Makalah Presentasi Filsafat Ilmu Kelompok 3 Ganjil

advertisement
TUGAS MATA KULIAH FILSAFAT ILMU
HUBUNGAN ANTARA ILMU, TEKNOLOGI, ETIKA, KEBUDAYAAN
DAN KRISIS KEMANUSIAAN
Disusun oleh:
Kelompok 3
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2009
Kelompok 3
Dewi Lusianingrum
06/KG/8071
Adi Pratama
06/KG/8073
Arkhia Rakhmah
06/KG/8075
Amalia Trisnaningtyas
06/KG/8077
Siti Hamizah
06/KG/8081
Steven Kumar Appoo
06/KG/8083
Fransiska
06/KG/8085
Diana Evikawati
06/KG/8087
Surya Puspita Wati
06/KG/8089
Lidya Noviana Arfiadi
06/KG/8091
Yohannes Dian Indrajati
06/KG/9095
Hanna Witarsa
06/KG/8097
Dear Patricia Sinaga
06/KG/8099
Yessica Wijaya
06/KG/8101
Vincentia Adya Paramitta
06/KG/8105
Veni Wira
06/KG/8107
Mutiara Cita Pertiwi
06/KG/8109
PENDAHULUAN
Filsafat berasal dari bahasaYunani, philosophia atau philosophos. Philos atau philein
berarti teman atau cinta, dan shopia shopos kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah.atau
berarti. Filsafat berarti juga mater scientiarum yang artinya induk dari segala
ilmupengetahuan. Filsafat dan Ilmu adalah duakata yang saling berkaitan baik secara
substansial maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat,
sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Ilmu atau Sains merupakan
komponenter besar yang diajarkan dalam semua strata pendidikan. Walaupun telah bertahuntahun mempelajari ilmu, pengetahuan ilmiah tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu dianggap sebagai hafalansaja, bukan sebagai pengetahuan yang mendeskripsikan,
menjelaskan,memprediksikan gejala alam untuk kesejahteraan dan kenyamananhidup. Kini
ilmu telah tercerabut dari nilai luhur ilmu, yaitu untuk menyejahterakan umat manusia.
Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu dan teknologi menjadi dibencana bagi kehidupan manusia,
seperti pemanasan global dan dehumanisasi. Ilmu dan teknologi telah kehilangan rohnya yang
fundamental, karena ilmu telah mengurangi bahkan menghilangkan peran manusia, dan
bahkan tanpa disadari manusia telah menjadi budakilmu dan teknologi. Oleh karena itu,
filsafat ilmu mencoba mengembalikan roh dan nilai luhur dari ilmu, agar ilmu tidak menjadi
boomerang bagi kehidupan manusia. Filsafat ilmu akan mempertegas bahwa ilmu dan
teknologi adalah instrument dalam mencapai kesejahteraan bukan tujuan.
Ilmu filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Tujuannya ialah mencari
hakihat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam kebenaran berpikir (logika), berperilaku
(etika), maupun dalam mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Etika baru menjadi ilmu
bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan
buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari
menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya
dengan filsafat moral. Manusia mempunyai seperangkat pengetahuan yang bisa membedakan
antara benar dan salah, baik dan buruk. Namun penilaian ini hanya bisa dilakukan oleh orang
lain yang melihat kita. Orang lain yang mampu memberikan penilaian secara objektif dan
tuntas, dan pihak lain yang melakukan penilaian sekaligus memberikan arti adalah
pengetahuan yang disebut filsafat. Filsafat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari kita
Direktur Avicena Center for Religions and Science (ACRoSS)-ICAS menyerukan agar
filsafat memilki komitmen intelektual terhadap
problema peradaban kontemporer,
mengeksplorasi potensi filsafat yang memiliki visi dan perspektif yang lebih mampu
menyentuh isu-isu kemanusiaan dan kebudayaan pada umumnya. Kesadaran bahwa kini
filsafat dan kebudayaan Barat modern telah membonceng imperialisme politik dan ekonomi
Barat didukung oleh keunggulan sains dan teknologi mereka, telah membelenggu cara berpikir
manusia modern umumnya. Telah 300 tahun ditanamkan bahwa filsafat itu adalah semata
pelayan sains positivistik (materialisme ilmiah), bahwa filsafat terbatas pada olah nalar
menganalisis bahasa, bahwa berfilsafat itu identik dengan berpandangan skeptisisme yang
menolak kebenaran universal, bahwa filsafat tidak berhubungan dengan isu-isu moral dan
kemanusiaan.
Dalam alam pemikiran postmodernis, Filsafat, dalam maknanya yang asli
sebagai ‘cinta kebijaksanaan’, sesungguhnya telah mati, dan ia telah bermetamorfose menjadi
miso-sophy (‘benci kebijaksanaan’).
Kebudayaan adalah aktivitas khas manusia yang berkembang seiring kemajuan daya
pikir suatu masyarakat. Meski tidak tepat untuk menggolongkan budaya manusia dengan
klasifikasi budaya primitif dan budaya maju, namun proses perkembangan kebudayaan terus
berjalan seiring dinamisasi kehidupan manusia. Filsafat kebudayaan menjadi penting, karena
memberikan penunjuk arah kemana manusia seharus berkembang dengan menyelidiki
sedalam-dalamnya siapa manusia itu, kemana jalannya dan kemana tujuan akhir hidupnya.
Interaksi antar bangsa-bangsa di dunia berkorelasi dengan proses saling mempengaruhi di
bidang kebudayaan. Pada makalah kali ini, kami akan membahas lebih lanjut tentang
hubungan antara ilmu, teknologi, etika, kebudayaan, dan krisis kemanusiaan.
A. Definisi Ilmu, Teknologi, Etika, Kebudayaan, dan Krisis Kemanusiaan
1) Ilmu
Pengertian kata “ilmu” secara bahasa adalah pengetahuan tentang sesuatu
yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang itu (Bakhtiar, 2007).
Ciri-ciri utama ilmu secara terminologi adalah:
1. Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat
diukur dan dibuktikan.
2. Koherensi sistematik ilmu.
3. Tidak memerlukan kepastian lengkap.
4. Bersifat objektif.
5. Adanya metodologi.
6. Ilmu bersumber didalam kesatuan objeknya.
2) Teknologi
Pada umumnya orang selalu memahami bahwa teknologi itu bersifat fisik,
yakni yang dapat dilihat secara inderawi. Teknologi dalam arti ini dapat diketahui
melalui barang-barang, benda-benda, atau alat-alat yang berhasil dibuat oleh
manusia untuk memudahkan realisasi hidupnya di dalam dunia. Hal mana juga
memperlihatkan tentang wujud dari karya cipta dan karya seni (Yunani: techne)
manusia selaku homo technicus. Dari sini muncullah istilah “teknologi”, yang
berarti ilmu yang mempelajari tentang “techne” manusia.
Tetapi pemahaman seperti itu baru memperlihatkan satu segi saja dari
kandungan kata “teknologi”. Teknologi sebenarnya lebih dari sekedar penciptaan
barang, benda atau alat dari manusia selaku homo technicus atau homo faber.
Teknologi bahkan telah menjadi suatu sistem atau struktur dalam eksistensi
manusia di dalam dunia. Teknologi bukan lagi sekedar sebagai suatu hasil dari
daya cipta yang ada dalam kemampuan dan keunggulan manusia, tetapi ia bahkan
telah menjadi suatu “daya pencipta” yang berdiri di luar kemampuan manusia,
yang pada gilirannya kemudian membentuk dan menciptakan suatu komunitas
manusia yang lain.
Awalnya teknologi dapat dipahami sebagai hasil buatan manusia, tetapi kini
teknologi juga harus dipahami sebagai sesuatu yang dapat menghasilkan suatu
kemanusiaan tertentu. Teknologi bukan lagi sebagai “barang”, tetapi telah menjadi
semacam “ke-barang-an” yang mampu melahirkan sejumlah cara hidup, pola
hidup, dan karakter hidup dari manusia, yang dulu menciptakannya. Demikianlah
teknologi tidak hadir lagi secara fisik-inderawi dalam barang atau benda atau alat,
melainkan telah hadir dalam bentuk sebagai suatu “roh” zaman, sistem sosial dan
struktur masyarakat manusia dalam suatu komunitas. Meminjam istilah
Mangunwijaya, maka teknologi telah menjadi “tuan” yang memperbudak, “raja’
yang otonom dan totaliter, bahkan “dewa” yang menuntut pengorbanan dari
manusia.
Dalam pemahaman seperti itu, maka teknologi jangan dianggap sebagai
suatu pokok yang enteng atau gampangan, melainkan ia harus dipandang sebagai
suatu pokok yang serius dan bahkan harus mengundang suatu kreativitas
pengkajian yang lebih cermat, dalam dan kritis, baik secara filosofis maupun
teologis. Dalam arti bahwa teknologi juga adalah persoalannya manusia dan dunia
ini.
(http://forumteologi.com/blog/2007/04/30/sefnat/)
Dengan orientasi pemahaman seperti itu, kita juga dapat mengerti bahwa
teknologi
sebenarnya
bukanlah
suatu
pokok
atau
tema
yang
parsial
sifatnya, melainkan adalah sesuatu yang total dan menyeluruh. Dapat dikatakan
bahwa teknologi sesungguhnya adalah tema atau pokok yang universal dan
global. Pemahaman atau pemaknaan terhadapnya tidak dapat dilakukan hanya
dengan mengandalkan pendekatan-pendekatan lokal tradisional sebagai yang adiluhung, suci dan bersih, lalu memandang teknologi sebagai sesuatu yang dari luar
(keBarat-Baratan), kotor dan jahat, melainkan memerlukan suatu pendekatan yang
melibatkan seluruh bangsa dan masyarakat untuk berbicara bersama. Pendekatan
seperti ini adalah begitu penting, mengingat bahwa teknologi selain mempunyai
manfaatnya bagi manusia, ia juga punya dampak-dampak yang merugikan
keberadaan manusia. Dan baik manfaat dan maupun kerugian itu, juga bukan
hanya menjadi bagiannya masyarakat kemana teknologi itu dimanfaatkan, tetapi
juga dialami oleh masyarakat dimana teknologi itu dimulai (dihasilkan atau
di’cipta’kan). Jadi sesungguhnya, teknologi itu adalah tema-nya dan pokok-nya
masyarakat global (Mangunwijaya, 1999).
Beberapa pengertian teknologi telah diberikan atara lain oleh David L.
Goetch yaitu “people tools, resources, to solve problems or to extend their
capabilities“. Sehingga teknologi dapat dipahami sebagai "upaya" untuk
mendapatkan suatu "produk" yang dilakukan oleh manusta dengan memanfaatkan
peralatan (tools), proses, dan sumberdaya (resources).
Pengertian yang lain diberikan oleh Arnold Pacey yang berbunyi "The
application os scientific and other knowledge to practical task by ordered systems,
that involve people and organizations, living things and machines". Dari definisi
ini nampak, bahwa teknologi tetap terkait pada pihak-pihak yang terlibat dalam
perencanaannya, karena itulah teknologi tidak bebas organisasi, tidak bebas budaya
dan sosial, ekonomi dan politik.
Definisi teknologi yang lain diberikan oleh Rias Van Wyk adalah
"Technology is a "set of means" created by people to facilitate human endeavor".
Dari definisi tersebut, ada beberapa esensi yang terkandung yaitu:
1. Teknologi terkait dengan ide atau pikiran yang tidak akan pernah berakhir,
keberadaan teknotogi bersama dengan keberadaan budaya umat manusia.
2. Teknologi merupakan kreasi dari manusia, sehingga tidak alami dan bersifat
artifisial
3. Teknologi merupakan himpunan dari pikiran (set of means), sehingga teknologi
dapat dibatasi atau bersifat universal, tergantung dari sudut pandang analisis
4. Teknologi bertujuan untuk memfasilitasi ikhtiar manusia (human endeavor).
Sehingga
teknologi
harus
mampu
meningkatkan
performa
(kinerja)
kemampuan manusia.
Dari definisi di atas, ada 3 entitas yang terkandung dalam teknologi yaitu:
ketrampilan (skill), logika berpikir (Algorithnia), dan perangkat keras (hardware).
Dalam pandangan Management of Technology, Teknologi dapat digambarkan
dalam beragam cara yaitu sebagai berikut:
1. Teknologi sebagai makna untuk memenuhi suatu maksud di dalamnya
terkandung apa saja yang dibutuhkan untuk mengubah (mengkonversikan)
sumberdaya (resources) ke suatu produk atau jasa.
2. Teknologi tidak ubahriya sebagai pengetahuan, sumberdaya yang diperlukan
untuk mencapai suatu tujuan (objective).
3. Technologi adalah suatu tubuh dari ilmu pengetahuan dan rekayasa
(engineering) yang dapat diaplikasikan pada perancangan produk dan atau
proses atau pada penelitian untuk mendapatkan pengetahuan baru.
3) Etika
Kata “etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang berarti kebiasaan,
adat, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bahasa Latin, etika disebut
dengan moral (Mos/Mores) yang memiliki pengertian adat kebiasaan atau
kesusilaam.
4) Kebudayaan
Kata "kebudayaan" berasal dari kata Sansekerta yaitu buddhayah, ialah
bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "akal". Dengan demikian
kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada pendapat
lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk
budidaya, yang berarti daya dari budi. Karena itu mereka membedakan budaya dari
kebudayaan. Dengan demikian budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta,
karsa dan rasa itu. (Kontjoroningrat, 1986). Adapun istilah dari bahasa Latin yaitu
colere, yang berarti "mengolah, mengerjakan", terutama mengolah tanah atau
bertani. Dari arti ini berkembang istilah culture (bahasa Inggris), sebagai segala
daya dan usaha manusia untuk mengubah alam.
Defini kebudayaan ialah cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri
dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan
sosial dalam suatu ruang dan waktu. Cara berpikir dan cara merasa itu menyatakan
diri dalam cara berlaku dan cara berbuat. Dengan demikian definisi itu dapat
dipersingkat sebagai berikut: cara berlaku atau berbuat dalam kehidupan, atau
dapat disingkat lagi menjadi “cara hidup” (Inggris: way of life). Jadi kebudayaan
meliputi seluruh kehidupan manusia. Segi kehidupan yang dimaksud identik
dengan apa yang diistilahkan oleh antropologi dengan cultural universal atau pola
kebudayaan sejagat, yaitu segi-segi kebudayaan yang universal ditemukan dalam
tiap kebudayaan. Antara masyarakat dan kebudayaan terjalin hubungan dan
pengaruh yang sangat dekat. Masyarakat adalah wadah kebudayaan dan
kebudayaan membentuk masyarakat. Masyarakat ialah kelompok besar manusia,
dimana hidup terkandung kebudayaan yang diamalkan oleh kelompok itu sebagai
kebudayaan mereka. Ruang dan waktu menentukan kebudayaan. Berbeda ruang,
dan waktu berbeda pula kebudayaannya.
(http://sites.google.com/site/filsafatindonesia/Home/b/budaya/)
5) Krisis kemanusiaan
Krisis adalah suatu keadaan dimana terjadinya peralihan dari keadaan lama
menuju keadaan baru yang belum pasti. Misalnya, metode lama telah ditinggalkan,
tetapi metode baru belum sepenuhnya dapat digunakan, sehingga yang terjadi
adalah kebingungan, karena belum adanya metodologi baru yang memadai.
(http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/66/)
Krisis kemanusiaan merupakan suatu peristiwa atau runtutan peristiwa
ancaman kritis terhadap kesehatan, keamanan, dan keberadaan atau eksistensi suatu
komunitas atau suatu kelompok besar dalam suatu wilayah luas.
(http://www.scribd.com/doc/20719218/Krisis-Kemanusiaan-di-Bangsa-BeradabIndonesia/)
B. Hubungan antara Ilmu dan Teknologi
Kekhususan ilmu dibandingkan pengetahuan terletak pada kemampuan
manusia untuk menyadari pengetahuan yang diperolehnya secara spontan dan langsung
itu serta membuatnya teratur dalam suatu sistem, sehingga bila orang lain menanyakan,
ia bisa menerangkan dan mempertanggungjawabkan. Dengan perkataan lain,
pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dikumpulkan, lalu diatur dan disusun
sehingga masuk akal dan bisa dimengerti orang lain.
Proses sistematisasi pengetahuan menjadi ilmu biasanya melalui tahap-tahap
sebagai berikut:
1. Tahap perumusan pertanyaan sebaik mungkin.
2. Merancang hipotesis yang mendasar dan teruji
3. Menarik kesimpulan logis dari pengandaian-pengandaian.
4. Merancang teknik men-tes pengandaian-pengandaian.
5. Menguji teknik itu sendiri apakah memadai dan dapat diandalkan.
6. Tes itu sendiri dilaksanakan dan hasil-hasilnya ditafsirkan.
7. Menilai tuntutan kebenaran yang diajukan oleh pengandaian-pengandaian itu
serta menilai kekuatan teknik tadi.
8. Menetapkan luas bidang berlakunya pengandaian-pengandaian serta teknik dan
merumuskan pertanyaan baru.
Ilmu adalah sistematisasi, metodis dan logis. Pengetahuan disistematisasikan
menjadi ilmu bisa lewata induksi dan deduksi.
Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin tahu manusia dalam taraf keilmuan.
Penelitian memegang peranan dalam:
 Membantu manusia memperoleh pengetahuan baru.
 Memperoleh jawaban suatu pertanyaan.
 Memberikan pemecahan atas suatu masalah.
Fungsi penelitian adalah membantu manusia meningkatkan kemampuannya
untuk menginterpreatasikan fenomena-fenomena masyarakat yang kompleks dan kaitmengait sehingga fenomen itu mampu membantu memenuhi hasrat ingin manusia. Ciri
berpikir ilmiah adalah skeptik, analitik, kritis.
Ilmu pengetahuan mendorong teknologi, teknologi mendorong penelitian,
penelitian menghasilkan ilmu pengetahuan baru. Ilmu pengetahuan baru mendorong
teknologi baru.
(Sutarjo, 1983)
C. Hubungan antara Ilmu dengan Etika
Pada sub-bagian ini kita akan membahas manusia sebagai manipulator dan
artikulator dalam mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal
konsep diri dari Freud yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id”
adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu
dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan
thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas
dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani
(JRakhmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka
(hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka
dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat
pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya, dalam
pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi
optimal, maka tentu nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia dalam
menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan. Dari hal tersebut,
kebaikan yang diperoleh manusia adalah nihil. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan
lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang
mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah
hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar
kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga
punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk
mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak
bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan
mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya
(ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik
atau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati
nurani. Bernaung di bawah filsafat moral (Soewardi, 1999). Etika merupakan tatanan
konsep yang melahirkan kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak
dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh
karena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang
kebaikan yang pelaksananya (eksekutor) tidak ditunjuk. Eksekutor-nya menjadi jelas
ketika sang subyek berhadapan pada opsi baik atau buruk, dimana yang baik itulah
yang menjadi kewajiban ekskutor dalam situasi ini.
D. Hubungan antara Ilmu dengan Kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil karya manusia, yang meliputi hasil akal, rasa, dan
kehendak manusia. Oleh karena itu maka kebudayaan tidak pernah berhenti, terus
berlangsung sepanjang jaman, merupakan suatu proses yang memerlukan waktu yang
panjang untuk memenuhi keinginan manusia untuk lebih berkualiatas.
Apabila kebudayaan adalah hasil karya manusia, maka ilmu sebagai hasil akal
pikir manusia juga merupakan kebudayaan. Namun ilmu dapat dikatakan sebagai hasil
akhir dalam perkembangan mental manusia dan dapat dianggap sebagai hasil yang
paling optimal dalam kebudayaan manusia.
Unsur kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian suatu
kebudayaan yang dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu. Dengan adanya
unsur tersebut, kebudayaan di sini lebih mengandung makna totalitas dari pada sekedar
penjumlahan unsur-unsur yang terdapat didalamnya. Oleh karena itu dikenal adanya
unsur-unsur yang universal yang melahirkan kebudayaan universal. Menurut C.
Kluckhohn ada tujuh unsur dalam kebudayaan universal, yaitu sistem religi dan
upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem
mata pencarian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, serta kesenian.
(Widyosiswoyo, 1996).
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan.Untuk mendapatkan ilmu diperlukan
cara-cara tertentu, memerlukan suatu metode dan mempergunakan sistem, mempunyai
obyek formal dan obyek material. Karena pengetahuan adalah unsur dari kebudayaan,
maka ilmu yang merupakan bagian dari pengetahuan dengan sendiriya juga merupakan
salah satu unsur kebudayaan (Daruni, 1991).
Selain ilmu merupakan unsur dari kebudayaan, antara ilmu dan kebudayaan ada
hubungan pengaruh timbal-balik. Perkembangan ilmu tergantung pada perkembangan
kebudayaan, sedangkan
perkembangan ilmu dapat memberikan pengaruh pada
kebudayaan. Keadaan sosial dan kebudayaan, saling tergantung dan saling mendukung.
Pada beberapa kebudayaan, ilmu dapat
berkembang dengan subur. Disini ilmu
mempunyai peran ganda yakni:
1. Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung pengembangan kebudayaan.
2. Ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak bangsa
(Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V)
E. Hubungan antara Ilmu dengan Krisis Kemanusiaan
Suatu kenyataan yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju ini,
ialah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam
hidup. Kemajuan industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup,
memberikan kesenangan dalam hidup, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak
sukar lagi untuk memenuhinya. Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa
kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu
kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh,
hidup semakin sukar dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran
mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan
lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.
Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi canggih untuk mengatasi berbagai masalah hidupnya, namun pada sisi lain
ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas
(ahlak) yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di indonesia ditandai oleh gejalah
kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada taraf yang menghawatirkan.
Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang sudah tertutup oleh
penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan. Untuk
memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian itu,
maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur ilmu agar
ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan umat manusia.
Dalam masyarakat beragama, ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan dari
nilai-nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan. Manusia
adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan mahluk yang
lain, karena manusia diberi daya berfikir, daya berfikir inilah yang menemukan teoriteori ilmiah dan teknologi. Pada waktu yang bersamaan, daya pikir tersebut menjadi
bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan.
Sehingga dia tidak hanya bertanggung jawab kepada sesama manusia, tetapi juga
kepada pencipta-Nya.
Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu alam dengan ilmuilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka
filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu
sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang
ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang
filsafat yang otonom. Ilmu memang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan secara
filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri yang sama.
Pertama, filsafat ilmu ingin menjawab pertanyaan laandasan ontologis ilmu;
obyek apa yang ditelaah? Bagaimana korelasi antara obyek tadi dengan daya tangkap
manusia (seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang menghasilkan ilmu? Dari
landasan ontologis ini adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus
bidang-bidang ilmu. Noeng Muhadjir dalam bukunya flsafat ilmu mengatakan,
ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta
universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau
dalam rumusan Lorens Bagus, menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas
dalam semua bentuknya.
Menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif
mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin
tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Tiang
penyangga yang kedua adalah Epistimologi ilmu atau teori pengetahuan. Ini
merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Dengan demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan
mempunyai peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dan
dengan itu pula tampaknya, muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada
jantung setiap ilmu pengetahuan dan juga para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk
penemuan dan perumusan berikutnya.
Kecenderungan yang lain ialah adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa
yang dihasilkan ilmu pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro maupun makro.
Dengan demikian tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan, semakin meningkat
keinginan manusia, sampai memaksa, merajalela, dan bahkan membabi buta.
Akibatnya ilmu pengetahuan dan hasilnya tidak manusiawi lagi, bahkan cenderung
memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan menghasilkannya.
Kecenderungan yang kedua inilah yang lebih mengerikan dari yang pertama, namun
tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan yang pertama.
Kedua kecenderungan ini secara nyata paling menampakkan diri dan paling
mengancam keamanan dan kehidupan manusia, dewasa ini dalam bidang lomba
persenjataan, kemajuan dalam memakai serta menghabiskan banyak kekayaan bumi
yang tidak dapat diperbaharui kembali, kemajuan dalam bidang kedokteran yang telah
mengubah batas-batas paling pribadi dalam hidup manusia dan perkembangan
ekonomi yang mengakibatkan melebarnya jurang kaya dan miskin. Ilmu pengetahuan
dan teknologi akhirnya mau tak mau mempunyai kaitan langsung ataupun tidak,
dengan setruktur sosial dan politik yang pada gilirannya berkaitan dengan jutaan
manusia yang kelaparan, kemiskinan, dan berbagai macam ketimpangan yang justru
menjadi pandangan yang menyolok di tengah keyakinan manusia akan keampuhan
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghapus penderitaan manusia.
Kedua kecenderungan di atas yang ternyata condong menjadi lingkaran setan
ini perlu dibelokkan manusia sendiri sehingga tidak menimbulkan ancaman lagi.
Kesadaran akan hal ini sudah muncul dalam banyak lingkungan ilmuwan yang prihatin
akan perkembangan teknik, industri, dan persenjataan yang membahayakan masa
depan kehidupan umat manusia dan bumi kita. Untuk itulah maka epistimologi ilmu
bertugas menjawab pertanyaan; bagaimana proses pengetahuan yang masih berserakan
dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana prosedur dan mekanismenya?
Tiang penyangga filsafat ilmu yang ketiga adalah aksiologi ilmu; Ilmu adalah
sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan
kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang
pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas
penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya.
Dengan kemajuan ilmu juga, manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti
transportasi, pemukiman, pendidikan, komonikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya
ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat
bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan,
manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya pembuatan bom yang
pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan
untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu
sendiri. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proposional dan memihak pada nilainilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai,
maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan
diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang
benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari
siilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan
pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika
keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggungjawab seorang ilmuwan
haruslah dipupuk dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan
tanggung jawab moral.
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut adalah
keterangan mengenainya. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti
nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Sedangkan
arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
pemasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat dikatakan bahwa obyek
formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa
etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam
suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma.
Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang
dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil
pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabilah subjek
sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya;
atau eksistensinya, maknanya dan faliditasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis.
Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan hasil
nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada
pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada. Kemudian
bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan haruslah bebas
dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksprimen-eksprimen.
Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika
seorang ilmuwa bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar
penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia
tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai
agama, nilai adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dengan
kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting.
Untuk itulah netralitas ilmu terletak pada epistimologinya saja, artinya tanpa
berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara
ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mapu menilai mana yang baik dan yang
buruk, yang pada hakekatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan
moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok
yang menakutkan.
Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip
etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam
ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat
menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang
buruk kedalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang dapat
mempertanggung jawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidahkaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang
seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang
bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemenelemen” kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan
norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani disini adalah penghayatan
tentang yang baik dan yang buruk dan dihubungkan dengan prilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral.
Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak
berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan
bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya.
Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab
seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk
dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan
menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah
itu
berupa
teknologi,
ataupun teori-teori
emansipasi
masyarakat,
mestilah
memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini
berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di
tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.
Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan teknologi di
masyarakat, yaitu menciptakan hal yang positif. Namun, tidak semua teknologi atau
ilmu pengetahuan selalu memiliki dampak positif. Di bidang etika, tanggung jawab
seorang ilmuwan, bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia
harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh
dalam pendirian yang dianggap benar, dan berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini,
merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secarah ilmiah. Di tengah
situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus tampil
kedepan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya
keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang
membangun, seorang ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan
memberikan contoh yang baik.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara
filosof dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri
merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan
tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni
untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan
hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri.
Sebagian yang lain cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan
upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk
menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka
bumi ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan
beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari lmu
pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jejas sangat
dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, dan lain sebagainya.
Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai
alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara
keseluruan.
Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan telah menjadi suatu sistem yang
kompleks, dan manusia terperangkap didalamnya, sulit dibayangkan manusia bisa
hidup layak tanpa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak lagi membebaskan
manusia, tetapi manusia menjadi terperangkap hidupnya dalam sistem ilmu
pengetahuan. Manusia telah menjadi bagian dari sistemnya, manusia juga menjadi
objeknya dan bahkan menjadi kelinci percobaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
telah melahirkan mahluk baru yang sistemik, mempunyai mekanisme yang kadangkala
tidak bisa dikontrol oleh manusianya sendiri. Suatu mekanisme sistemik yang semakin
hari semakin kuat, makin besar dan makin kompleks, dan rasanya telah menjadi suatu
dunia baru di atas dunia yang ada ini.
Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara etika
prakmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika prakmatik berorentasi pada
kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama denga ilmu pengetahua dan
kekerasan yang cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri yang bersifat
materialistik. Etika pembebasan manusia, bersuifat spiritual dan universal itu bisa
muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi karena menolak etika
prakmatik yang dirasakan telah menodai prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan agama
yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan kemandirian.
Kemajuan ilmu pengetahuan dikembalikan pada tujuan semula yaitu filsafat
ilmunya sebagai sarana untuk memakmurkan umat manusia dimuka bumi bukan malah
sebaliknya mengancam eksistensi manusia.
Diharapkan perkembangan ilmu yang begitu sepektakuler di satu sisi dan nilainilai agama yang statis dan universal disisi lain dapat dijadikan arah dalam
menentukan perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa adanya bimbingan agama
terhadap ilmu dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin
mensejahterahkan manusia, tetapi justru merusak dan bahkan menghancurkan
kehidupan mereka.
F. Hubungan antara Teknologi dengan Etika
Secara umum, etika menuntut kejujuran dan dalam iptek ini berarti kejujuran
ilmiah (scientific honesty). Mengubah, menambah, dan mengurangi data demi
kepentingan tertentu termasuk dalam ketidakjujuran ilmiah. Mengubah dan menambah
data dengan rekaan sendiri dapat dimaksudkan agar kurvanya memperlihatkan
kecenderungan yang diinginkan. Mungkin penelitinya sendiri yang menginginkan agar
hasil penelitiannya sesuai dengan teori yang sudah mapan. Mungkin penaja (sponsor)
peneliti itu yang ingin menonjolkan citra produk industrinya. Mereka-reka data
semacam itu merupakan the sin of commission. Sebaliknya membuang sebagian data
yang “memperburuk” hasil penelitian adalah the sin commission. Penghapusan data
yagn “jelek” itu mungkin dimaksudkan oleh penelitinya agar analisis datanya
memperlihatkan keterandalan (realibility) yang lebih baik. Lebih jahat lagi kalau dosa
komisi itu dilakukan untuk menyembunyikan efek samping yang negatif dari produk
yang diteliti. Ketidakjujuran ilmiah semacam ini pernah dilakukan peneliti yang ditaja
pabrik penyedap rasa (monosodium glutamate) di Thailand.
Kalau data yang dibuang itu dinilai sebagai penyimpangan dari kelompok yang
sedang diteliti, dan karenanya harus ikut diolah, kejujuran ilmiah menuntut penjelasan
tentang penghapusannya. Perlu juga disebutkan patokan yang dipakai untuk
menentukan ambang nilai data yang harus ikut dianalisis, misalnya patokan Chauvenet.
Sekarang umat manusia menghadapi masalah-masalah yang sangat serius, yang
menyangkut teknologi dan dampaknya pada lingkungan. Kenyataan ini memunculkan
pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang etika:
a. Norma-norma etika (dan agama) yang seperti apakah yang harus kita patuhi
dalam penelitian di bidang bioteknologi, fisika nuklir dan zarah keunsuran,
serta astronomi dan astrofisika?
b. Dalam penelitian kedokteran dan genetika, apakah arti kehidupan?
c. Dalam penelitian dampak teknologi terhadap lingkungan, bagaimana
seharusnya hubungan manusia dengan alam, baik yang nirnyawa (the
inanimate world) maupun yang bernyawa.
d. Apakah masyarakat yang baik itu, dan dapatkah dikembangkan pengertian
yang universal tentang kebaikan bersama yang melampaui individualisme,
nasionalisme, dan bahkan antroposentrisme?
Dalam bioteknologi (termasuk rekayasa genetika) dan kedokteran, pertanyaan
tentang arti, mulai dan berakhirnya kehidupan sangat penad (relevant). Apakah orang
yang berada dalam keadaan koma dan fungsi faal serta metabolismenya harus
dipertahankan dengan alat-alat kedokteran elektronik dalam jangka panjang yang tidak
tertentu masih mempunyai kehidupan yang berarti ? Tak bolehkah ia minta (misalnya
sebelum terlelap dalam keadaan seperti itu), atau diberi, euthanasia berdasarkan
informed consent dari keluarganya yang paling dekat? Ini mengacu ke arti dan
berakhirnya kehidupan. Mulainya kehidupan, penting untuk diketahui atau ditetapkan
(dengan pertimbangan ilmu dan agama) untuk menentukan etis dan tidaknya menstrual
regulation (“MR”) dan aborsi, terutama dalam hal indikasi medis dari risiko bagi ovum
yang telah dibuahi dan terlebih-lebih lagi bagi ibunya, kurang meyakinkan.
Bioteknologi/rekayasa genetika mungkin hanya boleh dianggap etis jika tingkat
kegagalannya yang mematikan embrio relative rendah dan – bila menyangkut manusia
– hanya mengarah ke eugenika negatif. Tanaman dan organisme harus disikapi dengan
hati-hati, baik dari segi perkembangan jangka panjangnya yang secara antropo sentries
mungkin membahayakan kehidupan kita, maupun dari segi pengaturannya dalam tata
hukum dan ekonomi internasional yang biasanya lebih menguntungkan negara-negara
maju. Etiskah untuk mematenkan organisme dan tanaman yang telah diubah secara
genetic (genetically modified)? Adilkah itu dan apakah itu tidak mengancam
kelestarian plasma nutfah? Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah keadilan agihan
(distributive justice). Pengagihannya bukan hanya secara spatial, tetapi juga secara
temporal. Dimensi spatiotemporal dari keadilan distributive ini tersirat dalam
pengertian tentang “pembangunan yang terlanjutkan” (sustainable development)
menurut Gro Harlem Brundtland.
G. Hubungan antara Teknologi dengan Kebudayaan
Teknologi merupakan penerapan ilmu yang merupakan hasil aktivitas manusia
yang mengkaji berbagai hal, baik diri manusia itu sendiri maupun realitas di luar diri.
Kebudayaan merupakan keseluruhan komplek kepercayaan, seni, hukum, moral,
kemauan, dan kebiasaan lain yang dibutuhkan manusia.
Sesuai perkembangan zaman dan kemajuan ilmu, teknologi yang dihasilkan
pun semakin modern dan canggih. Pada dasarnya teknologi yang dihasilkan oleh umat
manusia bertujuan untuk membuat hidup manusia lebih praktis dan efisien. Namun,
perkembangan teknologi yang ada pada kenyataannya telah banyak mengubah
berbagai sendi kehidupan manusia.
Salah
satu
bidang
kehidupan
manusia
yang
telah
berubah
seiring
perkembangan teknologi adalah kebudayaan manusia. Teknologi yang berkembang
menyebabkan berubahnya pola interaksi manusia dari interaksi yang sederhana
menjadi interaksi yang semakin canggih.
H. Hubungan antara Teknologi dengan Krisis Kemanusiaan
Teknologi dalam penerapannya sebagai jalur utama yang dapat menyongsong
masa depan cerah, kepercayaannya sudah mendalam. Sikap demikian adalah wajar,
asalkan tetap dalam konteks penglihatan yang rasional. Sebab teknologi, selain
mempermudah kehidupan manusia, mempunyai dampak sosial yang sering lebih
penting artinya daripada teknologi itu sendiri.
Schumacher menyatakan bahwa dunia modern yang dibentuk oleh teknologi
menghadapi tiga krisis sekaligus. Pertama, sifat kemanusiaan berontak terhadap polapola politik, organisasi, dan teknologi yang tidak berperikemanusiaan. Kedua,
lingkungan hidup menderita dan menunjukkan tanda-tanda setengah binasa. Ketiga,
penggunaan sumber daya yang tidak dapat dipulihkan, seperti bahan bakar, fosil,
sedemikian rupa sehingga akan terjadi kekurangan sumber daya alam tersebut. Oleh
karena itu dipertanyakan bagaimana peranan teknologi dalam usaha mengatasi
kemiskinan dan membatasi alternatif pemecahan masalah serta mempengaruhi
hasilnya.
Fenomena teknologi pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedja (1980)
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Rasionalitas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang
direncanakan dengan perhitungan rasional.
b. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah.
c. Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan serba
otomatis. Demikian pula dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan nonteknis menjadi kegiatan teknis.
d. Teknis berkembang pada suatu kebudayaan.
e. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung.
f. Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ideology,
bahkan dapat menguasai kebudayaan.
g. Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
Teknologi yang berkembang pesat, meliputi berbagai bidang kehidupan
manusia. Masa sekarang nampaknya sulit memisahkan kehidupan manusia dengan
teknologi, bahkan sudah merupakan kebutuhan manusia. Luasnya bidang teknik,
digambarkan oleh Ellul (1964) sebagai berikut :

Teknik meliputi bidang ekonomi.

Teknik meliputi bidang organisasi seperti adminstrasi, pemerintahan, manajemen,
hokum, dan militer.

Teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja, olahraga, hiburan,
dan obat-obatan. Teknik telah menguasai selutuh sector kehidupan manusia,
manusia semakin harus beradaptasi dengan sunia teknik dan tidak ada lagi unsur
pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.
Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah suatu proses
dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia takluk pada teknik.
Teknik-teknik manusiawi yang dirasakan pada masyarakat teknologi, terlihat dari
kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia pada saat ini telah begitu jauh
dipengaruhi oleh teknik. Gambaran kondisi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Situasi tertekan. Manusia mengalami ketegangan akibat penyerapan mekanismemekanisme teknik. Manusia melebur dengan mekanisme teknik, sehingga waktu
manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan manusia dengan
mekanisme teknik, menuntut kualitas dari manusia, tetapi manusia sendiri tidak
hadir di dalamnya. Contohnya: pada sistem industri ban, seorang buruh meskipun
sakit atau lelah, ataupun ada berita duka bahwa anaknya sedang sekarat di RS,
mungkin pekerjaan itu tidak dapat ditinggalkan sebab akan membuat macet garis
produksi
dan
upah
bagi
temannya.
Keadaan
tertekan
demikian,
akan
menghilangkan nilai-nilai sosial dan tidak manusiawi lagi.
2. Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Teknik telah mengubah lingkungan
manusia dan hakikat manusia. Contoh yang sederhana manusia dalam hal makan
atau tidur tidak ditentukan oleh lapar atau mengantuk tetapi diatur oleh jam.
Lingkungan manusia menjadi terbatas, manusia sekarang hanya berhubungan
dengan bangunan tinggi yang padat, sehingga sinar matahari pagi tidak sempat lagi
menyentuh permukaan kulit tubuh manusia.
3. Perubahan waktu dan gerak manusia. Akibat teknik, manusia terlepas dari hakikat
kehidupan. Sebelumnya waktu diatur dan diukur sesuai dengan kebutuhan dan
peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia, sifatnya alamiah dan konkrit. Tetapi
sekarang waktu menjadi abstrak dengan pembagian jam, menit dan detik. Waktu
hanya mempunyai kuantitas belaka tidak ada nilai kualitas manusiawi atau sosial,
sehingga irama kehidupan harus tunduk kepada waktu.
4. Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat teknik, manusia hanya membentuk
masyarakat massa, artinya ada kesenjangan sebagai masyarakat kolektif. Sekarang
struktur masyarakat hanya ditentukan oleh hokum ekonomi, politik, dan persaingan
kelas. Proses ini telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosial suatu komunitas.
Terjadinya neurosa obsesional atau gangguan syaraf menurut beberapa ahli
merupakan akibat hilangnya nilai-nilai hubungan sosial. Kondisi sekarang ini
manusia sering dipandang menjadi objek teknik dan harus selalu menyesuaikan diri
dengan teknik yang ada.
Ternyata dunia modern yang mengukir kisah sukses secara materi dan kaya ilmu
pengetahuan serta teknologi, agaknya tidak cukup memberi bekal hidup yang
kokoh bagi manusia. Sehingga banyak manusia modern tersesat dalam kemajuan
dan kemodernannya. Manusia modern kehilangan aspek moral sebagai fungsi
kontrol dan terpasung dalam sangkar the tyrany of purely materials aims, begitu
frasa Bertrand Russet dalam bukunya The Prospect of Industrial Civilazation.
Para sosiolog, sebagaimana dikutip oleh Haedar Nashir, berpendapat bahwa
terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan
masyarakat, pertama tenjadi pada level pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif,
persepsi dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran.
Level kedua, berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah
yang menjadi patokan kehidupan berperilaku, yang oleh Durkheim disebut dengan
kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes). Level ketiga, pada level kebudayaan,
krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat, yang oleh
Ogburn disebut gejala kesenjangan kebudayaan atau “cultural lag”. Artinya, nilai-nilai
pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat
spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan.
Illustrasi krisis kemanusiaan modern ini dapat dicermati dari berbagai ironi
dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya berbagai alienasi (keterasingan) dalam
kehidupan manusia. Ada alienasi etologis, yaitu terjadinya sebagian masyarakat yang
mulai mengingkari hakikat dirinya, hanya karena memperebutkan materi. Ada pula
alienasi masyarakat, yaitu keretakan dan kerusakan dalam hubungan antarmanusia dan
antarkelompok sehingga mengakibatkan disintergrasi. Ada pula alienasi kesadaran,
yang ditandai dengan hilangnya keseimbangan kemanusiaan karena meletakkan rasio
atau akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan, yang menafikan rasa dan
akal budi.
I. Hubungan antara Etika dengan Kebudayaan
Meta-ethical cultural relativism merupakan cara pandang secara filosofis yang
yang menyatkan bahwa tidak ada kebenaran moral yang absolut, kebenaran harus
selalu disesuaikan dengan budaya dimana kita menjalankan kehidupan soSial kita
karena setiap komunitas sosial mempunyai cara pandang yang berbeda-beda terhadap
kebenaran etika.
Etika erat kaitannya dengan moral. Etika atau moral dapat digunakan okeh
manusia sebagai wadah untuk mengevaluasi sifat dan perangainya. Etika selalu
berhubungan dengan budaya karena merupakan tafsiran atau penilaian terhadap
kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu disesuaikan dengan
kebudayaan karena sifatnya tidak absolut danl mempunyai standar moral yang
berbeda-beda tergantung budaya yang berlaku dimana kita tinggal dan kehidupan
social apa yang kita jalani.
Baik atau buruknya suatu perbuatan itu tergantung budaya yang berlaku.
Prinsip moral sebaiknya disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku, sehingga
suatu hal dikatakan baik apabila sesuai dengan budaya yang berlaku di lingkungan
sosial tersebut. Sebagai contoh orang Eskimo beranaggapan bahwa tindakan infantisid
(membunuh anak) adalah tindakan yang biasa, sedangkan menurut budaya Amerika
dan negara lainnya tindakan ini merupakan suatu tindakan amoral.
Suatu premis yang disebut dengan “Dependency Thesis” mengatakan “All
moral principles derive their validity from cultural acceptance”. Penyesuaian terhadap
kebudayaan ini sebenarnya tidak sepenuhnya harus dipertahankan dan dibutuhkan
suatu pengembangan premis yang lebih kokoh.
J. Hubungan antara Etika dengan Krisis Kemanusiaan
Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan moral. Etika berasal dari bahasa yunani yaitu kata “ethos” yang berarti
suatu kehendak atau kebiasaan baik yang tetap. Manusia yang pertama kali
menggunakan kata-kata itu adalah seorang filosof Yunani yang bernama Aristoteles (
384 – 322 SM ). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika / moral adalah ajaran
tentang baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya.
Menurut K. Bertenes, etika adalah nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi
pegangan bagi seseorang dalam mengatur tingkah lakunya. Etika berkaitan erat dengan
berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan tentang masalahmasalah predikat nilai ”susila” dan ”tidak susila”, ”baik” dan ”buruk”. Kualitaskualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifatsifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan tidak susila.
Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar
pembenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia (Katsoff, 1986).
Etika dibagi menjadi 2 kelompok, etika umum dan etika khusus. Etika khusus
dibagi menjadi 2 kelompok lagi menurut Suseno (1987), yaitu etika individual dan
etika sosial yang keduanya berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai warga
masyarakat. Etika individual membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dalam
kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai warga masyarakat. Etika sosial
membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat atau umat
manusia. Dalam masalah ini, etika individual tidak dapat dipisahkan dengan etika
sosial karena kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat atau
umat manusia saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Etika sosial menyangkut
hubungan manusia dengan manusia lain baik secara langsung maupun dalam bentuk
kelembagaan (keluarga, masyarakat, dan negara), sikap kritis terhadap pandanganpandangan dunia, idiologi-idiologi maupun tanggungjawab manusia terhadap
lingkungan hidup. Etika sosial berfungsi membuat manusia menjadi sadar akan
tanggungjawabnya sebagai manusia dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Di dunia kita sekarang ini, kesadaran akan etika individual dan etika sosial
sangatlah rendah. Contoh nyatanya adalah adanya kelangkaan perspektif etika di
kalangan para penguasa politik dan ekonomi yang telah memicu penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) dalam berbagai sudut kehidupan. Parliament of the
World's Religion II, tahun 1993, yang diselenggarakan di Chicago, menghasilkan
deklarasi yang disebut dengan etika global (global ethic) sebagai penjabaran praktis
berupa paradigma etika dan moral untuk diejawantahkan dalam kehidupan empiris.
Lahirnya Deklarasi Etika Global tersebut merupakan realisasi antisipasif dan solutif
atas sebuah kekuatan dahsyat bernama globalisasi yang dewasa ini tidak hanya
memasuki wilayah kehidupan material seperti ekonomi, budaya, dan politik pada
banyak negara di seluruh belahan dunia, tetapi kekuatan tersebut juga merambah
wilayah nonmeterial, yaitu etika. Globalisasi sendiri telah banyak menimbulkan
dampak positif, tetapi juga dampak negatif, yaitu krisis kemanusiaan. Dunia manusia
saat ini sedang dilanda suatu krisis multidimensi global, yang meliputi krisis ekonomi
global, krisis ekologi global, dan krisis politik global. Berbagai terpaan krisis tersebut
lalu bermuara pada krisis kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan, pengangguran,
kezaliman, kekerasan, penindasan, pengisapan, pembunuhan, dan lain-lain.
Jika ditelusuri secara seksama, kita ketahui krisis kemanusiaan yang ada
berpangkal mula dari krisis etika. Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika,
terutama di kalangan penguasa politik dan ekonomi, mendorong merajalelanya
perusakan yang kemudian mengarah pada kerusakan dunia dan segala tatanannya.
Dari perspektif etika global, permasalahan yang dihadapi proses peradaban bangsabangsa di dunia belakangan ini, tidak lain adalah masalah etik, yaitu rendahnya kadar
apresiasi terhadap etika peradaban. Proses peradaban berkembang sedemikian cepat,
terutama pada aspek material yang mengatas namakan kebebasan, kekuatan dan
kepercayaan atas diri manusia. Dengan demikian, proses peradaban menempatkan
manusia sebagai "pencipta yang memiliki kuasa besar" terhadap hidup dan
kehidupannya. Kehidupan manusia kemudian berorientasi pada paradigma "antropocentris", yaitu berpusat pada diri manusia itu sendiri, sehingga manusia diliputi paham
"egoisme kemanusiaan". Egosime kemanusian tersebut, sebagai mana diketahui,
menjelma dalam paham, baik yang bersifat individualistis maupun kolektif, sebut saja
rasisme, nasionalisme, sekterianisme, atas seksisme (feminisme dan maskulinisme).
Semua bentuk egoisme manusia tersebut menghalangi manusia untuk menjadi manusia
sejati, manusia berkemanusiaan.
Sebuah paragraf dalam Declaration toward a Global Ethic of the Parliament of
the World's Religions yang dikeluarkan di Chicago pada 1993 berbunyi sebagai
berikut, "Dalam tradisi etika dan agama umat manusia, kita menemukan perintah:
kalian tidak boleh mencuri! Atau dalam bahasa positifnya: berdaganglah secara jujur
dan adil! Makna dari perintah ini adalah tidak seorang pun berhak dengan cara apa pun
merampas atau merebut hak orang lain atau hak kesejahteraan bersama. Begitu juga
tidak seorang pun berhak menggunakan apa yang dimilikinya tanpa peduli akan
kebutuhan masyarakat dan
bumi. Dalam pandangan deklarasi etika global, tidak
mungkin ada suatu tatanan dunia baru tanpa tatanan etika global. Etika global,
mengacu pada suatu permufakatan mendasar tentang nilai-nilai mengikat, ukuranukuran pasti, dan sikap-sikap pribadi yang harus dimiliki setiap manusia, khususnya
manusia beragama.
Pemecahan problematika sosial, ekonomi, politik dan lingkungan hidup
mungkin dilakukan dengan proses pembangunan yang berkesinambungan lewat
perencanaan ekonomi dan politik serta pembelakuan hukum dan undang-undang.
Namun, semua itu belum cukup tanpa perubahan "orientasi batin" (inner orientation)
dan sikap mental yang berkualitas dari masyarakat. Masyarakat membutuhkan
reformasi sosial dan ekologis, tapi dalam waktu bersamaan mereka juga membutuhkan
pembaruan spiritual. Untuk benar-benar berperilaku manusiawi berarti :

Kita harus menggunakan kekuasaan ekonomi dan politik untuk melayani
kemanusiaan, bukan menyalahgunakannya dalam persaingan merebut dominasi
yang kejam. Kita harus mengembangkan semangat mengasihi mereka yang
menderita, khususnya kepada anak-anak, kaum lanjut usia, masyarakat miskin,
penderita cacat, dan mereka yang berada dalam kesepian.

Kita harus mengembangkan saling respek dan peduli agar tercapai keseimbangan
kepentingan yang layak, bukan cuma memikirkan kekuasaan tanpa batas dan
persaingan yang tidak terhindarkan.

Kita harus menghargai nilai-nilai kesederhanaan, bukan keserakahan tanpa
terpuaskan akan uang, prestis, dan pemuasan konsumtif. Dalam keserakahan,
manusia kehilangan "rohnya", kebebasannya, ketenangan, dan kedamaian diri serta
dengan demikian kehilangan apa yang membuatnya manusiawi".
K. Hubungan antara Kebudayaan dengan Krisis Kemanusiaan
Mendiskusikan perihal entitas kebudayaan bangsa kita saat ini sangat dalam
kaitannya dengan kebudayaan global, yakni budaya asing (Barat) yang selama ini
dirasakan timpang. Dalam arti, ketika arus utama (mainstream) dari pilihan arah
orientasi pengembangan budaya nasional, akhirnya jatuh pada komitmen membuka diri
dengan mengadakan sharing seluas-luasnya dengan pluralitas budaya global .
Konklusi harapan besar dari komitmen terbukanya kita dengan peradaban dunia
ternyata mempengaruhi kebudayaan universal, namun tidak dapat termanifestasikan
secara komprehensif. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah adanya paradigma
ketidakadilan besar dalam dialektika kebudayaan yang dialami oleh bangsa kita dan
juga bangsa-bangsa Timur lainnya.
Apabila kita cermati, sebenarnya kebudayaan kita tengah bahkan terus akan
berproses dalam format fenomena yang mungkin dapat disebut sebagai “gegar
budaya”. Banyak indikator yang tersaji di keseharian masyarakat kita yang secara
empiris terlihat munculnya keprihatinan dimana-mana pada hampir semua aspek
kehidupan manusia, yang kemudian dapat dirangkum dalam satu ungkapan krisis
multidimensional. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang salah
dalam proses kebudayaan bangsa kita selama ini, sehingga berimplikasi pada
carutmarut persoalan bangsa yang tidak kunjung selesai.
“Kekosongan” kebudayaan yang bangsa kita saat ini rasakan dapat berdampak
negatif terhadap kebudayaan bangsa kita sendiri dan nilai kemanusiaan. Peralihan
kebudayaan Timur menjadi kebarat-baratan seperti lazimnya seks bebas, pergaulan
bebas, film porno, minum alkohol, diperbolehkannya hubungan sesama jenis, dll
membuat kita bertanya, kemanakah nilai kemanusiaan dan agama yang selama ini
menjadi ciri khas dari bangsa Timur? Budaya Barat tersebut dengan segera merusak
citra bangsa dan cepat mempengaruhi anak-anak muda yang relatif rentan dengan
dunia baru. Selain itu, efek negatif budaya barat menjadikan timbulnya krisis
kemanusiaan. Krisis kemanusiaan ini dapat berakibat timbulnya pembunuhan, hamil di
luar nikah, timbulnya penyakit menular seksual, dan meningkatkan angka kriminalitas.
L. Hubungan antara Ilmu, Teknologi, Etika, Kebudayaan, dan Krisis Kemanusiaan
Ilmu pengetahuan dapat memberi dampak positif dan negatif. Ketika ilmu
pengetahuan dimanfaatkan untuk tujuan praktis, manusia hanya memfungsikan sisi
hawa nafsunya saja, sehingga sangat mungkin ilmu pengetahuan diarahkan untuk halhal destruktif. Di sinilah pentingnya nilai dan norma (etika) untuk mengendalikan
hawa nafsu manusia. Etika menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi dukungan
yang baik bagi pemanfaatan iptek untuk meningkatkan derajat hidup, kesejahteraan,
dan kebahagiaan manusia.
Pada zaman sekarang, aliran humanisme-antroposentris berkembang pesat.
Aliran ini memiliki pikiran kebudayaan materi yang menafikan kehadiran agama,
individualisme, kebebasan, persaudaraan, dan kesamaan (Irfan, 2009). Perubahan
kebudayaan berakibat pada perubahan etika, sebab etika merupakan penilaian terhadap
kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu disesuaikan dengan
kebudayaan karena sifatnya tidak absolut dan mempunyai standar moral yang berbedabeda tergantung budaya yang berlaku di mana kita tinggal dan kehidupan sosial apa
yang kita jalani.
Apabila etika (yang juga dapat diartikan sebagai cara berpikir) mengalami
perubahan, maka perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan juga mungkin
terjadi, dan selanjutnya akan menimbulkan kecenderungan adanya hasrat untuk selalu
menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan (teknologi) yang dapat semakin
memajukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan yang semakin maju
tersebut selain akan mendorong ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan
berikutnya, juga akan meningkatkan keinginan manusia yang sampai bersifat
memaksa, merajalela, bahkan membabi buta. Pada akhirnya hal ini berakibat pada
tidak manusiawinya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika ditelusuri, krisis kemanusiaan yang ada berpangkal dari krisis etika.
Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika mendorong merajalelanya perusakan
yang kemudian mengarah pada kerusakan dunia dan segala tatanannya. Berawal dari
penolakan secara ekstrim terhadap pikiran tentang Tuhan, keagamaan dan
supranatural, pendewaan terhadap rasio dan materi yang disebarkan secara canggih
melalui ilmu pengetahuan, teknologi serta proses ekonomi, politik dan budaya itulah
krisis kemanusiaan merajalela sebagai konsekuensi logisnya (Irfan, 2009).
Menurut para sosiolog, kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia
dalam kehidupan masyarakat (krisis kemanusiaan) terjadi pada tiga tingkat, yaitu:
1.
Pada tingkat pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi,
dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran.
2.
Pada tingkat yang berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan
rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku  disebut
kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes)
3.
Pada tingkat kebudayaan, yakni berkenaan dengan pergeseran nilai dan
pengetahuan masyarakat  disebut gejala kesenjangan kebudayaan (cultural lag) 
nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang
bersifat spiritual sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan (Nashir, 1997)
Banyak pihak yang menganggap bahwa krisis kemanusiaan merupakan ‘anak
kandung’ dari modernisme. Masyarakat modern mampu menjadikan ilmu pengetahuan
dan teknologi berhasil mengatasi berbagai masalah, tapi tidak mampu menumbuhkan
akhlak yang mulia sehingga terjadilah krisis kemanusiaan.
Pengamatan para sosiolog tersebut juga disampaikan oleh Ma’arif (1997)
dengan bahasa yang lain, bahwa modernisme gagal karena ia mengabaikan nilai-nilai
spiritual transendental sebagai pondasi kehidupan. Akibatnya dunia modern tidak
memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun peradabannya. Modernisme telah
mengakibatkan nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki dan dipraktekkan oleh manusia
kini terendam lumpur nilai-nilai kemodernan yang lebih menonjolkan keserakahan dan
nafsu untuk menguasai.
KESIMPULAN
Ilmu pengetahuan mendorong kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dapat
berakibat positif maupun negatif. Supaya ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak positif
bagi manusia perlu dikendalikan oleh etika. Etika merupakan penilaian terhadap kebudayaan.
Perubahan kebudayaan dapat terjadi akibat perkembangan ilmu dan teknologi. Perubahan
kebudayaan dapat mengakibatkan terjadinya krisis etika sehingga dapat terjadi krisis
kemusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Sutarjo. 1983. Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta.
Kanisius
Bakhtiar A. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada
Mangunwijaya YB. 1999. Pasca Indonesia Pasca Einstein;
Kebudayaan IndonesiaAbad ke-21. Yogyakarta. Kanisius
Eseiesei
Tentang
http://forumteologi.com/blog/2007/04/30/sefnat/ 14 nov/ 21.13
http://sites.google.com/site/filsafatindonesia/Home/b/budaya/ 14 nov/ 21.36
http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/66/ 16 nov/ 15.41
http://www.scribd.com/doc/20719218/Krisis-Kemanusiaan-di-Bangsa-Beradab-Indonesia/16
nov/ 15.24
Soewardi H. 1999. Roda Berputar Dunia Bergulir Kognisi Baru Tentang TimbulTenggelamnya Sivilisasi. Bandung. Bakti Mandiri
http://filsafat.ugm.ac.id/downloads/artikel/agama-krisis.pdf
http://meetabied.wordpress.com/2009/11/01/kedudukan-filsafat-ilmu-dalam-islamisasi-ilmupengetahuan-dan-kontribusinya-dalam-krisis-masyarakat-modern/
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/teori-ilmu
http://miftahul_ulum.dikti.net/index.php?option=com_content&view=article&id=6:we-arevolunteers&catid=1:latest-news&Itemid=50
http://elhasyimieahmad.multiply.com/reviews/item/29
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&jd=Teori%96teori+Kebenaran+Dalam+Il
mu+Pengetahuan&dn=20080702084806
Anonim. Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Kemiskinan. http://elearning.gunadarma.ac.id.
20/11/2009.
Ellul J. 1964. The Technological Society. New York. Alfred Knapf
Sastrapratedja. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta. Kanisius
Anonim. Cultural Relativism.
http://www.collegetermpapers.com/TermPapers/Philosophy/Cultural_Relativism.shtml
Anonim, Ethical (Moral, Cultural) Relativism.
http://www.owlnet.rice.edu/~spac205/February_11-2.pdf
Presiden Foundation for a Global Ethic (Stiftung Weltethos), Guru Besar Emeritus Teologi
Ekumenis pada University of Tübingen . http://www.ahmadheryawan.com/opinimedia/internasional/2204-etika-global-dan-obama.html. Harian Tempo 2/3/2009
Muchdhor M. Krisis Kemanusiaan dan Etika Global. Sinar Harapan 26/10/2002
http://www.tugaskuliah.info/2009/06/etika-profesional-dalam-pendidikan.html
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 2001. Filsafat Ilmu. 2nd ed. Yogyakarta.
Liberty
Daruni, EA. 1991. Hubungan Ilmu dan Kebudayaan dalam Majalah Jurnal Filsafat. Fakultas
Filsafat UGM Yogyakarta. Seri 8
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Aksara Baru
Ma’arif S. 1997. Dalam “Kata Pengantar” Buku Agama dan krisis Kemanusiaan Modern oleh
Nashir H. 1997. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Nashir H. 1997. Agama dan krisis Kemanusiaan Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Irfan LA. 2009. Kajian Terhadap Islamizing Curicula Al- Faruqi. http://iptekita.com. Diunduh
22/11/09.
Download