Kelompok 6 - WordPress.com

advertisement
POLITIK HEGEMONI PARIWISATA: GLOBALISASI VS LOKALISASI
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah Pariwisata dalam Hubungan Internasional
Dosen Pengampu:
Drs. Usmar Salam, M.Int.Stu.
Kelompok 6
Fidel M. P. Simanjuntak
10/300031/SP/24243
Agnes Intan Puspadewi
13/345265/SP/25534
Annisa Nur Rahmatika
13/349888/SP/25868
Muhammad Ikhwan Anas
13/345981/SP/25595
Ellysa Zulfa Qonita
14/364528/SP/26055
Widyashri Dian M
14/368582/SP/26437
Ade Shofian Ali
14/364799/SP/26203
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
POLITIK HEGEMONI PARIWISATA: GLOBALISASI VS LOKALISASI
Di era kini, kita tidak bisa melepaskan sektor pariwisata dengan perkembangan
dunia internasional. Dengan semakin berkembangnya teknologi komunikasi, transportasi, dan
perekonomian dunia, sektor pariwisata semakin terbuka terhadap masuknya investasi dan
juga turis asing yang berperan besar dalam pembangunan ekonomi nasional. Inilah yang
kemudian dapat dikategorikan sebagai dampak dari proses globalisasi dunia yang semakin
mengikat hubungan simbiosis antara sektor pariwisata di tingkat lokal dengan aktor dan
situasi internasional. Hubungan itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh Pemerintah Jepang
untuk semakin mendorong dan mempromosikan sektor pariwisata lokal, yakni berusaha
untuk meningkatkan inbound tourism ke dalam negerinya.1
Pada masa ini, Jepang tengah mengalami permasalahan yang cukup sulit kaitannya
dengan perekonomian. Hal ini dikarenakan oleh stagnansi ekonomi yang dialami Jepang serta
semakin meningkatnya usia non-produktif di Jepang yang diperparah dengan menurunnya
angka kelahiran. Untuk mengatasi permasalahan ekonomi ini, pemerintah Jepang berusaha
untuk meningkatkan kinerja di sektor lain. Salah satunya adalah sektor pariwisata. Jepang
adalah negara yang cukup terkenal untuk menjadi destinasi wisata.
Namun pada kenyataannya masih terjadi permasalahan dalam sektor pariwisata di
Jepang, khususnya dalam perlakuan untuk para wisatawan mancanegara. Inilah yang menjadi
hambatan dalam mempromosikan inbound tourism di Jepang, sekaligus memperlihatkan
adanya tubrukan antara globalisasi dengan lokalisasi pariwisata. Antara lain Jepang tidak
mengikutsertakan para Gaijin (foreigners) dalam partisipasi di masyarakat, atau dapat
dikatakan masyarakat Jepang masih membatasi interaksi dengan orang asing. Selain itu
adanya larangan bagi orang asing untuk mengunjungi onsen (hot springs), hotel dan
restaurant tradisional di beberapa tempat juga masih menjadi isu dalam sektor pariwisata
Jepang.
Jepang dikenal sebagai negara yang menjunjung persamaan dan homogenitas dalam
masyarakatnya. Hal tersebut kemudian menjadi dasar pemahaman mengapa cukup sulit bagi
masyarakat Jepang untuk menerima orang asing dalam lingkungannya. Adanya target 10 juta
wisatawan internasional yang dikeluarkan oleh Japan Tourism Advisory Council’s
1
M. Cooper, R. Jankowska, & J. Eades, ‘The Politics of Exclusion? Japanese Cultural Reactions and the
Government’s Desire to Double Inbound Tourism,’ dalam P.M. Burns & M. Novelli (eds.), Tourism and
Politics: Global Frameworks and Local Realities, Elsevier, Oxford, 2007, pp. 71-82.
2
memunculkan dorongan untuk Jepang yang lebih terbuka. Dengan keterbukaan ini
diharapkan bahwa inbound tourism Jepang dapat mencapai target pada tahun 2010. Adanya
keterbukaan yang dipercepat dengan adanya globalisasi dan sektor pariwisata telah
menimbulkan beberapa permasalahan. Khususnya untuk masyarakat yang telah terbiasa
terisolasi dari dunia luar. Dengan adanya keterbukaan tersebut, masyarakat tersebut akan
lebih sering bertemu dengan orang-orang asing dan dapat mengarah pada rasa tidak nyaman
meski berada di lingkungannya sendiri. Situasi tersebut dapat dilihat di Beppu, sebuah kota
wisata di bagian selatan Pulau Kyushu. Sebelumnya di kota ini hanya ada segelintir orang
asing yang tinggal atau berkunjung. Namun pasca dibukanya Ritsumeikan Asia Pacific
University pada tahun 2000, banyak orang asing, yang sebagian besar adalah mahasiswa,
berdatangan ke kota ini. Tidak semua warga Beppu senang dengan hal ini, meraka takut akan
adanya clash of culture. Namun pada 2006, rasa takut ini berangsur-angsur menghilang
karena adanya pengaruh ekonomi yang positif.
Pandangan yang kurang baik bagi oleh masyarkat Jepang kepada orang asing juga
mendorong adanya xenophobia. Bentuk dari xenophobia antara lain ketakutan terhadap orang
asing, serta kekhawatiran akan adanya penyakit baru serta meningkatnya tingkat kriminalitas
akibat kedatangan orang asing. Bahkan muncul logika bahwa semakin banyak orang asing
maka akan semakin banyak penyakit dan kriminalitas. Pemberitaan media terkait
permasalahan yang menyangkut orang asing semakin memperparah situasi ini. Ethnocentrism
juga dapat menjadi bagian dari xenophobia. Untuk itu dalam sektor parawisata dimana
interaksi dan tindakan menjadi bagian penting, hal-hal yang dapat menyebabkan
ketidaknyamanan harus dihindari. Jika hal tersebut berjalan dengan baik, maka wisatawan
akan mendapat kenyamanan dan pihak pengelola dapat memperoleh citra yang baik serta
publisitas.
Permasalahan lain yang dialami orang asing, bahkan untuk para zainchi (penduduk
tetap), adalah diskriminasi. Bagi masyarakat Jepang, orang-orang asing ini tidak hanya
berasal dari tempat yang jauh namun juga memiliki kultur yang berbeda. Dua faktor utama
yang menjadi dasar munculnya ide tentang perbedaan adalah sejarah dan kultur. Hal tersebut
terkait dengan hubungan Jepang dan Eropa. Bagi orang Barat, orang-orang Jepang terkesan
berjarak dalam berperilaku. Hal ini dikarenakan oleh perbedaan dalam cara berkomunikasi.
Orang Jepang terkesan berbelit-belit (indirect) dalam mengatakan sesuatu. Sedangkan bagi
orang Jepang, cara bicara orang Barat yang berterus-terang dianggap tidak sopan. Meski
begitu cara berkomunikasi tidak selalu menjadi permasalahan. Permasalahan utama dari
adanya perbedaan ini adalah munculnya diskriminasi. Adanya diskriminasi dalam informasi,
3
pelayanan, serta perlakuan sehari-hari tidak dapat diabaikan dengan mengatakan bahwa hal
tersebut merupakan bagian dari kultur suatu negara. Hal ini harus segera diselesaikan
mengingat globalisasi sendiri telah mengaburkan batas-batas antar negara. Isu diskriminasi
menjadi sangat penting di Jepang dengan meningkatnya kesempatan pengembangan inbound
tourism.
Adanya diskriminasi serta xenophobia terhadap wisatawan asing memiliki kaitan
dengan Nihonjinron (sebuah teori tentang identitas Jepang). Terdapat dua sisi yang berbeda
tentang Nihonjinron, sisi pendukung dan sisi lawan. Pengikut Nihonjinron sering kali
dianggap sebagai xenophobic dan nasionalis, sedangkan lawannya sering kali dianggap
berusaha untuk memaksakan budaya asing kedalam masyarakat Jepang. Para pendukung
mengatakan bahwa Jepang tidak seharusnya berubah untuk menjaga keunikannya. Bagi
lawan, Jepang tidak berubah, dan tidak akan mau berubah karena alasan etnosentris
mendukung Nihonjinron. Nihonjinron tidak memiliki definisi yang pasti, namun dapat
didefinisikan sebagai pembicaraan yang hidup dan popular tentang identitas Jepang,
membedakannya dari bangsa lain dan menjadikan Jepang terlihat unik. Tidak adanya definisi
yang pasti tentang Nihonjinron dikarenakan Nihonjinron bukanlah suatu teori yang statis
namun mengikuti adanya perubahan dan terus mengalami perbaikan yang dapat berdasar
pada pengalaman seseorang, literatur, atau situasi yang baru. Terdapat dua tingkatan
Nihonjinron yaitu umum dan individual. Kedua tingkatan ini saling memengaruhi satu sama
lain. Dalam hal ini diharapkan bahwa para elite sebagai producer of knowledge mampu
memberikan pandangan tentang Nihonjinron kepada masyarakat umum. Dalam kaitannya
dalam sektor pariwisata, para elite dapat menggunakannya untuk mengatasi persoalan
diskriminasi. Proses ini tergantung pada sejauh mana kepentingan para elite, dan untuk saat
ini kepentingan tersebut adalah tentang bagaimana cara agar masyarkat mampu menerima
wisatawan mancanegara dengan baik.
Nihonjinron sebagai sebuah identitas nasional memiliki popularitas yang besar.
Berbeda dengan negara-negara lain yang tidak banyak membicarakan tentang keunikan dan
karakteristiknya, Jepang justru dengan bangga selalu menunjukkan bahwa negaranya adalah
negara yang memiliki keunikan dan berbeda dengan negara lain. Jepang tidak memiliki
kekhawatiran akan anggapan sebagai xenophobic dan terlalu nasionalis. Menurut Ismail
(1996), terdapat tiga tujuan utama Nihonjinron.2 Pertama adalah untuk membentuk kembali
identitas Jepang melawan ancaman dari luar, khususnya dalam hal budaya. Fungsi kedua
2
F. Ismail, ‘Japanese response to the “world outside,” New Strait Times (online), 19 March 1996.
4
adalah untuk menjelaskan keunikan Jepang dalam kesuksesan membangun ekonomi
sepanjang sejarah, terutama dalam periode 1950an dan 1960an. Dalam hal ini dapat dikatakan
Jepang ingin menunjukkan signifikansinya dalam pembangunan ekonomi dibanding dengan
negara lain pasca perang. Fungsi ketiga adalah untuk mempersatukan berbagai kelompok
berbeda yang tinggal di Jepang. Jepang sangat takut dengan keberagaman sehingga mereka
mendorong adanya keunikan untuk membuat suatu bangsa sebagai sebuah keseluruhan yang
homogen dan sukses. Meski begitu Befu (2001), disisi lan menganggap bahwa Nihonjinron
hanyalah sebuah pengganti bagi simbol nasional yang telah kehilangan makna pasca Perang
Pasifik.3 Pasca perang, Jepang membutuhkan sebuah simbol baru untuk identitas nasional.
Hal ini dilakukan untuk menjaga identitas dan memberikan kekuatan bagi orang-orang untuk
membangun kembali negara dan memulai lagi dari awal tanpa bergantung pada nasionalisme
dan militerisme.
Nihonjinron ini kemudian berpengaruh pada sektor pariwisata di Jepang. Hal ini
akan berpengaruh dalam cara berpikir orang Jepang tentang inbound tourism karena
Nihonjinron telah membentuk cara interaksi antara orang asing, baik dari domestik maupun
luar Jepang. Terdapat beberapa hal yang dapat menganggu internasionalisasi Jepang,
khususnya dalam inbound tourism. Pertama adalah perbedaan cara berpikir, berperilaku, serta
komunikasi. Tanpa adanya dialog yang baik maka pertukaran informasi akan sulit terjadi
antar masyarakat Jepang dan orang asing. Kedua adalah penekanan bahwa Jepang adalah
negara yang ‘murni.’ Jika Jepang mampu mengurangi penekanan dalam hal tersebut maka
situasi kehidupan orang asing di Jepang akan lebih baik. Oleh karena itu adanya modifikasi
Nihonjinron oleh para elite diharapkan juga mampu memberikan pengaruh dalam
peningkatan inbound tourism. Jepang sendiri baru dikatakan serius untuk menggarap inbound
tourism pada tahun 1990an. Sebelumnya Jepang sangat outbound-oriented dan domestically
oriented. Pada 1996, Jepang meluncurkan program Welcome Plan 21. Lalu pada tahun 2003,
diluncurkan Visit Japan Campaign. Adanya program tersebut ternyata belum menunjukkan
hasil yang berarti dilihat pada data tahun 2005 bahwa ada sebanyak 17,4 juta orang Jepang
yang pergi ke luar negeri, namun hanya 6,8 juta orang asing yang berkunjung Jepang.
Akibatnya Jepang mengalami defisit sebesat 15 milyar dollar AS.
Selain adanya Nihonjinron, pengembangan inbound tourism di Jepang juga memiliki
tantangan lain. Pertama, letak yang jauh serta transportasi yang mahal bagi target utama
inbound tourism Jepang yaitu Eropa. Kedua, persepsi akan tingginya harga-harga di Jepang.
3
H. Befu, Hegemony of homogeneity, Trans Pacific Press, Melbourne, 2001.
5
Ketiga, perlunya perhatian pada marketing dan strategi pariwisata. Budget pariwisata Jepang
dapat dikatakan sangat kecil yaitu 440 juta yen pada tahun 2002, bandingkan dengan Prancis
yang sebesar 5940 juta yen pada tahun 2000 atau Kanada yang mencapai 9870 juta yen pada
tahun 2001. Selain itu minimnya sumber daya manusia yang mendukung pariwisata serta
perbedaan kebijakan oleh pemerintah juga menjadi permasalahan. Keempat, pengaruh
globalisasi. Masyarakat lokal harus mampu memperluas pandangan untuk mengembangkan
inbound tourism. Selain itu mereka juga harus mampu mempresentasikan karakteristik yang
unik dan menarik terutama pada wisatawan inbound.
Untuk mengatasi permasalahan dalam pariwisata Jepang, pemahaman cross-cultural
dan penerimaan sangatlah penting. Nihonjinron merupakan hambatan dalam pariwisata
Jepang namun juga mampu menjadi blessing in disguise jika pemerintah mampu
memanfaatkannya. Adanya festival dan acara-acara yang merupakan bagian dari pelestarian
budaya juga mampu dijadikan daya tarik untuk inbound tourism. Meski begitu, inbound
tourism Jepang mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menjadi signifikan
karena adanya Nihonjinron. Namun dengan adanya upaya untuk mengembangkan
pemahaman bersama antara wisatawan asing dan negara secara keseluruhan, diharapkan citra
Jepang sebagai negara yang berjarak dan tidak ramah bagi wisatawan asing akan mampu
berubah menjadi lebih baik kedepannya.
Permasalahan globalisasi dan lokalisasi tak berhenti pada terbuka atau tertutupnya
budaya dan sistem masyarakat setempat. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, proses
globalisasi turut memberikan ruang dan kesempatan bagi aktor asing untuk terlibat di dalam
pembangunan dan pembangunan sektor pariwisata lokal. Hal tersebut dapat berupa investasi
untuk pembangunan infrastruktur pariwisata, hingga sektor jasa di bidang transportasi dan
akomodasi turis untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi turis. Keberadaan
atraksi internasional pun turut berperan dalam menarik perhatian wisatawan asing untuk
mengunjungi sektor pariwisata lokal.
Aktor internasional dalam hubungan ini tentunya diharapkan dapat turut serta
membangun sektor pariwisata lokal, dalam hal pembukaan lapangan kerja dan
pengembangan aktor pariwisata lokal dengan melibatkan masyarakat lokal untuk menyambut
kedatangan para turis yang diprediksikan meningkat. Akan tetapi,
hal yang terjadi di
lapangan pun tak selamanya demikian. Ini terkait dengan hegemoni aktor internasional yang
memiliki capital lebih besar dibandingkan dengan aktor lokal dan berujung pada kerugian
akibat tidak dilibatkannya aktor lokal dalam pengembangan pariwisata setempat. Salah satu
contohnya adalah perayaan MTV Europe Music Award di Edinburg.
6
Pada November 2003 Edinburg menjadi tuan rumah ajang kebudayaan terbesar yang
pernah diadakan di Skotlandia: MTV Europe Music Award Edinburg03. Secara sederhana,
gelaran ini diharapkan bisa melibatkan banyak penduduk lokal. Apalagi hal itu juga didorong
oleh para pemimpin politik dan para pengelola sektor publik di Skotlandia. Bukan tanpa
alasan, sebab ajang ini menjadi kesempatan besar bagi sektor pariwisata dan kreatif
Skotlandia untuk unjuk diri yang berpotensi menarik audiens global sekira satu miliar orang.
MTV memegang posisi sentral di dunia budaya anak muda bercakupan global.
Namun sayangnya, Edinburg03 tidak berjalan sesuai dengan harapan penduduk
Skotlandia. Alih-alih bisa menarik keterlibatan banyak penduduk lokal, justru ajang ini tetap
memakai penyelenggara global yang telah ditentukan sebelumnya. Bisa dibilang MTV EMA
pada 2013 terkesan hanya meminjam tempat dengan pelaksanaannya yang berat sebelah.
Dampaknya, di media massa lokal, Edinburg03 mendapatkan sorotan besar
berimpresi negatif. Surat kabar Skotlandia membaca kekecewaan penyelenggara lokal dan
mengamati hubungan antara pekerja lokal dengan pihak MTV. Konflik antara para elite lokal
dengan penduduk terkait pemilihan simbol utama identitas budaya sebagai indikator yang
dianggap merepresentasikan dan dianggap atraktif pun menjadi salah satu bukti
buruknyaketerbukaan Edinburg03. Namun, tensi yang lebih tinggi memang ditunjukkan
lewat ketegangan antara MTV dan penyelenggara lokal. Ketidakseimbangan antara
penyelenggara lokal dan penyelenggara global (pemilik event) menunjukkan bahwa inisiator
acara ini kadang kala kehilangan kontrol tentang gambaran dasar penyelenggaraan.Pun tidak
tercapainya kesepahaman bersama terkait maksud pemilihan lokasi serta definisi program
televisi yang baik versi MTV.
Di sisi lain, dengan ekonomi global yang pengarah pada penataan ulang struktur
serta mendorong terjadinya deindustrialisasi, dan aturan yang diterbitkan guna mengatur
kebijakan finansial, kota-kota di seluruh dunia kini berlomba-lomba untuk mendapatkan
investasi ke dalam, wisatawan, serta pelayanan yang lebih baik. Apalagi istilah realisme baru
(new realism) 4 membuat pemerintah kemudian memperkenalkan kota sebagai sebuah
lingkungan yang dinamis untuk tinggal, bekerja, serta mencari hiburan. Kota yang memiliki
imej buruk maupun yang memperoleh sedikit sorotan tidak akan dipertimbangkan dalam
kompetisi itu. Maka, semakin jelas bahwa awalnya Edinburg03 diharapkan mampu
memberikan exposure besar. Tidak hanya secara imej global, namun juga pemberdayaan
masyarakat lokal di gelaran internasional.
4
Hughes, G, Urban revitalisation: The use of festive time strategies, Leisure Studies, 1999, pp. 119–135.
7
Edinburg saat ini masih terus berbenah untuk mencapai tujuan ekonomi dan
kebangkitan kebudayaan. Di perjalanannya, langkah tersebut dibantu oleh Parlemen
Skotlandia, arus dari para profesional muda, investasi swasta dalam bentuk bar serta restoran,
ledakan pembangunan, mendorong pasar dengan meletakkan para retailer di sekitar pusat
kota, hingga menyematkan reputasi sebagai sebuah kota festival.5
Penelitian ini menganalisis isu kontemporer yang sudah terjadi dengan pendekatan
studi kasus. Untuk mengapresiasi tingkat pentingnya dan kompleksitas dari kondisi
kontekstual ajang Edinburg03—terkait hubungan antara event dan organisasi yang terlibat di
dalamnya—, Gavin Reid juga mengadopsi beragam metode lain. Penelitian ini dimulai
dengan mengikuti literatur yang berhubungan dengan politik lokal, ekonomi lokal, konteks
politik, serta MTV.
Kenyataannya, memang ada keuntungan ekonomi secara langsung yang diterima
oleh Edinburg dari keputusan MTV untuk menyelenggarakan ulang tahun EMA ke-10.
Antara lain tingkat okupansi hotel di kota diperkirakan 8000 kamar pada saat pekan event
berlangsung—yang disebut menghasilkan £4 juta. Namun itu adalah keuntungan tak
langsung yang dirasakan oleh pemerintah. Sedangkan penyelenggara lokal di posisi tidak
diuntungkan sebab tidak banyak dilibatkan. Padahal, promosi Edinburg yang sepaket dengan
penyelenggaraan EMA jauh lebih efektif untuk menjangkau wisatawan muda potensial
dibandingkan melalui pemasaran pariwisata konvensional.
Sumber resmi ELTB mempercayai bahwa dengan pemilihan Edinburg, MTV telah
mendorong kota tersebut secara instan untuk menjadi tujuan wisata utama bagi generasi muda.
Usaha kontemporer itu bahkan dianggap sepadan dengan usaha lima tahun melalui
pemasaran cara tradisional. MTV EMA juga berpotensi untuk menyingkirkan label lama
Edinburg sebagai “the Athens of the North”.
Masalah kembali membesar ketika mulai banyak suara yang beranggapan bahwa
MTV EMA seperti layaknya sirkus yang tidak memberikan keuntungan. Hal ini disebabkan
karena banyak penduduk yang justru tidak mendapatkan tiket untuk acara puncak. Padahal
sudah terjadi antrian pembelian tiket—bahkan ada yang sampai 24 jam antrioffline. Ternyata,
tiket untuk lokal jumlahnya sangat terbatas pun nomor hotline pemesanan hanya disediakan
satu jalur. Sponsor lokal pun tidak mendapat jumlah tiket yang memadai. Sangat bertolak
belakang dengan sponsor besar global—American Express, Vodafone Live, Replay Blue
Jeans, Footlocker—yang memperoleh alokasi sangat besar.
5
Watson, J. Back to the future. Scotland on Sunday, 30th November 2003.
8
MTV kemudian mencoba mengatasi kekisruhan tersebut dengan menggelar konser
“thank you” yang ditujukan bagi penduduk lokal. Tujuannya supaya mereka yang tidak bisa
menghadiri puncak acara bisa merasakan pengalaman perayaan yang sama. Namun
kenyataannya, hal itu tidak sepadan. Konser “thank you” terkesan setengah hati dan asal ada.
MTV kemudian juga mencoba untuk menebus kesalahannya dengan menyediakan slot
promosi di salurannya. MTV meneyediakan kesempatan lewat program 30 menit bernama
“Come to Scotland” yang diulang-ulang di saluran MTV selama beberapa hari menjelang
penyelenggaraan.
Tidak mengejutkan, dengan nama yang sudah populer serta tekanan perusahaan,
langkah-langkah yang diambil oleh MTV menarik terlalu banyak kritikan. Kebanyakan
kritikan yang dilayangkan menyebut bahwa ajang ini hanya menggunakan kerangka global,
namun mengabaikan realitas lokal. Seorang sejarawan asal Leith menyebut MTV EMA
sebagai “bukan ajang” dan “30 detik kilasan di panci” dengan “penduduk lokal harus
membayar untuk ke pesta di mana mereka tidak diundang”. Dia melihat bahwa event ini
diselenggarakan hanya untuk MTV. Penyelenggaraan event semacam ini senada dengan
pendapat Fredline, dkk tentangpotensi ketidakpuasan ketika tema yang diangkat tidak sesuai
dengan sosio-kultural dari komunitas setempat.6
Juru bicara Partai Konservatif bidang kebudayaan menyebut bahwa ajang ini
seharusnya diadakan di bulan saja, sejauh perhatian yang diberikan untuk masyarakat
Edinburg. Dia melihat bahwa MTV tidak menginginkan masyarakat lokal untuk dekat-dekat.
Sedangkan konselor dari Partai Demokrat menyatakan bahwa MTV tidak bisa membawa
sebuah event seperti ajang penghargaan ke Edinburg kalau kemudian mengeksklusikan warga
lokal.
Terlepas dari berbagai kritik yang menjelaskan bahwa MTV Europe Music Awards
Edinburg03 semacam pagelaran sirkus, jurnal ini sebenarnya juga melihatnya sebagai salah
satu andil dalam membentuk Edinburg sebagai kota paling terkemuka di Eropa utara per
2015. Bukti-bukti yang sudah dipaparkan sebelumnya menunjukkan bahwa hubungan antara
kerangka lokal dan realitas global sangatlah kompleks. Kasus ini menyoroti bagaimana
penggunaan subsidi publik dan pengiriman inklusi sosial tidak fokus terhadap sektor lokal.
Sebaliknya, dasar pemikiran yang dominan untuk menarik acara yang global, namun tidak
memperhitungkan seberapa besar kontribusinya terhadap pariwisata Edinburgh.
6
Fredline, L., Jago, L., & Deery, M, The development of a generic management scale to measure the
social impact of events. Event Management, 2002, pp. 23–37.
9
Konflik antara elit lokal dan penduduk mengenai simbol identitas budaya sebagai
indikator daya tarik lokal (Hughes, 1999) tampak jelas dalam acara ini. Tetapi, ketegangan
terjadi antara MTV dan penyelenggara lokal lebih dari itu. Ketidakseimbangan kekuatan
antara panitia lokal dan pemilik acara global dimaksudkan sebelumnya kadang-kadang
kehilangan kontrol atas gambaran besar yang diharapkan dari acara tersebut, menghasilkan
ketegangan antara tempat niat pemasaran mereka dan definisi MTV sebagai televisi yang
baik. Bukti ketegangan antara penyelenggara dan penduduk lokal atas gambar identitas
budaya digunakan dalam acara-acara (Hughes, 1999) kemudian memperpanjang ketegangan
antara panitia lokal dan pemilik acara global.
Terbukti ketika penyelenggara lokal dan representatif MTV tidak mampu
menentukan hasil akhir apa yang diharapkan. Penyelenggara lokal jelas melihat gelaran ini
untuk memperoleh posisi di dunia internasional sebagai sebuah kota yang patut difavoritkan
sehingga bisa meningkatkan kunjungan wisatawan global, pemberdayaan masyarakat, dan
menaikkan pasar investasi. Pemerintah melihat bahwa naiknya popularitas Edinburg sebagai
pemimpin destinasi wisata di Eropa turut dipengaruhi oleh jasa MTV dengan cara yang tidak
konvensional sehingga menarik wisatawan dari generasi muda—yang condong pada obsesi
terhadap para selebritas.
Sikap MTV yang hanya melibatkan sedikit masyarakat lokal dalam penyelenggaraan
event-nya memang sudah masuk ke kontrol editorialnya. Meskipun, apabila keterlibatan ini
bisa diperluas, akan mampu menciptakan momen yang bisa dikenang oleh para anak muda
yang terlibat, pun keuntungan jangka panjang membutuhkan inklusif publik lokal yang lebih
besar dalam konteks penyelenggaraan di suatu kota. Apabila hal itu timpang, sebuah
kerangka event lokal yang berdasarkan strategi pariwisata serta imej pemasaran, digabungkan
dengan realitas global dalam televisi milik MTV, selebritas, serta pemasaran itu sendiri,
inklusif masyarakat lokal akhirnya termaginalkan.
Posisi lainnya yang juga berperan dalam isu global lokal terkait MTV EMA
Edinburg03 ini adalah kehadiran media lokal yang secara terus menerus melakukan
bombardir bernada kritis. Di sini, kontrol informasi dari MTV diposisikan sebagai antagonis
oleh surat kabar lokal yang sudah terlanjur marah karena alokasi tiket bagi perusahaan
sponsor global lebih banyak dan diutamakan dibanding buat masyarakat setempat. Laporan
bernada negatif dari surat kabar lokal menyebut bahwa terlepas dari kekuatan realitas global
MTV EMA, himpunan media massa lokal melihat adanya agenda politik di baliknya. Kritik
lain yang berasal dari daerah Leith menganggap bahwa ajang yang telah terselenggara hanya
10
memberi keuntungan bagi MTV, bintang pop global, elite politik lokal, serta pemodal, bukan
penduduk lokal.
Globalisasi, Hegemoni, dan Interdependensi dalam Pariwisata
Kerangka teori yang dapat kita gunakan untuk menjelaskan fenomena pariwisata di
era global adalah dengan memahami bagaimana globalisasi bekerja dengan situasi
internasional yang memiliki hubungan hierarkhis antara aktor global yang juga menjadi
sebuah hegemon dengan aktor di pihak lokal. Jika dipandang secara umum, teori hegemoni
dan globalisasi merupakan dua teori yang berasal dari dua perspektif yang berbeda, dimana
teori hegemoni sangat erat kaitannya dengan realisme, begitu pula globalisasi dengan
perspektif liberalisme. Peter M. Burns mengatakan bahwa yang disebut dengan hegemoni
ialah adanya instrumen yang digunakan oleh aktor yang mendominasi untuk melakukan
persuasi terhadap aktor lain dalam praktik sistem politik dan sosio ekonomi. Sedangkan
mengenai globalisasi beliau menyatakan bahwa kata globalisasi sendiri mulai terkenal ketika
tahun 1980an yang menurut sebagian ahli telah mendorong dunia kedalam sistem neoliberal.
7
Globalisasi seringkali diasosiasikan dengan adanya peningkatan di sektor
transportasi, komunikasi dan teknologi informasi dan adanya perubahan dalam manajemen
organisasi dan perusahaan.
Dalam dunia pariwisata, kita bisa melihat teori hegemoni dengan cara memahami
bagaimana sejarah konsep hegemoni itu sendiri. Eksisnya kesenjangan antara negara-negara
maju dengan negara-negara berkembang mendorong terciptanya keadaan dimana beberapa
negara memiliki kekuatan yang lebih dan negara tersebut senantiasa berusaha untuk menjaga
bahkan menambah power yang mereka punya. Hegemoni sendiri pada awalnya dilihat dari
sisi keamanan, dimana negara dengan kualitas militer terbaik dan memenangkan perang
cenderung memiliki bargaining position yang lebih kuat dari negara lainnya. Namun seiring
berjalannya waktu dan berakhirnya perang dunia II, ada aspek-aspek lain yang muncul dan
turut mempengaruhi hegemoni negara, antara lain ekonomi, politik dan sosio-kultural.
Hadirnya organisasi internasional seperti World Bank dan WTO menurut teori
hegemoni merupakan salah satu upaya negara-negara maju untuk mempertahankan powernya,
terbukti dengan adanya sistem voting yang ditentukan oleh banyaknya insentif yang
diberikan oleh masih-masing negara anggota. Dengan adanya sistem ini, negara-negara maju
yang notabene sudah memiliki ekonomi yang stabil dapat memberikan insentif yang lebih
7
P. M. Burns & M. Novelli, Toourism and Politics: Global Frameworks and Local Realities, Elsevier,
Amsterdam, 2007, p. 177.
11
banyak. Selanjutnya, negara-negara maju dapat “menyetir” organisasi internasional tersebut
agar kebijakan yang diterapkan sejalan dengan kepentingan negara tersebut.
Apabila dihubungkan dengan dunia pariwisata, kita tidak bisa mengabaikan bahwa
pariwisata merupakan salah satu sektor yang cukup menjanjikan untuk menambah
pemasukan negara. Sementara di sisi lain, negara berkembang yang sudah engage dengan
organisasi internasional seperti WTO dan World Bank memang bisa mengembangkan dunia
pariwisatanya dengan menggunakan insentif dari organisasi internasional tersebut, namun
demi mendapatkan bantuan tersebut bukan tanpa syarat. Negara berkembang harus mengikuti
kebijakan-kebijakan yang sudah diatur dalam organisasi internasional tersebut, yang dalam
kalimat lain bisa juga disebut “sudah dibuat oleh negara-negara maju”. Sebagian ahli
menyatakan bahwa dunia pariwisata juga bisa dijadikan lahan investasi oleh negara-negara
maju. 8 Hal ini menjadi logis jika kita mengingat adanya bisnis transportasi antar negara,
travel organizer, dan lain-lain. kebijakan yang dibuat dalam pariwisata global mendorong
negara-negara untuk membuka pariwisata seluas-luasnya, dengan pemberlakuan barrier
seminimal mungkin.
Hegemoni atas negara berkembang dalam hal pariwisata dapat kita lihat melalui 3
kerangka kerja. Pertama yaitu melalui kacamata kultural, bahwasanya hegemoni dari negaranegara maju menyebarkan adanya kultur baru dalam masyarakat yang dikenal dengan nama
“Davos Culture Lifestyle”. Kultur Davos ini bisa kita identifikasi dengan adanya perubahan
masyarakat yang mulai melihat suatu isu melalui pemikiran-pemikiran/paradigma barat.
Kultur ini kemudian mendorong adanya permintaan yang semakin tinggi pada dunia
pariwisata.Framework kedua adalah melalui kacamata politik, dimana implementasinya
adalah melalui usaha mempeengaruhi kebijakan di organisasi internasional dengan outcome
adanya kebijakan yang sesuai dengan keinginan negara maju. Framework yang ketiga yaitu
ekonomi, framework ini lebih melihat pariwisata dari perspektif pemilik modal/bisnis, yang
kemudian mendorong adanya tourism supply.9
Di sisi lain, globalisasi juga turut andil dalam memberikan dinamika terhadap
pariwisata dunia. Pada dasarnya, globalisasi sendiri masih memiliki hubungan dengan teori
hegemoni. Menurut Burns dan Novelli, ada hubungan yang linear antara terjadinya hegemoni
dan globalisasi. Ketika negara maju telah berhasil membuat hegemoni diatas negara lain,
maka ia akan dengan mudah melakukan globalisasi paham yang mereka inginkan, yang
8
P. M. Burns & M. Novelli, Toourism and Politics: Global Frameworks and Local Realities, Elsevier, Amsterdam,
2007, p. 177
9
P. M. Burns & M. Novelli, p. 182.
12
kemudian sejalan dengan kepentingan nasionalnya.10 Globalisasi ini diiringi dengan adanya
perkembangan dalam berbagai sektor seperti transportasi, komunikasi, teknologi dan ilmu
pengetahuan yang memudahkan transfer nilai-nilai dari negara maju ke negara berkembang.
Dengan begitu, pada tahan globalisasi, negara maju semakin mudah menguatkan pondasipondasi hegemoninya dengan cara yang lebih halus atau tidak memerlukan penggunaan
senjata.
Problematika yang terjadi antara globalisasi dalam dunia pariwisata sendiri adalah
adanya ketidakcocokan dengan paham “lokalisasi”. Dalam beberapa kasus kita akan
menemukan adanya ketidakselarasan antara tuntutan globalisasi dengan realita kultur yang
ada dalam masyarakat. Sebagai contoh yaitu Jepang yang memiliki kultur lebih cenderung
tertutup dan tidak menyuai adanya kedatangan turis asing tentu mempengaruhi pariwisata
Jepang itu sendiri. Dengan sikap masyarakat Jepang tersebut, ada diskriminasi dan pelayanan
yang tidak maksimal terhadap turis asing, yang berawal dari adanya perbedaan kultur. Dari
sini, kita bisa melihat bahwasanya harus ada adaptasi antara masyarakat dengan globalisasi.
Ketika negara memang menginginkan adanya peningkatan dalam sektor pariwisata,
pemerintah harus bisa menjamin bahwa masyarakatnya memang sudah siap untuk menerima
nilai-nilai yang berbeda dari masyarakat asing.
Dalam kasus lain, ketika kita membayangkan bahwa globalisasi dapat meningkatkan
sektor pariwisata lokal, dalam beberapa kasus kita justru akan menemukan sebaliknya,
bahwasanya globalisasi mematikan sektor pariwisata lokal. Seperti yang telah disebutkan
dalam pengadaan acara MTV EMA di Edinburgh, terjadi clash antara adanya nilai globalisasi
dengan keinginan untuk memperkenalkan local wisdom. Satu pihak yaitu penyelenggara
MTV EMA memanfaatkan organizer lain yang bukan dari wilayah Edinburg itu sendiri,
sehingga dalam perspektif masyarakat Edinburg, MTV EMA hanya meminjam tempat tanpa
bisa memberikan nilai positif pada pariwisata di Edinburg. Harapan pertama dari masyarakat
Edinburg adalah ketika acara tersebut akan diadakan di wilayah mereka, maka mereka akan
bisa memperkenalkan budaya-budaya dan keunggulan pariwisata di Edinburg, namun
harapan itu harus pupus karena kebijakan dari penyelenggara MTV EMA. Disini kita bisa
melihat bagaimana globalisasi dalam hal ini adalah tuntutan masyarakat akan modernisasi
dan teknologi yang serba canggih tidak selalu bisa berjalan beriringan dengan nilai-nilai
tradisional yang ada dalam masyarakat dan ingin diangkat oleh masyarakat setempat tersebut.
10
P. M. Burns & M. Novelli, p. 178.
13
Akan tetapi, kita juga perlu melihat bahwa sesungguhnya hubungan antara globalisasi
dengan pembangunan sektor pariwisata lokal tidak lepas dari hubungan ketergantungan atau
interependensi antara aktor global seperti turis asing dan juga MNC terhadap sektor dan aktor
pariwisata di tingkat lokal dan nasional. Interdepensi ini pula yang kami yakini mampu
menjelaskan mengapa hubungan zero-sum yang terjadi dalam kasus Jepang dan Edinburg
yang telah dijelaskan sebelumnya juga terjadi di banyak tempat. Teori Interdependensi disini
merupakan sebuah teori yang lahir dari perspektif liberalis yang terdapat dalam hubungan
internasional. Pertama kali diperkenalkan oleh Harold H. Kelley (1921-2003) dan John W.
Thibaut (1917-1986) di dalam buku berjudul The Social Psychology of Groups developed in
Interpersonal Relations: A Theory of Interdependence (1978), mulanya teori ini berfokus
pada perilaku interaksi sosial antarindividu, namun berkembang lebih luas menjadi hubungan
antarnegara. Menurut Mohtar Mas’oed, interdepedensi adalah sebagai kontak atau pertukaran
(exchange) diantara bangsa – bangsa yang imbul akibat tindakan suatu pemerintah dan
sebagian oleh pemerintah lain. Pengertian interdepedensi ini bersifat positif, karena bisa
membuka suatu ikatan kerjasama yang saling menguntungkan di era globalisasi.11
Interdependensi menciptakan dunia hubungan internasional yang jauh lebih kooperatif
dan menguntungkan bagi pihak – pihak yang berinteraksi di dalamnya.12 Aktor transnasional
menjadi semakin penting dan kesejahteraan merupakan tujuan yang dominan dari negara.
Saling ketergantungan mengacu pada situasi yang di karakteristikkan dengan timbal balik
antar aktor negara yang berbeda, efek ini merupakan hasil dari transaksi internasional, yaitu
aliran arus barang, uang, manusia, dan informasi yang melewati batas – batas negara.
Dalam bidang pariwisata dan interdependensi, menurut IUOTO (International Union
of Official Travel Organization) yang dikutip oleh Spillane (1993), pariwisata semestinya
dikembangkan oleh setiap negara karena delapan alasan utama seperti berikut ini:
(1)Pariwisata sebagai faktor pemicu bagi perkembangan ekonomi nasional maupun
internasional. (2) Pemicu kemakmuran melalui perkembangan komunikasi, transportasi,
akomodasi, jasa-jasa pelayanan lainnya. (3) Perhatian khusus terhadap pelestarian budaya,
nilai-nilai sosial agar bernilai ekonomi. (4) Pemerataan kesejahtraan yang diakibatkan oleh
adanya konsumsi wisatawan pada sebuah destinasi. (5) Penghasil devisa. (6) Pemicu
perdagangan international. (7) Pemicu pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan
R. Lynch, ‘What is Globalization?,’ Global Strategy (daring), 2014, <http://www.globalstrategy.net/what-is-globalization/>, diakses 7 Maret 2016
12
S. Kagan, ‘The Two Dimensions of Positive Interdependence,’ Kagan Online (daring), 2007,
<http://www.kaganonline.com/free_articles/dr_spencer_kagan/299/The-Two-Dimensions-of-PositiveInterdependence>, diakses 4 Maret 2016
11
14
profesi pariwisata maupun lembaga yang khusus yang membentuk jiwa hospitality yang
handal dan santun, dan (8) Pangsa pasar bagi produk lokal sehingga aneka-ragam produk
terus berkembang, seiring dinamika sosial ekonomi pada daerah suatu destinasi. 13 Dengan
demikian, di era globalisasi ini akan sangat sulit melepaskan faktor internasional dengan
pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata lokal.
Penjelasan di atas juga menunjukkan bahwa faktor internal (domestik) memiliki andil
dalam melahirkan situasi interdependensi. Pariwisata menjadi sektor yang dikembangkan
oleh negara-negara yang berkembang sejak beberapa dekade terakhir, dan ditandai dengan
kemunculan negara-negara non-Barat yang berpartisipasi aktif dalam pariwisata internasional.
Motivasi utama suatu negara mempromosikan pariwisata adalah peningkatan perekonomian,
terutama bagi negara berkembang yang menjadikan industri pariwisata sebagai sarana untuk
melakkan pembangunan. Hal ini dikarenakan pariwisata berkaitan dengan keuntungan
ekonomi yang akan didapatkan oleh negara, baik negara tuan rumah ataupun negara asal turis.
Besarnya interdependensi pariwisata terlihat dari data World Tourism Organization
pada tahun 2000, dimana 698 juta orang melakukan perjalanan ke luar negeri dan
menghabiskan lebih dari 478 juta US dollar. 14 Gabungan dari pendapatan pariwisata
internasional dengan pendapatan transportasi yang menghasilkan lebih dari 575 juta US
dollar, dan membuat pariwisata menjadi penghasil ekspor terbesar di dunia diikuti oleh
produk otomotif, bahan kimia, minyak bumi, dan makanan.
Interdependensi di sektor pariwisata terjadi akibat meningkatnya interaksi antarnegara
di era globalisasi. Setiap negara memiliki keunggulan pariwisata masing-masing, baik itu
berupa resources, akses, ataupun kecanggihan di bidang teknologi. Keunikan di satu negara
yang mungkin tidak ditemui di negara lain, seperti budaya dan kebiasaan masyarakatnya juga
akan menarik minat turis dari negara lain untuk datang ke negara tersebut. Interdependensi
tersebut akan mengarah pada hubungan kerjasama antarnegara di sektor pariwisata.
Kerjasama pariwisata memungkinkan bagi negara-negara untuk menghasilkan barang dan
jasa secara langsung dan tidak langsung, menarik mata uang asing, menarik tenaga kerja, dan
memberi peluang investasi asing. Hal tersebut penting bagi negara untuk mengembangkan
perekonomian.
Dampak positif dari interdependensi pariwisata antarnegara bagi negara tuan rumah
antara lain adalah membuka lapangan kerja bagi penduduk lokal di bidang pariwisata dan
13
R. Utama, Pengantar Industri Pariwisata, Deepublish, Yogyakarta, 2014, p.6.
P. Keller, Tourism Development After the Crises: Global Imbalances-Poverty Alleviation, Die
Deutsche Nationalbibliothek, Berlin, 2011, p.47.
14
15
dibangunnya fasilitas dan infrastruktur yang lebih baik demi kenyamanan para wisatawan
yang juga secara langsung dan tidak langsung bisa dipergunakan oleh penduduk lokal.
Negara penerima turis juga mendapatkan devisa (national balance payment) melalui
pertukaran mata uang asing (foreign exchange). Meningkatnya interdependensi yang
mendorong turis dari suatu negara datang ke negara lain mendorong masyarakat negara
penerima turis untuk berwirausaha di bidang yang berkaitan dengan pelayanan pariwisata,
contohnya pedagang kerajinan, penyewaan papan selancar, pemasok bahan makanan dan
bunga ke hotel, dan lain-lain. Bidang lain seperti hotel dan resetoran sebagai tempat yang
tidak dapat dipisahkan dari turis yang melakukan perjalanan wisata juga mendapatkan
keuntungan ekonomi. Mereka dapat melihat berbagai kemungkinan, misalnya wisatawan
yang pergi berwisata bersama keluarganya memerlukan kamar yang besar dan makanan yang
lebih banyak dibanding turis yang bepergian seorang diri. Sementara dampak ekonomi tidak
langsung dapat dirasakan oleh pedagang-pedagang di pasar karena permintaan terhadap
barang (bahan makanan) akan bertambah.
Di sisi lain, terdapat dampak negatif interdependensi negara di bidang pariwisata.
Pertama, beberapa daerah tujuan wisata sangat menggantungkan pendapatan atau kegiatan
ekonominya pada sektor pariwisata. Sebagaimana diketahui, pariwisata sangat rentan
terhadap fluktuasi karena berbagai isu (terror, penyakit, konflik, dan lain sebagainya). Begitu
pariwisata mengalami penurunan, langsung atau tidak langsung hal itu akan menyebabkan
penurunan kegiatan ekonomi secara berantai. Kedua, meningkatkan angka inflasi dan
meroketnya harga tanah. Perputaran uang dalam aktivitas ekonomi di daerah tujuan wisata
sangat besar. permintaan barang konsumsi juga meningkat yang pada akhirnya akan memicu
laju inflasi. Selain itu, dibangunnya berbagai fasilitas pariwisata akan memicu harga tanah di
sekitar lokasi tersebut sampai harga yang tidak masuk akal. Ketiga, meningkatnya
kecenderungan untuk mengimpor barang-barang yang di perlukan dalam pariwisatasehingga
produksi lokal tidak terserap. Hal ini disebabkan karena wisatawan sebagai konsumen dating
dari belahan geografis dengan pola makandan menu yang penuh berbeda dengan masyarakat
lokal. Mereka juga memiliki gaya hidup dan kebiasaan yang sangat berbeda sehingga
kebutuhannya pun sangat berbeda.
Pariwisata bersifat musiman, tidak dapat di prediksikan dengan tepat, menyebabkan
pengembalian modal investasi juga tidak pasti waktunya. Pariwisata kelihatan hidup pada
bulan-bulan tertentu (musiman) sehingga pendapatan dari ekonomi paiwisata juga mengalami
fluktasi. Konsekuensinya, pengembalian modal investasi juga tidak dapat di pastikan
waktunya. Akibatnya terjadi ketimpangan daerah dan memburuknya kesenjangan pendapatan
16
antara beberapa kelompok masyarakat. Hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumber
daya ekonomi.
Ditambah lagi negara tujuan wisata juga harus menanggung timbulnya biaya-biaya
tersembunyi (hidden cost), khususnya yang berhubungan dengan kerusakan lingkungan dan
sumberdaya alam. 15 Hal ini berhubungan dengan degradasi alam, munculnya limbah yang
besar, polusi, transportasi, dan sebagainya yang memerlukan biaya untuk perbaikannya.
Negara juga harus siap menanggung degradasi budaya lokal karena kebudayaan asing masuk
ke dalam negaranya. Biaya tambahan juga harus ditanggung negara untuk menunjang
pelayanan terhadap turis yang datang, negara meningkatkan impor barang dari luar negeri,
terutama alat-alat teknologi modern yang digunakan untuk memberikan pelayanan bermutu
pada wisatawan dan juga biaya-biaya pemeliharaan fasilitas-fasilitas yang ada.
Permasalahan yang timbul akibat interdependensi antarnegara di sektor pariwisata
adalah seringkali keuntungan yang didapatkan negara maju jauh lebih besar dibandingkan
negara berkembang, padahal negara berkembang lebih membutuhkan keuntungan ekonomi
yang didapat dari pariwisata untuk melakukan pembangunan, memperoleh pendapatan
tambahan, dan membuka lapangan pekerjaan bagi warganya. Industri pariwisata bertumbuh
dalam mekanisme pasar bebas sehingga seringkali destinasi pada negara berkembang hanya
menjadi obyek saja, hal lainnya pengembangan pariwisata memang telah dapat meningkatkan
kualitas pembangunan pada suatu destinasi namun akibat lainnya seperti peningkatan hargaharga pada sebuah destinasi terkadang kurang mendapat perhatian dan korbannya adalah
penduduk lokal. Kerugian akibat interdependensi pariwisata yang harus ditanggung oleh
negara berkembang biasanya diakibatkan oleh kurangnya perhatian pemerintah terhadap
pariwisata dalam negeri, kesalahan kebijakan. Dengan begitu pemerintah dituntut untuk
menerapkan kebijakan pariwisata yang tepat bagi negaranya, apakah akan memilih untuk
menerapkan kebijakan inbond tourism, yaitu menarik turis masuk ke negaranya ataukah
outbond tourism, yaitu mengirim turis dari negaranya untuk berwisata ke negara lain.
Keterkaitan antara interdependensi aktor lokal dan internasional di era globalisasi ini
perlu kita kaji secara seksama, terlebih dengan situasi dimana saat ini negara-negara di Asia
Tenggara telah memasuki era Asean Economic Community yang baru saja dimulai pada 31
Desember 2015. AEC ini menandakan telah dibukanya gerbang liberalisasi perdagangan di
antara negara-negara di Asia Tenggara. Setiap masyarakat nantinya bebas untuk melakukan
15
D. Lusseau, ‘The Hidden Cost of Tourism: Detecting Long-term Effects of Tourism Using Behavioral
Information,’ Ecology and Society (daring), 12 Januari 2004,
<http://www.ecologyandsociety.org/vol9/iss1/art2/>, diakses 5 Maret 2016.
17
kegiatan ekonomi di seluruh negara anggota ASEAN. Dengan adanya Asean Economic
Community ini setiap negara kemudian dituntut untuk bisa menggali potensi yang dimilikinya
agar dapat bertahan dari derasnya arus liberalisasi.
Sektor Pariwisata yang menjadi salah satu poin dalam blueprint ASEAN Economic
Community ini, kemudian harus menjadi perhatian serius semua negara di Asia Tenggara.
Mengingat Asia Tenggara merupakan salah satu destinasi favorit para wisatawan
internasional. Tercatat bahwa jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke negara-negara
Asia Tenggara terus mengalami pertumbuhan sebesar sebesar 8,3%. 16 Indonesia sebagai
negara yang memiliki potensi pariwisata yang baik di antara negara-negara anggota Asean
yang lain diharapkan dapat memanfaatkan peluang liberalisasi ini. Indonesia juga dikenal
sebagai negara yang memiliki pertumbuhan pariwisata yang cukup pesat. Menurut World
Economic Forum (WEF) daya saing pariwisata Indonesia berada di peringkat 70 pada tahun
2013. 17 Hal inilah yang menurut Pemerintah Indonesia indonesia harus memanfaatkan
kesempatan di dalam MEA ini.
Namun terbukanya kesempatan tersebut, sekaligus menimbulkan sebuah dilema bagi
indonesia, terutama sektor pariwisata. Salah satu yang dihadapi pariwisata Indonesia adalah
kurangnya tenaga kerja yang terdidik serta terampil. Karena dalam MEA ini juga disepakati
mekanisme Mutual Recognition Agreement on Tourism Profesional yang disepakati di
Bangkok 9 November 2012. Dimana dengan adanya kebijakan ini para tenaga kerja yang
tercatat sebagai penduduk negara Asia Tenggara bisa dengan bebas bekerja di negara Asia
Tenggara yang lain. 18 Menurut data, Indonesia saat ini memiliki jumlah angkatan kerja
sebesar 122,38 Juta, dan 41% diantaranya adalah tenaga kerja yang hanya memiliki
pendidikan setingkat SD.19 Padahal dalam mekanisme MEA ini mobilitas penduduk di negara
Asia Tenggara sangat cepat. Hal ini didukung dengan adanya kebijakan bebas visa bagi para
wisatawan ASEAN yang berkunjung ke negara-negara anggota ASEAN. Hal ini pastinya
menuntut peningkatan kapasitas para pekerja di bidang pariwisata Indonesia, dalam rangka
menunjang sektor pariwisata di Indonesia.
16
Kementerian Pariwisata Republik Indonesia, ‘Siaran Pers Pelatihan SDM,’ Kemenpar, (daring) 17
Febuari 2016, <http://www.kemenpar.go.id/asp/detil.asp?id=3111 >
17
Hazliansyah, ‘Berpotensi Besar, Pariwisata Indonesia Harus Ambil Peluang Dalam MEA,’ republika,
(daring) 19 Agustus 2014, <http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/travelling/14/08/19/najmafberpotensi-besar-pariwisata-indonesia-harus-ambil-peluang-pada-mea> diakses 7 Maret 2016.
18
Y. Fukunaga, Assessing the Progress of Asean MRAs On Professional Service, Economic Research
Institute for ASEAN and East Asia, Maret 2015.
19
N. Fernandez,’ Harus Bersaing di ASEAN, 47% Angkatan Kerja Lulusan SD,’ solopos, (daring), 3
Januari 2016, <http://www.solopos.com/2016/01/03/mea-2016-harus-bersaing-di-asean-47-angkatan-kerjaindonesia-lulusan-sd-676992> diakses 7 Maret 2016.
18
Menurut Menteri Pariwisata Indonesia, saat ini Indonesia masih membutuhkan tenaga
kerja terdidik di bidang pariwisata sebesar 4 Juta jiwa tenaga kerja di bidang pariwisata
sampai tahun 2019. Karena pada tahun 2019 Indonesia membutuhkan 13 Juta Jiwa tenaga
kerja terdidik.20 Tenaga kerja ini dinilai sangat penting dalam rangka meningkatkan kualitas
pariwisata indonesia. Karena jika kita bandingkan pariwisata Indonesia dengan negara-negara
Asia Tenggara lainnya Indonesia berada di posisi ke-5 dengan nilai 4,0.21
Jika Indonesia dibandingkan dengan Malaysia. Indonesia berada dua tingkat di
bawahnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa aspek. Dari tingkat sumber daya manusia
Indonesia hanya memiliki poin sebesar 5,0. Dalam mengatasi permasalahan sumber daya
manusia di bidang pariwisata ini. Pada tahun 2014 Indonesia membangun Gerakan Akselerasi
Sertifikasi Tenaga Kerja di bidang pariwisata. Dengan menekankan pada peningkatan
kompetensi tenaga kerja dalam rangka menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Gerakan
Sertifikasi ini menargetkan agar pada tahun 2019 mencapai 250.000 tenaga kerja yang
memiliki sertifikasi Asean.22
Dari kasus tersebut bias dikatakan bahwa sebenarnya bangsa Indonesia belum siap
menghadapi AEC. Khususnya dari sumber daya masyarakat Indonesia yang secara kualitas
masih kalah dengan Negara-negara asia tenggara yang lain. Keterbukaan akses yang mudah
untuk masyarakat Asia Tenggara dengan adanya AEC ini tentu akan membuat faktor-faktor
lokal dalam negeri berubah jika tidak bisa disikapi dan diserap oleh masyarakat lokal itu
sendiri. Terlebih di bidang pariwisata, dengan adanya AEC ini masyarakat lokal mau tidak
mau siap tidak siap harus dapat menjaga karakter yang kuat dan berkompetensi, sehingga
akan dapat menjaga sustainability-nya. Selain itu, seperti yang diungkapkan pada teori
Globalisasi menurut buku Tourism and Politics : Global Frameworks and Local Realities
karangan P.M Burns dan M. Novelli bahwa Globalisasi ini diiringi dengan adanya
perkembangan dalam berbagai sektor seperti transportasi, komunikasi, teknologi dan ilmu
pengetahuan yang memudahkan transfer nilai-nilai dari negara maju ke negara berkembang,
memaksa pemerintah untuk melakukan langkah-langkah agar eksistensi masyarakat lokal
tidak luntur akan adanya kemudahaan dalam era global.
R. Rinaldi,’ Menteri Arif: Indonesia Kekurangan Tenaga Kerja Pariwisata,’ Tribun News, (daring), 26
November 2014, <http://www.tribunnews.com/nasional/2014/11/26/menteri-arief-indonesia-kekurangantenaga-kerja-bidang-pariwisata> diakses 7 Maret 2016.
21
S, Latif,’ 10 Keunggulan Wisata Malaysia dari Indonesia: Sebanyak 14 Faktor Dari World Economic
Forum,’ viva news, (daring), 4 Juni 2012, <http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/320516-11-keunggulanwisata-malaysia-dari-indonesia> diakses 7 Maret 2016.
22
Gerakan Akselerasi Sertifikasi Tenaga Kerja Pariwisata Dalam Rangka Menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN
20
19
Langkah-langkah yang sejauh ini sudah ditempuh oleh pemerintah yaitu dengan
memberikan softskill berupa Gerakan Akselerasi Sertifikasi Tenaga Kerja di bidang
pariwisata. Sertifikasi ini mempunyai fungsi ganda, yakni akan memberikan proteksi kepada
tenaga kerja pariwisata dalam negeri dari serangan tenaga kerja asing dan sekaligus
memberikan dan meningkatkan rekognisi dalam persaingan kompetensi global. Dengan telah
ditanda tangani skema sertifikasi ini, agar nantinya pihak-pihak yang bersangkutan segera
melaksanakan sertifikasi kompetensi pariwisata dengan kualifikasi ASEAN karena dalam
tool box ASEAN telah dilengkapi dengan perangkat asesmen, bagi lembaga pelatihan dan
pendidikan dapat segera menerapkan skema ini sebagai acuan dalam pengembangan
kurikulum sehingga akan memastikan link and match antara dunia pendidikan dan dunia
kerja. Hal ini dimaksutkan untuk peningkatan kualitas SDM masyarakat lokal agar mampu
bersaing dengan masyarakat global yang telah dipermudah dengan adanya AEC. Meskipun
langkah ini tidak secara instan didapatkan hasilnya, namun dengan adanya program dari
pemerintah ini setidaknya pemerintah telah membantu masyarakat lokal untuk menghadapi
masyarakat ekonomi Asean.
Dalam beberapa kasus kita akan menemukan adanya ketidakselarasan antara tuntutan
globalisasi dengan realita kultur yang ada dalam masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut
tentu dibutuhkan dukungan dari pemerintah serta partisipasi aktif dalam masyarakat agar
tenaga-tenaga kerja masyarakat lokal nantinya tidak tergeser oleh tenaga-tenaga dari luar
negeri yang akan bersaing dalam MEA. Dengan demikian, sektor pariwisata lokal Indonesia
di era globalisasi ini tidak akan tergerus oleh hegemoni aktor lokal dan terus mampu
berkembang menjadi sektor pariwisata yang bertingkat internasional.
20
Daftar Pustaka
Buku
Befu, H., Hegemony of homogeneity, Trans Pacific Press, Melbourne, 2001.
Cooper, M., Jankowska, R., & Eades, J., ‘The Politics of Exclusion? Japanese Cultural
Reactions and the Government’s Desire to Double Inbound Tourism,’ dalam Burns,
P.M. & Novelli, M. (eds.), Tourism and Politics: Global Frameworks and Local
Realities, Elsevier, Oxford, 2007, pp. 71-82.
Fredline, L., Jago, L., & Deery, M, The development of a generic management scale to
measure the social impact of events. Event Management, 2002.
Fukunaga, Y. Assessing the Progress of Asean MRAs On Professional Service, Economic
Research Institute for ASEAN and East Asia, Maret 2015.
Hughes, G, Urban revitalisation: The use of festive time strategies, Leisure Studies, 1999.
Giampiccoli, A. ‘Hegemony, Globalisation and Tourism Policies in Developing Countries’,
dalam Burns, P.M. & Novelli, M. (eds.), Tourism and Politics: Global Frameworks
and Local Realities, Elsevier, Oxford, 2007, pp. 175-192.
Keller, P. Tourism Development After the Crises: Global Imbalances-Poverty Alleviation,
Die Deutsche Nationalbibliothek, Berlin, 2011.
Leiper, Neil. Tourism System: An Interdisciplinary Perspective. Department of Management
Systems, Business Studies Faculty, Massey University, Palmerston North, New
Zealand, 1990.
Mathiesen, A. dan Wall, G. Tourism: Economic, Physical, and Social Impacts. Harlow:
Longman. 1982.
Reid, G. ‘The MTV Europe Music Awards Edinburgh03: Delivering Local Inclusion?’,
dalam Burns, P.M. & Novelli, M. (eds.), Tourism and Politics: Global Frameworks and
Local Realities, Elsevier, Oxford, 2007, pp. 263-278.
Utama, R. Pengantar Industri Pariwisata, Deepublish, Yogyakarta, 2014.
Watson, J. Back to the future. Scotland on Sunday, 30th November 2003.
Artikel Daring
Fernandez, N.’ Harus Bersaing di ASEAN, 47% Angkatan Kerja Lulusan SD,’ solopos,
(daring), 3 Januari 2016, <http://www.solopos.com/2016/01/03/mea-2016-harusbersaing-di-asean-47-angkatan-kerja-indonesia-lulusan-sd-676992> diakses 7 Maret
2016.
21
Hazliansyah, ‘Berpotensi Besar, Pariwisata Indonesia Harus Ambil Peluang Dalam MEA,’
republika (daring), 19 Agustus 2014, <http://www.republika.co.id/berita/gayahidup/travelling/14/08/19/najmaf-berpotensi-besar-pariwisata-indonesia-harus-ambilpeluang-pada-mea> diakses 7 Maret 2016.
Kagan, S. ‘The Two Dimensions of Positive Interdependence,’ Kagan Online (daring), 2007,
<http://www.kaganonline.com/free_articles/dr_spencer_kagan/299/The-TwoDimensions-of-Positive-Interdependence>, diakses 4 Maret 2016.
Kementerian Pariwisata Republik Indonesia, ‘Siaran Pers Pelatihan SDM,’ Kemenpar,
(daring) 17 Febuari 2016, <http://www.kemenpar.go.id/asp/detil.asp?id=3111 >
Latif, S. ’ 10 Keunggulan Wisata Malaysia dari Indonesia: Sebanyak 14 Faktor Dari World
Economic Forum,’ viva news, (daring), 4 Juni 2012,
<http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/320516-11-keunggulan-wisata-malaysia-dariindonesia> diakses 7 Maret 2016.
Lusseau, D. ‘The Hidden Cost of Tourism: Detecting Long-term Effects of Tourism Using
Behavioral Information,’ Ecology and Society (daring), 12 Januari 2004,
<http://www.ecologyandsociety.org/vol9/iss1/art2/>, diakses 5 Maret 2016.
Lynch, R. ‘What is Globalization?,’ Global Strategy (daring), 2014, <http://www.globalstrategy.net/what-is-globalization/>, diakses 7 Maret 2016.
Rinaldi, R.’ Menteri Arif: Indonesia Kekurangan Tenaga Kerja Pariwisata,’ Tribun News,
(daring), 26 November 2014,
<http://www.tribunnews.com/nasional/2014/11/26/menteri-arief-indonesia-kekurangantenaga-kerja-bidang-pariwisata> diakses 7 Maret 2016.
22
Download