golongan hayati, dan golongan sosial budaya.
Golongan fisik meliputi air, udara, tanah/ruang, dan mineral. Golongan hayati
meliputi tumbuhan/vegetasi, hewan, manusia, dan jasad perombak. Golongan
sosial budaya meliputi ilmu pengetahuan, teknologi, tenaga kerja, nilai sosial
budaya atau seni, akal budi/ akal pikiran, agama/ kepercayaan.
Keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan oleh masyarakat untuk
mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya, harus
membawa diri, sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang harus dikembangkan agar
hidup sebagai manusia berhasil disebut dengan etika. Etika merupakan sebuah
konstruksi sosial, budaya, keyakinan dan pandangan hidup secara total.
Teori-teori lingkungan hidup sebagai landasan teori terdiri dari lima (5)
macam teori, yaitu Antroposentrisme, Biosentrisme, Ekosentrisme, Hak asasi
alam, dan Ekofeminisme (Keraf, 2010: 46).
25
Antroposentrisme ialah teori etika lingkungan hidup yang memandang
manusia sebagai pusat dari alam semesta. Biosentrisme ialah suatu teori yang
berpandangan bahwa setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan
berharga bagi dirinya sendiri. Teori ini menganggap serius setiap kehidupan dan
makhluk hidup di alam semesta. Teori Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari
teori etika lingkungan Biosentrisme, sudut pandangnya lebih diperluas untuk
mencakup komunitas lingkungan hidup seluruhnya, baik yang hidup maupun yang
tidak hidup, yang menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme
dalam ekosistem. Teori hak asasi alam, menyatakan bahwa hak asasi tidak hanya
dimiliki oleh manusia, melainkan oleh semua makhluk hidup, dan alam
mempunyai hak asasi untuk dihargai dan dijamin oleh manusia sebagai pelaku
moral. Teori Ekofeminisme adalah teori etika lingkungan hidup yang mempunyai
prinsip dan klaim moral bahwa dunia manusia bukan hanya dunia laki-laki, tetapi
ada yang lain yaitu dunia perempuan, yang secara kritis menelaah akar persoalan
dari semua krisis lingkungan hidup (Keraf, 2010: 145).
Setiap orang hendaknya harus sadar disertai tanggung jawab moral bahwa
memelihara, melestarikan (menjaga kelestarian) lingkungan hidup adalah suatu
perbuatan yang baik dan terpuji dan sebaliknya kalau merusak adalah tidak etis.
Bahasa dalam kehidupan manusia bukan hanya berfungsi sebagai alat
komunikasi saja atau memiliki fungsi komunikatif, melainkan juga memiliki
fungsi kognitif dan emotif (Kaelan, 1998: 17). Hubungan antara bahasa dengan
pikiran manusia, dengan demikian sangat diperlukan dalam upaya manusia
memahami realitas secara benar, terutama dalam memahami dan menafsirkan
26
ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai etis yang ada dalam kehidupan
masyarakat Jawa. Dasar-dasar teori inilah yang digunakan pada penelitian kajian
etika lingkungan dalam ungkapan budaya Jawa.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang bercorak kualitatif
deskriptif yang meneliti tentang etika lingkungan hidup yang mengandung ajaranajaran moral, yang
berupa ungkapan-ungkapan etis yang sudah membudaya
dalam kehidupan masyarakat Jawa, yang merupakan anjuran maupun tuntunan
untuk berbuat baik atau larangan agar tidak berbuat buruk terhadap lingkungan
hidup.
Untuk mengetahui makna yang terkandung dalam dalam ungkapanungkapan tersebut diperlukan cara/metode analitik untuk mengkajinya, sehingga
hasil yang dicapai dapat memberikan kontribusi dalam menggali, melestarikan
dan memasyarakatkan nila-nilai budaya tradisional, maupun pengelolaan
lingkungan dengan baik.
1. Bahan Penelitian
Bahan atau materi yang diperlukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Data primer :
27
(1). Ungkapan-ungkapan Jawa yang ada dalam buku Butir-butir
Budaya Jawa, Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi
Bawaleksana Ngudi Sejatining Becik, penyunting Hardiyanti
Rukmana, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Jakarta, 1990.
(2). Ungkapan-ungkapan Jawa yang ada dalam buku Ungkapan
Budaya Jawa, penulis Soesilo Piwulang , Yayasan Yusula,
Jakarta, 2005.
(3). Ungkapan-ungkapan Jawa yang ada dalam buku Butir-butir
Kearifan Jawa, Sumber Inspirasi Kearifan Lokal, penulis
Lukman Pasha, In Azna Books, Yogyakarta, 2011.
b. Data sekunder : buku-buku berkaitan dengan etika (filsafat moral),
etika Jawa, dan etika lingkungan hidup. Naskah-naskah, dokumendokumen, tulisan-tulisan tentang ajaran moral yang berkaitan
dengan pembahasan etika lingkungan dan budaya Jawa.
2. Cara/Alat Penelitian
Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan dan bersifat kualitatif deskriptif. Objek materi
penelitian
adalah
ungkapan-ungkapan
dalam
budaya
Jawa.
Pengumpulan data dilakukan dengan pengkartuan, yaitu menyimpan
data dengan parafrase pada kartu-kartu data, dan masing-masing
subsistem diberikan kode tertentu. Cara penelitian dilakukan dengan
28
peneliti langsung melakukan pengumpulan data, dan mengingat
penelitian bersifat kualitatif maka teknik penelitian dilakukan dengan
pengumpulan data pada sumber-sumber data, dan peneliti langsung
melakukan analisis.
3. Jalan Penelitian
a. Tahap Pengumpulan Data
Sebelum melakukan penelitian peneliti merinci sumbersumber data, serta menentukan lokasi pengumpulan data.
Pengumpulan data dilakukan dengan menyimpan pada kartu data,
dengan cara memberikan kode pada setiap subsistem data
penelitian. Adapun proses pengumpulan data dilakukan dengan (1)
mencatat data pada kartu data secara paraphrase, mencatat dan
menangkap keseluruhan intisari data kemudian mencatat pada kartu
data, dengan menggunakan
kalimat yang disusun oleh peneliti
sendiri. (2) Mencatat data secara quotasi, yaitu
mencatat data
dari sumber data secara langsung dan secara persis. (3) Mencatat
data secara sinoptik, yaitu mencatat data dari sumber data dengan
membuat ikhtisar atau
summary. Selain itu dalam proses
pengumpulan data ini, data diorganisir dengan cara memberikan
kode pada setiap subsistem data, sesuai dengan klasifikasinya
masing-
masing.
29
b. Tahap Pengolahan Data
Setelah melakukan pengumpulan data kemudian dilakukan
pengorganisasian dan pengolahan data melalui tahap-tahap sebagai
berikut ;
(1). Reduksi
data,
yaitu
data
dalam
penelitian
kualitatif
kepustakaan berupa data-data verbal, dalam suatu uraian yang
panjang dan lebar. Data yang berupa data verbal kemudian
diseleksi dan direduksi tanpa mengubah esensi maknanya,
serta ditentukan maknanya sesuai dengan ciri-ciri objek formal
filosofis.
(2). Klasifikasi data, yaitu setelah dilakukan reduksi data
kemudian
dilakukan klasifikasi data. Klasifikasi data
dilakukan dengan mengelompokan berdasarkan objek formal
penelitian.
(3). Peragaan/Display
data,
tahap
berikutnya
kemudian
mengorganisasikan data-data penelitian tersebut sesuai dengan
peta penelitian. Display data dapat juga dilakukan dengan
membuat networks atau skematisasi yang berkaitan dengan
konteks data tersebut. Tahap berikutnya adalah melakukan
analisis data.
c. Tahap Analisis Data
30
Setelah pengumpulan data kemudian dilakukan analisis data
sebagai berikut :
(1). Metode interpretasi, yaitu proses analisis dilakukan dengan
melakukan
interpretasi
yaitu
meliputi
menerangkan,
mengungkapkan maupun menerjemahkan. Penerapan metode
interpretasi dilakukan dengan mengintrodusir faktor dari luar,
artinya upaya untuk mengungkapkan makna objek dalam
hubungannya
dengan
faktor-faktor
dari
luar
objek
(Poespoprodjo, 1987: 192).
(2). Metode analitika bahasa, yaitu mengungkapkan makna yang
terkandung dalam ungkapan verbal, yang bertolak dari
analysandum dan diuraikan menjadi analysans, dari ungkapan
yang masih belum jelas menjadi lebih jelas dan eksplisit.
Mengingat data penelitian kebanyakan berupa data-data verbal
(Langevord, 1952: 100).
(3). Metode Verstehen, yaitu untuk memahami bagian atau unsur
makna yang dikumpulkan dalam penelitian. Ungkapanungkapan dalam budaya Jawa dipahami berdasarkan kategori
serta karakteristik masing-masing (Kaelan, 2005:71).
(4). Metode hermeneutika, yaitu metode untuk mencari dan
menemukan makna esensial yang terkandung dalam objek
penelitian yang berupa fenomena budaya Jawa. Prinsip kerja
hermeneutika menurut Schleiermacher (1977: 22) untuk
31
menemukan objective geist, yaitu makna yang terdalam, yang
esensial atau hakikat nilai yang terkandung dalam objek
penelitian. Untuk data yang berupa data verbal anailisis
hermeneutis dilakukan dengan tahap pertama menangkap
makna semantik, kemudian makna kedalaman atau deep
structure, kemudian ditemukan makna essensial atau hakikat
yang terdalam (Ricour, 1988: 82).
(5). Metode heuristika, yaitu metode untuk menemukan suatu
pemikiran atau jalan baru. Dalam hubungan dengan penelitian
tentang ungkapan-ungkapan dalam budaya Jawa dalam kajian
etika lingkungan, diterapkan metode heuristika dalam rangka
untuk menemukan inovasi baru secara kritis, dari hasil
penelitian
tersebut
yaitu
hasil
refleksi
kritis
dalam
hubungannya dengan pelestarian dan pengelolaan lingkungan
hidup (Peursen, 1985: 97).
F. Sistematika Penulisan
Penulisan desertasi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan
masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
32
BAB II berisi ruang lingkup etika lingkungan hidup, meliputi pengertian ekologi,
ekosistem dan lingkungan hidup, pengertian etika dan etika lingkungan
hidup, dasar filsafati etika lingkungan hidup, teori-teori etika lingkungan
hidup, hubungan etika lingkungan dengan bahasa.
BAB III berisi nilai-nilai moralitas Jawa, yang menerangkan tentang pengertian
budaya Jawa, wujud kebudayaan dan milai budaya Jawa, ajaran-ajaran
moral/etika Jawa, pandangan dunia/filsafat Jawa, dan ungkapanungkapan Jawa.
BAB IV merupakan inti tulisan ini, ialah analisis etika lingkungan hidup dalam
budaya Jawa, berupa ungkapan-ungkapan Jawa yang mengandung nilai
etis lingkungan, prinsip-prinsip etika lingkungan hidup dalam budaya
Jawa, dan norma-norma etika lingkungan hidup dalam budaya Jawa.
BAB V menjelaskan tentang relevansi etika lingkungan Jawa dengan pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia, yaitu tentang pengertian pengelolaan
lingkungan hidup, azas, tujuan, dan prinsip pengelolaan lingkungan
hidup, moralitas pengelolaan lingkungan hidup dalam budaya Jawa,
peranan ungkapan Jawa dalam moralitas pembangunan, dan etika
lingkungan Jawa dan implementasinya dalam pembangunan di Indonesia.
BAB VI berisi penutup yang memuat kesimpulan dan saran.
Download