bab i pengantar

advertisement
BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai sastra terutama sastra Jawa di Indonesiarasanya masih
butuh untuk diperjuangkan. Pengakuan dan keyakinan atas sastra Jawa sebagai salah
satu benda kesenian budaya Indonesia yang dapat ditilik dari segi manapun sangat
diperlukan1. Terlebih eksistensi sastra Jawa seakan digerus dengan adanya kurikulum
2013 yang mengurangi jam pelajaran bahasa Jawa, dari yang hanya satu minggu satu
kali pertemuan 90 menit menjadi satu kali pertemuan 45 menit. Cukupkah waktu
yang sangat singkat itu dipergunakan untuk memahami seluk beluk kebudayaan yang
berkaitan dengan Jawa, termasuk sastranya. Kebijakan ini nampaknya kurang sejalan
dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 32 ayat 1 dan 2: ―Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional‖. Lalu, siapa yang akan memelihara jika calon penerus bangsanya tidak
dicekoi dengan materi budaya nasionalnya?
Bertolak dari hal tersebut, diperlukan peran lembaga – lembaga lain yang bisa
mendukung
terpeliharannya
kebudayaan
nasional.
Keberadaan
media
1
Brata, Suparto. 1985. Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa. Hlm 115.
1
massanampaknya menjadi salah satu solusinya untuk memelihara kebudayaan
nasional dalam ranah sastra. Suripan Sadi Hutomo dalam ―Periodisasi Kesusastraan
Jawa Gagrag Anyar‖membagi sejarah sastra Jawa modern menjadi tiga, yaitu (1)
Periode Balai Pustaka yang terjadi dari tahun 1920 sampai 1945.Pada periode ini
genre novel lebih diutamakan; (2) Periode Perkembangan bebas yang terjadi dari
tahun 1945 sampai 1966. Pada periode ini disamping novel, muncul cerita pendek
dan puisi.Perkembangan sastra periode ini didukung oleh tiga generasi penulis, yaitu
Angkatan kasepuhan (sebelum tahun 1945), Angkatan perintis (tahun 1945), dan
Angkatan penerus (pasca 1960-an); (3) Periode Sastra Majalah dari tahun 1966
hingga sekarang.Ledakan roman penglipur wuyung diikuti oleh peranan majalahmajalah berbahasa Jawa menjadi saluran publikasi sastra Jawa terpenting2.
Media massa yang sangat berperan dalam penyebaran dan pengenalan sastra
Jawa tersebut antara lain Kajawen, PS, Jaya Baya, Swara Tama, dan Pusaka
Surakarta. Beberapa majalah itu berjasa dalam menyebarluaskan karya sastra Jawa
berupa cerita cekak (cerkak), cerita bersambung, atau geguritan. Munculnya periode
sastra majalah menunjukan peran media massa dalam hal penyebaran karya sastra
Jawa. Majalah swasta atau non-Balai Pustaka yang hingga kini masih bereksistensi
dengan karya sastra Jawa ialah PS.
Majalah PS lahir pada tanggal 2 September 1933. Ia bukanlah satu-satunya
majalah yang hadir pada periode sebelum kemerdekaan. Balai Pustaka juga
melahirkan majalah bernama Kejawen.Sayangnya, majalah tersebut hanya bertahan
2
Hutomo, Suripan Sadi. 1972. Jaya Baya No. 22 Januari 1972. Hlm 26.
2
dari tahun 1926 hingga 1942. Lahirnya PS merupakan akibat dari penolakan
pengarang terhadap sistem penerbitan Balai Pustaka3. Balai Pustaka memiliki aturan
dalam setiap karya terbitannya yang dirumuskan dalam Nota Rinkes4. Adapun isi
nota Rinkes yang diterapkan oleh Balai Pustaka, yaitu (1) Karangan tidak boleh
mengandung unsur politik; (2) Karangan harus dapat memberikan pendidikan budi
pekerti dan membawa kecerdasan; (3) Karangan harus netral terhadap agama.Nota
tersebut seakan membatasi ide dan gagasan para pengarang. Oleh karena itu, para
pengarang yang gagal menegosiasikan karyanya dan memiliki jiwa nasionalisme
lebih memilih memihak non – Balai Pustaka.
Majalah PS yang terbit sejak tahun 1933 itu tetap lestari dari sokongan
pelanggan dan penulis setia. Penerbit sekaligus pendirinya,yakni Dr. Soetomo yang
juga tokoh perintis Pergerakan Nasional Boedi Oetomo, kemudian dilanjutkan oleh
Moh Ali, Soedjatmiko (putra Moh Ali) dan kini dipegang langsung oleh Kustono
Jatmiko (putra Soedjatmiko). Kustono mengaku tak berkompeten memimpin
redaksi.Oleh karena itu, jabatan pemimpin redaksi diberikan kepada istri Kustono
yakni Arkandari Sari. Arkandari Sari telah menjabat sebagai Pemimpin redaksi
selama dua periode.
3
Balai pustaka merupakan nama baru dari sebuah lembaga yang bernama Kantoor voor de
Volkslectuur yang dikepalai oleh seorang Hoofdambtenaar. Nama Balai Pustaka diusulkan oleh
Haji Agus Salim yang bekerja sebagai redaktur lembaga itu pada tahun 1917-1919.
4
Nota Rinkes dikeluarkan oleh D.A. Rinkes.Ia merupakan ketua pertama yang selama tahun
sebelumnya berhasil mengatur pola kerja Komisi Bacaan Rakyat. Komisi Bacaan Rakyat
kemudian berganti nama menjadi Balai Pustaka.
3
Bertepatan dengan usianya yang ke-80, majalah PS mendapatkan penghargaan
dari Museum Rekor Indonesia sebagai majalah berbahasa Jawa tertua di Indonesia.
Penghargaan itu diberikan oleh Senior Manager MURI Paulus Pangka di Rumah
Makan Taman Sari, Surabaya pada tanggal 2 September 2013."Majalah ini konsisten
menjaga kearifan lokal sejak 1933," kata Paulus dalam sambutannya. Peringatan 80
tahun PS digelar secara sederhana. Sejumlah tokoh, penulis, dan penutur bahasa Jawa
yang turut hadir adalah para sesepuh yang mengikuti perjalanan PS sejak awal baik
sebagai pembaca maupun penyumbang tulisan5. PS juga mendapatkan penghargaan
dari Gubernur Jawa Timur atas prestasi dan pengabdiannya dalam bidang seni dan
budaya pada 30 Desember 2011.
Kini PS dengan usianya yang sudah mencapai 82 tahun menunjukan bahwa ia
mampu bertahan dalam beberapa periode pemerintahan di Indonesia. Perkembangan
pemerintahan di Indonesia terbagi menjadi periode prakemerdekaan dan setelah
kemerdekaan. Periode prakemerdekaan adalah suatu periode perubahan penggunaan
aksara Jawa ke aksara Latin. Pada periode ini lah majalah PS lahir menjadi majalah
berbahasa Jawa pertama yang menggunakan aksara latin. Pada bulan Oktober tahun
1933,PS menambahkan unsur fiksi untuk memperkaya isi majalah tersebut. PS
merupakan penerbit pertama jenis cerita pendek (cerkak) non Balai Pustaka. Rubrik
5
(http://news.detik.com/surabaya/read/2013/09/03/091535/2347606/475/majalah-panjebar-semangatitu-80-tahun-bernafas-dari-pelanggan)diakses pada tanggal15 Oktober 2014 pukul 17.06 wib.
4
―lelakon‖ yang artinya ‗peristiwa‘ dengan judul ―Mitra Darma: Bisa Nulungi
Mitrane‖ (PS, 21 Oktober 1933). Cerkak tersebut ditulis oleh Rara Kustijah.
Penggunaan istilah lelakon untuk penyebutan fiksi pendek tersebut rupanya
merupakan awal dari proses kehadiran jenis fiksi pendek di media cetak nonpemerintahan. Cerkak dalam PS kerap kali digunakan untuk tema–tema dengan
kecenderungan nasionalisme, dan sebagian besar pengarangnya lebih suka
menggunakan nama samaran6. Tujuannya supaya pembaca - masyarakat - tergugah
untuk memberontak terhadap pemerintah kolonial dan tidak terendus oleh pemerintah
kolonial.Di samping tema nasionalisme, tema sosial dan humor juga banyak digarap.
Namun, mutu cerkak pada periode ini memang belum terlalu tinggi.
Misi khusus cerkak untuk mendukung suasana aman, damai, seimbang dan
misi umum terbitan non Balai Pustaka mengacu kepada tujuan tunggal yaitu
persatuan bangsa atau penggalangan nasionalisme7. Selain cerkak, terdapat pula karya
sastra Jawa berupa cerita bersambung atau cerbung. Majalah PS tersebut mulai
memuat cerita bersambung sejak terbitnya edisi 44, tahun III, 2 November 19358.
Pada edisi tersebut dimuat cerita bersambung berjudul ―Sandhal Jinjit ing Sekaten
Solo‖ karya Sri Susinah (nama samaran). Setelah itu, majalah PS aktif menerbitkan
cerita bersambung seperti ―Sripanggung Kethoprak‖ (Sri Susinah, 1938), ―Gumebyar
Lir Kencana Sinangling‖ (B.R. Sudjatna, 1939), ―Sawabe Ibu Pertiwi‖ (Anpirasi,
1939), ―Gagak Gaok‖ (Isbandhi Paramajuda, 1939) dan lain-lain. Cerita-cerita
6
Rass, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Hlm 19.
Widati, Sri. 2001. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern: Periode Prakemerdekaan. Hlm 187.
8
Hutomo, Suripan Sadi.1975. Telaah Sastra Jawa Modern. Hlm 57-58.
7
5
bersambung tersebut merupakan karya sastra yang mengandung nafas perjuangan
bangsa9.
Dalam periode setelah kemerdekaan, pada tanggal 1 Maret 1949 PS mampu
bangkit setelah pembredelan besar-besaran oleh Jepang, kecuali majalah Panji
Pustaka yang digunakan Jepang sebagai senjata untuk menanamkan ideologinya.
Sementara itu, lahir pula majalah Jaya Baya tanggal 1 Desember 1945 di Kediri,
Djaka Lodang tahun 1971 di Yogyakarta. Pada periode ini PS berhasil melewati tiga
periode yaitu: periode Orde Lama, periode Orde Baru dan periode Reformasi.
Periode Orde Lama diawali dengan dekrit presiden tahun 1959 hingga tahun
1965. Pada era tersebut, pers ditempatkan sebagai alat revolusi melalui TapMPR no
11 tahun 1960 tentang penerangan massa. Penguasa melakukan penekanan kebebasan
pers, terhadap pers yang dianggap melanggar peraturan pers mendapat sanksi
perizinan penerbitan, demi kepentingan pemeliharaan ketertiban umum dan
ketenangan terutama penguasaan Orde Lama.
Periode Orde Baru dimulai pada tanggal 1 Oktober 1965 hingga tahun 1998.
Pada Orde Baru Jendral Soeharto berhasil mengambil alih kekuasaan atas kendali
pemerintahan dan kemudian dikukuhkan menjadi Presiden RI pada tahun 1967.Pada
masa kekuaasaannya, ia mencanangkan untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen, tetapi pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat itu
tetap saja tidak dijalankan secara konsekuen.
9
Ibid., Hlm 58.
6
Setelah runtuhnya periode Orde Baru muncullah periode yang disebut sebagai
periode Reformasi.Pada periode Reformasi ditandai dengan lengsernya Presiden
Soeharto dari kursi kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998. Sistem pers pada
periode ini sering dikatakan kembali kepada keadaannya ketika berada di era 19451959. Periode kebebasan berfikir tidak dirintangi oleh rambu-rambu sensor, izin atau
larangan-larangan. Hal ini menunjukkan sastra sebagai sebuah sistem yang
berkembang bersama-sama dengan sistem lain dalam lingkungannya. Untuk
menelusuri perkembangan sastra Jawa yang pasti melibatkan perkembangan
pemikiran masyarakat Jawa.
Melihat betapa panjang perjalanan yang dilalui oleh majalah PS menunjukan
bahwa majalah tersebut dapat bertahan dalam beberapa periode pemerintahan.
Majalah PS sebagai lembaga penerbitan dan penganyom karya sastra Jawa modern
yang bertahan hingga kini yang tak lepas dari kontribusi dari para pengarang, staf
atau tim redaksi dan pembaca. Dibalik hal tersebut, tentunya ada sebuah struktur yang
mampu menjadikannya bertahan lama. Selain itu, rubrik sastra yang diangkat oleh
pengarang PS berkaitan dengan pembebasan diri dari belengu kolonial. PS
mengharapkan rubrik sastra seperti cerkak, cerbung, dan geguritan menjadi konsumsi
masyarakat agar mereka sadar akan belengu tersebut. Dengan begitu, terjalin lah
ikatan antara PS dan masyarakat atas dasar hasil dari kebersamaan.
Ikatan berdasarkan kebersamaan tersebut disebut Durkheim sebagai
solidaritas. Durkheim membedakan jenis solidaritas yang berada di antara masyarakat
7
menjadi dua, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik10. Kebersamaan itu tak
lain adalah dari hasil saling ketergantungan satu sama lain. Perlu diraba ulang bahwa
di dalam struktur masyarakat—secara sederhana—terdapat pembagian-pembagian
kerja, sehingga struktur tersebut dapat berjalan. Saling ketergantungan inilah yang
mengakibatkan satu individu ―terikat‖ dengan individu lain.
Sistem semacam inilah yang berpotensi berada dibalik majalah PS dalam
majalah yang mengusung tidak hanya sastra Jawa tetapi juga kebudayaannya,
sehingga Majalah PS mampu bertahan dan bukan menjadi sebuah anomie11. Dengan
kata lain, ada sebuah bentuk yang bersistem antara Majalah PS dengan masyarakat
yang saling ketergantungan dan saling berinteraksi. Terlebih, Majalah PS mampu
menjadi magnet bagi penikmat karya sastra Jawa dengan berkembangnya sistem
masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut. PS menunjukan eksistensinya sebagai majalah yang
mengusung budaya dan sastra Jawa ditengah dinamika masyarakat.PS berhasil
mempertahankan posisinya di antara masyarakat yang memandang sebelah mata
10
Durkheim. 1964. The Division of Labor in Society. Hlm xiv
Lihat Durkheim, Emile. 1951. Suicide. New York: Free Press. Hlm. 241—276.Sifat manusia yang
egois, serakah, dan selalu berhasrat demi kepentigan pribadi, oleh Durkheim menjadi sebuah istilah
yang disebut anomie. Suatu keadaan dimana kecenderungan individualisme untuk mengarah pada
sikap anti-sosial.Anomie bisa disebut sebagai patologis.Perlu dicatat ulang, bahwa masyarakat
adalah moral, moral adalah masyarakat. Sikap ingin tiada dari moral, sama saja tiada dalam
masyarakat.
11
8
budaya ataupun sastra Jawa.Perannya yang sangat besardalam pengayoman budaya
dan sastra Jawa mendapatkan apresiasidari Gubernur Jawa Timurtahun 2011 lalu, atas
prestasi dan pengabdian dalam bidang seni dan budaya. Selain itu, tahun 2013 PS
memperoleh penghargaan berupa majalah berbahasa Jawa tertua di dunia oleh
Museum Rekor Indonesia.
PS merupakan majalah swasta yang dengan kemandiriannya dapat bertahan
melewati beberapa periode pemerintahan.Periode tersebut ialah periode sebelum
kemerdekaan dan setelah kemerdekaan yang dibagi menjadi tiga periode, yaitu
periode Orde Lama, periode Orde Baru dan Reformasi hingga sekarang.PS mampu
melewati periode-periode tersebut, tetapi tidak banyak masyarakat yang mengetahui
bagaimana caraPS mempertahankan posisinya.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat dibuat pertanyaan penelitian
yaitu: (1) Bagaimana persoalan solidaritas majalah PS dalam empat zaman?; (2)
Bagaimana aspek pendukung PS sehingga dapat bertahan dalam empat zaman?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat solidaritas dalam majalah PS
sehingga dapat terlihat pola atau formasi yang dijaga. Bertahannya majalah PS
dengan rubrik-rubrik Jawa yang diusungnya–termasuk didalamnya karya sastra Jawamenunjukkan bahwa terdapat integritas nilai terhadap solidaritas dengan masyarakat
yang tidak menjadikannya anomie. Selain itu, penelitian ini sebagai bentuk apresiasi
terhadap media massa yang masih bertahan memelihara karya sastra Jawa. Mengingat
9
sastra Jawa sering disebut – sebut sebagai sastra yang sudah punah. Namun, melalui
PS memperlihatkan bahwa masih ada media massa yang menyebarluaskan karya
sastra Jawa. Artinya sastra Jawa belum punah, hanya peminatnya saja yang terus
menerus berkurang.
1.4 Landasan Teori
Dalam buku Rules of Sociological Method (1965) Durkheim menawarkan
defisininya mengenai sosiologi. Menurut Durkheim12, bidang yang harus dipelajari
sosiologi ialah fakta-fakta sosial, yaitu fakta-fakta yang berisikan cara bertindak,
berpikir dan merasakan yang mengendalikan individu tersebut (Abdullah dan v.d.
Leeden, 1986:30). Untuk menjelaskan definisi ini, Durkheim mengemukakan bahwa
fakta sosial merupakan cara-cara bertindak, berpikir, dan perasaan yang berasal di
luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya.
Here, then, is a category of the facts with very distinctive characteristics: it
consists of ways of acting, thinking, and feeling, external to the individual,
and endowed with a power coercion, by reason of which they control him …
12
Lahir 15 April 1854, di sebuah kota kecil bernama Epinal yang hanya berpenduduk sekitar 10.000
jiwa pada tahun 1871, wilayah bagian Vorges, Lorraine, David Emile Durkheim terlahir dari benih
cinta antara Moise Durkheim (53 tahun, Kepala Rabbi Vosges dan Haute-Marne, dan juga cucu
dari Israel David) dengan Melanie Isidor (38 tahun, anak dari Joseph Marx Isidor, seorang saudagar
kuda yang terkemuka). Mereka menikah pada 16 Agustus 1837, dan memberi empat saudara bagi
Durkheim kecil, mereka adalah Desire (1845—1846), Rosine (1848—1930), Joseph Felix (1849—
1889), dan Cecile (1851—1931).Bdk. Coser, Lewis A. 1971.Masters of Sociological Thought (edisi
ke-2). San Diego: Harcourt Brace Jovanovich. Hlm. 161—163.Di sini Coser menuliskan jika
Duekheim terlahir pada 5 April 1858.Bdk. Thompson, Kenneth. 2002. Emile Durkheim: Key
Sociologist. New York & London: Routledge. Hlm. 2.Epinal adalah wilayah yang dekat dengan
perbatasan Jerman, dan ketika Durkheim berumur duabelas, wilayah tersebut tengah dikuasai oleh
tentara Jerman. Bdk. Veeger, K. 1990. Realita Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan
Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
10
these ways of thinking and acting … constitute the proper domain of
sociology13.
Contoh yang diberikan Durkheim mengenai fakta sosial ialah hukum, moral,
kepercayaan, adat istiadar, tata cara berpakaian, kaidah ekonomi14. Fakta sosial
tersebut mengendalikan dan dapat memaksa individu, karena bilamana individu
melanggarnya ia akan terkena sanksi. Fakta sosial seperti inilah yang menuut
Durkheim menjadi pokok perhatian sosiologi.
Konsep fakta sosial dapat dilihat dalam buku hasil karya Durkheim yaitu The
Division of Labor in Society dan Suicide.Durkheim mengemukakan bahwa
pembagian kerja dalam masyarakat merupakan fakta sosial. Pembagian kerja
disemua aspek kehidupan merupakan cara bertindak yang dianut secara umum,
bersifat memaksa, berada di luar kehendak pribadi individu, dan dapat menjalankan
paksaan luar terhadap individu. Selain itu, Durkheim menjelasakan sebab-sebab
terjadinya suatu fakta sosial yang konkret yaitu bunuh diri.Laju bunuh diri
disebabkan kekuatan- kekuatan yang berada diluar individu.
Durkheim dalam bukunya The Division of Labor in Societyia membedakan
antara kelompok yang didasarkan pada solidaritas mekanik, dan kelompok yang
didasarkan pada solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan ciri yang
menandai masyarakat yang masih sederhana, yang oleh Durkheim dinamakan
segmental. Dalam masyarakat demikian kelompok– kelompok manusia tinggal secara
13
Durkheim, Emile. 1964. The Division of Labor in Society. Hlm 3-4.
Abdullah, Taufik dan A. C. Van Der Leeden. 1986. Durkheim Dan Pengantar Sosiologi Moralitas.
Hlm 36.
14
11
tersebar dan hidup terpisah satu dengan yang lain. Masing–masing kelompok dapat
memenuhi kebutuhan mereka masing–masing tanpa memerlukan bantuan atau
kerjasama dengan kelompok luarnya. Masing–masing anggota pada umumnya dapat
menjalankan peranan yang diperankan oleh anggota lain: pembagian kerja belum
berkembang. Peranan semua anggota sama sehingga ketidakhadiran seorang anggota
kelompok tidak mempengaruhi kelangsungan hidup kelompok karena peranan
anggota tersebut dapat dijalankan oleh orang lain. Misalnya seorang anak dapat
melakukan apa yang dilakukan ayahnya seperti bertani, berternak; di luar fungsi yang
murni bersifat biologis seorang pria atau wanita dapat dengan mudah melakukan apa
yang biasanya dilakukan anggota jenis kelamin lain. Setiap kelompok pun dapat
mandiri sehingga keberlangsungan hidupnya tidak tergantung pada kelompok lain.
Masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan ialah
persamaan perilaku dan sikap.Menurut Durkheim seluruh warga masyarakat diikat
oleh collective conscience, yaitu suatu kesadaran bersama yang mencakup
keseluruhan kepercayaan dan perasaan kelompok, dan bersifat ekstern serta
memaksa. Sanksi terhadap pelanggaran hukum di sini bersifat represif; barang siapa
melanggar solidaritas sosial akan dikenakan hukuman pidana. Kesadaran bersama
tersebut mempersatukan para warga masyarakat dan hukuman terhadap pelanggaran
aturan bertujuan agar ketidakseimbangan yang diakibatkan oleh kejahatan tersebut
dapat dipulihkan kembali.
Solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat
kompleks, yaitu masyarakat yang telah mengenal pembagian kerja yang rinci dan
12
dipersatukan oleh saling ketergatungan antar bagian. Tiap anggota menjalankan
peranan berbeda, dan diantara berbagai peranan yang ada terdapat saling
ketergantungan. Adanya ketergantungan ini maka ketidakhadiran pemegang peranan
tertentu akan mengakibatkan gangguan pada kelangsungan hidup masyarakat.
Misalnya, petani yang mogok kerja menyebabkan masalah penyediaan bahan pangan.
Pada masyarakat dengan solidaritas organik, ikatan manusia
yang
mempersatukan bukan lagi collective conscience melainkan kesepakatan–kesepakatan
yang terjalin di antara berbagai kelompok profesi. Disinipun hukum yang menonjol
bukan lagi hukum pidana, melainkan ikatan - ikatan hukum perdata. Dalam hal terjadi
pelanggaran terhadap kesepakatan bersama maka yang berlaku ialah sanksi restitutif
atau pembayaran ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian untuk
mengembalikan keseimbangan.
Solidaritas tidak tumbuh begitu saja, dalam buku Elementary Forms of The
Religious Life, Durkheim mengutarakan dengan gigih kehadiran agama merupakan
sesuatu yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan suatu masyarakat. Durkheim
melihat pentingnya agama dalam hubungannya dengan tingkah laku moral.
Dibesarkan dalam keluarga ortodoks tidak mungkin ia tidak merasakan pentingnya
pengaruh kepercayaan itu terhadap kehidupan sehari-hari. Pengaruh pendidikan
agama yang diterimanya tampak jelas pada ide-ide sosiologisnya.
Agama menurut Durkheim merupakan cara untuk mengatasi penyimpangan
sosial yang diakibatkan dari tingginya individualisme. Penyimpangan tersebut oleh
Durkheim menjadi sebuah istilah, anomie. Suatu keadaan dimana kecenderungan
13
individualisme untuk mengarah pada sikap anti-sosial. Durkheim mencatat ketika
individu menghadapi realita moral, individu tersebut sebenranya sama saja dengan
menghadapi masyarakat, masyarakat dan moralitas adalah satu dan sama.15 Dengan
kata lain, ketiadaan dalam moralitas sama saja dengan ketiadaan dalam masyarakat,
dan kecenderungan untuk tiada tersebut adalah anomie.
Bagi Durkheim, Anomie mendesain situasi dimana kemampuan masyarakat
untuk beregulasi atau menjadi teratur, menurun sampai pada suatu keadaan yang
dirasa cukup, dan hal inilah yang menjadikan Anomie sebagai sebuah patologis
(keadaan berpenyakit). Termasuk di dalamnya, perubahan sosial yang begitu cepat
dan deras sehingga melebihi perkembangan moralitas yang teratur. Status patologis
Anomie ini, terefleksi dalam kesadaran individu sebagai suatu keadaan akan
kecemasan, perasaan moral yang tak berdasar sama sekali, disertai konsekuensikonsekuensi mengerikan yang di dalamnya bernaung kasus-kasus ekstrim yang dapat
menyebabkan bunuh diri.16
Oleh karena itu, sebagai seorang yang sangat menekankan struktur sosial
sebagai pondasi fundamentalnya, Durkheim mengindikasikan jika apa yang diuraikan
tersebut—tentang Anomie—tepatnya adalah tenggelam dalam genangan keadaan
yang ―tak ber-norma‖.17 Ke ―tak ber-norma‖-an tersebut, tak lain akan menggelitik
15
Ibid., hlm. 228.
Lihat Durkheim, Emile. 1951. Suicide. New York: Free Press. Hlm. 241—276. Perlu dicatat ulang,
bahwa masyarakat adalah moral, moral adalah masyarakat. Sikap ingin tiada dari moral, sama saja
tiada dalam masyarakat.
17
Bdk. Clinard, Marshall B. 1964. The Theoretical Implications of Anomie and Deviant Behavior
dalam Anomie and Deviant. New York: Free Press. Hlm. 7; Merton, Robert K. 1968. Social Theory
and Social Structure. New York: Free Press. Hlm. 189.
16
14
struktur masyarakat, dan dapat diindikasikan sebagai bentuk kejahatan, yang bagi
Durkheim sendiri dikatakan sebagai fenomena normal yang lahir dari cara
masyarakat yang meregulasikan diri. Dengan kata lain, prinsip pemberontakan sama
halnya dengan penyesuaian diri.18 Anomie bukan berarti sesuatu yang normal ataupun
sehat—seperti yang disinggung Durkheim—dalam arti yang menyeluruh. Anomie
adalah kecenderungan pada kematian masyarakat yang berarti tidak peduli terhadap
masyarakat, entah ada atau tidaknya masyarakat, entah menjadi individu yang
terorganisir ataupun tidak. Kecenderungan yang membuang semua regulasi moral
dalam masyarakat, tidak ada perbedaan antara memenuhi dan menyimpang dari
masyarakat karena tidak ada yang harus dituruti atau dilawan, tidak ada standart,
penghakiman atau individu yang dihakimi. Ini adalah keadaan tanpa realitas, tanpa
ketentuan dari kategori-kategori untuk mendapatkan pengalaman objektif melaui
persepsi ataupun empiris. Hal inilah yang menggiring individu atau masyarakat
dalam liang kematian mereka melalui bunuh diri. Dengan kalimat yang lebih
sederhana, bunuh diri Anomie ini, dapat dikatakan sebagai refleksi dari kematian
masyarakat (the death of society), budaya, dan realitas moral. Anomie tak lain adalah
kekacauan atau tak keberberaturan.
Menurut Durkheim, agama didefinisikan menurut fungsi sosialnya. Agama
adalah sebuah sistem kepercayaan dan ritual dengan referensi pada hal-hal yang
sakral yang mengikat masyarakat sehingga menjadi suatu kelompok sosial.19
18
19
Lihat Durkheim, Emile. 1953. Sociology and Philosophy. New York: Free Press. Hlm. 65.
Abercrombie, dkk., 1994. The Penguin Dictionary of Sociology (edisi ke-3). London: Penguin
Group. Hlm. 356. Bdk. Durkheim, Emile. 1965. The Elementary Forms of the Religious Life.
(dialihbahasakan dalam bahasa Inggris oleh J. W. Swain). New York: Free Press. Hlm. 62.
15
Sehingga, dapat dikatakan jika agama seperti sebuah institusi yang mengeranjangi
masyarakat dalam suatu keranjang ke(tidak)sadaran dan menciptakan integrasi antar
individu di dalamnya.
Gagasan mengenai yang suci dalam agama, sesuatu yang berbeda dari yang
keseharian, sesuatu yang melampaui dunia keseharian yang nyata, merupakan simbol
dari keberadaan kolektivitas yang transenden, yang mengatasi dunia pengalaman
keseharian.
Durkheim mengajukan argumentasinya pada sebuah review tentang karya
Marie Jean Guyau dengan judul L’Irreligion de L’avenir bahwa agama timbul dari
dua sumber, yaitu: pertama, kebutuhan intelektual untuk mengerti dunia disekeliling
kitadan kedua, kebutuhan praktis akan diri sendiri. Durkheim berpendapat bahwa
sebenarnya kedua hal itu harus disusun terbalik.Agama justru timbul dari kebutuhan
praktik dalam kehidupan sosial. Pertama-tama manusia tidak menemukan dewa-dewa
dan baru menghubungkan ide-ide itu dengan aktivitas sosial. Formula kognitif
tentang ide-ide agama justru merupakan ekspresi-ekpresi perasaan-perasaan sosial
yang telah ada sebelumnya yang mendahului penempilannya dalam refleksi yang
sadar.Durkheim menjelaskan bahwa agama merupakan gejala yang esensial dan ia
bukan saja penambah ide kepada iptek yang sudah dimiliki manusia, melainkan
merupakan sumber gagasan-gagasan dasar dari kerangka pemikiran manusia
seluruhnya.
But it has been less frequently noticed that religion has not confined itself to
enriching the human intellect, formed beforehand, with a certain numer of
ideas; it has contributed to forming the intellect itself. Men owe to it not only
16
a good part substance of their knowledge, but also the form in which this
knowledge has been elaborated20.
Dalam akar semua pertimbangan-pertimbangan manusia ada beberapa ide
esensial tertentu yang menguasai keseluruhan kehidupan intelektualnya, yaitu
substansi, kualitas, kuantitas, ide waktu, ruang relasi, posisi, kondisi, aksi atau
passivitas.Ide-ide ini cocok dengan sifat-sifat benda yang paling universal.Mereka
seperti suatu kerangka yang kokoh (padat), yang merangkum seluruh pemikiran. Jika
agama primitif dianalisis secara sistematis, maka kategori pokok ini tentu terdapat di
dalamnya.Durkheim menyebutnya sebagai ide-ide ini lahir dalam dan dari agama,
mereka adalah produk pemikiran agama.
Gambaran-gambaran agama adalah gambaran kolektif yang mengungkapkan
realitas kolektif, upacara merupakan cara bertindak yang terlaksana di tengah-tengah
kelompok dan dipersiapkan untuk membangkitkan, melestarikan atau menciptakan
kembali keadaan mental tertentu dalam kelompok tersebut. Sebagai sistem, gambaran
kolektif agama memberikan kepada kita pandangan dasar tentang asal-usul
kebudayaan. Kita seyogyanya ingat bahwa gambaran kolektif yang dimaksud
Durkheim ialah ide-ide, konsepsi dan praktik-praktik yang bersumber pada
masyarakat.Mereka disebut kolektif karena mengekpresikan dan melambangkan
suatu keadaan mental kekaguman yang tumbuh dari kehidupan sosial yang intensif,
upacara dan persembahan. Pada titik ini masyarakat membangunkan dalam diri
anggotanya suatu perasaan keilahian.
20
Durkheim, Emile. 1976. The Elementary Forms of the Religious Life. Hlm 9.
17
Durkheim mengatakan bahwa agama memunculkan moralitas. Dalam hal ini,
moralitas sebagai tawaran moral untuk mengubah tradisi masyarakat, untuk
membawa masyarakat pada kondisi yang lebih menyenangkan dengan pandangan
kolektivitas kesadaran sosial. Durkheim melihat persoalan moralitas dalam
masyarakat sebagai aturan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam berbagai
situasi yang paling sering dihadapi mereka. Pendidikan moral bagi Durkheim
merupakan hal yang terpenting. Seperti yang Durkheim menjelaskan dalam bukunya
Moral Education bahwa menanamkan pendidikan moral anak pada masa sekolah
dasar akan lebih efektif ketimbang pada tahap setelah sekolah dasar. Selain itu
dijelaskan pula fungsi dari moralitas adalah menentukan tingkah laku, dan membatasi
unsur yang bersifat semau-maunya.
The Division of Labour in Society, Durkheim menyebutkan bahwa moralitas
dalam segala bentuk tidak dapat hidup kecuali dalam masyarakat. Ia takkan berubah
kecuali dalam hubungannya dengan kondisi-kondisi sosial. Dengan kata lain,
moralitas tidak bersumber pada individu, melainkan bersumber pada masyarakat dan
merupakan gejala masyarakat. moral masyarakat berkuasa terhadap individu, dalam
arti kewajiban.
Morality, in all its forms, is never met with except in society. It never varies
except in relation to social conditions … the duties of the individual towards
his self are, in reality, duties toward society21.
21
Op. cipt.,Durkheim. 1964. Hlm 399.
18
Pada dasarnya moralitas adalah sesuatu yang bersifat tetap, dan sejauh kita
tidak berbicara mengenai jangka waktu yang terlalu panjang, moralitas itu akan tetap
sama dan tidak berubah22. Bisa disebut juga bahwa dalam moralitas terdapat unsur
keteraturan.Selain itu, terdapat pula unsur otoritas. Otoritas adalah pengaruh yang
memaksakan kepada kita semua kekuatan moral yang kita akui sebagai sesuatu yang
mengatasi. Berkat pengaruh itu kita bertindak menurut cara yang sudah ditetapkan.
Jalinan terhadap kedua unsur tersebut berasal dari ide yang lebih komplek
yang merangkum keduanya, yakni konsep mengenai disiplin. Moral bukan hanya
sekedar sistem perilaku yang sudah merupakan kebiasaan, melainkan suatu sistem
perintah.Disiplin yang sebenarnya mengatur atau memberi perintah peri laku. Disiplin
merangkum peri laku yang selalu terulang dalam kondisi tertentu.Namun, tidak
mungkin disiplin tanpa otoritas. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa unsur
fundamental dari moralitas adalah semangat disiplin.23
Disiplin moral tidak hanya menunjang kehidupan moral, tapi juga memiliki
pengaruh. Dapat dikatakan bahwa disiplin moral berfungsi sebagai pementuk watak
dan kepribadian. Dalam kenyataannya, unsur paling hakiki dari watak adalah
kemampuan mengendalikan diri yang memungkinakan kita mengendalikan nafsu,
keinginan dan kebiasaan-kebiasaan.
22
Abdullah, Taufik dan A. C. Van Der Leeden. 1986. Durkheim Dan Pengantar Sosiologi Moralitas.
Hlm 161
23
Ibid.,Hlm 165.
19
Unsur kedua dari moralitas adalah ikatan pada kelompok.Disiplin saja
nampaknya tidak cukup. Disiplin dapat memiliki arti juga mempunyai tujuan
akhir.Ada beberapa tujuan tertentu yang member persifatan moral kepada tindakantindakan manusia. Tindakan-tindakan yang selalu tertuju pada keuntungan pribadi,
tidaklah memiliki nilai moral.Hanya tindakan yang tidak memiliki tujuan pribadi
serta berada diatas tujuan individual, itulah yang bersifat moral.
Tindakan moral hanyalah tindakan yang ditujukan kepada kepentingan
kehidupan bersama. Moral baru dimulai kalau ia sudah berada dalam suatu kelompok
manusia, bagaimanapun bentuk dari kelompok tersebut, sebab manusia dikatakan
lengkap jika ia sudah menjadi anggota kelompok. Dengan katalain, kita baru
merupakan makhluk moral sejauh kita merupakan makhluk sosial. Hanya ada satu
makhluk moral yaitu ia yang memiliki kepriadian kolektif. Durkheim menunjukan
bahwa masyarakat terdiri atas beberapa kelompok, antara lain: keluarga,
perkumpulan, partai, tanai air, kemanusiaan. Tujuan utama tingkah laku moral adalah
kehidupan politik atau tanah air, tetapi dalam artian murni kemanusiaan.
Seorang individu tidak akan mampu mengadakan perubahan sosial. Terjadi
jika individu-individu itu bersatu memebentuk satu kekuatan kolektif. Kesadaran
moral akan menolak sebuah ketergantungan dan menuntut kebebasan bagi otonomi
individu. Moralitas tidak hanya terdiri atas menjalani perbuatan-perbuatan secara
sadar, tetapi juga harus berbuat secara sukarela dan jelas. Disini rasionalitas menjadi
20
unsur penting dari moralitas, mendidik moral bukanlah berbicara dan juga bukan
mengidoktrinasi melainkan menjelaskan24.
1.5 Tinjauan Pustaka
Objek material dari penelitian ini adalah majalah PS, sedangkan yang menjadi
objek formalnya adalah PS kaitannya terhadap solidaritas yang tidak menyebabkan
menjadi anomie menggunakan teori sosiologi yang dikemukakan oleh Emile
Durkheim.PStelah berdiri sekitar 82 tahun, tak heran jika sudah banyak yang
menelaahnya. Namun, belum ada yang menggunakan teori yang sama dengan
penelitian ini.
Berikut ini beberapa tinjauan pustaka yang telah peneliti lakukan, antara
lain:Pertama, Preferensi Pembaca terhadap Majalah Berbahasa Daerah: studi pada
pelanggan Majalah PS di Perumnas Sarwojajar Malang JawaTimur oleh Emy Sri
Purwani. Makalah tersebut diterbitkan dalam jurnal UML pada bulan desember
2011.Hasil analisis penelitiannya preferensi, kesukaan, atau selera seseorang terhadap
majalah berbahasa Jawa didorong oleh latar belakang golongan dan kehidupan sosial.
Pembaca majalah PS untuk mencapai kepuasan berinteraksi dengan sesama
komunitas berlatar belakang golongan sama. PS tidak hanya menjadi sekedar majalah
untuk dibaca kemudian disimpan, tetapi juga menjadi suatu wacana rujukan
penambah pengetahuan, wadah untuk mengasah ketrampilan menulis dan asah
24
Muhni.Imam, Djuretna A. 1994.Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson.Hlm
41.
21
otak.PS lebih dari sekedar majalah bacaan hiburan, tetapi lebih dari itu digunakan
sebagai wadah mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru serta menunjukkan
kebanggaan mereka sebagai orang Jawa. Kebudayaan Jawa yang mewarnai
perjalanan hidup mereka menimbulkan preferensi terhadap media massa berbahasa
daerah.
Kedua, Para Lelembut Perempuan dalam Alaming Lelembut oleh Sunu
Wasono.Makalah yang disajikan dalam International Conference on Indonesian
Studies di Bali bulan Februari 2012 ini menyampaikan bahwa Alaming Lelembut
bukanlah termasuk cerkak atau cerbung.Namun, digolongkan ke dalam cerbut atau
cerita lelembut. Meskipun selesai dalam satu kali pemuatan.Makalah ini memberikan
kontribusi terhadap peneliti bahwa cerbut atau cerita lelembut bukan termasuk ke
dalam kategori cerkak atau cerita pendek.
Ketiga, Perkembangan Majalah Berbahasa Jawa dalam Pelestarian Sastra
Jawa oleh Kabul Astusi. Makalah ini disajikan dalam International Seminar On
Austronesian – non Austronesian Languages and Literature di Universitas Udayana
pada bulan November tahun 2013. Makalah ini menyampaikan bahwa sastra Jawa di
era modern mengalami keterpurukan dan mulai ditinggalkan.Padahal sastra Jawa
pernah melahirkan karya-karya besar dan pujangga yang termasyur.Jika dilihat
kondisi sastra Jawa saat ini, nyaris tidak dapat dipercayai bahwa sastra Jawa pernah
membesarkan mana para pujangga.Pada masa ketika tradisi sastra Jawa mencapai
titik balik, hadirlah sejumlah majalah berbahasa Jawa merupakan upaya untuk
mempertahankan eksistensi sastra Jawa yang peminatnya mungkin hanya lembaga
22
yang tertarik mengenai pelestarian sastra Jawa. Keberadaan majalah-majalah tersebut
merupakan angin segar bagi upaya pelestarian.
1.6 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif kualitatif. Dengan demikian,
satuan data berupa rubrik dan komentar pembaca dalam majalah PS dan PS dalam
kaitannya menghadapi perubahan sosial dalam masyarakat dideskripsikan dalam
bentuk kata-kata (naratif verbal). Berikut ini akan disampaikan hal-hal yang
berhubungan dengan metode penelitian ini yaitu metode pengumpulan dan analisis
data.
1.6.1
Metode pangumpulan data
Sastra terutama sekali akan bertalian dengan pembangunan solidaritas sosial
yang menjadi kekuatan utama terbantuknya tatanan sosial. Jika dianalogikan dengan
fungsi agama di dalam masyarakat, sastra berfungsi memberikan pengalaman kepada
anggota masyarakat akan adanya sebuah realitas yang melampaui batas – batas dunia
pengalaman langsung individual25. Dengan demikian, data dalam penelitian ini adalah
rubrik sastra seperti cerkak, cerbung, geguritan dalam majalah PS, fakta majalah dan
wawancara. Data tersebut digunakan untuk melihat bagaimana solidaritas dan
pendukungnya
dalam
majalah
PS. Data
ini
dikumpulkan dengan teknik
pendokumentasian dari majalah PS.
25
Op. Cit., Faruk. 2012b. Hlm 53.
23
Pada tahap pengumpulan data juga dilakukan proses penyeleksian data. Pada
langkah ini, semua data yang diperoleh yaitu rubrik majalah PS, fakta majalah PS, dan
hasil wawancara diseleksi berdasarkan kesamaan karakteristiknya sesuai dengan masalah
yang diajukan dalam penelitian. Penyeleksian data itu menggunakan teknik penyampelan
purposif (purposive sampling). Purposive sampling adalah pengambilan sampel yang
disesuaikan dengan tujuan penelitian. Dari empat zaman yang ingin diteliti diambil dua
sampel rubrik sastra dalam majalah PS yang dapat mewakili setiap zamannya.
1.6.2
Metode Analisis Data
Metode analisis dalam penelitian ini dilakukan melalui dua tahap analisis.
Pertama, melakukan analisis terhadap rubrik-rubrik majalah PS dalam empat periode
pemerintahan yang dilaluinya. Tujuannya untuk mengidentifikasi perubahan atau
transformasi yang terjadi pada majalah PS. Pengindentifikasian itu digunakan untuk
mengambarkan bagaimana struktur yang terbentuk dalam tubuh PS sehingga dapat
bertahan melewati empat periode pemerintahan. Selain itu, memaparkan PSsebagai
fakta sosial dan solidaritas dalam tubuh majalah PS. Fakta sosial tersebut dilihat dari
penyesuaian individu yang dianalogikan sebagai organ dalam tubuh PS. Organ
tersebut terintegrasi dan membentuk suatu solidaritas. Kedua, Menganalisis aspek
pendukung terbentuknya solidaritas tersebut.
Semua analisis itu dilakukan dengan cara penafsiran atau pengintegrasian
temuan data dengan menggunakan penalaran teori yang sudah dikemukakan. Tafsiran
dilakukan dengan cara memberi penjelasan, perbandingan, pengorelasian, pemilahan,
24
atau pengombinasian dengan konsep-konsep yang ada. Mekanisme penarikan
kesimpulan didasarkan pada data yang telah diolah atau dianalisis dalam kegiatan
penelitian dihubungkan dengan konsep-konsep Durkheim.
1.7 Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri atas empat bab. Bab I merupakan bab pengantar yang berisi
uraian latar belakang masalah, masalah dan rumusan masalah, tujuan penelitian,
landasan teori, hipotesis, tinjauan pustaka, metode penelitian (terdiri atas metode
pengumpulan data dan metode analisis data), dan sistematika penulisan. Bab II adalah
pembahasan tentang majalah PSdalam hal membangun solidaritas hingga bisa
bertahan selama delapan puluh dua tahun. Bab III merupakan bab tentang aspek yang
melatar belakangi solidaritas. Bab IV merupakan kesimpulan hasil penelitian
berdasarkan pada masalah-masalah penelitian yang telah dibahas.
25
Download