Nasionalisme Indonesia: Sebuah Kajian Antropologis

advertisement
Nasionalisme Indonesia:
Sebuah Kajian Antropologis-Historis mengenai Partisipasi Gereja dalam Mengisi dan
Mengkritisi Pergerakan Nasional Indonesia
Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo
Pendahuluan
Nasionalisme Indonesia dipahami sebagai sebuah pergerakan perjuangan putra-putri Indonesia
untuk menjadi bangsa yang merdeka dan bersatu.1 Pergerakan itu awalnya memiliki tujuan untuk
mempersatukan perjuangan putra-putri Indonesia untuk membebaskan diri dari kolonialisme
barat (baca pemerintah Belanda) tetapi yang bersifat kedaerahan untuk menjadi perjuangan
bersama. Setelah tujuan awal ini berhasil dicapai, yakni Indonesia merdeka dan menjadi satu
bangsa yang berdaulat, pergerakan nasional mengalami peningkatan tujuan, yakni perjuangan
untuk memajukan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai bentuk
tanggung jawab sekaligus pengucapan syukur atas kemerdekaan yang telah berhasil direbut.
Pencapaian tujuan kedua ini memang menjadi tugas yang tidak akan pernah berakhir. Tujuan ini
akan tetap aktual selama Indonesia ada sebagai satu bangsa. Pencapaian tujuan kedua ini bukan
hanya sebagai bentuk tanggungjawab mengisi kemerdekaan yang telah berhasil diperjuangkan,
melainkan juga sebagai bentuk upaya untuk menjadikan bangsa yang disegani dan dihormati
sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Dengan demikian pergerakan nasional yang tidak lain adalah perwujudan kerja keras anak-anak
bangsa sejatinya memiliki tiga penggelombangan tujuan: pertama yaitu keinginan untuk merdeka
yang segera disusul dengan tujuan kedua dan ketiga, yakni tekad untuk memajukan bangsa dan
mensejahterakan rakyat, serta menempatkan bangsa Indonesia duduk sama rendah dan berdiri
sama tinggi dengan bangsa-bangsa berdaulat lainnya di dunia.
Tekanan dari paper ini adalah pada tujuan kedua dan ketiga,2 yakni bagaimana peran serta
gereja-gereja di Indonesia (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia atau PGI) yang terwakili dalam
kontribusi para tokoh Kristen dalam wujud pemikiran maupun kerja nyata demi ikut serta
memajukan bangsa dan mensejahterakan rakyat yang berdampak pula pada peningkatan
kedudukan bangsa Indonesia. Sesuai dengan Term of Reference (TOR) kajian yang diharapkan
dari paper ini adalah sebuah analisa antropologis-historis. Yang dimaksud dengan kajian
antropologis ialah bagaimana manusia Indonesia (secara khusus orang Kristen) mengisi ruang
1
Pdt. Dr. Zakaria J. Ngelow. Kekristenan dan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900 – 1950. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 1994. Hlm. 4.
2
Poin pertama tidak akan menjadi obyek kajian karena sudah banyak dijadikan bahan kajian oleh banyak tokoh
Kristen. Daftar lengkap dari kajian untuk pokok pertama ini dapat dilihat dalam footnote dari buku yang kami
sebutkan dalam catatan kaki nomer satu.
kemerdekaan Indonesia yang adalah pemberian Allah3 dengan pemikiran dan karya nyata.
Sementara Yang dimaksud dengan analisa historis yakni kajian terhadap kontribusi Gereja tadi
diangkat dari realita dalam perjalanan kehidupan nasionalisme Indonesia, dulu dan sekarang.
Untuk maksud itu pembahasan akan diproses menurut urutan sebagai berikut. Segera setelah
pendahuluan yang berisi informasi mengenai posisi paper ini pembaca akan diajak, pertama
untuk meneropong profil PGI, terutama yang berhubungan dengan pemikiran dan kerja nyata
untu ikut ambil bagian dalam upaya membangun bangsa dan mensejahterakan rakyat.
Kedua, percakapan kemudian dilanjutkan dengan mengemukakan gagasan beberapa pemikir
Kristen yang besar dari rahim gereja-gereja anggota PGI dalam memberi arah dan memimpin
karya partisipasi Gereja dalam pergerakan nasionalisme. Mengingat banyaknya para pemikir
Kristen maka mereka yang akan angkat ke permukaan pembahasan adalah yang memiliki
reputasi nasional maupun Internasional.4 Betapapun kriteria tadi sudah ditetapkan, tetap saja
masih terlalu banyak nama yang masuk criteria. Karena itu perlu ada lagi pembatasan. Tanpa
meremehkan puluhan nama yang ada, kami membatasi diri hanya kepada tiga tokoh: Pdt. Dr.
A.A. Yewangoe (Ketua PGI saat ini), Pdt. Marriane Katopo dan Letjen T.B. Simatupang. 5
Poin ketiga yang sekaligus menjadi penutup paper ini, kami akan mencoba menampilkan peran
serta (partisipasi) Gereja dalam pembangunan bangsa sebagaimana yang sudah dilakukan oleh
pejabat-pejabat atau warga Gereja di wilayah pelayanan masing-masing Gereja Anggota PGI.
Bagian ketiga ini hanya akan ditampilkan dalam bentuk mengajukan peta konstruksi partisipasi
(gambar besar) yang sudah dilakukan. Dalam gambar besar itu penulis akan isi dengan beberapa
contoh konkret (gambar kecil) sejauh yang berhasil masuk dalam ruang pantauan penulis. Tentu
saja ada banyak gambar kecil lain yang tidak sempat terpantau dalam teropong penglihatan
penulis. Adalah tugas pembaca sendiri untuk mengisi gambar besar itu dengan gambar-gambar
kecil lain yang berasal dari lingkup sinode masing-masing.
PGI dan Pergerakan Nasionalisme Indonesia
Sebagaimana kita tahu bersama PGI (awalnya Dewan Gereja-Gereja Indonesia = DGI) dibentuk
tanggal 25 Mei 1950, beberapa hari setelah para pemimpin dari 27 Gereja lokal di Indonesia
bertemu untuk berdiskusi tentang tugas mereka bersama dalam waktu dan situasi baru di mana
3
Sebagaimana ditegaskan para pendiri bangsa dalam alinea ketiga pembukaan UUD 1945.
4
Yang kami maksudkan dengan reputasi nasional adalah mereka yang dikenal luas di lingkungan Gereja-Gereja
Indonesia, pada saat bersamaan pikiran-pikiran mereka ini juga menjadi wacana percakapan dalam forum
Internasional. Kriteria untuk itu adalah hadirnya tulisan-tulisan mereka dalam berbagai jurnal berbahasa Inggris
atau peranan mereka mengatasnamai Indonesia di forum internasional.
5
Tiga tokoh ini kami pilih dengan mempertimbangkan keseimbangan antara laki-laki, perempuan dan juga
komposisi keseimbangan antara pejabat dan warga Gereja.
Tuhan menempatkan mereka.6 Hadirnya PGI di bumi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dua
moment besar masing-masing di forum dunia dan forum nasional. Moment besar di forum
internasional adalah terbentuk Dewan Gereja-Gereja se Dunia (World Council of Churches =
WCC) di Amsterdam tahun 1948 yang hampir bersamaan dengan terbentuknya Perserikatan
Bangsa-Bangsa (United Nation). Moment besar di pentas nasional adalah keberadaan Indonesia
sebagai sebuah Negara berdaulat.
Bertolak dari dua moment besar ini PGI dibentuk sebagai ruang di mana Gereja-Gereja di
Indonesia yang dicirikan sebagai gereja-gereja suku keluar dari isolasi kedaerahan dan kesukuan7
untuk dapat ambil bagian dalam pergerakan nasionalisme, yakni mengisi kemerdekaan
pemberian Tuhan kepada bangsa Indonesia. Tugas untuk berpartisipasi dalam pembangunan
bangsa hanya bisa dilakukan kalau Gereja-Gereja suku tadi berani untuk membongkar mentalitas
perkampungan Kristen benteng yang membuat dia teralianasi dari lingkungan sekitarnya. 8 Oleh
para pemimpin yang menggagas berdirinya PGI pergerakan keluar dari kekristenan benteng ini
dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. PGI menjadi
wadah untuk tujuan tadi.
Dalam memikirkan model kesatuan yang hendak diwujudkan oleh PGI, para pemimpin Gereja
menyadari bahwa bukan kesatuan dalam tata aturan, liturgi dan pengakuan iman melainkan
kesatuan dalam kesaksian (marturia) dan pelayanan (diakonia). Kesatuan Gereja-Gereja di
Indonesia harus dinampakkan pada komitmen dan pelayanan sosial-kemanusiaan. Seturut
tendensi ini, sidang raya di Pematang Siantar (1971) dilaksanakan di bawah tema: “Disuruh ke
dalam dunia.”9 Pengarahan komitmen keesaan kepada pelayanan sosial-kemanusiaan tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh persidangan raya WCC di tahun 1968 yang memfokuskan diri pada
6
Diskusi itu diadakan di kampus STT Jakarta. Waktu dan situasi baru yang dimaksudkan adalah lahirnya Indonesia
sebagai satu bangsa. Lihat J.L.Ch. Abineno. “Dari Dewan Gereja-Gereja di Indonesia ke Persekutuan Gereja-Gereja
di Indonesia.” Dalam: Pdt. Dr. J.M. Pattiasina & Pdt. Weinata Sairin, M.Th. Gerakan Oikumene: Tegar Mekar di
Bumi Pancasila. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia 1990., hlm. 226.
7
Zakarias Ngelow menggunakan istilah perkampungan Kristen yang eksklusif untuk menggambarkan realita gerejagereja lokal di Indonesia. Zakarias J. Ngelow. “Penyempurnaan LDKG, Berlaku Hukum Mercu Suar?” Dalam: Berita
Oikumene. September 1989., hlm. 22-25.
8
9
Zakarias J. Ngelow. Keristenan dan Nasionalisme., hlm 267.
Usai sidang raya ini (1971) PGI membentuk sebuah departemen yang dinamakan Departemen Partisipasi Dalam
Pembangunan (Parpem). Sejumlah orang muda Kristen Indonesia dilatih dengan berbagai ketrampilan lalu dikirim
ke berbagai belahan Indonesia untuk menjadi motivator pembangunan masyarakat. Salah seorang di antaranya
(Francis Haan) adalah angkatan ke-2 menjadi teman saya semasa belajar teologi di Kupang dan menjadi pendeta di
lingkungan GMIT. Jumlah motivator dalam angkatan ke-2 itu adalah 21 orang.
persoalan dunia seperti kemiskinan dan penindasan serta tanggung jawab Gereja terhadap
persoalan itu.10
Menjadi jelas dari uraian singkat mengenai profil PGI bahwa pembentukannya tidak bisa
dipahami secara terpisah dari dua maksud tadi, yakni panggilan dan kerinduan orang Kristen
Indonesia untuk ikut serta memajukan bangsa dan mensejahterakan rakyat, serta menempatkan
bangsa Indonesia duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa berdaulat
lainnya di dunia.
Tiga Pemikir Kristen Indonesia di Level Nasional dan Internasional
Arah perjuangan Gereja-Gereja di Indonesia dalam menyemarakkan pergerakan nasionalisme
Indonesia yang menekankan pelayanan sosial-kemanusiaan terus-menerus diformat ulang dan
diberi bingkai pemikiran teologis dan nasionalis. Maksudnya agar komitmen mulia yang terpatri
dalam arah perjuangan itu kemudian tidak dibelokkan ke arah pelayanan yang bercorak eksklusif
dan fanatisme, seperti menghadirkan gereja dan kekristenan di Indonesia sebagai agama yang
unggul sambil meludahi sesama anak bangsa yang juga ikut berjuang membangun Indonesia
sesuai dengan nilai-nilai luhur dalam agama dan keyakinannya yang memang berbeda dengan
nilai-nilai luhur dalam kekristenan tetapi yang bersumber dari Allah yang sama dan bertujuan
bagi kebaikan bersama.
Dalam kesempatan ini, seperti yang sudah kami janjikan di bagian pendahuluan, kami akan
mengajak pembaca menyelam ke dalam samudra pemikiran beberapa tokoh Gereja untuk
mengamati kristalisasi pemikiran mereka yang ikut memberi arah sekaligus menyuarkan kritik
bagi Gereja dan bagi pemerintah sebagai pelaksana pembangunan agar partisipasi Gereja dalam
pembangunan nasionalisme Indonesia benar-benar ikut memajukan bangsa dan mensejahterakan
rakyat, serta menempatkan bangsa Indonesia duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan
bangsa-bangsa berdaulat lainnya di dunia. Pada sisi lain agar pembangunan nasional yang
dilaksanakan pemerintah mengarah kepada cita-cita pergerakan nasionalisme.
1. Tahi Bonar Simatupang
Kita mulai dengan mendalami pemikiran seorang warga Gereja non teolog, yakni Dr (Honourist
Causa). T.B. Simatupang. Nama lengkapnya adalah Tahi Bonar Simatupang (1920-1990).11 Dia
seorang pensiunan (dini di usia 39 tahun) jendral kepala staf angkatan bersenjata yang
menggantikan Jendral Sudirman sebagai panglima angkatan perang Republik Indonesia.
10
11
Georg Kirchberger. Gerakan Ekumene. Suatu Panduan. Maumere. Penerbit Ledalero. 2010., hlm. 145.
Lahir di Sidikalang, Sumatera Utara. Dari tahun 1949 – 1959 dia menjabat Kepala Staf Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia. Tahun 1969 dia menerima gelar doktor dalam bidang Humane Letters dari Universitas of Tusla,
Oklahoma, AS. Ia menulis banyak buku dan artikel di bidang teologi, sejarah militer, politik Indonesia dan idiologi
Pancasila.
Permohonan pensiun di usia dini, menurut pengakuannya adalah karena berseberangan pendapat
dengan Soekarno.12 Setelah bebas dari dinas militer, Simatupang aktif dalam pergerakan
oikumeni Indonesia di tingkat nasional dengan menjadi ketua PGI, Christian Conference of Asia
dan juga di level internasional dengan menjadi salah satu ketua WCC.
Munculnya Orde Baru sebagai penerus dari Orde Lama yang ikut dibidani oleh Simatupang
karena konfliknya dengan pemimpin besar Orde Lama merupakan salah satu latar belakang
penting untuk memahami pemikirannya bagi Gereja dalam rangka memperkuat nasionalisme
Indonesia. Ada kesan kuat bahwa konflik antara Simatupang dan Soekarno berkisar pada upaya
Soekarno untuk menyatukan tiga kekuatan idiologis: nasionalisme, agama dan komunisme
(NASAKO) yang tentu saja tidak disetujui Simatupang.13 Ketakutan Simatupang terhadap
idiologi komunisme dan idiologi agama tertentu (Islam) pada satu pihak dan keberpihakannya
pada idiologi nasionalisme yang berazaskan Pancasila membuat Simatupang memberikan
dukungan penuh, tanpa reserve kepada Orde Baru yang muncul dengan tujuan mengoreksi
kekeliruan yang dilakukan oleh Orde Lama sekaligus melaksanakan Pancasila secara murni dan
konsekwen.
Simatupang adalah salah satu pemikir Kristen Indonesia yang belajar teologi secara otodidak
yang dengan gigih mendorong Gereja-Gereja Indonesia untuk ambil bagian aktif dalam
pembangunan nasional, yang pada masa Orde Baru dilabelkan sebagai bentuk nyata dari
pengamalan Pancasila. Yang menarik dari penalaran Simatupang adalah penafsiran yang sangat
positif darinya terhadap modernisasi yang Indonesia hadapi serta apresiasinya yang tinggi
terhadap Pancasila. Dalam kerangka pemikiran yang positif terhadap dua realitas sosial ini,
Simatupang memanggil Gereja-Gereja untuk ambil bagian aktif dalam pergerakan nasional
dengan memanfaatkan semua perangkap yang disediakan oleh modernisasi.
Simatupang melihat modernisasi sebagai bentuk pemeliharaan Allah untuk menggokohkan
kebebasan manusia. Pada sisi lain Pancasila, oleh Simatupang dipahami sebagai idiologi bangsa
yang memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan Injil kerajaan Allah. Dia sendiri memang tidak
menyamakan begitu saja Pancasila dan Injil, tetapi ia menegaskan bahwa nilai-nilai hakiki yang
terdapat dalam Injil dan Pancasila merupakan prinsip dasar yang dapat dipakai sebagai pijakan
untuk membangun kehidupan bangsa menjadi lebih baik.14 Nilai-nilai itu antara lain: (sila
pertama) menghormati kebebasan beragama dan menjunjung tinggi keyakinan dan keagamaan
setiap manusia, (sila kedua) melindungi harkat dan martabat manusia sebagaimana yang
dirumuskan dalam deklarasi hak-hak azasi manusia, (sila ketiga) menjunjung tinggi kesetaraan
12
T.B. Simatupang. Iman Kristen dan Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1985., hlm 14.
13
Julianus Mojau. Meniadakan atau Merangkul. Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik di Indonesia.
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2010., hlm. 42.
14
T.B. Simatupang. Iman Kristen dan Pancasila., hlm. 164.
dan persaudaraan manusia yang bercorak lintas suku, ras dan agama, (sila keempat) menolak
semua bentuk kekuasaan yang menindas, kekerasan bersenjata dan monopoli kekuasaan, (sila
kelima) meniadakan jurang antara yang kaya dan miskin serta berbagai perilaku yang
menghasilkan ketidak-adilan dan kehancuran lingkungan.15
Mengingat adanya kesejajaran antara nilai-nilai yang ada dalam Injil dan idiologi Pancasila,
tokoh yang mengaku banyak dipengaruhi oleh H. Kramer, Reinhold Nieubuhr, Harvey cox dan
Friedrich Gogarten ini menyerukan kepada Gereja-Gereja anggota PGI untuk ikut serta memikul
tanggung jawab membangun bangsa dan rakyat Indonesia sebagai bentuk pengamalan Pancasila
bersama-sama dengan warga Negara penganut agama lain.16
Seruan ini terus-menerus diteriakan Simatupang dalam serangkaian tulisannya diberbagai buku
atau jurnal. Beberapa kali dia tegaskan bahwa partisipasi itu harus Gereja-Gereja tunjukan
dengan memperhatikan sikap positif, kreatif, kritis dan realistis. Sikap ini patut diperhatikan agar
pergerakan nasionalisme Indonesia tidak menyimpang dari cita-cita utama yang sudah kita
tegaskan di atas, atau yang dengan ungkapan Simatupang sendiri: memperbaiki nasib orangorang kecil di dalam masyarakat. Sayangnya, keempat ungkapan indah yang terus-menerus
diulang selama 30 tahun itu17 mengandung maksud menuntun Gereja untuk menghindari sikap
konfrontatis terhadap pemerintah. Itu nampak dalam pernyataan Simatupang seperti dalam
kutipan berikut:18
Kita memang sepenuhnya mendukung pembangunan yang sedang dijalankan oleh Negara
dan bangsa kita, namun dukungan kita itu tidak hanya bersikap positif, kreatif, tetapi juga
kritis dan realistis dengan berpedoman kepada Injil Kerajaan Allah dan dengan
mengelakkan konfrontasi total dan irelevansi total.
Simatupang mengajak Gereja sekedar untuk ambil bagian penuh dalam mengisi pergerakan
nasionalisme tanpa perlu melakukan pengawasan dan pengawalan terhadap bagaimana
pemerintah menjalankan karya pembangunan. Atas dasar itu Julianus Mojau mencirikan
Simatupang sebagai pemikir Kristen yang mendorong Gereja untuk ikut membangun bangsa dan
rakyat dengan mengabaikan keikutsertaan rakyat. Tetapnya, Gereja diminta membangun rakyat
kecil tanpa rakyat kecil. Gereja perlu menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam bentuk
partisipasi dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila tanpa harus
15
T.B. Simatupang. Iman Kristen dan Pancasila., hlm. 165.
16
T.B. Simatupang. Kehadiran Kristen dalam Perang, Revolusi dan Pembangunan. Berjuang mengamalkan
pancasila dalam Terang Iman. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1986., hlm. 205.
17
A.G. Hoekema. Berpikir Dalam Keseimbangan Yang Dinamis. Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional di
Indonesia (Sekitar 1860-1960). Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1997., hlm. 274.
18
T.B. Simatupang. Kehadiran Kristen., hlm. 245. Italics adalah penekanan dari saya.
mempersoalkan hegemonis rezim Orde Baru.19 Dalam ungkapan yang hampir senada, A.G.
Hoekema menggambarkan Simatupang lebih sebagai seorang ahli siasat perang Kristen rezim
Orde Baru ketimbang teolog.20
2. Henriette Marianne Katoppo
Rentangan hidupnya membentang dari 1943-2007. Ia adalah seorang teolog perempuan
Indonesia yang juga novelis. Gereja asalnya adalah Gereja Masehi Injili di Minahasa yang adalah
salah satu Gereja anggota PGI. Tamatan Sekolang Tinggi Teologi Jakarta ini (1977) menjadi
tersohor di seantero jagad karena tulisan-tulisannya yang dengan keras membela kaum yang
mengalami penderitaan, terutama perempuan di Indonesia dan Asia. Betapa pun ia bukanlah
satu-satunya yang menyuarakan pergulatan batin perempuan Indonesia yang mengalami
penindasan dalam wadah Darma Wanita oleh pemerintah Orde Baru tetapi keberaniannya
membahasakan protes itu membuat dia disebuat sebagai taruk teolgi feminis di Indonesia.21
Perempuan sebagai yang lain merupakan kaum yang mengalami marginalisasi dan penindasan
hampir di semua lingkup. Itu karena sebagai yang lain perempuan dianggap sebagai deviasi,
keberadaan yang menyimpang.22 Di dalam Masyarkat, di dalam budaya, di dalam keluarga juga
di dalam Gereja, baik secara hukum, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan juga iman. Nilai
hidupnya tidak dilihat dari kemampuan diri tetapi pada pencitraan dirinya yang dibentuk oleh
masyarakat.23
Sambil memberontak terhadap stigmatisasi masyarakat yang meminggirkan perempuan, Katoppo
mencari jalan keluar bagi penerimaan perempuan sebagai warga masyarakat yang setara dengan
laki-laki. Untuk itu ia menemukan pendasaran untuk gagasan kesetaraan itu dalam Allah sebagai
yang mutlak , yang lain.24 Sebagai yang lain Allah tidak bisa disamakan begitu saja dengan lakilaki atau gagasan-gagasan yang dibentuk untuk kepentingan laki-laki. Allah sebagai yang lain
juga datang untuk mengusir semua dewa-dewa dari bumi, menelanjangi keberadaan dewa-dewa
19
Julianus Mojau. Meniadakan atau Merangkul., hlm. 64.
20
A.G. Hoekema. Berpikir Dalam Keseimbangan., hlm. 394.
21
Martin Lukito Sinaga. “Perempuan Sebagai Yang Lain. Gugatan Marianne Katoppo dalam bukunya:
Compassionate and Free.” Dalam: Jurnal Teologi Proklamasi. No. 2. Thn. 1. Mei 2002., hlm. 5.
22
Marianne Katoppo. Compassionate and Free. Edisi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Pericles Katoppo.
Jakarta: Aksara Karunia. 2007., hlm. 10.
23
Marianne Katoppo. “An Asian Theology: An Asian Women Perspective.” Dalam: Fablella (ed). Asia’s Struggle for
Full Humanity., hlm 143.
24
Marianne Katoppo. Compassionate and Free., hlm. 8.
sebagai yang sama sekali bukan ilahi. Jadi dengan munculnya Allah Alkitab sebagai yang lain
tidak ada lagi hirarki dalam dunia ciptaan. Semua yang bernama ciptaan adalah setara.
Allah sebagai yang mutlak, yang lain ini ternyata memperlakukan perempuan dengan cara yang
sama sekali lain dari apa yang dilakukan masyarakat budaya, agama, keluarga, politik ekonomi
terhadap perempuan. Allah memperlakukan perempuan sebagai pribadi yang otonom, manusia
yang bebas, sepenuhnya bebas. Itu nampak dalam perlakuan Allah terhadap Maria ibu Yesus,
yang dalam pandangan Katoppo merupakan titik berangkat dari pemulihan citra sejati
perempuan tentang dirinya.25 Dari titik tolak ini kemudian Marianne Katoppo menyerukan
diberlakukannya prinsip kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam segala gerak langkah
pembangunan nasional.
3. Andreas A. Yewangoe
Ia adalah pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS). Ia lahir di Mamboru – Sumba – Nusa Tenggara
Timur 31 Maret 1945 dari keluarga yang berayahkan juga seorang pendeta. Ia menjalani
pendidikan teologi di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dan lulus tahun 1969. Usai kelulusannya,
ia pulang ke Sumba menjalani masa vikariat dan ditahbis sebagai pendeta kemudian diutus untuk
mengajar di Akademi Teologi Kupang yang pada tahun 1971 didirikan oleh GKS dan GMIT. Ia
kemudian berkesempatan memperdalam ilmu teologi di negeri Belanda dan memperoleh gelar
doctor theologiae di Vrije Universiteit – Amsterdan tahun 1987 dengan disertasi yang berjudul
Theologia Crucis in Asia: Asian Christian Views on Suffering in the Face of Overwhelming
Poverty and Multifaced Religiosity in Asia.26
Untuk memahami pikiran-pikiran Yewangoe berhubungan dengan pergerakan
nasionalisme perlulah terlebih dahulu kita memperhatikan konteks sosial dan kemasyarakatan di
mana ia hidup sekaligus keyakinan iman yang beliau anut. Untuk hal yang pertama, yakni
konteks sosial adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dicirikan sebagai
negara yang multi kultur, multi agama.27
Betapapun Indonesia sudah berusia 69 tahun tetapi masih saja terjadi perdebatan bahkan
juga pertikaian mengenai ideologi negara. Ada pergolakan yang dahsyat di antara komponen
yang berbeda dalam negara untuk menampilkan diri sebagai yang paling berhak mengendalikan
kehidupan bersama. Klaim-klaim itu bahkan diberi pendasaran dan pembenaran religius yang
bersumber pada kecenderungan tafsir tertentu terhadap agama yang dianut sambil menafikan
tafsir dari kelompok yang berbeda, baik yang satu agama maupun yang berbeda agama.
25
Marianne Katoppo. Compassionate and Free.., hlm. 23.
26
Disertasi ini dikemudian hari diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Stephen Suleeman dan diterbitkan
dengan judul: Theologia Curcis di Asia. Pandangan-Pandangan Orang Kristen Asia mengenai Penderitaan dalam
Kemiskinan dan Keberagamaan di Asia. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1999.
27
Uraian untuk kedua pokok ini merupakan pengulangan yang penulisa buat sebagaimana pernah penulis
cantumkan dalam buku Gereja Lintas Agama. Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan Kekristenan di Asia.
Salatiga: Satya Wacana University Press. 2013., hlm. 33-35.
Pergolakan untuk menampilkan diri sebagai yang paling berhak tadi mengemuka dalam
dua bentuk: yang santun melalui upaya-upaya mempengaruhi perubahan konstitusi atau melalui
penyebaran paham religius tertentu yang bersifat diskriminatif, dan bentuk yang brutal atau
anarkis dalam wujud tindakan kekerasan terhadap kelompok yang berseberangan jalan atau
berbeda paham penafsiran.
Negara yang seharusnya bertindak mengayomi semua kelompok yang berbeda dan
menciptakan ruang bagi kehidupan bersama yang setara justru tidak menjalankan peran itu
dengan baik. Negara bukan hanya melakukan pembiaran terhadap friksi-friksi itu. Dalam banyak
kesempatan negara justru berdiri bersama kelompok yang ngotot memaksakan kehendak.
Sikap pembiaran itu nyata dengan makin banyaknya produk perundang-undangan yang
menciderai kemajemukan, sementara negara tidak mengambil tindakan tegas untuk menyehatkan
kehidupan bersama. Sikap memihak ini nampak dalam keikutsertaan beberapa pejabat politik
(Ketua MPR Amien Rais menghadiri rapat dengan tujuan berjihad ke Maluku dan Hamzah Haz
yang mengunjungi Jafar Umar Thalib, panglima laskar jihad). 28 Semua ini membuat
kemajemukan yang menjadi ciri NKRI sekaligus sesuatu yang given berada dalam ancaman yang
mengerikan.
Selain pertikaian tentang dasar negara dan kekerasan bernuansa agama yang menodai
kemajemukan hidup berbangsa, Indonesia juga diperhadapkan dengan persoalan kemiskinan.
Krisis moneter yang menimpa Indonesia di tahun 1997 mengakibatkan kemiskinan sebagai luka
sosial yang masih terus menjadi kenyataan kekinian Indonesia.
Ada tiga isu penting dari pemikiran Yewangoe yang relevan dengan situasi sosial politik
dan kemasyarakatan yang kita petakan di atas, yakni yang bentuk negara dan pemerintahan
demokrasi macam apa yang dicita-citakan nasionalisme Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
apa yang harus dikerjakan Gereja dan orang-orang beragama dalam pergerakan nasionalisme
Indonesia dan posisi seperti apa yang patut diambil oleh rakyat atau warga negara. Pikiranpikiran itu sudah mengemuka dalam disertasi doktoralnya, tetapi menjadi makin konkret dalam
beberapa buku yang berisi kumpulan tulisan-tulisan di surat kabar nasional maupun lokal atau
ceramah-ceramah yang dibukukan. Buku-buku yang berisi ceramah-cemarah beliau diterbitkan
dalam bentuk trilogi yang berjudul: Tidak Ada Negara Agama, Bukan Penumpang Gelap dan
Tidak ada Getho. Sementara bukukumpulan opini di surat kabar nasdional maupun daerah (di
Pos Kupang - NTT) berjudul Agama dan kerukunan. Semua buku itu diterbitkan oleh BPK
Gunung Mulia – Jakarta. Selain itu adalah lagi sebuah booklet berisi ceramah yang disampaikan
berjudul Civil society di Tengah Agama-Agama.
Berikut ini isi ringkas pemikiran beliau yang sifatnya memberi arah sekaligus mengawal
jalannya gerakan nasionalisme Indonesia. Pertama, bentuk negara dan pemerintahan demokrasi
macam apa yang dicita-citakan nasionalisme Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Pemikiran
Sejalan dengan gagasan the founding fathers, Yewangoe menegaskan bahwa bentuk negara
Pancasila adalah yang “memberikan peran yang tidak diskriminatif kepada warga negara sesuai
28
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009. hlm. 123 dan Andreas A.
Yewangoe. Tidak Ada Ghetto. Gereja di Dalam dunia. Jakarta: BPK. Gunung Mulia. 2009. hlm. 172.
dengan kemampuan masing-masing untuk mengatur kehidupan bersama.”29 Meminjam
termonilogi para pakar sosiologi dan politik seperti Rousseau, Robert Bellah, Yewangoe
menyamakan negara Pancasila dengan civil society. Negara seperti itu tidak bersandar pada satu
agama tertentu, melainkan pada faham deistic.
Negara yang berkarakter civil society menjunjung tinggi adanya kebebasan beragama,30
mengupayakan proses demokrasi di bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan, menegakkan
hukum yang berkeadilan, menghormati hak-hak asasi manusia, mengupayakan perdamaian yang
otentik, dll. Ciri ini disebutkan Yewangoe setelah menggambarkan berbagai ketimpangan
pemerintahan dan juga pergerakan kekuatan sipil yang bertolak dari keyakinan agama pasca era
reformasi untuk mempengaruhi penetapan peraturan-peraturan di daerah. Dari sini menjadi jelas
bahwa penekanan pada civil society yang dalam formula PGI disebut masyarakat berkeadaban
dikemukakan Yewangoe sebagai kritik terhadap ketidakhadiran pemerintah atau pembiaran yang
dilakukan negara terhadap berbagai pelanggaran hak asasi, penegakan hukum yang lemah dan
ketidakpedulian aparatur negara terhadap aksi-aksi anarkis dari kelompok-kelompok tertentu
dalam masyarakat.
Mengenai permasalahan kedua, yakni apa yang harus dikerjakan Gereja dan orang-orang
beragama dalam pergerakan nasionalisme Indonesia Yewangoe mendorong Gereja-Gereja untuk
ikut ambil bagian dalam proses pembangunan demi memberantas kemiskinan dan memperkuat
civil society. Tugas itu tidak bisa dikerjakan sendiri, oleh Gereja saja, tetapi dilakukan bersamasama dengan agama-agama lain yang ada di Indonesia. Karena itu Gereja-Gereja tidak boleh
hidup dalam gettho, pemisahan atau pengasingan diri dari agama dan masyarakat lainnya.
Dialog dan kerja sama dengan agama-agama lain di Indonesia bagi penegakan keadilan dan
perdamaian dan penguatan masyarakat berkeadaban menurut Yewangoe bukan hal yang
merusak aqidah umat Kristen. Karena menurut dia keunikan Kristus tidak identik dengan
keunikan Gereja. Kristus, kata Yewangoe, bekerja juga ditempat lain, bahkan dalam agamaagama lain. Roh Kudus sebagai Roh Kristus juga bekerja di luar Gereja. Jadi adalah naïf bila kita
mengklaim seakan-akan Roh Kudus hanya boleh bekerja dalam koridor yang telah kita
tetapkan.31 Jadi dorongan yang diberikan Yewangoe kepada Gereja-Gereja untuk ambil bagian
aktif dalam menegakkan keadilan dan perdamaian berjalan bersama dengan panggilannya kepada
Gereja-Gereja untuk keluar dari paham dan gagasan yang sempit tentang Allah yang melahirkan
sikap intoleransi bahan arogansi.
29
Andreas A. Yewangoe. Civil Society di Tengah Agama-Agama. Jakarta: Bidang diakonia Persekutuan GerejaGereja di Indonesia. 2009., hlm. 2.
30
Andreas A. Yewangoe. Civil Society., hlm. 37
31
A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2006., hlm. 74.
Untuk pokok yang ketiga, yakni posisi seperti apa yang patut diambil oleh rakyat atau warga
Negara, jawaban Yewangoe dapat diringkas dalam dua kata: merawat kemajemukan, yakni
mengakui pluralitas dalam masyakarat sebagai sebuah pemberian dan bukan pilihan. Mengakui
keberadaan yang lain di samping agama saya bukan berarti tidak lagi hidup tanpa agama.
Yewangoe mengakui bahwa mengabaikan nilai-nilai agama di dalam mewujudkan civil society
adalah hal yang tidak boleh terjadi, khususnya di Indonesia. Yang harus dibuat dengan nilai-nilai
agama adalah sifat-sifat membebaskan dari nilai-nilai itu perlu digali dan diaktualisasikan
sebagai pilar bagi terwujudnya civil society. 32
Partisipasi Gereja-Gereja Dalam Nasionalisme Indonesia
Sudah jelas dari cuplikan pemikiran para tokoh di atas bahwa Gereja dan orang Kristen harus
berperan aktif dalam nasionalisme Indonesia. Untuk itu perlu perhatikan dua hal. Pertama,
Gereja tidak boleh menjadi kelompok yang eksklusif, tidak mau berkerja bersama orang-orang
yang bukan warga Gereja. Semua sikap peremehan kelompok lain dan pemutlakkan diri sendiri
harus dibuang jauh-jauh dari kehidupan bergereja. Kedua, Gereja perlu melihat keterlibatannya
dalam urusan-urusan masyarakat bukan pemborosan waktu dan pencemaran terhadap iman,
seperti yang mungkin dipahami oleh si iman dan orang Lewai saat melihat seorang korban di
jalan dari Yerusalem ke Yerikho. Sebaliknya, partisipasi aktif dalam pekerjaan-pekerjaan
kemanusiaan harus dilihat sebagai bentuk kasih yang nyata kepada Allah dan sesama. Itu adalah
sebuah ibadah.
Kalau kita memandang kepada realita kehadiran Gereja-Gereja anggota PGI maka dengan kepala
terangkat haruslah kita katakan bahwa partisipasi kita dalam nasionalisme Indonesia sudah nyata,
bukan hanya dalam jenjang kedua dan ketiga, yakni tekad untuk memajukan bangsa dan
mensejahterakan rakyat, serta menempatkan bangsa Indonesia duduk sama rendah dan berdiri
sama tinggi dengan bangsa-bangsa berdaulat lainnya di dunia melainkan juga sejak jenjang
pertama pergerakan nasional, yaitu keinginan untuk merebut kemerdekaan dari tangan
penjajahan Belanda.
Sebagaimana kami sebutkan sejak awal, bahwa tulisan singkat ini akan lebih memberi perhatian
pada sejauh mana Gereja ikut serta dalam mengisi pembangunan dalam babakan kedua dan
ketiga dari pemaknaan pergerakan nasional, maka kami mencatat sekurang-kurangnya ada empat
bentuk sumbangan umat Kristen kepada pembangunan masyarakat. 33 Berikut ini kami coba
menunjukkan bagaiamana gereja-gereja wilayah di Indonesia telah ikut berkontribusi dalam
pergerakan nasionalisme Indonesia, entah itu disadari atau pun tidak, baik oleh Gereja sendiri
maupun oleh pemerintah dan masyarakat kebanyakan.
32
33
Andreas A. Yewangoe. Civil Society., hlm. 47-48.
Kami menggunakan di sini bagan kategori yang dipakai oleh Malcolm Brownlee dalam buku: Tugas Manusia
Dalam Dunia Milik Tuhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1989., hlm. 131-140.
Pertama, kontribusi Gereja pada pergerakan nasionalisme ditunjukkan dengan kesetiaan Gereja
melaksanakan tugas-tugasnya. Gereja-Gereja anggota PGI suka menggelompokkan tugastugasnya dalam tiga bidang: Persekutuan (koinonia), Kesaksian (marturia) dan Pelayanan
(diakonia).34 Kegiatan-kegiatan rutin internal satu jemaat dan juga kegiatan-kegiatan
kebersamaan antar jemaat secara implisit (tidak nampak secara langsung) ternyata ikut
menunjang pembangunan negeri. Aktivitas-aktivitas seperti ibadah hari minggu, kegiatan anakanak, pemuda, kaum ibu, kaum bapak, usia lanjut, paduan suara, ibadah rumahh tangga
umumnya memiliki maksud kegerejaan. Namun semua itu besar gunanya bagi pembentukan
ketrampilan, karakter dan pengabdian warga gereja di dalam masyarakat.
Sebut saja satu-dua contoh sebagai bukti. Di desa-desa di mana warganya mayoritas Kristen
jabatan-jabatan kemasyarakatan seperti ketua RT, kepala desa biasanya dipercayakan kepada
orang-orang yang aktif dalam kegiatan-kegiatan pelayanan Gereja, seperti penatua, diaken, ketua
pemuda atau pemimpin kategori kaum ibu dan kaum bapak. Aktivitas mereka dalam tugas-tugas
Gereja ternyata menjadi lokus di mana mereka melatih diri dengan ketrampilan perencanaan dan
evaluasi, wawasan kesetaraan perempuan dan laki-laki, mental siap mendengar masukan dan
menerima kritikan serta spiritualitas dialog yang ternyata diperlukan oleh masyarakat. Kegiatankegiatan pemuda gereja yang dimaksud membekali orang-orang muda dengan pengetahuan
keagamaan, etika dan moralitas Kristen, pepedualian terhadap penderitaan sesama dan krisis
ekologi ternyata berguna mempersiapkan generasi baru yang sehat dalam berpikir dan
berperilaku yang dibutuhkan dalam peningkatakan kualitas pergerakan nasionalisme Indonesia.
Hadirnya berbagai peraturan daerah yang membatasi dilaksanakannya kegiatan-kegiatan
keagaman, kecurigaan dari pihak-pihak tertentu tentang adanya agenda terselubung dari berbagai
kegiatan gereja di tingkat jemaat, rumah tangga dan kategori pemuda agaknya perlu direnungkan
kembali. Seiring dengan perlunya peninjauan ulang aturan-aturan di tas Gereja dan jemaatjemaat lokal juga perlu melakukan koreksi diri supaya pola hidup dan pelayanannya tidak
bertentangan dengan maksud-maksud Injil atau yang secara spesifik bertentangan dengan nilainilai pembangunan bangsa yang bersifat merawat kemajemukan dan memperkuat keseteraan
semua komponen bangsa.35
Kedua, pendidikan disebut-sebut sebagai salah satu elemen kunci dalam mengembangkan
mentalitas manusia pembangun yang dibutuhkan untuk mengisi pergerakan nasionalisme
Indonesia sekaligus membuat Indonesia menjadi bangsa yang setara dengan bangsa-bangsa lain
34
Di beberapa Gereja anggota PGI yang berwilayah di daerah tugas-tugas Gereja dibagi dalam lima bidang:
Persekutuan (koinonia), Kesaksian (marturia), Pelayanan (diakonia), Peribadahan (liturgia) dan Penata-layanan
(oikonomia).
35
Andreas A. Yewangoe. Civil Society., hlm. 3.
di dunia.36 Gereja-gereja di Indonesia ternyata tidak menjadi sekedar pelaku pasif dalam
membentuk manusia pembangun. Hampir semua Gereja anggota PGI ambil bagian aktif dalam
karya pembentukan manusia pembangun melalui penyelengaraan pendidikan yang berkualitas,
pluralis dan kontekstual melalui sekolah-sekolah yang didirikan Gereja dan orang Kristen.
Lembaga pendidikan mulai dari PAUD sampai dengan perguruan tinggi yang dikelola Gereja
bukan hanya ikut mempersiapkan generasi bangsa yang tinggi ilmu dan tinggi pengabdian.
Sekolah-sekolah itu pun ikut memberikan kontribusi besar bagi generasi bangsa untuk menyikapi
dengan kritis hal-hal yang dibawa oleh arus sekularisme dan materialisme. Bahkan perlu
disebutkan dalam sikap pengucapan syukur kepada Allah bahwa banyak dari lembaga
pendidikan yang dikelola Gereja justru masuk dalam daftar sepuluh besar lembaga pendidikan
terbaik yang diakui Negara dan juga masyarakat Internasional.
Sering orang berpendapat bahwa lembaga-lembaga pendidikan yang dibangun Gereja adalah
wadah cuci otak dan lembaga indoktrinasi yang bertujuan menanamkan mentalitas fanatisme dan
fundamentalisme agama. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Sumanto Al Quturby yang
pernah belajar di program Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana
(UKSW) justru mengaku terkejut karena di lembaga yang umumnya dipandang sebagai tempat
pendidikan para pekerja Gereja Kristen seperti UKSW yang diduga sebagai jantungnya ajaran
yang eksklusif dia justru menemukan para guru yang justru berpikir sangat liberal-progresif,
seperti John Titaley.37
Ketiga, untuk sebuah pengambilan keputusan yang mendatangkan kebaikan sebesar-besarnya
bagi semua komponen dalam masyarakat, para pengambil keputusan membutuhkan data,
informasi, analisa dan solusi yang diperoleh melalui satu proses penelitian dan penalaran yang
metodis, sistematis dan koheren. Gereja dan orang Kristen tidak ketinggalan dalam menyediakan
hal-hal tadi kepada pihak pengambil keputusan, baik itu pemerintah maupun lembaga-lembaga
pelayanan publik non pemerintah lainnya.
Surat kabar, radio, artikel-artikel ilmiah, juga opini-opini di berbagai harian daerah yang
dibentuk, dikelola, ditulis dan dipublikasi oleh orang Kristen atau lembaga-lembaga Kristen ikut
memberikan kontribusi penting dalam menyajikan informasi dan analisa yang diperlukan untuk
pengambilan keputusan. Jumlah institusi seperti ini cukup banyak. Perlu sekali dicatat bahwa
betapa pun hal-hal tadi berasal dari tangan orang Kristen atau lembaga Kristen tetapi itu tidak
36
J.W.M. Bakker. Filsafat Kebudayaan. Sebuah Pengantar. Yogyakarta – Jakarta: Penerbit Yayasan Kanisius – BPK
Gunung Mulia. 1989., hlm. 118.
37
Sumanto Al Qurtuby. “John Titaley di Mataku.” Steve Gasperz & Tedi Kholiludin (Editors). Nyantri Bersama Jogn
Titaley. Menakar Teks, Menilai Sejarah dan Membangun Kemanusiaan Bersama. Salatiga: Satya Wacana University
Press. 2014., hlm 78-79.
sekedar untuk melayani kepentingan-kepentingan Kristen. Kepentingan bangsa dan seluruh
rakyat adalah yang menjadi tujuan dari semua kontribusi itu.
Memang harus diakui bahwa ada satu dan dua surat kabar, radio, artikel dan opini-opini yang
cenderung mempropagandakan pandangan yang eksklusif dan triomfalis. Tetapi kalau
memperhatikan bingkai berpikir para pemimpin Kristen seperti tokoh-tokoh yang kami kutip di
atas, itu menunjukkan bahwa pandangan-pandangan yang eksklusif dan triomfalis bukanlah
sikap resmi Gereja dan orang Kristen Indonesia.
Keempat, pelayanan sosial seperti rumah sakit, panti-panti asuhan, rumah jompo, rumah sakit
kusta, lembaga-lembaga bantuan hukum, lembaga beasiswa, dll milik Gereja tetapi yang tidak
menaikan bendera penginjilan dan panji-panji agama Kristen banyak memberikan pertolongan
yang nyata kepada warga masyarakat yang memerlukanya. Memang sering dikatakan bahwa
lebih baik memberikan pancing dari pada memberikan ikan kepada mereka yang lapar. Gereja
memang menyadari hal itu. Tetapi patut juga diingat bahwa pertolongan-pertolongan nyata pun
sangat diperlukan dan harus terus menerus diberikan. Dalam pergerakan nasioalisme Indonesia
Gereja dan orang-orang Kristen tidak pernah lali dalam memberikan bantuan kepada individuindividu sesame anak bangsa yang membutuhkan sesuatu.
Penutup
Pergerakan nasionalisme Indonesia adalah satu anugerah atau pemberian terindah dari Allah
kepada bangsa dan masyarakat Indonesia. Sebagai pemberian Allah berlaku di dalamnya prinsip
kerja sama yang bersifat bilateral antara Allah dan manusia Indonesia untuk menjaga
kelangsungan hidupnya. Watak kerja sama bilateral antara Allah dan manusia tadi memiliki
konotasi arti yang tidak jatuh sama dengan kerja sama bilateral dalam dunia politik atau
perjanjian antara dua bangsa. Kerja sama bilateral antara Allah dan manusia itu lebih bersifat
bertingkat. Allah bekerja 100% manusia Indonesia (setiap komponen dari bangsa) juga bekerja
100%, tetapi hasilnya bukan 200%, melainkan tetap 100%. Ini disebabkan masing-masing
partner (Allah dan bangsa Indonesia) bekerja dalam level yang berbeda.
Allah bekerja 100% untuk memberikan sebuah kita sebuah bangsa yang merdeka, dengan
kekayaan alam yang melimpah, juga keberagaman budaya dan agama agara dipakai memperkuat
bangsa. Pada level yang lain manusia Indonesia sebagai penerima anugerah itu juga harus
bekerja 100% untuk mendayagunakan kekayaan alam dan keberagaman budaya dan agama itu
untuk membangun diri sebagai bangsa yang kuat, sejahtera, berkeadilan dan setara dengan
bangsa lain. Kecerobohan dari anak-anak bangsa melakukan tugasnya dengan baik hanya akan
membuat anugerah itu menjadi mubasir dan bukan tidak mungkin anugerah itu ditarik kembali
oleh Allah, sebagaimana yang sudah dilakukan Allah terhadap hamba yang diberikan satu mina,
tetapi tidak ingin membungakan satu mina itu secara baik (19:12-27).
Dalam rasa cinta kepada bangsa dan kesadaran bahwa anugerah Allah itu harus dikembangkan
gereja-gereja di Indonesia terus-menerus terlibat aktif bukan hanya untuk menggerakan
nasionalisme itu bagi kesejahteraan semua, tetapi juga ikut mengawalnya dengan berbagai
pemikiran korektif dan transformatif.
Daftar Pustaka
Pdt. Dr. Zakaria J. Ngelow. Kekristenan dan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900 – 1950. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 1994. Hlm. 4.
J.L.Ch. Abineno. “Dari Dewan Gereja-Gereja di Indonesia ke Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia.” Dalam: Pdt.
Dr. J.M. Pattiasina & Pdt. Weinata Sairin, M.Th. Gerakan Oikumene: Tegar Mekar di Bumi Pancasila. Jakarta: PT.
BPK Gunung Mulia 1990., hlm. 226.
Zakarias J. Ngelow. “Penyempurnaan LDKG, Berlaku Hukum Mercu Suar?” Dalam: Berita Oikumene. September
1989., hlm. 22-25.
Georg Kirchberger. Gerakan Ekumene. Suatu Panduan. Maumere. Penerbit Ledalero. 2010., hlm. 145.
T.B. Simatupang. Iman Kristen dan Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1985., hlm 14.
Julianus Mojau. Meniadakan atau Merangkul. Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik di Indonesia.
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2010., hlm. 42.
T.B. Simatupang. Kehadiran Kristen dalam Perang, Revolusi dan Pembangunan. Berjuang mengamalkan pancasila
dalam Terang Iman. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1986., hlm. 205.
A.G. Hoekema. Berpikir Dalam Keseimbangan Yang Dinamis. Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional di
Indonesia (Sekitar 1860-1960). Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1997., hlm. 274.
Martin Lukito Sinaga. “Perempuan Sebagai Yang Lain. Gugatan Marianne Katoppo dalam bukunya: Compassionate
and Free.” Dalam: Jurnal Teologi Proklamasi. No. 2. Thn. 1. Mei 2002., hlm. 5.
Marianne Katoppo. Compassionate and Free. Edisi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Pericles Katoppo. Jakarta:
Aksara Karunia. 2007., hlm. 10.
Marianne Katoppo. “An Asian Theology: An Asian Women Perspective.” Dalam: Fablella (ed). Asia’s Struggle for
Full Humanity., hlm 143.
Ebenhaizer I Nuban Timo. Gereja Lintas Agama. Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan Kekristenan di Asia.
Salatiga: Satya Wacana University Press. 2013., hlm. 33-35.
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009. hlm. 123 dan Andreas A.
Yewangoe. Tidak Ada Ghetto. Gereja di Dalam dunia. Jakarta: BPK. Gunung Mulia. 2009. hlm. 172.
Andreas A. Yewangoe. Civil Society di Tengah Agama-Agama. Jakarta: Bidang diakonia Persekutuan Gereja-Gereja
di Indonesia. 2009., hlm. 2.
A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2006., hlm. 74.
Malcolm Brownlee. Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1989.
J.W.M. Bakker. Filsafat Kebudayaan. Sebuah Pengantar. Yogyakarta – Jakarta: Penerbit Yayasan Kanisius – BPK
Gunung Mulia. 1989., hlm. 118.
Sumanto Al Qurtuby. “John Titaley di Mataku.” Steve Gasperz & Tedi Kholiludin (Editors). Nyantri
Bersama Jogn Titaley. Menakar Teks, Menilai Sejarah dan Membangun Kemanusiaan Bersama. Salatiga:
Satya Wacana University Press. 2014., hlm 78-79.
Download