Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (NSAIDs / AINS)

advertisement
Disusun Oleh:
Kelompok 9

Dinia Adni Gianina
(9306)

Zakiya Ammalia F
(9309)

Nurastuti Diah P.
(9310)

Dewi Susanti
(9313)

Suci Ananda
(9319)

Amelia Rosyida
(9320)
Prodi: Ilmu Keperawatan Gigi ‘12
Tugas Farmakologi - Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (NSAIDs /
AINS)
A. PENGERTIAN
Obat-obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan bahan aktif yang secara farmakologi
tidak homogen dan terutama bekerja menghambat produksi prostaglandin serta digunakan untuk
perawatan nyeri akut dan kronik dengan sifat mampu mengurangi nyeri, demam dengan inflamasi,
dan yang disertai dengan gangguan inflamasi nyeri lainnya. Obat-obat ini terutama bekerja dengan
jalan menghambat enzim siklo-oksigenase tetapi tidak untuk enzim lipoksigenase. AINS merupakan
sediaan yang paling luas peresepannya terutama pada kasus-kasus nyeri inflamasi karena efeknya
yang kuat dalam mengatasi nyeri inflamasi tingkat ringan sampai sedang. Dalam peresepan AINS, hal
yang terpenting adalah pertimbangan efek terapi dan efek samping yang berhubungan dengan
mekanisme kerja sediaan obat ini, terutama pemberian pada anak. Dimana efek samping AINS dapat
terjadi pada berbagai organ tubuh terpenting seperti saluran cerna, jantung dan ginjal.
AINS efektif mengurangi nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang seperti pada nyeri
dental. Untuk nyeri yang lebih berat diperlukan analgesik yang tidak menimbulkan ketergantungan,
misalnya tramadol. AINS memiliki efek analgesik pada nyeri yang berasal dari integument bukan
yang berasal dari viscera, seperti sakit kepala,myalgia dan abralgia. Beberapa AINS umumnya
bersifat anti-inflamasi, analgesik, dan antipiretik. Misalnya saja ketoprofen, ibfrofen, naproksen,
indometason, diklofenak, dan lain-lain. Efek antipiretiknya baru terlihat pada dosis yang lebih besar
daripada efek analgesiknya, dan AINS relative lebih toksik daripada antipiretik klasik, maka obat ini
hanya digunakan untuk terapi penyakit inflamasi sendi seperti arthritis rheumatoid, osteoarthritis,
spondilitis ankilosa dan penyakit pirai. Respon individual terhadap AINS bisa sangat bervaiasi
walaupun obatnya tergolong dalam derivate kimiawi yang sama. Sehingga kegagalan dengan obat
bisa dicoba dengan obat sejenis dari derivat kimiawi yang sama. Semua AINS merupakan iritan
mukosa lambung walaupun ada perbedaan gradasi antar obat-obat diatas. Efek toksik terhadap ginjal
lebih banyak dilaporkan. Obat-obat AINS yang termasuk dalam penghambat selektif COX-1 seperti
ketoprofen, memberikan efek analgesik yang cukup baik dan nyata akan tetapi sayangnya memberi
resiko toksisitas saluran cerna yang besar, dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan
perdarahan pasca bedah. Oleh karena itu penggunaan obat ini dihindari pada pasien dengan riwayat
gastritis atau ulkus peptikum dan hemofili. Selain itu, kita juga harus hati-hati pada pasien penerima
kortikosteroid atau obat-obatan antikoagulan. Nefritis interstisial, gagal ginjal, dan sindrom nefrotik
telah dilaporkan terjadi pada anak-anak setelah pemberian AINS dalam jangka panjang . Ibufrofen,
naproksen dan indometason diduga dapat memicu reaksi hipersensitivitas, terutama ruam kulit dan
bronkospasme.
B. NYERI DAN PENATALAKSANAANNYA
Nyeri merupakan sensasi yang bersifat rumit, universal, dan individual. Dikatakan bersifat
individual karena respon individu terhadap rasa nyeri berbeda-beda. Secara sederhana nyeri dapat
diartikan sebagai suatu sensasi yang tidak menyenangkan baik secara sensori maupun emosional yang
berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau faktor lain, sehingga individu merasa tersiksa,
menderita dan akhirnya aktifitas sehari-hari dan psikis terganggu.
Lima klasifikasi dan jenis nyeri :
1. Nyeri akut (ringan, sedang, berat)
2.
3.
4.
5.
Nyeri kronik
Nyeri superfisial
Nyeri somatik (tulang, otot rangka, dan sendi)
Nyeri viseral atau nyeri dalam
Obat-obat yang digunakan untuk mengobati nyeri ringan sampai dengan nyeri sedang
menggunakan analgesik nonnarkotik. Obat-obat ini efektif untuk nyeri tumpul pada sakit kepala,
dismenore (nyeri menstruasi), nyeri pada inflamasi, abrasi minor, nyeri pada otot, dan athritis ringan
sampai sedang.
No
Jenis nyeri
Definisi
Pengobatan
1
Nyeri akut
Nyeri terjadi mendadak dan
terjadi respon dalam
pengobatan.
Nyeri ringan : nonnarkotik (aseteminofen,
NSAID [aspirin, motrin, advi]).
Nyeri sedang : kombinasi nonnarkotik dan
narkotik (kodein dan aseteminofen)
Nyeri berat : narkotik
2
Nyeri kronik
Nyeri menetap salama 6
bulan dan sulit untuk
diobati atau dikendalikan.
Obat-obat nonnarkotik disarankan. Obat
narkotik harus :
1. Diberikan peroral
2. Waktu paruh panjang
3. Menyertakan terapi tambahan
4. Tidak menimbulkan depresi pernafasan
3
Nyeri superfisial
Nyeri di daerah permukaan
seperti kulit, dan selaput
mukosa.
Nyeri ringan : nonnarkotik
Nyeri sedang : kombinasi obat analgesik
narkotik dan nonnarkotik.
4
Nyeri viseral (nyeri
dalam)
Nyeri somatik
Nyeri dari otot polos dan
organ.
Nyeri dari otot rangka,
ligamen, dan sendi.
Obat-obat narkotik
5
Obat nonnarkotik : NSAID.
C. MEKANISME KERJA NSAIDs
NSAIDs diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin dan menghambat respons selular
selama inflamasi. Kebanyakan NSAIDs bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi
transmisi dan resepsi sitmulus nyeri.
Sebagian besar cara kerja NSAIDs berdasarkan hambatan sintesa prostaglandin, dimana kedua
jenis cyclo-oxygenase diblokir. Enzim cyclo-oxygenase terdapat dalam 2 isoform disebut COX-1 dan
COX-2. COX-1 esensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal di berbagai
jaringan khususnya ginjal, saluran cerna, dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi COX-1
menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. Siklooksigenase-2 ini diinduksi berbagai
stimulus inflamator, termasuk sitokin, endotoksin, faktor pertumbuhan. Tromboaksan A2, yang
disintesis trombosit oleh COX-1 menyebabkan agregasi trombosit, vasokontriksi dan proliferasi otot
polos. Sebaliknya prostasiklin (PGI2) yang disintesis oleh KOKS-2 di endotel makrovaskular
melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi, dan efek
anti-proliferatif.
NSAID ideal hendaknya menghambat COX-2 (peradangan) dan tidak menghambat COX1 (untuk perlindungan mukosa lambung), namun faktanya menghambat COX-1 dan COX-2.
NSAID juga menghambat lypo-oxygenase (pembentukan leukotrien). Meskipun telah diupayakan
secara intensif sejak akhir tahun 1980-an, hingga kini obat ideal tersebut belum ditemukan. Obat
ideal Dewasa ini hanya tersedia tiga obat dengan kerja agak selektif, artinya lebih kuat menghambat
COX-2 daripada COX-1, yakni COX-2 inhibitors nabumeton dan meloxicam. Obat celecoxib
(Celebrex, 1999) diklaim tidak menghambat COX-1 sama sekali pada dosis biasa, tetapi efek klinis
nya mengenai keamanan mukosa lambung belum bisa dipastikan.
Aspirin 166 kali lebih kuat menghambat COX-1 daripada COX-2. Penghambat COX-2
dikembangkan dalam mencari penghambat COX untuk pengobatan inflamasi dan nyeri yang kurang
menyebabkan toksisitas saluran cerna dan pendarahan. Anti inflamasi nonsteroid yang tidak selektif
dinamakan AINS tradisional (AINSt).
Berikut bagan Biosintesis Prostaglandin:
D. KLASIFIKASI NSAIDs
1. SALISILAT, SALISILAMID DAN DIFLUNISAL

SALISILAT
Asam asetil atau yang dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesik antipiretik dan
anti inflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas.
a. Kimia : Asam salisilat sangat iritatif, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar.
Derivatnya yang dapat dipakai secara sistemik, adalah estet salisilat dari asam organik
dengan substitusi pada gugus hidroksil, misal asetosal.
b. Farmakodinemik : Salisilat, khususnya asetosal merupakan obat yang paling banyak
digunakan sebagai analgesik, antipiretik dan anti inflamasi. Untuk memperoleh efek anti
inflamasi yang baik kadar plasma perlu dipertahankan. Kadar ini tercapai dengan dosis
aspirin oral 4gram per hari untuk orang dewasa.
c. Efek Terhadap Pernapasan : Salisilat merangsang pernapasan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Pada dosis terapi salisilat mempertinggi konsumsi oksigen dan
produksi CO2. Salisilat mencapai medula, merangsang langsung pusat pernapasan
sehingga terjadi hiperventilasi dengan pernapasan yang dalam dan cepat.
d. Efek Terhadap Keseimbangan Asam-Basa. : Dalam dosis terapi yang tinggi,
salisilat menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi CO2 terutama
di otot rangka karena perangsangan fosforilasi oksidatif. Ekskresi bikarbonat yang
disertai Na+ dan K+ melalui ginjal meningkat, sehingga bikarbonat dalam plasma
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
menurun dan pH darah kembali normal. Keadaan ini disebut alkalosis respiratoar yang
terkonpensasi, dan dijumpai pada orang dewasa. Yang lebih buruk biasanya terjadi pada
anak dan bayi yang mendapat dosis toksik.
Efek Urikosurik : Efek ini ditentukan oleh besarnya dosis. Dosis kecil (1g atau 2g sehari)
menghambat ekskresi asam urat, sehingga kadar asam urat dalam darah meningkat. Dosis
2 atau 3 g sehari biasanya tidak mengubah ekskresi asam urat. Dosis lebih dari 5 g per
hari terjadi peningkatan ekskresi asam urat melalui urin, sehingga kadar asam dalam
darah menurun. Efek Urikosurik bertambah bila urin bersifat basa.
Efek Terhadap Darah : Pada orang sehat aspirin menuebabkan perpanjangan masa
perdarahan. Dosis tunggal 650 mg aspirin dapat memperpanjang masa perdarahan kirakira 2 kali lipat. Aspirin dosis kecil digunakan untuk profilaksis trombosis koroner dan
serebral. Aspirin tidak boleh diberikan pada pasien dengan kerusakan hati berat,
hipoprotrombinema, defisiensi vitamin K dan hemofilia, sebab dapat menimbulkan
perdarahan.
Efek Terhadap Hati dan Ginjal : Salisilat bersifat hepatotoksik. Gejalan yang sering
terlihat hanya kenaikan SGOT dan SGPT, menunjukkan hepatomegali, anoreksia, mual
dan ikterus. Bila terjadi ikterus pemberian aspirin harus dihentikan karena dapat terjadi
nekrosis hati yang fatal. Salisilat dapat menurunkan fungsi ginjal pada pasien dengan
hipovolemia atau gagal jantung.
Farmokokinetik : Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorbsi dengan cepat dalam
bentuk utuh di lambung, tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas. Kecepatan
absorpsinya tergantung dari kecepatan disintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan
mukosa dan waktu pengosongan lambung. Sedangakan pemberian secara rektal lebih
lambat dan tidak sempurna. Asam salisilat diabsorpsi cepat dari kulit sehat, tetapi
keracunan dapat terjadi pada olesan pada kulit yang luas. Aspirin diserap dalam bentuk
utuh, dihidrolisis menjadi asam salisilat terutama dalam hati, sehingga hanya kira-kira 30
menit terdapat dalam plasma. Biotranformasi salisilat terjadi di mikrosom dan
mitokondria hati. Salisilat diekresi dalam bentuk metabolitnya melalui ginjal, keringat,
dan empedu.
Indikasi Antipiretik. : Dosis salisilat untuk dewasa ialah 325 mg - 650 mg setiap 3 atau 4
jam. Anak 15-20 mg/kgBB diberikan tiap 4-6 jam dengan dosis total tidak melebihi 3,6 g
per hari.
Analgesik : Salisilat bermanfaat untuk mengobati nyeri tidak spesifik misalnya sakit
kepala, nyeri sendi, nyeri haid, neuralgia dan mialga.
Demam Reumatik Akut : Dosis untuk dewasa 5-8 g per hari, diberikan 1 g per kali. Untuk
anak 100-125 mg/kgBB/hari, diberikan tiap 4-6 jam, setelah itu diturunkan sampai 60
mg/kgBB/hari.
Artritis Reumatoid : Salisilat masih dianggap obat standar pada studi perbandingan
dengan obat antireumatik lain. Artritis reumatoid dapat dikontrol dengan salisilat saja.
Dosisnya ialah 4-6 g/hari, tetapi dosis 3 g sehari kadang-kadang cukup memuaskan.
Penggunaan Lain : Aspirin digunakan untuk mencegah trombus koroner dan trombus
vena-dalam berdasarkan efek penghambatan agregasi trombosit.
n. Intoksikasi : Salisilat sering digunakan untuk mengobati segala keluhan ringan dan tidak
berarti sehingga banyak yang di salah gunakan. Keracunan salisilat menyebabkan
kematian, umumnya keracuanan salisilat bersifat ringan.
Salisilismus mirip sinkonismus dengan gejala nyeri kepala, pusing, tinitus, ganguan
pendengaran, penglihatan kabur, rasa bingung, lemas, rasa kantuk, banyak keringat, haus,
mual, muntah dan kadang diare. Suatu eksantem berupa pustula akneiform, mirip eksantem
pada bromismus, timbul jika yerapi salisilat berlangsung lebih dari seminggu. Salisilat
menimbulkan kelainan kulit berupa eritema, eksantem ekzematoid atau deskuamasi. Gejala
demam sangat mencolok terutama pada anak. Dehidrasi dapat terjadi karena hiperhidrolisis,
muntah dan hiperventilasi. Gejala ini timbul secara sentral , tidak disebabkan oleh iritasi lokal
pada mukosa lambung. Gejala saluran cerna lebih menonjol pada intoksikasi asam salisilat.
Kadang terjadi perdarahan yang sering ditemukan berupa petekie pada waktu autopsimayat
pasien yang mati karena intoksilasi salisilat. Terapi intoksikasi mencakup bilas lambung dan
koreksi gangguan cairan dam elektrolit. Bilas lambubg dilakukan untuk mengeluarkan semua
obat yang ditelan.
Sediaan : Aspirin (asam asetil salisilat) dan natrium salisilat merupakan sediaan yang palih
banyak digunakam. Metil-salisilat ( minyak Winterhreen), digunakan sebagai obat luar dalam
bentuk salep atau linimen dan dimaksudkan sebagai counter irritant bagi kulit. Asam salisilat
berbentuk bubuk, digunakan keratolik dengan dosis tergantung dari penyakit yang akan
dikbati.

SALISILAMID
Salisilamid adalah amida asam salisilat yang memeperlihatkan efek analgesik dan
antipiretik mirip asetosal, walaupun dalam baan salisolamad tidak diubah menjadi salisilat.
Efek analgesik antipiretik salisilamid lebih lemah dan salisilat. Obat ini menghambat
glukuronidasi obat analgesik misalnya Na salisilat dan asetaminofen, pemberian bersama
dapat meningkatkan efek terapi dan toksisitas obat tersebut. Dosis analgesik antipiretik untuk
oramg dewasa 3-4 kali 300-600 mg sehari, untuk anak 65 mg/kgBB/ hari diberikan 6 kai/
hari. Untuk febris reumatik diperlukan dosis oral 3-6 kali 2 g sehari.

DIFLUNISAL
Obat ini merupakan derivat difluorofenil dari asam salisilat, tetapi in vivo tidak
diubah memjadi asam salisilat. Bersifat analgesik dan hati inflamasi tetapi hampir tidak
bersifat antipiretik. Kadar puncak dicapai dalam 2-3 jam. Indikasi diflunisal hanya sebagai
analgesik ringan sampai sedang dengan dosisawal 500 mg disusul 250-500 mg tiap 8-12
malam. Efek sampingnya lebih ringan daripada asetosal dan tidak dilaporkan menyebabkan
gangguan pendengaran.
2. PARA AMINO FENOL
Derivat para amino fenol yaitu fenassetin dan asetaminofen atau biasa yang dikenal dengan
parasetamol. Asetaminofen (parasetamol)
merupakan metabolit
fenasetin dengan efek
antipiretik. Efek antiepiretik ditimbulkan oleh gugus amino benzen. Asetaminofen i Indonesia
lebih dikenal dengan nama parasetamol , dan tersedia sebagai obat bebas.
a. Farmakodinamik : efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat, yakni
mengurangi atau menghilangkan nyeri dari tingkat ringan sampai nyeri tingkat sedang.
Asetaminofen menghambat sintesis prostaglandin yang mengurangi sensasi nyeri selain itu
juga menghilangkan sakit kepala. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu
parasetamol dan fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik.
b. Farmakokinetik: parasetamol dan fenasetin diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran
cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh
plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar keseluruh cairan dalam tubuh. Kedua obat ini di
metabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan
asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat.
c. Efek Samping : reaksi alergi terhadap derivat para aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya
berupa eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada
mukosa. Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik terutama pada pemakaian
kronik. Masa paruh parasetamol pada hari pertama keracunan merupakan petunjuk
beratnya keracunan. Masa paruh lebih dari 4 jam merupakan petunjuk akan terjadinya
nekrosis hati dan masa paruh lebiih dari 12 jam meramalkan akan terjadinya koma hepatik.
3. PIRAZOLON DAN DERIVAT
Dalam kelompok ini termasuk dipiron, fenil-butazon, oksifenbutazon, antipirin, dan
aminopirin.
a. Indikasi : dipiron digunakan sebagai analgesik-antipiretik karena efek antiinflamasinya lemah. Sedangkan antipirin dan aminopirin tidak lagi dianjurkan
dikarenakan lebih toksik daripada dipiron. Dipron hanya diberikan bila dibutuhkan
analgesik-antipiretik suntikan atau apabila pasien tidak tahan dengan analgesikantipiretik yang lebih aman. Dosis untuk dipiron adalah tiga kali 0,3-1 gram sehari.
b. Efek samping : dapat menyebabkan agranulositosis, anemia aplastik,
dantrombositopenia. Maka dari itu penggunaannya sangat dibatasi atau dilarang sama
sekali. Dipiron juga dapat menyebabkan hemolisis, edema, tremor, mual dan muntah,
perdarahan lambung, dan anuria. Aminopirin tidak lagi diizinkan beredar atas dasar
membentuk nitrosamine yang bersifat karsinogenik.
E. DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Perawatan : Konsep dan Aplikasi Kebutihan Dasar Klien.
Salemba Medika : Jakarta
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007, Farmakologi dan Terapi Ed.5, Gaya baru,
Jakarta.
Fajriani,2008, Jurnal Pemberian Obat-obatan Anti-Inflamasi Nonsteroid (AINS) pada Anak , vol
15 no.3 2008, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Kee, J.L., and Hayes, E.R..1996. Farmakologi : Pendekatan Proses Perawatan. Penerbit EGC :
Jakarta
Mycek, MJ. Harvey Richard. 2001. Pharmacology 2nd. Lippincott. Philadlphia
Tjay, Tan Hoan., Rahardja, Kirana., 2007., Obat-Obat Penting, khasiat, penggunaan, dan efekefek sampingnya, 6th, ed., PT.Elex Media Komptindo
Download