20120618 3 model Briefingpaper LBHJ PRINT film n Pdf.FH10

advertisement
Briefing paper ini dibuat dalam rangka
mendukung reformasi kebijakan perlindungan
anak berhadapan dengan hukum yang sedang
berlangsung di DPR RI. Kiranya briefing paper
ini dapat menjadi bahan bacaan para pembuat
kebijakan. Briefing paper terdiri atas 3 isu krusial
yakni : Paradigma Perlindungan Anak Berhadapan
dengan Hukum, Bantuan Hukum Bagi Anak yang
Berhadapan dengan Hukum, dan Keadilan
Restoratif.
Dalam bagian Paradigma Perlindungan Anak
yang berhadapan dengan hukum akan
dijelaskan mengenai sejarah pemidanaan anak,
prinsip-prinsip yang harus dipergunakan dalam
menangani anak yang berhadapan dengan
hukum, usia pertanggungjawaban anak dalam
hukum pidana serta kewajiban negara terhadap
anak berhadapan dengan hukum. Paradigma
yang tepat terkait anak berhadapan dengan
hukum, penting untuk dimiliki oleh seluruh
pemangku kepentingan khususnya para
pembuat kebijakan saat menyusun kebijakan.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Jakarta didirikan atas gagasan yang disampaikan
pada Kongres Persatuan Advokat Indoonesia
(Peradin) ke III tahun 1969. Gagasan tersebut
mendapat persetujuan dari Dewan Pimpinan
Pusat Peradin melalui Surat Keputusan Nomor
001/KEP/10/1970 tanggal 26 Oktober 1970 yang
isi penetapan pendirian Lembaga Bantuan Hukum
Jakarta dan Lembaga Pembela Umum yang mulai
berlaku tanggal 28 Oktober 1970. Pendirian LBH
Jakarta mendapat dukung pula dari Pemerintah
Daerah Jakarta saat itu.
Pada awalnya LBH dimaksudkan untuk
memberikan bantuan hukum bagi orang-orang
yang tidak mampu, dalam memperjuangkan hakhaknya, terutama rakyat miskin yang digusur,
Dalam bagian selanjutnya akan dijelaskan
mengenai masalah pemenuhan hak atas bantuan
hukum bagi anak. Dalam proses hukum, anak
memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibanding
kelompok lainnya, oleh karenanya keberadaan
Penasihat Hukum selayaknya dilakukan hanya
sebagai upaya pemenuhan hak namun juga
sebagai upaya intervensi untuk menjaga dan
melindungi anak dari resiko buruk yang mungkin
dialami oleh anak pada setiap tahapan peradilan.
Bagian akhir dari briefing paper, akan
menjelaskan mengenai lemahnya korban dalam
teori-teori tujuan pemidanaan tradisional
(retributif, tujuan dan gabungan), hingga lahirlah
keadilan restoratif sebagai kritik terhadap teori
terdahulu. Keadilan restoratif kemudian diadopsi
dalam sistem peradilan pidana anak karena anak
berhadapan dengan hukum dianggap sebagai
korban dan belum dapat diminta pertanggungjawabannya secara penuh atas suatu kejahatan.
Dalam bagian ini, juga dijelaskan mengenai
definisi keadilan restoratif, peran para pemangku
kepentingan (korban, pelaku dan masyarakat)
serta prinsip-prinsip dasar dalam keadilan
restoratif.
dipinggirkan, di PHK, dan pelanggaran atas hakhak asasi manusia pada umumnya. Lambat laun
LBH Jakarta menjadi organisasi penting bagi
gerakan pro-demokrasi. Hal ini disebabkan upaya
LBH Jakarta membangun dan menjadikan nilainilai hak asasi manusia dan demokrasi sebagai
pilar gerakan bantuan hukum di Indonesia. Citacita ini ditandai dengan semangat perlawanan
terhadap rezim orde baru yang dipimpin oleh
Soeharto yang berakhir dengan adanya
pergeseran kepemimpinan pada tahun 1998
Bukan hanya itu, semangat melawan ketidakadilan
terhadap seluruh penguasa menjadi bentuk
advokasi yang dilakukan sekarang. Semangat ini
merupakan bentuk peng-kritisan terhadap
perlindungan, pemenuhan dan penghormatan
Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Penanggungjawab : Direktur LBH Jakarta ; Nurkholis Hidayat. Tim Penyusun : Restaria F. Hutabarat,
Tommy A. M. Tobing. Desain/Tata Letak : Saiful Bahri. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta : Jl.
Diponegoro 74, Menteng, Jakarta, Indonesia, 10320. Telp. (021) 3145518, Faks. (021) 3912377.
Email : [email protected], Website : www.bantuanhukum.or.id, Twitter : @LBH_Jakarta
2
Briefing paper 1
Paradigma Perlindungan Anak
Berhadapan Dengan Hukum
Sejarah Pidana Anak
Pembedaan perlakuan antara pelaku kejahatan
dewasa dengan pelaku kejahatan anak telah dimulai
sejak 4000 tahun lalu, sebagaimana dapat ditelusuri
dalam sejumlah dokumen sejarah. Dalam tatanan hukum
arkaistis, di mana seni tulis menulis telah diciptakan dan
hukum telah mulai didokumentasikan secara lebih baik,
terdapat sumber hukum yang secara jelas mencatat
pembedaan ini. Kodeks Hammurabi (2270 SM) mengatur
hukum pidana materil yang secara khusus mengatur
mengenai kejahatan anak, kejahatan itu antara lain: anak
yang kabur dari orangtuanya, anak yang tidak mengakui
orangtua mereka dan anak yang mengutuk ayah mereka.1
Lebih lanjut pembedaan anak dalam hukum pidana
ditemukan dalam hukum sipil Romawi dan Kanon Gereja,
dalam kedua sumber hukum tersebut diatur mengenai
pembatasan usia pertanggungjawaban pidana.
Sedangkan hukum Yahudi kuno yang termuat dalam
Kitab Talmud secara spesifik mengatur kondisi
ketidakdewasaan seseorang menjadi salah satu dasar
per timbangan dalam menjatuhk an hukuman.
Pembedaan hukuman dalam Kitab Talmud antara lain:
anak yang belum melewati masa pubertas, yakni 12 tahun
untuk anak perempuan dan 13 tahun untuk laki-laki,
tidak boleh dijatuhi hukuman fisik. Mereka yang masih
berusia dibawah 20 tahun tidak boleh dijatuhi hukuman
mati.2
Hukum Romawi abad ke 5 SM, juga memuat aturan
pembedaan berat/ringan hukuman berdasarkan usia
seseorang. Misalnya dalam tindak pidana pencurian hasil
panen yang dilakukan pada malam hari, jika hal ini
dilakukan oleh orang dewasa maka terpidana dapat
dijatuhi hukuman mati, namun jika kejahatan ini
dilakukan oleh anak yang belum melewati masa pubertas
maka hakim hanya akan menjatuhkan hukuman cambuk.
Sedangkan untuk tindak pidana pencurian, pelaku
dewasa diancam dengan hukuman cambuk dan dihukum
menjadi budak dari korban pencurian sedangkan
terhadap pelaku kejahatan anak, hakim berdasarkan
1 Dalam perkembangan hukum terkini, kejahatan yang secara
spesifik mengatur anak sebagai pelaku kejahatan telah dilarang karena
dinilai bertentangan dengan prinsip universal hak asasi manusia yakni
non diskriminasi.
2 Lihat “Juvenile Justice in Historical Perspective”, hlm. 4, dapat
diakses di http://www.sagepub.com/upm-data/15994_Chapter_1_
Juvenile_ Justice_in_Historical_Perspective.pdf
diskresi yang dimilikinya dapat saja menjatuhkan
hukuman fisik dan ditambah dengan kewajiban
pembayaran ganti kerugian.
Di Indonesia, pembedaan perlakuan perlakuan
terhadap pelaku anak ditungkan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang merupakan warisan
pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Pada Pasal 45, 46,
47 KUHP diatur perbedaan perlakuan terhadap anak
pelaku kejahatan dengan orang dewasa, hakim diberikan
kewenangan untuk mengalihkan penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum dari proses hukum formil
ke proses lainnya, pengalihan tersebut berupa
pengembalian anak pada orang tua tanpa dikenakan
suatu hukuman apapun dan penyerahan anak kepada
pemerintah untuk mendapat pendidikan dari negara
hingga anak berusia 18 tahun.
Namun jika ternyata hakim berketetapan untuk tetap
menjatuhkan hukuman maka terdapat perbedaan berat
dan jenis pidana yang dapat dijatuhkan, yakni (1)
Hukuman Penjara atau kurungan dikurangi sepertiganya,
(2) Hukuman mati atau penjara seumur hidup diganti
menjadi hukuman penjara selama-lamanya lima belas
tahun, (3) Hukuman tambahan berupa pencabutan hak
tertentu dan pengumuman keputusan hakim tidak
dikenakan kepada anak.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
pembedaan perlakuan terhadap anak pelaku kejahatan
telah dimulai sejak lama, seiring dengan perkembangan
hukum di masyarakat. Pembedaan tersebut terus
berkembang di dua ranah hukum pidana yaitu pidana
formil dan materil. Pembedaan ini dibuat dengan
melibatkan sejumlah elemen, termasuk usia, jenis sanksi
pidana, dan tindakan khusus untuk melindungi anak.
Prinsip-Prinsip Umum Dalam
Konvensi Hak Anak
Dalam Konvensi Hak Anak terdapat 4 (empat) prinsip
umum yang menjadi dasar dan acuan bagi para pihak
khususnya Negara saat melakukan kewajibannya
memenuhi, menghormati, melindungi hak-hak anak.
Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip non diskriminasi,
prinsip kepentingan terbaik anak, prinsip atas
keberlangsungan hidup dan perkembangan, dan prinsip
penghargaan pendapat anak. Prinsip-prinsip umum dan
hak-hak anak yang disebutkan dalam konvensi hak anak
Paradigma Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum
3
harus dimaknai sebagai satu kesatuan yang utuh dan
saling terkait satu dengan lainnya (interdependency and
indivisibility). Prinsip yang satu dapat dimaknai dan
ditegakan secara berkaitan dengan prinsip lainnya. hal
ini berarti tidak ada satu prinsip ataupun hak anak yang
dapat dihilangkan atau dianggap lebih rendah daripada
yang lainnya. Seluruh prinsip di bawah ini harus menjadi
dasar setiap pembuatan ketentuan peraturan
perundangan maupun pengambilan keputusan dan
tindakan oleh aparat penegak hukum terhadap anak
berhadapan dengan hukum.
1. Prinsip Non-diskriminasi
Prinsip non diskriminasi dimuat di dalam Pasal 2
Konvensi Hak Anak yang menyatakan :
(1) Negara – negara peserta akan menghormati dan
menjamin hak-hak yang diterapkan dalam
konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam
wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam
bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan
politik atau pandangan-pandangan lain, asal usul
kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan,
cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik
dari anak sendiri atau dari orangtua atau walinya
yang sah.
(2) Negara-negara pihak harus mengambil semua
langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak
dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau
hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat
yang diutarakan atau kepercayaan orangtua anak,
wali hukum anak atau anggota keluarga anak.
Berdasarkan ketentuan di atas, diskriminasi perlu
dipahami dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak
anak yang diatur dalam konvensi (ayat 1) maupun
diskriminasi dalam segala bentuknya dan tidak terbatas
dengan hak-hak yang diakui dalam konvensi saja (ayat
2). Prinsip non diskriminasi perlu dipahami secara utuh
untuk mendeteksi bentuk-bentuknya di dalam praktek.
Dalam sejumlah kasus anak yang berhadapan dengan
hukum mendapat perlakuan diskriminasi yang
berpengaruh pada pemenuhan hak mereka. Misalanya
ketika anak hendak mengakses hak atas pendidikan atau
hak atas pekerjaan, status yang pernah mereka sandang
sebagai tersangka/terdakwa/terpidana membuat mereka
sulit diterima untuk bersekolah atau bekerja. Untuk itu
penghapusan diskriminasi dimulai dengan pencegahan
diskriminasi oleh negara seper ti memberikan
pendampingan anak saat re-integrasi paska mereka
selesai menjalani proses hukum.
4
Briefing paper 1
2. Prinsip Kepentingan Terbaik Anak
Prinsip kepentingan terbaik anak diatur dalam Pasal
3 ayat (1) Konvensi Hak Anak yang menyatakan: “Dalam
semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau
swasta, pengadilan hukum , penguasa administratif atau
badan legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik anak
harus merupakan pertimbangan utama.”
Konvensi Hak Anak memang tidak merumuskan
definisi kepentingan terbaik anak, namun sejumlah
referensi menyebutkan prinsip tersebut dalam kaitannya
dengan perkembangan fisik, mental, moral, spiritual dan
sosial anak.3 Komite Hak-Hak Anak pun berulang kali
menekankan bahwa kepentingan terbaik anak harus
menjadi pertimbangan utama dalam semua tindakan
yang terkait anak.
Prinsip tersebut berangkat dari kondisi anak yang
kematangan fisik dan psikologis yang berbeda dengan
orang dewasa. Anak masih terus berproses menuntut
adanya pemenuhan kebutuhan emosional dan
pendidikan khusus. Sehingga, tingkat kesalahan anak
yang berkonflik dengan hukum dianggap lebih rendah
daripada orang dewasa.
Karena perbedaan tersebut, maka diperlukan sistem
peradilan anak yang terpisah dari orang dewasa dan
perlakuan yang berbeda untuk anak-anak yang
berkonflik dengan hukum, sehingga kesalahan anak
dapat dikoreksi sesuai dengan kapasitasnya. Termasuk
dalam hal pemidanaan anak yang berbeda dengan orang
dewasa. Dalam konsep keadilan, pemidanaan bukan
satu-satunya alat untuk memperoleh keadilan dengan
memberikan pembalasan terhadap suatu kesalahan,
namun diperlukan adanya upaya rehabilitasi yaitu
mengembalikan para pihak, pelaku maupun korban
pada kondisi yang seharusnya.4
3. Prinsip atas Keberlangsungan Hidup dan
Perkembangan
Prinsip keberlangsungan hidup dan perkembangan
erat kaitannya dengan hak untuk hidup sebagai Hak
Asasi Manusia. Hak untuk hidup merupakan hak yang
sangat penting hingga ditempatk an sebagai
pembicaraan awal sebelum pengaturan dalam hak-hak
lainnya. Hal ini terlihat dengan penempatan pasal
3 Misalnya dalam Deklarasi Hak-hak Anak tahun 1959 yang
pertama kali menyebutkan prinsip kepentingan terbaik anak sebagai
pertimbangan utama. “The child shall enjoy special protection, and
shall be given opportunities and facilities, by law and by other means,
to enable him to develop physically, mentally, morally, spiritually and
socially in a healthy and normal manner and in conditions of freedom
and dignity. In the enactment of laws for this purpose, the best interests
of the child shall be the paramount consideration”.
4 Op. cit, paragraf 10.
mengenai pengakuan hak untuk hidup pada bagian
awal dua instrumen utama hukum HAM internasional,5
yakni Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 6 dan
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.7
Konvensi Hak Anak mewajibkan negara-negara
peserta mengakui bahwa hak atas hidup serta hak
keberlangsungan hidup melekat pada setiap setiap anak.
Hukuman yang dapat merampas hak-hak ini seperti
hukuman mati atau penjara seumur hidup tidaklah boleh
dikenakan pada anak berkonflik dengan hukum.8 Hal ini
ditegaskan dalam juga Pasal 37 huruf A Konvensi Hak
Anak.
Pemenuhan prinsip ini harus tercermin dalam
hukum pidana negara pihak konvensi, termasuk dalam
ketentuan tentang perampasan kemerdekaan. Hal ini
karena dalam tindakan perampasan kemerdekaan
berupa penangkapan, penahanan maupun
pemenjaraan, kerap kali berdampak buruk bagi
perkembangan anak baik pada saat maupun setelah
tindakan tersebut dilakukan. Proses pengembalian anak
ke masyarakat (reintegrasi) seringkali tidak berlangsung
baik. Anak mengalami stigmatisasi yang berdampak
buruk bagi perkembangan anak, baik secara psikologis
maupun sosial. Bahkan dalam banyak kasus penahanan
dan pemenjaraan, anak mengalami penyiksaan fisik dan
seksual yang berdampak pada perkembangan fisiknya.
Oleh k arena itu, segala bentuk perampasan
kemerdekaan terhadap anak dilakukan sebagai upaya
5
Yang termasuk dalam instrumen utama hak asasi manusia atau
yang dikenal sebagai the international bill of human rights ialah
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; Kovenan Internasional Hakhak Ekonomi, Sosial dan Budaya; Kovenan Internasional Hak-hak Sipil
dan Politik; berikut protokolnya, yaitu Opsional Protokol pada Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Dikatakan sebagai international
bill of human rights karena semua instrumen ini merupakan fondasi
dari rumah yang disebut hak asasi manusia internasional itu; instrumeninstrumen lainnya merupakan penjabaran dari ketiga instrumen dasar
tersebut. Kecuali Opsional Protokol, instrumen-instrumen ini boleh
dikatakan telah menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai
international customary law.
6 Dalam DUHAM, hak untuk hidup ditempatkan dalam Pasal 3
yang berbunyi “Everyone has the right to life, liberty and security of
person.” Badan dunia PBB kemudian memberikan penjelasan lebih
lanjut terkait pasal tersebut dalam Fact Sheet No. 2 (Rev. 1), The
international Bill of Human Rights (1996) yang menyatakan bahwa
pasal 3 adalah pondasi awal dari DUHAM dan merupakan hak yang
esensil bagi pelaksanaan hak-hak lainnya. Dua di antara perumus
DUHAM, Eleanor Roosevelt dan Rene Cassin menyatakan bahwa hak
untuk hidup tak mengenal pengecualian. Pendapat ini merupakan
cikal bakal konsep non-derogable rights yang tumbuh berkembang
dalam instrumen-instrumen hukum HAM internasional selanjutnya.
7 Kovenan ini merumuskan lebih lanjut hak untuk hidup yang
disebutkan dalam DUHAM. Dalam Kovenan ini, hak untuk hidup
terdapat dalam pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa hak hidup
secara tegas diakui sebagai hak yang melekat, wajib dilindungi oleh
hukum dan tidak dapat dirampas secara sewenang-wenang. Hal ini
diperkuat dengan pengakuan hak untuk hidup sebagai bagian dari
non-derogable rights, yang artinya hak yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
8 Ibid, paragraf 11.
terakhir dan untuk jangka waktu yang singkat, sehingga
tidak terjadi pelanggaran hak anak untuk berkembang.
Dalam hal penentuan jenis hukuman bagi anak,
prinsip ini melarang anak tidak boleh dijatuhi hukuman
yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
Jenis hukuman demikian dapat dipastikan berdampak
pada pelanggaran hak anak untuk berkembang.
4. Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat
Anak
Prinsip ini diatur dalam Pasal 12 Konvensi Hak Anak
yang menyatakan :
(1) Negara-negara peserta menjamin agar anak-anak
mempunyai pandangan sendiri akan memperoleh
hak untuk menyatakan pandanganpandangannya secara bebas dalam semua hal
yang mempengaruhi anak, dan pandangan
tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat usia
dan kematangan anak;
(2) Untuk tujuan ini, maka anak terutama harus diberi
kesempatan untuk didengar pendapatnya dalam
persidangan-persidangan pengadilan dan
administratif yang mempengaruhi anak itu, baik
secara langsung, atau melalui suatu perwakilan
atau badan yang tepat, dalam suatu cara yang
sesuai dengan peraturan-peraturan prosedur
hukum nasional.
Prinsip bertujuan agar pendapat anak diberikan
bobot yang sama dengan pendapat orang dewasa dan
harus diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan
yang berdampak pada anak terutama jika menyangkut
hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Dalam
kaitannya dengan peradilan pidana, Komite Hak-Hak
Anak PBB menjelaskan secara lebih rinci bentuk
penghargaan pendapat anak dalam Komentar Umum
No. 12 Tahun 2009 baik dalam posisi anak anak sebagai
pelaku kejahatan maupun sebagai saksi/korban
kejahatan.
Dalam posisinya sebagai pelaku atau yang dituduh
melakukan kejahatan, anak berhak untuk didengar. Hak
ini berlaku bukan hanya dalam pemeriksaan namun
dalam seluruh tahapan termasuk saat persidangan,
pengenaan upaya paksa (penangkapan, penahanan)
dan penghukuman. Dalam hal diversi, bentuk
penghargaan pendapat anak diwujudkan dengan
persetujuan bebas dan sukarela dari anak sebagai syarat
diversi. Sebelum menyatakan pendapat menyetujui atau
tidak diversi, akses anak terhadap bantuan hukum dan
bantuan lainnya harus dijamin sehingga anak bisa
menentukan apakah diversi tepat dan sesuai dengan
Paradigma Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum
5
keinginannya. Termasuk pemberitahuan kepada anak
dengan segera dan langsung mengenai tuduhan yang
dijatuhkan dan proses peradilan yang akan dihadapinya.
Dalam posisinya sebagai saksi dan korban, anak harus
diberi kesempatan untuk menggunakan seluruh haknya
untuk secara bebas mengekspresikan diri dan
pandangannya sesuai dengan Resolusi Dewan Ekonomi
dan Sosial PBB No. 20 Tahun 2005 tentang Pedoman
Peradilan Dalam Pelibatan Anak Korban dan Saksi
Kejahatan. Dalam posisi tersebut, anak berhak untuk
memperoleh informasi mengenai pelayanan kesehatan,
pelayanan psikologis, peran, hak untuk memperoleh
reparasi, ketersediaan upaya perlindungan, aturan terkait
upaya hukum banding, dll.
Sedemikian pentingnya prinsip penghargaan
terhadap pendapat anak hingga Komite Hak-Hak Anak
PBB mencatat bahwa suara dari anak yang terlibat dalam
sistem peradilan anak merupakan kekuatan yang besar
untuk perbaikan dan reformasi sistem peradilan pidana
anak.9
Kewajiban Negara
Prinsip umum dalam Konvensi Hak Anak memiliki
konsekuensi pada sejumlah kewajiban negara. Prinsip
non dikriminasi berdampak pada adanya kewajiban
negara untuk mengambil semua langkah yang
diperlukan untuk memastikan anak yang berkonflik
dengan hukum mendapat perlakuan yang sama. Namun
demikian, tetap diperlukan pembedaan dalam situasi
tertentu dan kondisi anak dengan latar belakang khusus
seperti anak jalanan, anak yang berasal dari ras, etnis,
agama dan bahasa minoritas, anak-anak yang berasal
dari kelompok adat, anak-anak penyandang disabilitas
dan anak residivis.
Pembedaan dilakukan melalui pemberian perhatian
khusus terhadap kelompok anak-anak tersebut, karena
dalam situasi masyarakat pada umumnya, anak-anak
tersebut kerap mengalami diskriminasi, kerentanan dan
kekerasan akibat kurangnya jaminan perlindungan
hukum.10
Perhatian khusus bagi anak penyandang disabiltas
saat berhadapan dengan hukum dilakukan dengan cara
sebagai berikut : 11
a. Pemeriksaan terhadap anak dilakukan oleh
petugas yang telah menerima pelatihan khusus
dan dengan menggunakan bahasa yang tepat.
b. Penyelesaian kasus Anak penyandang disabilitas
yang berhadapan dengan hukum diupayakan
tanpa melalui proses formal. Untuk itu negara
harus menciptakan dan mengimplementasikan
6
Briefing paper 1
langkah-langkah alternatif yang fleksibel hingga
dimungkinkannya penyesuaian tindakan
terhadap anak sesuai dengan kapasitas dan
kemampuan dari masing-masing anak. Proses
hukum formal hanya akan diterapkan jika
diperlukan untuk kepentingan ketertiban umum.
c. Perampasan kemerdekaan terhadap anak
penyandang disabilitas hanya dilakukan jika
diperlukan dengan tujuan menyediakan anak
perawatan yang memadai untuk mengatasi
masalah yang mengakibatkan anak melakukan
kejahatan. Anak penyandang disabilitas
ditempatkan terpisah dengan anak-anak lainnya
dan tempat tersebut haruslah lembaga yang
memiliki sumberdaya manusia dan fasilitas yang
memadai untuk dilakukannya perawatan khusus.
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak, juga
membawa konsekuensi pada sejumlah kewajiban
negara. Badan legislatif, administratif dan yudikatif wajib
menjadikan kepentingan anak sebagai pertimbangan
utama sebelum pengambilan keputusan. Hal ini berarti
bahwa harus ada analisa dampak langsung maupun
tidak langsung kebijakan tersebut terhadap anak dalam
setiap pembuatan kebijakan.12 Termasuk dalam proses
penegakan hukum, kepentingan anak harus mengatasi
kepentingan institusional polisi, jaksa, hakim atau
lembaga negara.
Konsekuensi prinsip keberlangsungan hidup dan
perkembangan anak ialah kewajiban negara untuk
segera menghapus hukuman mati dan hukuman yang
keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
Penghapusan tersebut dilakukan melalui perundangundangan, tindakan administratif, sosial dan pendidikan
untuk memastikan anak tidak dijatuhi hukuman
tersebut.13 Negara juga wajib menjamin proses hukum
yang dijalani anak tidak ak an menghambat
9
Ibid, paragraf 12.
Komite Hak-Hak Anak PBB, Komentar Umum No. 10 (2007)
Tentang Hak-hak Anak Dalam Peradilan Anak, paragraf 6.
11 Paragraf 74, Komentar Umum Komite Hak-Hak Anak No. 9 Tahun
2006 tentang Hak-Hak Anak Dengan Disabilitas.
12 Komite Hak-Hak Anak PBB, Komentar Umum No. 5 (2003)
Tentang Langkah-Langkah Umum Implementasi Konvensi Hak Anak.
13 Lihat Komite Hak-Hak Anak PBB melalui Komentar Umum No.
8 Tahun 2006. Lihat juga Pelapor Khusus PBB untuk penyiksaan, dalam
laporan pada tahun 2005 menemukan Negara Iran masih
memberlakukan hukuman fisik terhadap anak. Lebih lanjut, Sekretaris
Jendral PBB dalam Sidang Umum PBB yang berlangsung pada Agustus
2006 melaporkan setidaknya terdapat 31 negara yang masih
memberlakukan hukuman fisik berupa: hukuman rajam, cambuk, dan
pemotongan anggota tubuh tertentu terhadap anak pelaku kejahatan.
Untuk lebih jelas lihat Rachel Hodgkin and Peter Newell, Implementation
Handbook For The Convention On The Rights Of The Child, Fully Resived
Third Edition, Unicef Regional Office for Europe, Switzerland, 2007,
hal. 553-555.
10
perkembangan anak. Setiap anak yang berhadapan
dengan hukum harus dapat mengakes hak untuk
memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan
yang sebaik-baiknya. Jaminan keberlangsungan hidup
dan perkembangan tidak boleh ditafsirkan secara sempit
sebagai jaminan yang bersifat fisik saja namun juga
harus mencakup kesehatan mental, emosional, kognitif,
perkembangan sosial dan budaya.
Sedangkan konsekuensi prinsip penghargaan
terhadap pendapat anak ialah kewajiban negara untuk
memberikan pendampingan kepada anak dalam setiap
tahapan dan memastikan anak memperoleh informasi
yang diperlukannya mengenai proses tersebut.
Usia dan Pertanggungjawaban
Pidana Anak
Untuk membedakan anak dan dewasa, ketentuan
peraturan perundang-undangan pada umumnya
menggunakan ukuran usia. Namun dalam beberapa
sumber hukum lain ditemukan penggunaan ukuran
berbeda. Dalam hukum adat di Jawa Barat misalnya,
ukuran yang dipakai untuk menentukan seseorang
masuk kategori dewasa atau anak ialah jika orang
tersebut telah “kuat gawe”, maksudnya seseorang tidak
lagi dianggap anak jika orang tersebut sudah bekerja,
sudah bisa mengurus harta bendanya dan keperluankeperluannya sendiri, sudah mandiri.14
Dalam berbagai sumber hukum juga diatur batasan
usia yang berbeda-beda untuk anak sebagaimana
terlihat dalam table disamping ini.
Usia anak terkait erat dengan pengakuan seseorang
sebagai subyek hukum yang memiliki kecakapan dan
kewenangan bertindak secara hukum serta kemampuan
mempertanggungjawabkan tindakannya tersebut.
Dalam konsepsi hukum pidana, pada dasarnya tindak
pidana merupakan perbuatan manusia atau badan
hukum yang dilarang oleh hukum pidana dan
pelanggarannya dapat dimintakan pertanggung14 Batasan hukum ada “Kuat Gawe” digunakan oleh Mahkamah
Agung dalam keputusannya, dan dalam keputusan tertentu MA
menyatakan mereka yang sudah berusia 15 tahun tidak lagi dianggap
anak melainkan sudah dewasa. Untuk lebih jelas lihat Ade Maman
Suherman dan J. Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur
(Kecakapan dan Kedewasaan Bertindak Berdasar Batasan Umur,
Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010. Hlm. 10 – 11.
15 Pengecualian ini disebut sebagai dasar pemaaf dan dasar
pembenar karena adanya alasan internal dan alasan eksternal. Alasan
internal merupakan alasan yang berasal dari dalam diri pelaku antara
lain: pelaku menderita gangguan kejiwaan (pasal 44 KUHP) dan pelaku
yang masih berusia anak (pasal 45 KUHP). Sedangkan alasan eksternal
merupakan alasan yang berasal dari luar diri pelaku antara lain keadaan
memaksa (Pasal 48 KUHP), bela paksa (Pasal 49 KUHP), menjalankan
perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP), menjalankan perintah
jabatan (Pasal 51 KUHP).
16 Lihat Pasal 45 KUHP.
Tabel Batasan Usia Anak
No
Peraturan
Perundang-Undangan
Usia Anak
1
Hukum Perdata (BW)
Belum mencapai umur 21
tahun dan belum pernah
menikah.
2
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana
Belum berusia 16 tahun
belum pernah menikah
3
Hukum Adat
Belum Kuat Gawe
4
Hukum Islam
Belum baliqh/mimpi basah/
belum menstruasi
5
Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Berusia 16 tahun bagi
perempuan dan 19 tahun bagi
pria
6
Undang-Undang No. 1979 Belum mencapai 21 tahun dan
belum menikah
tentang Kesejahteraan
Anak
7
Undang-Undang No. 3
tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak
Anak nakal adalah yang telah
mencapai umur 8 tahun tetapi
belum mencapai 18 tahun dan
belum pernah menikah
8
Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
Kurang dari 18 tahun
9
Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
Berusia di bawah 18 (delapan
belas) tahun dan belum
menikah, termasuk anak yang
masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah
demi kepentingannya
10 Undang-Undang No. 21
Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan
Belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan
jawaban. Namun terdapat pengecualian terhadap subyek
hukum tertentu yang dianggap tidak dapat dimintakan
pertanggungjawabannya. 15 Anak termasuk subyek
hukum yang memperoleh pengecualian tersebut. 16
Konsekuensinya, hakim memiliki kewenangan untuk
tidak meminta anak menjalani pidana hukuman pidana
meskipun anak tersebut terbukti melakukan tindak
pidana. Sebagai gantinya anak tersebut dikembalikan
kepada orangtuanya atau diserahkan kepada pemerintah
untuk mendapatkan pendidikan.
Peniadaan pidana terhadap anak didasari pada
berbagai alasan. Salah satunya karena anak dianggap
masih dalam keadaan belum mampu untuk dianggap
bersalah. Anak masih menjalani masa pertumbuhan baik
secara psikis maupun fisik serta belum berakal sempurna
untuk dapat membedakan antara tindakan yang boleh
dan tidak boleh dilakukan, termasuk konsekuensi jangka
panjang dari tindakan tersebut.
Paradigma Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum
7
Pengaturan peniadaan pidana ini kemudian
berkembang seiring diberlakukannya Undang-Undang
No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dalam
undang-undang tersebut dijelaskan batasan usia anak
yang bisa diproses secara hukum yakni 8 – 18 tahun dan
belum pernah menikah. Batasan usia minimal tersebut
didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis,
dan pedagogis.17 Ketentuan ini diubah dengan adanya
putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa
usia minimal anak yang diproses secara hukum menjadi
12 tahun.18 Sehingga peniadaan pidana bagi anak tidak
lagi bersifat pilihan seperti dalam KUHP melainkan
bersifat memaksa (imperative).
Perbedaan antara KUHP dengan Undang-Undang
Pengadilan Anak ada pada kewenangan peniadaan
pidana. Dalam UU Pengadilan anak, kewenangan
tersebut ada pada penyidik kepolisian. Penyidik dapat
saja melakukan pemeriksaan terhadap anak untuk
mengetahui apakah anak melakukan tindak pidana
seorang diri atau bersama orang lain (penyertaan).
Pasal 44 ayat (3) huruf a Konvensi Hak Anak
menyerahkan pengaturan mengenai usia minimum
pertanggungjawaban pidana pada masing-masing
negara. Namun Konvensi mengaskan bahwa di bawah
usia minimum tersebut, anak harus dianggap tidak
mempunyai kemampuan untuk melanggar pidana.
Dalam prakteknya, sejumlah negara menentukam batas
usia minimum yang berbeda-beda. Untuk lebih jelas,
lihat tabel di samping ini.19
17
Lihat penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pengadilan Anak.
Lihat putusan Mahkamah Konstitusi No 1/PUU-VIII/2010.
19 Data dalam tabel diolah dari Purwanto, Purwanto and Septrianto,
Septrianto (2004) PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK MENURUT
KUHP DAN UU NO. 3 TAHUN 1997. Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro. Dapat diakses di http://eprints.undip.ac.id/19768/dan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VIII/2010 tertanggal 2
Februari 2012.
20 Lihat Pasal 26 Statuta Roma.
21 Lihat Paragraph 32 dan 33 Komentar Umum No. 10 (2007)
Tentang Hak-hak Anak Dalam Peradilan Anak, yang berbunyi: “…..a
minimum age of criminal responsibility below the age of 12 years is
considered by the Committee not to be internationally acceptable.
States parties are encouraged to increase their lower MACR to the age
of 12 years as the absolute minimum age and to continue to increase
it to a higher age level. At the same time, the Committee urges States
parties not to lower their MACR to the age of 12. A higher MACR, for
instance 14 or 16 years of age, contributes to a juvenile justice system
which, in accordance with article 40 (3) (b) of CRC, deals with children
in conflict with the law without resorting to judicial proceedings,
providing that the child’s human rights and legal safeguards are fully
respected….”
18
Briefing paper ini merupakan bagian dari 3 rangkaian
dokumen, yaitu : Paradigma Perlindungan Anak
Berhadapan dengan Hukum, Bantuan Hukum Bagi Anak
yang Berhadapan dengan Hukum, dan Keadilan Restoratif.
8
Briefing paper 1
Usia Minimum Pertanggungjawaban Pidana
pada masing-masing Negara
No
Negara
Batas Minimum
1
Amerika Serikat
8 tahun
2
Inggris
12 tahun
3
Australia
8 tahun
4
Belanda
12 tahun
5
Kamboja
15 tahun
6
Iran
6 tahun
7
Austria
14 tahun
8
Denmark
15 tahun
9
Inggris
10 tahun
10
Finlandia
15 tahun
11
Perancis
13 tahun
12
Jerman
14 tahun
13
Yunani
12 tahun
14
Irlandia
7 tahun
15
Italia
14 tahun
16
Portugal
16 tahun
17
Skotlandia
8 tahun
18
Spanyol
16 tahun
19
Swedia
15 tahun
Meskipun aturan mengenai batas usia minimum anak
di sejumlah negara berbeda-beda, namun usia 18 tahun
diterima secara internasional sebagai batasan yang umum
untuk mendefinisikan anak dan 12 tahun untuk mengatur
pertanggungjawaban pidana. Hal ini terlihat dalam
sejumlah ketentuan hukum internasional.
Untuk kejahatan paling serius yang mendapatkan
perhatian internasional, seperti: genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan
agresi, Mahkamah Pidana mengatur bahwa Mahkamah
tidak berwenang mengadili pelaku salah satu kejahatan
tersebut yang berusia kurang dari 18 tahun.20
Kemudian, Komite Hak-Hak Anak memberikan
rekomendasi usia minimum yang hendaknya digunakan
oleh negara-negara pihak yaitu minimal 12 tahun atau
bahkan lebih dari 14 atau 16 tahun.21
Didukung oleh :
Download