perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user BAB 1

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan
merupakan
salah
satu
proses
penting
dalam
usaha
mengembangkan potensi pada anak. Melalui proses pendidikan, seorang anak
diharapkan dapat mengembangkan kemampuan yang ada pada diri mereka dan
membentuk kepribadian yang dimiliki secara maksimal sehingga dapat menjadi
individu yang bermanfaat. Pendidikan dapat diperoleh pada saat berada dirumah
bersama orang tua dan disekolah bersama guru.
Sekolah merupakan tempat yang ideal untuk penyelenggaraan pendidikan
dan mengembangkan potensi pada anak. Di sekolah seorang anak tidak hanya
mengembangkan potensi kognitif, akan tetapi juga mengembangkan kemampuan
emosional, moral dan psikososial. Seorang anak dapat belajar berhitung sekaligus
belajar menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan teman seusia dan belajar
berperilaku sesuai dengan tata tertib yang berlaku disekolah.
Sekolah tidak hanya dapat menjadi tempat yang sesuai untuk
mengembangkan potensi anak. Akan tetapi, sekolah juga dapat menimbulkan
stressor-stressor yang dapat menganggu perkembangan pada seorang anak. Salah
satu stressor yang dapat mengganggu perkembangan diri anak adalah adanya
perilaku kekerasan di sekolah. Sebagian pihak sekolah dan orang tua
mengganggap kekerasan di sekolah merupakan fenomena yang biasa terjadi
disekolah. Padahal, kekerasan di sekolah dapat menimbulkan berbagai masalah
bagi seorang anak.
commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
2
digilib.uns.ac.id
Perilaku kekerasan merupakan tindakan yang dilakukan secara berulang
oleh seseorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa
lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang lain yang terjadi
dilingkungan sekolah (Riauskina dkk, 2005). Kekuasaan yang dimaksudkan
dalam pengertian diatas adalah adanya budaya senioritas antara adik kelas dengan
kakak kelas, bahwa kakak kelas memiliki kekuasaan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan adik kelas. Pengertian agresif sendiri adalah suatu serangan,
serbuan atau tindakan permusuhan yang ditujukan kepada seseorang atau benda
(Chaplin, 2006). Kekerasan dan perilaku agresif memiliki kesamaan dalam
melakukan serangan kepada orang lain, akan tetapi ada perbedaan antara
kekerasan dan perilaku agresif yang terletak pada jangka waktunya. Kekerasan
terjadi secara berkelanjutan dengan waktu yang lama, sehingga menyebabkan
korbannya terus menerus dalam keadaan cemas dan terintimidasi sedangkan
perilaku agresif dilakukan hanya dalam waktu satu kali kesempatan dan dalam
waktu yang pendek (Krahe, 2005).
Maraknya kasus-kasus perilaku kekerasan di lingkungan sekolah sudah
menjadi permasalahan yang mendunia, perilaku kekerasan juga terdapat di
negara-negara maju contohnya seperti di Amerika Serikat dan Jepang. Beberapa
fakta di Amerika Serikat tentang perilaku kekerasan di sekolah dikutip dari
National Institute for Children and Human Development, pada tahun 2001 bahwa
lebih dari 16% murid mengaku menjadi korban kekerasan di sekolah oleh murid
yang lain. Sedangkan menurut Elliot (2005), bahwa 6 dari setiap 10 anak usia
sekolah pernah melakukan kekerasan atau menjadi korban kekerasan di sekolah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3
digilib.uns.ac.id
Di Jepang, menurut Richard Werly dalam tulisannya Persecuted Even On The
Playground For Liberation 2001 bahwa 10% murid yang stress karena mengalami
kekerasan, sudah pernah melakukan bunuh diri paling tidak satu kali. Pada Januari
1999, Marie Bentham (8 tahun), seorang siswa sekolah dasar di Inggris,
menggantung diri di kamar tidurnya dengan alat lompat talinya karena merasa tak
mampu lagi menghadapi kekerasan di sekolahnya. Marie Bentham dianggap
sebagai korban bunuh diri termuda akibat kekerasan di sekolah di Inggris
(Coloroso, 2007)
Penelitian yang dilakukan di berbagai negara terhadap siswa berusia 8
hingga 16 tahun menunjukkan bahwa hingga 8% hingga 38% siswa adalah korban
kekerasan di sekolah (McEachern dkk, 2005). Sementara itu, menurut Swearer &
Doll (2001) bahwa angka kejadian dunia untuk kekerasan pada remaja di sekolah
adalah sekitar 10% siswa SMP (Sekolah Menengah Pertama) hingga 27% siswa
SMA (Sekolah Menengah Atas) tercatat sering mengalami kekerasan. Penelitian
terhadap usia 11 hingga 16 tahun di Spanyol, terhadap 25% anak yang mengaku
melakukan kekerasan pada teman-teman di sekolah, disampaikan juga bahwa lakilaki lebih agresif dan lebih banyak terlibat dalam perilaku kekerasan daripada
perempuan (McEachern dkk, 2005).
Kasus perilaku kekerasan juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 2005 Fifi
Kusrini (13 tahun), siswi SMPN 10 Bekasi nekad bunuh diri karena sering diejek
sebagai anak tukang bubur. Pada tahun 2006, Linda Utami (15 tahun) siswi kelas
2 SLTPN 12 Jakarta ditemukan gantung diri di rumahnya. Sebelum bunuh diri,
Linda diketahui depresi karena sering diejek teman-temannya lantaran pernah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
4
digilib.uns.ac.id
tidak naik kelas (Sejiwa, 2010). Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) Sejiwa terhadap lebih dari 1.300 orang pelajar
dan guru di Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta, menunjukkan bahwa setiap
sekolah pasti ada kasus kekerasan mulai dari yang ringan hingga berat (Sejiwa,
2010). Selain itu, menurut Aris Merdeka Sirait sebagai Ketua Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa kasus kekerasan cukup tinggi di
tahun 2011 terdapat 139 kasus dan di tahun 2012 terdapat 39 kasus yang
ditemukan di lingkungan sekolah (DetikNews, 2012).
Bukti lain mengenai fenomena kekerasan yang menjadi temuan di
lapangan adalah di SMA Negeri Karangpandan. Berdasarkan wawancara yang
dilakukan dengan guru bimbingan konseling, terjadi penyalahgunaan kekuasaan
yang dilakukan oleh siswa senior terhadap siswa junior di sekolah tersebut.
Penyalahgunaan wewenang tersebut seperti menertibkan siswa junior dengan
kekerasan fisik sehingga siswa junior menjadi takut dengan siswa yang lebih
senior, pemalakan serta perkelahian yang diakibatkan karena salah paham. Selain
itu, selama mengikuti MOS (Masa Orientasi Siswa) siswa junior mengalami
tindak kekerasan seperti didorong dan ditendang apabila perintah dari siswa senior
tidak dilaksanakan, dipermalukan di depan umum, dan diancam. Sehingga, dalam
kegiatan MOS di sekolah tersebut menjadi ajang balas dendam dan sudah menjadi
tradisi secara turun menurun.
Berdasarkan fenomena di atas, bahwa beberapa pihak sekolah menganggap
masalah tersebut belum dianggap serius karena masih terjadi berulang-ulang.
Biasanya masalah tersebut dianggap serius dan dikatakan sebagai perilaku
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
5
digilib.uns.ac.id
kekerasan di sekolah ketika perilaku tersebut telah mengakibatkan timbulnya
cedera atau masalah fisik pada murid yang menjadi korban kekerasan tersebut.
Padahal dari definisi kekerasan di sekolah sendiri tidak terbatas pada tindakan
kekerasan yang menyebabkan cedera fisik semata. Secara psikis juga akan
terganggu, sehingga akan mengalami trauma secara psikis.
Penelitian yang dilakukan oleh Damantari (2011) menyebutkan mengenai
bentuk-bentuk kekerasan di sekolah, kekerasan tersebut terjadi di kalangan (SMA)
Sekolah Menengah Atas. Bentuk-bentuk kekerasan di sekolah, antara lain :
menghina, menyoraki, melempar barang dengan sengaja, memukul, memanggil
nama dengan julukan, dengan sengaja menginjak kaki atau mendiamkan teman.
Dengan demikian, berdasarkan penelitian tersebut bahwa kekerasan tidak hanya
menyerang secara fisik seseorang tetapi juga secara psikis dan mengakibatkan
psikis seseorang akan menjadi terganggu.
Perilaku kekerasan dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang mendasari.
Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal
yang dapat menyebabakan memunculkan perilaku kekerasan adalah faktor
keluarga, lingkungan (rumah dan sekolah), dan teman sebaya. Sedangkan faktor
internal meliputi karakteristik kepribadian dan adanya sifat pengganggu yang
dimiliki oleh individu. Sifat penganggu muncul apabila terjadi interaksi yang
kurang baik antara sesama teman serta kurangnya identifikasi kelompok. Seperti
diketahui, anak pada masa sekolah akan mengalami perkembangan dalam
hubungan dengan orang lain dan mulai membentuk sebuah kelompok yang terdiri
dari anak-anak yang memiliki usia serta minat yang sama (Wong dkk, 2009).
commit to user
6
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Memahami masalah perilaku kekerasan, tidak terlepas dari memahami
pelaku dan korban kekerasan. Diketahui bersama, bahwa kekerasan bisa terjadi
dimana saja, bisa dilakukan oleh siapa saja dan dengan motif yang beragam,
sehingga pelaku dan korban bisa berasal dari kedua belah pihak laki-laki dan
perempuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mantan Menteri Pendidikan
Nasional periode tahun 2004-2009 Bambang Sudibyo yang menyatakan bahwa
kekerasan muncul dimana-mana. Kekerasan tidak memilih umur atau jenis
kelamin korban (Astuti, 2008). Biasanya yang menjadi korban adalah kelompok
laki-laki atau kelompok perempuan yang lemah secara fisik dibandingkan dengan
kelompok sebanya. Selain itu, yang menjadi korban kekerasan adalah kelompok
yang lebih muda (yunior). Korban laki-laki lebih sering mendapat kekerasan
secara fisik, akan tetapi apabila korban perempuan lebih sering mendapat
kekerasan secara tidak langsung, seperti melalui kata-kata.
Hubungan antara pelaku dan korban kekerasan terdapat perbedaan
kekuatan yang tidak seimbang, sehingga korban pada kondisi yang tidak berdaya
untuk mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang
diterima oleh korban. Hal ini sesuai dengan pernyataan Olweus (dalam Philips &
Cornell,
2011)
bahwa
adanya
ketidakseimbangan
kekuatan
tersebut
mengakibatkan pelaku akan mencederai, mengancam atau mempermalukan
korban. Dengan demikian, seseorang dikatakan sebagai korban apabila
dihadapkan pada tindakan yang negatif dari seseorang atau lebih, dilakukan
berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
7
digilib.uns.ac.id
Byrne (dalam Sullivan, 2000) menyatakan bahwa korban kekerasan
merasa malu, merasa bersalah dan merasa gagal karena tidak dapat mengatasi
tindak kekerasan. Selain itu, korban kekerasan akan selalu merasa tidak bahagia,
mengalami kecemasan, ketakutan dan selalu mengalami ketegangan lebih dari
batas normal. Sehingga, korban merasa sangat dirugikan dari segi akademis yaitu
anak akan merasa terganggu dalam kegiatan belajar, menurunkan prestasi
disekolah dan minat belajar. Kehadiran korban perilaku kekerasan di sekolah
seringkali memunculkan masalah bagi pihak sekolah. Dalam kegiatan di sekolah,
korban seringkali ditemukan takut untuk bersekolah. Hal ini terlihat dari tingginya
absensi korban untuk sekolah akibat keinginan korban untuk menghindar dari
kemungkinan dirinya terluka secara fisik akibat adanya kekerasan di sekolah.
sehingga, dengan terjadi kekerasan disekolah dapat menimbulkan trauma dan
akan mengalami gangguan pada proses belajar.
Salah faktor yang menyebabkan perilaku kekerasan adalah situasi di
lingkungan sekolah, situasi di sekolah yang tidak harmonis dan diskriminatif
menyebabkan terjadinya perilaku kekerasan di sekolah (Astuti,2008). Situasi yang
terjadi dalam lingkungan sekolah yang diciptakan oleh pola hubungan
antarpribadi dalam sekolah merupakan bagian dari iklim sekolah (Koehler dkk,
1981). Iklim sekolah sangat mendukung terjadinya perilaku kekerasan, apabila
guru dan berbagai pihak sekolah yang bersikap tidak peduli dan mengabaikan
perilaku kekerasan sehingga perilaku tersebut akan meningkat. Dengan
meningkatnya perilaku tersebut, korban yang ditimbulkan akan semakin tinggi.
Korban akan merasa tidak diperhatikan, sehingga mengalami ketakutan dan
commit to user
8
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bersikap tertutup terhadap guru. Hal tersebut akan membuat siswa menyimpan
masalah dan tidak menceritakan kepada guru karena takut apabila tidak dipercaya
sehingga menimbulkan resiko bagi siswa yang menjadi mengalami kekerasan.
Menurut Sergiovanni & Startt (dalam Hadiyanto, 2004) iklim sekolah
merupakan karakteristik yang menggambarkan ciri-ciri psikologis dari suatu
sekolah tertentu yang membedakan antara sekolah satu dengan sekolah yang lain
dalam mempengaruhi tingkah laku guru dan murid sekaligus mempengaruhi
perasaan psikologis yang dimiliki guru dan murid di sekolah tertentu. Dengan
demikian nampak jelas bahwa peran sekolah memberikan pengaruh terhadap
tingkah laku seorang murid di sekolah, terutama dalam menjalin hubungan
interaksi antara murid satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dengan adanya
iklim sekolah yang mendukung menjadikan perilaku kekerasan akan berkurang
terutama terjadi pada korban.
Pencapaian akademik yang rendah dan pemahaman yang rendah tentang
iklim sekolah juga berkaitan dengan tindak kekerasan di sekolah (Milson & Gallo,
2006). Berdasarkan pernyataan Espelage & Swearer (2009) iklim sekolah
merupakan faktor yang penting dalam mempertimbangkan bagaimana keyakinan
siswa mengenai kekerasan, gambaran tentang peran dari orang dewasa, dan
karakteristik kepribadian yang menyebabkan teradinya kekerasan di sekolah .
Sebuah studi mengungkapkan bahwa sekolah yang memiliki standar akademis
yang tinggi, keterlibatan orang tua yang tinggi, dan disiplin yang efektif, maka
kecenderungan tindak kekerasan di sekolah akan lebih sedikit (Ma dalam
Santrock, 2007)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
9
digilib.uns.ac.id
Berbagai pihak sekolah, terutama pada guru dan murid dituntut untuk
menciptakan iklim sekolah yang aman, dapat berinteraksi dengan baik dan
menyadari perbedaan setiap individu di dalam lingkungan sekolah. Sehingga
setiap permasalahan dapat diselesaikan dengan baik tanpa adanya kekerasan di
lingkungan sekolah. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
Magfirah dan Rachmawati (2010), menyatakan bahwa semakin negatif iklim
sekolah semakin tinggi pula kecenderungan perilaku kekerasan terjadi dan
sebaliknya semakin positif iklim sekolah semakin rendah pula kecenderungan
perilaku kekerasan.
Faktor personal yang mempengaruhi kekerasan adalah harga diri
(O’Connell, 2003). Harga diri merupakan tingkat individu terhadap kepuasan
dirinya, menerima dirinya, menghargai dirinya, dan mencintai dirinya, sehingga
dapat dikatakan bahwa harga diri merupakan tingkat kebanggaan individu
terhadap dirinya sendiri (Setiawan, 2005). Harga diri bukanlah faktor yang dibawa
sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan dibentuk dari suatu pengalaman
individu dalam berhubungan dengan individu lain. Dalam interaksi ini setiap
individu akan menerima tanggapan. Tanggapan yang diberikan tersebut akan
dijadikan cermin bagi setiap individu untuk menilai dan memandang dirinya
sendiri.
Sarwono dan Meinarno (2009) menyatakan bahwa harga diri dapat
mempengaruhi tingkah laku individu. Branden (1992) mengungkapkan bahwa
harga diri adalah evaluasi atau penilaian individu terhadap kemampuan dan
keberhargaan dirinya. Apabila individu menilai dirinya sendiri sebagai orang yang
commit to user
10
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak berharga, maka perilakunya akan menunjukkan ketidakberhargaan tersebut.
Begitu juga sebaliknya apabila individu yang menganggap dirinya berharga dan
bermanfaat, maka individu akan berusaha yakin terhadap dirinya.
Setiap individu memiliki penilaian terhadap dirinya sendiri, terutama pada
individu yang menjadi korban kekerasan di sekolah. Casidy (2009) berpendapat
bahwa korban kekerasan di sekolah memperlihatkan level distress psikologi yang
tinggi, perilaku tidak sehat, dukungan yang rendah dari orang tua maupun guru,
gaya pemecahan masalah yang buruk, dan identitas sosial yang rendah. Apabila
kekerasan di sekolah tetap dibiarkan maka dapat mengganggu keadaaan
psikologis sehingga korban memiliki harga diri yang rendah. Hal tersebut
diperkuat dengan sebuah studi longitudinal bahwa individu yang menjadi korban
kekerasan di sekolah maka mereka memiliki harga diri yang rendah dan lebih
depresi (Olweus dalam Santrock, 2007).
Menurut Rosenberg & Owens (dalam Mruk, 2006) karakteristik individu
yang memiliki harga diri rendah adalah hypersensitivity, tidak stabil, kepercayaan
diri yang kurang, lebih memperhatikan perlindungan terhadap ancaman daripada
mengaktualisasikan kemampuan dan menikmati hidup, depresi, pesimis, kesepian
dan mengasingkan diri. Dengan demikian, korban kekerasan di sekolah biasanya
memiliki harga diri yang rendah. Korban biasanya akan memandang dirinya tidak
berharga. Perasaan tidak berharga tersebut dapat tercermin pada rasa tidak
berguna dan tidak memiliki kemampuan baik dari segi akademik, interaksi sosial,
keluarga, dan keadaan fisiknya. Sehingga korban memiliki interaksi sosial yang
commit to user
11
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rendah dengan teman-temannya, menganggap sebagai anak yang tidak popular,
dan kemampuan sosial korban dengan teman sebayanya kurang.
Korban yang memiliki harga diri rendah biasanya akan bersikap patuh dan
pasif kepada pelaku. Sikap patuh akan ditujukan dengan mengikuti keinginan
pelaku, sedangkan bersikap pasif hanya diam dan tidak melakukan apa-apa ketika
kekerasan terjadi pada dirinya. Menurut Coutrney dkk (2003) bahwa sikap patuh
dan pasif yang ditujukan korban seringkali membuat korban tidak disenangi oleh
teman-teman sebayanya. Oleh karena itu, teman-teman sebayanya akan lebih
menghindari korban karena meraka takut akan menjadi korban berikutnya. Sikap
pasif korban akan cenderung menarik diri dalam hubungan dengan teman-teman
sebayanya.
Sehingga
korban
memilih
untuk
menunggu
ajakan
teman
daibandingkan untuk berinisiatif memulai pembicaraan. Akibatnya korban tidak
memiliki banyak teman di sekolah, seringkali merasa kesepian dan tidak betah
berada di sekolah.
Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan.
Alasan pemilihan SMA Negeri Karangpandan sebagai tempat penelitian karena
berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru bimbingan konseling,
ditemukan beberapa fakta yang berkaitan dengan penelitian ini. Lebih lanjut,
pemilihan siswa kelas XI sebagai subjek penelitian didasarkan atas beberapa
alasan. Siswa kelas XI masuk ke dalam kategori remaja pertengahan, hal ini
sesuai dengan pernyataan Monks, dkk (2004) bahwa remaja pertengahan berkisar
pada usia 15 sampai 18 tahun. Pada masa remaja, terjadi perubahan baik fisik,
psikis, maupun sosial yang pesat dan berbeda dari masa sebelumnya. Perilaku
commit to user
12
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kekerasan sebagai bagian pola perilaku antisosial yang berhubungan dengan
peningkatan kemungkinan perilaku menyimpang di masa remaja (Krahe, 2005).
Selain itu, siswa XI adalah siswa junior yang biasanya menjadi sasaran perilaku
kekerasan disekolah karena memiliki kekuasaan yang rendah dibandingkan siswa
senior dan siswa XI juga pernah mengalami MOS (Masa Orientasi Siswa) di
sekolah yang dilakukan oleh siswa senior.
Berdasarkan uraian mengenai perilaku kekerasan, iklim sekolah dan harga
diri yang telah dijelaskan serta krusialnya masalah tersebut pada masa remaja,
penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai hubungan dari ketiga
variabel tersebut. Oleh karena itu, penulis berinisiatif melakukan penelitian
dengan judul : “Hubungan Antara Iklim Sekolah Dan Harga Diri Dengan
Perilaku Kekerasan pada Siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan masalah penelitian ini
adalah:
1.
Apakah terdapat hubungan antara iklim sekolah dan harga diri dengan
perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan?
2.
Apakah terdapat hubungan antara iklim sekolah dengan perilaku kekerasan
pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan?
3.
Apakah terdapat hubungan antara harga diri dengan perilaku kekerasan pada
siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan?
commit to user
13
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui hubungan antara iklim sekolah dan harga diri dengan
perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan.
2.
Untuk mengetahui hubungan antara iklim sekolah dengan perilaku kekerasan
pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan.
3.
Untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan perilaku kekerasan
pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, antara lain :
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan memberikan pengembangan referensi di bidang
ilmu psikologi, khususnya psikologi pendidikan dan psikologi sosial dalam
memahami fenomena kekerasan di sekolah kaitannya dengan pandanganpandangan ilmu psikologi pendidikan dan psikologi sosial mengenai iklim
sekolah dan harga diri.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai suatu
pengetahuan mengenai iklim sekolah, harga diri dan perilaku kekerasan,
yang selanjutnya dapat memberi masukan untuk meningkatkan kualitas
pribadi menjadi lebih baik
b. Bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan
gambaran jelas berupa data empiris mengenai hubungan antara iklim
commit to user
14
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sekolah dan harga diri dengan perilaku kekerasan, yang selanjutnya dapat
dijadikan acuan dalam mendidik anak pada masa remaja.
c. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan
sekaligus dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian
selanjutnya, khususnya penelitian mengenai kekerasan di sekolah dengan
pengembangannya dengan variabel-variabel lain yang lebih kompleks
commit to user
Download