Modul Pendidikan Agama Protestan [TM6]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
PERTEMUAN VI
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
PROTESTAN
POKOK BAHASAN :
“Gereja Di Abad Pertengahan”
Fakultas
Program Studi
PSIKOLOGI
PENDIDIKAN
AGAMA
PROTESTAN
Tatap Muka
06
Kode MK
Disusun Oleh
90039
Drs.Sugeng Baskoro, M.M.
Abstract
Kompetensi
Dinamika gereja pada abad
pertengahan
Mahasiswa mampu
memahami
keadaan gereja di abad pertengahan
Mahasiswa mampu menjelaskan alasan
gereja membutuhkan pembaruan
GEREJA DI ABAD PERTENGAHAN
Sumber Bacaan : - Th. van den End, Harta Dalam Bejana
- Tony Lane, Runtut Pijar
- Alkitab
Agar mahasiswa mampu :
1. Mengetahui keadaan gereja di abad pertengahan
2. Menjelaskan alasan gereja saat itu membutuhkan pembaruan
3. Menjelaskan pembaruan yang dibutuhkan gereja saat itu
Pendahuluan :
Keadaan gereja pada abad pertengahan diwarnai berbagai masalah. Masalah-masalah tsb dapat dilihat
dari segi : Kebudayaan, Kehidupan Rohani dan Politik.
1. Kebudayaan.
Dipengaruhi oleh Gerakan Renaisance ( abad 13 – 14)) yakni Gerakan ini mendorong orang untuk
meminati kembali karya2 klasik budaya Yunani, dari lingkungan kafir dan belakangan dari lingkungan
gereja mula-mula.
Ada juga gerakan humanisme yaitu gerakan yg memp kecenderungan untuk lebih memperhatikan
kedudukan mns. Minat orang untuk membaca Alkitab tinggi. Dan juga banyak dicetak Alkitab dalam
bahasa sehari-hari
1. Kehidupan rohani
Faktor yg mempengaruhi yaitu adanya gerakan humanisme
yaitu gerakan yg mempunyai
kecenderungan untuk lebih memperhatikan kedudukan manusia. Minat orang untuk membaca Alkitab
tinggi. Dan juga banyak dicetak Alkitab dalam bahasa sehari-hari.
Menurut Paus Urbanus II, yg mengatakan bahwa keikutsertaan dalam Perang Salib, akan menjamin mrk
segera masuk Surga.
Juga ada penjualan Indulgensi untuk membiayai pembangunan gereja Santo Petrus di Vatikan.
Muncul juga pertanyaan besar siapa yg memiliki kekuasaan tertinggi : Paus atau Sidang Konsili
(Persidangan Gereja). Paus disatu pihak terbiasa menikmati kekuasaan besar, bahkan melebihi kaisar,
tidak kekuasaannya dibatasi. Di pihak lain para pemimpin gereja mengatakan bahwa kalau kekuasaan
tidak dibatasi, akan muncul kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan tsb.
3. Politik
Dalam lingkup politik , muncul kesadaran baru akan ras dan etnis bangsa-bangsa Eropa. Eropa yg
tadinya di bawah kekaisaran Roma Suci, kini terpecah-pecah diantara berbagai kepangeranan yg ingin
memisahkan diri sebagai bangsa sendiri, dengan identitas dan bahasanya sendiri pula.
Di lingkungan Ekonomi, muncul ketidakpuasan diantara kaum petani yg dieksploitasi. Berkembang pula
suatu kelas ekonomi yg baru yaitu kaum borjuis.
Mereka mempunyai tuntutan-tuntutan yg kian meningkat, sehingga mengacaukan sistem ekonomi yg
lama
Berikut ini tokoh-tokoh gereja pada abad pertengahan :
1. Peter Waldo
2. Thomas Aquinas
3.
Gregorius I Benedictus
4. Anicius Manlius Severinus Boetius
5. John Wycliffe
6. Jan Hus (Yohanes Hus)
Renaisans dan Perubahan Menyeluruh dalam Pola- Pikir
Sejak abad ke-14, landasan sebuah perubahan menyeluruh telah terbentuk lewat beragam faktor.
Pertama, merebaknya nominalisme (kesejatian penamaan) dan pengingkaran atas keberadaan konseokonsep universal di Inggris dan Perancis, yang berperan efektif menjatuhkan dasar-dasar filsafat.
Kedua, percekcokan seputar filsafat alam Aristoteles di Universitas Paris.
Ketiga, gemerutu ketakselarasan filsafat dan dogma-dogma Kristen, atau nalar dan agama.
Keempat, mencoloknya perseteruan antara penguasa-penguasa masa itu dan otoritas-otoritas Gereja,
dan antar-otoritas Gereja sendiri terjadi perselisihan yang berbuntut pada kemunculan Protestantisme.
Kelima, menggilanya humanisme dan tendensi untuk berurusan dengan masalah-masalah kehidupan
manusia, sembari mencampakkan masalah-masalah metafisika. Dan akhirnya,
Keenam, pada pertengahan abad ke-15, Kekaisaran Bizantium runtuh, perubahan utuh (secara politik,
filosofis, kesusastraan, dan keagamaan) mencuat di seluruh penjuru Eropa, dan lembaga-lembaga
kepausan diserang dari segala jurusan. Dalam keadaan ini, filsafat skolastik yang lemah itu pun menemui
nasib akhirnya.
Pada abad ke-16, minat pada ilmu-ilmu alam dan empiris meningkat pesat, dan temuan-temuan
Copernicus, Kepler, dan Galileo telah mengguncang dasar-dasar astronomi Ptolemius dan filsafat alam
Aristoteles. Singkatnya, semua aspek perikemanusiaan di Eropa terganggu dan terguncang.
Lembaga-lembaga kepausan berhasil menahan gelombang-gelombang besar ini, dan para ilmuwan
dihadapkan pada Inkuisisi karena penolakan mereka pada dogma-dogma agama, pandangan-pandangan
tentang filsafat alam, dan kosmologi seperti yang diakui oleh Gereja berdasarkan tafsiran Injil dan
ajaran-ajaran agama.
Banyak ilmuwan yang kemudian dibakar hidup-hidup dengan alasan fanatisme buta dan kepentingan
otoritas-otoritas Gereja. Bagaimanapun, pada gilirannya Gereja dan lembaga-lembaga kepausan
dimundurkan dengan hina.
Lembaga-lembaga kepausan berhasil menahan gelombang-gelombang besar ini, dan para ilmuwan
dihadapkan pada Inkuisisi karena penolakan mereka pada dogma-dogma agama, pandangan-pandangan
tentang filsafat alam, dan kosmologi seperti yang diakui oleh Gereja berdasarkan tafsiran Injil dan
ajaran-ajaran agama.
Banyak ilmuwan yang kemudian dibakar hidup-hidup dengan alasan fanatisme buta dan kepentingan
otoritas-otoritas Gereja. Bagaimanapun, pada gilirannya Gereja dan lembaga-lembaga kepausan
dimundurkan dengan hina.
Perilaku fanatik dan beringas Gereja Katolik berekor pada sikap negatif masyarakat terhadap otoritasotoritas Gereja, dan agama secara umum, serta kejatuhan filsafat skolastik, yaitu satu-satunya filsafat
yang mengalir pada masa itu.
Semua ini selanjutnya melahirkan kehampaan intelektual dan filosofis, dan akhirnya memunculkan
skeptisisme modern.
Selama proses ini, satu-satunya yang mengalami kemajuan adalah humanisme dan hasrat pada ilmu
alam dan empiris di medan budaya, serta kegandrungan pada liberalisme dan demokrasi di medan
politik.
Pemikiran Politik Pada Masa Abad Pertengahan di Eropa (Medieval Political Theory in Europe)
Zaman pertengahan yang dimaksud di sini dimulai sejak abad ke-13 sampai awal abad ke-17 di
Eropa, dimana terdapat garis yang jelas antara teori politik pada masa itu. Hubungan public pada masa
ini banyak dicampuri oleh gereja, dalam hal ini pola hubungan antara kerajaan dan gereja.
Namun, pada abad ke-18 terjadi reformasi yang cukup besar dimana kalangan aristokrat tidak
diperbolehkan mengontrol gereja sama seperti mereka mengontrol militer dan kekuatan politik masa
itu.
Hal di atas menujukkan sebuah revolusi kepausan dalam sejarah Eropa dan menyebabkan krisis
kekuasaan antara gereja dengan kerajaan. Sepanjang abad ke-13, sering sekali terjadi konflik yang
melibatkan Paus Gregory VII dengan Raja Henry IV, termasuk perubahan posisi antara Paus Innocent IV
dengan Raja Frederick II.
Terjadi ketidak pahaman mengenai konstitusi pemilihan Raja dan pangeran terpilih, dan
persetujuan Paus, serta mengenai hubungan antara kerajaan Inggris dengan kerajaan Perancis dan
Spanyol.
Kedudukan Paus dalam gereja juga menjadi kontroversi karena Paus memberikan dukungan terhadap
‘mendicant orders’ dan hal itu semakin meruncingkan oposisi dari uskup dan pendeta.
Juga terjadi sengketa antara otoritas gereja peraturan sekuler apakah pendeta dibebaskan dari
pajak dan dari pengadilan criminal umum, dan apakah uang yang dikumpulkan oleh gereja lokal
seharusnya digunakan oleh kepausan untuk membiayai pasukan Perang Salib melawan Saracens tapi
juga kampanye militer di Eropa.
Persengketaan semacam ini semakin meruncing di akhir abad ke-13 ketika studi mengenai
hukum, filosofi, dan teologi berada pada level yang tinggi. Sampai pada abad ke-14, perdebatan yang
rumit dan panjang terjadi antara Paus Boniface VIII, Raja Philip dari Perancis, Paus John XXII, Raja Roma
‘Ludwig dari Bavaria’, orang-orang Perancis, dan Universitas Perancis.
Hal ini terjadi karena pakar teologi menciptakan banyak sekali perjanjian yang mengkhawatirkan
hubungan antara agama dan pemerintahan sekular, konstitusi Gereja, konstitusi pemerintahan sekuler,
yang pada akhirnya berujung pada hukum dan filosofi pengikut Aristoteles.
A. Separation: The Spiritual dan Temporal Powers
Dalam dunia klasik tidak terdapat pemisahan kekuasaan antara agama dan politik. Namun, sejak
awal abad pertengahan, sudah ada usaha untuk memisahkan antara ‘priesthood’ dan ‘kingship’
di Eropa. Dua jenis kekuasaan ini menjadi tidak setara dalam hal kedudukan, karena yang
menjadi teratas adalah kekuatan spiritual (gereja). Dari waktu ke waktu raja bertindak untuk
mensucikan gereja.
Ada satu hal yang menarik dalam hal penyucian bagi gereja. Dimana secara eksplisit, gereja
memperbolehkan para pendeta melakukan bunuh diri. Dengan kata lain, gereja membiarkan
adanya tindakan kekerasan dalam peraturan gereja. Pendeta biasa saja dipenjara oleh uskup
tanpa izin dari pemerintah sekuler.
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa dalam prakteknya ada pemisahan yang sangat jelas
antara kekuasaan dan peraturan gereja dengan kerajaan.
Kedua elemen inipun tidak bisa saling mengintervensi satu sama lain, walaupun dalam
prakteknya kekuasaan gereja sering melampaui kekuasaan raja.
B.
Subjection
Dalam gagasan lain, Gratian menyebut bahwa paus sebenarnya sangat menikmati plentitudo
polestatis atau kekuasaan penuh.
Hal ini bukan berarti bahwa paus memiliki kekuasaan tertinggi secara formal namun paus
merupakan sumber dari hukum gereja, memiliki otoritas untuk mengintervensi secara langsung
urusan apa saja dan dimana saja yang berkaitan dengan gereja.
Gagasan yang menyatakan bahwa paus bisa menjalankan kekuasaan yang telah diberikan oleh
Kristus tidak menyalahi prinsip pemisahan kekuasaan antara spiritual dan kekuasaan duniawi,
selama gagasan tersebut diterima bahwa Kristus tidak memberikan kekuasaan duniawi bagi
gereja,
Paus menganggap bahwa gereja adalah perpanjangan dari komunitas Kristen di dunia dan paus
sendiri adalah pemimpinnya di muka bumi.
Prinsip Dou Sunt, pemisahan kekuasaan tidak begitu saja diabaikan. Para paus memperlihatkan
intervensi dalam urusan duniawi sebagai pengecualian.
Namun, tidak pernah ditemukan ada intervensi yang sangat mendasar selama abad
pertengahan yang dilakukan oleh kerajaaan terhadap eksistensi gereja.
Hubungan antara kepausan dan kerajaan tidak pernah terlepas satu sama lain. Terkadang
mereka berjalan beriringan dan kadang pula terlibat konflik, namun satu hal yang pasti dalam
kehidupan masyarakat saat itu.
Rakyat tidak dapat berbicara menyatakan aspirasinya, jika kerajaan atau kepausan melakukan
sesuatu yang salah seharusnya rakyat harus berbicara dengan lantang.
Namun, jika ada rakyat yang berani bicara, maka mereka akan dianggap menolak kerajaan,
menolak kehendak Tuhan, dan dengan kata lain mereka adalah pemberontak.
Paus selalu berada dibalik semua hal ini dan bisa dikatakan bahwa sebenarnya umat Kristen
mengalami masa ‘misleading’ di abad pertengahan ini dan pengaruhnya masih banyak yang
bertahan sampai saat ini.
Namun, paus yang masih berada dalam kantor kepausaan harus dipatuhi. Paus bisa menghakimi
semua namun tidak dihakimi oleh siapapun.
C.
The Debate on The Power of The Pope
Kekuasaan paus yang tidak terbatas menimbulkan banyak sekali perdebatan sejak dulu sampai
akhir abad pertengahan.
Dua penulis yang cukup berkontribusi adalah Thomas Aquinas dan Giles of Rome yang
menganggap bahwa kepausan berada di atas kerajaan.
Sedangkan John of Paris, Marsilius of Padua, dan William of Ockham, dengan tegas menantang
hal ini.
1. Thomas Aquinas
Thomas telah menelurkan beberapa tulisan mengenai kekuasaan paus di Eropa. Tulisan
pertamanya yaitu Scriptum super libros sentetiarum “ketika dua kekuasaan berkonflik, yang
mana yang harus kita patuhi?”.
Jawaban yang muncul adalah, jika yang otoritas yang asli datang dari yang lain, maka ketaatan
yang semestinya adalah terhadap otoritas yang asli.
Misalnya kekuasaan pendeta yang diberikan oleh paus, maka yang harus dipatuhi adalah paus.
Sedangkan, jika yang berkonflik adalah dua kekuasaan yang tertinggi yakni gereja dan kerajaan,
ketaatan harus diberikan terhadap pemegang kekuasaan tertinggi melihat permasalahan itu
apakah berkaitan dengan spiritual atau duniawi.
Hal ini dikarenakan bahwa baik kekuasaan spiritual maupun duniawi berasal dari Tuhan.
Masyarakat harus patuh pada paus dalam persoalan yang menyangkut hal-hal yang telah
ditentukan oleh Tuhan atau dengan kata lain yang menyangkut urusan keagamaan.
Di lain sisi, masyarakat harus patuh terhadap kerajaan jika yang dipersengketakan adalah
permasalahan sipil.
Namun, Thomas menambahkan bahwa kekuasaan spiritual dan duniawi dipegang hanya oleh
satu orang, paus, yang oleh Tuhan telah ditunjuk sebagai perpanjangan tangannya di dunia
untuk mengurusi urusan spiritual dan duniawi.
Pada level yang rendah, memang kekuasaan spiritual dan duniawi dipegang oleh dua orang
berbeda. Namun pada level yang lebih tinggi, kedua kekuasaan ini dipegang oleh satu orang
yaitu paus.
Tulisan keduanya, De regno, menyatakan bahwa Negara (pemerintahan) bukanlah hal yang
abadi alias akan berakhir pada waktunya dan terdiri dari individu dengan tujuan masing-masing.
Negara ada untuk menjamin keamanan rakyatnya, keamanan yang dimaksud adalah keamanan
yang virtual yang nyata dan juga keamanan yang hakiki yaitu surga.
Kepausan menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia harus mencapai keamanan hakiki, maka
dari itu Tuhan membangun gereja di muka bumi agar manusia bisa menerima bantuan khusus
dari Tuhan (God’s special help) berupa pengampunan.
Gereja adalah agensi manusia dari Tuhan yang sengaja dibangun agar manusia bisa lebih mudah
meminta pengampunan dan melakukan pengorbanan sebagai usaha penebusan dosa.
Disinilah tugas Negara (pemerintah) untuk mengarahkan rakyatnya agar mau mengejar surga
yang dijanjikan.
Bahkan gereja juga menginginkan adanya pengaplikasian hukum gereja dalam kehidupan
bermasyarakat seperti, bunuh diri bagi yang bersalah dan pengorbanan untuk penebusan dosa.
Di era ini terdapat, hirarki antara gereja dan pemerintah. Pemerintah hanya menginginkan
tujuan kesejahteraan secara virtual, fisik, dan nyata.
Sedangkan tujuan akhir bukanlah itu melainkan surga dan hanya bisa dicapai jika seseorang
benar-benar taat pada agamanya (Kristen) .
Sehingga, peraturan sekuler harus ditetapkan oleh paus karena hanya dialah yang bisa
menyediakan jalan menuju tujuan akhir yang tingkatannya lebih tinggi dibandingkan tujuan yang
diberikan oleh Negara.
2. Giles of Rome
Dalam tulisannya yang berjudul On Ecclesiastical Power (1302), Giles of Rome menyatakan
bahwa kerajaan termasuk bangsawan pemilik property, harus tunduk terhadap paus.
“Dia (paus) yang menjadi hakim atas segala hal seharusnya menjadi tuan atas segala hal yang
dihakiminya, termasuk pemerintah.”
Giles berpandangan bahwa memang ada beberapa hal yang ditinggalkan Tuhan untuk diurusi
oleh raja. Namun, Tuhan dapat mengintervensi hal itu kapanpun Tuhan mau dengan mukjizat
dan keajaiban yang dimiliki-Nya.
Jadi, paus membiarkan raja bertindak di bawah hukum virtual walaupun dia bisa mengintervensi
secara langsung dan nyata melalui “kekuasaan utuh” yang dimilikinya.
Paus memiliki kekuasaan yang utuh yang bisa mengintervensi apapun yang berkaitan dengan
gereja secara langsung, hal ini termasuk pemerintahan sekuler karena argument di atas
memperlihatkan bahwa di luar gereja tidak ada tuan.
Sehingga, dualisme yang dilakukan oleh paus memang dikatakan murni sebagai tugas yang
diberikan oleh Tuhan secara langsung untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi dan paus bisa
melakukannya tanpa intervensi dari pihak manapun.
3. John of Paris
ulisanSalah satu penulis yang dengan lantang menentang kekuasaan paus yang tidak berbatas
dan mutlak adalah John of Paris dalam tnya On Royal and Papal Power (1302).
Dia menolak anggapan bahwa sejak paus dinobatkan sebagai pendeta wakil Tuhan, dimana
Kristus adalah Tuhan dan Tuhan adalah pemilik segalanya, maka serta merta paus adalah pemilik
dari segalanya. Pernyataan ini menghancurkan dua poin penting.
Pertama, paus adalah wakil Tuhan dalam wujud manusia (bukan sebagai Tuhan), dan Kristus
sebagai manusia bukanlah pemilik dari segalanya.
Kedua, walaupun Kristus dalam wujud manusia merupakan pemilik dari segalanya, Kristus tidak
memberikan semua kekuasaannya kepada wakilnya. Sehingga, tidak ada bukti nyata yang bisa
mendukung kekuasaan mutlaknya di muka bumi.
Tuhan adalah pemilik mutlak dari apa yang ada di akhirat dan dunia. Namun di dunia, tidak
manusia yang menjadi wakil Tuhan di kedua alam tersebut. Pemerintah merupakan wakil Tuhan
di dunia dan paus adalah wakil Tuhan di akhirat.
Mengenai anggapan bahwa ‘For he who judges a thing is always lord of the thing he judged’,
maka John beranggapan bahwa paus memiliki juridiksi tersendiri dalam hal keagamaan.
Sedangkan untuk hal property, paus sama sekali tidak memiliki yuridiksi walaupun itu
menyangkut property gereja.
Property merupakan milik pribadi, adapun komunitas (gereja) yang memiliki property itu
merupakan penerima dari individu yang memberikan hak propertinya kepada komunitas
tersebut. Seharusnya, gereja bisa menghargai pendonor bukan menjadi pemilik atas hal itu.
Kepala gereja hanyalah administrator, bukan pemilik atas gereja tersebut.
Menurut John, kekuasaan duniawi bukan datang dari kekuasaan spiritual melainkan langsung
dari Tuhan. Sehingga, paus yang tugasnya mengurusi urusan spiritual tidak berhak mencampuri
urusan duniawi yang dijalankan oleh kerajaan. Kekuasaan spiritual tidak boleh berlaku superior
di atas kekuasaan duniawi melainkan setara dan seimbang satu sama lain.
Pertanyaan utama mengenai hubungan antara kekuasaan spiritual dan duniawi, Thomas
Aquinas mendukung bahwa kepausan memiliki kekuasaan yang mutlak, Giles menganggap
bahwa semua kekuasaan legitimasi di bumi dimiliki oleh paus, dan Marsilius menyatakan bahwa
kekuasaan koersif dimiliki oleh pemerintahan. William menyatakan bahwa paus memiliki
kekuasaan mutlak dalam urusan keagamaan dan bisa sewaktu-waktu melakukan intervensi jika
dianggap orang awam tidak bisa menyelesaikan persoalan tersebut.
Namun ada pembahasan yang cukup menarik bahwa kekuasaan tidak boleh dimiliki oleh orang
yang tidak mempercayai Kristus. Baik itu raja maupun pemerintahan di bawahnya harus
sepenuhnya taat dan tunduk terhadap Kristus.
Sehingga, satu-satunya agama yang diperbolehkan ada pada masa itu adalah Kristen.
Perdebatan yang menarik mengenai kekuasaan paus tidak berhenti pada abad pertengahan saja
namu terus berlanjut sampai zaman pencerahan setelah gereja diturunkan kekuasaan yang
dimilikinya.
Pada masa tradisional, sebelum abad pertengahan, fungsi pendeta hanya pada fungsi duniawi.
Beberapa penulis menginginkan pengembalian fungsi pendeta dan paus. Namun di sisi lain,
pergeseran kekuasaan sangat dipengaruhi oleh kondisi politik kerajaan yang dipenuhi skandal
serta pengkhianatan
Daftar Pustaka
1. Sitangang Sariaman, 2010, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta, Engkrataia Putra Jaya
2. http://id.wiipedia.org/wiki/sejarah kekristenan
3. http://id.wiipedia.org/wiki/perang_salib
4. http://.majalahpraise.com-gereja-pada-masa-renaissance-(1450-1700)-507.html
Download