11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Konsep dan Batasan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Konsep dan Batasan Konsep
1.
Makna Kemiskinan
Kemiskinan dalam arti umum adalah kondisi kekurangan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang layak (Suyanto, 1995: 179). Soerjono
Soekanto juga berpendapat, kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan
dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan
taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental
maupun fisiknya dalam kelompok tersebut (Soekanto, 1995: 406).
Pendapat mengenai kemiskinan juga terdapat pada jurnal internasional
berjudul: “New State Spaces, Urban Governence and The Rescaling of
Statehood” oleh Nier Brenner, yang menyebutkan sebagai berikut:
Why have discussions of poverty been narrowly defined? There are
several reasons. First is the driving force of capitalism. In order for
capitalism to survive and flourish, there needs to be a ready pool of
laborers prepared to take low wages in order to have work. In this way,
the industrial classes do not have to pay high wages and instead are able
to accumulate wealth without sharing it with their workers. Social
Darwinism furthers the differences between those who are economically
advantaged and those who are not. By adapting the biological premise of
survival of the fittest, the assumption is that those who are in power and
control economic resources are there because they are "better fit" than
those who are not. Conversely, those who are poor are there because
they are less adept at survival and success in our society. Both of these
reasons allow those who benefit from the current state of affairs to feel
justified in their wealth and means. The current system maintains the
advantages of the privileged, and, not surprisingly, they resist change
and favor the status quo (Brenner, 2004).
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa mengapa ada berapa bahasan
mengenai kemiskinan? Ada beberapa alasan. Pertama kekuatan mengendalikan
kapitalisme. Dalam hal untuk bertahan, di sana memerlukan buruh dan
mempersiapkan buruh untuk mengambil upah rendah untuk bekerja. Dengan
cara ini, kelas industri tidak harus membayar upah tinggi dan malahan dapat
11
menimbun kekayaan tanpa berbagi dengan pekerja mereka. Sosial darwinism
lebih jauh perbedaan diantara siapa pun secara ekonomis. Dengan menyadur
pernyataan yang mendasari penalaran biologis bagi kelangsungan hidup,
anggapan siapa yang berkuasa dan memiliki sumber daya ekonomis karena
mereka "lebih berdaya" daripada yang lainya. Sebaliknya, itu siapa yang
miskin hal itu karena mereka kurang ahli dalam kelangsungan hidup di dalam
masyarakat. Keduanya dari alasan inilah yang menjadikan alasan kenapa ada
masyarakat miskin dan masyarakat yang berkuasa.
Ada dua bentuk kemiskikan dapat ditandai. Ada kemiskinan yang
menimpa segelintir kecil atau, katakanlah, segolongan minoritas dalam
beberapa lingkungan masyarakat. Dan ada kemiskinan yang menimpa
semuanya, kecuali segelintir orang dalam lingkungan lain ( Glabraith,
1983: 11).
Kondisi yang kedualah dialami di Indonesia sebagai negara berkembang,
Indonesia memang masih belum bisa di katakan negara makmur ataupun maju,
kemiskinan massa sering kali ditemui pada satu wilayah tertentu, namun bukan
berarti tidak ada kemiskinan terselubung yang ada ditengah mayoritas orang
kaya. Tentu hal demikian ada, maka dari itulah diperlukan pendataan yang
tepat untuk dapat mengetahui kemiskinan di Indonesia secara menyeluruh.
Disadur dari salah satu jurnal nasional dari Ketut Sudhana Astika
berjudul “Budaya Kemiskinan di Masyarakat : Tinjauan Kondisi Kemiskinan
dan Kesadaran Budaya Miskin di Masyarakat” dijelaskan mengenai perihal
kemiskinan yaitu:
Kemiskinan seperti diungkapkan oleh Suparlan (1994), dinyatakan
sebagai suatu keadaan kekurangan harta atau benda berharga yang
diderita oleh seseorang atau sekelompok orang. Akibat dari kekurangan
harta atau benda tersebut maka seseorang atau sekelompok orang itu
merasa kurang mampu membiayai kebutuhankebutuhan hidupnya
sebagaimana layaknya. Kekurang mampuan tersebut mungkin hanya
pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral
dan etika), atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial
(pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama) atau pada
tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar (makanminum,
berpakaian, bertempat tinggal ataurumah, kesehatan dan sebagainya).
12
2.
Makna Pemberdayaan Masyarakat
Perihal mengenai pemberdayaan sebenarnya konsep ini sudah mendunia
dan menjadi salah satu project United Nations atau PBB yang sampai saat ini
masih dicanangkan. Setiap negara mempunyai program tersendiri mengenai
pemberdayaan tak hanya negara, jika dirasa negara belum mampu menjangkau
keseluruhan atau terlalu banyak program pemberdayaan yang cacat yang
menjadi malaikat penolong adalah NGO atau LSM yang bergerak dibidang
masing-masing. Sebagai bukti mendunianya pemberdayaan dikutip dari:
“Empowerment: What does it mean to You?” sebagai berikut:
Empowerment is not a new term to the United Nations. It is the process
of enabling people to increase control over their lives, to gain control
over the factors and decisions that shape their lives, to increase their
resources and qualities and to build capacities to gain access, partners,
networks, a voice, in order to gain control.
Empowerment is now increasingly used and connected to social
development groups such as poor people, youth, older persons, persons
with disabilities, Indigenous Peoples and marginalized people (United
Social Develompment Network, 2012).
Dapat dijelaskan bahwa pemberdayaan bukanlah istilah baru untuk
Perserikatan Bangsa-bangsa. Ini adalah proses memungkinkan orang untuk
meningkatkan kontrol atas hidup mereka, untuk mendapatkan kendali atas
faktor dan keputusan yang membentuk kehidupan mereka, untuk meningkatkan
sumber daya dan kualitas dan untuk membangun kapasitas untuk mendapatkan
akses, mitra, Jaringan, suara, untuk mengontrol.
Pemberdayaan kini semakin digunakan dan terhubung ke pembangunan
sosial kelompok-kelompok seperti orang miskin, pemuda, orang tua, orangorang dengan Cacat, masyarakat adat dan masyarakat marjinal. Perkembangan
model pemberdayaan selalu berubah seiring dengan kebutuhan dan perubahan
zaman. Di zaman yang sudah modern ini tentu pemberdayaan lebih didasarkan
karena sebuah kebutuhan untuk pemenuhan tercapinya masyarakat yang
seimbang. Disamping itu menjadi sebuah kompetisi bagi negara, sebuah
kebanggaan bagi negara jika program pemberdayaannya terbilang sukses atau
13
berhasil. Terlepas dari semua itu tentu pemberdayaan memiliki tujuan yang
positif dan berkelanjutan serta diharapkan permanen.
Dari segi historis pemberdayaan memiliki cerita sendiri, diambil dari
studi evaluation yang bertaraf internasional dikutip mengenai histori dari
pemberdayaan sendiri dizaman post-Marxis yaitu:
For post-Marxists, empowerment is a matter of collective mobilisation of
marginalised groups against the disempowering activities of the state
and market – it is thus inherently conflictual and requires structural
transformation (Mohan and Stokke). Others argue that the empowerment
of civil society to exert organised pressure on autocratic and
unresponsive states and thereby support democratic stability and good
governance requires a topdown strategy to make institutions more
efficient within the existing.( Jupp dan Ali)
Menjelaskan
mengenai
bagaimana
jaman
pada
pasca
Marxis,
pemberdayaan adalah masalah kolektif pemberdayaan kelompok marjinal
terhadap kegiatan melemahkan negara dan pasar-itu inheren conflictual dan
memerlukan transformasi struktural (Mohan dan Stokke). Orang lain
berpendapat bahwa pemberdayaan masyarakat sipil untuk mengerahkan teratur
tekanan pada negara otokratis dan tidak responsif dan dengan demikian
mendukung stabilitas demokratis dan tata kelola yang baik memerlukan
strategi top-down untuk membuat lembaga yang lebih efisien dalam yang ada.
Hal ini menjelaskan bahwa pemberdayaan tak jauh ruang lingkupnya dari
masalah negara atau juga bisa dikatakan negara wajib untuk melaksanakannya.
Setiap negara pasti memiliki program pemberdayaan. Di Indonesia sendiri
terdapat PNPM-Mandiri yang menjadi salah satu program. Meski sekarang
masih dipertanyakan keberlanjutnya namun berkaitan dengan LKM disini,
menjadi sebuah prasasti tersendiri bahwa Indonesia pernah punya program itu.
PNPM-Mandiri sendiri juga memberikan pengertian tersendiri mengenai
pemberdayaan itu:
Manusia yang paling berdaya adalah manusia yang mempunyai kapasitas
yang tinggi dan menggunakan kapasitasnya untuk kepentingan umat
manusia. (perilaku baik, dan kapasitas tinggi). Manusia seperti inilah
14
yang disebut dengan manusia berkualitas (mempunyai kualitas manusia
sejati).
 Memberdayakan masyarakat artinya mendorong peningkatan
kualitas kemanusiaan masyarakat yaitu menggunakan sifat-sifat
kemanusiaannya dan meningkatkan kapasitas mereka.
 Mendorong masyarakat untuk menggunakan sifat kemanusiaannya
dengan cara: mendorong kepedulian untuk saling menolong di
antara warga masyarakat; mendorong masyarakat untuk
menyumbangkan tenaga
waktu
dan pikirannya
bagi
penangggulangan kemiskinan dan sebagainya.
 Meningkatkan kapasitas masyarakat dengan cara: meningkatkan
pendidikan masyarakat melalui pendidikan formal, pelatihan,
memberikan akses informasi, melibatkan masyarakat dalam
diskusi-diskusi; meningkatkan keterampilan warga masyarakat;
memberikan santunan kepada warga yang benar-benar tidak
mampu; meningkatkan kesehatan masyarakat , mengurangi
pengangguran dansebagainya.
 Melibatkan masyarakat dalam proses penanggulangan kemiskinan
mulai dari refleksi kemiskinan, pemetaan swadaya, pemilihan
BKM/LKM, penyusunan PJM pronangkis, terlibat di KSM,
monitoring evaluasi kegiatan. (PNPM Mandiri, 2014)
Kalimat-kalimat diatas berasal dari pedoman PNPM Mandiri yang
selama ini dijadikan pedoman dalam melakukan tugasnya. Pemahaman utama
dalam pemberdayaan masyarakat dari anggota LKM adalah perubahan dan
partisipasi. Konsep lain dikemukakan oleh Swift dan Levin mengenai
pemberdayaan yaitu mengenai dua hal baik secara peningkatan maupun
partisipasi yaitu
Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok
rentan dan lemah untuk:
a. memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang
memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan
memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan;
dan
b. berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan keputusan
yang mempengaruhi mereka. Pemberdayaan menunjuk pada usaha
pengalokasian kembali kekuasaan melalui kembali kekuasaan
melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin dalam
Mardikanto, 2010: 40-41).
15
Selain diatas pemberdayaan juga memiliki prinsip tertentu yang selama
ini dipakai kebanyakan pada usaha-usaha kegiatan pemberdayaan. Fahrudin
mengemukakan mengenai itu sebagai berikut:
a. Empowerment adalah proses kolaboratif.
b. Proses empowerment melihat sistem klien sebagi peranan penting.
c. Klien harus menerima diri mereka sendiri untuk mampu
mempengaruhi perubahan.
d. Tingkat kesadaran dan pengetahuan mengenai kegiatan untuk
melakukan perubahan merupakan masalah utama dalam empowerment.
e. Proses empowerment adalah proses yang dinamis, sinergi selalu
berubah dan berevolusi, karena masalah selalu mempunyai banyak cara
pemecahan. (Fahrudin, 2011: 17-18).
Secara umum prinsip pemberdayaan yang dikemukakan oleh Fahrudin
lebih kepada proses dari klien atau jika menilik ke ranah penelitian ini adalah
masyarakat miskin. Memusatkan pada klien hal itu menjawab kenapa
pemberdayaan harus ada yang namanya partisipasi dari berbagai pihak. Sesuai
dengan konsep dari PNPM Mandiri sendiri yang berusaha untuk melibatkan
masyarakat.
Secara keseluruhan PNPM
Mandiri
mengadopsi
konsep
pemberdayaan dari berbagai macam konsep dan tokoh yang dirumuskan dan
disesuaikan dengan penerapannya pada kerja LKM
3.
Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM)
Anggota LKM terdiri dari orang-orang sukarelawan masyarakat yang
berasal dari kelurahan yang sama yang dihimpun untuk dapat membuat
perencanaan sedemikian rupa agar bantuan pemerintah untuk masyaraat miskin
bisa tersalurkan dengan baik. (Ferera Yuli Astuti) Dalam modul pelatihan
LKM juga dijelaskan pengertian khusus mengenai apa itu LKM.
BKM/LKM merupakan kepemimpinan kolektif dari organisasi
masyarakat warga suatu kelurahan yang anggota – anggotanya dipilih
berdasarkan kriteria kemanusiaan, sehingga berperan secara penuh
sebagai pemimpin masyarakat warga.
Kolektifitas kepemimpinan ini penting dalam rangka memperkuat
kemampuan individu untuk dapat menghasilkan dan mengambil
keputusan yang lebih adil dan bijaksana oleh sebab terjadinya proses
saling asuh, saling asah dan saling asih antar anggota kepemimpinan
yang pada akhirnya akan menjamin terjadinya demokrasi, tanggung
gugat, dan transparansi. Di samping itu pola kepemimpinan kolektif juga
16
merupakan desinsentif bagi para pemimpin yang justru ingin
mendapatkan kekuatan absolut di satu tangan yang pada gilirannya akan
melahirkan tirani dan anarki yang mementingkan diri sendiri dan
ketidakadilan.
Masyarakat warga adalah terjemahan dari civil society, yaitu himpunan
masyarakat yang diprakarsai dan dikelola secara mandiri, yang dapat
memenuhi kebutuhan atau kepentingan bersama, memecahkan persoalan
bersama dan atau menyatakan kepedulian bersama dengan tetap
menghargai hak orang lain untuk berbuat yang sama dan tetap
mempertahankan kemerdekaannya (otonomi) terhadap institusi negara,
keluarga, agama dan pasar.
Dengan demikian BKM/LKM merupakan alternatif pilihan bagi warga
masyarakat, sebagai lembaga yang menjadi motor penggerak dalam
penanggulangan kemiskinan seperti yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Karenanya BKM/LKM sebagai dewan pimpinan kolektif adalah milik
seluruh penduduk kelurahan yang bersangkutan. (PNPM Mandiri
Perkotaan)
LKM berfungsi sebagai jalan perantara dalam penyaluran BLM (Bantuan
Langsung Masyarakat) yang diberikan pemerintah untuk masyarakat miskin,
dengan di fasilitasi PNPM-Mandiri LKM dibentuk dengan cara pemilu dan
dipilih secara langsung, anggotanya seperti yang disebutkan diatas adalah
sukarelawan. Anggota LKM akan mengusahakan perencanaan dalam
penyaluran
bantuan
BLM.
Sebagai
sukarelawan
LKM
memiliki
keindependenan sendiri dalam menentukan kinerjanya, meski seperti itu LKM
tetap harus berhubungan dengan pemangku kepentingan untuk menjaga
kesalahpahaman yang bisa terjadi. Namun tentu saja pemangku kepentingan
memiliki batasan dalam memberikan campur tangan dari LKM dalam
menjalankan tugasnya.
B. Landasan Teori
Dalam sebuah penelitian salah satu syarat terpenting adalah teori. Suatu
teori pada hakikatnya merupakan hubungan dua fakta atau lebih, atau pengaturan
fakta menurut cara-cara tertentu. (PNPM Mandiri Perkotaan) Fakta yang
dimaksud adalah sesuatu yang dapat diamati dan juga dapat diuji secara empiris.
Teori yang sesuai dengan penelitian ini secara sosiologis adalah teori yang
diambil dari paradigma definisi sosial karena fokus penelitian ada pada
17
pemaknaan. Paradigma lain yang ditekankan pada teori ini termasuk
kontruktivisme.
Paradigma ini hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakan
pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu
pengetahuan. Paham ini menyatakan bahwa paham positivisme dan
postpositivisme merupakan paham yang keliru dalam mengungkapkan
realitas dunia. Karena itu, kerangka berpikir kedua paham ini harus
ditinggalkan dan diganti dengan paham yang bersifat konstruksif.
Secara ontologis, aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam bentuk
bermacam-macam konstruksi mental, berdasarkan pengamalan sosial, bersifat
lokal dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya. Karena itu,
suatu realitas yang diamati oleh seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada
semua orang seperti yang biasa dilakukan di kalangan positivis atau
postpositivis. Karena dasar filosofis ini. Maka hubungan epistemologi antara
pengamatan dan objek, menurut aliran ini bersifat kesatuan, subjektif dan
merupakan hasil perpaduan interaksi diantara keduanya (Salim, 2001: 41).
Dari penjelasan diatas paradigma yang dimaksud lebih menekankan
pandangan pada ilmu sosial yang dianggap sebagai analisis sistem terhadapa
pemahaman aksi sosial. Teori-teori yang memiliki keterikatan diantaranya adalah
kontruksi politik ekonomi, fenomenologi, etnometodologi, interaksionisme
simbolik dan Konstruksi Sosial. Berdasarkan dari latar belakang tujuan dari
penelitian ini teori interaksionisme simbolik dan Konstruksi Sosial dirasa sesuai
jika digunakan untuk mengkaji dan menganalisis penelitian ini.
Teori yang mengkhususkan diri pada interaksi sosial mula-mula bersumber
pada pemikiran para tokoh sosiologi klasik dari eropa George Simmel dan
Max Weber. George Simmel. Simmel berpandangan bahwa muncul dan
berkembangnya kepribadian seseorang tergantung pada jaringan hubungan
sosial yang dimilikinya, yaitu pada keanggotaan kelompoknya. Max Weber.
Sebagaimana telah kita lihat, Weber memperkenalkan interaksionisme
dengan menyatakan bahwa sosiologi ialah ilmu yang berusaha memahami
tindakan sosial dan dengan mendefinisikan dan membahas konsep dasar
yang menyangkut interaksi seperti tindakan sosial dan tindakan nonsosial,
serta hubungan sosial (Weber dalam Sunarto, 2010).
Menggunakan metode studi fenomenologi dalam proses penelitian akan
semakin lengkap dan dapat menarik benang merah penelitian dengan fakta yang
terjadi pada masyarakat.
18
1. Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik yang dimaksud disini adalah interaksionisme
simbolik yang muncul dari tradisi psikologi dengan bantuan beberapa
psikolog Amerika seperti William James, James Mark Baldwin dan John
Dewey telah menjadi pengaruh sosiolog Charles H. Cooley, yang dapat
membantu pengembangan teori psikologi sosial dalam sosiologi Amerika.
Dalam hal ini Cooley menekankan pada fungsi penting dari imajinasi
manusia merupakan fakta manusia yang solid dan memiliki fungsi sebagai
warisan realitas dari dunia subyektif. Penekanan Cooley juga berada pada
pembelajaran fakta subyektif namun dengan tidak mengabaikan fakta
obyektif. Sebuah anggapan juga diwariskan oleh Isaac Thomas mengenai
pengertian-pengertian subyektif yang memiliki keterkaitan pada fenomenan
dan memiliki hasil atau konsekuensi-konsekuensi obyektif. Dari setiap
pernyataan penemuan Cooley dan Thomas menjadi dasar terpenting bagi
perkembangan interksi simbolis.
Walau dalam sejarah interaksi simbolis, Cooley dan Thomas
merupakan tokoh terpenting, tetapi hanya filosof George Herbert Mead,
seorang warga Amerika awal abad ke sembilan belas seangkatan
dengan mereka, yang dianggap sebagai sesepuh paling berpengaruh dari
perspektif ini. Mead setuju dan mengembangkan suatu kerangka yang
menekankan arti penting perilaku terbuka (overt) atau obyektif, dan
tertutup (covert) atau subyektif, di dalam aliran sosialogis. Posisi Mead
berada diantara subyektivisme ekstrim dari Cooley yang melihat
masalah pokok sosiologi hanya “imajinasi-imajinasi”, dan obyektivisme
ekstrim Durkheim, yang menganggap fenomena sosial yang kongkrit
atau fakta-fakta sosiallah yang tepat bagi analisa sosiologis” (Poloma,
1999: 255).
Dalam bukunya Mind, Self and Society dan beberapa buku selanjutnya
merupakan karya terpenting Mead. Dalam karyanya Mead mencoba
menjelaskan mengenai dialektika hubungan antara manusia dengan manusia,
19
dan manusia dengan alam. Mead menekankan bahwa keberadaan sosial
seorang individu sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Sehingga konsep
“diri” lah yang ditekankan pada setiap hal yang Mead kemukakan mengenai
interaksi simbolis.
Konsep interaksi simbolis tak berhenti sampai disini. Menjadi tokoh
terpenting dan teorinya yang juga sangat terkenal menjadikan sosiolog lain
seperti Herbert Blummer mengembangkan teori ini. Pengaruh besar yang
diberikan Mead menjadikan Blummer berhasil dalam memberikan gagasan
psikologi sosial mengenai interaksi simbolis. Meskipun mendapatkan
pengaruh yang cukup besar dari Mead namun konsep interaksi simbolis dari
Blummer dapat dikatakan memiliki kekhasan sendiri terutama dalam
kemampuannya membangun teori sosiologi
Pemikiran Blummer pada akhirnya memiliki pengaruh yang cukup luas
dalam berbagai riset sosiologi. Bahkan Blummer pun berhasil
mengembangkan teori ini sampai pada tingkat metode cukup rinci. Teori
inteaksionisme simbiis yang dimaksud Blummer bertumpu pada tiga
premis utama:
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna
yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan
dengan orang lain.
3. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi
sosial sedang berlangsung (Blummer dalam Soeprapto, 2002: 121).
Manusia dan makna menjadi konsep penting disini. Sosiologi memang
selalu berhubungan dengan perilaku manusia, namun sering semua
mengabaikan yang namanya penafsiran atau makna. Menarik garis
merah dari Cooley ke Thomas, Mead dan selanjutnya ke Blummer
interaksionisme
simbolis
semakin
mengalami
perkembangan
menyesuaikan dengan pemikir dan perkembangan penemuan-penemuan
fakta mengenai psikologi sosial yang dapat menjelaskan setiap
fenomena manusia.
20
2. Konstruksi Sosial
Diatas
sebelumnya
telah
dijelaskan
bahwa
ada
paradigma
kontruktivisme. Konstruksi Sosial merupakan salah satu kajian pula yang
menjadi pokok dari paradigma tersebut. Dalam aliran filsasat, gagasan
konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh
manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide (Bertens, 2005 : 89).
Konstruksi Sosial yang akan digunakan pada penelitian ini adalah
cetusan dari Peter. L Berger dan Thomas Luckmann. Teori tadi mencoba
menjelaskan paradigma kontruksivisme, jadi realitas sosial adalah Konstruksi
Sosial yang diciptakan oleh individu. Individu dianggap sebagai makhluk
yang bebas yang dapat melakukan hubungan satu dengan yang lain.
Individulah yang menjadi penentu Konstruksi Sosial. Secara kongkrit setiap
manusia bisa menentukan bagaimana ia berhubungan dengan orang lain.
Manusia dapat memilih apa yang akan ia lakukan dengan siapa ia
berhubungan dan setiap resiko maupun efek dari sebuah hubungan manusia
itu yang menjadi penentu karena kebebasannya.
Untuk kepentingan teorinya , Berger dan Luckmann amat mendasarkan
diri pada dua gagasan sosiologi pengetahuan, yaitu “realitas” dan
“pengetahuan”. “Realitas” mereka artikan sebagai “a quality pertaining
to phenomena that we recognize as having a being independent of our
volition” (kualitas yang melekat pada fenomena yang kita angga berada
diluar kehendak kita). Maksudnya, “realitas” merupakan fakta sosial
yang bersifat eksternal, umum, dan memiliki kekuatan memaksa
kesadaran masing-masing individu. Terlepas dari individu itu suka atau
tidak, mau tidak mau, “realitas” tetap ada. Sedangkan “pengetahuan”
diartikan sebagai “the certainty that phenomena are real and that they
possess specific characteristics” (keyakinan bahwa suatu fenomena riil
dan mereka mempunyai karakteristik tertentu). Maksudnya
pengetahuan merupakan realitas yang hadir dalam kesadaran individu.
(jadi, realitas bersifat subyektif) (Samuel, 2012: 14).
Mengenai dua hal yang dijelaskan mari menjadikan “kebebasan”
sebagai realita yang ingin ditunjukan. Bagi Berger selama ini manusia hanya
menerima kebebasan dengan cara begitu saja. Manusia belum mampu
memahami kebebasan sejak awal. Barulah setelah ada sesuatu yang mengikat
21
seperti
aturan
atau
paksaan
manusia
menanyakan
kebebasan
dan
mempertanyakan mengapa harus ada aturan dan lain sebagainya. Pemahaman
terhadap “kebebasan” seperti ini. Dari sini sosiolog memiliki pemikiran yang
berbeda dari filsuf atau pun orang lain. Mungkin filsuf akan mencari akar dari
“kebebasan” namun berbeda dengan sosiolog ia akan mencari hubungan
“kebebasan” dengan kondisi sosial yang ada. Apakah memiliki pengaruh dan
tidaknya.
Pemikiran yang demikian dari Berger dan Luckmann terhadap realitas
dan pengetahuan mendorong untuk bisa memahami realitas yang terjadi pada
manusia, perlulah diketahui bagaimana proses dari realitas itu terbentuk.
Berger dan Luckmann memberikan tiga hal dalam konsepnya yang
diperlukan dalam memahami realitas manusia yaitu:
1. Realitas kehidupan sehari-hari
2. Interaksi Sosial dalam kehidupan
3. Bahasa dan Pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari
C. Penelitian Terdahulu
Upaya Badan Kesawadayaan Masyarakat dalam Pemberdayaan Masyarakat
oleh Kurnia Wijayanti, Sjamsiar Sjamsudin, Mochamad Rozikin. Disebutkan
didalamnya kemiskinan yang terjadi di Indonesia sangat mendesak untuk
ditangani. Salah satu cara untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan
pemberdayaan masyarakat. Lembaga yang menjalankan program PNPM adalah
BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat). Jenis penelitiannya yaitu penelitian
kualitatif dengan metode deskriptif. Kesimpulannya adalah upaya Badan
Keswadayaan masyarakat (BKM ) di Kelurahan Tanjungrejo diantaranya sebagai
penguat kelembagaan dengan pengembangan sumber daya manusia berupa
pelatihan-pelatihan yang telah diberikan, upaya membangun jaringan kerjasama
dengan pihak internal dan eksternal Kelurahan Tanjungrejo, upaya sebagai
mediator dan fasilitator mendampingi masyarakat untuk menjadi lebih berdaya.
Faktor pendukung yaitu mempunyai koordinator yang cukup profesional, kerja
22
sama yang baik dengan lembaga kemasyarakatan yang lain dan adanya dukungan
masyarakat yang tinggi. Memiliki faktor yang menghambat yaitu kesibukankesibukan pribadi anggota sehingga kurang optimal dalam menjalankan tugasnya
dan banyaknya warga yang menunggak dalam pembayaran pinjaman bergulir.
Adanya kerja sama yang baik antara pengurus BKM dan warga menjadi salah
indikator tercapainya tujuan yang diinginkan, yaitu mengentaskan kemiskinan di
Kelurahan Tanjungrejo. Perbedaan yang menonjol pada penilitian ini dengan
penelitian saya ada pada fokus penelitian. Penelitannya memang sama yaitu
anggota LKM/BKM namun fokus penelitian saya ada pada pemaknaan
kemiskinan dan pemberdayaan yang dianggap pula mempengaruhi kinerja LKM
dalam menjalankan program.
Penelitian selanjutnya berjudul Upaya Penanggulangan Kemiskinan
Berbasis Pemberdaayaan Masyarakat Lokal. Oleh Erowati dan Wijayanto berisi
Pemerintah membuat kebijakan untuk memecahkan masalah-masalah yang
mempengaruhi orang-orang dalam masyarakat. Membuat kebijakan berarti
memutuskan apa dan bukanlah sebuah masalah, memilih yang masalah untuk
dipecahkan, dan memutuskan bagaimana untuk memecahkan mereka untuk
manfaat masyarakat. P2KP (proyek kemiskinan Urban) program, salah satu
program untuk memecahkan masalah kemiskinan di daerah perkotaan. P2KP
program pengentasan kemiskinan implelemented di daerah perkotaan yang
didasarkan pada tiga pilar pemberdayaan. Pertama, fisik pemberdayaan; kedua,
pemberdayaan ekonomi; ketiga, pemberdayaan sosial. Studi ini menemukan
bahwa program P2KP berhasil dilaksanakan dalam pemberdayaan sosial dan fisik.
Itu adalah perlu menyelidiki lebih lanjut penelitian untuk menjawab bahwa
program gagal diimplementasikan dalam pemberdayaan ekonomi. Penelitian ini
lebih sederhana karena lebih menitik beratkan pada evaluasi. Dengan metode
evaluasi penelitian ini lebih memberikan penjelasan pada program yang
dilaksanakan meski tidak banyak berkaitan dengan kinerja LKM namun
didalamnya sudah bisa menggambarkan tugas LKM dan masalah pengentasan
kemiskinan.
23
Penelitian yang hampir sama juga terdapat pada jurnal berjudul P2KP
Sebagai Sarana Pemberdayaan untuk Pengentasan Kemiskinan oleh Sukidjo
mengungkapkan bahwa Kemiskinan adalah masalah utama pembangunan
ekonomi, karena itu pembangunan ekonomi ditujukan untuk mengurangi
kemiskinan. Karena kemiskinan adalah masalah yang kompleks dan multidimensi
termasuk ekonomi, budaya dan struktural, karena itu wajar jika program untuk
mengatasi masalah itu menerapkan pendekatan yang komprehensif bukan hanya
dari aspek ekonomi. Banyak program jaring pengaman telah dilaksanakan untuk
mengentaskan kemiskinan, seperti: makanan membantu program, IDT, PDMDKE dan P2KP. Antara program-program tersebut, P2KP dianggap sebagai
sebuah program cocok untuk masyarakat dalam pemberantasan kemiskinan
karena P2KP melibatkan prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi, transparansi dan
desentralisasi. Menitik beratkan pada pengentasan kemiskinan penelitian ini juga
berjenis evaluasi secara sistematik dan meski begitu memiliki pemikiran
kemiskinan yang lebih beragam, perbedaannya juga ada pada fokus penelitian
yaitu pada program P2KP yang dilaksanakan.
Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia (Studi Tentang Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan di Kota Semarang ) dimulai dari
penjelasan mengenai perkembangan paradigma pembangunan, dewasa ini
pembangunan lebih diarahkan pada pembangunan manusia. Puncak kesadaran
manusia adalah ketika sudah sampai pada keyakinan bahwa tujuan hidupnya
adalah untuk membangun harkat dan martabat sebagai kaum miskin dan tertindas.
Oleh karena itu pembangunan manusia dipandang sebagai cara yang efektif untuk
mengatasi masalah kemiskinan. Kendala dan tantangan yang dihadapi pemerintah
adalah keterbatasan anggaran untuk memenuhi hak-hak dasar warga Negara,
sehingga diperlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah serta membangun
kemitraan dan kerjasama kelembagaan (pemerintah, masyarakat, dunia usaha)
untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan latar belakan kota
Semarang penelitian ini memiliki representasi yang hampir sama dengan
penelitian saya yang memfokuskan pada suatu wilayah namun penelitian ini lebih
banyak berisi wacana dan berbagai penjelasan.
24
Mengambil dari jurnal internasional berjudul The Theoretical and
Conceptual Framework and Application of Community Empowerment
and
Participation in Processes of Community Development in Malaysia. Oleh
Asnarukhadi A Samah dan Fariborz Aref memiliki penjelasan menjabarkan dan
membahas konsep partisipasi dalam konteks pembangunan sosial secara umum,
dalam komunitas pembangunan dan komunitas bekerja secara khusus.
Pengembangan masyarakat tidak dapat dicapai tanpa partisipasi masyarakat.
Prinsip-prinsip dan teknik-teknik yang mendasari proses pemberdayaan juga
diuraikan. Studi menjelaskan penerapan konsep yang didefinisikan dalam
beberapa pekerjaan masyarakat dan kegiatan pengembangan masyarakat di
Malaysia. Menitikberatkan pada partisipasi dalam pemberdayaan penelitian ini
bersifat universal.
Satu lagi jurnal internasional berjudul Theories of Poverty and Anti-Poverty
Programs in Community Development oleh Ted K. Bradshaw. Mencoba saya
menggali bagaimana lima bersaing teori strategi anti-kemiskinan bentuk
kemiskinan. Karena upaya pengembangan masyarakat pedesaan paling bertujuan
untuk meringankan penyebab atau gejala kemiskinan, itu membuat perbedaan
yang teori kemiskinan diyakini bertanggung jawab untuk masalah yang ditangani.
Dalam tulisan ini lima teori kemiskinan yang disuling dari literatur. Akan
ditampilkan bahwa teori-teori ini kemiskinan tempat asal dari kekurangan 1)
individu, sistem kepercayaan 2) budaya yang mendukung subkultur kemiskinan,
distorsi 3) politik-ekonomi, kesenjangan 4) geografi atau asal-usul 5) kumulatif
dan terperinci. Kemudian, saya menunjukkan bagaimana setiap teori kemiskinan
menemukan ekspresi di common kebijakan diskusi dan komunitas pengembangan
program bertujuan untuk mengatasi penyebab kemiskinan. Membangun
pemahaman penuh dari masing-masing dari teori-teori ini bersaing kemiskinan
menunjukkan bagaimana mereka membentuk pengembangan masyarakat berbeda
pendekatan. Sementara salah satu teori menjelaskan semua contoh dari
kemiskinan, makalah ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana pengembangan
masyarakat praktek alamat itu kompleks dan tumpang tindih sumber kemiskinan
lebih efektif mengurangi kemiskinan dibandingkan dengan program alamat itu
25
teori tunggal. Menekankan pada teori kemiskinan penelitian ini dapat dijadikan
referensi bagi penelitian saya.
D. Kerangka Berpikir
Gambar 1: Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir diatas dimaksudkan untuk dapat dijadikan panduan
proses berpikir sementara. Dimulai dari ada dan dibentuknya LKM (Lembaga
Keswadayaan masyarakat terdiri dari orang-orang sukarelawan masyarakat yang
berasal dari kelurahan yang sama yang dihimpun untuk dapat membuat
perencanaan sedemikian rupa agar bantuan pemerintah untuk masyaraat miskin
bisa tersalurkan dengan baik. Alasan ini didasari adanya fenomena kemiskinan
yang menjadi problematika di masyarakat tak terkecuali lingkungan masyarakat
26
kecamatan Laweyan. Solusi dari kemiskinan salah satunya adalah pemberdayaan
masyarakat yang menjadi satu dari sekian solusi untuk kemiskinan. LKM
melaksanakan program penanggulangan kemiskinan dengan cara pemberdayaan.
Karena itulah LKM akan menemui fenomena kemiskinan dan pemberdayaan.
Dari situ mereka yang menjadi anggota LKM pastilah memiliki pemaknaan
masing-masing untuk kemiskinan maupun pemberdayaan.
Dari penelitian ini saya sebagai peneliti mencoba menggali pemaknaan
sesuai dengan diri masing-masing anggota, dengan sebuah indikator pembantu
berbagai dimensi kemiskinan dan berbagai jenis pemberdayaan. Saya mencoba
menggali makna kemiskinan dan pemberdayaan dari anggota LKM dan mencoba
menarik benang merah dari pemaknaan itu dengan kinerjanya. Yang akan
dihubungkan dengan teori Interaksionisme Simbolik dan Konstruksi Sosial.
Dalam interaksionisme simbolik yang dimaksudkan oleh Blummer terdapat
tiga premis yang satu diantaranya adalah manusia bertindak terhadap sesuatu
berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. Proses
pemaknaan
kemiskinan
yang
dilakukan
oleh
anggota
LKM
memiliki
keberlanjutan yaitu melaksanakan program PNPM Mandiri Perkotaan begitu pula
proses pemaknaan pemberdayaan juga adalah proses dari tindakan yang dilakukan
oleh anggota LKM. Dengan begitu proses penelitian ini adalah proses pencarian
makna dari kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat dari anggota LKM untuk
nantinya ditarik benang merah dengan kinerja LKM. Karena setiap tindakan yang
dilakukan oleh anggota LKM seharusnya adalah hasil dari proses pemaknaan
terhadap kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat karena tugas mereka adalah
melaksanakan
program
penanggulangan
kemiskinan
dan
pemberdayaan
masyarakat.
Sementara jika dihubungkan dengan Konstruksi Sosial dari Berger
pemaknaan dari kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat mencoba menggali
bagaimana proses tindakan itu terjadi. Mulai dari adanya realitas kehidupan yang
berisi fenomena kemiskinan pada masyarakat yang nantinya akan terhubung pada
tindakan interaksi berupa rasa simpati dan empati dari sinilah pemaknaan akan
kemiskinan dimulai dengan tindakan dari anggota LKM yang melaksanakan
27
program kerja PNPM Mandiri Perkotaan dengan. Begitu pula dengan
pemberdayaan masyarakat yang dimulai dari adanya fenomena pemberdayaan
masyarakat yang muncul dari program PNPM Mandiri Perkotaan yang ditujukan
untuk menanggulangi kemiskinan sehingga dari sini perlu adanya proses
pemberdayaan yang dilakukan oleh anggota LKM yaitu menyalurkan bantuan.
Dari sini hubungan antara teori Interaksionisme Simbolik dan Konstruksi Sosial
lebih seperti pada teori dan praktek. Jika interaksionisme simbolik lebih
menekankan pada pemaknaan dan tindak lanjut pada tindakan maka Konstruksi
Sosial sudah merubah pemaknaan dan tindakan tadi menjadi sebuah perilaku.
28
Download