PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI BERTINGKAT DAN TIDAK

advertisement
1
PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI BERTINGKAT DAN TIDAK BERTINGKAT
TERHADAP FLAVONOID TOTAL HERBA CIPLUKAN (Physalis angulata L.)
SECARA KOLORIMETRI
1), 2), 3)
Afif Permadi1), Sutanto 2), Sri Wardatun 3)
Program Studi Farmasi, FMIPA, Universitas Pakuan
ABSTRAK
Herba ciplukan (Physalis angulata L.) merupakan salah satu tanaman yang memiliki potensi sebagai
obat tradisional dengan kandungan terbanyak senyawa flavonoid. Golongan jenis flavonoid dalam jaringan
tumbuhan yang didasarkan pada sifat kelarutan dan reaksi warna meliputi antosianin, proantosianin, flavonol,
flavon, glikoflavon, biflavonol, kalkon dan auron, flavonon, dan isoflavon. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk membandingkan cara ekstraksi bertingkat dan tidak bertingkat terhadap kadar flavonoid total pada herba
ciplukan secara kolorimetri menggunakan metode 2,4 dinitrofenilhidrazin dan metode AlCl3.Ekstraksi
dilakukan dengan tidak bertingkat yaitu hanya digunakan satu pelarut menggunakan pelarut etanol 70% dan
pada ekstraksi bertingkat digunakan tiga pelarut yaitu n-heksan, etil asetat dan etanol 70%. Penentuan jumlah
flavonoid total dilakukan dengan dua metode kolorimetri yaitu: metode alumunium klorida dan metode 2,4dinitrofenilhidrazin. Hasil penentuan kadar flavonoid total metode kolorimetri diketahui bahwa rata-rata kadar
flavonoid total hasil maserasi tidak bertingkat sebesar 0,5339±0,11 dan hasil maserasi bertingkat sebesar
0,5311±0,17. Dari kedua metode maserasi tidak ada perbedaan nyata terhadap kadar flavonoid F hitung < F
tabel 0,05 (1,371 < 6,608).
Kata kunci : Herba ciplukan, kolorimetri, maserasi, flavonoid.
ABSTRACT
Herba ciplukan (Physalis angulata L.) one of the plant that has the potential of tradisional medicine
with the highest content of flavonoids. Class of flavonoids in the plant tissue that is based on the properties of
solubility and colour reacsions include anthocyanins, proantosianin, flavonols, flavones, glicoflavon,
biflavonol, Calcon and auron, flavonon, and isoflavones. The purpose of this study is to compare the extraction
storey terraced and the total flavonoid content in herba ciplukan based of 2.4 dinitrophenylhydrazine
colorimetric method and the method of Alcl3. Extraction was done by one step that only used ethanol solvent
70% and the extraction of multilstep used three solvents are n-hexane, ethyl acetate and ethanol 70%.
Determination of total flavonoids carried out by two colorimetric methods, namely: method of aluminum
chloride and 2,4-dinitrophenylhydrazine method. The results of determining levels of total flavonoids known
that average levels of total flavonoids from one step maceration is 0,5339±0,1% and terraced maceration is
0,5311±0,17%. The two methods of maceration are not significanly difference to the levels of flavonoids that
F arithmetic <F table ɑ 0.05 (1.371 <6.608).
Keywords: Herba ciplukan, colorimetric,maceration, flavonoids
PENDAHULUAN
Herba ciplukan (Physalis angulata L.)
merupakan salah satu tanaman yang memiliki
potensi sebagai obat tradisional. Tanaman ini pada
umumnya banyak ditemui sebagai tanaman liar,
kandungan yang banyak ditemukan pada tanaman
ini adalah senyawa polifenol dan flavonoid (Ali
dkk, 2012 ).
Flavonoid berasal dari kata flavon yang
merupakan nama dari salah satu jenis flavonoid
yang terbesar jumlahnya dan sering ditemukan di
alam. Beberapa golongan flavonoid yang bersifat
polar merupakan senyawa yang larut dalam air.
Golongan jenis flavonoid dalam jaringan
tumbuhan yang didasarkan pada sifat kelarutan dan
reaksi warna meliputi antosianin, proantosianin,
flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonol, kalkon
dan auron, flavonon, dan isoflavon (Markham,
1988). Flavonol dan flavon merupakan jenis
flavonoid yang paling banyak ditemukan dalam
sayur‐sayuran. Kedua kelompok senyawa ini
biasanya berada dalam bentuk O‐glikosida. Flavon
2
berbeda dengan flavonol dimana pada flavon tidak
terdapat gugusan 3-hidroksi, sedangkan flavanon
dan flavanonol tidak dijumpai adanya ikatan
rangkap pada posisi 2 dan 3 (Harborne, 1996).
Penentuan jumlah flavonoid total dapat
ditentukan secara kolorimetri yang mempunyai
prinsip pengukuran berdasarkan pembentukan
warna. Terdapat dua metode kolorimetri yaitu:
metode alumunium klorida dan metode 2,4dinitrofenilhidrazin. Metode alumunium klorida
digunakan untuk menentukan golongan flavon dan
flavonol,
sedangkan
metode
2,4dinitrofenilhidrazin untuk menentukan golongan
flavanon dan flavanonol yang dianalisis dengan
metode kolorimetri. Senyawa flavonoid dapat
direaksikan dengan alumunium klorida jika
mengandung gugus keto dan gugus hidroksi,
sedangkan senyawa flavonoid yang bereaksi
dengan 2,4-dinitrofenilhidrazin adalah senyawa
yang mengandung gugus NH2, gugus aldehid dan
gugus keton (Harborne, 1996). Berdasarkan hal ini
maka untuk mendapatkan kadar flavonoid total
perlu menggunakan kedua metode dan
menjumlahkan
hasilnya.
Selain
metode
pengukuran (kolorimetri), keberhasilan penetapan
ditentukan dengan metode ekstraksinya.
Ekstraksi dengan pelarut seperti air,
metanol, etanol, etil asetat dan n-heksan mampu
memisahkan senyawa-senyawa yang penting
dalam suatu bahan. Pada prinsipnya suatu bahan
akan mudah larut dalam pelarut yang sama
polaritasnya (Sudarmadji dkk., 1989). Ekstraksi
dapat dilakukan dengan tidak bertingkat yaitu
hanya digunakan satu pelarut untuk ekstraksi,
sedangkan pada ekstraksi bertingkat digunakan dua
atau lebih pelarut. Ekstraksi bertingkat akan
menghasilkan senyawa tertentu yang terekstrak
secara spesifik pada tiap pelarut yang digunakan,
sedangkan
ekstraksi
tidak
bertingkat
menghasilkan senyawa yang terekstrak merupakan
ekstrak total yang mampu terekstraksi dengan
pelarut tersebut. Aisyah dan Asnani (2012) telah
melakukan penelitian tentang pengaruh berbagai
pelarut dan metode ekstraksi rumput laut, hasil
menunjukkan bahwa kadar polifenol yang
didapatkan lebih tinggi pada ekstraksi bertingkat
dibandingkan ekstraksi tidak bertingkat.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah neraca analitik, pipet tetes, labu
Erlenmeyer, tabung reaksi, gelas piala, grinder,
gelas ukur, bulp, batang pengaduk, penjepit kayu,
penjepit besi, krus, sudip, corong gelas, botol
coklat,
spatula,
spektrofotometer
UV-Vis
(Optizen®), Waterbath (Memmert®), Oven
(Memmert®) dan tanur (Vulcan®).
Bahan-bahan yang digunakan pada
penelitian ini adalah herba ciplukan (Physalis
angulata L.), air suling, etanol 70%, etil asetat, nheksan, metanol, reagen 2,4-dinitrofenilhidrazin
1%, naringenin murni, kuersetin murni, natrium
asetat, alumunium korida 10% (AlCl3), Kalium
Hidroksida 1% (KOH) dan alumunium foil. Bahanbahan yang digunakan untuk uji fotokimia adalah
kloroform, ammonia, pereaksi (Dragendorff,
Mayer & Wagner), serbuk Magnesium (Mg), asam
klorida (HCl) pekat, amil alkohol, asam asetat
anhidrat, asam sulfat (H2SO4) p dan besi (III)
klorida (FeCl3).
Pembuatan Serbuk Simplisia Herba Ciplukan
Herba Ciplukan yang berumur 1-1,5 bulan
masing-masing dibersihkan dari kotoran-kotoran
yang menempel (sortasi basah) lalu dicuci dengan
air bersih yang mengalir sampai bersih, kemudian
ditiriskan untuk menghilangkan air sisa-sisa
pencucian. Herba yang telah bersih dan bebas air
pencucian
diangin
anginkan
dilanjutkan
pengeringan di dalam oven pada suhu 370C sampai
masing-masing tanaman kering, lalu dilakukan
sortasi kering yang berguna untuk membersihkan
kembali dari kotoran yang mungkin tidak hilang
saat pencucian. Simplisia kering tersebut
selanjutnya digrinder hingga menjadi simplisia
serbuk lalu diayak dengan ayakan mesh 30 lalu
ditimbang untuk mendapatkan bobot akhir
simplisia kemudian disimpan dalam wadah yang
kering dan bersih.
Rendemen
=
Bobot serbuk simplisia yang diperoleh
Bobot awal
x 100%
Penetapan Kadar Air dan Kadar Abu
Penetapan Kadar Air
Prosedur penentuan kadar air simplisia
dilakukan dengan menggunakan alat moisture
balance, Ditimbang simplisia sebanyak 1 gram
(akurasi rendah) atau 5 gram (akurasi sedang),
simplisia disimpan di atas punch, diratakan sampai
menutupi permukaan punch lalu ditutup, setelah
beberapa menit proses selesai maka persen kadar
air dari simplisia akan tertera secara otomatis
(penentuan dilakukan duplo).
3
Penetapan Kadar Abu
Ditimbang 2-3 gram sampel dengan
seksama, dimasukkan ke dalam krus yang telah
dipijarkan dan ditara. Dipijarkan dengan suhu
±600°C perlahan-lahan hingga arang habis,
didinginkan lalu ditimbang hingga bobot konstan
±0,25%. Jika dengan cara ini arang tidak dapat
dihilangkan, ditambahkan air panas, disaring
dalam krus yang sama. Dimasukkan filtrat ke
dalam krus, diuapkan, dipijarkan hingga bobot
tetap, ditimbang. Dihitung kadar abu terhadap
bahan yang telah dikeringkan di udara. Dilakukan
pengulangan 2 kali (duplo) (DepKes RI, 1978).
Kadar Abu
=
(Bobot krus +Bobot abu)−Bobot krus kosong
Bobot simplisia
x 100%
Pembuatan Ekstrak Cair Herba Ciplukan

Ekstraksi dengan Metode Maserasi
Tidak Bertingkat
Ekstraksi dilakukan menggunakan metode
maserasi satu tahap dengan 7 sampel serbuk
simplisia herba ciplukan. Serbuk simplisia
ditimbang 10 gram dimasukkan ke dalam labu
Erlenmeyer 250 mL ditambahkan etanol 70%
sebanyak 100 mL kemudian didiamkan selama 24
jam sambil sesekali diaduk (setiap 6 jam), setelah
24 jam ekstrak dimasukkan ke dalam labu 100 mL
dan digenapkan sampai batas dengan etanol 70 %.
Ekstrak dienaptuangkan selama 24 jam. Filtrat
selanjutnya dilakukan pengujian.

Ekstraksi dengan Metode Maserasi
Bertingkat
Ekstraksi dilakukan menggunakan metode
maserasi bertingkat dengan 7 sampel serbuk
simplisia herba ciplukan, pelarut yang digunakan
adalah pelarut dengan kepolaran makin meningkat
yaitu n-heksan, etil asetat, dan etanol 70% masingmasing pelarut yang digunakan sebanyak 100 mL
(1:10). Serbuk simplisia ditimbang 10 gram
dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL.
Maserasi pertama simplisia direndam dengan 100
mL n-heksan selama 24 jam sambil sesekali diaduk
(setiap 6 jam), setelah 24 jam residu dipisahkan
dari filtrat dan ampas simplisia dikeringkan dengan
oven pada suhu 50˚C. Setelah residu kering
dimaserasi kembali selama 24 jam dengan etil
asetat 100 mL sambil sesekali diaduk (setiap 6
jam), setelah 24 jam residu dipisahkan dari filtrat,
setelah maserasi dengan etil asetat selesai, residu
dikeringkan kemudian dimaserasi dengan pelarut
etanol 70% dengan prosedur yang sama. Ekstrak
yang diperoleh dari etanol 70% dimasukkan ke
dalam labu 100 mL dan digenapkan sampai batas
ditambahkan dengan etanol 70% lalu ekstrak
dienaptuangkan selama 24 jam. Filtrat selanjutnya
dilakukan pengujian.
Analisis Fitokimia
Uji Fitokimia pada ekstrak meliputi identifikasi
saponin, tanin, flavonoid dan alkaloid secara
kualitatif.
a.
Uji Alkaloid
Sebanyak ± 1 mL ekstrak cair ditambahkan
5 mL kloroform dan 2 tetes NH4OH kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup.
Ekstrak kloroform dalam tabung reaksi dikocok
dengan 6 mL H2SO4 2 M dan lapisan asamnya
dipisahkan ke dalam tabung reaksi yang lain.
Lapisan asam diteteskan pada plat tetes dan
ditambahkan pereaksi Mayer, Wagner, dan
Dragendorf yang akan menimbulkan endapan
warna berturut-turut putih, coklat, dan merah
jingga (DepKes RI, 1989).
b.
Uji Flavonoid
Sebanyak ± 1 mL ekstrak cair masingmasing ditambahkan dengan serbuk Mg dan asam
klorida 2 N kemudian dipanaskan di atas penangas
air. Setelah itu ditambahkan dengan amil alkohol,
dikocok hingga tercampur rata. Hasil positifnya
adalah tertariknya warna kuning-merah pada
lapisan alkohol (DepKes RI, 1995).
c.
Uji Saponin
Sebanyak ± 1 mL ekstrak cair dimasukkan
ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 mL air
panas, didinginkan dan kemudian dikocok kuatkuat selama 10 detik (jika zat yang diperiksa
berupa sediaan cair, diencerkan 1 mL sediaan yang
diperiksa dengan 10 mL air dan dikocok kuat-kuat
selama 10 menit). Reaksi positif jika terbentuk buih
yang mantap selama tidak kurang dari 10 menit,
setinggi 1 cm sampai 10 cm. Pada penambahan 1
tetes asam klorida 2 N buih tidak hilang (DepKes
RI (b), 1979).
d.
Uji Tanin
Sebanyak ± 2 mL ekstrak cair dan
ditambahkan 3 tetes pereaksi besi (III) klorida
(FeCl3) dan bereaksi positif jika larutan berwarna
biru atau hitam, untuk memastikan ada atau
tidaknya tanin, sampel ditambahkan gelatin hingga
terbentuk endapan putih (Fransworth, 1996).
Analisis Flavonoid Total Secara Kolorimetri

Metode Alumunium Klorida
a)
Pembuatan Larutan Pereaksi
4
 Pembuatan Natrium Asetat 1 M
Natrium asetat 1 M dibuat dengan cara
ditimbang tepat 8,3 gram natrium asetat,
kemudian dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 mL dan dilarutkan dengan air
suling sampai tanda batas lalu
dihomogenkan.
 Pembuatan Alumunium Klorida 10%
Alumunium klorida 10% dibuat dengan
cara ditimbang tepat 10 gram
alumunium
klorida,
kemudian
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL
dan dilarutkan dengan natrium asetat
hingga larut, kemudian ditambahkan
dengan air suling sampai tanda batas dan
dihomogenkan.
 Pembuatan Larutan Blanko
Dipipet 2,5 mL alumunium klorida 10%
ke dalam labu ukur 25 mL, kemudian
ditambahkan 2,5 mL natrium asetat dan
ditambahkan air suling sampai tanda
batas serta dihomogenkan.
b)
Pembuatan Larutan Stok Kuersetin
Ditimbang 100 mg kuersetin, dimasukkan
ke dalam labu ukur 100 mL dan dilarutkan dengan
metanol sampai tanda batas lalu dihomogenkan
(1000 ppm). Untuk mendapatkan larutan standar
kuersetin 100 ppm, dilakukan dengan cara dipipet
10 mL larutan standar 1000 ppm, dimasukkan ke
dalam labu ukur 100 mL dan dilarutkan dengan
metanol sampai tanda batas (100 ppm) (Chang et
al., 2002).
c)
Penentuan
Panjang
Gelombang
Maksimal Kuersetin
Sebanyak 1 mL larutan standar kuersetin
dalam metanol konsentrasi 100 ppm dimasukkan
dalam labu ukur 50 mL, ditambahkan kira-kira 30
mL air suling lalu ditambah 1 mL alumunium
klorida 10%, 1 mL natrium asetat 1 M dan air
suling sampai batas. Dikocok sampai homogen lalu
dibiarkan selama 30 menit, diukur absorbannya
pada panjang gelombang 380-780 nm dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Chang et
al., 2002).
d)
Penentuan Waktu Inkubasi Optimum
Sebanyak 1 mL larutan standar kuersetin
konsentasi 100 ppm dimasukkan dalam labu ukur
50 mL, ditambahkan kira-kira 30 mL air suling lalu
ditambah 1 mL alumunium klorida 10%, 1 mL
natrium asetat 1 M dan air suling sampai batas.
Kemudian dihomogenkan dan diinkubasi pada
suhu kamar.
Serapan diukur pada panjang
gelombang maksimum pada 5, 10, 15, 20, 25 dan
30 menit, sehingga didapat waktu optimum yang
stabil (Chang et al., 2002).
e)
Pembuatan Kurva Standar Kuersetin
Deret standar kuersetin 2, 4, 6, 8, dan 10
ppm dibuat dari larutan
100 ppm. Dipipet
sebanyak 1, 2, 3, 4 dan 5 mL larutan 100 ppm
masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur 50
mL. Selanjutnya ditambahkan air suling kira-kira
30 mL, 1 mL alumunium klorida 10%, 1 mL
natrium asetat 1 M dan diencerkan dengan air
suling sampai batas. Dikocok sampai homogen lalu
dibiarkan selama waktu optimum, diukur
absorbannya pada panjang gelombang maksimal
(Chang et al., 2002).
Pengukuran absorban diatas dibuat kurva
antara konsentrasi larutan standar kuersetin dengan
nilai absorban yang diperoleh dan akan dihasilkan
persamaan regresi linier (y = bx + a). Persamaan
regresi ini untuk menghitung kadar ekstrak (ppm)
dengan memasukkan absorban ekstrak sebagai
nilai y ke dalam persamaan (Chang et al., 2002).
f)
Penentuan Kadar Flavonoid Ekstrak
Cair Herba Ciplukan
Dipipet masing-masing sebanyak 1 mL dari
ekstrak cair hasil ekstraksi bertingkat dan satu
tahap ke dalam labu ukur 50 mL lalu ditambahkan
air suling kira-kira 30 mL, 1 mL almunium klorida
10%,
1 mL natrium asetat 1 M dan air suling
sampai batas. Dikocok sampai homogen lalu
dibiarkan selama waktu optimum, lalu serapan
diukur pada panjang gelombang maksimal.
Absorban yang dihasilkan dimasukkan kedalam
persamaan regresi dari kurva standar kuersetin
(Chang et al., 2002). Kemudian dihitung flavonoid
total dengan menggunakan rumus:
Kadar =
𝑝𝑝𝑚 x volume x fp x 10−6
Bobot simplisia−(Bobot simplisia x % kadar air)
x 100%
Metode 2,4-dinitrofenilhidrazin
a)
Pembuatan Larutan Pereaksi
 Pembuatan 2,4-dinitrofenilhidrazin 1%
2,4-dinitrofenilhidrazin 1% dibuat
dengan cara ditimbang tepat 1 gram 2,4dinitrofenilhidrazin dimasukkan ke
dalam labu ukur 100 mL, dilarutkan
dalam 2 mL asam sulfat 96% dan
ditambahkan dengan metanol sampai
tanda batas lalu dihomogenkan.
 Pembuatan KOH 1%
KOH 1% dibuat dengan cara ditimbang
tepat 1 gram kalium hidroksida,
5
kemudian dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 mL dan dilarutkan dengan
metanol sampai tanda batas dan
dihomogenkan.
 Pembuatan Larutan Blanko
Dipipet 1 mL metanol ke dalam labu
ukur 10 mL, ditambahkan 2 mL reagen
2,4-dinitrofenilhidrazin 1%, dan 2 mL
metanol. Dinkubasi pada suhu 50˚C
selama 50 menit. Setelah dingin pada
suhu kamar, ditambahkan KOH 1%
dalam metanol sampai 10 mL dalam
labu ukur, kemudian dihomogenkan.
Dipipet 1 mL dari campuran tersebut
diatas, dilarutkan dengan metanol
sampai 10 mL tanda batas serta
dihomogenkan.
b)
Pembuatan Larutan Stok Naringenin
Ditimbang 125 mg naringenin, dimasukkan
ke dalam labu ukur 25 mL dan dilarutkan dengan
metanol sampai tanda batas lalu dihomogenkan
(5000 ppm). Untuk mendapatkan larutan standar
naringenin 500 ppm, dilakukan dengan cara dipipet
10 mL larutan standar 5000 ppm, dimasukkan ke
dalam labu ukur 100 mL dan dilarutkan dengan
metanol sampai tanda batas (500 ppm) (Chang et
al., 2002).
c)
Penentuan
Panjang
Gelombang
Maksimal Naringenin
Sebanyak 1 mL larutan standar naringenin
dalam metanol konsentrasi 500 ppm dimasukkan
dalam labu ukur 10 mL, ditambahkan 2 mL reagen
2,4-dinitrofenilhidrazin 1%, dan 2 mL metanol.
Dinkubasi pada suhu 50˚C selama 50 menit.
Setelah dingin pada suhu kamar, ditambahkan
KOH 1% dalam metanol sampai 10 mL dalam labu
ukur, kemudian dihomogenkan (50 ppm). Dipipet
1 mL dari campuran tersebut diatas, dilarutkan
dengan metanol sampai 10 mL (5 ppm). Diukur
absorbannya pada panjang gelombang 380-780 nm
dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis
(Chang et al., 2002).
d)
Penentuan Waktu Inkubasi Optimum
Sebanyak 1 mL larutan standar naringenin
dalam metanol konsentrasi 500 ppm dimasukkan
dalam labu ukur 10 mL, ditambahkan 2 mL reagen
2,4-dinitrofenilhidrazin 1%, dan 2 mL metanol.
Dinkubasi pada suhu 50˚C selama 50 menit.
Setelah dingin pada suhu kamar, ditambahkan
KOH 1% dalam metanol sampai 10 mL dalam labu
ukur, kemudian dihomogenkan (50 ppm). Dipipet
1 mL dari campuran tersebut diatas, dilarutkan
dengan metanol sampai 10 mL (5 ppm). Serapan
diukur pada panjang gelombang maksimum pada
2, 4, 8, 16 dan 32 menit, sehingga didapat waktu
optimum yang stabil (Chang et al., 2002).
e)
Pembuatan Kurva Standar Naringenin
Deret standar naringenin 250, 500, 1000 dan
2000 ppm dibuat dari larutan dari 5000 ppm.
Sebanyak 2,5; 5; 10 dan 20 mL dari larutan standar
5000 ppm dipipet ke dalam labu ukur 50 mL dan
diilarutkan dengan metanol sampai tanda batas.
Selanjutnya dipipet sebanyak 1 mL dari larutan
deret standar masing-masing konsentrasi yang
telah dilarutkan, dimasukkan dalam labu ukur 10
mL, ditambahkan 2 mL reagen
2,4dinitrofenilhidrazin 1%, dan 2 mL metanol.
Dinkubasi pada suhu 50˚C selama 50 menit.
Setelah dingin pada suhu kamar, ditambahkan
KOH 1% dalam metanol sampai 10 mL dalam labu
ukur, kemudian dihomogenkan (25, 50, 100 dan
200 ppm). Dipipet 1 mL dari campuran tersebut di
atas, dilarutkan dengan metanol sampai 10 mL
(2,5; 5; 10 dan 20 ppm). Serapan diukur pada
panjang gelombang maksimal (Chang et al., 2002).
Pengukuran absorban diatas dibuat kurva
antara konsentrasi larutan standar kuersetin dengan
nilai absorban yang diperoleh dan akan dihasilkan
persamaan regresi linier (y = bx + a). Persamaan
regresi ini untuk menghitung kadar ekstrak (ppm)
dengan memasukkan absorban ekstrak sebagai
nilai y ke dalam persamaan (Chang et al., 2002).
f)
Penentuan Kadar Flavonoid Ekstrak
Cair Herba Ciplukan
Dipipet masing-masing sebanyak 1 mL
ekstrak cair hasil ekstraksi bertingkat dan satu
tahap, dimasukkan dalam labu ukur 10 mL,
ditambahkan 2 mL reagen 2,4-dinitrofenilhidrazin
1%, dan 2 mL metanol. Dinkubasi pada suhu 50˚C
selama 50 menit. Setelah dingin pada suhu kamar,
ditambahkan KOH 1% dalam metanol sampai 10
mL dalam labu ukur, kemudian dihomogenkan.
Dipipet 1 mL dari campuran tersebut diatas,
dilarutkan dengan metanol sampai 10 mL, lalu
dibiarkan selama waktu optimum, serapan diukur
pada panjang gelombang maksimal. Absorban
yang dihasilkan dimasukkan kedalam persamaan
regresi dari kurva standar naringenin (Chang et al.,
2002). Kemudian dihitung flavonoid total dengan
menggunakan rumus:
Kadar =
𝑝𝑝𝑚 x volume x fp x 10−6
Bobot simplisia−(Bobot simplisia x % kadar air)
Perhitungan Jumlah Flavonoid Total
Jumlah flavonoid total dihitung
menggunakan persamaan :
FT = F1 + F2
x 100%
dengan
6
Dimana :
F1 = Jumlah flavonoid dengan metode
alumunium klorida.
F2 = Jumlah flavonoid dengan metode 2,4 –
dinitrofenilhidrazin.
FT = Jumlah flavonoid total (Chang et al., 2002).
Analisis Data
Dua data yang diperoleh dari dua metode
ekstraksi yang berbeda di bandingkan dengan
analisis data menggunakan uji F. Uji F dikenal
dengan uji Anova digunakan untuk pengujian
dua sampel atau lebih, sedangkan esensi dari
pengujian adalah sama, yaitu ingin mengetahui
apakah ada perbedaan yang signifikan (jelas)
antara rata-rata hitung beberapa kelompok data
(Santoso, 2012).
Uji
F
dapat
dilakukan
dengan
membandingkan F hitung dengan F tabel, jika F
hitung > dari F tabel, (Ho di tolak H1 diterima)
maka model signifikan atau bisa dilihat dalam
kolom signifikansi (nilai sig.) pada Anova (Olahan
dengan SPSS menggunakan uji regresi). Dan
sebaliknya jika F hitung < F tabel, maka model
tidak signifikan (Santoso, 2012).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Determinasi Tanaman
Herba ciplukan yang digunakan dalam
proses penelitian ini telah didetermnasi di Pusat
Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jl.
Ir. H. Juanda No. 13, Bogor. Hasil determinasi
menyatakan bahwa tanaman yang digunakan
dalam penelitian ini adalah jenis Physalis angulata
L., suku Solanaceae.
Karakterisasi
Serbuk
Simplisia
Herba
Ciplukan
Herba Ciplukan diperoleh dari perkebunan
daerah Cianjur, Jawa Barat. Bagian tanaman yang
digunakan adalah seluruhnya termasuk akar.
Proses pembuatan simplisia diawali dengan sortasi
basah terhadap herba ciplukan kemudian dicuci
dengan air bersih. Herba ciplukan yang telah
bersih kemudian dioven, setelah kering kemudian
digrinder dan diayak sehingga diperoleh serbuk
simplisia yang memiliki derajat kehalusan tertentu.
Rendemen simplisia yang diperoleh adalah sebesar
9,6842%, perhitungan rendemen bisa dilihat pada
Lampiran 6. Serbuk simplisia herba ciplukan
memiliki warna hijau kekuningan dengan aroma
yang khas. Serbuk simplisia ini dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Serbuk Simplisia Herba Ciplukan
Penetapan kadar air serbuk simplisia
dilakukan dengan menggunakan alat Moisture
Balance. Kadar air serbuk simplisia yang diperoleh
adalah sebesar 6,705%. Kadar air dapat
menunjukan ketahanan suatu bahan yang akan
disimpan dalam selang waktu yang cukup lama,
karena kandungan air di dalam suatu bahan
merupakan medium tumbuh bagi bakteri dan
mikroorganisme sehingga dapat menyebabkan
perubahan kimia pada senyawa aktif, oleh karena
itu kadar air merupakan hal penting dalam
standarisasi suatu simplisia. Penetapan kadar abu
juga penting dalam standarisasi simplisia selain
penetapan kadar air (DepKes RI, 2000). Kadar abu
bertujuan untuk mengidentifikasi kadar zat
anorganik dan mineral di dalam suatu simplisia.
Keberadaan tanah yang masih menempel pada
herba dapat menambah nilai kadar abu. Kadar abu
yang terdapat pada serbuk simplisia herba ciplukan
sebesar 7,7875% memenuhi syarat kadar abu
simplisia, yang menyatakan bahwa kadar abu total
simplisia tidak lebih dari 14,0 % (DepKes RI,
2010).
Ekstrak Cair Herba Ciplukan
Metode ekstraksi yang digunakan adalah
maserasi tidak bertingkat dan maserasi bertingkat.
Maserasi satu tahap hanya menggunakan 1 jenis
pelarut sedangkan yang bertingkat menggunakan
dua atau lebih pelarut (Aisyah dan Asnani, 2012).
Maserasi merupakan salah satu cara ekstraksi yang
sederhana dengan merendam serbuk dalam pelarut
tertentu dengan beberapa kali pengadukan atau
pengocokan pada temperatur ruangan (DepKes RI,
2000). Jenis pelarut yang digunakan berpengaruh
terhadap senyawa aktif yang ikut terekstraksi.
Pelarut polar akan menarik senyawa yang bersifat
polar, sedangkan pelarut non-polar akan menarik
senyawa non-polar dan pelarut semi polar akan
menarik senyawa polar (DepKes RI, 1986).
Komponen yang akan ditarik pada herba ciplukan
adalah flavonoid.
7
Metode maserasi tidak bertingkat pada
penelitian ini hanya menggunakan satu jenis
pelarut. Pelarut yang digunakan adalah etanol 70%
karena pelarut ini bersifat polar sehingga dapat
menarik senyawa polar berupa flavonoid. Menurut
Harborne (1987), golongan senyawa flavonoid
dapat diekstraksi dengan baik menggunakan etanol
70%. Sedangkan untuk metode maserasi bertingkat
pada penelitian ini menggunakan tiga jenis pelarut
dengan kepolaran yang berbeda secara berturutturut adalah n-heksan, etil asetat dan etanol 70%.
Diharapkan pada metode maserasi bertingkat
mendapatkan hasil ekstrak cair yang berkualitas
dibandingkan metode maserasi tidak bertingkat
karena metode maserasi bertingkat senyawa kimia
golongan lain selain flavonoid dapat teristribusi
berdasarkan kepolaran pelarut yang digunakan.
Pelarut n-heksan akan menarik senyawa non-polar
begitupun dengan etil asetat menarik senyawa semi
polar sehingga dengan mudah etanol 70% menarik
senyawa polar tanpa ada gangguan yang ikut
terekstrak dari senyawa golongan lain. Berikut
adalah perbedaan gambar ekstrak cair herba
ciplukan dengan maserasi tidak bertingkat dan
maserasi bertingkat terlihat pada Gambar 4.
a
b
Gambar 4. (a) Maserasi tidak bertingkat;
(b) Maserasi Bertingkat
Hasil Uji Fitokimia Ekstra Cair Herba
Ciplukan
Uji fitokimia bertujuan untuk mengidentifikasi
golongan zat aktif seperti senyawa flavonoid,
alkaloid, saponin dan tanin yang terdapat dalam
ekstrak cair herba ciplukan secara kualitatif.
Pengujian pada penelitian ini dilakukan pada
ekstrak cair herba ciplukan yang berbeda metode
ekstraksi maserasi yaitu tidak bertingkat dan
bertingkat. Kedua metode ekstraksi tidak
berpengaruh terhadap hasil uji fitokimia yang dapat
dilihat pada Tabel 4
Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Cair
Herba Ciplukan
Ekstrak
Cair
Herba
Ciplukan
Maserasi
Tidak
Bertingkat
Maserasi
Bertingkat
Alkaloid
Golongan Senyawa Kimia
Flavonoid
Saponin
Tanin
+
+
+
+
+
+
+
+
Pengujian alkaloid terhadap ekstrak cair
herba ciplukan dari kedua metode ekstraksi yang
berbeda sama-sama menunjukkan hasil positif
karena pada penambahan pereaksi Mayer
membentuk senyawa kompleks dari merkuri
sehingga menghasilkan endapan berwarna putih.
Hasil positif juga ditunjukkan dengan pereaksi
Dragendorf yaitu endapan berwarna merah karena
bismuth nitrat dari pereaksi tersebut bereaksi
dengan kalium iodida membentuk endapan merah
bismuth (III) iodida yang kemudian melarut pada
pada kalium iodida berlebih membentuk kalium
tetraiodobismuth (Shevla, 1990). Saat penambahan
perekasi Wagner hasil reaksi dengan endapan
negatif karena tidak menunjukkan endapan cokelat.
Pengujian flavonoid terhadap ekstrak cair
herba ciplukan dari kedua metode ekstraksi yang
berbeda sama-sama menunjukkan hasil positif,
terlihat warna merah pada larutan amil alkohol, hal
ini menunjukkan terjadinya reduksi flavonoid
dengan Mg (Robinson, 1995).
Pengujian saponin terhadap ekstrak cair
herba ciplukan dari kedua metode ekstraksi yang
berbeda sama-sama menunjukkan hasil positif ,
terbentuknya buih setinggi 1 cm selama 10 menit,
hal ini dikarenakan saponin membentuk larutan
koloidal dalam air sehingga membentuk busa
apabila dilakukan pengocokan (Robinson, 1995).
Pengujian tanin terhadap ekstrak cair herba
ciplukan dari kedua metode ekstraksi yang berbeda
sama-sama menunjukkan hasil positif , ditandai
dengan terbentuknya warna kehijauan bila
ditambahkan dengan FeCl3, hal ini karena
terbentuknya senyawa kompleks antara logam Fe
dengan tannin yang terdapat pada ekstrak cair
herba ciplukan (Robinson, 1995).
Hasil Analisis Flavonoid Ekstrak Cair Herba
Ciplukan Secara Kolorimetri
Analisis flavonoid total ekstrak cair herba
ciplukan
dilakukan
secara
kolorimetri
menggunakan dua metode analisis dengan prinsip
berdasarkan pengukuran pembentukan warna.
Metode analisis flavonoid total secara kolorimetri
pada penelitian ini menggunakan metode
Alumunium Klorida dengan standar kuersetin dan
8
metode 2,4-dinitrofenilhidrazin dengan standar
naringenin, selain itu penentuan flavonoid total
juga dilakukan dengan melihat perbedaan metode
ekstraksi maserasi yaitu maserasi tidak bertingkat
dan bertingkat.
Prinsip analisis flavonoid dengan metode
alumunium klorida adalah pembentukan kompleks
antara AlCl3 dengan gugus keto pada atom C-4
serta gugus hidroksi pada atom C-3 atau C-4 dari
flavon dan flavonol, sehingga metode alumunium
klorida dapat digunakan untuk menentukan jumlah
flavonoid golongan flavon dan flavonol (Chang et
al., 2002). Flavon dan flavonol dari segi struktur
berbeda, dimana pada flavonol terdapat gugus
keton dan alkohol yakni gugus keton pada posisi 4
dan hidroksi pada posisi 3. Sedangkan flavon
hanya memiliki gugus keton yakni pada posisi 4
dan umumnya terdapat sebagai glikosida pada
posisi 7-glikosida. Gula yang terikat biasanya
glukosa, galaktosa, dan ramnosa (Harborne, 1987).
Metode
alumunium
klorida
ini
menggunakan kuersetin sebagai pembanding atau
standar karena kuersetin termasuk golongan
flavonol. Panjang gelombang maksimum yang
dihasilkan dari larutan kuersetin dengan
alumunium klorida adalah 430 nm, dimana panjang
gelombang ini dapat menghasilkan serapan
maksimum. Hasil panjang gelombang maksimum
dari larutan kuersetin tersebut mendekati dengan
penelitian yang dilakukan oleh Desmiaty dkk.,
(2014) yaitu sebesar 438 nm. Penentuan waktu
inkubasi optimum dilakukan untuk mengetahui
waktu yang dibutuhkan senyawa dalam larutan
untuk bereaksi sempurna, sehingga pada penentuan
waktu inkubasi ini akan didapatkan waktu yang
stabil. Waktu inkubasi optimum dari larutan
kuersetin yang dihasilkan adalah pada menit ke-15.
Kurva kalibrasi kuersetin menghasilkan persamaan
regresi linier antara konsentrasi dan absorbansi
larutan standar kuersetin. Persamaan regresi linier
yang didapat adalah y = 0,069x + 0,0883 dengan
nilai R2 = 0,9992. Nilai R2 yang dihasilkan dari
persamaan regresi linier harus mendekati 1 yang
artinya mendekati linieritas.
Kadar flavonoid ekstrak cair herba ciplukan
dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan
regresi linier dan rumus penetapan kadar flavonoid.
Hasil perhitungan kadar flavonoid dari metode
alumunium klorida didapat rata-rata kadar
flavonoid dari maserasi tidak bertingkat sebesar
0,1897±0,01%, sedangkan dari maserasi bertingkat
sebesar 0,1206±0,00%. Data kadar flavonoid
ekstrak cair herba ciplukan dapat dilihat pada Tabel
5.
Tabel 5. Kadar Flavonoid Ekstrak Cair Herba
Ciplukan
Kadar Flavonoid Ekstrak Cair Herba Ciplukan (%)
Maserasi Tidak Bertingkat
Maserasi Bertingkat
AlCl3
DNPH
AlCl3
DNPH
1
0,2017
0,3259
0,1196
0,2898
2
0,1663
0,2723
0,1140
0,2630
3
0,1773
0,2098
0,1194
0,3236
4
0,1970
0,4151
0,1202
0,2432
5
0,1939
0,2723
0,1187
0,5111
6
0,1986
0,5246
0,1189
0,5712
7
0,1931
0,3903
0,1334
0,6719
Rata-rata±SD
0,1897±0,01
0,3443±0,10 0,1206±0,00 0,4105±0,17
Ulangan
Keterangan :
AlCl3
: Metode Alumunium Klorida
DNPH
: Metode 2,4-dinitrofenilhidrazin
Penentuan jumlah flavonoid dengan metode
2,4-dinitrofenilhidrazin prinsipnya adalah reaksi
antara 2,4-dinitrofenilhidrazin dengan senyawa
yang mengandung gugus NH2, gugus aldehid dan
gugus keton membentuk 2,4-dinitrofenilhidrazon.
Flavon, flavonol dan isoflavon yang memiliki
ikatan rangkap pada atom C2-C3 tidak dapat
bereaksi dengan 2,4-dinitrofenilhidrazin, sehingga
penentuan jumlah flavonoid dengan metode 2,4dinitrofenilhidrazin hanya spesifik untuk flavanon
dan flavanonol. Pada struktur flavanon dan
flavanonol tidak dijumpai adanya ikatan rangkap
pada posisi 2 dan 3. Perbedaannya terletak pada
adanya gugusan alkohol di posisi 3 pada flavanonol
(3-hidroksi flavanon) (Harborne, 1987). Standar
atau pembanding yang digunakan pada metode 2,4dinitrofenilhidrazin adalah naringenin yang
merupakan flavonoid golongan flavanon.
Panjang gelombang maksimum yang
dihasilkan dari larutan naringenin adalah 494,1 nm,
hasil panjang gelombang tersebut sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Desmiaty
dkk., (2014), dan waktu inkubasi optimum pada
menit ke-16 serta persamaan regresi linier yang
dihasilkan adalah y = 0,024x + 0,4050 dengan nilai
R2 = 0,999. Kadar flavonoid ekstrak cair herba
ciplukan yang diperoleh dari metode 2,4dinitrofenilhidrazin didapat rata-rata kadar
flavonoid dari maserasi tidak bertingkat sebesar
0,3443±0,10%, sedangkan dari maserasi bertingkat
sebesar 0,4105±0,17%.
Kedua metode kolorimetri dapat dilihat dari
hasil perhitungan kadar flavonoid bahwa jumlah
flavonoid ekstrak cair herba ciplukan metode 2,4dinitrofenilhidrazin baik pada proses maserasi
tidak bertingkat maupun bertingkat lebih besar
daripada metode alumunium klorida. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa jumlah flavonoid golongan
flavanon dan flavanonol lebih tinggi daripada
golongan flavon dan flavonol.
9
Hasil Analisis Flavonoid Total
Data kadar flavonoid total ekstrak cair herba
ciplukan dari kedua metode maserasi yang berbeda
perlu dianalisis statistik untuk mengetahui
pengaruh metode maserasi terhadap hasil flavonoid
total ekstrak cair herba ciplukan. Analisis statistik
pada penelitian ini mengunakan uji F yang
dilakukan dengan membandingkan dua variabel
yang saling terkait sehingga menghasilkan nilai F
hitung yang diperoleh dari regresi linier. Nilai F
hitung yang dihasilkan dari analisis statistik kadar
flavonoid total ekstrak cair herba ciplukan terhadap
metode maserasi yang berbeda adalah F hitung < F
tabel ɑ 0,05 (1,145< 6,608). Dari hasil analisis
terlihat bahwa kedua metode maserasi baik tidak
bertingkat maupun bertingkat tidak ada perbedaan
nyata terhadap kadar flavonoid total secara
kolorimetri.
Tabel 6. Kadar Flavonoid Total Ekstrak Cair
Herba Ciplukan
Ulangan
1
2
3
4
5
6
7
Kadar Flavonoid Total
Maserasi Tidak Bertingkat
Maserasi Bertingkat
AlCl3
DNPH
AlCl3
DNPH
F1+F2
F1+F2
(F1)
(F2)
(F1)
(F2)
0,2017
0,3259
0,5269
0,1196
0,2898
0,4094
0,1663
0,2723
0,4386
0,1140
0,2630
0,3770
0,1773
0,2098
0,3871
0,1194
0,3236
0,4430
0,1970
0,4151
0,6121
0,1202
0,2432
0,3634
0,1939
0,2723
0,4662
0,1187
0,5111
0,6298
0,1986
0,5246
0,7232
0,1189
0,5712
0,6901
0,1931
0,3903
0,5834
0,1334
0,6719
0,8053
0,5339±0,11
0,5311±0,17
Rata-rata±SD
Rata-rata±SD
Metode maserasi yang berbeda pada
penelitian ini setelah dilakukan analisis statistik
tidak memberikan pengaruh terhadap hasil kadar
flavonoid total ekstrak cair herba ciplukan. Namun,
jika dilihat dari data yang diperoleh tanpa analisis
statistik maserasi tidak bertingkat menghasilkan
kadar flavonoid total lebih tinggi dibandingkan
maserasi bertingkat yaitu hasil perolehan kadar
flavonoid total maserasi satu tahap sebesar
0,5339±0,11 dan maserasi bertingkat sebesar
0,5311±0,17, data kadar flavonoid total ekstrak
cair herba ciplukan dapat dilihat pada Tabel 6.
Maserasi tidak bertingkat dan maserasi
bertingkat pada prinsipnya sama saja yaitu samasama menarik senyawa akhir yang diinginkan
dimana maserasi satu tahap menarik senyawa polar
dengan pelarut etanol, dan maserasi bertingkat
membuang senyawa non-polar dan semi polar
dengan n-heksan dan etil asetat sehingga
menyisakan senyawa polar dan akhir diekstrasi
kembali dengan etanol, yang membedakan hanya
penggunaan pelarut berdasarkan kepolarannya.
KESIMPULAN
Kadar flavonoid yang diperoleh dari metode
ekstraksi tidak bertingkat dan metode ekstraksi
bertingkat tidak ada perbedaan nyata, kedua
metode ekstraksi tidak memberikan pengaruh
terhadap hasil kadar flavonoid.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, 1998. Kimia Untuk Universitas. Gramedia.
Jakarta.
Aisyah T.S., dan A. Asnani. 2012. Kajian Sifat
Fisikokimia Ekstrak Rumput Laut Coklat
(Sagarsum duplicatum) Menggunakan
Berbagai Pelarut dan Metode Ekstraksi.
Kajian Sifat Fisikokimia Ekstrak Rumput
Laut. 6(1): 22.
Ali C.D., F. Ningsih, Mukarromah, dan I. Yolana.
2012. Potensi ekstrak herba ciplukan
sebagai anti inflamasi selektif penghambat
COX 1 dan COX 2. Jurnal Akademi
Farmasi Putera Indonesia Malang. Hal. 1-2.
Baedowi, 1998. Timbunan Glikogen dalam
Hepatosit dan Kegiatan Sel Beta Insula
Pancreatisi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Akibat Pemberian Ekstrak Daun Ciplukan.
Penelitian Tanaman Obat di Beberapa
Perguruan Tinggi di Indonesia IX,
Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Hal.
139.
Chang C. C., M. H. Yang, H. M. Wen and J. C.
Chern. 2002. Estimation of total flavonoid
content in propolis by two complementary
colometric methods. Journal of Food and
Drug Analysis. 10 (3): 178-182.
DepKes RI. 1977. Materia Medika Indonesia, Jilid
I. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
Dan Makanan. Jakarta.
_________.1978. Materia Medika Indonesia, Jilid
II. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
Dan Makanan. Hal. 70.
_________(a).1979. Farmakope Indonesia, Edisi
III. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan
Makanan. Jakarta. Hal. 663, 673,
680, 706, 840.
_________(b).1979. Materia Medika Indonesia,
Jilid III. Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat Dan Makanan. Jakarta.
_________.1986. Sediaan Galenik. Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan.
Jakarta.
_________.1989. Materia Medika Indonesia. Jilid
V. Direktorat Jendral Pengawas Obat dan
Makanan. Jakarta.
10
_________.1995. Materia Medika Indonesia, Jilid
VI. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan. Jakarta.
_________. 2000. Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Jakarta.
_________. 2010 . Farmakope Herbal Indonesia..
Jilid I. Direktorat Jenderal Pengawas Obat
dan Makanan. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta. Hal : 15
Desmiaty Y., J. Ratnawati dan P. Andini. 2009.
Penentuan Jumlah Flavonoid Total Ekstrak
Etanol Daun Buah Merah (Pandanus
conoideus
L.)
Secara
Kolorimetri
Komplementer. Dipresentasikan pada
Seminar Nasional POKJANAS TOI XXXVI.
Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Fransworth N.R.
1996.
Biological and
phytochemical screening of plants. Journal
of Pharmaceutical Science. 55 (3).
Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia I. Ed ke-2.
ITB. Bandung.
Harborne J.B. 1996. Metode Fitokimia. Ed ke-2.
ITB. Bandung.
Markham K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi
Flavonoid. Padmawinata K, penerjemah.
Terjemahan dari: Techniques of Flavonoid
Identification.
Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan
Tinggi. Edisi ke-4 Terjemahan Kosasih
Padmawinata. ITB Press. Bandung.
Santoso S. 2012. Panduan Lengkap SPSS Versi 20.
Elex Media Komputindo. Jakarta. Hal. 279280.
Satria W.P. 2015. Kitab Herbal Nusantara: Aneka
Resep & Ramuan Tanaman Obat Untuk
Berbagai Gangguan Kesehatan. Kata Hati.
Yogyakarta. Hal. 93-94.
Shevla G. 1990. Analisis Anorganik Kualitatif
Makro dan Semimikro. Edisi Kelima.
Penerjemah: Setiono, L. dan A.H.
Pudjaatmaka. Kalman Media Pustaka.
Jakarta.
Sudarmadji S., B. Haryono, dan Suhardi. 1998.
Analisis Untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta. Hal. 171.
Widodo D. S., R. Hastuti dan Gunawan. 2009.
Buku Ajar Analisis Kuantitatif. Universitas
Diponegoro. Semarang. Hal. 176-178
Download