BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Teori Tentang Kepuasan

advertisement
BAB II
KERANGKA TEORITIS
2.1. Teori Tentang Kepuasan Pelanggan
2.1.1. Pengertian Kepuasan Pelanggan
Webster’s 1928 Dictionary, dalam Lupiyoadi (2013), menyatakan bahwa
pelanggan adalah seseorang yang beberapa kali datang ke tempat yang sama
untuk membeli suatu barang atau peralatan, atau pelanggan adalah sesorang yang
beberapa kali datang ke tempat yang sama untuk memenuhi apa yang diinginkan.
Jadi dengan kata lain, pelanggan adalah seseorang yang secara kontinu datang ke
suatu tempat yang sama untuk memuaskan keinginannya dengan memiliki suatu
produk (barang) atau mendapatkan jasa dan membayar produk (barang) atau jasa
tersebut.
Menurut Kotler dan Keller (2007), menyatakan bahwa kepuasan adalah
perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan
kinerja (hasil) produk yang dipikirkan terhadap kinerja (atau hasil) yang
diharapkan.
Pada dasarnya, kepuasan dan ketidakpuasan pelanggan atas produk
(barang) akan berpengaruh pada pola perilaku selanjutnya. Hal tersebut
ditunjukan pelanggan setelah proses pembelian atau mengkonsumsi produk.
Apabila pelanggan merasa puas, mereka akan menunjukan besarnya kemungkinan
untuk kembali membeli produk yang sama. Pelanggan yang puas cenderung akan
memberikan refensi yang baik atas produk terhadap orang lain.
6
Kepuasan pelanggan telah menjelma menjadi konsep ukuran keberhasilan
suatu bisnis saat ini. Karena hasil dari studi berkesinambungan di bidang
pemasaran menunjukan bahwa kepuasan pelanggan berkaitan erat dengan ukuranukuran finansial, seperti marjin operasi, Return On Investment (ROI), dan laba
akuntansi.
Berikut defenisi pengertian kepuasan pelanggan menurut para ahli.
Menurut Tse dan Wilton (1988) dalam Tjiptono (2012) bahwa kepuasan
pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi persepsi atas perbedaan
antara harapan awal sebelum pembelian (atau standar kinerja lainnya) dan kinerja
aktual produk sebagaimana dipersepsikan setelah memakai atau mengkonsumsi
produk bersangkutan.
Menurut Hill, Brierley dan MacDouglas (1999) dalam Tjiptono (2012)
kepuasan pelanggan merupakan ukuran kinerja “produk total” sebuah organisasi
dibandingkan serangkaian keperluan pelanggan (customer requirements).
Kepuasan pelanggan bukanlah konsep absolut, melainkan relatif atau tergantung
apa yang diharapkan pelanggan.
2.1.2. Faktor-Faktor yang Menentukan Kepuasan Pelanggan
Menurut Lupiyoadi (2001), terdapat lima faktor utama yang harus
diperhatikan perusahaan dalam menentukan kepuasan pelanggan, yaitu:
7
1. Kualitas Produk
Pelanggan akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukan
bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas. Konsumen rasional
selalu menuntut produk yang berkualitas untuk setiap pengorbanan
yang dilakukan untuk memperoleh produk tersebut. Dalam hal ini,
kualitas produk yang baik akan memberikan nilai tambah di benak
konsumen
2. Kualitas pelayanan
Kualitas pelayanan terutatama dibidang jasa, pelanggan akan merasa
puas bila mereka mendapatkan pelayanan yang baik atau yang sesuai
dengan yang diharapkan. Pelanggan yang puas akan menunjukan
kemungkinan untuk kembali membeli produk yang sama. Pelanggan
yang puas cenderung akan memberikan persepsi terhadap produk
perusahaan
3. Emosional
Pelanggan akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa
orang lain akan kagum terhadap dia bila menggunakan produk dengan
merek tertentu yang cenderung mempunyai tingkat kepuasan yang
tinggi. Kepuasan yang diperoleh bukan karena kualitas produk tetapi
nilai sosial atau self esteem yang membuat pelanggan menjadi puas
terhadap merk tertentu.
8
4. Harga
Produk yang mempunyai kualitas yang sama tetapi menetapkan harga
yang relatif murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada
pelanggannya
5. Biaya
Pelanggan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu
membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa
cenderung puas terhadap produk dan jasa tersebut.
2.1.3. Pengukuran Kepuasan Pelanggan
Pengukuran terhadap kepuasan pelanggan merupakan hal yang penting
bagi perusahaan, karena dengan mengetahui tingkat kepuasan pelanggan,
perusahaan
memperoleh
umpan
balik
dan
masukan
bagi
keperluan
pengembangan dan implementasi strategi peningkatan kepuasan pelanggan
selanjutnya.
Pada prinsipnya kepuasan pelanggan itu dapat diukur dengan berbagai
macam metode dan teknik, menurut Kotler (1994) dalam Tjiptono dan Diana
(2003) bahwa ada empat metode untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu:
1.
Sistem Keluhan dan Saran
Setiap perusahaan yang berorientasi pada pelanggan (customer oriented)
perlu menyediakan kesempatan seluas-luasnya serta akses yang mudah dan
nyaman bagi pelanggannya guna menyampaikan saran, pendapat, kritik dan
keluhan mereka.
9
2.
Ghost Shopping ( Mystery Shopping )
Perusahaan dapat mempekerjakan beberapa orang ghost shoppers untuk
berperan atau berpura-pura sebagai pelanggan potensial produk perusahaan
dan pesaing. Mereka diminta berinteraksi dengan staf penyedia jasa dan
menggunakan produk perusahaan. Mereka kemudian diminta melaporkan
temuan-temuannya berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan produk
perusahaan dan pesaing. Biasanya para ghost shoppers diminta mengamati
secara seksama dan menilai cara perusahaan dan pesaingnya melayani
permintaan spesifik pelanggan, menjawab pertanyaan, dan menangani setiap
keluhan.
3.
Lost Customer Analysis
Perusahaan berusaha menghubungi pelanggan yang telah berhenti
membeli atau beralih, untuk memperoleh informasi penyebab terjadinya hal
tersebut karena dapat dikatakan bahwa perusahaan telah gagal dalam
memuaskan pelanggannya. Ini juga dilakukan agar perusahaan dapat
menganalisanya sebagai pelajaran dan pengalaman agar tidak mengulangi
kesalahan yang telah dilakukan.
4.
Survei Kepuasan Pelanggan
Metode survei baik melalui pos, telepon, maupun wawancara pribadi
merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk mengukur kepuasan
pelanggan. Melalui survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan
umpan balik secara langsung dari pelanggan dan sekaligus memberikan tanda
positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya.
10
Pengukuran kepuasan pelanggan melalui metode ini dapat dilakukan dengan
berbagai cara, seperti:
a) Directly reported satisfaction
Pengukuran secara langsung menggunakan item-item spesifik yang
menanyakan langsung tingkat kepuasan yang dirasakan pelanggan.
b) Derived satisfaction.
Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama, yakni
mengenai tingkat harapan atau ekspektasi pelanggan terhadap kinerja
produk pada atribut-atribut tertentu yang relevan, serta persepsi
pelanggan terhadap kinerja aktual.
c) Problem analysis
Responden diminta untuk mengungkapkan dua hal pokok. Pertama,
masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan produk yang
ditawarkan oleh perusahaan. Kedua, saran-saran agar perusahaan
dapat melakukan perbaikan.
d) Importance – performance analysis
Responden diminta untuk menilai tingkat kepentingan berbagai
atribut relevan dan tingkat kinerja perusahaan pada masing-masing
atribut tersebut. Kemudian nilai rata-rata tingkat kepentingan atribut
dan kinerja perusahaan akan dianalisis dengan Importance –
Performance Matrix. Matrix ini sangat bermanfaat sebagai pedoman
dalam mengalokasikan sumber daya perusahaan yang terbatas pada
11
bidang-bidang spesifik dimana perbaikan kinerja bisa berdampak
besar pada kepuasan pelanggan.
2.2.
2.2.1.
Teori Tentang Kualitas Pelayanan
Pengertian Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan dimulai dengan kebutuhan pelanggan dan berakhir
dengan. Nilai yang diberikan pelanggan didasari oleh faktor kualitas pelayanan,
sejauh mana pelayanan memenuhi spesifikasi-spesifikasinya.
Kualitas menurut ISO 9000 dalam Lupiyoadi (2013) adalah derajat yang
dicapai oleh karakteristik yang inheren dalam memenuhi persyaratan. Persyaratan
dalam hal ini adalah kebutuhan atau harapan yang dintakan, biasanya tersirat atau
wajib. Menurut Goetsch dan Davis (1994) dalam Tjiptono (2012) kualitas dapat
dirumuskan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa,
sumber daya manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi
harapan.
Kualitas pelayanan apabila dikelolah, berkontribusi positif terhadap
kepuasan pelanggan. Menurut Lewis dan Booms (1983) dalam Tjiptono (2012)
kualitas layanan dapat diartikan sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan
yang diberikan mampu sesuai dengan ekspetasi pelanggan. Berdasarkan definisi
ini kualitas layanan
ditentukan oleh kemampuan perusahaan memenuhi
kebutuhan dan keinginan pelanggan sesuai dengan ekspetasi pelanggan.
Model kualitas pelayanan yang banyak dijadikan acuan dalam riset
manajemen dan pemasaran jasa adalah model SERVQUAL (service quality) yang
12
dikembangkan Parasuraman, Zeithaml, dan Berry pada tahun ini dikenal dengan
istilah Gap Analisis.
SERVQUAL dibangun atas adanya perbandingan dua faktor utama yaitu
persepsi pelanggan atas layanan yang nyata mereka terima (perceived service)
dengan layanan yang sesungguhnya diharapkan (expected service). SERVQUAL
adalah model kualitas pelayanan yang banyak menjadi acuan dalam riset
pemasaran yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985,
1988, 1990, 1991, 1993, 1994) dalam serangkaian peelitian mereka terhadap
sektor perbankan, industri dan jasa lainnya.
2.2.2. Dimensi Kualitas Pelayanan SERVQUAL
Koloborasi tiga pakar kualitas layanan, Parasuraman dkk memaparkan
secara rinci lima gap kualitas layanan yang berpotensi menjadi sumber masalah
kualitas layanan. Model yang dinamakan SERVQUAL ini dikembangkan dengan
maksud untuk membantu para manajer dalam menganalisis sumber masalah
kualitas dan memahami cara-cara memperbaiki kualitas layanan (Tjiptono, 2012).
SERVQUAL merupakan skala multi item yang digunakan untuk mengukur
persepsi pelanggan atas kualitas layanan meliputi lima dimensi. Terdapat lima
dimensi model SERQUAL yang dikembangkan Parasuraman dkk (1988) dalam
Lupoyadi (2013) yaitu sebagai berikut:
1.
Berwujud/Bukti Fisik (Tangible), yaitu kemampuan perusahaan
dalam
menunjukkan
eksistensinya
kepada
pihak
eksternal.
Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan
13
yang dapat diandalkan keadaan lingkungan sekitarnya merupakan
bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Hal ini
meliputi fasilitas fisik (contoh : gedung, gudang, dan lain-lain),
perlengkapan dan peralatan yang digunakan (teknologi), serta
penampilan pegawainya.
2.
Reliabilitas, yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan
pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya.
Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketetapan
waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan,
sikap simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.
3.
Daya tanggap (Responsiveness) , yaitu suatu kebijakan untuk
membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan
tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas.
Membiarkan pelanggan menunggu menciptakan persepsi yang negatif
dalam kualitas pelayanan
4.
Jaminan (Assurance) , yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan
kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa
percaya pelanggan kepada perusahaan. Hal ini meliputi beberapa
komponen antara lain komunikasi (communication), kredibilitas
(credibility), keamanan (security), kompetensi (competence), dan
sopan santun (courtesy).
5.
Empati (Empathy), yaitu memberikan perhatian yang tulus dan
bersifat individual atau pribadi kepada para pelanggan dengan
14
berupaya memahami keinginan pelanggan. Hal ini mengharapkan
bahwa suatu perusahaan memiliki pengertian dan pengetahuan
tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik,
serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.
2.2.3.
Lima Kesenjangan Kualitas Pelayanan (GAP)
Pelayanan merupakan faktor utama dalam mempengaruhi keputusan
pelanggan, menurut Zeithaml, Bitner dan Gremler (2009) mengemukakan bahwa
salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan adalah kualitas
pelayanan atau jasa, yaitu konsumen akan merasa puas apabila mereka
mendapatkan pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkan.
Parasuraman dkk (1988) dalam Lupiyoadi (2013), menyatakan secara rinci
adanya lima kesenjangan (Gap) yang menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi
mengenai kualitas pelayanan. Dikenal dengan istilah Gap Analysis Model
berkaitan erat dengan model kepuasan pelanggan yang didasarkan pada ancangan
diskonfirmasi (Oliver, 1997) dalam Tjiptono (2012).
Perbedaan
kualitas
pelayanan
ini
dikarenakan,
karena
biasanya
layanan/jasa bersifat intangible, kesenjangan komunikasi dan pemahaman antara
karyawan dan pelanggan berdampak serius terhadap persepsi dan kualitas
pelayanan. Secara visual, kesenjangan / Gap yang biasanya terjadi tersebut dapat
dilihat pada gambar halaman berikut.
15
Informasi dari
mulut ke mulut
Kebutuhan
pribadi
Pengalaman
masa lalu
Jasa yang
diharapkan
Kesenjangan 5
Jasa yang
diterima
Komunikasi
Pelanggan
eksternal
Pemasar
dengan
konsumen
Penyampaian
jasa
Kesenjangan 4
Kesenjangan 1
Kesenjangan 3
Perubahan dari
persepsi menjadi
spesifikasi
kualitas jasa
Kesenjangan 2
Persepsi manajemen
tentang harapan
konsumen
Gambar 2.1. Analisis Lima Kesenjangan (Gap)
Sumber: Lupiyoadi (2013)
16
Lebih lanjut, Lupiyoadi (2013) menjelaskan lima kesenjangan (Gap)
kualitas pelayanan tersebut, sebagai berikut:
1.
Kesenjangan persepsi manajemen.
Adanya perbedaan antara penilaian pelayanan menurut pengguna jasa
dan
persepsi
manajemen
mengenai
harapan
pengguna
jasa.
Kesenjangan ini terjadi karena kurangnya orientasi riset pemasaran,
pemanfaatan yang tidak memadai atas temuan riset, kurangya
interaksi antara pihak manajemen dan pelanggan, komunikasi dari
bawah ke atas kurang memadai, serta terlalu banyaknya tingkatan
manajemen.
2.
Kesenjangan spesifikasi kualitas.
Kesenjangan antara persepsi manajemen mengenai harapan pengguna
jasa dan spesifikasi kualitas jasa. Kesenjangan terjadi antara lain
karena tidak memadainya komitmen manajemen terhadap kualitas
jasa,
persepsi
mengenai
ketidaklayakan,
tidak
memadainya
standardisasi tugas, dan tidak adanya penyusunan tugas.
3.
Kesenjangan penyampaian jasa.
Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa.
Kesenjangan ini terutama disebabkan oleh faktor-faktor, seperti (a)
ambiguitas peran, yaitu sejauh mana karyawan dapat melakukan tugas
sesuai dengan harapan manajer, tetapi memuaskan pelanggan; (b)
konflik peran, yaitu sejauh mana karyawan meyakini bahwa tugas
mereka tidak memuaskan semua pihak; (c) kesesuaian karyawan
17
dengan tugas yang harus dikerjakannya; (d) kesesuaian teknologi
yang digunakan oleh karyawan; (e) sistem pengendalian dari atasan,
yaitu tidak memadainya sistem penilaian dan sistem imbalan; (f)
kendali yang diterima, yaitu sejauh mana karyawan merasakan
kebebasan atau fleksibilitas untuk menentukan cara pelayanan; (g)
kerja sama tim, yaitu sejauh mana karyawan dan manajemen
merumuskan tujuan bersama dalam memuaskan pelanggan secara
bersama-sama dan terpadu.
4.
Kesenjangan komunikasi pemasaran.
Kesenjangan antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal.
Harapan pelanggan mengenai kualitas jasa dipengaruhi oleh
pernyataan yang dibuat oleh perusahaan melalui komunikasi
pemasaran. Kesenjangan ini terjadi karena (a) tidak memadainya
komunikasi horizontal dan (b) adanya kecenderungan memberikan
janji yang berlebihan. Dalam hal ini, komunikasi eksternal telah
mendistorsi harapan pelanggan.
5.
Kesenjangan dalam pelayanan yang dirasakan.
Perbedaan perepsi antara jasa yang dirasakan dan jasa yang
diharapkan oleh pelanggan. Jika keduanya terbukti sama, perusahaan
akan memperoleh citra dan dampak positif. Namun, apabila yang
diterima lebih rendah dari yang diharapkan, kesenjangan ini akan
menimbulkan permasalahan bagi perusahaan.
18
Model yang diilustrasikan pada Gambar 2.1, garis putus-putus horizontal
yang memisahkan dua fenomena utama (pelanggan dan pemasar): bagian atas
merupakan fenomena yang berkaitan dengan pelanggan dan bagian bawah
mengacu pada perusahaan atau penyelia layanan. Selain dipengaruhi informasi
dari mulut ke mulut, layanan (jasa) yang diharapkan juga
komunikasi pemasar perusahaan (Tjiptono, 2012).
19
dipengaruhi
aktivitas
Download