pendidikan untuk toleransi dan kebersamaan

advertisement
halaman | 631
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
DESKRIPSI KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL MAHASISWA
PENDIDIKAN KIMIA UNIVERSITAS TANJUNGPURA
Oleh Erlina1
Abstrak: Ilmu Kimia adalah materi pelajaran yang terdiri dari konsepkonsep yang sebagian besar bersifat abstrak. Dalam mempelajari konsepkonsep yang abstrak tersebut diperlukan kemampuan intelektual yang tinggi,
yaitu kemampuan berpikir formal yang dimiliki oleh individu yang telah
mencapai tingkat operasi formal berdasarkan teori perkembangan kognitif
Piaget. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan berpikir formal dalam
mempelajari kimia. Diperlukannya kemampuan berpikir formal dalam
memahami ilmu kimia ditunjukkan dengan adanya korelasi yang kuat antara
kemampuan berpikir formal dengan prestasi belajar kimia. Kemampuan
berpikir formal adalah kemampuan berpikir Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui: (1) deskripsi kemampuan berpikir formal mahasiswa
tahun 1, dan (2) deskripsi kemampuan berpikir formal mahasiswa tahun 2.
Rancangan yang digunakan adalah rancangan deskriptif.
Kata Kunci: konsep abstrak, kemampuan berpikir formal.
PENDAHULUAN
Belajar ilmu kimia sampai saat ini masih dirasakan sulit oleh siswa.
Hal ini mungkin disebabkan ilmu kimia mencakup materi sangat luas dan
bersifat abstrak. Selain itu ilmu kimia menurut Middlecamp dan Kean
(1985:9) kimia mencakup materi yang amat luas yang terdiri dari fakta,
konsep, aturan, hukum, prinsip, teori dan soal-soal. Dari cakupan materi ilmu
kimia, sebagian besar terdiri dari konsep-yang bersifat abstrak. Hal ini sesuai
dengan karakteristik ilmu kimia itu sendiri, yaitu: (1) bersifat abstrak, (2)
penyederhanaan dari keadaan sebenarnya, (3) berurutan dan berjenjang.
Karakteristik inilah yang membuat ilmu kimia merupakan salah satu ilmu
yang sulit untuk dipelajari oleh siswa.
Dari cakupan materi ilmu kimia, sebagian besar terdiri dari konsepkonsep abstrak atau konsep formal. Dalam mempelajari konsep-konsep yang
1
Erlina adalah Dosen Pendidikan Kimia PMIPA FKIP UNTAN
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
halaman | 632
abstrak tersebut diperlukan kemampuan intelektual yang tinggi, yaitu
kemampuan berpikir formal yang dimiliki oleh individu yang telah mencapai
tingkat operasi formal berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget
(Beistel 1975, Herron, 1975, Wiseman, 1981, serta Kavanaugh dan
Moomaw, 1981). Hal ini juga dikuatkan oleh Fast et al. (1979:600), yang
menyatakan bahwa kombinasi antara fakta-fakta, perhitungan matematis dan
teori menjadikan ilmu kimia sebagai salah satu mata pelajaran yang menuntut
kemampuan intelektual yang tinggi pada mahasiswa yang mempelajarinya.
Diperlukannya kemampuan berpikir formal dalam memahami ilmu
kimia ditunjukkan dengan adanya korelasi yang kuat antara kemampuan
berpikir formal dengan prestasi belajar kimia. Martin (dalam Wiseman,
1981:485) melaporkan koefisien korelasi antara prestasi belajar siswa dalam
mata pelajaran IPA di sekolah menengah atas dengan kesanggupan berpikir
formalnya sebesar 0,76, yang artinya keduanya memiliki korelasi yang kuat.
Koefisien korelasi ini lebih tinggi dibandingkan koefisien korelasi antara
pelajaran fisika dan biologi dengan kemampuan berpikir formal, yang
masing-masing sebesar 0,56 dan 0,26. Artinya pelajaran fisika memiliki
hubungan yang cukup kuat dengan kemampuan berpikir formal sedangkan
pelajaran biologi memiliki hubungan yang lemah dengan kemampuan
berpikir formal. Hal ini berarti bahwa dibandingkan dengan pelajaran lainnya
yang termasuk dalam Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), ilmu kimia merupakan
mata pelajaran yang paling menuntut kemampuan berpikir formal. Herron
(1975:147) juga melaporkan terdapat korelasi antara kemampuan berpikir
formal mahasiswa tahun pertama dengan prestasi belajarnya dalam mata
kuliah pengantar kimia dengan koefisien korelasi sebesar 0,70 yang artinya
sekitar 49,8% dari prestasi belajar kimia dapat diterangkan dari kemampuan
berpikir formalnya.
Piaget (dalam Sund dan Trowbridge, 1973:42-49) menyatakan bahwa
perkembangan kognitif berlangsung melalui empat tingkatan, yaitu: (1)
tingkat sensorimotor, 0-2 tahun; (2) tingkat pra-operasional, 2-7 tahun; (3)
tingkat operasi konkret, 7-11 tahun; dan (4) tingkat operasi formal 12-15
tahun. Piaget menemukan bahwa tingkat perkembangan intelek sejalan
dengan bertambahnya usia dan tingkat-tingkat perkembangan tersebut adalah
tetap (invariant), artinya dalam proses perkembangan menuju ke tingkat yang
lebih tinggi seorang individu tidak mungkin meloncati tingkat perkembangan
sebelumnya.
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
halaman | 633
Salah satu aspek dari teori Piaget adalah bahwa perkembangan
kognitif seorang individu berkembang sejalan dengan bertambahnya usia,
tetapi sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil individu
yang dapat mencapai tingkat berpikir formal pada usia 15 tahun seperti dalam
klasifikasi kognitif Piaget. Mc Kinnon dan Renner, Kolodiy, et al., Haley dan
Good (dalam Good, et al., 1979:428) melaporkan bahwa sebagian besar
siswa sekolah menengah dan mahasiswa yang mempelajari sains belum
mencapai tingkat berpikir formal. Pavelich dan Abraham (1979:101)
melaporkan hanya 14% mahasiswa tingkat satu yang sudah mencapai operasi
formal, sisanya berada pada tingkat transisi dan konkret. Wiseman
(1981:484) menemukan bahwa 50% siswa SMU di Greenville dan sebagian
besar mahasiswa tingkat pertama di Universitas Kentucky yang mempelajari
kimia belum mencapai tingkat berpikir formal. Winarti (1998:108)
menemukan bahwa persentase mahasiswa tahun I, II, III, dan IV yang telah
mencapai tingkat berpikir formal secara berturut-turut adalah 27, 39, 39, dan
53%. Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa tingkat
perkembangan kognitif individu tidak semata-mata dipengaruhi oleh usia
tetapi banyak faktor, yang antara lain: kedewasaan, pengalaman logika
matematika, interaksi sosial dan proses keseimbangan (Phillips, 1984).
Belum tercapainya tingkat berpikir formal oleh siswa dan mahasiswa
memungkinkan timbulnya kesulitan dalam menguasai konsep-konsep dasar
ilmu kimia (Wiseman,1981:484). Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut
dapat diperkirakan mahasiswa tahun I dan II prodi pendidikan kimia belum
semuanya mencapai tingkat berpikir formal.
Padahal secara teoritis, mahasiswa seharusnya telah mencapai tingkat
berpikir formal, karena usia mahasiswa tahun 1 dan II rata-rata adalah 17-18
tahun. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk mendeskripsikan
kemampuan berpikir formal mahasiswa tahun I dan II pendidikan kimia
Untan.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011 di FKIP
Universitas Tanjungpura Pontianak. Dengan subjek penelitian 34 orang
mahasiswa tahun I dan 30 orang mahasiswa tahun II program studi
pendidikan kimia tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011.
halaman | 634
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tes
Kemampuan Berpikir Formal (TKBF /Tes Burney). Adapun alasan
penggunaan instrumen tes standar Burney menurut Ardhana (1983:57) adalah
sebagai berikut:
1. Waktu yang diperlukan relatif singkat yaitu 30-60 menit.
2. Pelaksanaannya tak membutuhkan keterampilan khusus.
3. Indeks reliabilitas dan kevalidan tes aslinya tinggi yakni 0,85 dan 0,85.
Dari 24 item tes dalam tes Burney setelah diujicobakan pada 78 orang murid
kelas IX, kelas XI dan mahasiswa tingkat pertama di perguruan tinggi di
daerah South Dakota, menunjukkan bahwa tes ini memiliki reliabilitas 0,87
pada siswa kelas IX, 0,70 pada siswa keas XI, 0,53 pada mahasiswa tingkat
satu diperguruan tinggi dan 0,85 untuk seluruh sampel. Kevalidan atau
kesahihan tes ini diperoleh dengan mengkorelasikannya dengan skor tugastugas model Piaget yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Ball dan
Sayre. Koefisien korelasi yang diperoleh adalah 0,87 untuk kelas IX, 0,85
untuk kelas XI, 0,57 untuk sampel mahasiswa tingkat satu dan 0,85 untuk
keseluruhan sampel. Materi tes standar Burney dibagi dalam 4 kelompok
yaitu: (a) sudut pantulan bola, (b) keseimbangan dalam timbangan, (c)
permukaan air dalam bejana berhubungan dan (4) proyeksi bayangan pada
layar
Hasil skor tes berpikir formal bentuk obyektif memiliki kemungkinan
nilai yang bervariasi antara 0-24. Burney mengkategorikan hasil skor tes
menjadi tiga seperti terlihat pada Tabel 3.1 berikut ini.
Tabel 1 Kriteria Hasil Skor Tes Berpikir
Formal
Rentang Skor
17-24
11-16
0-10
Kriteria
Formal
Transisi
Konkret
HASIL
Deskripsi Kemampuan Berpikir Formal Mahasiswa Pendidikan Kimia
Untan
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
halaman | 635
Dalam mempelajari lebih lanjut hubungan antara kemampuan berpikir
formal dan pemahaman konseptual maupun algoritmik mahasiswa
Pendidikan Kimia Universitas Tanjungpura terlebih dahulu diperlukan
deskripsi mengenai distribusi tingkat perkembangan kognitif berdasarkan
kemampuan berpikir formal mahasiswa. Secara ringkas, deskripsi
d
tingkat
perkembangan kognitif disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Tingkat Berpikir Formal Mahasiswa Tahun 1 dan 2 Prodi
Pendidikan Kimia Universitas Tanjungpura
Berdasarkan Gambar 1 tersebut, tampak bahwa belum semua
mahasiswa pendidikan kimia yang telah mencapai tingkat berpikir formal.
Sebagian besar mahasiswa pendidikan kimia, baik tahun 1 (63,3%) maupun
tahun 2 (52,9%) masih berada padaa tingkat berpikir transisi. Kelompok
mahasiswa yang berada pada kelompok berpikir transisi cenderung lebih
sedikit, terutama pada mahasiswa tahun 2 yang hanya berjumlah 2,9%, lebih
kecil daripada persentase mahasiswa tahun 1 yang berada pada tingkat
berpikir konkret (10%).
Perbandingan antara kemampuan berpikir formal antara mahasiswa
tahun 1 dan tahun 2 menunjukkan terdapat kecenderungan mahasiswa tahun
2 memiliki perkembangan kognitif yang lebih baik yang ditandai dengan
persentase mahasiswa yang masuk dalam kategori berpikir formal lebih
tinggi dibandingkan mahasiswa tahun 1. Selisih persentase mahasiswa antara
tingkat transisi dan formal pada tahun 2 (8,8%) cenderung lebih kecil
daripada selisih tingkat transisi dan formal pada tahun 1 (36,6%). Fakta ini
i
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
halaman | 636
didukung pula oleh lebih rendahnya persentase mahasiswa yang berada pada
tingkat berpikir konkret.
PEMBAHASAN
Deskripsi Kemampuan Berpikir Formal Mahasiswa Pendidikan Kimia
Untan
Berdasarkan kriteria yang diberikan oleh Burney, mahasiswa yang
memperoleh skor 0-10 dianggap masih berada pada tingkat berpikir konkret.
Mahasiswa yang memeproleh skor 11-16 berada pada tingkat berpikir
transisi. Mahasiswa yang telah mencapai skor 17-24 kemampuan berpikirnya
dianggap telah mencapai tingkat operasi formal. Untuk mahasiswa tahun I,
sebanyak 8 orang (26,7%) telah mencapai tingkat berpikir formal, 19 orang
(63,3%) masih berada pada tingkat transisi, sedangkan 3 orang (10%) masih
berada pada tingkat operasi konkret. Untuk mahasiswa tahun II sebanyak 15
orang (44,1%) telah mencapai tingkat berpikir formal, 18 orang (55,9%)
masih berada pada tingkat transisi, dan 1 orang (2,9%) masih berada pada
tingkat operasi konkret.
Berdasarkan data yang diperoleh pada TKBF ini dapat dikatakan
bahwa sebagian besar mahasiswa belum mencapai kemampuan berpikir
formal yang seharusnya telah mereka capai berdasarkan teori perkembangan
koginitf Piaget. Tetapi yang paling memperihatinkan masih ada mahasiswa
tahun I dan II yang masih berada pada tingkat operasi konkret (2,9-10%).
Kemampuan berpikir mahasiswa sebagian besar masih berada pada tingkat
transisi. Ada kecenderungan bertambahnya jumlah mahasiswa yang telah
mencapai tingkat berpikir formal dan transisi seiring dengan bertambahnya
masa perkuliahan.
Fenomena ini sejalan dengan hasil penelitian Mc Kinnon dan Renner
(1971), serta Renner dan Lawson (1974), yang menyatakan bahwa sebagian
besar mahasiswa yang belajar sains ternyata masih belum mencapai tingkat
berpikir formal sebagaimana harusnya terjadi berdasarkan teori
perkembangan kognitif Piaget. Demikian juga Good, et al. (1979:426)
melaporkan bahwa 25-75% siswa sekolah lanjutan dan mahasiswa belum
mencapai kemampuan berpikir formal.
Rendahnya persentase mahasiswa yang telah mencapai kemampuan
berpikir formal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti yang telah
diuraikan pada bab II. Berdasarkan teori Piaget pada usia 11-15 tahun
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
halaman | 637
seharusnya anak telah mencapai tingkat operasi formal. Untuk tingkat
mahasiswa yang usianya 17-20 tahun, seharusnya telah mencapai tingkat
operasi formal. Namun sebagaimana yang dikemukakan oleh Wadsworth
(1971), Almy (1976) dan Phillips (1978), yang didukung oleh hasil penelitian
Ardhana (1983:20), selain usia, perkembangan kgnitif dipengaruhi oleh
banyak faktor lain. Faktor internal seperti jenis kelamin, IQ, kematangan,
serta faktor eksternal seperti pengalaman dan interaksi sosial serta
keseimbangan akan sangat mempengaruhi kematangan perkembangan
kognitif seorang individu, sehingga memungkinkan individu yang memiliki
usia lebih dewasa tingkat berpikirnya lebih rendah dibandingkan individu
yang berusia dibawahnya.
Selain faktor-faktor di atas, sistem pembelajaran yang digunakan
sejak tingkat sekolah dasar sampai tingkat SMU, mungkin berpengaruh
terhadap perkembangan kognitif seseorang. Sistem pembelajaran di tingkat
SD sampai SMU yang berlangsung secara monologis, di mana materi yang
sarat dengan konsep-konsep konkret maupun abstrak disampaikan secara
cepat, menyebabkan struktur kognitif siswa tidak banyak berkembang. Siswa
cenderung menghafal daripada daripada memahami konsep secara
mendalam. Jika keadaan ini berlangsung terus-menerus maka kemampuan
berpikir siswa menjadi tidak berkembang, karena tidak banyak rangsangan
yang dapat diasimilasi dan diakomodasikannya. Perkembangan kognitif
tergantung pada kualitas dan frekuensi stimulasi intelektual yang diterima
oleh individu dari orang dewasa atau dari lingkungannya. Stimulasi
intelektual yang kurang selama belajar dilingkungan formal dapat
memperlambat perkembangan intelek dan sebagai akibatnya pembentukan
kesanggupan berpkir formal tidak muncul sebelum usia 15-20 tahun. Dalam
keadaan ekstrim pikiran formal malahan sama sekali tidak akan pernah
terbentuk (Long, 1980:8). Hal inilah yang mungkin menyebabkan hanya
35,4% mahasiswa dari kedua angkatan yang telah mencapai tingkat berpikir
formal.
Penggunaan metode inkuiri terbimbing seperti yang disarankan oleh
Lawson dan Renner (1973) serta Pavelich dan Abraham (1977), tempaknya
merupakan salah satu solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah
ini. Perbaikan proses pembelajaran merupakan salah satu solusi yang dapat
digunakan untuk mengatasi masalah ini. Pembelajaran dengan menggunakan
metode metode inkuiri terbimbing yang dipadukan dengan kegiatan
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
halaman | 638
laboratorium diyakini cukup relatif untuk meningkat kemampuan berpikir
formal.
KESIMPULAN
1. Sebanyak 26,7% mahasiswa tahun 1 yang telah mencapai kemampuan
berpikir formal, sisanya 63,3% masih berada pada tingkat transisi dan
10% masih berada pada tingkat konkrit.
2. Sebanyak 44,1% mahasiswa tahun 1 yang telah mencapai kemampuan
berpikir formal, sisanya 52,9% masih berada pada tingkat transisi dan
2,9% masih berada pada tingkat konkrit.
SARAN
1. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai upaya peningkatan
kemampuan berpikir formal.
2. Pengajar, baik guru maupun dosen hendaknya menggunakan strategi
pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan kemampuan berpikir
formal dalam pembelajaran kimia, sehingga siswa dan mahasiswa akan
lebih mudah dalam memahami konsep-konsep kimia yang bersifat
abstrak dan berjenjang.
DAFTAR RUJUKAN
Agung, S., Schwartz, M.S. 2007. Students’ Understanding of Conservation of
Matter, Stoichiometry and Balancing Equation in Indonesia.
International Journal of Science Education, Vol. 29 (13):16791702.
Ardhana, I.W.1983. Kesanggupan Berpikir Formal A la Piaget dan
Kemajuan Belajar di Sekolah. Disertasi tidak diterbitkan.
Malang:Program Pascasarjana Univrsitas Negeri Malang.
Ashadi. 2009. Kesulitan Belajar Kimia Bagi Siswa Sekolah Menengah.
Makalah disampaikan pada pengukuhan guru besar FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tanggal 20 Agustus 2009.
(http://pustaka.uns.ac.id, diakses tanggal 31 Desember 2009).
Beistel, D.W. 1975. A Piagetian Approach to General Chemistry. Journal of
Chemical Education, 52(3): 151-152.
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
halaman | 639
Effendy. 1985. Keefektifan Pengajaran Ilmu Kimia dengan Cara Inquiri
Terbimbing dengan Cara Verivikasi Terhadap Perkembangan
Intelek serta Prestasi Belajar Mahasiswa IKIP Jurusan Pendidikan
Kimia Tahun Pertama. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta: Pasca
Sarjana IKIP Jakarta.
Good, R, Kromhout, R.A. & Melon, E.K. 1979. Piaget’s Work and Chemical
Education. Journal of Chemical Education, 56(7):426-430.
Hariun, M. 2003. Identifikasi Pemahaman Konseptual dan Algoritmik serta
Miskonsepsi dalam Materi Kesetimbangan Kimia Siswa Kelas 2 SMU
Negeri di kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis tidak
diterbitkan. Program Pascasarjana niversitas Negeri Malang.
Hiebert, J. 1985. Conceptual & Prosedural Knowledge: The Case of
Mathematics. London: Lawrence Erlbaum Associates.
Herron, J.D. 1996. The Chemistry Classroom: Formulas for Successful
Teaching. Washington DC : American Chemical Society.
Hurh, E. 2005. A Study of the Effect of Conseptual Question on Students’
Understanding and Students’ Interest in Chemistry. Journal of
Korean Chemical Society, Vol. 49(5): 497-502.
Jaoude, S.B. 2004. Relationships between selective cognitive variables and
students’ ability to solve chemistry problems. International Journal
of Science Education Vol. 26 (1): 63–84.
Middlecamp, C, & Kean, E. 1985. Panduan Belajar Kimia Dasar. Jakarta:
PT. Gramedia.
Nakhleh, M. B. 1993. Are our students conceptual thinkers or algorithmic
problem solvers? Identifying conceptual students in general
chemistry. Journal of Chemical Education, (Online),Vol. 70 (1), 5255.
Nurrenbern, S. C., & Pickering, M. 1987. Concept learning versus problem
solving: Is there a difference? Journal of Chemical Education,
(Online),Vol. 64: 508-510.
Rochmawati, R.A. Identifikasi Pemahaman Konseptual dan Algoritma dalam
Materi Hukum Avogadro pada Siswa Kelas X SMA Laboratorium
UM. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
halaman | 640
Smith, K.J. & Metz., P.A. 1996. Evaluating student understanding of solution
chemistry through microscopic representations. Journal of Chemical
Education, 73(3), 233-235.
Download